REPUBLIKA tuntunan JUMAT, 25 MARET 2011 4 Memanfaatkan Umur Oleh Ferry Kisihandi Umur berkah merupakan bagian dari tanda kebahagiaan yang diperoleh seseorang di dunia. AGUNG SUPRIYANTO S etiap orang mempunyai umurnya sendiri-sendiri. Ada yang berumur hingga ratusan tahun, tetapi tak sedikit meninggal dunia saat muda. Namun hal terpenting, bagaimana seseorang mampu mengelola kesempatan yang diberikan Allah SWT berupa umur itu, untuk seoptimal mungkin menjalani ibadah juga mempersiapkan kematiannya. Masa demi masa, dia lalui dengan menorehkan kebaikan dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang ia peroleh. Rasulullah pernah berdialog dengan seorang laki-laki mengenai keberadaan umur ini. Hal tersebut terekam dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Tirmizi, merujuk kisah Abdurrahman bin Abu Bakrah yang ia dapatkan dari ayahnya. Laki-laki itu bertanya kepada Rasul, manusia manakah yang lebih utama? Rasulullah pun menjawab, yang panjang umurnya dan baik amalnya. Percakapan berlanjut. “Manusia manakah yang paling jelek?” Rasul menyampaikan jawaban atas pertanyaan kedua itu, “Ialah yang panjang umurnya dan jelek perbuatannya.” Sayyid Sabiq melalui Fiqih Sunnah, mengatakan, setiap Muslim dianjurkan untuk membekali dirinya dengan amal saleh. Dengan demikian, mestinya mampu memanfaatkan umur yang melekat pada dirinya untuk mengumpulkan bekal perjalanan setelah kehidupan di dunia. Seseorang yang mampu memanfaatkan umurnya dengan baik, maka itu sebagai umur yang berkah. Ustaz Aam Amiruddin dalam Bedah Masalah Kontemporer, memasukkan umur berkah itu menjadi salah satu dari tanda kebahagiaan yang diperoleh manusia di dunia ini. Menurut dia, perjalanan waktu akan membawa seseorang ke sebuah arah. Berhubungan dengan amal ibadah, umur dan waktu yang dipunyai seseorang memungkinkan membawanya ke sejumlah kemungkinan. Jika kualitas amal seseorang sama dengan hari kemarin, maka dia tertipu oleh masa. Jika lebih buruk diband- ingkan kemarin, dapat dikatakan orang tersebut terpuruk. Maka, mewujud sebagai sebuah rahmat ketika seseorang berkemampuan melakukan amal yang lebih baik daripada kemarin. “Ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan di dunia adalah mereka yang berusaha agar hari ini lebih baik daripada kemarin,” urainya. Mereka selalu memanfaatkan umur dan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat. Makin tambah umurnya, makin banyak pula amalnya dan pada saat ajal menjemput, maka orang itu dalam puncak kesalehannya. Apalagi, kematian sudah pasti menghampiri seseorang dan bisa datang secara tiba-tiba tanpa dapat diantisipasi. Mereka yang mempersiapkan diri dianggap sebagai orang bijaksana. Mereka pun dikatakan sebagai sosok-sosok yang berhasil meraih kehormatan, baik di dunia maupun akhirat. Ibnu Umar mengungkapkan, ia datang kepada Rasulullah sebagai orang ke-10. Waktu itu, tiba-tiba seorang lakilaki Anshar berdiri dan mengajukan pertanyaan ihwal siapa yang paling bijaksana dan teliti di antara manusia. “Dia adalah orang yang paling sering mengingat maut dan bersiap sedia menghadapinya,” jelas Rasulullah. Pada kesempatan yang lain, Rasulullah mengingatkan umatnya, perbanyaklah mengingat pemutus kesenangan. Arti pemutus kesenangan itu adalah maut atau kematian. Abu Dzarr mempunyai pandangan sendiri mengenai makna kematian. “Tahukah kalian hari melaratku? Itu adalah hari aku dibaringkan dalam liang kuburku.” Langkah lain ditempuh al-Rabi bin Khaytsam demi memicu dirinya untuk selalu beramal saleh dan mempersiapkan diri menghadapi kematian. Menurut Imam al-Ghazali dalam bukunya Terampil Bersahabat dengan Siapa Saja, al-Rabi menggali lubang kubur di dalam rumahnya. Setiap hatinya menjadi keras, ia turun ke lubang kubur itu untuk beberapa lama. Ia memanjatkan doa kepada Allah agar ia dikembalikan ke dunia dan terpacu untuk kembali beramal saleh. Setelah itu, al-Rabi keluar dari lubang itu dan menyatakan pada dirinya sendiri bahwa ia telah diberi kesempatan untuk kembali ke dunia, maka beramal baiklah selagi bisa. n ensiklopedi RAGAM MAZHAB ejumlah mazhab berkembang di tengah masyarakat Muslim. Tak hanya dalam fikih, mazhab juga bermunculan dalam teologi atau kalam. Mazhab merupakan pendapat atau aliran yang berawal dari pemikiran seorang imam atau cendekia dalam memahami sesuatu, baik filsafat, hukum, teologi, politik, maupun ranah lainnya. Di kemudian hari, pemikiran itu diikuti oleh sekelompok orang dan dikembangkan menjadi sebuah aliran