Gambaran Praktek Pemberian Rehidrasi Oral pada Balita Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Kota Bekasi Tahun 2014. Olanti Rahayu, Ella Nurlaela Hadi Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran praktek pemberian rehidrasi oral (RO) pada balita diare. Disain cross sectional dan metode pengumpulan data wawancara dengan menggunakan kuesioner terujicoba digunakan pada 80 ibu balita (0-59 bulan) yang dipilih dengan tehnik simple random sampling. Hasil penelitian mendapatkan 57,5% ibu balita melakukan praktek pemberian RO secara adekuat pada balita diare. Persepsi kerentanan dan persepsi hambatan berhubungan dengan praktek pemberian RO, dimana ibu balita yang mempersepsikan balitanya rentan terhadap diare berpeluang memberikan RO hamper 3 kali dibanding yang mempersepsikan balitanya tidak rentan terhadap diare, sedangkan ibu balita yang mempersepsikan tidak ada hambatan untuk memberikan RO pada balita diare berpeluang memberikan RO pada balitanya sebesar 13 kali dibanding ibu balita yang mempersepsikan adanya hambatan. Kata kunci: Diare; Rehidrasi Oral (RO); HBM Description of Mother’s Practices on Giving Oral Rehydration to Under Five Children’s Diarrhea in Working Area Puskesmas Kotabaru, Bekasi, 2014. Abstract The aims of this study is to describe the mother’s practice on giving Oral Rehydration (OR) to under five (U-5) children who suffered diarrhea. Cross sectional design and interview method was used to collect the data from 80 mothers of under five children that was selected by simple random sampling technique. The study result showed 57,5% mothers gave RO adequately to their U-5 children who suffered diarrhea. Mother’s perception of susceptibility and barrier related to their practices on giving RO to their U-5 children, whereas mothers who perceived their U-5 children susceptible to diarrhea likely give RO almost 3 times than who perceived their U-5 children unsusceptible. Mothers who perceived no barriers on giving RO to their U-5 children likely give RO 13 times than mothers who had barriers. Keywords: Diarrhea; Oral Rehydration; HBM Pendahuluan Diare sering didefinisikan sebagai buang air encer tiga kali atau lebih dalam sehari (WHO, 2005). Diare akut merupakan masalah kesehatan utama di dunia dan menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. Menurut data UNICEF dan WHO (2009) diare merupakan penyebab kematian nomor 2 (dua) pada balita di dunia, nomor 3 (tiga) pada bayi, dan nomor 5 (lima) bagi segala umur. Selain itu data Riskesdas 2007 1 menunjukkan bahwa diare menjadi penyebab kematian bayi dan balita terbanyak di Indonesia, dengan proporsi pada bayi sebesar 31,4% dan balita 25,2%. (Badan Litbangkes, 2007). Dehidrasi karena diare berat adalah penyebab utama kematian pada bayi dan anak, walaupun kondisi ini dapat di atasi dengan pengobatan rehidrasi oral. Hal ini yang membuat diare menjadi perhatian prioritas untuk pelayanan kesehatan (BPS, 2013). Untuk mengurangi masalah diare, Kementerian Kesehatan telah mengupayakan berbagai upaya pencegahan maupun pengobatan penderita diare pada balita melalui program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Salah satu upaya penanganan diare dilakukan dengan pemberian cairan rehidrasi oral (Depkes, 2004). Hasil SDKI 2012 hanya 39% anak yang menderita diare diberi oralit atau cairan rehidrasi. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan temuan SDKI 2007 (35%). Kemudian sebanyak 17% diberi LGG dan 40% anak yang diare diberi cairan lebih banyak. Sejumlah 66% diberi pengobatan rehidrasi oral (oralit, LGG) atau cairan yang lebih banyak. Selain pengobatan rehidrasi oral, 13% anak yang diare diberi antibiotik, sementara 45% diberikan obat tradisional atau lainnya dan 15% anak yang menderita diare tidak mendapatkan pengobatan sama sekali (BPS dkk, 2013). Kota Bekasi merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mengalami peningkatan kasus diare yang cukup signifikan. Pada tahun 2011 jumlah kasus diare dan gastroenteritis sebanyak 146.432 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya terjadi peningkatan jumlah penderita dua kali lipat dibandingkan tahun 2010 sebanyak 68.960 kasus, bahkan peningkatan hampir 5 kali lipat dibandingkan tahun 2009 sebanyak 29.851 kasus. Kecamatan Bekasi Barat merupakan kecamatan dengan jumlah kasus diare tertinggi yang ditangani se-Kota Bekasi dengan kasus diare sebanyak 6.649 kasus pada tahun 2011 dan Puskesmas Kotabaru berada di urutan 1 dengan 1.909 kasus dari 5 Puskesmas yang ada di wilayah kerja Kecamatan Bekasi Barat (Profil Kesehatan Kota Bekasi, 2011). Pada tahun 2011 cakupan balita diare ditangani di Puskesmas Kotabaru sebanyak 781 kasus, tetapi belum seluruhnya balita penderita diare (86,7%) memperoleh oralit sebagai rehidrasi oral pencegah terjadinya dehidrasi (Profil Puskesmas Kotabaru, 2011). Pemberian rehidrasi oral merupakan praktek yang diharapkan dapat mencegah terjadinya dehidrasi pada balita diare. Health Belief Models (HBM) menyebutkan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kepercayaan atau persepsi tentang suatu penyakit dan strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi kejadian suatu penyakit (Becker,1974). Selain itu HBM digunakan untuk meramalkan dan menjelaskan tentang perilaku pencegahan penyakit /preventive health behavior. (Sarafino, 2011). Salah satu yang mempengaruhi praktek pemberian rehidrasi oral 2 oleh ibu balita adalah kepercayaan terhadap kesehatan (health belief) yaitu kerentanan yang dirasakan terhadap penyakit diare yang dialami balita, keseriusan penyakit diare, manfaat dan hambatan yang dialami dalam memberikan rehidrasi oral. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran praktek pemberian rehidrasi oral pada balita diare di wilayah kerja Puskesmas Kotabaru Kota Bekasi tahun 2014. Tinjauan Teoritis Diare adalah suatu kondisi dimana dalam satu hari, frekuensi buang air besar meningkat secara abnormal (tiga kali atau lebih) dengan konsistensi yang lebih lunak atau berupa cairan saja. Kondisi ini dapat terjadi jika agen penyebabnya meningkatkan motilitas usus atau sekresi usus, atau karena gangguan absorpsi usus (Weber, 2011). Penyebab diare tersering karena infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit. Virus terutama rotavirus merupakan penyebab utama (70-80%) diare infeksi pada anak, sedangkan sekitar 10-20% adalah bakteri dan kurang dari 10% adalah parasit (FKUI, 2002). Dehidrasi menurut Kemenkes RI (2010) adalah hilangnya sebagian/ sejumlah air dan garam dari tubuh. Berdasarkan derajat dehidrasi ada tiga macam diare, yaitu diare tanpa dehidrasi, diare dengan dehidrasi ringan/sedang, serta diare dengan dehidrasi berat. (Hegar, 2011). Direktorat Jenderal pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI (2011) mencanangkan protokol terbaru penatalaksanaan diare, yaitu Lima langkah tuntaskan diare atau LINTAS DIARE, yang terdiri dari: 1. Pemberian oralit, segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi diare 2. Pemberian suplemen seng (zinc) selama 10 hari berturut-turut, mengurangi beratnya diare, mencegah berulangnya diare selama 2-3 bulan. Obat zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak 3. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan sesuai dengan umur anak dengan menu yang sama dengan anak sehat, untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang. 4. Pemberian antibiotik yang selektif, hanya diberikan pada kasus diare berdarah dan kolera. 5. Edukasi kepada pengasuh atau ibu anak. Beritahukan untuk kembali ke petugas kesehatan jika terjadi demam, tinja yang berdarah atau berwarna hijau, muntah berulang, makan atau minum sedikit, anak sangat haus, diare yang makin sering terjadinya atau yang belum membaik dalam tiga hari 3 Rehidrasi adalah upaya menggantikan cairan tubuh yang keluar bersama tinja dengan cairan yang memadai melalui oral atau parenteral (Harianto, 2004). Oralit adalah bubuk yang merupakan campuran garam elektolit seperti Natrium Kloride (NaCl), Kalium Klorida (KCl), trisodium sitrat hidrat, dan glukosa anhidrat yang sebaiknya diberikan segera jika anak diare sampai episode diare tersebut berakhir (Hegar, 2011). Terdapat 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi penyerapan air di dalam saluran cerna, yaitu kadar natrium, kadar glukosa dan osmolaritas cairan. Cairan rehidrasi oral yang mengandung elektrolit-glukosa terbukti dapat mengganti kehilangan cairan saluran cerna secara efektif, sehingga dapat mencegah terjadinya dehidrasi pada sebagian besar kasus diare. Keadaan ini berdasarkan kenyataan bahwa glukosa mempengaruhi penyerapan air dan elektrolit di dalam usus pada anak diare (FKUI, 2002). Cairan rehidrasi oral yang dipakai oleh masyarakat sebagai alternatif pengganti oralit yaitu cairan yang tersedia dirumah tangga (home fluid) adalah air kelapa, air tajin, air susu ibu, sup wortel, air perasan buah dan LGG. Pemakaian cairan ini lebih dititik beratkan pada pencegahan timbulnya dehidrasi. Sedangkan bila terjadi dehidrasi sedang atau berat sebaiknya diberi minuman oralit (Harianto, 2004). Health Belief Models (HBM) diciptakan oleh Behavioral Science Studies Section– US Public Health Service 1950-1960, merupakan suatu model proses kognisi yang dikemukakan oleh Becker dan Rosenstock (1974). Menurut Rosenstock persepsi kita terhadap sesuatu lebih menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya. HBM didasarkan atas 3 faktor esensial yaitu: (1) Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan, (2) adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku dan (3) perilaku itu sendiri. Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan dengan sarana & petugas kesehatan. Kesiapan individu dipengaruhi oleh apa yang dirasakan individu tentang kerentanan dan risiko terhadap penyakit, potensi ancaman dan kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan manfaat. Perubahan perilaku dipengaruhi oleh perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, penilaian individu terhadap perubahan, interaksi dengan petugas kesehatan dan pengalaman mencoba merubah perilaku. HBM dapat menjelaskan bagaimana terbentuknya perilaku seseorang, dimana menurut HBM persepsi merupakan kunci dari suatu perilaku. (Nutbeam, 1999). Persepsi merupakan proses manusia untuk menginterpretasi, menganalisis dan mengintegrasikan stimuli yang didapat melalui organ-organ sensasi (Fieldman, 2005). Variabel kunci yang 4 menyebabkan individu melakukan tindakan pencegahan ataupun pengobatan penyakitnya (Becker, 1974) yaitu: (1) Kerentanan yang dirasakan/ perceived susceptibility. (2) Keseriusan yang dirasakan/ perceived