1 A. PENDAHULUAN “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Qur’an, 2 : 216) "Anything that I say about Islam as a living faith is valid only in so far as Muslims can say 'amen' to it". (Wilfred Cantwell Smith) Melakukan kajian tentang perkembangan pemikiran tentang orientalisme dan oksidentalisme bukanlah hal yang mudah. Meskipun kajian Orientalisme telah berkembang cukup lama namun untuk melacak dinamika intelektualismenya harus melibatkan banyak elemen dan beberapa variabel. Karena meski akar-akar kajian orientalisme relatif sama namun ekspresi yang ditampilkan oleh pakar-pakar orientalisme ternyata sangat beragam. Telah terjadi proses pemahaman yang kurang simpatik mengenai Barat dari sebagian umat Muslim sendiri. Di samping faktor trauma akibat aksi kolonialisme klasik, lahirnya modernitas barat dengan segala konsekuensinya masih dihadapi secara konservatif oleh umat Muslim yang berpandangan fundamentalis. Pemahaman Islam intelektual Barat, kata alwi, umumnya sangat stereotipikal: Islam adalah agama yang menghalalkan kekerasan dan disebarkan dengan pedang, menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri, membolehkan poligami, tidak menghargai perempuan, dan berada dibalik tindakan terorisme.1 Telah banyak beredar karya tulis yang membeberkan bahaya pandangan negatif para orientalis kepada umat islam. Bagi sebagian orientalis, Islam dinilai sebagai agama hasil jiplakan ajaran-ajaran Yahudi-Kristen di satu pihak, dan gabungan tradisi Persia-Aria dan peradaban dipandang rendah karena hanyalah residu buruk dari peradaban Byzantium Kristen. Persepsi orientalis ini, menurut A. Tibawi, cendikiawan Muslim asal Tunisia yang berpendidikan Barat, adalah kecemasan bahkan kebencian mereka terhadap Islam yang tampil sebagai rival utama bagi agama Yahudi dan Kristen. Sementara Edward Said, cendikiawan Arab Kristen dan pengarang buku Orientalisme, lebih jauh menjelaskan bahwa terdapat beberapa asumsi dasar atau “dogma” dalam pemikiran para orientalis dalam interaksi intelektual mereka dengan Islam. Antara lain 1 vii Alwi Shihab, Islam Inklusif(Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama), Mizan,Bandung:1999, cet ke-v, hlm 2 adalah dogma yang mengatakan bahwa ciri dunia Barat adalah rasional, berpikiran maju, berprikemanusiaan, dan karenanya lebih unggul dari dunia orient (Timur, termasuk Islam) yang disebut memiliki ciri statis, irasional, dan terbelakang. Di samping buku Said, sederetan karya tulis Islam khususnya dalam bahasa arab yang bertemakan istishraq atau mushtariq (orientalisme) telah bermunculan. Karya-karya tersebut pada dasarnya memperingatkan umat islam bahwa orientalisme yang berlindung dalam “selimut objektivitas ilmiah” dan penelitian yang bersifat rasional tidak jarang menyisipkan agenda utamanya, yakni membendung pengaruh Islam dimana-mana. Tanpa mengesampingkan kekhawatiran para intelektual Muslim akan bahaya agenda orientalisme yang terselubung, perlu dicatat nama besar dari kalangan orientalis yang menunjukkan kecenderungan positif terhadap perdaban Islam. Salah satu di antara mereka adalah Montgomery Watt, yang berusaha menggugat mispersepsi, prasangka, serta citra keliru Barat Kristen terhadap Islam. Karya-karyanya di seputar tema tersebut adalah Muslim Christian Encounter: Perception and Misperception dan The Influenceof Islam in The Medieval Europe.2 B. PEMBAHASAN 1. Pengertian, Sejarah dan Pandangan Kritis Islam Orientalisme a. Pengertian Orientalisme dan Sejarah Orientalisme Paling tidak ada tiga istilah yang berkaitan dengan orientalisme. Ketiga istilah itu adalah: Orient. Orient berarti wilayah timur, bangsa Timur atau kebudayaan Timur. Kata ini berlawanan dengan istilah Occident yang artinya barat, bangsa Barat atau kebudayaan Barat. Orientalist. Orientalis adalah pada sarjana atau ahli tentang ketimuran. Mereka ini mempelajari budaya ketimuran. Mereka terdiri dari filolog, sosiolog, antropolog, linguism saitist dan juga teolog. Awalnya adalah studi ilmiah yang bersifat obtektif dan akademis. Namun sulitnya tujuan mulia itu kemudian diboncengi 2 Ibid hal. 289 3 dengan kepentingan yang tidak baik misalnya kapitalisme yang muaraya menjadi kolonialisme Orientalism. Kata ini berasal dari kata Orient (timur) dan isme (paham). Jadi orientalisme adalah ideologi atau paham ketimuran. Dari pengertian itulah maka orientlisme mempunyai banyak pengertian Orientalisme adalah suatu gaya berfikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara “Timur” (the Orient) dan ‘Barat” (The Occident). Dalam makna lain "Orientalisme merupakan suatu gerakan yang timbul di zaman modern, pada bentuk lahirnya bersifat ilmiyah, yang meneliti dan memperdalam masalah ketimuran. Tetapi di balik penelitian masalah ketimuran itu mereka berusaha memalingkan masyarakat Timur dari Kebudayaan Timurnya, berpindah mengikuti keinginan aliran Kebudayaan Barat yang sesat dan menyesatkan.3 Menurut Endang S. Anshari mengutip pendapat Ali Husni Al-Kharbuthli bahwa tujuan orientalisme mempelajari Islam adalah sebagai berikut: Untuk kepentingan penyebaran agama Kristen Untuk kepentingan penjajahan Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata. Sedangkan Dr. Mustafa as-Siba’i, ketua