V. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN INDUSTRI PAKAN TERNAK DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT 5.1. Karakteristik Penggunaan Bahan Baku Pakan Salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia adalah kemampuan menghasilkan sendiri bahan baku pakan. Hampir seluruh bahan baku pakan dapat dihasilkan di Indonesia. Selama ini pemanfaatan bahan baku tergantung pada impor, sehingga fungsinya sebagai industri biologis dalam meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dalam negeri sangat rendah. Pemanfaatan jagung untuk pakan dibagi dalam dua kelompok, yaitu untuk ruminansia dan bukan ruminansia. Umumnya ternak ruminansia memanfaatkan limbah jagung berupa jerami jagung atau tanaman jagung muda (umur 60 hari) sebagai hijauan. Jagung biji hampir seluruhnya dimanfaatkan untuk pakan ternak bukan ruminansia (ayam, babi dan itik) dan sedikit untuk pakan sapi perah. Dalam ransum, jagung dimanfaatkan sebagai sumber energi yang diukur dengan istilah energi metabolis. Walaupun jagung juga mengandung protein hampir 9 persen, pertimbangan pemakaian jagung pada ransum adalah untuk sumber energi. Apabila energi dalam jagung kurang mencukupi, misalnya untuk pakan broiler, ke dalam ransum sering ditambahkan minyak agar energi ransum sesuai dengan kebutuhan ternak. Kontribusi energi jagung adalah dari patinya yang mudah dicerna. Jagung mengandung lemak 3.5 persen terutama pada lembaga biji. Lemak jagung mengandung asam lemak linoleat yang tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan ayam terutama petelur. Jagung mengandung kalsium dan fosfor relatif rendah dan sebagian besar fosfor terikat dalam bentuk fitat yang tidak tersedia 93 94 bagi ternak berperut tunggal. Jagung mengandung lisin dan metionin lebih rendah dibanding gandum atau dedak padi (Tabel 8) yang disebabkan oleh kandungan protein yang relatif rendah. Tabel 8. Perbandingan Nilai Gizi Jagung dengan Biji-bijian Lain dan Dedak Padi Nilai gizi Kadar air (%) Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Fosfor tersedia (%) Energi metabolis ayam (kkal/kg) Asam amino Lisin (%) Metionin (%) Metionin+sistin (%) Triptofan (%) Treonin (%) Asam linoleat (%) Xantofil (ppm) Jagung Sorgum Gandum 12 8.5 3.8 2.2 0.02 0.28 0.08 3 350 13 8.8 2.9 2.3 0.04 3 288 13 14.1 2.5 3.0 0.05 0.37 0.13 3 120 Gaplek (hard) 13 2.50 0.50 4.0 0.12 0.10 0.03 2 900 0.26 0.18 0.36 0.06 0.29 2.20 17 0.21 0.16 0.33 0.02 0.29 1.13 - 0.37 0.21 0.51 0.16 0.39 0.59 - 0.08 0.04 0.07 0.02 0.08 - Beras 11 8.7 0.7 9.8 0.08 0.08 0.03 2 990 Dedak padi 9 12.9 13.0 11.4 0.07 1.50 0.22 2 980 0.43 0.22 0.43 0.10 0.36 - 0.59 0.26 0.53 0.12 0.48 3.57 - Sumber : NRC (1994) Salah satu kelebihan jagung untuk pakan unggas terutama ayam petelur adalah kandungan xantofil yang berguna untuk menjadikan warna kuning telur lebih cerah. Bahan ini tidak dijumpai pada biji-bijian lain, dedak, atau ubi kayu. Oleh karena itu, apabila jagung tidak digunakan dalam ransum ayam petelur tetapi diinginkan warna kuning telur yang lebih cerah, perlu ditambahkan sumber xantofil lain seperti tepung daun lamtoro, corn gluten meal atau bahan xantofil murni. Pemakaian jagung dalam ransum ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain jenis ransum, kandungan gizi yang dikehendaki, alternatif bahan baku lain yang tersedia, dan harga. Namun demikian, jagung di Indonesia merupakan bahan baku utama ransum ayam, puyuh, itik, dan kadang-kadang babi. Pemakaian 95 jagung untuk pakan ikan, serta ayam kampung, itik, dan babi yang dipelihara secara tradisional masih sangat sedikit. Pemakaian jagung dalam ransum broiler biasanya lebih tinggi dibanding ayam petelur karena broiler membutuhkan energi yang lebih tinggi. Daya simpan untuk menghindari variasi suplai dan harga di kalangan