AKROMEGALI DAN GIGANTISME Melati Silvani, M. Aron Pase, Santi Syafril, Dharma Lindarto, Steffie S. Solin Divisi Endokrin dan Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik Medan Pendahuluan Hormon pertumbuhan manusia (Growth Hormone/GH) merupakan peptida rantai tunggal yang terdiri dari 191 asam amino, yang diisolasi dari sel somatotrop pada kelenjar hipofisis anterior pada tahun 1956, dan pertama kali digunakan sebagai terapi untuk penatalaksanaan dwarfisme hipofisis pada tahun 1958. Dwarfisme hipofisis adalah bentuk klasik dari defisiensi hormon pertumbuhan pada anak-anak. Gigantisme merujuk kepada keadaan tinggi badan berdiri lebih dari 2 standar deviasi dari rata-rata sesuai dengan jenis kelamin, usia, dan stadium Tanner. Pertumbuhan linear yang abnormal karena aksi Insulinlike Growth Factor-I (IGF-I)/GH menyebabkan gigantisme ketika lempeng pertumbuhan epifiseal terbuka saat masa kanak-kanak, ketika pubertas muncul akan diikuti dengan perubahan akromegalik yang progresif menyebabkan akromegalik gigantisme. Ketika onset penyakit muncul setelah penutupan epifiseal, hanya akromegali yang timbul.1,2 Akromegali merupakan gangguan pertumbuhan somatik dan proporsi yang pertama kali dideskripsikan oleh Marie pada tahun 1886. Peningkatan kadar GH an IGF-1 merupakan petanda pada sindroma ini. Ketika Marie menggambarkan sindroma ini pada pasiennya, pertumbuhan hipofisis yang berlebih merupakan penyebab atau refleksi dari Visceromegaly pada pasien-pasien ini. Pada tahun 1909, Harvey Cushing melaporkan remisi gejala klinis dari akromegali setelah dilakukan hipofisektomi parsial, yang mengindikasikan etiologi penyakit dan penatalaksaan yang potensial.1 Akromegali berasal dari istilah Yunani yaitu akron (ekstremitas) dan megale (besar), yang didasarkan atas salah satu temuan klinis akromegali, yaitu pembesaran tangan dan kaki. Sebagian besar (98%) kasus akromegali disebabkan oleh tumor hipofisis. Gejala klinis yang dijumpai pada pasien akromegali disebabkan oleh massa tumor dan hipersekresi hormon pertumbuhan (growth hormone) yang terjadi setelah lempeng peftrmbuhan tulang menutup. 1 Seiring dengan kemajuan dalam bidang pencitraan dan evaluasi hormonal, makin banyak pasien Akromegali ditemukan dan mendapatkan tata laksana di Indonesia.2 Epidemiologi Angka prevalensi akromegali diperkirakan mencapai 70 kasus dari satu juta penduduk, sementara angka kejadian akromegali diperkirakan mencapai 3-4 kasus setiap tahunnya dari satu juta penduduk. Frekuensi akromegali sama pada laki-laki dan perempuan. Usia rerata pasien yang terdiagnosis akromegali adalah 40-45 tahun.2,3 Etiologi Hipersekresi GH biasanya disebabkan oleh adenoma somatotrop, dan dapat juga disebabkan oleh lesi ekstrapituitary tetapi cukup jarang. Selain adenoma somatotrof yang mensekresi GH, tumor mammosomatotrop dan adenoma acidophilic stem-cell yang mensekresikan GH dan PRL (prolaktin). Pada pasien adenoma acidophilic stem-cell, gambaran hiperprolaktinemia lebih dominan dibandingkan dengan tanda akromegali.4 Tabel 1. Etiologi akromegali4 Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone) a. Sintesis 2 GH adalah hormon hipofisis anterior yang paling banyak dan sel somatotrop yang mesekresikan GH sebanyak 50 % dari populasi sel total hipofisis anterior. Sel mammosomatotrop, yang menkoekspresikan PRL dengan GH, dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknik double immunostaining. Perkembangan