pemikiran. Kemunculan mazhab dipantik oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran dalam Alquran dan sunah. Dalam praktiknya, mazhab ini bersifat tidak mengikat. Ahli fikih dalam kalam, Abu Zahrah dalam bukunya Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah yang dikutip dalam Ensiklopedi Islam, menjelaskan, ada sejumlah hal yang menyebabkan bermunculnya mazhab, yaitu perbedaan pemikiran, ketidakjelasan masalah yang menjadi tema pembicaraan, dan perbedaan kesenangan dan kecenderungan. Penyebab lainnya adalah perbedaan cara pandang, mengikuti cara pandangan pendahulunya, perbedaan kemampuan, masalah kepemimpinan dan cinta kepada penguasa, serta fanatisme kelompok yang berlebihan. Karena mazhab berbeda dalam penafsiran bukan mengenai ajaran dasar Islam, perbedaan mazhab dapat diterima. Dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World disebutkan, mazhab mulai tumbuh pada pertengahan abad kedelapan. Sejumlah ulama hadir berkontribusi melahirkan mazhab di tengah masyarakat Islam. Dalam mazhab fikih, ada empat nama yang paling dikenal. S Mereka adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Maka, nama-nama mazhab dikaitkan dengan nama mereka, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i. Ada pula Mazhab Zahiri, yang dikembangkan oleh Ali bin Hazm. Setiap mazhab berkembang pesat di wilayah tertentu. Pengikut Mazhab Syafi’I, misalnya, ada di Mesir, Suriah, Yaman, Indonesia, Malaysia, Makkah, Bahrain, sebagian Afrika Timur, dan Asia Tengah. Mazhab Hanbali diikuti mayoritas masyarakat Arab Saudi, sedangkan Hanafi di Mesir, Suriah, Lebanon, Turki, dan Tunisia. Muslim di Turkistan, India, Pakistan, Afghanistan, Balkan, Cina, Rusia, dan Irak juga mengikuti Mazhab Hanafi. Muslim di Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol, dan Mesir berpedoman pada Mazhab Maliki. Di bidang kalam atau teologi juga bermunculan mazhab-mazhab. Sebut saja Khawarij. Ini dikembangkan oleh pengikut Ali bin Abi Talib yang meninggalkan barisannya sebagai protes terhadap sikap Ali yang menerima usulan perdamaian dengan Muawiyah bin Abu Sufyan ketika peperangan hampir dimenangkan oleh pasukan yang dipimpin Ali. Ada nama lain yang dinisbahkan pada Khawarij ini, yaitu Haruriyah, yang merujuk pada Harura, sebuah tempat dekat Kufah, Irak. Pada umumnya, mereka adalah Arab Badui yang pemikirannya sederhana, namun keras hati, berani, bersikap merdeka, serta tak bergantung pada orang lain. Orang pertama yang dipilih sebagai imam adalah Abdullah bin Wahhab ar-Rasidi. Dalam pemikiran soal negara, Khawarij bersikap demokratis. Namun, WIKIMEDIA dalam hal agama mereka bersikap tegas dan keras. Menurut mereka, orang yang melakukan dosa besar dianggap sudah kafir. Mazhab berikutnya adalah Murji’ah yang lahir sebagai respons atas pandangan-pandangan Khawarij. Mereka bersikap lebih lunak dengan tak mengafirkan orang lain, soal ini mereka serahkan kepada Allah SWT. Maka, seseorang yang dianggap Khawarij sebagai kafir bagi Murji’ah orang itu tetap sebagai Mukmin. Murji’ah terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu moderat dan ekstrem. Mereka yang masuk dalam kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Talib, Abu Hanifah, dan Abu Yusuf alQadhi, sedangkan Murji’ah ekstrem dimotori oleh Jahm bin Sofwan dan para pengikutnya. Sementara itu, Mazhab Muktazilah mendorong persoalan agama ke pemikiran yang lebih mendalam dan filosofis. Tokoh mazhab ini adalah Washil bin Atha. Muktazilah terkenal dengan prinsip lima ajarannya, yaitu tauhid, keadilan, janji dan ancaman, posisi di antara dua posisi, dan amar makruf nahi mungkar. Muktazilah juga menganut paham Qadiriyah, yang menegaskan bahwa manusia berkebebasan untuk memilih dan bertindak. Ada juga Mazhab Asy’ariyah yang sering disebut sebagai Ahlusunah wal Jamaah. Pendiri mazhab ini adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Sebelumnya, selama 30 tahun ia berpegang pada Mazhab Muktazilah. Namun, ia memutuskan untuk keluar dan membangun mazhab sendiri untuk merespons pandangan-pandangan Muktazilah. Langkah ini juga merupakan pemihakan Asy’ari pada kelompok mayoritas dan berpegang pada sunah. Di samping itu, ada Mazhab Maturidiah yang dibangun oleh Abu Mansur al-Maturidi. Ia merupakan pengikut Abu Hanifah. Tak heran jika paham-paham pemikirannya bersinggungan dengan pemikiran Abu Hanifah. Mazhab ini banyak menggunakan rasio, namun tak setinggi Muktazilah dalam menghargai akal. n ferry kisihandi