jurusan Fiqih Islam di Universitas Damaskus mengatakan bahwa orientalisme dan kaum orientalis memiliki motif sebagai berikut : Dorongan keagamaan, misalnya para pendeta katolik Roma dan Vatikan Dorongan penjajahan, misalnya C. Snouck Hurgronje di Indonesia Dorongan politik seperti perwakilan-perwakilan blok Barat dan blok Timur Dorongan ilmiah4 3 Edwar W. Said, Orientalisme(Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur Sebagai Subjek ), Pustaka Pelajar, Bandung: 2010. hal 3 4 Prof. Dr. SUPIANA, M.Ag., Metodologi Studi Islam, Jakarta :Subdit Kelembagaaan Direktorat Pendidikan Tingggi IslamDirektorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI: 2012. Cet keii. hal. 261 4 Adapun mengenai sejarah lahir dan berkembangnya orientalisme dapat dibagi ke dalam tiga fase penting, yaitu (1) Masa sebelum perang salib di saat umat Islam berada dalam masa keemasan (650-1250), (2) Masa perang salib sampai pencerahan Eropa, (3) Masa pencerahan sampai masa kontemporer. Perhatian Barat sebenarnya telah ada pada saat sebelum perang salib. Hal ini dapat dilihat dari ekspedisi Alexander The Great yang menguasai daerah antara lain Asia Kecil, Libya, Mesir, Asia Tengah, hingga India dan Tiongkok. Selain melakukan ekspedisi militer, Aleksander juga banyak mengambil kepustakaan, agama, kebudayaan dan lainnya dari daerah tersebut. Dari hal ini sebenarnya telah ada kajian atau perhatian Barat terhadap dunia timur. Perhatian terhadap Islam juga muncul pada masa keemasan Islam terutama di Spanyol.Hal ini dapat terlihat misalnya dari pemakaian bahasa Arab dan adat istiadat Arabdalam kehidupannya. Anak-anak mereka kebanyakan menempati perguruanperguruan Arab. Bahkan raja Normandia, Roger 1 menjadikan istananya sebagaitempat pertemuan para filosof, dokter dan ahli-ahli Islam lainnya. 5 b. Cara Pandang Orientalisme (Melihat Islam Kritis) Sarjana-sarjana Barat tampaknya amat tertarik dengan dinamika umat Muslim di dunia ini. Fenomena ini telah muncul sejak lama ketika sarjana Barat merasa perlu melakukan sikap pertahanan diri atas keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka memandang perlu melakukan pengkajian Islam berdasarkan bagaimana Islam dipahami oleh umatnya. Pemahaman dan langkah penelitian dengan dasar bagaimana Islam dipahami oleh umatnya ini dikenal dengan pendekatan fenomenologi. Mereka sadar bahwa selama ini banyak sarjana Barat telah melakukan pendekatan yang salah karena mereka menggunakan paradigma dan teori Mereka sendiri dalam mengkaji Islam sehingga pembahasannya menjadi bias, tidak lagi objektif berdasarkan realitas Islam yang dipahami dan diamalkan oleh umat islam.6 Ada dua hal yang perlu dicermati dalam kaitannya dengan cara pandang Orientalisme: 5 (Wahyudin,2004:58) dikutip oleh Prof. Dr. SUPIANA, M.Ag., Metodologi Studi Islam, Jakarta :Subdit Kelembagaaan Direktorat Pendidikan Tingggi IslamDirektorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI: 2012. Cet ke-ii. hal. 262 6 Ibid. Hal 263 5 Korelasi antara orientalisme dan imperialisme yang biasanya berujung pada konflik Islam dan Kristen di abad pertengahan. Hal ini belakangan sangat mempengaruhi suasana psikologis umat Islam yang merasa “inferior” di hadapan “superioritas” Barat. Aspek yang berkaitan dengan kondisi-kondisi obyektif, baik historis maupun metodologis, yang menggerakkan secara internal kecenderungan sarjana Eropa yang kemudian melahirkan apa yang disebut Hassan Hanafi sebagai eurosentrisme.7 Pemikiran orientalisme terhadap Islam sebagaimana diuraikan di atas, mengindikasikan ke arah imperialisme atau tujuan-tujuan lain dengan sejumlah dogmadogma orientalisme. Hal ini jelas-jelas tidak bisa dipertahankan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini dan menimbulkan pengertian yang menyesatkan. Asumsi negatif ini misalnya analisis Montgomery Watt tentang orientalisme terhadap Islam adalah sebagai berikut; (1) Islam adalah agama palsu dan tidak benar, (2) Islam disiarkan dengan kekerasan dan pedang, (3) Muhammad adalah musuh kristus, (4) Islam adalah agama yang memanjakan diri, dan seterusnya.8 Selain asumsi dan peryataan negatif orientalisme di atas, masih banyak juga dogma-dogma orientalis yang lain yang menyudutkan dan merendahkan kaum muslimin seperti anggapan bahwa Barat serba rasional, maju, manusiawi, superior, sedangkan Timur serba sesat, irasional, terbelakang, dan inferior. Menurut anggapan mereka hanya orang Eropa dan Amerika saja yang merupakan manusia penuh, sedangkan orang-orang AsiaAfrika lainnya bertaraf setengah manusia, bahkan dishuman. Timur dianggap begitu lestari, seragam, dan tidak sanggup mendefinisikan diri sehingga Barat-lah yang berhak mendefinisikan Timur secara objektif dan seterusnya.9 Demikian beberapa pandangan orientalis tentang Islam yang tipikal dan sering digunakan untuk tujuan imperialisme, baik itu bersifat fisik maupun budaya atau pemikiran (gazwah al-fikr), yang secara sosiologis maupun psikologis tentunya masih mempunyai pengaruh hingga saat ini. Oleh karena tujuan orientalisme pada masa lalu di antaranya memang jelas-jelas untuk kepentingan imperialisme, seperti dilakukan oleh Snouck Hurgronje, sewaktu bertugas di wilayah Hindia Belanda, yang dilakukan