somatotrop dan transkripsi GH ditentukan dengan ekspresi cell-specific Pit-1 35 nuclear transcription factor. Terdapat 5 gen yang menyandi GH dan protein terkait. Gen pituitary GH (hGH-N) menghasilkan dua produk alternatif yang meningkatkan GH sampai 22 k-Da (191 asam amino) dan jumlah yang lebih sedikit molekul GH 20 kDa dengan aktivitas biologis yang serupa. Sel placental syncytiotrophoblast mengekspresikan gen varian GH (hGH-V), hormon Human Chorionic Somtaotropin (HCS) diekspresikan oleh kluster gen yang berbeda.4 b. Sekresi Sekresi GH dikendalikan oleh kompleks hipotalamik dan faktor perifer. Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) terdiri dari 44 asam amino peptida hipotalamik yang menstimulasi sintesis GH dan pelepasannya. Ghrelin, merupakan octanoylated gastricderived peptide, dan agonis sintetik dari Growth Hormone Secretagogue-Reseptor (GHS-R) menginduksi GHRH dan juga secara langsung menstimulasi pelepasan GH. Somatostatin [somatotropin-release inhibiting factor (SRIF)] disintesis di area preoptik medial di hipotalamus dan menghambat sekresi GH. GHRH disekresikan dengan lonjakan yang berlainan yang menimbulkan pulse GH, sedangkan SRIF mengatur pola sekretori GH basal. SRIF juga diekpresikan pada banyak jaringan ekstrahipotalamus, termasuk sistem saraf pusat, gastrointestinal, dan pankreas, dimana SRIF juga berperan untuk menghambat sekresi hormon islet. IGF-1, target GH di perifer, memberikan umpan balik untuk menghambat GH, estrogen merangsang GH, sedangkan glukokortikoid berlebihan yang kronik akan mensupresi pelepasan GH.4,5 Reseptor permukaan pada somatotrop meregulasi sintesis dan sekresi GH. Reseptor GHRH merupakan reseptor G protein–coupled (GPCR) yang memberikan sinyal melalui jalur intraseluler siklik AMP untuk menstimulasi proliferasi sel somatotrop begitu juga produksi GH. Sekresi GH bersifat pulsatil, dengan kadar puncak pada malam hari, berkaitan dengan onset tidur. Laju sekresi GH menurun sesuai usia, oleh karena itu kadar hormon pada paruh baya sekitar 15 % dari kadar pada saat pubertas. Perubahan ini paralel terhadap penurunan massa otot yang kurus terkait usia. Sekresi GH juga menurun pada individu yang obesitas, walaupun kadar IGF-1 mungkin tidak tersupresi, hal ini menunjukkan adanya perubahan pada setpoint kontrol umpan balik. Dengan menggunakan uji standar, pengukuran GH acak tidak terdeteksi pada <50% sample yang diambil siang hari dari subyek yang sehat 3 dan juga tidak terdeteksi pada subyek yang obsesitas dan usia tua. Dengan demikian, pengukuran GH acak tidak dapat membedakan pasien dengan defisiensi GH pada dewasa dari individu sehat. Sekresi GH sangat dipengaruhi faktor nutrisi. Dengan menggunakan uji GH yang ultrasensitif dengan sensitivitas 0.002 μg/L, beban glukosa menekan GH sampai < 0,7 μg/L pada perempuan dan < 0,07 μg/L pada laki-laki. Peningkatan frekuensi pulsasi dan amplitudo GH muncul pada malnutrisi yang kronis atau puasa yang lama. GH distimulasi dengan l-arginine, dopamine, dan apomorphine (agonis reseptor dopamin), seperti jalur ßadrenergic, blokade b-Adrenergik menginduksi GH basal dan memicu GHRH dan pelepasan GH yang dibangkitkan oleh insulin.4,5 c. Aksi Pola sekresi GH dapat mempengaruhi respon jaringan. Pengeluaran GH lebih tinggi pada laki-laki jika dibandingkan pada perempuan sekresi GH yang relatif kontinu kemungkinan merupakan penentu biologis yang penting pada pola pertumbuhan