Gambaran Praktek Pemberian Rehidrasi Oral pada Balita Diare di

advertisement
Gambaran Praktek Pemberian Rehidrasi Oral pada Balita Diare di
Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Kota Bekasi Tahun 2014.
Olanti Rahayu, Ella Nurlaela Hadi
Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran praktek pemberian rehidrasi oral (RO) pada balita diare.
Disain cross sectional dan metode pengumpulan data wawancara dengan menggunakan kuesioner terujicoba
digunakan pada 80 ibu balita (0-59 bulan) yang dipilih dengan tehnik simple random sampling. Hasil penelitian
mendapatkan 57,5% ibu balita melakukan praktek pemberian RO secara adekuat pada balita diare. Persepsi
kerentanan dan persepsi hambatan berhubungan dengan praktek pemberian RO, dimana ibu balita yang
mempersepsikan balitanya rentan terhadap diare berpeluang memberikan RO hamper 3 kali dibanding yang
mempersepsikan balitanya tidak rentan terhadap diare, sedangkan ibu balita yang mempersepsikan tidak ada
hambatan untuk memberikan RO pada balita diare berpeluang memberikan RO pada balitanya sebesar 13 kali
dibanding ibu balita yang mempersepsikan adanya hambatan.
Kata kunci: Diare; Rehidrasi Oral (RO); HBM
Description of Mother’s Practices on Giving Oral Rehydration to Under Five
Children’s Diarrhea in Working Area Puskesmas Kotabaru, Bekasi, 2014.
Abstract
The aims of this study is to describe the mother’s practice on giving Oral Rehydration (OR) to under five (U-5)
children who suffered diarrhea. Cross sectional design and interview method was used to collect the data from
80 mothers of under five children that was selected by simple random sampling technique. The study result
showed 57,5% mothers gave RO adequately to their U-5 children who suffered diarrhea. Mother’s perception of
susceptibility and barrier related to their practices on giving RO to their U-5 children, whereas mothers who
perceived their U-5 children susceptible to diarrhea likely give RO almost 3 times than who perceived their U-5
children unsusceptible. Mothers who perceived no barriers on giving RO to their U-5 children likely give RO 13
times than mothers who had barriers.
Keywords: Diarrhea; Oral Rehydration; HBM
Pendahuluan
Diare sering didefinisikan sebagai buang air encer tiga kali atau lebih dalam sehari
(WHO, 2005). Diare akut merupakan masalah kesehatan utama di dunia dan menyebabkan
tingginya angka morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. Menurut data UNICEF dan
WHO (2009) diare merupakan penyebab kematian nomor 2 (dua) pada balita di dunia, nomor
3 (tiga) pada bayi, dan nomor 5 (lima) bagi segala umur. Selain itu data Riskesdas 2007
1 menunjukkan bahwa diare menjadi penyebab kematian bayi
dan balita terbanyak di
Indonesia, dengan proporsi pada bayi sebesar 31,4% dan balita 25,2%. (Badan Litbangkes,
2007). Dehidrasi karena diare berat adalah penyebab utama kematian pada bayi dan anak,
walaupun kondisi ini dapat di atasi dengan pengobatan rehidrasi oral. Hal ini yang membuat
diare menjadi perhatian prioritas untuk pelayanan kesehatan (BPS, 2013).
Untuk mengurangi masalah diare, Kementerian Kesehatan telah mengupayakan
berbagai upaya pencegahan maupun pengobatan penderita diare pada balita melalui program
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Salah satu upaya penanganan diare dilakukan
dengan pemberian cairan rehidrasi oral (Depkes, 2004). Hasil SDKI 2012 hanya 39% anak
yang menderita diare diberi oralit atau cairan rehidrasi. Persentase ini lebih tinggi
dibandingkan dengan temuan SDKI 2007 (35%). Kemudian sebanyak 17% diberi LGG dan
40% anak yang diare diberi cairan lebih banyak. Sejumlah 66% diberi pengobatan
rehidrasi oral (oralit, LGG) atau cairan yang lebih banyak. Selain pengobatan rehidrasi
oral, 13% anak yang diare diberi antibiotik, sementara 45% diberikan obat tradisional atau
lainnya dan 15% anak yang menderita diare tidak mendapatkan pengobatan sama sekali
(BPS dkk, 2013).
Kota Bekasi merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mengalami peningkatan
kasus diare yang cukup signifikan. Pada tahun 2011 jumlah kasus diare dan gastroenteritis
sebanyak 146.432 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya terjadi peningkatan
jumlah penderita dua kali lipat dibandingkan tahun 2010 sebanyak 68.960 kasus, bahkan
peningkatan hampir 5 kali lipat dibandingkan tahun 2009 sebanyak 29.851 kasus. Kecamatan
Bekasi Barat merupakan kecamatan dengan jumlah kasus diare tertinggi yang ditangani
se-Kota Bekasi dengan kasus diare sebanyak 6.649 kasus pada tahun 2011 dan Puskesmas
Kotabaru berada di urutan 1 dengan 1.909 kasus dari 5 Puskesmas yang ada di wilayah kerja
Kecamatan Bekasi Barat (Profil Kesehatan Kota Bekasi, 2011). Pada tahun 2011 cakupan
balita diare ditangani di Puskesmas Kotabaru sebanyak 781 kasus, tetapi belum seluruhnya
balita penderita diare (86,7%) memperoleh oralit sebagai rehidrasi oral pencegah terjadinya
dehidrasi (Profil Puskesmas Kotabaru, 2011). Pemberian rehidrasi oral merupakan praktek
yang diharapkan dapat mencegah terjadinya dehidrasi pada balita diare.