produsen masih rendah, sehubungan masih sedikitnya tersedia silo penyimpanan dan pengeringan jagung di sentra-sentra produksi jagung. Penyimpanan sederhana yang terlalu lama di tingkat petani atau pengumpul akan meningkatkan kandungan aflatoksin pada jagung yang menurunkan kualitas komoditi tersebut. Setidaknya 24 jam setelah panen, jagung sudah bisa dikirim ke pabrik pakan. Kebanyakan penanaman jagung dilakukan pada lahan kering yang mengandalkan dukungan curah hujan sehingga biasanya saat musim tanam dilakukan serempak pada saat musim hujan. Biasanya berlangsung pada bulan Februari - Maret sehingga panen akan berlangsung hampir bersamaan. Benih jagung lokal hanya mampu menghasilkan sekitar 2,9 ton per hektar, sementara jagung varietas unggul mempunyai produktivitas 4,5 - 5,7 ton per hektar. Belakangan ini mulai populer diperkenalkan jagung hibrida yang mampu menghasilkan lebih dari 6 ton per hektar, dengan berbagai kelebihan karakteristik seperti tahan terhadap kekeringan dan kebasahan, serta tahan serangan hama penyakit yang biasa menyerang tanaman jagung. Perbedaan perilaku industri dalam penggunaan input untuk kawasan Lampung dan Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 9. 96 Tabel 9. Perbedaan Perilaku Penggunaan Bahan Baku pada Industri Pakan Ternak di Lampung dan Jawa Barat Propinsi Lampung Jawa Barat Keterangan : Indikator HJGG SPJG SJGL HBKD SPBK SBKL 1 081.71 48.086 93.6 2 108.31 11.964 56.7 1 029.36 38.004 82.5 1 097.78 16.528 41.2 HJGG SPJG SJGL HBKD SPBK SBKL = Harga jagung (Rp/kg) = Pangsa penggunaan jagung (%) = Pangsa penggunaan jagung lokal (%) = Harga bungkil kedele (Rp/kg) = Pangsa penggunaan bungkil kedele (%) = Pangsa penggunaan bungkil kedele lokal (%) Pangsa pemakaian jagung di dalam komposisi pakan pada industri pakan di Lampung berkisar 48.086 persen, dimana pangsa penggunaan jagung lokalnya adalah 93.6 persen. Pemakaian jagung ini lebih tinggi dibandingkan Jawa Barat yang hanya 38.004 persen dengan pangsa penggunaan jagung lokalnya sedikit lebih rendah yaitu 82.5 persen. Hal ini mengingat Lampung merupakan sentra produksi jagung sehingga pabrik pakan tidak banyak menemukan kesulitan di dalam mendapatkan jagung dengan harga berkisar Rp. 1 081.71 per kg. Namun harga jagung di Jawa Barat sedikit lebih rendah yaitu Rp. 1 029.36 per kg. Hal ini dikarenakan harga jagung impor yang biasanya lebih murah dibandingkan jagung lokal. Pangsa pemakaian bungkil kedele di dalam komposisi ransum pada industri pakan di Lampung berkisar 11.964 persen, dimana pangsa penggunaan bungkil kedele lokalnya adalah 56.7 persen. Pemakaian bungkil kedele ini lebih rendah dibandingkan Jawa Barat yang berkisar 16.528 persen, namun pangsa penggunaan bungkil kedele lokalnya lebih rendah yaitu 41.2 persen. Diakui bahwa industri pakan di Jawa Barat kesulitan mendapatkan kedelai di dalam negeri dikarenakan produksinya yang rendah sehingga dibutuhkan impor. Industri 97 pakan di Jawa Barat sebenarnya lebih senang mengimpor bahan baku selain karena harganya lebih murah, kualitasnya lebih baik dan kontinuitas bahan baku terjamin. Jawa Barat juga secara geografis dekat dengan pelabuhan masuknya barang impor di kota Jakarta sehingga dibutuhkan biaya transportasi yang kecil di dalam mendapatkan bahan baku bungkil kedele. Hal ini terlihat dari perbedaan harga bungkil kedele yang besar, yang dibeli oleh industri pakan di Lampung dan Jawa Barat. Di Lampung harga bungkil kedele rata-rata berkisar Rp. 2 108.31 per kg, sementara di Jawa Barat Rp. 1 097.78 per kg. Kenyataan bahwa akhir-akhir ini perusahaan lebih banyak membeli bahan baku pakan (raw material) didalam negeri, tidak terlepas dari peran pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan bagi industri pakan untuk lebih banyak membeli jagung dan