II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Green Water dan Blue Water Istilah green water dan blue water di dalam Yang dan Zehnder (2008) mulai diperkenalkan oleh Falkenmark (1995) untuk menunjukkan aliran air kembali ke atmosfire melalui evapotranspirasi termasuk air produktif (transpirasi) dan non produktif (evaporasi) langsung dari permukaan tanah, danau, kolam dan air yang terintersepsi oleh tajuk tanaman. Menurut Savenije (2000) di dalam Yang dan Zehnder (2008) yang dimaksud dengan green water menunjukkan jumlah air yang tersimpan di dalam zona tanah tak jenuh. Green water merupakan sumberdaya air untuk pertanian tadah hujan. Blue water menunjukkan jumlah air di sungai, danau, waduk, aquifer. Blue water dipergunakan untuk pertanian irigasi sebagai pengganti curah hujan. (Rockstrom et al., 1999) Menurut Wilibald et al. (2004), green water dapat didefinisikan sebagai bagian dari air hujan yang terinfiltrasi sampai zone perakaran yang digunakan untuk produksi biomasa, atau setara dengan evapotranspirasi. Blue water adalah aliran permukaan, ground water, aliran sungai dan aliran dasar (base flow). Rencana sistem pengelolaan sumberdaya air konvensional fokus pada air dalam cairan (liquid water) atau blue water, sedang konsep terkini membedakan antara dua sumber daya air yaitu blue water dan green water. Blue water adalah air yang tersimpan di aquifer, danau dan bendungan. Green water adalah sumber daya air yang tersedia sebagai kelembaban tanah. Green water dan Blue water saling melengkapi dalam proses aliran air. Blue water mengalir ke sungai 9 dan di dalam lapisan aquifer sedangkan green water diuapkan kembali ke atmosfir (Falkenmark, 2006). Menurut Wilibald et al. (2004), bagian dari green water yang berada di lapisan zona perakaran sebagian akan menambah ke ground water storage. Menurut Yang dan Zehnder (2008) karakterisk blue water dan green water disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karekteristik blue water dan green water Tipe sumberdaya Blue water Green water Sumber Sungai, danau, Air tersimpan didalam zone bendungan, kolam, tidak jenuh yang dapat aquifer dipergunakan untuk evapotranspirasi Perpindahan Sangat tinggi Sangat rendah subtitusi dari Mungkin Tidak mungkin kompetisi pengguna Banyak Sedikit fasitas pengaliran Diperlukan Tidak diperlukan biaya penggunaan Tinggi Rendah sumberdaya Sumber :Yang dan Zehnder (2008) Dalam mendefinisikan sumber daya air saat ini dua pengertian dalam memahami sumber daya air yaitu hidrologis dan agronomis. Menurut orang hidrologis blue water adalah ketersediaan sumberdaya air yang setara dengan aliran air permukaan dan aliran bawah tanah. Green water adalah air hujan yang langsung digunakan dan dievaporasikan oleh lahan kering tanpa irigasi, ladang pengembalaan dan lahan hutan (FAO,1997) Green water dapat ditunjukkan oleh nilai evapotranspirasi aktual atau nilai pengurangan limpasan pada setiap 10 tangkapanan air. Green water secara teoritis adalah air yang diperlukan oleh tanaman (FAO, 1997). Faramarzi et al. (2009) telah menggunakan model SWAT untuk menghitung semua komponen neraca air yang terdiri atas blue water flow (water yield and deep aquifer recharge), green water flow (evapotranspirasi potensial dan aktual) dan green water storage adalah kadar air tanah di setiap DAS dalam periode bulanan. Sumber : Arnorld et al. ( 2005) Gambar 2. Siklus hidrologi dalam suatu DAS berbasis green water dan blue water Menurut Falkenmark dan Rockstro (2006), perbedaan antara komponen green water dan blue water adalah kadar air tanah dan jumlah dari aktual evaporasi (non produktif) dan aktual transpirasi (produktif), sehingga transpirasi merupakan komponen green water. Mengingat hubungan yang erat antara tanah dan tamanan maka total aktual evapotranspirasi merupakan sisi produktif maka dikategorikan sebagai green water. Karena green water berasal dari hasil 11 infiltrasi maka green water merupakan water yield yang memungkinkan untuk dikelola. 