Health Belief Models (HBM) menyebutkan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh
kepercayaan atau persepsi tentang suatu penyakit dan strategi yang dapat digunakan untuk
mengurangi kejadian suatu penyakit (Becker,1974). Selain itu HBM digunakan untuk
meramalkan dan menjelaskan tentang perilaku pencegahan penyakit /preventive health
behavior. (Sarafino, 2011). Salah satu yang mempengaruhi praktek pemberian rehidrasi oral
2 oleh ibu balita adalah kepercayaan terhadap kesehatan (health belief) yaitu kerentanan yang
dirasakan terhadap penyakit diare yang dialami balita, keseriusan penyakit diare, manfaat dan
hambatan yang dialami dalam memberikan rehidrasi oral. Oleh karena itu tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui gambaran praktek pemberian rehidrasi oral pada balita diare
di wilayah kerja Puskesmas Kotabaru Kota Bekasi tahun 2014.
Tinjauan Teoritis
Diare adalah suatu kondisi dimana dalam satu hari, frekuensi buang air besar
meningkat secara abnormal (tiga kali atau lebih) dengan konsistensi yang lebih lunak atau
berupa cairan saja. Kondisi ini dapat terjadi jika agen penyebabnya meningkatkan motilitas
usus atau sekresi usus, atau karena gangguan absorpsi usus (Weber, 2011). Penyebab diare
tersering karena infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit. Virus terutama
rotavirus merupakan penyebab utama (70-80%) diare infeksi pada anak, sedangkan sekitar
10-20% adalah bakteri dan kurang dari 10% adalah parasit (FKUI, 2002). Dehidrasi menurut
Kemenkes RI (2010) adalah hilangnya sebagian/ sejumlah air dan garam dari tubuh.
Berdasarkan derajat dehidrasi ada tiga macam diare, yaitu diare tanpa dehidrasi, diare dengan
dehidrasi ringan/sedang, serta diare dengan dehidrasi berat. (Hegar, 2011).
Direktorat Jenderal pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI
(2011) mencanangkan protokol terbaru penatalaksanaan diare, yaitu Lima langkah tuntaskan
diare atau LINTAS DIARE, yang terdiri dari:
1. Pemberian oralit, segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi diare
2. Pemberian suplemen seng (zinc) selama 10 hari berturut-turut, mengurangi beratnya
diare, mencegah berulangnya diare selama 2-3 bulan. Obat zinc juga dapat
mengembalikan nafsu makan anak
3. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan sesuai dengan umur anak dengan menu yang
sama dengan anak sehat, untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi
yang hilang.
4. Pemberian antibiotik yang selektif, hanya diberikan pada kasus diare berdarah dan kolera.
5. Edukasi kepada pengasuh atau ibu anak. Beritahukan untuk kembali ke petugas kesehatan
jika terjadi demam, tinja yang berdarah atau berwarna hijau, muntah berulang, makan
atau minum sedikit, anak sangat haus, diare yang makin sering terjadinya atau yang
belum membaik dalam tiga hari
3 Rehidrasi adalah upaya menggantikan cairan tubuh yang keluar bersama tinja dengan
cairan yang memadai melalui oral atau parenteral (Harianto, 2004). Oralit adalah bubuk yang
merupakan campuran garam elektolit seperti Natrium Kloride (NaCl), Kalium Klorida (KCl),
trisodium sitrat hidrat, dan glukosa anhidrat yang sebaiknya diberikan segera jika anak diare
sampai episode diare tersebut berakhir (Hegar, 2011). Terdapat 3 (tiga) faktor yang
mempengaruhi penyerapan air di dalam saluran cerna, yaitu kadar natrium, kadar glukosa dan
osmolaritas cairan. Cairan rehidrasi oral yang mengandung elektrolit-glukosa terbukti dapat
mengganti kehilangan cairan saluran cerna secara efektif, sehingga dapat mencegah
terjadinya dehidrasi pada sebagian besar kasus diare. Keadaan ini berdasarkan kenyataan
bahwa glukosa mempengaruhi penyerapan air dan elektrolit di dalam usus pada anak diare
(FKUI, 2002). Cairan rehidrasi oral yang dipakai oleh masyarakat sebagai alternatif
pengganti oralit yaitu cairan yang tersedia dirumah tangga (home fluid) adalah air kelapa, air
tajin, air susu ibu, sup wortel, air perasan buah dan LGG. Pemakaian cairan ini lebih dititik
beratkan pada pencegahan timbulnya dehidrasi. Sedangkan bila terjadi dehidrasi sedang atau
berat sebaiknya diberi minuman oralit (Harianto, 2004).
Health Belief Models (HBM) diciptakan oleh Behavioral Science Studies Section– US
Public Health Service 1950-1960, merupakan suatu model proses kognisi yang dikemukakan
oleh Becker dan Rosenstock (1974). Menurut Rosenstock persepsi kita terhadap sesuatu lebih
menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya.
HBM didasarkan atas 3 faktor esensial yaitu: (1) Kesiapan individu untuk merubah perilaku
dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan, (2) adanya
dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku dan (3) perilaku
itu sendiri. Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan dengan sarana &
petugas kesehatan. Kesiapan individu dipengaruhi oleh apa yang dirasakan individu tentang
kerentanan dan risiko terhadap penyakit, potensi ancaman dan kepercayaan bahwa perubahan
perilaku akan memberikan manfaat. Perubahan perilaku dipengaruhi oleh perilaku itu sendiri
yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, penilaian individu terhadap perubahan, interaksi
dengan petugas kesehatan dan pengalaman mencoba merubah perilaku.
HBM dapat menjelaskan bagaimana terbentuknya perilaku seseorang, dimana
menurut HBM persepsi merupakan kunci dari suatu perilaku. (Nutbeam, 1999). Persepsi
merupakan proses manusia untuk menginterpretasi, menganalisis dan mengintegrasikan
stimuli yang didapat melalui organ-organ sensasi (Fieldman, 2005). Variabel kunci yang
4 menyebabkan individu melakukan tindakan pencegahan ataupun pengobatan penyakitnya
(Becker, 1974) yaitu: (1) Kerentanan yang dirasakan/ perceived susceptibility. (2) Keseriusan
yang dirasakan/ perceived
seriousness. (3) Manfaat dan rintangan yang dialami dalam
tindakan pencegahan atau melawan suatu penyakit (perceived benefits and barriers) dan (4)
Isyarat atau tanda-tanda/ cuess to action.
