Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa

advertisement
57
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Q fever
Penyakit Q fever pertama kali dilaporkan di Australia pada tahun 1935
kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia (sampai saat ini). Kejadian bermula
pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland, menderita demam
yang tidak diketahui penyebabnya. Setelah kejadian di Australia, kejadian secara
epidemik telah diteliti di Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Terdapat 51
negara dilaporkan adanya Q fever dan telah dibahas hampir di setiap negara
kecuali New Zealand (Page 2004).
Q fever pertama kali ditemukan oleh Edward H. Derrick pada tahun 1937,
kemudian pada tahun 1939 Macfarlane Burnett dan Freeman mengisolasi agen
penyebab Q fever yaitu Rickettsia, dan kemudian disebut Rickettsia burnetii.
Namun demikian ternyata masih mempunyai perbedaan juga dengan kelompok
tersebut, maka akhirnya agen Q fever ini berdiri dengan nama Coxiella burnetii
(Maurin dan Raoult 1999; Soejoedono 2004).
Di dunia perkembangan penelitian tentang Q fever sudah demikian maju
bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan. Hal
ini mengingat C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata
biologis (bioterrorism agent), sehingga penanganan yang benar dan cepat menjadi
penting bila terjadi wabah (Fournier dan Raoult 2003).
Karakteristik C. burnetii
Penyakit Q fever disebabkan oleh
Coxiella
burnetii, bersifat obligat
intraseluler, berbentuk batang (coccobacillus) dengan ukuran 0,3-1,0 µm (Gambar
1), pleomorfik dan gram negatif. C. burnetii sulit dilihat dengan teknik pewarnaan
gram walaupun memiliki membran yang sama seperti bakteri gram negatif
lainnya. Pewarnaan yang bisa dipakai adalah pewarnaan Gimenez dan pewarnaan
Stamp’s (Maurin dan Raoult 1999).
58
Gambar 1 Morfologi C. burnetii dengan pengamatan menggunakan mikroskop
elektron (Davis 2004).
C. burnetii bersifat obligat intraseluler pada inangnya dan memiliki
karakter yang mirip dengan Rickettsia (Ogawa et al. 2004). Secara filogenetik C.
burnetii masuk dalam kingdom Pseubacterial, filum Proteobacteriae, ordo
Gamma, genus Coxiella dan spesies C. burnetii (Marrie 2003).
C. burnetii hidup dan berproliferasi dalam sel inang. Sel target utama dari
agen ini hanya pada monosit atau sel-sel makrofag. Jika infeksi terjadi melalui
saluran napas maka makrofag alveolar merupakan sel utama yang berperan aktif
terhadap terjadinya infeksi akut. Dalam hati sel kupfer berperan aktif terhadap
adanya infeksi C. burnetii melalui aliran darah (Fournier et al. 1998).
C. burnetii dapat bertahan dalam lingkungan dengan kurun waktu lama,
tahan pada pH rendah dan tahan terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri
seperti lisol 0.5%, sodium hipoklorit dan radiasi sinar ultra violet (Maurin dan
Raoult 1999). C. burnetii memiliki formasi spora yang menyebabkan bakteri ini
bersifat patogen. Spora ini dapat bertahan 7-10 bulan di dinding rumah pada suhu
15–20 0C, lebih dari satu bulan dalam daging dalam penyimpanan dingin dan
lebih dari 40 bulan dalam susu skim pada suhu ruangan (Marrie 2003).
59
Epidemiologi Q Fever
Sumber Penularan dan Transmisi Q Fever
Penyakit Q fever bersifat zoonosis dan penularan dapat terjadi melalui
kontak langsung dengan hewan terinfeksi maupun oleh partikel debu yang
terkontaminasi agen penyebab. Q fever dapat berpotensi besar sebagai senjata
biologis karena sifatnya yang tahan terhadap lingkungan dan dapat ditransmisikan
secara aerosol (Davis 2004).
Q fever dapat terjadi dalam rute transmisi yang bervariasi. Sapi, domba
dan kambing adalah ruminansia domestik dianggap sebagai reservoir utama dan
sumber infeksi C. burnetii pada manusia. Pada manusia, rute penyebaran secara
aerosol dianggap sebagai rute infeksi yang utama yaitu lewat inhalasi terhadap
yang sudah terkontaminasi dengan C. burnetii. Materi yang terkontaminasi C.
burnetii seperti cairan amnion, plasenta, ekskret, wol, tanah dan debu dapat
menyebarkan agen ini melalui angin (windborne)(Page 2004).
