bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) tipe 2 dan hipertensi (HT) adalah dua penyakit
kronis tidak menular yang paling umum di negara-negara maju dan berkembang
di seluruh dunia (Shah dan Afzal, 2013). Hipertensi lebih sering terjadi pada
populasi DM dibandingkan non-DM. Lebih dari 71 % pasien DM memiliki
tekanan darah lebih dari 130/80 mmHg atau mengkonsumsi obat anti hipertensi
(Alex dkk., 2014).
Data di Amerika menunjukkan hipertensi dialami lebih dari 76 juta orang
dan DM dialami lebih dari 25 juta dan sering muncul bersamaan. The National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES, 2007-2008) melaporkan
19,8% pasien hipertensi juga mengalami DM. Pada study Atherosclerosis Risk in
Communities (ARIC) didapatkan pasien hipertensi mempunyai kemungkinan 2,5
kali lipat mengalami DM dibandingkan dengan pasien normotensi (Mancia dkk.,
2007).
Prevalensi DM untuk semua kelompok usia di seluruh dunia diperkirakan
2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada tahun 2030 dengan total jumlah penderita
DM diproyeksikan meningkat dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta
tahun 2030. Ada lebih banyak perempuan DM dibandingkan laki-laki, penduduk
perkotaan di negara-negara berkembang diproyeksikan meningkat dua kali lipat
antara tahun 2000 dan 2030 (Rathmann dan Giani, 2004).
19
WHO memproyeksikan bahwa DM akan menjadi penyebab utama 7
kematian pada tahun 2030. Berdasarkan data WHO yang di ulas pada Oktober
2013 memperoleh fakta ada 347 juta orang di seluruh dunia mengidap DM dan
pada tahun 2004 diperkirakan 3,4 juta orang meninggal akibat konsekuensi gula
darah puasa yang tinggi. Dan jumlah kematian yang sama telah diperkirakan
untuk tahun 2010, lebih dari 80 % kematian DM di Negara berpenghasilan
rendah dan menengah (WHO, 2006).
Prevalensi kejadian DM di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 terdapat 1,5 % pasien baru yang terdiagnosis dokter. Dan terjadi
peningkatan prevalensi hipertensi dari 7,6% tahun 2007 menjadi 9,5 % pada tahun
2013.
Di provinsi Kalimantan timur sendiri untuk prevalensi DM yang
terdiagnosis dokter sebesar 2,3 %. Sedangkan untuk prevalensi hipertensi pada
umur ≥ 18 tahun sebesar 29,6% (Depkes, 2013). Hipertensi meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular terkait dengan DM tipe 2 dan juga merupakan faktor
risiko untuk berkembangnya mikroalbuminuria dan retinopati. Pada pasien dengan
DM tipe 1 yang memiliki mikroalbuminuria atau nefropati dengan
kontrol
tekanan darah yang ketat mengurangi ekskresi albumin urin dan penurunan fungsi
ginjal. Menurunkan tekanan darah juga menurunkan albuminuria pada DM tipe 2,
tapi apakah itu juga mengurangi risiko penyakit ginjal tahap akhir atau penyakit
jantung (Turner, 1998).
Berbagai guideline terbaru seperti Join National Committee (JNC) 8,
American Diabetes Association (ADA) 2013, merekomendasikan target tekanan
darah pada populasi DM yaitu < 140/90 mmHg dan optimalisasi kontrol status
20
glikemik dengan target hemoglobin A1c < 7% penting untuk menurunkan risiko
kardiovaskular dan mencegah progresifitas nefropati (James dkk., 2014). Berbagai
studi membuktikan kontrol tekanan darah yang baik dapat mencegah komplikasi
mikro maupun makrovaskular pada pasien dengan DM. Salah satu komplikasi
mikrovaskular adalah nefropati diabetika yaitu gangguan ginjal yang diakibatkan
karena menderita DM dalam jangka waktu yang cukup lama (Fowler, 2008).