oleh Lutherian Jerman C.H. Becker yang banyak terlibat dalam politik kolonial Jerman sebelum 7 Hassan Hanafi, Oksidentalisme Sikap Kita Terhadap TradisiBarat( judul asli “Muqaddimah fî ‘Imi al-Istighrâb), penerjemah M. Najib Bukhori, Jakarta: paramadina, 2000.hal 63 8 Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga PostModernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hal,198-200 9 Amin Rais, Runtuhnya Sendi-sendi Orientalisme dalam Cakrawala Islam .Bandung: Mizan, 1987.hal, 238 6 perang dunia I, atau yang dilakukan oleh L. Masignon, yang bertugas sebagai penasihat departemen urusan kolonial dalam pemerintahan Prancis. Pada umumnya para orientalis yang bertugas seperti itu berada di Belanda, Inggris, Jerman, Prancis yang pada abad ke-19 dan ke20 memiliki tanah jajahan yang luas sekali.10 Tokoh outsider/orientalis lainnya yang mengkaji Islam terutama dari aspek esoterik atau sufisme adalah Louis Massignon.Ia menulis salah seorang tokoh sufi besar Islam yaitu al- Hallaj. Dalam bukunya The Passion of al- Hallaj Louis. Dalam kajiannya Massignon memulai pembahasannya mengenai ringkasan biografi al-Hallaj. Pada bagaian ini dimulai dengan prolog dan catatan kronologis kehidupan Hallaj dan warisan yang ditinggalkannya. Pada bab dua dalam bukunya dibahas mengenai tahun-tahun magang dan menimba ilmu, termasuk guru dan sahabat-sahabat al- Hallaj.Dalam bab ini dibagi ke dalam tiga sub- bab yaitu mengenai lingkungan asal, lingkungan budaya Basyrah, Anekdot masa belajar. Pada bab tiga dibahas perjalanan dan apostolasi al- Hallaj.Didalamnya dibahas tentang model perjalanan, dua periode ceramah publik di Ahwaz, Daerah lain yang dijelajahi, Ekspresi sosial al-Hallaj, dan haji terakhir Hallaj. Pada bab empat berisi tentang dakwah yang penuh semangat dan tuduhan politis. Terdiri dari pembahasan tentang Baghdad, khutbah publik di Baghdad, Tuduhan politis. Pada bab lima dibahas tentang tuduhan, pengadilan dan para aktor yang terlibat. Dalam bab ini disebutkan tentang tuduhan dan inisiatif ibn Dawud, Definisi Zandaqa, Otoritas kekuasaan dan pendelegasiannya kepada sebuah lembaga pengadilan. Bab enam dibahas mengenai pengadilan, dalamnya berisi catatan kritis sumber-sumber historis pengadilan, kemudian dibahas pengadilan pertama, delapan tahun penantian, pengadilan kedua,dan keputusan pengutukan. Pada bab enam dibahas tentang kesyahidan.11 Lebih lanjut pendekatan dalam kajian teologis yang bersumber dari tradisi dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama. Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisa dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim. Keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan sesuai dengan perkembangan keilmuan di Barat, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam, di Barat. Dengan dapat dipahami 10 A. Muin Umar, Orientalisme ,Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hal. 56. Prof. Dr. SUPIANA, M.Ag., Metodologi Studi Islam, Jakarta :Subdit Kelembagaaan Direktorat Pendidikan Tingggi IslamDirektorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI: 2012. Cet keii. hal. 265 11 7 bahwa wajar kalau hasil kajian para orientalis tersebut tidak menyentuh pada aspek internal pemeluknya, karena memang pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sejarah agamaagama (jika memakai pendekatan menurut Asyumardi Azra). Pada perkembangan selanjutnya, setelah orientalis dikritik baik secara pendekatan keilmuan maupun keburukan-keburukan (niat jahat) menjadi terbongkar, kini orientalisme menjadi obyek kajian. Kajian orientalisme sebagai obyek yang dilakukan dibeberapa universitas Muslim pada tahapan-tahapan selanjutnya mengilhami studi lebih lanjut akan budaya Barat yang dilihat dari sudut pandang persepektif “selain Barat”. 2. Pengertian, Sejarah dan Jawaban atas Islam Sejati Terhadap Oksidentalisme a. Pengertian dan Sejarah Oksidentalisme Secara etimologis occident berarti “arah matahari terbenam”. Kata ini berasal dari kata latin occidents dari kata occido atau occidere yang berarti turun, memukul, membunuh, menghancurkan, terbenam, barat, atau senja. Occidental berarti “ segala sesuatu yang berhubungan dengan occident atau barat seperti kebudayaan, pandangan hidup,dan sudut pandang. Occidentalisme berarti “watak, kultur, adat istiadat, dan lain sebagainya dari occident”. 12 Menurut Mukti Ali, oksidentalisme itu adalah teori-teori dan ilmu-ilmu tentang agama, kebudayaan, dan peradaban barat. Agama disini difokuskan kepada agama kristen baik katolik atau roma katolik maupun kristen protestan maupun yahudi13. Menurut prof Dr. Burhanudin Daya pengertian oksidentalisme sebagai “suatu aliran atau paham yang berkaitan dengan pengkajian akademik terhadap pengetahuan tentang dunia barat seisinya yang secara akademik dilakukan para ahli dari timur dengan cara pandang timur. 14 Oksdentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakab al-naqish) pada ego dengan kompleksitas 12 Prof.Dr.Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar Oksidentalisme, Suka Press, 2008. Hal 88- 89 13 Ibid, hal 96 14 Ibid, 99- 100 8 superioritas (murakab al-‘uzma) pada pihak the other. Oreintalisme lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan dengan Oksidentalisme, yag tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Berbicara tentang latar belakang dan sejarah munculnya oksidentalisme tidak bisa kita lewatkan begitu saja sejarah kecemerlangan peradaban islam dan masa kegelapan peradaban dunia barat. Sejarah telah mencatat era kecemerlangan dunia timur khususnya peradaban islam, bahkan peradaban keilmuan barat berhutang budi dengan peradaban keilmuan islam. Dan ini tidak bisa dipungkiri lagi, Kita ingat masa-masa kegelapan dunia barat sebelum masa kebangkitan. Doktrin gereja sangat mendominasi dan mengekang kebebasan mereka dalam bertindak bahkan dalam berpikir, semuanya harus sejalan dengan ajaran gereja yang menjadikan bangsa barat terbelakang dari peradaban lainya. Peradaban islam waktu itu sangat bertolak belakang dengan peradaban barat, peradaban islam sangat mencolok dan maju pesat bak anak panah. Universalnya islam telah mengubah bangsa timur dari bangsa yang terbelakang dan primitif menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama, pemerintahanpolitik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Keadaan ini membuat para pemikir dan cendikiawan barat (bisa disebut oreantalis masa awal) yang sudah bosan dengan doktrin gereja yang kadang tidak sesuai dengan nalar telah terinspirasi serta melirik peradaban islam dan mempelajarinya, mereka hijrah ke wilayah kekuasaan islam dan belajar dari ilmuan-ilmuan islam, maka lambat laun setidaknya dalam beberapa periode telah merubah wajah barat dari kungkungan kegelapan. Ketika bangsa Barat mulai bangkit dari keterbelakangan mereka (renaissance) setelah belajar dari dunia timur khususnya peradaban islam dunia islam mulai keropos sedikit demi sedikit dan terus terpuruk disebabkan pemimpin-pemimpin islam yang lemah. Setelah peradaban islam dihancur-ludeskan oleh pasukan Tartar (bangsa Mongol). Maka barat semakin menunjukkan jayanya dan terus berkembang hingga abad ini. Dari sini muncul tokoh-tokoh oreantalis (pengkaji peradaban ketimuran) yang dengan seiring perjalanan waktu telah berubah menjadi suatu kajian yang bukan hanya mempelajari keilmuan peradaban timur tapi semua yang terkait dengan ketimuran termasuk bagaimana cara menguasai dunia timur (islam) dan penjajahan. 9 Dalam sejumlah karya orientalis, yang lebih banyak ditonjolkan ialah unggulnya orang-orang Barat serta mengerdilnya segala yang terkait dengan Timur khususnya islam. Mereka senantiasa mengemukakan orang-orang Timur tidak berbudaya, bodoh, keras, kasar, dan tidak punya potensi, untuk membuktikan ini para oreantalis telah mendistorsi sejarah dan mengagungkan kemajuan peradaban mereka serta menghilangkan jejak bahwa mereka pernah belajar dari Timur (islam). Misalnya mereka (oreantalis) telah membaratkan nama seorang tokoh ilmuan islam seperti Ibnu Sina menjadi Avecina, Ibnu Rusd menjadi Averos dan sebagainya. Atas dasar itu, muncul kesadaran baru di dunia Timur (pemikir dan pembaharu islam) bahwa selama ini mereka dibodohi kajian-kajian ketimuran (orientalisme) itu. Lahirlah apa yang disebut kajian kebaratan atau yang dikenal dengan istilah oksidentalisme. b. Jawaban Oksidentalisme Sejak penjajahan Barat, baik melalui pemikiran dan kekuatan ideologi (Kapitalisme dan Sosialisme) yang menguasai kawasan muslim, lambat laun membangkitkan umat dari tidur panjang sejarah peradaban. Modernitas telah menjadi realitas yang tidak bisa lagi ditolak kemunculannya, dan menjadi tantangan besar agama-agama (termasuk Islam) dalam menjawabnya. Lalu, dalam dunia Muslim diperhadapkan pada dua masalah besar, yaitu melawan hegemoni Barat (dalam bentuk ideologisasi dan orientalisme) dan menumbuhkan tradisi pemikiran dengan pendekatan ijtihad dan rasionalisme dalam metode berfikir umat menuju peradaban Islam. Dalam filsafat kontemporer Arab, berbagai madzhab kemudian banyak bermunculan setelah dibangunkannya umat dari kesadaran melawan kolonialisme Barat. Muncul pemikir besar, semisal Jalaluddin Al-Afghani (1838-1879 M) dan Muhammad Abduh (1848-1905 M), yang mencoba menjalankan agenda modernis untuk menghubungkan Islam dengan bentuk kehidupan yang sesuai dengan masyarakat ilmiah modern. Dari sini kemudian diskusi seputar konfontrasi Islam dan modernitas menjadi perbincangan yang menarik. Terjadi dua kubu yang berlawanan dalam memahami modernitas, ada yang cenderung fundamentalis dan ada yang berupaya berfikir secara “liberal”, dan mencari pola hubungan yang rasional antara Isam dan Barat. Oksidentalisme dan Kiri Islam Hassan Hanafi, gagasan Hassan Hanafi yang lebih banyak berorientasi pada praksis dan wacana pembebasan. Orang banyak mengkritik Hassan Hanafi karena tidak adanya metodologi yang dipakai dalam menganalisa relitas sosial dan 10 menafsirkan teks keagamaan. Ia sering mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada metodologi yang dipakainya. Bahwa apa yang selama ini dilakukan olehnya adalah sebagai pembuka atas keadaan umat Islam (dan Arab), dari keadaan inferior menjadi setara dengan Barat, dari kegelapan intelektual menuju pencerahan wacana keilmuan, untuk membangun sebuah peradaban yang baru. Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar al-Islami : Kitabat fial-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan dari Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manar, yang menjadi agenda Al-Afghani dalam melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin kedalam blok Islam atau blok Timur. Muhammad Abed Al-Jabiri bukanlah nama yang asing lagi di kalangan intelektual Islam. Ia sering disejajarkan dengan Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Ali Harb, Fatima Mernissi ataupun Muhammad Arkoun. Al-Jabiri telah mengkaji tentang teologi dalam Islam dalam bukunya, al-Kasyfu ‘an Manahij al-Adillat fi Aqa’id al-Millah: Aw Naqd ‘Ilm al-Kalam Dhiddan al-Tarsim al-Ideologi Li al-Aqidah wa Ddifa’an ‘an al-’Ilm wa Hurriyah al-Ikhtiyar fi al-Fikri al-Fi’li (1998). Dalam buku ini, Al-Jabiri ingin menyatakan bahwa tak ada yang absah mengklaim dirinya sebagai teologi Islam yang final, karena segala yang telah lalu, tradisi ataupun dogma, harus dirasionalisasikan kembali dalam konteks kekinian. Itulah satu-satunya jalan menuju kejayaan teologi Islam yang betul-betul rahmatan lil’alamin. 15 Buku A. Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman (2004) merupakan satu buku yang banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan. K.H. Sahal Mahfudz berkata, “selama ini, dunia Barat selalu mengidentikkan Islam dengan terorisme, radikalisme, dan jauh dari humanisme. Hal ini terjadi karena minimnya pemahaman mereka akan Islam dan itu sangat dirasakan oleh Pak Alwi selama berinteraksi dengan para mahasiswa di Amerika. Saya merasa buku ini akan memberikan pencerahan yang dapat mengenalkan Islam secara benar sebagai agama yang rahmatan lil’alamin”. Komentar dari kalangan non-Muslim, misalnya Jakob Oetama, “Banyak konflik meruncing dan dipicu oleh salah persepsi dan kurangnya komunikasi. Hal yang sama pula terjadi dalam cara penghayatan keagamaan yang picik, padahal panggilan kesucian agama antara lain justru mengajak kita untuk mengatasi kepicikan itu, untuk menyelami keagungan Sang Khaliq, 15 (Jamali Sahrodi, 2008:183) dikutip oleh Prof. Dr. SUPIANA, M.Ag., Metodologi Studi Islam, Jakarta :Subdit Kelembagaaan Direktorat Pendidikan Tingggi IslamDirektorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI: 2012. Cet ke-ii. hal. 266-268 11 yang terpapar dalam ciptaan-Nya. Karena itu, Jakob Oetama menyambut gembira buku Pak Alwi Shihab ini. Inilah contoh, bahwa melalui dialog, kita lebih menjadi dewasa, bahkan dalam perkara yang menyangkut kepercayaan terdalam kita, sehingga kita bisa berkoeksistensi secara damai dengan saling memberi kontribusi positif.16 Tokoh Muslim Indonesia yang mengadakan kajian tentang Islam adalah M. Amin Abdullah. Ia menulis sebuah buku berjudul Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif. Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan dan perenungannya selama tujuh tahun. Paradigma interkoneksitas memberikan tawaran yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humality (rendah hati) dan human (manusiawi). Paradigma ‘interkoneksitas’ berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, tidak dapat berdiri sendiri.17 Oksidetalisme bukan sekedar kebalikan orientalisme, atau orientalisme terbalik, atau orientalisme berlawanan, tetapi merupakan reaksi atas westernisasi. Oksidentalisme bertujuan untuk mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat manusia dan sebagai pusat kekuatan serta meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme Eropa untuk kemudian dilakukan penulisan ulang sejarah dunia dengan kacamata lebih obyektif dan netral serta lebih bersikap adil terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia. 3. Identifikasi Peneliti dan Metode Spasial dalam Studi Agama Perspektif Insider dan Outsider a. Identifikasi Peneliti dalam Studi Agama Perspektif Insider dan Outsider Problem epistemologi studi Islam yang dalam perkembangan awal bertumpu pada idealisme dengan menjadikan teks-teks suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran, pada perkembangan berikutnya bergerak menuju empirisme dengan memandang bahwa Islam tidak bisa dilihat hanya dari teks-teks sucinya, karena Islam telah menjadi budaya dalam 16 (JamaliSahrodi, 2008:183-184) dikutip oleh Prof. Dr. SUPIANA, M.Ag., Metodologi Studi Islam, Jakarta :Subdit Kelembagaaan Direktorat Pendidikan Tingggi IslamDirektorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI: 2012. Cet ke-ii. Hal 269 17 ibid. Hal 269 12 prilaku penganutnya, maka studi Islam pada masa modern berkembang ke dalam berbagai pendekatan ilmu pengetahuan, seperti antropologi, sosiologi, sejarah dan lainnya. Sebagai objek kajian, Islam menjadi ruang terbuka untuk dikaji semua elemen masyarakat baik dari kalangan insider (Muslim) maupun outsider (non- Muslim). Namun demikian, untuk menjaga objektivitasnya dalam melakukan studi Islam, dengan berpijak pada pemetaan Kim Knott terhadap studi Islam dalam perspektif insider/outsider, maka para observer dari kalangan insiders tidak lagi memosisikan diri sebagai complete participant, melainkan harus memosisikan diri sebagai participant as observer. Begitu pula, kalangan outsider tidak lagi memosisikan sebagai complete observer melainkan memosisikan sebagai obeserver as participant. Dengan