bungkil kedele di dalam negeri. Pemerintah mewajibkan importir membeli bungkil kedele dalam negeri dengan rasio impor 40 dibanding 60 persen. Pada tahun 2000, industri pakan mulai menunjukkan pertumbuhan setelah produksi pakan turun hingga 60 persen akibat krisis ekonomi. Industri pakan memfokuskan pengadaan jagung dari dalam negeri meskipun impor jagung masih dilakukan untuk menutupi kekurangan pasokan. Upaya industri pakan untuk memperoleh jagung dalam negeri antara lain dilakukan dengan membuka ladang jagung sendiri dengan menggunakan benih hibrida, membuka pabrik pakan baru di daerah sentra produksi jagung sehingga memungkinkan berhubungan langsung dengan petani, dan membuka serta membangun fasilitas pengeringan dan pergudangan (silo) skala besar di daerah sentra produksi. 98 Sebagaimana diinginkan kemandirian pangan atau swasembada, begitu pula dalam penyediaan pakan, juga tengah diupayakan dengan keras kemandirian pakan. Ketergantungan pakan ternak terhadap komoditi impor perlahan-lahan turun. Disamping itu, sedang digali potensi bahan baku pakan ternak yang menjadi unggulan. Misalnya, sekarang ini terbukti dari data yang ada, ketersediaan bahan baku pakan lokal seperti jagung, semakin meringankan beban produksi pakan ternak. Selain itu, salah satu industri pakan terkemuka di Lampung, beberapa tahun terakhir ini mengganti bungkil kedele sebagai sumber protein dengan minyak kasar (mentah) kelapa atau kopra (coconut oil) dan minyak kasar (mentah) kelapa sawit (crude palm oil). Kandungan energi CPO mencapai 7 800 kkal, namun, persentasenya pada ransum paling tinggi hanya 4 persen karena pemakaian yang lebih tinggi akan menyulitkan dalam mencampur pakan atau dapat menurunkan kualitas pellet yang dihasilkan. Mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama, limbah sawit yang melimpah akan termanfaatkan dengan baik sebagai bahan baku pakan ternak. 5.2. Perkembangan Industri Pakan Ternak di Lampung dan Jawa Barat Meningkatnya permintaan daging ayam ras menyebabkan meningkatnya produksi daging dan populasi ayam ras di Indonesia. Selama periode 2001-2005, jumlah produksi daging dan populasi ayam ras di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9.9 persen dan 9.8 persen per tahun (Statistik Peternakan, 2005). Meningkatnya produksi daging dan populasi ayam ras selanjutnya berdampak terhadap kenaikan permintaan pakan ayam ras. Permintaan pakan yang meningkat tersebut harus diikuti oleh adanya peningkatan produksi pakan. 99 Produksi pakan pada tahun 1996 sebesar 4.3 juta ton dan menurun menjadi 2.7 juta ton pada tahun 1999, kemudian kembali meningkat berturut-turut menjadi 4.5 juta ton pada tahun 2000 dan mencapai 10 juta ton pada tahun 2003 (Deptan, 2004). Indonesia telah mempunyai pengalaman 25 tahun dalam membina usaha ternak rakyat, namun perkembangannya mengalami stagnasi dan tetap bermasalah. Peternak ayam rakyat dalam 20 tahun terakhir telah berkembang silih berganti. Peternak rakyat yang kemarin telah jatuh pailit, sedangkan yang ada sekarang sedang megap-megap. Maka salah jika ada dugaan peternak rakyat yang ada sekarang sudah berpengalaman 25 tahun dan mereka sekarang sudah mapan. Peternak rakyat yang ada sekarang adalah peternak baru. Peternak rakyat, karena mereka memiliki kemampuan modal yang rendah, tidak akan pernah menjadi mapan secara sendiri-sendiri. Mereka hanya bisa menjadi mapan, jika mereka bersatu dalam suatu organisasi yang mampu menghilangkan semua titik lemah usaha kecil. Salah satu kesalahan kita pada masa lalu adalah mendorong pertumbuhan investasi pabrik pakan, baik PMDN maupun PMA dengan mengambil lokasi Jawa Barat. Kebijaksanaan ini telah mendorong pertumbuhan usaha rakyat di Jawa Barat pula. Padahal Jawa Barat bukanlah wilayah penghasil butir-butiran pakan ternak yang utama seperti jagung, kedele, kacang tanah, dan sebagainya. Namun diakui bahwa Jawa Barat sangat dekat dengan wilayah konsumsi utama yaitu Jakarta. Kota ini memang menjadi andalan bagi semua produsen hasil pertanian sampai sekarang. 