linier dan induksi enzim hati. Hati dan kartilago mengandung jumlah reseptor GH yang paling banyak. Ikatan GH dengan reseptor dimer diikuti dengan rotasi internal dan selanjutnya memberi sinyal melalui jalur JAK/STAT. Protein STAT yang teraktivasi mengalami translokasi ke nukleus, dimana terjadi modulasi ekspresi gen target yang diregulasi GH. Analog GH yang berikatan dengan reseptor tetapi tidak memiliki kapabilitas memediasi sinyal reseptor merupakan aksi antagonis GH yang poten. Antagonis GH reseptor (pegvisomant) telah disetujui untuk menjadi terapi akromegali. GH menginduksi sintesis protein dan retensi nitrogen dan mengganggu toleransi glukosa dengan melawan aksi insulin. GH juga mentimulasi lipolisis, yang mengakibatkan peningkatan kadar asam lemak yang bersirkulasi, menurunkan massa lemak omental, dan memicu pengurangan massa tubuh. GH memicu retensi natrium, kalium, dan air dan meningkatkan kadar fosfat inorganik. Pertumbuhan linear tulang sebagai hasil dari kompleks hormonal dan aksi faktor pertumbuhan termasuk IGF-1. GH menstimulasi diferensiasi prekondrosit epifiseal. Sel prekursor ini memproduksi IGF-1 secara lokal dan proliferasinya juga responsif terhadap faktor pertumbuhan.4 Insulin-like Growth Factor (IGF) Walaupun GH menyebabkan efek langsung pada target jaringan, banyak efek fisiologisnya dimediasi secara tidak langsung melalui IGF-1, sebuah faktor pertumbuhan dan diferensiasi yang poten. Hati merupakan sumber paling besar dari IGF-1 yang bersirkulasi. Pada jaringan perifer, IGF-1 menggunakan aksi parakrin lokal yang bergantung atau tidak bergantung terhadap GH. Dengan demikian pemberian GH menginduksi IGF-I yang 4 bersirkulasi dan juga menstimulasi produksi IGF-I lokal di banyak jaringan. Baik IGF-I dan IGF-II berikatan dengan IGF-binding proteins (IGFBPs) yang memiliki affinitas tinggi yang meregulasi bioaktivitas IGF. Kadar IGFBP3 bergantung pada GH, dan merupakan protein karier yang paling utama untuk mensirkulasikan IGF-I. Defisiensi GH dan malnutrisi biasanya berkaitan dengan rendahnya kadar IGFBP3. IGFBP1 dan IGFBP2 meregulasi aksi IGF pada jaringan lokal tetapi tidak berikatan dalam jumlah bermakna dengan IGF-I yang bersirkulasi. Konsentrasi IGF-I dalam serum sangat dipengaruhi faktor fisiologi. Kadar meningkat ketika pubertas, puncaknya usia 16 tahun, dan secara bertahap turun >80% ketika proses penuaan. Konsentrasi IGF-I lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Karena GH merupakan penentu utama pada sintesis IGF-I di hepar, abnormalitas sintesis atau aksi GH akan menurunkan kadar IGF-I. Status hipokalori berkaitan dengan resistensi GH, dengan demikian kadar IGF-I rendah pada keadaan kaheksia, malnutrisi dan sepsis. Pada akromegali, kadar IGF-I selalu tinggi dan merefleksikan hubungan log-linear dengan konsentrasi GH.4,5 Gambar 1. Regulasi dan efek GH5 Patofisiologi Tumor hipofisis anterior akan menimbulkan efek massa terhadap struktur sekitarnya. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sakit kepala dan gangguan penglihatan. Pembesaran ukuran tumor akan menyebabkan timbulnya keluhan sakit kepala, dan penekanan pada kiasma optikum akan menyebabkan gangguan penglihatan dan penyempitan 5 lapang pandang. Selain itu, penekanan pada daerah otak lainnya juga dapat menimbulkan kejang, hemiparesis, dan gangguan kepribadian. Pada akromegali dapat terjadi hipersekresi maupun penekanan sekresi hormon yang dihasilkan oleh hipofisis anterior. Hiperprolaktinemia dijumpai ada 30% kasus sebagai akibat dari penekanan tangkai atau histopatologi tumor tipe campuran. Selain itu, dapat terjadi hipopituitari akibat penekanan massa hipofisis yang normal oleh massa tumor.2,3 Hipersekresi hormon petumbuhan dapat menimbulkan berbagai macam perubahan metabolik dan sistemik, seperti pembengkakan jaringan lunak akibat peningkatan deposisi glikosaminoglikan serta retensi cairan dan natrium oleh ginjal, pertumbuhan tulang yang berlebihan, misalnya pada tulang wajah dan ekstremitas, kelemahan tendon dan ligamen sendi, penebalan jaringan kartilago sendi dan jaringan fibrosa periartikular, osteoartritis, serta peningkatan aktivitas kelenjar keringat dan sebasea. Hormon pertumbuhan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan organ dalam dan metabolik. Pembesaran organ dalam (organomegali) seringkali ditemukan. Pada jantung terjadi hipertrofi kedua ventrikel. Retensi cairan dan natrium akan menyebabkan peningkatan volume plasma dan berperanan dalam terjadinya hipertensi pada pasien akromegali. Selain itu, efek kontra hormon pertumbuhan terhadap kerja insulin di jaringan hati maupun perifer dapat menyebabkan toleransi glukosa terganggu ( 15%), gangguan glukosa darah puasa ( 19%), dan diabetes melitus (20%). Efek tersebut diperkirakan terjadi melalui peningkatan produksi dan ambilan asam lemak bebas. Resistensi insulin terjadi akibat peningkatan massa jaringan lemak, penurunan lean body mass, serta gangguan aktivitas fisik. Gangguan kerja enzim trigliserida lipase dan lipoprotein lipase di hati akan menyebabkan hipertrigliseridemia.2,3,5 Perubahan juga dapat terjadi pada saluran napas atas, seperti pembesaran sinus paranasal dan penebalan pita suara. Selain itu, lidah dapat membesar dan massa jaringan lunak di daerah saluran napas atas bertambah, sehingga menyebabkan terjadinya gangguan tidur (sleep apnoe). Pada pasien akromegali juga dapat terjadi hiperkalsiuria, hiperkalsemia, dan nefrolitiasis, yang disebabkan oleh stimulasi enzim l α-hidroksilase, sehingga meningkatkan kadar vitamin D, yang akan meningkatkan absorbsi kalsium.2 Pada jaringan saraf dapat terjadi neuropati motorik dan sensorik. Neuropati yang terjadi diperburuk oleh kondisi hiperglikemia yang sering ditemukan pada pasien akromegali. Edema pada sinovium sendi pergelangan tangan dan pertumbuhan tendon dapat menyebabkan sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome).2 Manifestasi klinis 6 Manifestasi klinis akromegali yang muncul perlahan selama bertahun-tahun menyebabkan terdapatnya rentang waktu yang lama antara diagnosis dengan waktu timbulnya gejala nntuk pertama kali, yaitu berkisar antara 5-32 tahun. Pada hampir 70% kasus saat diagnosis akromegali ditegakkan, ukuran tumor telah mencapai >10 mm (makroadenoma). Penekanan terhadap kiasma optikum terjadi pada 70-73% kasus.2,3,5,6 Manifestasi klinis yang ditemukan bervariasi dari sekedar pembesaran akral, pembengkakan jaringan lunak, hingga terjadinya osteoartritis, diabetes mellitus, dan hipertensi. Dari seri kasus empat pasien akromegali di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, didapatkan manifestasi klinis berupa sakit kepala, pembesaran akral, serta perubahan maksilofasial. Keempat kasus tersebut disebabkan oleh makroadenoma dengan ukuran diameter terbesar antara 25-34 mm. Penyakit penyerta yang ditemukan adalah hipertensi (tiga