Metode Penelitian
Penelitian ini dengan menggunakan potong lintang (crossectional) dimana data diukur
atau diambil hanya satu kali pada waktu yang sama dari variabel dependen dan variabel
independen. Variabel dependen adalah praktek pemberian rehidrasi oral pada balita diare,
sedangkan variabel independen adalah usia ibu balita, pengetahuan ibu balita, pendidikan ibu
balita, persepsi ibu balita terhadap keseriusan diare pada balita, persepsi ibu balita terhadap
kerentanan diare pada balita, persepsi ibu balita terhadap manfaat memberikan rehidrasi oral,
persepsi ibu balita terhadap hambatan memberikan rehidrasi oral dan informasi untuk
memberikan rehidrasi oral pada balita diare.
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kotabaru, Kota Bekasi, selama 5
bulan pada bulan Februari - Juni 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang
mempunyai balita (usia 0-59 bulan) yang pernah diare dalam 4 bulan terakhir (Januari-April
2014) dan bertempat tinggal di cakupan wilayah kerja Puskesmas Kotabaru. Metode
pengambilan
sampel
dengan menggunakan pencuplikan sederhana (Simple Random
Sampling). Tehnik ini dipilih karena populasi dianggap memiliki karakteristik yang cukup
homogen (keseluruhan individu yang menjadi anggota populasi memiliki sifat-sifat yang
relatif sama antara yang satu dengan yang lain). Daftar nama balita diare yang ada dalam
register poliklinik anak Puskesmas Kotabaru selama 4 bulan terakhir dipilih secara acak
sebagai sampel penelitian. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus 2 (dua)
proporsi sebagai berikut:
n= (
√2P (1-P)+Z 1-ß √P1(1-P1)+P2(1-P2)2
(P1 – P2)2
Sehingga diperoleh jumlah sampel 72 orang, untuk menghindari sampel yang gagal atau
adanya kesalahan dan sebagainya, maka pengambilan sampel diperbesar sebanyak 10%,
sehingga diperoleh sampel yang dibutuhkan adalah 80 ibu balita.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah di uji coba
pada kelurahan di luar kelurahan Kotabaru, hal ini dilakukan untuk mengetahui validitas dan
5 reliabilitas pertanyaan dalam kuesioner.
Pengujian menggunakan software j-Metrik
dilakukan untuk mengetahui kualitas pengukuran dari pertanyaan sehingga pertanyaan dalam
kuesioner dinyatakan valid dan reliabel. Hasil ujicoba kuesioner yang dilakukan di kelurahan
Kranji pada 20 responden, setelah diuji didapatkan nilai Cronbach’s Alpha/ Coefficient Alpha
sebesar 0.7171 dengan 95% CI (0.4813, 0.8712) dan nilai discrimination index (nilai d = 0.29
s.d 0.73).
Data yang dikumpulkan adalah data primer melalui wawancara kepada ibu balita oleh
peneliti dengan menggunakan kuesioner. Setelah data kuesioner dikumpulkan, maka
dilakukan pengolahan data menggunakan software SPSS dengan langkah-langkah sebagai
berikut: (1) Penyuntingan /Editing. (2) Pengkodean /Coding. (3) Pengentrian Data/ Entry
Data. (4) Pembersihan Data/Cleaning.
•
Skor Pengetahuan
Setiap jawaban benar pada pertanyaan pengetahuan diberi nilai 1 sedangkan nilai 0
untuk jawaban yang salah dan jawaban tidak tahu / tidak menjawab. Semua jawaban
kemudian dihitung menjadi satu variabel baru yaitu tingkat pengetahuan dengan rentang nilai
0-8. Dari hasil perhitungan skor benar, kemudian pengetahuan dikategorikan menjadi
berpengetahuan tinggi jika ≥ 75% skor jawaban benar yaitu nilai 6 (enam) dan
berpengetahuan rendah jika < 75% skor jawaban benar (Arikunto, 2006).
•
Skor Persepsi
Untuk mempermudah perhitungan, masing-masing jawaban pernyataan mengenai
persepsi diberi skor sebagai berikut (skala Likert’s):
Skor Jawaban
Jenis Pernyataan
Pernyataan Positif
Pernyataan Negatif
Keterangan:
STS= Sangat Tidak Setuju
TS = Tidak Setuju
N
S
STS
TS
N
S
SS
1
5
2
4
3
3
4
2
5
1
= Netral
= Setuju
SS = Sangat Setuju
Setelah perhitungan dilakukan, jawaban dikategorikan namun sebelumnya dilakukan uji
normalitas. Adapun yang digunakan sebagai cut off point adalah nilai median (nilai tengah)
karena distribusi data tidak normal. Variabel persepsi dibedakan menjadi empat bagian
berdasarkan kerangka konsep yaitu persepsi keseriusan penyakit diare, persepsi kerentanan
6 balita terhadap penyakit diare, persepsi manfaat memberikan rehidrasi oral dan persepsi
hambatan memberikan rehidrasi oral dengan rentang nilai 3-15.