100 Pengalaman dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan, bahwa peternak ayam rakyat yang berlokasi di wilayah sentra produksi bahan baku pakan tidak begitu terusik dengan masalah harga pakan dibandingkan dengan peternak rakyat di Jawa Barat. Pergeseran usaha rakyat ke wilayah produksi butir-butiran tidak hanya terjadi dalam wilayah propinsi tetapi juga antar propinsi. Hasil penelitian dan data BPS memperlihatkan dalam periode 1976 sampai tahun 1985, usaha rakyat terkonsentrasi di wilayah Jabotabek. Namun setelah tahun 1986 sampai sekarang, sebagian besar usaha rakyat bergeser ke wilayah sentra produksi butir-butiran. Pergeseran usaha rakyat antar propinsi terjadi dari Jawa Barat ke Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan terakhir ke Lampung. Menurut sensus BPS (2003), usaha broiler dalam bentuk usaha rakyat hanya berkembang di delapan propinsi, diantaranya Jawa Barat (35 persen), Jawa Timur (22 persen), Jawa Tengah (8 persen), Sumatera Utara (6 persen), serta sisanya di Riau, Bali, Lampung dan Sulawesi Selatan (masing-masing 3 persen). Hal ini juga terjadi untuk ayam ras petelur. Sebagian besar populasi ayam ras petelur berada pada propinsi yang sama dengan ayam broiler. Sementara dari data produksi jagung BPS (2004), produksi jagung terpusat di Jawa Timur (37 persen), Jawa Tengah (16 persen), Lampung (11 persen), Sumatera Utara (6 persen) dan Sulawesi Selatan (6 persen). Dari informasi ini terlihat bahwa dari 30 propinsi di Indonesia, usaha rakyat hanya terdapat pada delapan propinsi dimana seluruhnya berada dalam wilayah penghasil butir-butiran pakan ternak. Di propinsi Lampung, pada tahun 1999 terdapat enam pabrik pakan, sementara di tahun 2003 terdapat lima pabrik pakan. Ini artinya ada perusahaan 101 yang bangkrut dan menutup usahanya, namun digantikan oleh perusahaan baru dengan kapasitas produksi lebih besar. Di tahun 2001 sebuah perusahaan bernama PT. Jaka Utama Kraftfutther telah menutup usahanya di Lampung. Kemudian di tahun 2003 masuk perusahaan baru, yang merupakan anak perusahaan PT. Anwar Sierad di Jakarta, dengan nama PT. Sierad Grain. Sementara di Jawa Barat pada tahun 1999 terdapat 23 pabrik pakan dan diakhir tahun 2003 jumlahnya turun menjadi 21 pabrik pakan. Bila dilihat dari kapasitas produksi pakan ternak di kawasan Lampung rata-rata 648.43 ribu ton per tahun dengan lima industri pakan, didapat rataan efisiensi teknis kawasan 31.54 persen per tahun. Bandingkan dengan Jawa Barat dimana kapasitas produksi pabrik pakan rata-rata 3 577.88 ribu ton per tahun, didapat rataan efisiensi teknis kawasan sebesar 51.32 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan tingkat persaingan yang tinggi mendorong perusahaan berusaha dengan lebih efisien. Namun bila dilihat dari rataan efisiensi teknis tiap perusahaan, pabrik pakan di Lampung ternyata lebih efisien dibandingkan Jawa Barat, dengan masing-masing 68.40 persen dan 59.17 persen. Hal ini diduga karena di Lampung, penjualan pakan lebih didominasi oleh dua perusahaan besar, sehingga secara keseluruhan efisiensi teknisnya kecil. Selain itu bila dilihat dari indikator pasar seperti rasio konsentrasi, maka di Lampung menunjukkan rataan yang lebih besar. Rasio konsentrasi dihitung menggunakan Herfindahl-Hirschman Index, dan hasilnya di kawasan Lampung didapat rataan 0.2792, sementara di Jawa Barat rata-rata rasio konsentrasi yaitu 0.1458. Gambar 11 memperlihatkan rasio konsentrasi industri di dua propinsi mulai tahun 1999-2003. 