pasien), diabetes mellitus (dua pasien), serta stroke (satu orang). Berbagai manifestasi klinis akromegali menurut kepustakaan dapat dilihat pada gambar 3 dan tabel 2.2 Gambar 2. Gambar akromegali/gigantisme. Seorang laki-laki 22 tahun dengan gigantisme karena kelebihan GH pada sebelah kiri dari kembar identik. Peningkatan tinggi badan dan proganthism (A) dan pembesaran tangan (B) an kaki (C) yang muncul pada pasien. Gambaran klinis muncul setelah usia 13 tahun.4 7 Tabel 2. Manifestasi klinis akromegali2 Efek lokal tumor Sistem somatik Sistem muskuloskeletal Kulit dan saluran cerna Sistem kardiovaskular Sistem pernapasan Viseromegali Sistem endokrin dan metabolik Pembesaran hipofisis, defek lapang pandang, kelumpuhan saraf kranial, sakit kepala Pembesaran akral Gigantisme, prognatism, maloklusi, atralgia, artritis, sindrom terowongan karpal, miopati Hiperhidrosis, skin tag, polip kolon Hipertrofi ventrikel kiri, kardiomiopati, hipertensi, gagal jantung kongestif Gangguan tidur, sleep apnea, narkolepsi Lidah, kelenjar tiroid, kelenjar saliva, hati, limpa, ginjal, prostat Reproduksi: gangguan menstruasi, galaktorea, impotensi MEN tipe 1: hiperparatiroidisme, tumor pankreas Karbohidrat: gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, hiperinsulinemia, diabetes melitus Lemak : hipertrigliseridemia Mineral : hiperkalsiuria, peningkatan kadar vitamin Elektrolit: penurunan kadar renin. Peningkatan kadar aldosteron Tiroid: penurunan kadar thyroxine binding globulin, goiter Diagnosis Diagnosis akromegali ditegakkan berdasarkan atas temuan klinis, laboratorium, dan pencitraan. Secara klinis akan ditemukan gejala dan tanda akromegali. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan kadar hormon pertumbuhan. Selain itu, dari penilaian terhadap efek perifer hipersekresi hormon pertumbuhan didapatkan peningkatan kadar insulin like growth factor-I (IGF-I). Oleh karena sekresinya yang bervariasi sepanjang hari, pemeriksaan hormon pertumbuhan dilakukan 2 jam setelah pembebanan glukosa 75 gram. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dengan kontras diperlukan untuk mengonfirmasi sumber sekresi hormon pertumbuhan. Pemeriksaan MRI dapat memperlihatkan tumor kecil yang berukuran 2 mm. Secara ringkas alur diagnosis pasien akromegali dapat dilihat pada gambar 3.2,3,4 8 Gambar 3. Algoritma diagnosis akromegali2,3 Tatalaksana Pasien akromegali memiliki angka mortalitas dan morbiditas dua hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Tata laksana yang adekuat dapat menurunkan angka mortalitas tersebut. Tujuan tata laksana pasien akromegali adalah mengendalikan pertumbuhan massa tumor, menghambat sekresi hormon pertumbuhan, dan normalisasi kadar IGF-I. Terdapat tiga modalitas terapi yang dapat dilakukan pada kasus akromegali, yaitu pembedahan, medikamentosa dan radioterapi. Masing-masing modalitas memiliki keuntungan dan kelemahan, tetapi kombinasi berbagai modalitas yang ada diharapkan dapat menghasilkan tata laksanayang optimal.2,4,6,7,8 Pembedahan Tindakan pembedahan diharapkan dapat mengangkat seluruh massa tumor sehingga kendali terhadap sekresi hormon perturnbuhan dapat tercapai. Tindakan ini menjadi pilihan pada pasien dengan keluhan yang timbul akibat kompresi tumor. Ukuran tumor sebelum pembedahan mempengaruhi angka keberhasilan terapi. Pada pasien dengan mikroadenoma (ukuran tumor <10 mm), angka normalisasi IGF-I mencapai 75-95%, sementara pada