seriousness. (3) Manfaat dan rintangan yang dialami dalam tindakan pencegahan atau melawan suatu penyakit (perceived benefits and barriers) dan (4) Isyarat atau tanda-tanda/ cuess to action. Metode Penelitian Penelitian ini dengan menggunakan potong lintang (crossectional) dimana data diukur atau diambil hanya satu kali pada waktu yang sama dari variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen adalah praktek pemberian rehidrasi oral pada balita diare, sedangkan variabel independen adalah usia ibu balita, pengetahuan ibu balita, pendidikan ibu balita, persepsi ibu balita terhadap keseriusan diare pada balita, persepsi ibu balita terhadap kerentanan diare pada balita, persepsi ibu balita terhadap manfaat memberikan rehidrasi oral, persepsi ibu balita terhadap hambatan memberikan rehidrasi oral dan informasi untuk memberikan rehidrasi oral pada balita diare. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kotabaru, Kota Bekasi, selama 5 bulan pada bulan Februari - Juni 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita (usia 0-59 bulan) yang pernah diare dalam 4 bulan terakhir (Januari-April 2014) dan bertempat tinggal di cakupan wilayah kerja Puskesmas Kotabaru. Metode pengambilan sampel dengan menggunakan pencuplikan sederhana (Simple Random Sampling). Tehnik ini dipilih karena populasi dianggap memiliki karakteristik yang cukup homogen (keseluruhan individu yang menjadi anggota populasi memiliki sifat-sifat yang relatif sama antara yang satu dengan yang lain). Daftar nama balita diare yang ada dalam register poliklinik anak Puskesmas Kotabaru selama 4 bulan terakhir dipilih secara acak sebagai sampel penelitian. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus 2 (dua) proporsi sebagai berikut: n= ( √2P (1-P)+Z 1-ß √P1(1-P1)+P2(1-P2)2 (P1 – P2)2 Sehingga diperoleh jumlah sampel 72 orang, untuk menghindari sampel yang gagal atau adanya kesalahan dan sebagainya, maka pengambilan sampel diperbesar sebanyak 10%, sehingga diperoleh sampel yang dibutuhkan adalah 80 ibu balita. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah di uji coba pada kelurahan di luar kelurahan Kotabaru, hal ini dilakukan untuk mengetahui validitas dan 5 reliabilitas pertanyaan dalam kuesioner. Pengujian menggunakan software j-Metrik dilakukan untuk mengetahui kualitas pengukuran dari pertanyaan sehingga pertanyaan dalam kuesioner dinyatakan valid dan reliabel. Hasil ujicoba kuesioner yang dilakukan di kelurahan Kranji pada 20 responden, setelah diuji didapatkan nilai Cronbach’s Alpha/ Coefficient Alpha sebesar 0.7171 dengan 95% CI (0.4813, 0.8712) dan nilai discrimination index (nilai d = 0.29 s.d 0.73). Data yang dikumpulkan adalah data primer melalui wawancara kepada ibu balita oleh peneliti dengan menggunakan kuesioner. Setelah data kuesioner dikumpulkan, maka dilakukan pengolahan data menggunakan software SPSS dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Penyuntingan /Editing. (2) Pengkodean /Coding. (3) Pengentrian Data/ Entry Data. (4) Pembersihan Data/Cleaning. • Skor Pengetahuan Setiap jawaban benar pada pertanyaan pengetahuan diberi nilai 1 sedangkan nilai 0 untuk jawaban yang salah dan jawaban tidak tahu / tidak menjawab. Semua jawaban kemudian dihitung menjadi satu variabel baru yaitu tingkat pengetahuan dengan rentang nilai 0-8. Dari hasil perhitungan skor benar, kemudian pengetahuan dikategorikan menjadi berpengetahuan tinggi jika ≥ 75% skor jawaban benar yaitu nilai 6 (enam) dan berpengetahuan rendah jika < 75% skor jawaban benar (Arikunto, 2006). • Skor Persepsi Untuk mempermudah perhitungan, masing-masing jawaban pernyataan mengenai persepsi diberi skor sebagai berikut (skala Likert’s): Skor Jawaban Jenis Pernyataan Pernyataan Positif Pernyataan Negatif Keterangan: STS= Sangat Tidak Setuju TS = Tidak Setuju N S STS TS N S SS 1 5 2 4 3 3 4 2 5 1 = Netral = Setuju SS = Sangat Setuju Setelah perhitungan dilakukan, jawaban dikategorikan namun sebelumnya dilakukan uji normalitas. Adapun yang digunakan sebagai cut off point adalah nilai median (nilai tengah) karena distribusi data tidak normal. Variabel persepsi dibedakan menjadi empat bagian berdasarkan kerangka konsep yaitu persepsi keseriusan penyakit diare, persepsi kerentanan 6 balita terhadap penyakit diare, persepsi manfaat memberikan rehidrasi oral dan persepsi hambatan memberikan rehidrasi oral dengan rentang nilai 3-15. • Skor Praktek Terdapat 3 pertanyaan mengenai praktek dalam penelitian ini yang akan dikategorikan menjadi 2 yaitu: 1= Ibu balita dikategorikan memberikan RO secara adekuat, apabila ibu memberikan RO pada balitanya dengan dosis yang adekuat sesuai usia anak. Rentang nilai 3 2= Ibu tidak memberikan RO (termasuk juga yang tidak memberikan rehidrasi oral atau memberikan rehidrasi oral tetapi dosisnya salah/ tidak adekuat). Rentang nilai 0-2 Hasil Penelitian Karakteristik Ibu Balita Karakteristik ibu balita meliputi usia dan pendidikan. Usia ibu balita dalam penelitian ini bervariasi dari usia 19 tahun hingga 43 tahun. Untuk kepentingan analisis, selanjutnya usia ibu balita dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu ibu balita berusia muda (< 35 tahun) dan ibu berumur (≥ 35 tahun). Proporsi berdasarkan usia dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu balita berusia muda (< 35 tahun) yaitu 