Transmisi secara oral dapat juga terjadi melalui bahan pangan asal hewan
yang terinfeksi seperti daging dan produknya (Page 2004). Transmisi lain dapat
terjadi melalui transfusi darah, transplantasi tulang, inokulasi intradermal dan
hubungan seksual (Davis 2004). Penelitian yang dilakukan Milazzo et al. (2001),
melaporkan seorang pasien terdiagnosa orchitis setelah 29 hari sebelumnya
melakukan hubungan seksual dengan penderita Q fever.
Hewan peliharaan seperti kucing, anjing dan kelinci juga termasuk dalam
sumber infeksi pada masyarakat perkotaan. Penelitian di Itali, menunjukkan
bahwa anjing dapat mentransmisikan Q fever ke manusia melalui cairan ekskreta
dan urine. Selain itu juga ditemukan bahwa C. burnetii tersebar luas di peternakan
terutama selama masa partus. Hal ini disebabkan dalam masa partus, C. burnetii
dilepaskan pada lingkungan lebih dari 109 bakteri pergram plasenta yang
terinfeksi (Capuano et al. 2004).
C. burnetii dapat bertahan selama 32 bulan dalam susu dari sapi yang
terinfeksi Q fever. Penelitian yang dilakukan di Switzerland, ditemukan adanya C.
burnetii pada 17 dari 359 sampel susu (sapi, kambing domba) dan telur (Fretz et
al. 2007). Namun C. burnetii dalam susu dapat diinaktifkan melalui proses
60
pasteurisasi dengan suhu 63.8 C (147 F) selama 30 menit atau 71.7 C (161 F).
0
0
Menurut Raoult (2002), konsumsi susu yang terkontaminasi C. burnetii dapat
menyebabkan distribusi sistemik melalui saluran pencernaan. Hatchette et al.
(2001), menemukan bahwa mengkonsumsi keju yang tidak dipasterurisasi
merupakan faktor resiko bertambahnya kejadian Q fever di Inggris.
C. burnetii dalam urine dan feses dari hewan yang terinfeksi dapat juga
sebagai sumber kontaminasi untuk rute transmisi melalui air, debu, tanah, dan
muntah. C. burnetii dapat bertahan selama 19 bulan dalam feses dari beberapa
jenis arthropoda yang terinfeksi agen ini (Davis 2004). C. burnetii dapat
diisolasikan dari berbagai jenis arthropoda seperti kecoa, kumbang, lalat, kutu,
caplak dan tungau. Telah dilaporkan lebih dari 40 jenis arthropoda dapat terinfeksi
C. burnetii melalui transovarial dan transstadial (diantara siklus hidup) (Page
2004).
Penelitian Yanasa et al. (1998), menemukan adanya C. burnetii dari
sampel debu yang dikoleksi dari peternakan sapi perah di Jepang Dua penelitian
lain melaporkan bahwa penularan Q fever melalui angin dapat terjadi dengan
jarak 18,3 km dari pusat infeksi (Tissot et al. 1999; Hawker et al. 1998).
Penelitian yang dilakukan di Inggris, ditemukan adanya kontaminasi C. burnetii
pada jerami, pupuk, dan debu dari kendaraan di peternakan. Di Swiss dilaporkan
individu yang tinggal dekat jalan yang mengangkut domba beresiko tinggi
terinfeksi Q fever (Page 2004)
Individu yang beresiko terinfeksi termasuk peternak, pekerja RPH, pekerja
laboratorium, dan dokter hewan yang sering kontak dengan produk hewan (Davis
2004). Penelitian Psaroulaki et al. (2006) melaporkan bahwa individu yang
tinggal dekat peternakan kambing atau domba beresiko besar terhadap penularan
Q fever dan serangga dianggap sebagai aspek epidemiologi yang paling berperan
pada penularan tersebut.
Transmisi Q fever dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu wildlife dan
domestic cycle. Transmisi wildlife terjadi melalui perantara caplak yang menggigit
hewan liar terinfeksi lalu menggigit hewan liar yang rentan. Transmisi domestic
cycle terjadi secara aerosol dari udara yang tercemar; cairan amnion, plasenta
61
hewan tertular. Susu segar dan daging dari sapi yang menderita Q fever
merupakan sumber penularan penting pada manusia (Acha dan Szyfres 2003).
