karakteristik penderita apendisitis di rsup h

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada seseorang
yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau
suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa
perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh,
penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah
longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang
yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan mengalami gangguan stres.
Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang
mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan.
Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa yang
telah terjadi. Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada kebanyakan
orang dan tidak ada hubungannya dengan kelemahan pribadinya. Banyak orang juga
akan menunjukkan kewaspadaan yang berlebihan. Yang paling sering, jika gejala
ikutannya muncul, akan menurun seiring berjalannya waktu.
Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan
tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Apakah sebabnya beberapa orang dari
mereka akan berubah menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami
peristiwa yang sama adalah tidak jelas. Resiko akan mengalami gangguan stres pasca
trauma meningkat oleh karena banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa
yang dialami, sejauh mana seseorang terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya
seseorang bereaksi. Seseorang beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma
jika seseorang mempunyai riwayat keluarga yang mengalami depresi.
1
BAB 2
ISI
2.1 Definisi
Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi kesehatan mental yang
dipicu oleh peristiwa yang menakutkan. Gejala mungkin termasuk flash back
(mengingat kejadian yang membuatnya trauma), mimpi buruk dan kecemasan yang
parah, serta pikiran yang tak terkendali tentang kejadian tersebut.
Banyak orang yang mengalami peristiwa traumatis akan mengalami kesulitan
menyesuaikan dan mengatasinya untuk sementara waktu. Tapi dengan seiring
berjalannya waktu dan merawat diri, reaksi traumatis seperti yang biasanya dapat
menjadi lebih baik. Dalam beberapa kasus, meskipun, gejala-gejala dapat menjadi
lebih buruk atau berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Kadang-kadang peristiwa tersebut benar – benar dapat mengguncang hidup orang
tersebut.1
2.2 Epidemiologi
PTSD merupakan gangguan yang agak umum di Amerika Serikat. Di
Amerika Serikat, 60% pria dan 50% wanita mengalami peristiwa traumatis selama
hidup mereka. Diagnosis PTSD dibuat dengan mempelajari para tentara sehabis masa
perperangan, awalnya disebut "shell shock syndrome." Kita juga bisa mendapatkan
gangguan PTSD jika mengalami trauma atau menyaksikan hal – hal yang bersifat
traumatis.
PTSD juga dapat disebabkan oleh karena trauma jangka panjang seperti
pelecehan seksual terhadap anak-anak atau memiliki penyakit medis yang serius.
Gangguan ini dapat mempengaruhi hampir 8 juta orang dewasa di Amerika, menurut
Asosiasi Kesehatan Mental Nasional, Pusat Nasional untuk PTSD memberitahu kita
jika gangguan PTSD secara umum adalah kalangan warga sipil dan tentara:
Tingkat tertinggi untuk tentara. Pada prajurit yang bertempur dalam perang Irak
pada tahun 2008, RAND (Research And Development) Corporation menemukan
bahwa prevalensi PTSD saat ini adalah 13,8%.
2
NCS-R (National Comorbidity Survey Replication) memperkirakan prevalensi
PTSD di kalangan orang dewasa Amerika menjadi 6,8%. Prevalensi PTSD antara lakilaki adalah 3,6% dan pada wanita sebesar 9,7%. Wanita (10,4%) dua kali lebih
mungkin dari pada laki-laki (5%) untuk memiliki gangguan PTSD di dalam hidup
mereka.
Survei Nasional Remaja, yang meneliti dari rumah tangga terhadap
probabilitas dari 4.023 remaja berusia antara 12 dan 17 tahun, menemukan bahwa
pada mereka terdapat kriteria diagnostik untuk PTSD, diperkirakan 3,7% untuk anak
laki-laki dan 6,3% untuk anak perempuan.2
2.3 Etiologi
2.3.1 Stresor
Seseorang dapat mengalami PTSD adalah akibat respon terhadap suatu trauma
yang ekstrem atau sebuah kejadian yang mengerikan yang seseorang alami, saksikan,
atau dipelajari, terutama yang mengancam hidup atau yang menyebabkan penderitaan
fisik. Pengalaman tersebut menyebabkan seseorang merasakan takut yang sangat kuat,
atau perasaan tidak berdaya
1. Stressor
Stressor yang menyebabkan stress akut dan PTSD cukup hebat untuk
mempengaruhi setiap orang. Stressor tersebut dapat timbul dari pengalaman
perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan
serius. Meskipun demikian, tidak semua orang mengalami gangguan ini setelah
peristiwa traumatik. Secara Klinis harus mempertimbangkan faktor psikososial
dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa yang terjadi sebelum dan
sesudah trauma. Contohnya, seorang anggota suatu kelompok yang bertahan
hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma karena anggota yang
lainnya juga mengalami pengalaman yang sama. Arti subjektif suatu stressor pada
seseorang juga penting. Contohnya, orang yang selamat dari bencana dapat
mengalami rasa bersalah yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat
PTSD.