Strategi manajemen hipertensi pada DM tidak ada perbedaan dengan
manajemen terapi hipertensi pada umumnya seperti yang telah direkomendasikan
Join National Committe (JNC 8) yaitu modifikasi gaya hidup merupakan langkah
awal dalam manajemen kontrol tekanan darah untuk menurunkan risiko
kardiovaskular. Modifikasi gaya hidup yang meliputi penurunan berat badan,
berhenti merokok, mengurangi konsumsi garam, meningkatkan aktivitas latihan
fisik dan mengurangi konsumsi alkohol merupakan langkah penting dalam
keberhasilan optimalisasi penurunan tekanan darah. Selain itu strategi manajemen
kontrol tekanan darah pasien DM dengan tekanan darah >140/90 mmHg harus
mulai diterapi dengan obat-obat antihipertensi yang sesuai. Pilihan lini pertama
adalah penghambat Renin Angiotensin System (RAS) dalam hal ini ACEi dan
ARB dengan dosis yang dititrasi sampai dosis maksimal dalam waktu 1 bulan jika
target tekanan darah <140/90 mmHg belum tercapai. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kunz dengan membandingkan efek antara ARB dengan placebo,
ACEi, CCB atau kombinasi ARB dan ACEi pada pasien dengan proteinuria,
yaitu pengurangan proteinuria dari ARB dan ACEi adalah serupa (Kunz dkk.,
2008).
21
Renoprotektif sering dihubungkan dengan terapi pada pasien DM dengan
hipertensi, untuk mencegah atau memperlambat perkembangan nefropati diabetik.
Beberapa uji acak terkontrol dengan sampel besar telah menunjukkan potensi
renoprotektif inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACEi) dan angiotensin
receptor blockers II (ARB) pada nefropati hampir di semua etiologi (Tylicki dkk.,
2012). Proteinuria juga disebut albuminuria atau urine albumin adalah suatu
kondisi dimana urin mengandung jumlah abnormal protein. Keberadaan protein
dalam urin (proteinuria atau mikroalbuminuria berdasarkan jumlah dan tipe
protein) merupakan tanda awal yang sensitif dari kerusakan ginjal (Bakris, 2008).
Aspek kunci dari farmakoterapi termasuk manajemen tekanan darah,
blokade sistem renin-angiotensin, minimalisasi proteinuria, dan menghindari
nefrotoksin, sehingga penggunaan beberapa obat antihipertensi sering diperlukan
untuk mencapai tujuan tekanan darah. Kontrol tekanan darah mengurangi
penurunan fungsi ginjal. ACEi dan ARB menawarkan renoproteksi selain
menurunkan tekanan darah. Agen ini juga mengurangi proteinuria, penanda risiko
untuk berkembangnya penyakit ginjal (Bakris, 2008).
Selama ini kajian pencapaian target terapi obat antihipertensi ACEi dan
ARB lebih banyak dilakukan pada pasien hipertensi dan DM yang sudah
mengalami nefropati atau telah mengalami komplikasi lainnya. Berdasarkan
observasi dilapangan diketahui bahwa klinisi di rumah sakit lebih memilih
menggunakan ARB dari pada ACEi walaupun
efek yang dimiliki sama,
sedangkan jika dari dilihat dari aspek farmakoekonomi ARB lebih mahal
dibandingkan ACEi. Berdasarkan latar belakang inilah maka penelitian mengenai
22
perbandingan pencapaian target terapi dengan monoterapi obat antihipertensi
antara ACEi dan ARB sebagai antihipertensi dan renoprotektif pada pasien
hipertensi dengan DM tanpa komplikasi penyerta masih relevan untuk dilakukan.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan dirasa perlu dilakukan
sebuah penelitian untuk menjawab permasalahan :
1.
Apakah terdapat perbedaan dalam mencapai target tekanan darah <
140/90 mmHg sesuai Joint National Committee 8 (2014) antara
ACEi dan ARB pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi?
2.
Apakah terdapat perbedaan antara penggunaan monoterapi ACEi
atau ARB sebagai renoprotektif?
C.
Manfaat Penelitian
Secara umum diharapkan penelitian ini akan memberikan gambaran
kepada pihak rumah sakit dan profesi kesehatan lain mengenai pencapaian target
terapi pada penggunaan monoterapi antihipertensi antara ACEi dan ARB sebagai
renoprotektif. Secara khusus bagi praktisi farmasi klinis diharapkan penelitian ini
dapat membantu pemilihan terapi obat pada pasien DM dengan hipertensi. Dan
memberikan data kepada peneliti
yang akan datang guna membantu
perkembangan pengobatan pasien DM dengan hipertensi.