berbagai pendekatan dan dari berbagai perspektif, wacana keislaman kontemporer tidak lagi hanya berkutat pada masalah ketuhanan dan berbagai problema teologis, masalah halal haram dalam sistem hukum formalnya, masalah qath’i dan zhanni dalam teks sucinya, masalah mutawatir dan ahad dalam sunnah nabinya, masalah organisasi tarekat yang hanya membuat umat islam semakin terkapling-kapling dalam aksiologi yang tidak jelas, dan masalah politik kekuasaan yang hanya memperparah konflik internal umat Islam. Wacana keislaman kontemporer, dengan kerangka berpikir holistik melalui berbagai pendekatan dan berbagai perspektif, diharapkan mampu menyuguhkan suatau konsep suatu konsep kehidupan yang berbasis pada nilai-nilai humanitis, cinta dan kasih sayang, toleransi, keadilan, persamaan, kesetaraan, persaudaraan, demokrasi, HAM, kemaslahatan umum, pelestarian lingkungan hidup dan isu-isu kontemporer lainnya dalam kehidupan masyarakat global yang plural dan multikultural.18 Adanya klaim-klaim kebenaran dan absolusitas keyakinan yang datang dari insider dinilai sebagai hambatan teologis. Truth claim ketika berada dalam wilayah metafisikteologis ini dianggap wajar dan bahkan menjadi sebuah keharusan dalam sebuah tradisi agama, tetapi membawanya pada ranah fenomenologi keagamaan akan menjadi masalah. Masalah yang dihadapi oleh insider dalam mengkaji agamanya adalah sikap netral dan obyektif. Namun yang sering terjadi adalah kecenderungan subjektifitas insider. Begitu juga dengan outsider, dengan adanya beberapa kepentingan yang muncul dari outsider menjadikan penelitian yang dilakukan bias dengan berbagai macam kepentingan. Ini berarti bahwa seorang peneliti tidak mungkin lepas dari jerat historisnya sendiri. Maka dari itu, tidak bisa untuk mengatakan bahwa ada seorang peneliti yang benar-benar obyektif mutlak. Oleh 18 M. Arfan Mu'ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. , STUDI ISLAM PERSPEKTIF INSIDER/OUTSIDER , IRCiSoD(Anggota IKAPI), Jogjakarta: 2012 hlm. 6-8 13 karena itu Kim Knott mencoba untuk berusaha menuju pada penelitian yang objektif dengan menggunakan gagasannya yang akan dibahas berikut ini. Kim Knott telah menelaah karya-karya penelitian terdahulu sebelum memberi tawaran barunya dalam studi agama, diantara karya-karya yang di baca seperti Mircea Eliade, Rudolf Otto, Wilfred C. Smith, Cornelius Teile, Van der Leeuw, Kenneth Pike, Ninian Smart dan lain-lainnya. Berangkat dari karya-karya ini maka Kim knott mencoba untuk memberikan tawaran pemikiran terhadap studi agama. Memecahkan problem-problem dalam penelitian agama yang selama ini terdapat kendala dikalangan akademisi maupun penganut agama itu sendiri. Metode-metode dalam penelitian agama terdahulu seperti munculnya orientalisme dan oksidentalisme, insider dan outisder masih belum bisa menampakkan objektifitas penelitian, sehingga Kimm knott memberikan tawaran baru mengenai hal tersebut. Dia menuliskan ada 4(empat) kategori posisi peneliti dalam persoalan ini, yaitu partisipan murni, peneliti murni, peneliti sebagai partisipan, partisipan sebagai peneliti. 1) Partisian Murni (Complete Participant) Mereka adalah para sarjana yang menulis agama mereka sendiri, seperti sarjana theologi, mufti, pendeta dan sebagainya. Bagi mereka objektifitas bukan merupakan sesuatu yang penting dan menjadi tujuan utama. Mereka melakukan hal ini adalah untuk mengembangkan keilmuan dalam kepercayaan mereka sendiri. Kim Knott mengambil contoh Fatimah Mernisi dalam hal ini. Mernisi adalah seorang insider yang kritis dalam memahami Islam. Mernisi menulis sebuah gagasannya dengan tujuan untuk meluruskan dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang mempunyai tradisi kelam terhadap perempuan di dunia Islam. Fatimah Mernisi merupakan seorang insider yang aktif dalam memperjuangkan hakhak perempuan meski banyak kalangan menentangnya dan menyebut dirinya sebagai pembohong syari`ah. Fatimah Mernisi dalam pandangannya menjelaskan bahwa konsep demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan dan partisipasi dalam ranah politik tidak diambil dari nilai Barat, namun diambil dari nilai Islam sendiri. Kim Knott mengutip pendapatnya dalam statemen yang ditulis oleh Fatimah mernisi sebagai berikut: “We Muslim women can walk into modern world with pride, knowing that the quest for dignity, democracy, and human right, for full participation in the political and social affairs of our country, stems from no imported Western values, but is true part of the Muslim tradition”. “Sebagai wanita muslimah mengembalikan harkat, demokrasi, dan hak asasi 14 manusia. Dan untuk berpartisipasi penuh dalam urusan poiltik dan sosial, kita harus mampu menepikan nilai-nilai Barat, dan mengambil yang benar-benar dari tradisi Islam”. 