•
Skor Praktek
Terdapat 3 pertanyaan mengenai praktek dalam penelitian ini yang akan dikategorikan
menjadi 2 yaitu:
1= Ibu balita dikategorikan memberikan RO secara adekuat, apabila ibu memberikan RO
pada balitanya dengan dosis yang adekuat sesuai usia anak. Rentang nilai 3
2=
Ibu tidak memberikan RO (termasuk juga yang tidak memberikan rehidrasi oral atau
memberikan rehidrasi oral tetapi dosisnya salah/ tidak adekuat). Rentang nilai 0-2
Hasil Penelitian
Karakteristik Ibu Balita
Karakteristik ibu balita meliputi usia dan pendidikan. Usia ibu balita dalam penelitian
ini bervariasi dari usia 19 tahun hingga 43 tahun. Untuk kepentingan analisis, selanjutnya
usia ibu balita dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu ibu balita berusia muda (< 35 tahun) dan
ibu berumur (≥ 35 tahun). Proporsi berdasarkan usia dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu
balita berusia muda (< 35 tahun) yaitu 81,2%, sedangkan ibu berumur (≥ 35 tahun) sebanyak
18,8%. Sementara berdasarkan pendidikan formal, tingkat pendidikan, lebih dari setengah ibu
balita yaitu 66,3% merupakan tamatan SMP keatas / pendidikan tinggi. Gambaran
karakteristik ibu balita dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Karakteristik Individu
di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014
No
Variable /Kategori
Frekuensi
1
2
Usia Ibu Balita
-Ibu Usia Muda (< 35 tahun)
-Ibu Berumur (≥ 35 tahun)
Tingkat Pendidikan Ibu Balita
Tinggi (> tamat SMP)
Rendah (≤ tamat SMP)
Ibu Balita Diare
%
65
15
81,2
18,8
53
27
66.3
33.7
Pengetahuan Ibu Balita
Dari 8 (delapan) item pertanyaan pengetahuan yang dijawab oleh ibu balita, item yang
paling banyak memperoleh jawaban benar adalah pertanyaan ‘manfaat pemberian rehidrasi
7 oral’ yaitu sebesar 90% ibu balita dan ‘cara membuat larutan Oralit’ yang dijawab benar oleh
88,8% ibu balita. Sedangkan item pertanyaan yang paling sedikit memperoleh jawaban benar
adalah pertanyaan mengenai ‘tanda bahaya diare’ yaitu sebanyak 68 ibu balita (85%) yang
menjawab. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini:
Tabel 2. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Pengetahuan Tentang Diare dan Rehidrasi Oral
di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014
Frekuensi
n=80
Pengetahuan
Salah
Benar
n
%
n
%
Pengertian diare
25
31.3
55
Penyebab diare
46
57.5
Penyebab dehidrasi
27
Tindakan pertama yang dilakukan pada balita diare
Jumlah
68.8
N
80
%
100
34
42.5
80
100
33.8
53
66.3
80
100
22
27.5
58
72.5
80
100
Tatalaksana penanggulangan diare
48
60.0
32
40.0
80
100
Tanda bahaya diare
68
85.0
12
15.0
80
100
Cara membuat larutan Oralit
9
11.3
71
88.8
80
100
Manfaat pemberian rehidrasi oral
8
10.0
72
90.0
80
100
Hasil penelitian mendapatkan proporsi ibu balita (86,2%) berpengetahuan rendah
lebih banyak daripada ibu balita (13,8%) yang berpengetahuan tinggi. Hal ini dapat dilihat
pada tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014
Tingkat Pengetahuan Ibu Balita
Tinggi
Rendah
Total
Frekuensi
11
69
80
%
13.8
86.2
100
Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Tindakan yang pertama kali dilakukan ibu balita pada balita diare yang paling banyak
dilakukan oleh ibu balita (68,8%) adalah memberikan rehidrasi oral, sedangkan tindakan
paling sedikit dilakukan oleh ibu balita (5%) yaitu balita tidak diberi apa-apa, kemudian
sebesar 11,2% ibu balita melakukan tindakan lain-lain seperti memberikan pengobatan
tradiosional (jamu) dan serbuk lactobacillus.
8 Dari 55 ibu balita yang memberikan rehidrasi oral pada balitanya yang menderita
diare, sebanyak 49,1% ibu balita memberikan Larutan Gula Garam (LGG), 27,3%
memberikan oralit dalam kemasan, air tajin (10,9%), air kelapa (9,1%) dan kuah sayur
bening (3,6%). Sebagian besar 83,6% ibu balita memberikan dosis yang tepat dan hanya
16,4% ibu balita memberikan dalam dosis yang tidak tepat. Penilaian dosis rehidrasi oral
yang diberikan berdasarkan usia balita dimana menurut buku bagan MTBS dibagi menjadi 2
(dua); sampai umur 1 tahun yaitu 50-100 ml atau ¼ - ½ gelas setiap kali buang air besar dan
umur 1 sampai 5 tahun yaitu 100-200 ml atau ½ - 1 gelas setiap kali buang air besar.
Untuk kepentingan analisis, selanjutnya praktek pemberian RO dikategorikan
berdasarkan penilaian/skor praktek pemberian rehidrasi oral, sehingga pembagian kategori
menjadi ibu balita yang memberikan RO secara adekuat pada balita diare dan ibu balita yang
tidak memberikan RO pada balita diare. Sebagian besar (57,5%) ibu balita memberikan RO
secara adekuat dan hanya 42,5% ibu balita yang tidak memberikan RO pada balita diare
ditunjukkan oleh tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Kategori Praktek Pemberian Rehidrasi Oral pada Balita Diare
di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014
Praktek Pemberian Rehidrasi Oral (RO)
Memberikan RO secara adekuat
Tidak memberikan RO
Total
Frekuensi
46
34
80
%
57.5
42.5
100.0
Kepercayaan Kesehatan
Pernyataan mengenai persepsi keseriusan diperoleh hasil sebanyak 55% ibu balita
menyatakan tidak setuju dengan pernyataan “diare pada anak saya merupakan tanda bahwa
anak akan bertambah kepintarannya”. Pada pernyataan “diare dapat menyebabkan kematian
akibat tubuh mengalami dehidrasi (kekurangan cairan)” sebanyak 62,5% ibu balita
menyatakan setuju dan untuk pernyataan “diare tanpa adanya muntah dan berak (muntaber)
yang bercampur darah tidak berbahaya bagi anak saya” terdapat 48.8% ibu balita tidak setuju
dengan pernyataan tersebut. Selanjutnya untuk pernyataan mengenai persepsi kerentanan
hasil penelitian menunjukkan sebanyak 58,8% ibu balita menyatakan setuju dengan
pernyataan “anak saya lebih sering terkena diare dibandingkan orang dewasa”, sedangkan
pada pernyataan “anak saya yang sering bermain di luar rumah lebih mudah terkena diare.”
sebanyak 55% ibu balita menyatakan setuju dan untuk pernyataan “makanan pedas yang
9 dimakan oleh ibu menyusui, dapat menyebabkan diare pada anaknya” terdapat 41,3% ibu
balita tidak setuju dengan pernyataan tersebut.