3
2. Faktor Risiko
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahkan ketika mengalami trauma yang
hebat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala PTSD. National Comorbidity
Study menemukan bahwa 60% laki-laki dan 50% perempuan mengalami sejumlah
trauma yang signifikan tetapi prevalensi PTSD yang dilaporkan hanya 6,7%.
Demikian juga peristiwa yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap
sebagai bencana besar bagi sebagian orang dapat menimbulkan PTSD pada
sejumlah orang lainnya.
Adapun faktor risiko yang berperan antara lain :
o Biologis
•
Kerentanan genetik.
•
Kepribadian “borderline”, paranoid,dependent atau antisosial.
•
Perempuan
o Psikososial
•
Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak).
•
Perubahan hidup penuh stress yang baruterjadi.
•
Sistem pendukung yang tidak adekuat(Dukungan keluarga atau kelompok
yang kurang).
•
2.3.2
Konsumsi alkohol yang berlebihan.
Faktor Psikodinamik
Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan
kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang tetapi tidak terselesaikan.
Penghidupan kembali trauma masa kanak-kanak dapat menimbulkan regresi,
penyangkalan, reaction formation, dan undoing. Konflik yang sebelumnya telah
ada secara simbolis dibangkitkan kembali oleh traumatik yang baru.
2.3.3
Faktor Perilaku Kognitif
4
Model kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang mengalaminya tidak mampu
memproses dan merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan ini.
Mereka terus mengalami stress dan berupaya menghindari hal tersebut dengan
teknik penghindaran.
Model perilaku PTSD menekankan ada 2 fase, yang pertama adalah trauma yang
menimbulkan respon takut dengan stimulus yang dipelajari. Yang kedua adalah
melalui pembelajaran instrumental melalui stimulus yang tidak dipelajari.
2.3.4
Faktor Biologis
1. Sistem Noradrenergik
Pada PTSD menunjukkan gejala gugup, peingkatan tekanan darah, dan denyut
jantung, palpitasi, berkeringat, rona merah diwajah, dan tremor. Gejala-gejala
tersebut berkaitan dengan gejala adrenergik. Sejumlah studi menemukan
peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada tetara veteran dengan
PTSD dan peningkatan konsentrasi katekolamin urin pada anak perempuan
yang mengalami penyiksaan seksual.
2. Sistem Opioid
Pada PTSD ditemukan adanya abnormalitas sistem opioid yaitu penurunan
konsentrasi β-endorfin plasma.
3. Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA)
Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas yang rendah di dalam
plasma dan urin pada PTSD. Terdapat peningkatan reseptor glukokortikoid
pada limfosit dan faktor pelepas kortikotropin eksogen yang menunjukkan
respon hormon adreno-kortikotropin yang tumpul. Selain itu, supresi kortisol
meningkat pada PTSD, hal ini menunjukkan hiperregulasi aksis HPA pada
PTSD.
Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada
pasien yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan pasien yang
5
terpajan trauma tapi tidak mengalami PTSD sehinggga mungkin hipersupresi
ini secara spesifik berkaitan dengan PTSD bukan hanya dengan trauma.2-5
2.4 Patofisiologis
Fisiologi respon stress
Setiap makhluk hidup pernah mengalami stres dalam hidupnya. Stimulus
yang diberikan oleh stres ikut berperan dalam perubahan dan pertumbuhan individu.
Manusia merupakan makhluk yang selalu berespon dan beradaptasi terhadap stres.
Respon stres bersifat adaptif dan protektif.
Peristiwa fisiologis yang terjadi pada individu saat terjadi stres pertama kali
dikembangkan oleh Hans Selye. Seyle mengidentifikasikan dua respon fisiologis
terhadap stres, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation
Syndrome (GAS).