makroadenoma angka normalisasi hormonal lebih rendah yaitu 40-68%. Selain ukuran tumor 9 faktor lain yang menentukan keberhasilan tindakan operasi adalah pengalaman dokter bedah dan kadar hormon sebelum operasi. Teknik pembedahan yang kini dikerjakan di Indonesia adalah transfenoid per endoskopi. Teknik tersebut memiliki keunggulan dalam visualisasi lapangan operasi serta angka kesakitan yang lebih rendah dibandingkan teknik per mikroskopik. Tidak semua kasus akromegali dapat diatasi hanya dengan pembedahan.Pada keadaan ini dapat dipilih terapi alternatif pilihan yaitu pembedahan debulking dengan terapi medikamentosa atau radioterapi pascapembedahan. Tata laksana medikamentosa juga dapat menjadi pilihan pertama pada kasus tersebut. 2,6,7,8 Medikamentosa Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga golongan, yakni agonis dopamin, analog somatostatin, dan antagonis reseptor hormon pertumbuhan. A. Dopamin agonis (DA) Dopamin agonis terdiri atas bromokriptin dan cabergoline. Monoterapi dengan cabergoline memiliki efikasi antara l0-35% dalam menormalisasi kadar IGF-I. Pada serial 64 pasien dengan akromegali yang ditatalaksana dengan cabergoline selama 3 sampai 40 bulan dengan dosis 1,0-1,75 mg/minggu menurunkan kadar GH dan IGF-I pada 40% pasien.7 Pasien yang menolak tindakan operasi dan pemberian obat injeksi dapat menggunakan obat golongan ini, mengingat dopamin agonis merupakan satu-satunya golongan obat dalam tata laksana akromegali yang dapat dikonsumsi secara oral. 2,3,4,6,7,8 B. Analog somatostatin (SSA) Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon somatostatin yaitu menghambat sekresi hormon pertumbuhan. Obat golongan ini memiliki efektivitas sekitar 70% dalam menormalisasi kadar IGF-I dan hormon pertumbuhan. Efektivitasnya yang tinggi menjadikan obat golongan analog somatostatin sebagai pilihan pertama dalam terapi medikamentosa. Studi yang menilai efektivitas obat golongan ini memperlihatkan bahwa normalisasi IGF-I tercapai pada 51% subjek setelah pernberian analog somatostatin kerja panjang selama 36 bulan. Pada 32% subjek penelitian terjadi reduksi IGF-1 sekitar lebih dari 50%. Selain menormalisasi kadar IGF-I, terapi analog somatostatin juga dapat mengecilkan ukuran tumor (80%), perbaikan fungsi jantung, tekanan darah, serta profil lipid. Kendala utama yang dihadapi hingga saat ini adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Terdapat dua preparat SSA kerja panjang yang efektif : intramuscular ocreotide long acting release (LAR), dan deep sc lanreotide depot/autogel yang diberikan setiap bulan. Lanreotide depot/autogel dapat disuntikkan sendiri atau oleh orang lain. Dosis awal ocreotide LAR yang disetujui 10 adalah 20 mg/bulan dengan titrasi dosis setiap 3-6 bulan turun hingga 10 mg atau naik hingga 40 mg/bulan. Lanreotide autogel/depot dosis awalnya yang disetujui 90 mg/bulan dosis dititrasi turun hingga 60 mg/bulan atau naik hingga 120 mg/bulan. Ocerotide sc yang kerja cepat juga tersedia yang diberikan secara injeksi subkutan beberapa kali dalam sehari. 