Mengenai persepsi manfaat sebanyak 73,8% ibu balita menyatakan setuju dengan
pernyataan “oralit perlu diberikan pada anak saya yang diare, agar tidak terjadi dehidrasi/
kekurangan cairan”, sedangkan pada pernyataan “memberikan oralit pada anak saya yang
sedang diare, selain dapat mencegah dehidrasi juga dapat mempercepat penyembuhannya”
sebagian besar yaitu 86,3% ibu balita menyatakan setuju dan untuk pernyataan “pemberian
oralit pada anak saya yang diare merupakan cara yang paling mudah dan murah untuk
menggantikan cairan tubuh yang hilang selama diare” terdapat 72,5% ibu balita setuju
dengan pernyataan tersebut. Untuk persepsi hambatan, sebanyak 26,3% ibu balita
menyatakan setuju dengan pernyataan “Saya kesulitan untuk memberikan oralit pada anak
saya yang diare karena tidak tersedia dirumah”, sedangkan pada pernyataan “oralit tidak
disukai anak saya karena rasanya tidak enak dan menyebabkan anak muntah” sebanyak
31,3% ibu balita menyatakan setuju dan untuk pernyataan “memberikan oralit pada anak saya
yang diare membutuhkan banyak waktu” sebanyak 26,3% ibu balita sangat setuju dengan
pernyataan tersebut. Untuk kepentingan analisis, selanjutnya persepsi ibu balita dikategorikan
menjadi 2 (dua) dengan cut off point adalah nilai median karena data terdistribusi tidak
normal.
Tabel 5. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Kategori Kepercayaan Kesehatan
di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014
No
1
2
3
4
Variable /Kategori
Persepsi Keseriusan*
• Serius
• Tidak serius
Persepsi Kerentanan*
• Rentan
• Tidak rentan
Persepsi Manfaat*
• Bermanfaat
• Kurang bermanfaat
Persepsi Hambatan*
•• Tidak ada hambatan
•• Ada hambatan
Pendorong Bertindak*
• Ada informasi
• Tidak ada informasi
Keterangan : * = Nilai median
Ibu Balita Diare
Frekuensi n= 80
%
44
36
55.0
45.0
45
35
56,3
43,7
71
9
88.8
11.2
40
50.0
40
50.0
56
24
70.0
30.0
5
10 Tabel 5. menunjukkan lebih dari separuh ibu balita (55%) memiliki persepsi serius
terhadap diare pada balita dan 45% ibu balita memiliki persepsi tidak serius terhadap diare
pada balita serta 56,3% ibu balita memiliki persepsi balitanya rentan terhadap diare dan
43,7% ibu balita memiliki persepsi balitanya tidak rentan terhadap diare. Sebagian besar
yaitu 88,8% ibu balita memiliki persepsi RO bermanfaat terhadap balita diare dan sebanyak
11,2% ibu balita yang memiliki persepsi RO kurang bermanfaat terhadap balita diare.
Proporsi yang sama diperoleh pada persepsi ada/ tidak nya hambatan. Sebagian besar ibu
balita (70%) memperoleh informasi mengenai pemberian RO pada balita diare, sedangkan
yang tidak pernah mendapat informasi hanya 30% ibu balita.
Mengenai sumber informasi tentang pemberian rehidrasi oral terbanyak adalah dari
petugas kesehatan (50% ibu balita), 30,4% ibu balita mendapatkannya dari keluarga/
tetangga/ teman, dan hasil paling sedikit diperoleh dari majalah. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 6. dibawah ini:
Tabel 6. Distribusi Ibu Balita Berdasarkan Sumber Informasi Mengenai Pemberian Rehidrasi Oral pada
Balita Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Tahun 2014
Sumber Informasi
Internet
Majalah
Kartu Menuju Sehat (KMS)
Petugas Kesehatan
Kader Kesehatan
Keluarga/tetangga/teman
Total
Frekuensi
2
1
3
28
5
17
56
%
3.6
1.8
5.3
50.0
8.9
30.4
100
Hubungan Antara Variabel Penelitian dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Variabel penelitian yang memiliki hubungan bermakna dengan praktek pemberian RO
pada balita diare adalah persepsi kerentanan dan persepsi hambatan. Berdasarkan tabel 7
diketahui bahwa proporsi ibu balita yang memiliki persepsi balitanya rentan terhadap diare
(68,9%) lebih banyak yang memberikan rehidrasi oral daripada ibu balita yang memiliki
persepsi balitanya tidak rentan terhadap diare (42,9%). Nilai p=0,019 dan OR 2,95 berarti ada
hubungan yang bermakna antara persepsi kerentanan dengan praktek pemberian rehidrasi
oral pada balita diare. Ibu balita yang mempunyai persepsi balitanya rentan terhadap diare
memiliki peluang untuk melakukan
praktek pemberian rehidrasi oral hampir 3 kali
dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai persepsi balitanya tidak rentan terhadap
diare.
11 Tabel 7. Hubungan Antara Persepsi Kerentanan Ibu Balita dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Kota Bekasi Tahun 2014
Persepsi Kerentanan
Rentan
Tidak Rentan
Nilai p= 0,019
Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Memberikan
Tidak Memberikan
n=46
%
n=34
%
31
68,9
14
31,1
15
42,9
20
57,1
OR= 2,95 95% CI (1,17 – 7,41)
Total
n=80
45
35
%
100
100
Tabel 8. menunjukkan bahwa proporsi ibu balita yang memiliki persepsi tidak ada
hambatan pemberian rehidrasi oral pada balita diare (19,5%) lebih sedikit yang memberikan
rehidrasi oral dibandingkan dengan ibu balita (97,4%) yang memiliki persepsi ada hambatan
dalam memberikan rehidrasi oral pada balita diare. Nilai p<0,005 dan OR=13,2 berarti ada
hubungan yang bermakna antara persepsi hambatan dalam pemberian rehidrasi oral dengan
praktek pemberian rehidrasi oral pada balita diare. Ibu balita yang mempunyai persepsi tidak
ada hambatan dalam pemberian rehidrasi oral pada balita diare memiliki peluang untuk
melakukan praktek pemberian rehidrasi oral sebesar 13,2 kali jika dibandingkan dengan ibu
balita yang mempunyai persepsi ada hambatan dalam pemberian rehidrasi oral.