2.2. Hutan dan Hasil Air Permintaan sumberdaya air terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk serta adanya degradasi lahan dan polusi lingkungan. Mengetahui secara pasti keberadaan sumberdaya air dalam suatu DAS sangat penting sekali untuk memperkirakan nilai keamanan pangan, keamanan energi dan perencanaan jangka panjang sumberdaya air dalam suatu DAS. Pemetaan berdasarkan ruang dan waktu serta skenario perubahan penggunaan penutupan lahan merupakan kebutuhan yang sangat mendesak saat ini. Kelangkaan air yang terjadi akan mengancam tingkat keamanan pangan, kesehatan dan kelangsungan industri. Kelangkaan air akan semakin meningkat dengan adanya perubahan iklim dan kerusakan DAS (Rosegrant, 2002). FAO dan CIFOR (2005) telah mengeluarkan publikasi yang menghubungkan antara hutan dan banjir yang seolah-olah bertentangan dengan kearifan lokal. Masih banyak permasalahan dalam hidrologi hutan terutama di tropika yang masih belum dapat diterangkan sepenuhnya oleh ilmu pengetahuan sehingga diperlukan kajian dan penelitian yang mendalam tentang hubungan antara luas hutan dan hasil air dalam suatu DAS di wilayah Tropika. Hubungan antara hutan dan hasil air belum sepenuhnya jelas karena masih ada dua kubu yang saling berbeda pendapat, kubu pertama menyatakan luasan hutan berkorelasi positif terhadap jumlah air dan kubu kedua berpendapat sebaliknya. Fakta di daerah Sub Tropik menunjukkan bahwa hutan mereduksi debit maksimum, akan tetapi tidak meningkatkan water yield tahunan. Hubungan 12 antara hutan dan banjir serta pengaturan air dengan adanya hutan perlu kajian yang lebih mendalam terutama di daerah Tropika karena masih sedikitnya publikasi tentang penelitian ini. Fenomena banjir saat ini lebih banyak berhubungan dengan iklim dan geologi. Secara keseluruhan riset tentang hidrologi hutan selalu mengatakan bahwa semakin banyak hutan semakin banyak air, hal ini didasarkan pada pemahaman dan pengertian yang salah tentang siklus hidrologi di dalam tegakan hutan. Tajuk hutan akan mengurangi air tanah dan aliran batang dan menguapkannya air dari permukaan daun (Hamilton, 1982). Adanya kabut di atas permukaan daun menyebabkan terjadinya tambahan jumlah air dalam suatu DAS sehingga jumlah kabut yang tertangkap menambah jumlah persediaan air (Bruinjnzeel, 2004). Hubungan antara hutan dan air berdasarkan penelitian di Eropa telah membuktikan bahwa dengan adanya hutan debit air akan meningkat (Molchanov, 1966). Di lain pihak, beberapa hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Bosh dan Hewlett (1982) dalam Fauzi (1987) memperlihatkan hasil yang sebaliknya. Gilmour et al. (1982), berdasarkan hasil penelitian di Queens land di bagian utara Australia, menyatakan bahwa penebangan hutan mengakibatkan kenaikan aliran permukaan sebesar 10 % atau 297 mm/tahun. Hubungan antara vegetasi hutan dan hasil air menurut Buytaert et al. (2007), akibat penanaman hutan Pinus patula di Sub DAS Paute di Paramos Equador Selatan menyebabkan berkurangnya water yield 50 % atau setara dengan 242 mm/tahun. Hasil penelitian akibat penebangan hutan terhadap perilaku air di daerah Tropis khususnya di Asia Tenggara pernah dilakukan oleh Nik (1988) di Semenajung Malaysia. Penelitian yang dilakukan di tanah ultisol, dengan tekstur 13 tanah bervariasi antara lempung berpasir sampai liat berpasir, dengan curah hujan 2.125 mm/tahun menunjukkan bahwa konsumsi air oleh vegetasi di tempattempat terbuka akibat aktivitas pembalakan masih tetap lebih kecil daripada konsumsi air oleh vegetasi di hutan yang tidak ditebang serta daerah yang ditebang menunjukkan adanya kenaikan aliran lambat pada musim kering. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di daerah Sub Tropik dan daerah dengan kondisi 4 musim seperti yang dilakukan dengan penanaman menggunakan jenis Pinus radiata di Glendu, New Zeland menurut Rowe (2003) dengan total curah hujan 1.340 mm/tahun, total perubahan 75 % tanaman rumput menjadi hutan P. radiata telah mengakibatkan berkurangnya hasil air pada tahun 1991 sebesar 235 mm/tahun. Sementara di daerah Purukohukohu hasil air yang hilang mencapai 230 mm/tahun. Penelitian Arief et al. (1991) di daerah Cikeruh, Sumedang–Jawa Barat menunjukkan bahwa Sub DAS yang ditanami P. merkusii mempunyai water yield 312 mm, sedangkan pada DAS pertanian pada kondisi geologi dan topografi yang sama mempunyai