81,2%, sedangkan ibu berumur (≥ 35 tahun) sebanyak 18,8%. Sementara berdasarkan pendidikan formal, tingkat pendidikan, lebih dari setengah ibu balita yaitu 66,3% merupakan tamatan SMP keatas / pendidikan tinggi. Gambaran karakteristik ibu balita dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Karakteristik Individu di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014 No Variable /Kategori Frekuensi 1 2 Usia Ibu Balita -Ibu Usia Muda (< 35 tahun) -Ibu Berumur (≥ 35 tahun) Tingkat Pendidikan Ibu Balita Tinggi (> tamat SMP) Rendah (≤ tamat SMP) Ibu Balita Diare % 65 15 81,2 18,8 53 27 66.3 33.7 Pengetahuan Ibu Balita Dari 8 (delapan) item pertanyaan pengetahuan yang dijawab oleh ibu balita, item yang paling banyak memperoleh jawaban benar adalah pertanyaan ‘manfaat pemberian rehidrasi 7 oral’ yaitu sebesar 90% ibu balita dan ‘cara membuat larutan Oralit’ yang dijawab benar oleh 88,8% ibu balita. Sedangkan item pertanyaan yang paling sedikit memperoleh jawaban benar adalah pertanyaan mengenai ‘tanda bahaya diare’ yaitu sebanyak 68 ibu balita (85%) yang menjawab. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini: Tabel 2. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pengetahuan Tentang Diare dan Rehidrasi Oral di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014 Frekuensi n=80 Pengetahuan Salah Benar n % n % Pengertian diare 25 31.3 55 Penyebab diare 46 57.5 Penyebab dehidrasi 27 Tindakan pertama yang dilakukan pada balita diare Jumlah 68.8 N 80 % 100 34 42.5 80 100 33.8 53 66.3 80 100 22 27.5 58 72.5 80 100 Tatalaksana penanggulangan diare 48 60.0 32 40.0 80 100 Tanda bahaya diare 68 85.0 12 15.0 80 100 Cara membuat larutan Oralit 9 11.3 71 88.8 80 100 Manfaat pemberian rehidrasi oral 8 10.0 72 90.0 80 100 Hasil penelitian mendapatkan proporsi ibu balita (86,2%) berpengetahuan rendah lebih banyak daripada ibu balita (13,8%) yang berpengetahuan tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Tingkat Pengetahuan di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014 Tingkat Pengetahuan Ibu Balita Tinggi Rendah Total Frekuensi 11 69 80 % 13.8 86.2 100 Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Tindakan yang pertama kali dilakukan ibu balita pada balita diare yang paling banyak dilakukan oleh ibu balita (68,8%) adalah memberikan rehidrasi oral, sedangkan tindakan paling sedikit dilakukan oleh ibu balita (5%) yaitu balita tidak diberi apa-apa, kemudian sebesar 11,2% ibu balita melakukan tindakan lain-lain seperti memberikan pengobatan tradiosional (jamu) dan serbuk lactobacillus. 8 Dari 55 ibu balita yang memberikan rehidrasi oral pada balitanya yang menderita diare, sebanyak 49,1% ibu balita memberikan Larutan Gula Garam (LGG), 27,3% memberikan oralit dalam kemasan, air tajin (10,9%), air kelapa (9,1%) dan kuah sayur bening (3,6%). Sebagian besar 83,6% ibu balita memberikan dosis yang tepat dan hanya 16,4% ibu balita memberikan dalam dosis yang tidak tepat. Penilaian dosis rehidrasi oral yang diberikan berdasarkan usia balita dimana menurut buku bagan MTBS dibagi menjadi 2 (dua); sampai umur 1 tahun yaitu 50-100 ml atau ¼ - ½ gelas setiap kali buang air besar dan umur 1 sampai 5 tahun yaitu 100-200 ml atau ½ - 1 gelas setiap kali buang air besar. Untuk kepentingan analisis, selanjutnya praktek pemberian RO dikategorikan berdasarkan penilaian/skor praktek pemberian rehidrasi oral, sehingga pembagian kategori menjadi ibu balita yang memberikan RO secara adekuat pada balita diare dan ibu balita yang tidak memberikan RO pada balita diare. Sebagian besar (57,5%) ibu balita memberikan RO secara adekuat dan hanya 42,5% ibu balita yang tidak memberikan RO pada balita diare ditunjukkan oleh tabel 4. Tabel 4. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Kategori Praktek Pemberian Rehidrasi Oral pada Balita Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014 Praktek Pemberian Rehidrasi Oral (RO) Memberikan RO secara adekuat Tidak memberikan RO Total Frekuensi 46 34 80 % 57.5 42.5 100.0 Kepercayaan Kesehatan Pernyataan mengenai persepsi keseriusan diperoleh hasil sebanyak 55% ibu balita menyatakan tidak setuju dengan pernyataan “diare pada anak saya merupakan tanda bahwa anak akan bertambah kepintarannya”. Pada pernyataan “diare dapat menyebabkan kematian akibat tubuh mengalami dehidrasi (kekurangan cairan)” sebanyak 62,5% ibu balita menyatakan setuju dan untuk pernyataan “diare tanpa adanya muntah dan berak (muntaber) yang bercampur darah tidak berbahaya bagi anak saya” terdapat 48.8% ibu balita tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Selanjutnya untuk pernyataan mengenai persepsi kerentanan hasil penelitian menunjukkan sebanyak 58,8% ibu balita menyatakan setuju dengan pernyataan “anak saya lebih sering terkena diare dibandingkan orang dewasa”, sedangkan pada pernyataan “anak saya yang sering bermain di luar rumah lebih mudah terkena diare.” sebanyak 55% ibu balita menyatakan setuju dan untuk pernyataan “makanan pedas yang 9 dimakan oleh ibu menyusui, dapat menyebabkan diare pada anaknya” terdapat 41,3% ibu balita tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Mengenai persepsi manfaat sebanyak 73,8% ibu balita menyatakan setuju dengan pernyataan “oralit perlu diberikan pada anak saya yang diare, agar tidak terjadi dehidrasi/ kekurangan cairan”, sedangkan