Tabel 8. Hubungan Antara Persepsi Hambatan dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Kota Bekasi Tahun 2014
Persepsi Hambatan
Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Memberikan
Tidak Memberikan
n=46
%
n=34
%
Tidak ada hambatan
34
85,0
6
15,0
Ada hambatan
12
30,0
28
70,0
Nilai p= 0,000, OR=13,2 95% CI (4,40 – 39,7)
Total
n=80
40
40
%
100
100
Pembahasan
Keterbatasan Penelitian.
Bias informasi dalam penelitian ini menyangkut kesalahan ibu balita dalam
mengingat dan melaporkan kejadian yang sebenarnya atau “recall bias”. Hal ini dapat terjadi
karena perbedaan kemampuan daya ingat dari ibu balita terkait kejadian diare pada anaknya
yang lalu, terutama ketika menjawab tindakan yang dilakukan pertama kali ketika balita diare
atau sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan. Untuk itu hal yang dapat dilakukan oleh
peneliti adalah dengan memilih metode wawancara sebagai cara ukur penelitian, sehingga
12 peneliti dapat secara langsung bertatap muka dan dapat menjelaskan kepada ibu balita apabila
ada pertanyaan/ pernyataan dalam kuesioner yang kurang dipahami oleh ibu balita.
Praktek Pemberian Rehidrasi Oral pada Balita Diare
Data hasil penelitian menunjukan praktek pemberian rehidrasi oral (RO) pada balita
diare sebanyak 57,5% ibu balita memberikan RO dengan adekuat dan 42,5% yang tidak
memberikan RO atau memberikan tetapi tidak adekuat. Kategori ini berdasarkan penilaian/
skor praktek pemberian RO yaitu (1) memberikan oralit/ CRT sebagai tindakan yang pertama
kali dilakukan ketika balita diare (2) jenis cairan RO yang diberikan (3) ketepatan dosis RO
yang diberikan. Jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 dimana proporsi pemberian
oralit di Indonesia (42,2%), Jawa Barat (35,7%), Kota Bekasi (46,7%) maka proporsi praktek
pemberian RO pada balita diare dalam penelitian ini masih lebih tinggi yaitu sebesar 57,5%.
Meskipun demikian, praktek pemberian RO masih perlu ditingkatkan mengingat wilayah
kerja Puskesmas Kotabaru merupakan daerah rawan banjir yang dapat meningkatkan angka
kejadian diare. Menurut Becker & Rosenstock (1974) bahwa praktek pemberian RO akan
dilakukan apabila ibu menganggap balitanya rentan terhadap diare dan merasakan adanya
manfaat pemberian RO bagi anaknya yang diare, kemudian tidak adanya hambatan dalam
melakukan pemberian RO tersebut, serta adanya informasi yang tepat.
Hubungan Usia Ibu Balita dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu balita dengan usia < 35 tahun
lebih banyak memberikan RO pada balita diare dibandingkan dengan ibu balita usia ≥ 35
tahun tetapi usia ibu balita bukan merupakan faktor yang mampu mempengaruhi praktek
pemberian RO secara adekuat. Dalam HBM terdapat variabel lain yang mempengaruhi
perilaku individu dan disebut sebagai faktor pemodifikasi, diantaranya variabel demografi
dimana usia individu termasuk ke dalam variabel tersebut. Dalam penelitian ini mungkin
bukan usia yang mempengaruhi praktek ibu dalam pemberian RO tetapi faktor lain seperti
kerentanan anak terhadap diare dan adanya hambatan untuk memberikan RO.
Hubungan Pendidikan Ibu Balita dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Pendidikan menunjukan hubungan yang tidak bermakna dengan praktek pemberian
RO, artinya pendidikan bukan merupakan faktor yang mampu mempengaruhi ibu balita untuk
memberikan RO secara adekuat pada anaknya yang diare. Pendidikan ibu balita tidak sejalan
dengan pengetahuan dan persepsinya dimana dalam penelitian ini ibu balita yang memiliki
pendidikan tinggi maupun pendidikan rendah sama saja perilakunya dalam pemberian RO.
13 Menurut Rosenstock dan Becker persepsi kita terhadap sesuatu lebih menentukan keputusan
yang kita ambil (Sarafino, 2011). Faktor persepsi mungkin lebih berperan dalam memutuskan
berperilaku dalam penelitian ini daripada pendidikan ibu, dimana ibu balita yang
mempersepsikan anaknya rentan terhadap diare akan berpeluang hampir 3 kali memberikan
RO dibandingkan yang mempersepsikan anaknya tidak rentan terhadap diare.
Hubungan Pengetahuan Ibu Balita dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Penelitian ini membuktikan bahwa ibu balita yang memiliki pengetahuan tinggi
mengenai diare dan pemberian RO hampir sama dengan ibu balita yang pengetahuannya
rendah dalam praktek pemberian RO secara adekuat. Tidak ada hubungan yang bermakna
antara pengetahuan ibu balita dengan praktek pemberian RO pada balita diare walaupun
dalam item pertanyaan mengenai manfaat pemberian RO sebanyak 90% ibu balita menjawab
benar, namun hal ini tidak sejalan dengan prakteknya. Didalam HBM dinyatakan bahwa
pengetahuan merupakan faktor pemodifikasi yang mendukung ibu balita dalam melakukan
praktek pemberian RO. Dalam penelitian ini mungkin faktor persepsi lebih berperan dalam
menentukan untuk melakukan praktek pemberian RO, dimana ibu yang menganggap diare
bukan penyakit yang serius bagi anaknya sehingga menganggap tidak perlu memberikan RO,
kemudian untuk ibu yang mempersepsikan anaknya rentan terhadap diare maka akan
memberikan RO sebagai pencegahan terhadap terjadinya dehidrasi.