23
D.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui adakah perbedaan dalam mencapai target tekanan
darah < 140/90 mmHg sesuai Joint National Committee 8 (2014)
antara ACEi dan ARB pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi.
2. Untuk mengetahui adakah perbedaan sebagai renoprotektif antara
ACEi dan ARB pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai obat antihipertensi ACEi dan ARB telah banyak
dilakukan di luar negeri dan masih terbatas di Indonesia, selain itu di Indonesia
sebagian besar penelitiannya bersifat deskriptif. Berikut ini adalah beberapa
penelitian yang pernah dilakukan :
Kunz dkk., (2008)., pada penelitiannya yang berjudul “Meta-analysis:
effect of monotherapy and combination therapy with inhibitor of the reninangiotensin system on proteinuria in renal disease”. Secara RCT dari 49
penelitian
yang
dilakukan
dengan
subyek
berjumlah
6181
orang.
Membandingkan antara ARB dengan placebo, ACEi, CCB, atau kombinasi ARB
dan ACEi pada pasien dengan atau tanpa DM dengan mikroalbuminuria atau
proteinuria yang datanya tersedia pada awal dan pada 1 sampai 12 bulan. Hasil
penelitian didapatkan bahwa ARB dan ACEi adalah serupa dalam pengurangan
kadar proteinuria, tetapi kombinasi mereka lebih efektif dari pada salah satu obat
saja.
24
Vejakama dkk., (2012)., pada penelitiannya yang berjudul
“Reno-
protective effects of renin-angiotensin system blockade in type 2 diabetic patients:
a systematic review and network meta-analysis”. Secara RCT dari 28 studi,
membandingkan hanya ACEi atau ARB monoterapi dengan obat aktif atau
placebo yang mememuhi syarat. Hasil dari ESRD, dua kali lipat serum kreatinin,
komplikasi mikrovaskuler, mikroalbuminuria, makroalbuminuria dan regresi
albuminuria diekstraksi. Hasil penelitian menyatakan tidak adanya perbedaan
antara ACEi/ARB dalam penurunan tekanan darah dan efek renoprotektif
konsisten dari ACEi/ARB lebih dari obat antihipertensi lain, terutama CCB dan
placebo pada DM tipe 2.
Segura dkk., (2003)., pada penelitiannya yang berjudul “Combination is
better than monotherapy with ACE inhibitor or angiotensin reseptor antagonist at
recommended doses”. Dilakukan secara prospektif, Randomised parallel, pada
36 pasien dengan penyakit ginjal primer, proteinuria di atas 1,5 g/hari dan TD >
140/90 mmHg. Pasien diberikan obat ACEi (benazepril) dan ARB (valsartan)
serta benazepril dan valsartan. Dan penambahan antihipertensi lain untuk
mencapai target < 140/90 mmHg. Dengan tujuan perubahan proteinuria selama 6
bulan terapi. Hasil penelitian menyatakan bahwa kapasitas sebagai antiproteinuria
pada monoterapi ACEi atau ARB adalah sama dan lebih rendah dibandingkan
dengan kombinasi keduanya.
Murdiana, (2007)., pada penelitiannya yang berjudul
“Evaluasi
penggunaan obat antihipertensi pada pasien DM tipe 2 di rawat jalan RS. Dr
Muwardi Surakarta”. Dengan metode Prospektif selama 12 minggu pada 106
25
pasien DM tipe 2 dengan hipertensi tanpa komplikasi penyakit penyerta. Dengan
hasil penelitian
diperoleh bahwa obat penghambat ACEi (captopril) paling
banyak digunakan pada pasien DM tipe 2 dan pasien DM dengan hipertensi yang
mencapai sasaran terapi menurut JNC 7 sebesar 3,7% dan dengan menggunakan
terapi ACEi yang paling baik.
Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada
subjek penelitian, karakteristik pasien yang mempengaruhi variabel tergantung,
tempat, waktu, desain studi yang digunakan pada penelitian tentang perbandingan
pencapaian target tekanan darah dan renoprotektif pada monoterapi ACEi dan
ARB di RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda.
26
Download