LAS adalah respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh lainnya terhadap
stres karena trauma, penyakit, atau perubahan fisiologis lainnya. Sedangkan GAS
adalah respon pertahanan dari keseluruhan tubuh terhadap stres. Berikut penjelasan
lebih mendetailmengenai LAS dan GAS:
- Local adaptation syndrome (LAS)
Local Adaptation Syndrome (LAS) memiliki karakter yaitu hanya terjadi
setempat,adaptif. Diperlukan stresor untuk menstimulasi, berjangka pendek, serta
restoratif/membantu memulihkan homeostasis region. Contoh LAS yang banyak
ditemui dalam lingkungan kesehatan yaitu respon refleks nyeri dan respon inflamasi.
Respon refleks nyeri adalah respon setempat dari sistem saraf pusat terhadap nyeri.
Respon ini bersifat adaptif dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjut.
Respon ini melibatkan reseptor sensoris, saraf sensoris yang menjalar ke medulla
spinalis, neuron penghubung dalam medulla spinalis, saraf motorik yang menjalar
dari medulla spinalis, serta otot efektor. Contoh respon refleks nyeri yaitu refleks
tangan dari permukaan panas dan keram otot.
Contoh lain dari LAS yaitu respon inflamasi. Respon inflamasi distimulasi
oleh trauma dan infeksi dimana respon ini menghambat penyebaran inflamasi dan
meningkatkanpenyembuhan dengan tanda-tanda calor, tumor, rubor, dan dolor.
6
Respon inflamasi terjadi dalam tiga fase yaitu perubahan dalam sel dan sistem
sirkulasi, pelepasan eksudat dari luka, dan perbaikan jaringan oleh regenerasi dan
pembentukan jaringan parut.
- General adaptation syndrome (GAS)
General adaptation syndrome (GAS) melibatkan sistem tubuh seperti sistem saraf
otonom dan sistem endokrin. GAS dikenal sebagai respon neuroendokrin. GAS
terdiri dari tiga tahap yaitu:
1. Reaksi alarm/ reaksi peringatan
Reaksi alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan
pikiran untuk menghadapi stresor. Secara fisiologi, respons stres adalah pola
reaksi saraf dan hormon yang bersifat menyeluruh dan tidak spesifik terhadap
setiap situasi apapun yang mengancam homeostasis.
Berikut adalah gambar efek stresor pada tubuh
STRESSOR
RESPON SPESIFIK YANG KHAS
UNTUK JENIS STRESSOR
RESPON MENYELURUH UNTUK
APAPUN JENIS STRESSOR
TUBUH
Tabel perubahan hormone utama selama respon stress (Sherwood)
HORMON
PERUBAHAN
TUJUAN
Epinefrin
Naik
Memperkuat
sistem
saraf
simpatis
untuk
mempersiapakan tubuh “fight on flight”
Memobilisasi simpanan karbohidrat dan lemak;
meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak
darah
7
CRH-ACTH-
Naik
kortisol
Memobilsasi simpanan energi dan bahanpembangun
metabolik
untuk
digunakan
jikadiperlukan;
meningkatkan glukosa, asam aminodarah, dan asam
lemak darah ACTHmempermudah proses belajar dan
perilaku
Glukagon
Insulin
Renin
Naik
Turun
Naik
Bekerja bersama untuk mengatur kadar glukosa
darah
Menahan
Garam
dan
H2O
Angiotensin
meningkatkanvolume
Aldosteron
mempertahankantekanan
Vasopressin
pengeluaran akut plasma
Vasopresin dan angiostensin II menyebabkan
Naik
plasma;
untuk
darah
membantu
jika
terjadi
vasokontriksi arteriol untuk meningkatkan tekanan
darah.
Terjadi peningkatan hormonal yang luas dalam reaksi ini sehingga cenderung
pada respon melawan dan menghindar, seperti curah jantung, ambilan oksigen,
dan frekuensi pernapasan meningkat; pupil mata berdilatasi untuk menghasilkan
bidang visual yang lebih besar; dan frekuensi jantung meningkat untuk
menghasilkan energy lebih banyak. Namun, jika stresor terus menetap setelah
reaksi alarm maka individu tersebut akan masuk pada tahap resisten
2. Tahap resisten
Dalam tahap ini tubuh kembali stabil, kadar hormon, frekuensi jantung, tekanan
darah, dan curah jantung kembali ke tingkat normal. Individu terus berupaya
untuk menghadapi stresor dan memperbaiki kerusakan. Akan tetapi jika stresor
terus menetap seperti pada kehilangan darah terus menerus, penyakit
melumpuhkan, penyakit mental parah jangka panjang, dan ketidakberhasilan
mengadaptasi maka invidu masuk ke tahap kehabisan energi.