water yield 37 mm, sedangkan pada DAS dengan penutupan lahan campuran water yield 242 mm, dan pada daerah Cigulung-Maribaya pada kondisi penutupan lahan campuran water yield 254 mm, sehingga dengan demikian DAS berhutan lebih banyak menyimpan air tanah. Hasil penelitian Pudjiharta (1986) di daerah Cipandarum (1.750 m dpl) di RPH Cipatuha, Ciwidey, Bandung menunjukkan bahwa tegakan P. merkusii air yang hilang ke udara sebesar 1.666 mm/tahun atau setara dengan 52,49 % dari total curah hujan, sebagian lagi diresapkan ke dalam tanah dan akhirnya menjadi debit sebesar 1.505 mm atau setara dengan 47,51 %. Pada kondisi tanah dan 14 iklim yang sama tegakan E. urophylla menghasilkan air 64,07 % atau setera 2.034 mm dan kehilangan air ke udara hanya 1.041 mm/tahun, dan pada tegakan S. wallichii mampu mengeluarkan air 74,6 % atau 2.368.3 mm/tahun dan kehilangan air ke udara di bawah tegakan tersebut sebesar 25,4 % atau setara dengan 806,6 mm/tahun. 2.3. Model SWAT (Soil Water Assessment Tools) Pemodelan SWAT dikembangkan oleh United State Departemen of Agricultural-Agricultural Research Services (USDA-ARS) yang menggabungkan antara model Chemicals Run off and Erosion from Agricultural Management Systems (CREAMS) yang dikembangkan oleh Knisel (1980) dan model Groundwater Loading Effects on Agricultural Management System (GLEAMS) yang dikembangkan oleh Leonard et al. (1987) dan gabungan model Environmental Impact Policy Climate (EPIC) oleh Izaurralde et al. ( 2006) dan model Simulation for Water Resouces in Rural Basins (SWRB) yang dikembangkan oleh Arnold dan Wiliams (1987). Model SWAT terus berkembang dan menggabungkan model kinematik untuk distribusai aliran dan kualitas air dengan model QUAL2K. Model SWAT melakukan pemodelan pada berbagai tipe penutupan lahan, tanah, topografi dan bentuk DAS. Pada studi DAS umumnya akan dilakukan klasifikasi berdasarkan tipe penutupan lahan dominan dan jenis tanah dominan. Perhitungan limpasan menggunakan dengan metode Soil Conservation Cervices (SCS) dan modifikasi nilai curve number (CN) yang telah berhasil digunakan pada berbagai tipe group hidrologi (Gassman et al., 2007). Pemodelan SWAT digunakan interface dengan AVSWAT2000 (Luzio et al., 2001). 15 Model SWAT berbasis DAS, kontinyu dengan step waktu harian, yang didesain untuk mengatur sumberdaya air, sedimen, dan limbah kimiawi dari pertanian dalam suatu DAS. Pemodelan SWAT dapat mensimulasikan dalam jangka waktu lama, efisien, dengan komponen model yang terdiri dari parameter cuaca, hidrologi, tanah, nutrient, pestisida, bakteri patogen dan sistem pengolahan tanah (Gassman, 2007). Simulasi hidrologi dalam suatu DAS hanya dapat diterima apabila telah dilakukan validasi dan kalibrasi secara statistik. Data debit umumnya digunakan untuk melakukan kalibrasi model. Untuk melakukan validasi dan kalibrasi umumnya digunakan regresi dan nilai determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe model Efficiency (NSE) coefisien (Nash dan Sutcliffe, 1970). Nilai R2 menggambarkan hubungan seberapa jauh antara hasil simulasi dan hasil pengamatan yang nilainya antara 0-1. Nilai NSE berkisar antara -∞ sampai 1 dan hubungan seberapa jauh hasil pengamatan dan keluaran model dapat diterima apabila mendekati 1. Kalibrasi dapat dilakukan baik secara otomatis maupun manual. Salah satu cara kalibrasi yang otomatis adalah dengan menggunakan teknik kalibrasi dan analisis ketidakpastian model simulasi menggunakan algoritma optimasi Sequential Uncertainty Fitting Ver.2 (SUFI2) yang sudah tercangkup dalam SWAT-CUP (Abbaspour et al., 2008) Menurut Schuol et al. (2008), aplikasi model SWAT dan prosedur kalibrasi SUFI2 telah berhasil menghitung ketersediaan air di daratan Afrika. Pemodelan dengan SWAT dalam dekade terakhir telah diterima dan lebih banyak keahlian yang terlibat. Model SWAT telah diadopsi dan merupakan bagian dari US Protection Environmenatl Agency (US-EPA) dan telah menjadi paket untuk 16 mengintegrasikan point dan non point sources. Pengembangan model SWAT sangat terkait dengan sistem pengembangan SIG, perubahan iklim dan hidrologi, polutan, teknik-teknik kalibrasi dan analisis sensitivitas (Gassman et al., 2007).