2,3,4,6,7 C. Antagonis reseptor hormon pertumbuhan (GH Receptor Antagonist) Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan kelas baru dalam terapi medikamentosa akromegali. Pegvisomant merupakan rekombinan analog hormon pertumbuhan manusia yang bekerja sebagai selektif antagonis reseptor GH. Obat golongan ini direkomendasikan pada kasus akromegali yang tidak dapat dikontrol dengan terapi pembedahan, pemberian agonis dopamin, maupun analog somatostatin. Antagonis reseptor hormon pertumbuhan dapat menormalisasi kadar IGF-I pada 90% pasien. Sebuah studi yang menilai efektivitas serta keamanan terapi obat golongan ini sebagai monoterapi atau kombinasi dengan analog somatostatin memperlihatkan efektivitas masing-masing sebesar 56% dan 62% dalam menormalisasi kadar IGF- I. 2,4,6,7 Pegvisomant diberi secara subkutan dengan dosis 10, 15, atau 20 mg/hari. Pada uji pivotal, normalisasi IGF-I bersifat dose dependent dan dapat dicapai pada pasien yang mendapat dosis hingga 40 mg/hari. . 2,3,4,6,7,10 D. Terapi Kombinasi Pada pasien yang memberi respon biokimia parsial terhadap pemberian SSA, penambahan cabergoline atau pegvisomant dapat dipertimbangkan. Kombinasi SSA dan cabergoline Beberapa studi yang dipublikasi mengindikasikan bahwa DA seperti cabergoline bermanfaat sebagai tambahan terhadap SSAs pada pasien yang resisten terhadap SSAs. Pada suatu studi dari 19 pasien dengan respon parsial terhadap SSA, penambahan Cabergoline menghasilkan normalisasi kadar IGF-I pada 8 pasien (42%). Pada studi ini, adanya tumor immunocytochemistry yang positif untuk prolaktin atau hiperprolaktinemia tidak berhubungan dengan reduksi IGF-I dan GH. Oleh karena itu, kombinasi cabergoline dengan SSA efektif walaupun tidak dijumpai hiperprolaktinemia.7 Kombinasi SSA dan Pegvisomant Kombinasi dua obat ini tampaknya lebih efektif dalam menurunkan IGF-I dibandingkan dengan SSA atau Pegvisomant saja. Penambahan Pegvisomant setiap minggu pada dosis rata-rata 60 mg/minggu selama 42 minggu terhadap pasien yang 11 resisten terhaap SSA menghasilkan normalisasi IGF-I pada 95% pasien. Tidak ada pembesaran tumor hipofisis, tetapi peningkatan ringan enzim hati dijumpai pada 38%.7 Radioterapi Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama pada kasus akromegali karena lamanya rentang waktu tercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai. Radioterapi konvensional dengan dosis terbagi memerlukan waktu 10-20 tahun untuk mencapai terapi yang efektif, sementara beberapa teknik radioterapi yang baru, yaitu gamma knife, proton beam, linac stereotactic radiotherapy dapat memberikan remisi yang lebih cepat. Studi yang menilai efektivitas stereotactic radiotherapy terhadap para pasien yang tidak berhasil dengan radioterapi konvensional memperlihatkan penurunan kadar IGF-I sebesar 38% dua tahun pascaterapi. Saat ini di Indonesia modalitas stereotactic radiotherapy telah digunakan pada kasus akromegali. 2,4,6,7 Gambar 4 . Algoritma tatalaksana akromegali7 12 Pemantauan Terapi Pemantauan respon biokimiawi terapi dilakukan dengan memeriksa kadar hormon pertumbuhan dan IGF-I. Pemeriksaan kadar hormon pertumbuhan setelah pembebanan glukosa lebih baik dibandingkan pemeriksaan kadar hormon sewaktu. Umumnya pemeriksaan tersebut dilakukan 3-6 bulan setelah pembedahan. Kendali biokimiawi didefinisikan sebagai kadar hormon pertumbuhan <1,0 ng/ml setelah pembebanan glukosa, dan kadar IGF-I yang normal. Pemeriksaan MRI pascaoperasi umumnya dilakukan 3-4 bulan kemudian. Pada pasien yang menjalani terapi medikamentosa pemeriksaan MRI dilakukan setiap 3-4 bulan setelah terapi dimulai. Pemeriksaan hormon hipofisis dilakukan segera setelah terapi pembedahan untuk mengevaluasi preservasi fungsi hipofisis serta terjadinya insufisiensi adrenal. Pada pasien yang menjalani terapi medikamentosa, pemeriksaan hormon hipofisis lainnya dilakukan sesuai penilaian klinis. 