3. Tahap kehabisan tenaga
Tahap kehabisan tenaga terjadi ketika tubuh tidak dapat lagi melawan stres dan
ketika energi yang diperlukan untuk mempertahankan adaptasi sudah habis. Jika
8
tubuh tidak mampu untuk mempertahankan dirinya terhadap dampak stresor,
regulasi fisiologis menghilang, dan stres tetap berlanjut, maka akan terjadi
kematian.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah
kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat
merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap
kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic
tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abuabu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk
menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian
otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian
ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami
PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system
amigdala.
Aktivasi neurotransmiter otonom dan aktivitas endokrin menghasilkan
banyak gejala PTSD. Hippocampus juga mungkin memiliki efek modulasi di
amigdala. Korteks orbitoprefrontal sebenarnya dapat menambah efek inhibisi pada
aktivasi PTSD.
Namun, pada orang yang menderita PTSD, korteks
orbitoprefrontal kurang mampu menghambat aktivasi ini, mungkin karena stres
akibat atrofi pada daerah hipocampus.
Dalam kasus PTSD, ingatan terus-menerus akan peristiwa traumatik yang terjadi
telah mengganggu proses akuisisi informasi baru dan mengingat informasi yang
tidak ada kaitannya dengan trauma yang dialami. Yang menjadi persoalan adalah
terjadinya stres serius yang terus-menerus ini mendorong diproduksinya hormon
kortisol, yang pada akhirnya merusak struktur otak yang penting bagi ingatan,
yaitu pada hipokampus dan sistem limbik.6
2.5 Tanda dan Gejala
Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD,
yaitu:
1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik yang
biasanya disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik,
9
mimpi buruk yang sering muncul mengenai trauma atau peristiwa yang
berhubungan dengan trauma.
2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang, dan
pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan ketertarikan
pada aktivitas yang disukai, memiliki masalah dengan mengingat peristiwa yang
berbahaya.
3. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur, masalah dalam konsentrasi,
iritabilitas, kemarahan,sulit mengingat sesuatu, peningkatan tendensi,
reaksi
untuk terjaga dan hypervigilance terhadap ancaman.
Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala
hyperaurosal harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh
distress yang signifikan atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu
PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan.
Ada lain gejala terkait PTSD:
•
Serangan panik : perasaan takut yang intens, yang dapat disertai dengan
sesak napas, pusing, berkeringat, mual, dan berdebar - debar.
•
Gejala fisik : nyeri kronis, sakit kepala, sakit perut, diare, sesak atau rasa
terbakar di dada, kram otot, atau nyeri pinggang
•
Perasaan ketidakpercayaan: kehilangan kepercayaan orang lain dan berpikir
dunia adalah tempat yang berbahaya
•
Permasalahan dalam kehidupan sehari-hari: mengalami masalah dalam
pekerjaan, di sekolah, atau dalam situasi sosial
•
Penyalahgunaan zat: menggunakan obat-obatan atau alkohol untuk
mengatasi rasa sakit emosional
•
Masalah dalam Hubungan : mengalami masalah dengan keintiman atau
dengan keluarga dan teman-teman
•
Depresi: sedih, suasana hati cemas, atau kosong, kehilangan minat dalam
melakukan kegiatan, perasaan bersalah dan malu, atau keputusasaan
tentang masa depan. Gejala lain dari depresi juga dapat terjadi.
•
Bunuh diri : pikiran tentang mengambil kehidupan sendiri.2-5,7-10
10
2.6 Diagnosis
Berikut adalah kriteria diagnostic untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut
DSM-IV:
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana ada dari kedua
bagian berikut ini:
1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian
atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian
yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada
integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
2) Respon orang tersebut merasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau
horror. Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan
perilaku yang kacau atau teragitasi.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih)
cara berikut:
1) Rekuren
dan
mengganggu
akibat
terkumpulnya
pengalaman
–
pengalaman yang membuatnya trauma, termasuk bayangan, pikiran, atau
persepsi. Catatan: pada anak kecil, dapat menunjukkan kejadian berulang
dengan tema atau aspek trauma.