Hewan liar
terinfeksi
Ixodidae
spp.,
Argasidae
spp.
Hewan
liar yang
rentan
Manusia
Gambar 2
Transmisi (wildlife) Q fever (Acha dan Szyfres 2003).
Hewan
peliharaan
yang
terinfeksi
Cairan amnion, plasenta
Produk asal hewan
Gambar 3
Hewan
peliharaan
yang
terinfeksi
Manusia
Transmisi (domestic cycle) Q fever (Acha dan Szyfres 2003).
Kejadian pada Manusia
Penyakit Q fever pada manusia sering bersifat menahun dan menimbulkan
kondisi yang fatal yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi hati, radang tulang,
radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan yang kerap terjadi endokarditis
yang berakhir dengan kematian (Stein dan Raoult 1992). Penelitian yang
dilaporkan oleh Stein et al. (2005) menjelaskan bahwa penularan Q fever secara
aerosol dapat menimbulkan lesi hebat pada paru-paru.
Masa inkubasi C. burnetii antara 2-3 minggu dengan gejala klinis yang
bervariasi tergantung tingkat patogenitasnya, diikuti dengan demam tinggi (39–40
0
C), kedinginan, malaise, sakit kepala dan rasa sakit pada otot (Maurin dan Raoult
62
1999). Namun masa inkubasi dan tingkat patogenitas dapat tergantung dari
kondisi kesehatan individu ketika terpapar agen C. burnetii dan rute transmisi
penyakit ini (Page 2004).
Pada penelitian Panau et al. (2007), melaporkan adanya kasus Q fever
dengan gejala klinis berupa gangguan jantung yang hebat diikuti infeksi
pernapasan. Penelitian di Turki, melaporkan terdapat 46 kasus Q fever dalam
kurun waktu 3 bulan dengan gejala klinis yang ditimbulkan berupa muntah
(100.0%), nausea (85.7%), diare (57.1%), demam (42.9%), sakit pada perut
(42.9%) dan sakit kepala (42.9%) (Gozalan et al. 2007).
Q fever pada wanita hamil dapat menimbulkan gangguan yang serius.
Penelitian yang dilaporkan Raoult et al (2002), menyebutkan bahwa wanita hamil
yang didiagnosa menderita Q fever, beresiko mengalami keguguran, kelahiran
prematur dan lahir dengan berat badan tidak normal pada usia 3 bulan pertama
masa kehamilan sedangkan untuk kehamilan tua, abortus jarang terjadi. Dari hasil
penelitian lain terhadap 7 wanita dengan kasus Q fever pada umur kehamilan 3
bulan pertama semuanya mengalami abortus (Page 2004).
Kejadian pada hewan
Kejadian Q fever pada hewan tidak selalu menimbulkan gejala klinis
bahkan lebih sering tidak ada gejala yang tampak. Studi seroprevalensi yang
dilaporkan Masala et al (2004), menunjukkan penularan Q fever yang sangat
tinggi terjadi pada peternakan kambing dan domba. Penelitian lain di Itali dengan
kurun waktu 4 tahun, dilaporkan dari 514 kasus abortus, 138 diantaranya dari
ternak sapi dan 376 lainnya adalah kambing dan domba (376). Data ini
menunjukan bahwa hampir semua infeksi C. burnetii pada hewan sering
berhubungan dengan kejadian abortus (Parisi et al. 2006).
Pada hewan C. burnetii berlokasi pada glandula mamae, uterus dan
plasenta, diantara ketiganya konsentrasi C. burnetii paling banyak di plasenta.
Menurut Tissot et al (1999), menjelaskan bahwa kejadian Q fever yang tiap tahun
dilaporkan di sekitar daerah peternakan. Hewan peliharaan termasuk kucing,
anjing, kelinci dan tikus liar adalah sumber yang baru bagi infeksi C. burnetii
(Hawker et al. 1998; Marrie 2003). Bahkan di Perancis dilaporkan adanya
63
kejadian Q fever melalui feses merpati yang terkontaminasi C. burnetii (Marrie
2003).