2,4,6,7 Prognosis Akromegali dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas sebanyak 2-2,5 kali, dan normalisasi GH atau IGF-I atau keduanya telah menunjukkan dapat menurunkan risiko mortalitas. Nilai cutoff pasti kadar GH yang dibutuhkan untuk normalisasi risiko masih belum jelas. Metaanalisis terbaru menyarankan nilai GH acak <2,5 ng/ml dengan radioimmunoassay, yang secara kasar ekuivalen dengan <1ng/ml jika diukur dengan immunoassay modern yang lebih sensitif, menghasilkan angka mortalitas yang hampir sama dengan yang diharapkan. Sebagai catatan, studi epidemiologi pada akromegali mengenai korelasi kadar GH dengan mortalitas sebagian besar didasarkan pada kadar GH serum dalam keadaan puasa atau acak. Tidak ada studi epidemiologi yang telah memprediksi mortalitas berdasarkan supresi GH setelah pemberian beban glukosa. Untuk alasan ini, nilai GH acak atau puasa atau sampel yang multipel pantas digunakan untuk diagnosis dan monitoring akromegali, walaupun variabilitas kadar GH acak kurang dapat dipercaya. Secara keseluruhan, kontrol GH dan IGF-I harus menjadi fokus penting terapi untuk akromegali, khususnya untuk menurunkan risiko mortalitas.7,8,9,11 Kesimpulan Akromegali merupakan penyakit akibat tumor hipofisis yang mensekresi hormon pertumbuhan berlebihan. Diagnosis akromegali ditegakkan atas dasar temuan klinis, evaluasi laboratorium, dan pencitraan hipofisis. Tata laksana akromegali yang ada saat ini meliputi terapi pembedahan, medikamentosa dan radioterapi. 13 DAFTAR PUSTAKA 1. Akin F, Yerlikaya E. Acromegaly and Gigantism. Pamukkale University Faculty Of Medicine Division of Endocrinology and Metabolism, Turkey. 2011. p53-74 2. Cahyanurr R, Soewondo P. Akromegali. Majalah Kedokteran Indonesia Volume: 60, Nomor: 6. Jakarta. 2010.p279-83 3. Melmed S. Acromegaly pathogenesis and treatment. J Clin Invest.2009. p3189 -202. 4. Lamesson JL. Harrison’s Endocrinology third Edition. McGraw Hill. 2013. p 34-44 5. Holt RI, Hanley NA. Essential Endocrinology and Diabetes. Sixth edition A John Wiley & Sons, Ltd., Publication. 2013. p73-82 6. Thomas AD et al. Gigantism and acromegaly. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/925446-overview 7. Katznelson L, Atkinson J, Cook D, Ezzat S ,Hamrahian A, Miller K. AACE guidelines for clinical practice for diagnosis and treatment for acromegaly. 2011. 8. Mesfro .A, Webb SM, Astorga R, Benito P, Calala M, Gaztambide S, et al. Epidemiology, clinical characteristics, outcome, morbidity and modality in acromegaly based on the Spanish acromegaly registry. Eur J Endocrinol. 2004;151 :p439 -46. 9. Biermasz N, Pereira AP, Smit JW, Romijn JA, Roelfsema F. Morbidity after LongTerm Remission for Acromegaly: Persisting Joint-Related Complaints Cause Reduced Quality of Life. 2009. 10. Colao A, Auriemma RS, Galdiero M, Lombardi Q, Pivonello R. Effects of initial therapy for five years with somatostatin analogs for acromegaly on growth hormone and insulin-like growth factor-I levels, tumor shrinkage, and cardiovascular disease: a prospective study. J Clin Endocrinol Metab. 2009;94(10):p3746-56. 11. Neggers SJ, de Herder WW, Feelders RA, van der Lely AJ. Conversion of daily pegvisomant to weekly pegvisomant combined with long-acting somatostatin analogs, in controlled acromegaly patients. Pituitary. 2011;14:2:p53–258. . 14