Hubungan Persepsi Keseriusan dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi keseriusan terhadap diare tidak
berhubungan dengan praktek pemberian RO secara adekuat, artinya ibu balita yang
mempersepsikan diare sebagai hal serius bagi balitanya dengan yang mempersepsikan diare
bukan hal yang serius, perilakunya dalam pemberian RO memiliki kesamaan. Masih adanya
ibu balita yang menganggap diare bukan sesuatu yang serius karena masih adanya anggapan
bahwa diare merupakan tanda anak bertambah kepintarannya ini dibuktikan dengan sebanyak
13,8% ibu balita setuju terhadap pernyataan tersebut. Untuk mengubah persepsi keseriusan
ibu terhadap diare dapat melalui pendidikan kesehatan secara individu melalui konseling ibu
yang dapat dilakukan di Puskesmas maupun di Posyandu oleh petugas kesehatan, sehingga
penilaian ibu dapat berubah menjadi diare merupakan sesuatu yang serius dan dapat
menyebabkan dehidrasi yang dapat mengakibatkan kematian, jika tidak diberikan tindakan
pencegahan seperti pemberian RO.
Menurut Rosentock (1974) persepsi seseorang terhadap keseriusan suatu penyakit
atau masalah kesehatan bergantung pada penilaian ibu balita mengenai seberapa serius diare
pada anaknya, semakin ibu balita merasa bahwa penyakit yang di alami oleh anaknya itu
14 serius, maka akan semakin dipersepsikan sebagai hal yang mengancam dan melakukan
tindakan pencegahan. Dalam penelitian ini persepsi kerentanan dan hambatan yang berperan
dalam memutuskan untuk melakukan praktek pemberian RO, dimana ibu balita yang
mempersepsikan tidak ada hambatan dalam memberikan RO peluangnya 13 kali untuk
melakukan praktek pemberian RO dibandingkan yang mempersepsikan ada hambatan.
Hubungan Persepsi Kerentanan dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persepsi kerentanan terhadap diare
berhubungan dengan praktek pemberian RO secara adekuat, dimana ibu balita yang
mempersepsikan anaknya rentan terhadap diare berpeluang untuk melakukan
praktek
pemberian rehidrasi oral sebanyak hampir 3 kali dibandingkan dengan ibu balita yang
mempunyai persepsi anaknya tidak rentan. Sementara Rosentock (1974) dalam HBM
menyatakan individu akan mengevaluasi kemungkinan individu tersebut mengalami suatu
penyakit yang semakin berkembang. Semakin ibu balita yang mempersepsikan anaknya
rentan terhadap diare, maka akan membuat ibu balita mempersepsikannya sebagai ancaman
dan melakukan tindakan pencegahan.
Hubungan Persepsi Manfaat dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
Persepsi manfaat dalam penelitian ini menunjukkan hasil bahwa dalam pemberian RO
pada balita diare tidak berhubungan dengan praktek pemberian RO secara adekuat, oleh
karena pada penelitian proporsi ibu balita yang mempersepsikan bermanfaat terhadap
pemberian RO pada anaknya yang diare dan kurang bermanfaat terhadap pemberian RO sama
besar dalam memberikan RO maupun tidak, maka persepsi manfaat tidak mempengaruhi
praktek ibu dalam pemberian RO. Rosentock (1974) menyatakan jika ibu balita yang percaya
bahwa praktek pemberian RO bermanfaat bagi anaknya yang diare maka dia akan melakukan
praktek tersebut, namun jika manfaat tidak relevan dengan faktor lain seperti kerentanan dan
hambatan, maka tidak akan terjadi praktek tersebut. Dalam penelitian ini terbukti bahwa
hanya persepsi kerentanan dan hambatan yang memiliki pengaruh untuk ibu balita
memberikan RO pada anaknya yang diare. Promosi kesehatan di pelayanan kesehatan dengan
memanfaatkan media seperti leaflet yang diberikan kepada ibu balita maupun poster yang
ditempel di ruang tunggu pasien ketika berobat dengan tema pemberian RO pada balita diare
yang dapat menjelaskan manfaat pentingnya memberikan RO, diharapkan mampu mengubah
persepsi ibu balita bahwa pemberian RO merupakan sesuatu yang bermanfaat.
Hubungan Persepsi Hambatan dengan Praktek Pemberian Rehidrasi Oral
15 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persepsi hambatan berhubungan dengan
praktek pemberian RO secara adekuat, dimana ibu balita yang mempersepsikan tidak ada
hambatan terhadap pemberian RO pada anaknya yang diare lebih banyak berpeluang untuk
melakukan praktek pemberian RO secara adekuat sebanyak 13,2 kali dibandingkan dengan
ibu balita yang mempunyai persepsi ada hambatan memberikan RO pada anaknya yang diare.
Hal
ini karena masih adanya hambatan seperti ibu balita (26,3%) yang setuju tidak
memberikan oralit karena tidak tersedia dirumah. Oleh karena itu kegiatan URO berbasis
masyarakat perlu ditingkatkan seperti memberikan pembekalan baik berupa pengetahuan
mengenai cara penanganan diare maupun oralit yang disediakan di rumah kader kesehatan/
Posyandu untuk memudahkan masyarakat memperoleh RO sebagai upaya pencegahan
dehidrasi pada diare.
Hubungan Informasi Terkait Pemberian RO dengan Praktek Pemberian RO
Penelitian memperlihatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
informasi tentang pemberian rehidrasi oral dengan praktek pemberian rehidrasi oral pada
balita diare, hal ini berarti ibu balita yang ada informasi terkait diare dan ibu balita yang tidak
ada informasi sama saja perilakunya dalam pemberian RO. Menurut HBM faktor pendorong
berperilaku/ bertindak dapat berupa peristiwa, masyarakat atau hal yang dapat menggerakkan
seseorang untuk merubah perilakunya. Namun dalam penelitian ini persepsi hambatan serta
persepsi kerentanan yang lebih berperan dalam menentukan ibu balita untuk melakukan
praktek pemberian RO.
