Habitat Korupsi REPUBLIKA, Rabu, 22 September 2010 pukul 09:31:00 Adnan Topan Husodo (Wakil Koordinator ICW) Perbedaan mendasar dari kejahatan korupsi dibandingkan kejahatan kriminal lainnya terletak pada dua hal. Pertama, kejahatan korupsi identik dengan white collar crime yang artinya pelaku korupsi adalah orang-orang yang pintar, terpandang, dan memiliki posisi khusus di tengah masyarakat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, mereka selalu bisa dan berupaya berkelit dari jerat korupsi yang dituduhkan dengan berbagai cara, baik melalui strategi impunitas politik karena kekuasaan yang dimilikinya, sogok-menyogok dengan aparat penegak hukum, hingga mengerahkan para pengacara paling hebat untuk membelanya. Kedua, korupsi adalah kejahatan kalkulatif. Pelakunya sudah memperhitungkan dengan matang segala risiko dan keuntungan yang bisa diperolehnya sebelum kejahatan itu dilakukan. Karena itu, tinggi rendahnya tingkat korupsi di sebuah negara akan sangat ditentukan oleh besar kecilnya risiko serta keuntungan yang didapat. Jika risiko melakukan korupsi lebih besar daripada apa yang didapat, pelaku cenderung menahan diri untuk tidak berbuat. Dalam situasi semacam ini, korupsi akan bisa ditekan pada titik yang paling rendah karena lingkungannya tidak mendukung sama sekali. Sebaliknya, jika risiko berbuat korupsi lebih kecil daripada keuntungan yang diperoleh, pelaku cenderung berani untuk melakukannya. Risiko korupsi inilah yang kita sering sebut sebagai efek jera. Extraordinary yang biasa Pemberantasan korupsi selalu dikaitkan dengan upaya membangun efek jera bagi para pelakunya. Dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary). Akan tetapi, secara praktis, kita tidak pernah melihat negara (pemerintah) telah memberlakukan penanganan korupsi yang juga luar biasa. Sebaliknya, pemberantasan korupsi cenderung tak berkiblat pada fondasi hukum yang menempatkannya sebagai kejahatan extraordinary. Fenomena pemberian remisi atau grasi oleh pemerintah bagi para pelaku korupsi adalah refleksi dari rendahnya komitmen untuk menangani korupsi secara luar biasa. Potongan hukuman bagi pelaku korupsi bukan hanya telah melecehkan rasa keadilan publik, tetapi juga bertolak belakang dengan semangat untuk membangun efek jera. Bandul politik dengan hukum dalam memberantas korupsi sahut-menyahut, bukan untuk membuat pelaku korupsi tak berani lagi berbuat, justru menyuburkan habitat korupsi yang hendak diberantasnya. Tak heran jika angka penyimpangan keuangan negara dari tahun ke tahun terus meningkat. Koruptor yang ditangani penegak hukum telah diproses, tapi korupsi seperti endemi yang sulit untuk diberantas. Korupsi, lantas bebas Ironi pemberantasan korupsi dapat dilihat pada data pemantauan ICW pada semester I 2010 (Januari-Juli 2010) terhadap kinerja pengadilan umum dalam menangani kasus korupsi yang mempertegas gagalnya efek jera bagi koruptor. Dari 166 terdakwa korupsi yang sudah disidang oleh pengadilan umum, sebanyak 54,8 persennya mendapatkan vonis bebas. Jika kemudian hakim memberikan vonis hukuman bagi koruptor, rata-rata hukuman yang diperoleh hanya berkisar 12 bulan atau satu tahun. Putusan ringan bagi koruptor akan menjadi kian menguntungkan karena kebijakan remisi yang dikeluarkan pemerintah tiap-tiap hari besar, khususnya pada hari kemerdekaan RI dan hari raya. Harus diakui bahwa data di atas tidak mencerminkan keseluruhan data terdakwa korupsi yang tersebar di Indonesia. Akan tetapi, fenomena koruptor bebas dan ringan hukumannya bisa memberikan gambaran umum bahwa agenda pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi tantangan berat. Tetap kaya raya Sebenarnya, di luar masalah vonis bebas dan hukuman yang sangat ringan, koruptor juga memiliki celah lain yang bisa dimanfaatkan untuk menikmati hasil korupsinya secara mudah. Jika dalam putusan majelis hakim pelaku korupsi tidak dapat membayar uang denda dan uang pengganti sebagaimana yang dituntut oleh JPU, hal itu bisa diganti dengan penambahan hukuman kurungan badan yang masanya tak seberapa. Sementara itu, upaya penyelamatan uang negara (asset recovery) dari hasil korupsi masih kurang mendapatkan perhatian publik. Langkah mendeteksi kekayaan milik koruptor juga tidak mudah dilakukan. Lamanya proses hukum sejak penyelidikan hingga penetapan tersangka telah memberikan kesempatan bagi pelaku korupsi untuk memindahtangankan kekayaan hasil korupsinya kepada pihak lain. Jika proses layering atas hasil korupsi (dirt money) sudah dilakukan sebelum pelakunya ditetapkan sebagai tersangka, sulit bagi penegak hukum untuk melakukan penyitaan atau pembekuan aset. Tak heran jika pelaku korupsi, meskipun sudah menjadi tersangka, dia atau keluarganya masih bisa mengikuti kontestansi pilkada yang mensyaratkan biaya besar dan ongkos politik yang mahal, sekaligus menjadi pemenang karena harta yang ia miliki tidak atau belum dapat disita oleh penegak hukum karena mekanisme asset tracing dan asset recovery yang cukup merepotkan. Paradoks dari agenda pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan lingkungan politik dan hukum kita justru tidak mendukungnya. Kondisi inilah yang membuat pelaku korupsi selalu berada di atas angin. Pemberantasan korupsi yang tidak melahirkan efek jera telah menyediakan lahan dan habitat yang subur bagi berkembangbiaknya virus korupsi. Engkau mendapatkan apa yang kau jarah, acquiris quodcumque rapis.