Q Fever Di Indonesia
Dalam laporan World Health Organization (WHO), berdasarkan
pemeriksaan serologis dinyatakan bahwa penyakit Q fever pertama kali ditemukan
di Indonesia pada tahun 1937 (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian selanjutnya
yang pernah dilaporkan adalah studi seroepidemiologi tentang Q fever di
Indonesia pada tahun 1978 (Koesharjono 1978). Kasus pneumonia yang terbukti
disebabkan oleh C. burnetii dari seorang penderita yang mempunyai riwayat
pernah tinggal di Indonesia (Miyasita 2001).
Penelitian seroepidemiologi di Indonesia terhadap Spotted fever group
Rickettsia (SFGR), telah dilakukan di Kepulauan Gag, Irianjaya ternyata
persentasi sero prevalensi positif SFGR berkisar 21 % -20,4% (Richard et al.
2003). Prevalensi terhadap penyakit grup rickettsia, Murine typhus juga telah
diinvestigasi pada tikus liar di Indonesia. Sampel yang diambil dari Jakarta dan
Boyolali menunjukkan dari 327 tikus liar, sebanyak 128 (39,1%) diantaranya
infeksi terdapat Murine typhus (Ibrahim et al. 2001).
Penelitian selanjutnya yang dilaporkan Mahatmi (2006), adanya infeksi Q
fever pada sapi bali dan domba di Bali dan dengan hasil positif 6,8% dari jumlah
sampel campuran hati dan jantung mengandung materi genetik C. burnetii.
Penelitian terbaru seorang pria Jepang yang baru kembali dari Bali, Indonesia
telah terdiagnosa Murine typhus, ini kasus kedua yang terjadi pada wisatawan
yang pernah ke Indonesia (Ohji et al. 2008).
Metode Diagnosa Q fever
Diagnosa Q fever berdasarkan gejala klinis yang tampak hampir tidak
memberikan ketepatan, mengingat gejala klinis yang bersifat subklinis dan sangat
umum, sehingga hasil diagnosa secara laboratorium sangat diperlukan. Ketepatan
diagnosa Q fever sangat diperlukan untuk melakukan pengobatan yang efektif
sebab tidak semua antibiotika broadspektrum mampu membunuh bakteri C.
burnetii. Deteksi DNA C. burnetii dengan metode dasar PCR telah banyak
64
digunakan untuk mendiagnosa Q fever (Ogawa 2004; Fournier dan Raoult 2003).
Beberapa metode serodiagnosis yang diterapkan untuk pemeriksaan Q fever
adalah
enzyme-linked
immunosorbent
mikroagglutination,
complement
immunoflourescent
antibody
assay
fixation
test,
(ELISA),
(CFT)
dan
immunohistochemical
capilary
micro
tube
indirect
staining
dan
immunoflourescent assay (IFA) (Slaba et al. 2005; Setiyono et al. 2005, Marrie
2003).
Pencegahan dan Pengobatan
Pengobatan Q fever akut yang direkomendasikan adalah doxycycline
sedangkan macrolides direkomendasikan untuk wanita hamil. Fluoroquinolones
dan macrolides baik untuk terapi alternatif bagi penderita Q fever. Pneumonia
akibat Q fever dapat diobati dengan erythromycin (Page 2004), tetracycline juga
efektif terhadap endokarditis akibat infeksi Q fever kronis. Terapi kombinasi
chloroquine dan doxycycline atau doxycycline dan ofloxacin dapat dianjurkan
karena telah berhasil menyembuhkan penderita Q fever (Calza et al. 2001).
Pencegahan Q fever dengan vaksinasi dianjurkan pada individu yang
mempunyai resiko tinggi tertular Q fever seperti peternak, dokter hewan dan
pekerja rumah potong. Berbagai jenis vaksin telah dicoba, di Rusia telah
dikembangkan jenis vaksin dari C. burnetii yang dilemahkan. Selama periode 5
tahun di Australia telah dikembangkan vaksin formalin inaktif yang disebut Q-vak
yang telah dibuktikan 100% efektif. Vaksin Q fever menimbulkan efek samping
seperti hipersensitivitas yang ditandai dengan gejala mulai dari peradangan lokal
berupa eritema pada lokasi penyuntikan vaksin sampai gejala sistemik. Agar
penggunaan vaksin Q fever aman diperlukan terlebih dahulu pemeriksaan potensi
vaksin dengan uji dermal atau uji serologis (Page 2004).
Download