2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anakanak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali
(termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman traumatik, ilusi,
halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama
terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat
terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma.
11
4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian
traumatik.
5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan
kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti
yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma.
2) Usaha untuk menghndari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan
rekoleksi dengan trauma.
3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
bermakna.
5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki
perasaan cinta)
7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap
memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal)
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
3) Sulit berkonsentrasi.
4) Kewaspadaan berlebihan.
12
5) Respon kejut yang berlebihan.
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari satu
bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.5
Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut
PPDGJ III (F 43.1) adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu
6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara
beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu
mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja
manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori
gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashbacks).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam
kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa).2,3,4,7
2.7 Diagnosis banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik
adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.
Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala
adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat
13
lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan
gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek
zat menghilang.3
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan
mental lain dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan
melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif,
gangguna buatan, dan berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan
kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress pascatraumatik.
Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan
sebab akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memilikiderajat
perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperaurosal) otonomik, atau riwayat trauma
yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena
publisitas yang telah diterima gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular,
klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan
berpura-pura.3
2.8 Tatalaksana
Pendekatan terapi pada PTSD adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikan
peristiwa tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme koping (contohnya relaksasi).
Penggunaan obat hipnotik-sedatif juga dapat membantu. Ketika pasien mengalami
peristiwa traumatik masa lalu dan sekarang memiliki PTSD, penekanan harus pada
edukasi mengenai gangguan dan terapinya baik farmakologis maupun psikoterapinya.
Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan dapat dilakukan seperti relaksasi,
teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan
terbukti bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pascatraumatik.
Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol,
rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang
terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan
golongan SSRI (penghambat selektif ambilan serotonin) seperti Fluoxetin 10-60
mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr. Antidepresan lain yang
juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin 50300mg/hr.2,4,5,8,9
14
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,
tatalaksana gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa
aspek di bawah ini:
1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius
lainnya.
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI
merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan
psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6
bulan.2,4,5,8,9
Benzodiazepin (obat penenang) seperti diazepam (valium) dan alprazolam(Xanax)
sayangnya telah dikaitkan dengan sejumlah masalah efek samping, termaksud gejala
withdrawal dan resiko overdosis, dan belum ditemukan secara signifikan efektif untuk
membantu individu dengan PTSD.

Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti Sertraline dan Paroxetine
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas
dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala PTSD dan efektif
memperbaiki gejala PTSD yang khas.

Efektivitas Imipramine dan Amitriptilin untuk terapi PTSD secara klinis
terkontrol baik. Dosis Imipramine dan Amitriptilin harus sama dengan dosis
yang digunakan untuk mengobati gangguan depresif dan lama minum untuk
pengobatan adalah 8 minggu. Pasien yang memberikan respon baik, mungkin
harus melanjutkan farmakoterapi sedikitnya 1 tahun sebelum dicoba
penghentian obat.

Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah Monoamine Oksidase
Inhibitor (MAOI) contohnya Fenelzine, Trazodon, dan Antikonvulsan
contohnya Karbamazepine dan Valproat.
15

Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik sehingga
penggunaan obat ini, contohnya Haloperidol harus dicadangkan untuk
mengatasi agresi dan agitasi berat.2,4,5,8,9
2.8.1 Psikoterapi
Intevensi psikoterapi PTSD mencakup terapi perilaku, terapi kognitif, dan
hipnosis. Banyak klinisi menyarankan psikoterapi dengan waktu terbatas pada korban
trauma. Terapi seperti ini memerlukan pendekatan kognitif, memberikan dukungan,
dan rasa aman. Sifat psikoterapi jangka pendek dapat meminimalkan resiko
ketergantungan dan menjadi kronis. Terapis harus menghadapi penyangkalan pasien
mengenai peristiwa traumatik sehingga terapis menyarankan mereka bersantai dan
menjauhkan mereka dari sumber stress. Pasien harus disarankan tidur, menggunakan
obat jika perlu. Dukungan dari orang sekitar harus diberikan. Pasien harus diminta
mengingat kembali dan melakukan abreaksi (mengalami emosi yang berkaitan dengan
suatu peristiwa yang dapat membantu pasien) perasaan emosional yang berkaitan
dengan peristiwa traumatik dan merencanakan pemulihan masa mendatang. Ketika
timbul PTSD, ada 2 pendekatan psikoterapik utama, yang pertama adalah teknik
membayangkan terhadap peristiwa tersebut. Pajanan ini bertahap seperti pada
desensitisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah mengajari pasien metode
penatalaksaanaan stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk
menghadapi strss. Sejumlah data menunjukkan bahwa penatalaksanaan stress lebih
cepat daripada teknik pemajanan. Akan tetapi, hasil teknik pemajanan lebih bertahan
lama.