pada pernyataan “memberikan oralit pada anak saya yang sedang diare, selain dapat mencegah dehidrasi juga dapat mempercepat penyembuhannya” sebagian besar yaitu 86,3% ibu balita menyatakan setuju dan untuk pernyataan “pemberian oralit pada anak saya yang diare merupakan cara yang paling mudah dan murah untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang selama diare” terdapat 72,5% ibu balita setuju dengan pernyataan tersebut. Untuk persepsi hambatan, sebanyak 26,3% ibu balita menyatakan setuju dengan pernyataan “Saya kesulitan untuk memberikan oralit pada anak saya yang diare karena tidak tersedia dirumah”, sedangkan pada pernyataan “oralit tidak disukai anak saya karena rasanya tidak enak dan menyebabkan anak muntah” sebanyak 31,3% ibu balita menyatakan setuju dan untuk pernyataan “memberikan oralit pada anak saya yang diare membutuhkan banyak waktu” sebanyak 26,3% ibu balita sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Untuk kepentingan analisis, selanjutnya persepsi ibu balita dikategorikan menjadi 2 (dua) dengan cut off point adalah nilai median karena data terdistribusi tidak normal. Tabel 5. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Kategori Kepercayaan Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014 No 1 2 3 4 Variable /Kategori Persepsi Keseriusan* • Serius • Tidak serius Persepsi Kerentanan* • Rentan • Tidak rentan Persepsi Manfaat* • Bermanfaat • Kurang bermanfaat Persepsi Hambatan* •• Tidak ada hambatan •• Ada hambatan Pendorong Bertindak* • Ada informasi • Tidak ada informasi Keterangan : * = Nilai median Ibu Balita Diare Frekuensi n= 80 % 44 36 55.0 45.0 45 35 56,3 43,7 71 9 88.8 11.2 40 50.0 40 50.0 56 24 70.0 30.0 5 10 Tabel 5. menunjukkan lebih dari separuh ibu balita (55%) memiliki persepsi serius terhadap diare pada balita dan 45% ibu balita memiliki persepsi tidak serius terhadap diare pada balita serta 56,3% ibu balita memiliki persepsi balitanya rentan terhadap diare dan 43,7% ibu balita memiliki persepsi balitanya tidak rentan terhadap diare. Sebagian besar yaitu 88,8% ibu balita memiliki persepsi RO bermanfaat terhadap balita diare dan sebanyak 11,2% ibu balita yang memiliki persepsi RO kurang bermanfaat terhadap balita diare. Proporsi yang sama diperoleh pada persepsi ada/ tidak nya hambatan. Sebagian besar ibu balita (70%) memperoleh informasi mengenai pemberian RO pada balita diare, sedangkan yang tidak pernah mendapat informasi hanya 30% ibu balita. Mengenai sumber informasi tentang pemberian rehidrasi oral terbanyak adalah dari petugas kesehatan (50% ibu balita), 30,4% ibu balita mendapatkannya dari keluarga/ tetangga/ teman, dan hasil paling sedikit diperoleh dari majalah. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6. dibawah ini: Tabel 6. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Sumber Informasi Mengenai Pemberian Rehidrasi Oral pada Balita Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014 Sumber Informasi Internet Majalah Kartu Menuju Sehat (KMS) Petugas Kesehatan Kader Kesehatan Keluarga/tetangga/teman Total Frekuensi 2 1 3 28 5 17 56 % 3.6 1.8 5.3 50.0 8.9 30.4 100 Hubungan Antara Variabel Penelitian dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Variabel penelitian yang memiliki hubungan bermakna dengan praktek pemberian RO pada balita diare adalah persepsi kerentanan dan persepsi hambatan. Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa proporsi ibu balita yang memiliki persepsi balitanya rentan terhadap diare (68,9%) lebih banyak yang memberikan rehidrasi oral daripada ibu balita yang memiliki persepsi balitanya tidak rentan terhadap diare (42,9%). Nilai p=0,019 dan OR 2,95 berarti ada hubungan yang bermakna antara persepsi kerentanan dengan praktek pemberian rehidrasi oral pada balita diare. Ibu balita yang mempunyai persepsi balitanya rentan terhadap diare memiliki peluang untuk melakukan praktek pemberian rehidrasi oral hampir 3 kali dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai persepsi balitanya tidak rentan terhadap diare. 11 Tabel 7. Hubungan Antara Persepsi Kerentanan Ibu Balita dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Kota Bekasi Tahun 2014 Persepsi Kerentanan Rentan Tidak Rentan Nilai p= 0,019 Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Memberikan Tidak Memberikan n=46 % n=34 % 31 68,9 14 31,1 15 42,9 20 57,1 OR= 2,95 95% CI (1,17 – 7,41) Total n=80 45 35 % 100 100 Tabel 8. menunjukkan bahwa proporsi ibu balita yang memiliki persepsi tidak ada hambatan pemberian rehidrasi oral pada balita diare (19,5%) lebih sedikit yang memberikan rehidrasi oral dibandingkan dengan ibu balita (97,4%) yang memiliki persepsi ada hambatan dalam memberikan rehidrasi oral pada balita diare. Nilai p<0,005 dan OR=13,2 berarti ada hubungan yang bermakna antara persepsi hambatan dalam pemberian rehidrasi oral dengan praktek pemberian rehidrasi oral pada balita diare. Ibu balita yang mempunyai persepsi tidak ada hambatan dalam pemberian rehidrasi oral pada balita diare memiliki peluang untuk melakukan praktek pemberian rehidrasi oral sebesar 13,2 kali jika dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai persepsi ada hambatan dalam pemberian rehidrasi oral. Tabel 8. Hubungan Antara Persepsi Hambatan dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Kota Bekasi Tahun 2014 Persepsi Hambatan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Memberikan Tidak Memberikan n=46 % n=34 % Tidak ada hambatan 34 85,0 6 15,0 Ada hambatan 12 30,0 28 70,0 Nilai p= 0,000, OR=13,2 95% CI (4,40 – 39,7) Total n=80 40 40 % 100 100 Pembahasan Keterbatasan Penelitian. Bias informasi dalam penelitian ini menyangkut kesalahan ibu balita dalam mengingat dan melaporkan kejadian yang sebenarnya atau “recall bias”. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kemampuan daya ingat dari ibu balita terkait kejadian diare pada anaknya yang lalu, terutama ketika menjawab tindakan yang dilakukan pertama kali ketika balita diare atau sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan. Untuk itu hal yang dapat dilakukan oleh peneliti adalah dengan memilih metode wawancara sebagai cara ukur penelitian, sehingga 12 peneliti dapat secara langsung bertatap muka dan dapat menjelaskan kepada ibu balita apabila ada pertanyaan/ pernyataan dalam kuesioner yang kurang dipahami oleh ibu balita. Praktek Pemberian Rehidrasi Oral pada Balita Diare Data hasil penelitian menunjukan praktek pemberian rehidrasi oral (RO) pada balita diare sebanyak 57,5% ibu balita memberikan RO dengan adekuat dan 42,5% yang tidak memberikan RO atau memberikan tetapi tidak adekuat. Kategori ini berdasarkan penilaian/ skor praktek pemberian RO yaitu (1) memberikan oralit/ CRT sebagai tindakan yang pertama kali dilakukan ketika balita diare (2) jenis cairan RO yang diberikan (3) ketepatan dosis RO yang diberikan. Jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 dimana proporsi pemberian oralit di Indonesia (42,2%), Jawa Barat (35,7%), Kota Bekasi (46,7%) maka proporsi praktek pemberian RO pada balita diare dalam penelitian ini masih lebih tinggi yaitu sebesar 57,5%. Meskipun demikian, praktek pemberian RO masih perlu ditingkatkan mengingat wilayah kerja Puskesmas Kotabaru merupakan daerah rawan banjir yang dapat meningkatkan angka kejadian diare. Menurut Becker & Rosenstock (1974) bahwa praktek pemberian RO akan dilakukan apabila ibu menganggap balitanya rentan terhadap diare dan merasakan adanya manfaat pemberian RO bagi anaknya yang diare, kemudian tidak adanya hambatan dalam melakukan pemberian RO tersebut, serta adanya informasi yang tepat. Hubungan Usia Ibu Balita dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu balita dengan usia < 35 tahun lebih banyak memberikan RO pada balita diare dibandingkan dengan ibu balita usia ≥ 35 tahun tetapi usia ibu balita bukan merupakan faktor yang mampu mempengaruhi praktek pemberian RO secara adekuat. Dalam HBM terdapat variabel lain yang mempengaruhi perilaku individu dan disebut sebagai faktor pemodifikasi, diantaranya variabel demografi dimana usia individu termasuk ke dalam variabel tersebut. Dalam penelitian ini mungkin bukan usia yang mempengaruhi praktek ibu dalam pemberian RO tetapi faktor lain seperti kerentanan anak terhadap diare dan adanya hambatan untuk memberikan RO. Hubungan Pendidikan Ibu Balita dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Pendidikan menunjukan hubungan yang tidak bermakna dengan praktek pemberian RO, artinya pendidikan bukan merupakan faktor yang mampu mempengaruhi ibu balita untuk memberikan RO secara adekuat pada anaknya yang diare. Pendidikan ibu balita tidak sejalan dengan pengetahuan dan persepsinya dimana dalam penelitian ini ibu balita yang memiliki pendidikan tinggi maupun pendidikan rendah sama saja perilakunya dalam pemberian RO. 13 Menurut Rosenstock dan Becker persepsi kita terhadap sesuatu lebih menentukan keputusan yang kita ambil (Sarafino, 2011). Faktor persepsi mungkin lebih berperan dalam memutuskan berperilaku dalam penelitian ini daripada pendidikan ibu, dimana ibu balita yang mempersepsikan anaknya rentan terhadap diare akan berpeluang hampir 3 kali memberikan RO dibandingkan yang mempersepsikan anaknya tidak rentan terhadap diare. Hubungan Pengetahuan Ibu Balita dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Penelitian ini membuktikan bahwa ibu balita yang memiliki pengetahuan tinggi mengenai diare dan pemberian RO hampir sama dengan ibu balita yang pengetahuannya rendah dalam praktek pemberian RO secara adekuat. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu balita dengan praktek pemberian RO pada balita diare walaupun dalam item pertanyaan mengenai manfaat pemberian RO sebanyak 90% ibu balita menjawab benar, namun hal ini tidak sejalan dengan prakteknya. Didalam HBM dinyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor pemodifikasi yang mendukung ibu balita dalam melakukan praktek pemberian RO. Dalam penelitian ini mungkin faktor persepsi lebih berperan dalam menentukan untuk melakukan praktek pemberian RO, dimana ibu yang menganggap diare bukan penyakit yang serius bagi anaknya sehingga menganggap tidak perlu memberikan RO, kemudian untuk ibu yang mempersepsikan anaknya rentan terhadap diare maka akan memberikan RO sebagai pencegahan terhadap terjadinya dehidrasi. Hubungan Persepsi Keseriusan dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi keseriusan terhadap diare tidak berhubungan dengan praktek pemberian RO secara adekuat, artinya ibu balita yang mempersepsikan diare sebagai hal serius bagi balitanya dengan yang mempersepsikan diare bukan hal yang serius, perilakunya dalam pemberian