102 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 Lampung 0.15 Jabar 0.10 0.05 0.00 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 11. Indeks Rasio Konsentrasi Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003 Sementara itu rata-rata pangsa pasar di Lampung adalah 29.35 persen dan di Jawa Barat 4.982 persen. Gambar 12 memperlihatkan pangsa pasar di dua propinsi mulai tahun 1999-2003. 35 30 25 20 Lampung 15 Jabar 10 5 0 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 12. Pangsa pasar Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003 103 Sementara itu rata-rata market power di Lampung adalah 0.31 dan di Jawa Barat 0.20. Market power dihitung menggunakan Lerner Index dan secara teori, semakin terkonsentrasi suatu industri maka market power semakin besar. Gambar 13 memperlihatkan market power di dua propinsi mulai tahun 19992003. 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 Lampung 0.15 Jabar 0.1 0.05 0 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 13. Market Power Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003 Bila dilihat dari rata-rata rasio konsentrasi, pangsa pasar dan market power di propinsi Lampung, maka dapat disimpulkan bahwa struktur pasar pakan di Lampung cenderung mengarah ke pasar oligopoli atau monopoli (Sheperd, 1997). Selain itu lanjut Sheperd, Market power muncul jika pangsa perusahaan mencapai 15 persen dan dapat dikatakan monopoli jika mencapai 25 sampai 30 persen. Dengan menggunakan indikator yang sama, untuk Jawa Barat dapat disimpulkan bahwa struktur pasar pakan di Jawa Barat mengarah kepada pasar bersaing. Namun harga pakan di kawasan Jawa Barat yang berkisar Rp. 1 791.8 per kg, lebih tinggi dibandingkan Lampung yang rata-rata berkisar Rp. 1 710 per 104 kg, padahal harga input lebih rendah di Jawa Barat. Semestinya harga pakan di kawasan Jawa Barat lebih rendah. Gambar 14 memperlihatkan harga pakan di dua propinsi mulai tahun 1999-2003. 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Lampung Jabar 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 14. Harga Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 19992003 Bila dilihat dari pangsa biaya produksi di Jawa Barat yang berkisar 53.97 persen dan Lampung berkisar 75.18 persen memperlihatkan bahwa di Jawa Barat pangsa biaya yang cukup besar ada di pangsa biaya lainnya. Biasanya biaya-biaya lain yang dikeluarkan perusahaan pakan adalah biaya iklan atau promosi dan biaya riset dan pengembangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa struktur pasar pakan di Jawa Barat merupakan pasar persaingan monopolistik, dimana ciricirinya yaitu jumlah industri pakan yang banyak, tidak terdapat hambatan masuk (barriers to entry), produk didiferensiasikan, tingkat konsentrasi yang rendah, harga output ditetapkan tinggi, sementara perusahaan gencar melakukan promosi (Samuelson and Nordhaus, 1995). 105 5.3. Dampak Perkembangan Industri Pakan Ternak Ayam terhadap Perkembangan Industri Perunggasan Nasional Peran dan posisi peternakan memang terbukti sangat strategis, namun banyak menghadapi berbagai permasalahan pelik serta tantangan yang berat. Salah satu permasalahan pelik itu adalah ketergantungan industri pakan ternak terhadap bahan baku asal impor. Padahal biaya terbesar dari produksi pangan asal ternak berada pada pakan. Yang memprihatinkan, bahan baku yang diimpor tersebut justru merupakan hasil pertanian yang sebenarnya mudah diproduksi di dalam negeri, umpamanya jagung dan tepung ikan. Sediaan premix feed additive dan feed supplement masih banyak yang harus didatangkan dari luar negeri. Peternakan akhir-akhir ini kembali mengalami krisis, setelah sempat pulih akibat krisis moneter 1998 lalu. Tahun 2004 diawali dengan adanya wabah flu burung (Avian Influenza) yang langsung mengguncang dunia perunggasan. Berdasarkan