Terapi psikoterapi yang relatif baru dan kontroversial adalah Eye Movement
Desensitization and Reprocessing disini pasien berfokus pada gerakan lateral jari
klinisi sambil mempertahankan bayangan mental tentang pengalaman trauma.
Keyakinan umum adalah bahwa gejala dapat dipulihkan jika pasien mengingat
peristiwa traumatik sambil berada dalam keadaan relaksasi dalam.Disamping teknik
terapi individu, terapi kelompok dan keluarga sering dilaporkan efektif pada kasus
PTSD.
16
Eye-movement desensitization and reprocessing (EMDR) adalah bentuk terapi
kognitif di mana panduan praktisi orang dengan PTSD dalam berbicara tentang trauma
yang diderita dan perasaan negatif yang terkait dengan peristiwa, sambil memfokuskan
pada jari profesional bergerak cepat. Sementara beberapa penelitian menunjukkan
pengobatan ini mungkin efektif, tidak jelas apakah ini adalah setiap lebih efektif
daripada terapi kognitif yang dilakukan tanpa menggunakan gerakan mata yang cepat.
Keluarga individu PTSD, serta penderita, dapat mengambil manfaat dari konseling
keluarga, konseling pasangan, orang tua kelas, dan resolusi konflik pendidikan.
Anggota keluarga juga mungkin dapat memberikan sejarah yang relevan tentang
dicintai mereka satu (misalnya, tentang emosi dan perilaku, penyalahgunaan narkoba ,
kebiasaan tidur, dan sosialisasi) bahwa orang dengan penyakit tidak mampu atau tidak
ingin berbagi.
Langsung menangani masalah tidur yang dapat menjadi bagian dari PTSD telah
ditemukan tidak hanya membantu meringankan masalah tersebut tetapi dengan
demikian membantu mengurangi gejala PTSD pada umumnya.
Secara khusus,
melatih cara-cara adaptif mengatasi mimpi buruk (citra terapi latihan), pelatihan dalam
teknik relaksasi, self-talk positif, dan skrining untuk masalah tidur lainnya telah
ditemukan untuk menjadi sangat membantu dalam mengurangi masalah tidur yang
terkait dengan PTSD.2
2.9 Prognosis
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang
singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya
gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.2
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak
kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh
baya. Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik
dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut usia, jika
dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki
mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan
17
fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya,
apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga
meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi
perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres pascatraumatik. Pada umumnya,
pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik, kemungkinan tidak
menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parahnya.2
BAB 3
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1.
Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2009. Post-traumatic
Stress Disorder. Mayo Foundation for Medical Education and Research. Available
from: http://www.mayoclinic.com/health/post-traumatic-stressdisorder/DS00246/METHOD=print
2.
Edwards, R. D., 2010. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). MedicineNet.
Available from: http://www.emedicinehealth.com/posttraumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.html
3.
Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura
Angkasa, Jakarta: 68-75.
4.
National Institute of Mental Health. 2008. Post-traumatic Stress Disorder.
National Institute of Mental Health. Available from:
http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stress-disorderptsd/what-is-post-traumatic-stress-disorder-or-ptsd.shtml
18
5.
Mental Health America, 2007. Post-traumatic Stress Disorder. Mental Health
America. Available from: http://mentalhealthamerica.net/index.cfm?
objectid=C7DF91D3-1372-4D20-C8E6CFE1B56A38AB
6.
Sherwood L. Hormon. Edisi 2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.2002
7.
Maslim, Rusdi, 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta: 79
8.
Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta: 254-264.
9.
Joseph G, MD. PTSD. Mental health 2012. Diunduh dari:
http://www.webmd.com/mental-health/post-traumatic-stress-disorder-ptsd
19
Download