RO memiliki kesamaan. Masih adanya ibu balita yang menganggap diare bukan sesuatu yang serius karena masih adanya anggapan bahwa diare merupakan tanda anak bertambah kepintarannya ini dibuktikan dengan sebanyak 13,8% ibu balita setuju terhadap pernyataan tersebut. Untuk mengubah persepsi keseriusan ibu terhadap diare dapat melalui pendidikan kesehatan secara individu melalui konseling ibu yang dapat dilakukan di Puskesmas maupun di Posyandu oleh petugas kesehatan, sehingga penilaian ibu dapat berubah menjadi diare merupakan sesuatu yang serius dan dapat menyebabkan dehidrasi yang dapat mengakibatkan kematian, jika tidak diberikan tindakan pencegahan seperti pemberian RO. Menurut Rosentock (1974) persepsi seseorang terhadap keseriusan suatu penyakit atau masalah kesehatan bergantung pada penilaian ibu balita mengenai seberapa serius diare pada anaknya, semakin ibu balita merasa bahwa penyakit yang di alami oleh anaknya itu 14 serius, maka akan semakin dipersepsikan sebagai hal yang mengancam dan melakukan tindakan pencegahan. Dalam penelitian ini persepsi kerentanan dan hambatan yang berperan dalam memutuskan untuk melakukan praktek pemberian RO, dimana ibu balita yang mempersepsikan tidak ada hambatan dalam memberikan RO peluangnya 13 kali untuk melakukan praktek pemberian RO dibandingkan yang mempersepsikan ada hambatan. Hubungan Persepsi Kerentanan dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persepsi kerentanan terhadap diare berhubungan dengan praktek pemberian RO secara adekuat, dimana ibu balita yang mempersepsikan anaknya rentan terhadap diare berpeluang untuk melakukan praktek pemberian rehidrasi oral sebanyak hampir 3 kali dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai persepsi anaknya tidak rentan. Sementara Rosentock (1974) dalam HBM menyatakan individu akan mengevaluasi kemungkinan individu tersebut mengalami suatu penyakit yang semakin berkembang. Semakin ibu balita yang mempersepsikan anaknya rentan terhadap diare, maka akan membuat ibu balita mempersepsikannya sebagai ancaman dan melakukan tindakan pencegahan. Hubungan Persepsi Manfaat dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral Persepsi manfaat dalam penelitian ini menunjukkan hasil bahwa dalam pemberian RO pada balita diare tidak berhubungan dengan praktek pemberian RO secara adekuat, oleh karena pada penelitian proporsi ibu balita yang mempersepsikan bermanfaat terhadap pemberian RO pada anaknya yang diare dan kurang bermanfaat terhadap pemberian RO sama besar dalam memberikan RO maupun tidak, maka persepsi manfaat tidak mempengaruhi praktek ibu dalam pemberian RO. Rosentock (1974) menyatakan jika ibu balita yang percaya bahwa praktek pemberian RO bermanfaat bagi anaknya yang diare maka dia akan melakukan praktek tersebut, namun jika manfaat tidak relevan dengan faktor lain seperti kerentanan dan hambatan, maka tidak akan terjadi praktek tersebut. Dalam penelitian ini terbukti bahwa hanya persepsi kerentanan dan hambatan yang memiliki pengaruh untuk ibu balita memberikan RO pada anaknya yang diare. Promosi kesehatan di pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan media seperti leaflet yang diberikan kepada ibu balita maupun poster yang ditempel di ruang tunggu pasien ketika berobat dengan tema pemberian RO pada balita diare yang dapat menjelaskan manfaat pentingnya memberikan RO, diharapkan mampu mengubah persepsi ibu balita bahwa pemberian RO merupakan sesuatu yang bermanfaat. Hubungan Persepsi Hambatan dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral 15 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persepsi hambatan berhubungan dengan praktek pemberian RO secara adekuat, dimana ibu balita yang mempersepsikan tidak ada hambatan terhadap pemberian RO pada anaknya yang diare lebih banyak berpeluang untuk melakukan praktek pemberian RO secara adekuat sebanyak 13,2 kali dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai persepsi ada hambatan memberikan RO pada anaknya yang diare. Hal ini karena masih adanya hambatan seperti ibu balita (26,3%) yang setuju tidak memberikan oralit karena tidak tersedia dirumah. Oleh karena itu kegiatan URO berbasis masyarakat perlu ditingkatkan seperti memberikan pembekalan baik berupa pengetahuan mengenai cara penanganan diare maupun oralit yang disediakan di rumah kader kesehatan/ Posyandu untuk memudahkan masyarakat memperoleh RO sebagai upaya pencegahan dehidrasi pada diare. Hubungan Informasi Terkait Pemberian RO dengan Praktek Pemberian RO Penelitian memperlihatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara informasi tentang pemberian rehidrasi oral dengan praktek pemberian rehidrasi oral pada balita diare, hal ini berarti ibu balita yang ada informasi terkait diare dan ibu balita yang tidak ada informasi sama saja perilakunya dalam pemberian RO. Menurut HBM faktor pendorong berperilaku/ bertindak dapat berupa peristiwa, masyarakat atau hal yang dapat menggerakkan seseorang untuk merubah perilakunya. Namun dalam penelitian ini persepsi hambatan serta persepsi kerentanan yang lebih berperan dalam menentukan ibu balita untuk melakukan praktek pemberian RO. Kesimpulan Hasil penelitian memperoleh sekitar separuh ibu balita (57,5%) melakukan praktek pemberian rehidrasi oral (RO) secara adekuat pada balita diare. Ibu balita kebanyakan berusia < 35 tahun (81,2%) dengan pendidikan terbanyak adalah tamatan SMP keatas/ pendidikan tinggi (66,3%). Lebih dari separuh ibu balita (86,2%) memiliki pengetahuan rendah terkait diare dan pemberian RO. Sekitar separuh ibu balita (55%) memiliki persepsi serius terhadap diare pada anaknya dan (56,3%) mempersepsikan anaknya rentan terhadap diare, sebagian besar ibu balita (88,8%) memiliki persepsi RO bermanfaat terhadap anaknya yang diare, persepsi hambatan diperoleh hasil yang sama (50%) antara ibu balita yang mempersepsikan 16 ada hambatan dengan tidak ada hambatan dalam pemberian RO serta sebagian besar ibu balita (70%) memperoleh informasi terkait diare dan pemberian RO pada balita diare Variabel yang berhubungan dengan praktek pemberian RO pada balita diare adalah persepsi kerentanan dan persepsi hambatan, dimana ibu balita yang mempunyai persepsi balitanya rentan terhadap diare memiliki peluang untuk melakukan praktek pemberian RO hampir 3 kali dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai persepsi balitanya tidak rentan terhadap diare. Selain itu, ibu balita yang memiliki tidak adanya hambatan dalam pemberian RO pada balitanya memiliki peluang untuk melakukan praktek pemberian RO sebesar 13 kali jika dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai persepsi ada hambatan. Variabel yang tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan praktek pemberian RO pada balita diare, adalah pengetahuan, pendidikan, umur ibu balita, persepsi keseriusan, persepsi manfaat dan pendorong untuk bertindak. Saran Melakukan upaya perubahan perilaku melalui program promosi kesehatan yang dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait pencegahan terjadinya dehidrasi pada diare. Memberikan suatu intervensi bagi masyarakat terkait masih rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam praktek pemberian rehidrasi oral. Pada penelitian selanjutnya agar melakukan penelitian dengan metode atau desain yang dapat lebih menggali persepsi masyarakat terkait diare dengan variabel-variabel yang lebih lengkap menggunakan pendekatan HBM sehingga informasi yang diperoleh dapat lebih dalam dan lebih spesifik. Daftar Referensi Badan Litbangkes. (2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan. Badan Litbangkes. (2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Available in: http://www.depkes.go.id diunduh tanggal 20-3-2014 pukul 5.41 wib. Badan Pusat Statistik (BPS), BKKBN, Kementerian Kesehatan dan MEASURE DHS ICF International, (2013). Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Indonesia: BPS Becker, Marshall H. Rosentock, Irwin. et all. (1974). The Health Belief Model and Personal Health Behavior. New Jersey: Charles B. Slack Inc 17 Depkes, (2004). Buku Bagan dan Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan. Dinas Kesehatan Kota Bekasi. (2011). Profil Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2011. Kota Bekasi: Dinas Kesehatan Kota Bekasi Feldman, Robert S. (2005). Essentials of Understanding Psychology. Mc Graw-Hill New York. FKUI, Panitia lulusan Dokter FKUI 2002-2003 editor Tjokronegoro, Arjatmo. Updates in Pediatric Emergencies hal 79-86, Jakarta: Balai Penerbit FKUI (2002), Harianto. (2004). Penyuluhan Penggunaan Oralit untuk Menanggulangi Diare di Masyarakat Departemen Farmasi, FMIPA Universitas Indonesia. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.1, April 2004, 27 - 33 Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. (2008). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Press Hegar, Badriul. (2011). Masalah Diare Anak di Indonesia. [Jurnal]. Medika Jurnal Kedokteran No.6 Tahun Ke XXXVII hal 420, Juni 2011 Kementerian Kesehatan RI. (2010). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI. (2011). Situasi Diare di Indonesia. Buletin jendela data dan informasi kesehatan, Vol. II Triwulan II. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. (2011). Oralit dan Zink, Pengobatan Baru Diare pada Anak [Jurnal]. Medika Jurnal Kedokteran No.6 Tahun Ke XXXVII hal 421, Juni 2011. Nutbeam, D and Elizabeth Harris.(1999). Theory in a Nutshell: A Guide to Health Promotion Theory, p 19-22. Australia: McGraw-Hill Book Company Puskesmas Kotabaru. (2011). Profil Kesehatan Puskesmas Kotabaru Kecamatan Bekasi Barat Tahun 2011. Kota Bekasi: Puskesmas Kotabaru. Sarafino, Edward P and Timothy W. Smith. (2011). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions – Seventh Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc Soenarto, S.Yati. (2008). Penelitian Translasional dan Kebijakan Berbasis Bukti: Diare pada Anak Sebagai Studi Kasus [Jurnal] Available in: http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/726_pp0906010.pdf diakses tanggal 11-4-2014 pukul 11.14 wib Weber, Martin. (2011). Penerapan Oralit dan Zinc Sebagai Protokol Terbaru Penatalaksanaan Diare pada Anak [Jurnal]. Medika Jurnal Kedokteran No.5 Tahun Ke XXXVII hal 342-343, Mei 2011 18 WHO and UNICEF. (2009). Diarrhea : why children are still dying and what can be done. WHO Library Cataloging-in-Publication Data. Available in: http://www.who.int/topics/millenniumdevelopmentgoals/childmortality/ diunduh tanggal 20-3-2014 pukul 21.30 wib WHO. (2005). The Treatment of Diarrhoea: a manual for physicians and other senior health workers – 4th rev. Geneva: WHO Press 19