2) Peneliti murni (Complete Observer) Yaitu para sarjana yang meneliti keagamaaan dari sisi luar secara penuh dan menjauhkan diri dari partisipasi. Posisi yang kedua ini biasanya ada dalam kajian sosiologi dan psikologi agama. Sebagian sarjana menggunakan sikap kedua ini biasanya membuat bangunan pertanyaan yang terstruktur terhadap responden atau informan. Peneliti mengamati gejala-gejala keagamaan dan menganalisis jawaban dari responden atau informan dari sisi luar (critical distance) dengan menggunakan frame keilmuan tertentu. Festinger, Riecken dan Schaster telah melakukan hal tersebut di tahun 1956. Sikap ini ditandai dengan perspektif etik dimana dalam kajian ilmu sosial menjelaskan tentang perilaku keagamaan yang berasal dari keyakinan. Dalam perspektif ini, prinsip dasar dari ilmu pengetahuan adalah netralitas, objektifitas, menunjukkan validitas hasil dan melakukan generalisasi dair hasil-hasil itu. Pendekatan kuantitatif tidak tepat untuk complete observer ini. Dalam mengadakan penelitian mereka mengambil peran-peran insider sebagai informan tetapi penelitiannya tidak diketahui oleh insider. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk menghindari rekayasa kelompok yang diteliti. 3) Peneliti sebagai Partisipan (Observer as Participant) Eileen Berker menolak penelitian dengan model complete observer yang dilakukan secara tersembunyi, dengan alasan praktis ataupun etis. Disebabkan dia bukan seoran moonie (non sektarian) dan tidak mau berpura-pura sebagai penganut salah satu sekte. Ketika meneliti kaum Moonie (persekututan gereja), dia hidup di pusat gereja, bercakap-cakap dengan mereka, mendengarkan sebagai anggota dan sekaligus memberikan pertanyaanpertanyaan pada mereka. Dengan sikap sebagai partisipan ini, Eilen Berker bisa memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak semestinya bisa ditanyakan oleh peneliti yang bukan anggota Moonie. Lebih dari itu informasi-informasi tentang Moonie bisa dilacak dari para mantan anggota. Hal ini dinilai sangat penting karena untuk mengetahui kelemahan Moonie tersebut. Sudah menjadi kebiasaan bahwa ketika dia keluar dari keanggotaan pasti ada hubungan buruk dengan instansi atau tokoh dalam persekutuan itu. Dengan masuk sebagai anggota Moonie secara langsung akan memilki hak bertanya dan mendengar. Disamping mengetahui data anggota Moonie yang selanjutnya untuk dimintai keterangan. 15 Barker meminjam pola pendekatan Mark Weber dalam meneliti kaum Moonie. Verstehen merupakan proses penelitian dimana seorang peneliti mengambil pemahaman dan kesimpulan dari perspektif yang diteliti. Niniam Smart menggunakan metode agnostisisme yang menjelaskan pentingnya netralitas dam keluar dari truth claim dalam penelitian agama. Metode ini kemudian dilanjutkan oleh Barker hingga pada akhirnya mendominasi studi agama pada era 1970-an sampai 1980-an. 4) Partisipan sebagai Peneliti (Participant as Observer) Yaitu partisipan yang mengambil peran sebagai observer ditengah keagamaan mereka sendiri. Mereka lebih mengutamakan pemikiran kritis ketimbang sebagai partisipan penuh dalam kehidupan keberagamaan mereka. Kimm Knott membarikan contoh peneliti yang masuk dalam wilayah ini adalah Samuel Heilman, sosiolog dan modernis Yahudi tahun 1980an. Para sarjana agama dalam kategori ini menganggap bahwa insider yang meneliti agamanya sendiri secara kritis dan adil adalah sangat mungkin. Mereka orang yang menulis dan meneliti agama mereka sendiri seoalah-olah sebagai peneliti yang obyektif dan kritis. Sikap yang demikian dilakukan tidak lain untuk memberikan pemahaman tentang agama mereka kepada outsider agar bisa dimengerti, baik tentang keyakinan-keyakinan atau praktek keagamaan. b. Metode Spasial dalam Studi Agama Perspektif Insider dan Outsider Bercampur aduknya aspek doktrinal-teologis dalam pergumulan kultural sosiologis menambah semakin rumitnya persoalan kegamaan pada wilayah historisitas kemanusiaan. Mana yang kepentingan kultural-sosiologis, yang mana pada banyak kasus sangat sulit untuk dibedakan. Bagi para peneliti untuk melerai atau setidaknya menjernihkan bercampur aduknya dimensi doktrinal-teologi dan kultural sosiologi perlu dengan menggunakan pendekatan spasial. Berangkat dari pandangan para ahli, menyatakan ada hubungan antara agama, budaya dan masyarakat. Kim Knott pada tahun 2001 mulai mengembangkan metode ilmiah dengan pendekatan spasial untuk menganalisis lokasi agama dalam masyarakat. Kim knott melihat perbedaan ketika agama yang berada di suatu organisasi, pergerakan, masyarakat, tempat- 16 tempat ibadah. Pertanyaan besar Kim Knott adalah mengapa agama itu berbeda padahal berasal dari sumber yang sama? Dan bagaimana agama mengambil tempat dalam dimensi tersebut? Pendekatan spasial Kim Knott berangkat dari teori ruang Martin Heiddeger, Maurice Merleau-Ponty, edward Cassey dan Cristopher Tilley. Dari teoriteori teori-teori tersebut Knoot mengembangkannya dan diterapkan pada seputar lokasi agama. Unsur-unsur tersebut adalah: 1). Tubuh sebagai sumber dari ruang, 2) Dimensi ruang, 3). Sifat ruang , 4).aspek ruang dan 5). Dinamika ruang. Penjelasan tubuh sebagai sumber ruang adalah seseorang dapat melakukan penafsiran berkaitan dengan lingkungan, sifat dan pola hubungan masyarakat serta nilai kesakralan dalam masyarakat. Dimensi ruang dimana dalam dimensi tersebut individu dan sosial serta perbedaan budaya membaur menjadi satu kesatuan. Perbedaan tempat akan berpengaruh pada budaya dan disitu terdapat reproduksi budaya dan agama yang baru. Sifat ruang adalah bukan sebuah gambaran ruang yang kosong. Ruang yang dimaksud disini adalah multi dimensi. Dimana disitu ada jaringan