Kesimpulan
Hasil penelitian memperoleh sekitar separuh ibu balita (57,5%) melakukan praktek
pemberian rehidrasi oral (RO) secara adekuat pada balita diare. Ibu balita kebanyakan berusia
< 35 tahun (81,2%) dengan pendidikan terbanyak adalah tamatan SMP keatas/ pendidikan
tinggi (66,3%). Lebih dari separuh ibu balita (86,2%) memiliki pengetahuan rendah terkait
diare dan pemberian RO. Sekitar separuh ibu balita (55%) memiliki persepsi serius terhadap
diare pada anaknya dan (56,3%) mempersepsikan anaknya rentan terhadap diare, sebagian
besar ibu balita (88,8%) memiliki persepsi RO bermanfaat terhadap anaknya yang diare,
persepsi hambatan diperoleh hasil yang sama (50%) antara ibu balita yang mempersepsikan
16 ada hambatan dengan tidak ada hambatan dalam pemberian RO serta sebagian besar ibu
balita (70%) memperoleh informasi terkait diare dan pemberian RO pada balita diare
Variabel yang berhubungan dengan praktek pemberian RO pada balita diare adalah
persepsi kerentanan dan persepsi hambatan, dimana ibu balita yang mempunyai persepsi
balitanya rentan terhadap diare memiliki peluang untuk melakukan praktek pemberian RO
hampir 3 kali dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai persepsi balitanya tidak
rentan terhadap diare. Selain itu, ibu balita yang memiliki tidak adanya hambatan dalam
pemberian RO pada balitanya memiliki peluang untuk melakukan praktek pemberian RO
sebesar 13 kali jika dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai persepsi ada hambatan.
Variabel yang tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan praktek pemberian RO
pada balita diare, adalah pengetahuan, pendidikan, umur ibu balita, persepsi keseriusan,
persepsi manfaat dan pendorong untuk bertindak.
Saran
Melakukan upaya perubahan perilaku melalui program promosi kesehatan yang dapat
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait pencegahan terjadinya
dehidrasi pada diare. Memberikan suatu intervensi bagi masyarakat terkait masih rendahnya
pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam praktek pemberian rehidrasi oral. Pada penelitian
selanjutnya agar melakukan penelitian dengan metode atau desain yang dapat lebih menggali persepsi
masyarakat terkait diare dengan variabel-variabel yang lebih lengkap menggunakan pendekatan HBM
sehingga informasi yang diperoleh dapat lebih dalam dan lebih spesifik.
Daftar Referensi
Badan Litbangkes. (2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan.
Badan Litbangkes. (2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Available in:
http://www.depkes.go.id diunduh tanggal 20-3-2014 pukul 5.41 wib.
Badan Pusat Statistik (BPS), BKKBN, Kementerian Kesehatan dan MEASURE DHS ICF
International, (2013). Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2012.
Indonesia: BPS
Becker, Marshall H. Rosentock, Irwin. et all. (1974). The Health Belief Model and Personal
Health Behavior. New Jersey: Charles B. Slack Inc
17 Depkes, (2004). Buku Bagan dan Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta:
Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan.
Dinas Kesehatan Kota Bekasi. (2011). Profil Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2011. Kota
Bekasi: Dinas Kesehatan Kota Bekasi
Feldman, Robert S. (2005). Essentials of Understanding Psychology. Mc Graw-Hill
New York.
FKUI, Panitia lulusan Dokter FKUI 2002-2003 editor Tjokronegoro, Arjatmo.
Updates in Pediatric Emergencies hal 79-86, Jakarta: Balai Penerbit FKUI
(2002),
Harianto. (2004). Penyuluhan Penggunaan Oralit untuk Menanggulangi Diare di
Masyarakat Departemen Farmasi, FMIPA Universitas Indonesia. Majalah Ilmu
Kefarmasian, Vol. I, No.1, April 2004, 27 - 33
Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. (2008). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Press
Hegar, Badriul. (2011). Masalah Diare Anak di Indonesia. [Jurnal]. Medika Jurnal
Kedokteran No.6 Tahun Ke XXXVII hal 420, Juni 2011
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
Jakarta: Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Situasi Diare di Indonesia. Buletin jendela data dan
informasi kesehatan, Vol. II Triwulan II.
Kementerian Kesehatan RI. Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan. (2011). Oralit dan Zink, Pengobatan Baru Diare pada Anak [Jurnal].
Medika Jurnal Kedokteran No.6 Tahun Ke XXXVII hal 421, Juni 2011.
Nutbeam, D and Elizabeth Harris.(1999). Theory in a Nutshell: A Guide to Health Promotion
Theory, p 19-22. Australia: McGraw-Hill Book Company
Puskesmas Kotabaru. (2011). Profil Kesehatan Puskesmas Kotabaru Kecamatan Bekasi
Barat Tahun 2011. Kota Bekasi: Puskesmas Kotabaru.
Sarafino, Edward P and Timothy W. Smith. (2011). Health Psychology: Biopsychosocial
Interactions – Seventh Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc
Soenarto, S.Yati. (2008). Penelitian Translasional dan Kebijakan Berbasis Bukti: Diare pada
Anak
Sebagai
Studi
Kasus
[Jurnal]
Available
in:
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/726_pp0906010.pdf diakses tanggal 11-4-2014
pukul 11.14 wib
Weber, Martin. (2011). Penerapan Oralit dan Zinc Sebagai Protokol Terbaru
Penatalaksanaan Diare pada Anak [Jurnal]. Medika Jurnal Kedokteran No.5
Tahun Ke XXXVII hal 342-343, Mei 2011
18 WHO and UNICEF. (2009). Diarrhea : why children are still dying and what can be done.
WHO
Library
Cataloging-in-Publication
Data.
Available
in:
http://www.who.int/topics/millenniumdevelopmentgoals/childmortality/
diunduh
tanggal 20-3-2014 pukul 21.30 wib
WHO. (2005). The Treatment of Diarrhoea: a manual for physicians and other senior health
workers – 4th rev. Geneva: WHO Press
19 
Download