data yang ada, dari 87 juta populasi ayam petelur di tahun 2003, pada saat itu tinggal 30-40 persen saja. Harga ayam potong di tingkat peternak yang biasanya berkisar Rp 8 400 per kg, telah tertekan menjadi Rp 3 900 sampai Rp 4 000 per kg. Daya serap di tingkat konsumsi mengalami stagnasi sampai 50-60 persen. Di samping peternak, yang juga paling menderita akibat isu flu burung adalah industri pembibitan. Akibat terjadinya stagnasi konsumsi daging ayam, harga Day Old Chick (DOC) jatuh sampai ke titik terendah, yakni Rp 400 per ekor. Dengan produksi bibit ayam mencapai 20 juta ekor per minggu, maka terjadi kelebihan penawaran sekitar separuhnya. Jatuhnya harga DOC sebagai dampak terlambatnya serapan daging ayam oleh masyarakat. Penumpukan ayam siap 106 panen di kandang-kandang peternak telah menyebabkan terhentinya siklus produksi lanjutan2. Wabah flu burung belum mereda, di pertengahan 2004 perunggasan kembali diguncang dengan melambungnya harga pakan. Harga pakan ternak terus melonjak seiring dengan naiknya harga bahan baku pakan di pasar internasional dan biaya pengapalan. Akibatnya produsen pakan ternak secara bertahap menaikkan harga pakan rata-rata Rp 200 per kg dan akhirnya mencapai Rp 2 700 per kg. Kenaikan harga itu tidak bisa dielakkan, soalnya, bahan baku pakan ternak umumnya masih impor. Selain harga impor naik akibat kenaikan harga internasional bahan baku pakan sekitar 50 persen, biaya pengapalan juga naik 40 persen. Di pasar internasional harga jagung mencapai US$ 200/ton dari harga sebelumnya sebesar US$ 120/ton. Lonjakan yang sama juga terjadi pada harga bungkil kedele yang mencapai US$ 400/ton dari harga sebelumnya US$ 185/ton. Tepung tulang yang seluruhnya impor dari US$ 300/ton menjadi US$ 405/ton. Biaya pengapalan semula hanya US$ 22/ton menjadi US$ 85/ton. Bagi pengusaha ternak rakyat tentunya kenaikan itu sangat memberatkan. Di lain pihak untuk meningkatkan harga jual ayam tidaklah mudah. Poduksi ayam merosot tajam, harga jual turun drastis hingga Rp 1 100/kg dari sebelumnya Rp 7 300/kg karena masyarakat enggan mengkonsumsi daging ayam dan telur3. Apabila mengikuti tren kenaikan harga pakan, resikonya adalah masyarakat mengurangi konsumsi daging atau telur terlebih kemampuan daya beli masih rendah. ______________________ 2 Pikiran Rakyat (2004). Harga Pakan ”Meroket”, Bahan Baku Berkurang Karena Diduga Tersedot ke Cina. Jum’at, 30 April 2004. 3 Http/www.sinarharapan.co.id. 2003 107 Di tingkat petani, pakan berkualitas bagus harganya Rp 2 700/kg. Bila menggunakan FCR (Food Convertion Ratio) ideal sebesar 1.5-1.6 yakni untuk mendapatkan bobot ayam hidup satu kilogram diperlukan konsumsi pakan sebanyak 1.6 kilogram, maka itu berarti biaya pembelian pakan untuk FCR 1.6 adalah paling sedikit Rp 4 320 dengan bobot ayam hidup satu kilogram. Kenyataannya, peternak sulit mendapatkan FCR ideal dan seringkali melonjak hingga 1.8-2.0 (Rasyaf, 1994). Sementara itu maraknya penyelundupan, khususnya telur ditengarai ikut merusak harga pasar. Telur produksi peternak sulit bersaing dengan telur selundupan dari Malaysia yang dijual dengan harga Rp 4 000/kg. Padahal harga telur ayam di peternak sudah mencapai Rp 6 200/kg. Untuk itu industri peternakan ayam perlu dibenahi agar produksinya bisa maksimal dan bersaing, di samping meningkatkan kesejahteraan peternak ayam, dan menaikkan daya beli masyarakat. Penanganan jangka panjang ketersediaan bahan baku sangat penting agar peternak rakyat bisa berkompetisi. Kondisi peternak saat ini sangat sulit, dimana di satu sisi harus berhadapan dengan perusahaan besar yang menguasai peternakan unggas dari hulu sampai hilir (integrasi vertikal dan horisontal) sehingga bisa mengendalikan harga, sementara di sisi lain harus bersiap dengan serbuan produk selundupan.