ekonomi antar negara, budaya dan bahasa menjadi satu dan saling membentuk jaringan. Aspek ruang, dalam aspek ruang ada tiga hal yang saling terkait dimana ruang itu dipahami, dirasakan dan dan ditempati oleh orang-orang. Dinamika ruang adalah sangat terkait dengan kekuasaan, sejarah dan waktu dalam artian agama akan selalu terkait dan dipengaruhi oleh kekuasaan, sejarah dan waktu. Metode spasial merupakan metode yang digunakan dalam pemetaan agama, untuk mengetahui dimensi-dimensi yang ada dalam agama. Dalam konteks studi Islam. Metode spasial sangat berguna untuk mengetahui bagian-bagian agama dan unsur-unsur budaya. Agama yang dipahami saat ini apabila di bedah dengan metode spasial akan dapat ditemukan unsur yang asli (benar-benar berasal dari kitab suci) dan unsur yang berasal dari agama. 19 C. Penutup a. Kesimpulan Orientalisme telah lama dipandang pejoratif oleh dunia Islam. Hal ini disebabkan oleh pandangan dan persepsi kaum Muslim atas karya-karya orientalis dan para sarjana Barat yang umumnya menggambarkan Islam secara distortif. Beratus-ratus tahun Islam digambarkan secara tidak akurat dan bahkan disalahfahami. Orientalisme, awalnya seperti 19 Ibid. Hal 103-131 17 diungkap Edward Said adalah usaha Barat untuk mendominasi Timur, tapi diam-diam ia justru berdampak positif pada proses kebangkitan Islam sendiri. Orientalisme merupakan suatu warna dari perang dingin yang dilancarkan oleh bangsa eropa guna memperdaya Islam dan Umatnya,yang dilakukan setelah mereka kalah dan gagal dalam perang salib yang dahsyat. Jadi fenomena orientalisme berkaitan erat dengan kolonialisme. Begitu Pula dengan oksidentalisme yang lahir di awali dengan adanya orientalisme yang semena-mena menganggap bahwa orang timur tak berbudaya, bodoh, dll. Maka itu islam mengadakan pembaharuan yang muncul dengan istilah oksidentalisme. Oksidentalisme bukan sekedar kebalikan orientalisme. Oksidentalisme bertujuan untuk mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat manusia dan sebagai pusat kekuatan serta meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme Eropa untuk kemudian dilakukan penulisan ulang sejarah dunia dengan kacamata lebih obyektif dan netral serta lebih bersikap adil terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia. Penulisan Kim Knott diawali dengan pembukaan singkat mengenai problem-problem akademik yang dihadapinya. Lalu melanjutkan dengan masalah insider dan outsider untuk mencari objektifitas dalam sebuah penelitian. Yang mana selama ini masih ditemukan subjektifitas dalam berbagai macam penelitian. Dia memberi tawaran baru dalam penelitian yaitu menempatkan 4 macam: partisipan murni, peneliti murni, peneliti sebagai partisipan, partisipan sebagai peneliti. Pada proses selanjutnya untuk membedahnya dengan menggunakan metode spasial. b. Kritik dan Saran Kami menyadari akan banyaknya kekurangan dalam makalah ini, maka pembaca dapat menggali kembali dari apa yang sudah ada dalam makalah ini dari sumber lain untuk menyempurnakannya. Jadi kami juga mengharap kritik yang membangun penulisan makalah ini untuk kami jadikan lebih baik dan sempurna baik bagi pembaca maupun penulis. Wallahu ‘alam. DAFTAR PUSTAKA Abdul Karim, Diskursus Pemikiran Orientalis tentang Tafsir Hadis(Jurnal berkala progdi STH STAIN Kudus), Jurusan Ushuluddin Prodi STH STAIN Kudus, Kudus, vol 8, nomor 2, Juli 2012 Alwi Shihab, Islam Inklusif(Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama), Mizan,Bandung:1999, cet ke-v Amin Rais, Runtuhnya Sendi-sendi Orientalisme dalam Cakrawala Islam .Bandung: Mizan, 1987 Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996) Edward W. Said, Orientalisme(Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur Sebagai Subjek ), Pustaka Pelajar, Bandung: 2010 18 Hassan Hanafi, Oksidentalisme Sikap Kita Terhadap TradisiBarat( judul asli “Muqaddimah fî ‘Imi al-Istighrâb), penerjemah M. Najib Bukhori, Jakarta: paramadina, 2000 Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam (Menelusuri Jejak Historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis). Pustaka Setia, Bandung, 2008 Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis Lokalitas, pluralisme, Terorisme, LKIS group, Yogyakarta, 2012 M. Arfan Mu'ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. , Studi Islam INSIDER/OUTSIDER , IRCiSoD(Anggota IKAPI), Jogjakarta: 2012 Perspektif Muin Umar, Orientalisme ,Jakarta: Bulan Bintang, 1987 Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Islam (Judul asli Approaches to The Study of Religion,penerjemah:Imam Khoiri), LKIS Group, Yogyakarta, 2011 Prof.Dr.Burhanuddin Daya, Pergumulan Oksidentalisme, Suka Press, 2008 Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar Prof. Dr. SUPIANA, M.Ag., Metodologi Studi Islam, Jakarta :Subdit Kelembagaaan Direktorat Pendidikan Tingggi IslamDirektorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI, 2012 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schact. Benang Merah Press, Bandung, 2004 Sumber internet : http://www.findthatpdf.com/search-104819210-hPDF/download-documents30metodologistudiislam.pdf.htm https://www.academia.edu/3657502/Blessing_in_Disguise_Kontribusi_Orientalisme_terhada p_Studi_Islam