BAB 3 METODE PENELITIAN

advertisement
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini analitik dengan pendekatan cross-sectional dimana
dilakukan
satu
kali
pengukuran
pada
variabel
dependen
dan
independennya.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji
Adam Malik Medan. Diagnosis AR ditegakkan di Sub Divisi Reumatologi
Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam.
Pemeriksaan
telinga,
hidung,
tenggorok, kepala, dan leher dilakukan di Departemen Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher (T.H.T.K.L.). Pemeriksaan immunoassay
MMP-3 dilakukan di Departemen Patologi Klinik. Pengambilan sampel
dilakukan sejak bulan Maret 2015 hingga Mei 2016.
3.3 Populasi, Sampel, dan Besar Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh pasien AR yang didiagnosis berdasarkan
kriteria ARA oleh dokter ahli konsultan reumatologi.
3.3.2 Sampel penelitian
Sampel penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok AR GP
(+) dan AR GP (-). Pasien AR dengan gangguan pendengaran
dimasukkan kedalam kelompok AR GP (+). Sedangkan pasien AR tanpa
gangguan pendengaran dimasukkan kedalam kelompok AR GP (-)
sebagai pembanding. Kriteria seleksi sampel terdiri atas:
Universitas Sumatera Utara
Kriteria inklusi
1. Pasien laki-laki maupun perempuan yang berusia 16-55 tahun.
2. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan menandatangani
informed consent.
Kriteria eksklusi
1. Menderita penyakit
sistemik
lain seperti:
diabetes
mellitus,
hipertensi, hiperlipidemia, dll.
3.3.3 Besar sampel
Sampel ditentukan dengan menggunakan rumus dua populasi tidak
berpasangan, yaitu:
Keterangan:
(𝑧𝛼 + 𝑧𝛽) 𝑠
𝑛1 = 𝑛2 = 2 �
�
(𝑥1 − 𝑥2 )
2
Zα
= 1,96 (Batas kepercayaan 95%)
Zβ
= 0,84 (Kekuatan uji 80%)
s
= simpang baku kedua kelompok (dari pustaka)
𝑥1 -𝑥2 = perbedaan klinis yang diinginkan
2
(1,96 + 0,84) 71
𝑛1 = 𝑛2 = 2 �
�
(98,30 − 36,17)
𝑛1 = 𝑛2 = 21 orang
Berdasarkan rumus diatas ditentukan jumlah sampel yang diteliti sejumlah
42 orang, yang terdiri atas 21 orang pada kelompok AR GP (+) dan 21
orang pada kelompok AR GP (-).
3.4 Variabel Penelitian
- Variabel dependen
: kadar MMP-3
- Variabel independen : ganguan pendengaran
Universitas Sumatera Utara
3.5 Definisi Operasional
3.5.1 Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien sesuai dengan yang
tercatat pada rekam medis, yaitu:
1)
Laki-laki
2)
Perempuan
3.5.2 Usia
dihitung
dalam
tahun
menurut
ulang
tahun
terakhir.
Perhitungan usia berdasarkan kalender Masehi dan dibagi atas:
1) ≤20 tahun
2) 21-30 tahun
3) 31-40 tahun
4) ≥40 tahun
3.5.3 Durasi penyakit adalah waktu sejak pertama kali dirasakannya
keluhan sampai saat penelitian dilakukan, dibagi atas:
1)
≤5 tahun
2)
6-10 tahun
3)
≥11 tahun
3.5.4 Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3 atau stromelysin-1) adalah
proteinase yang disekresikan oleh fibroblas dan kondrosit sinovial.
Aktivitasnya menyebabkan degradasi protein inti aggrecan, protein
tulang rawan, fibronektin, dan kolagen tipe IV, VII, IX, dan XI.
Pemeriksaan immunoassay kadar MMP-3 total plasma pasien
dilakukan dengan metode ELISA. Diukur dengan Chemwell® 2910
Automated EIA and Chemistry Analyzer (Awareness
Technology
Inc, Palm City, FL, USA). Kadar MMP-3 dinyatakan dalam ng/mL.
3.5.5 Gangguan
pendengaran
adalah
berkurangnya
kemampuan
mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau
kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang
pendengaran rerata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000,
2000 dan 4000 Hz (Soetirto, Hendarmin, dan Bashirudddin, 2010).
Gangguan pendengaran diklasifikasikan berdasarkan: SNHL jika
hantaran udara (Air Conduction/AC) dan hantaran tulang (Bone
Universitas Sumatera Utara
Conduction/BC) >25 dBHL, CHL jika didapatkan Air-Bone Gap
(ABG) ≥10 dBHL pada sedikitnya dua frekuensi yang berurutan,
atau MHL jika AC dan BC>25 dBHL dengan ABG
≥10 dBHL pada
sedikitnya dua frekuensi yang berurutan (Katz, et al., 2009). Subjek
dinyatakan mengalami gangguan pendengaran jika salah satu atau
kedua telinganya mengalami gangguan pendengaran. Untuk
menilai perbedaan rerata AC, BC, ABG, dan ambang dengar
diambil nilai ambang tertinggi diantara kedua telinga. Pada
penelitian ini, jenis gangguan pendengaran dibagi menjadi:
1) SNHL (Sensorineural Hearing Loss/gangguan pendengaran
sensorineural)
2) CHL (Conductive Hearing Loss/gangguan pendengaran
konduktif)
3) Mixed-HL (mixed Hearing Loss/gangguan pendengaran
campuran)
3.5.6 Derajat gangguan pendengaran diklasifikasikan berdasarkan ISO.
Adapun interpretasi hasil berdasarkan International Standard
Organization (ISO) tentang derajat gangguan pendengaran adalah:
pendengaran normal (≤25 dBHL), gangguan pendengaran ringan
(26-40 dBHL), gangguan pendengaran sedang (41-60 dBHL),
gangguan
pendengaran
berat
(61-80
dBHL),
gangguan
pendengaran sangat berat (≥81 dBHL) (Soetirto, Hendarmin, dan
Bashirudddin, 2010). Pada penelitian ini, derajat gangguan
pendengaran dibagi menjadi:
1) Sangat Berat
2) Berat
3) Sedang
4) Ringan
5) Normal
Universitas Sumatera Utara
3.5.7 Ambang hantaran udara adalah hasil penilaian terhadap jalur
pendengaran secara keseluruhan dan biasanya diukur dengan
mengunakan earphone. Saat suara disajikan melalui earphone
sensitivitas pendengaran dapat dinilai pada masing-masing telinga
secara terpisah. Hasil pengukuran dinyatakan dalam desibel (dB)
(Katz, et al., 2009).
3.5.8 Ambang hantaran tulang adalah hasil penilaian yang diukur dengan
menempatkan vibrator pada tulang dimana telinga diperiksa secara
terpisah. Biasanya dengan menyajikan suara masking pada telinga
yang tidak diperiksa. Tujuan pemeriksaan hantaran tulang adalah
untuk mem-bypass telinga luar dan telinga tengah dan untuk
menstimulasi koklea secara langsung. Hasil pengukuran dinyatakan
dalam desibel (dB) (Katz, et al., 2009).
3.5.9 Air-Bone Gap (ABG) adalah selisih 10 dB atau lebih antara
hantaran udara dan hantaran tulang pada 2 frekuensi berurutan
(Katz, et al., 2009).
3.5.10 Rerata Ambang Dengar (AD) adalah tingkat intensitas terendah
tiap frekuensi yang masih dapat didengar dengan pemeriksaan
audiometri nada murni, dengan satuan desibel (dB) dan yang
digunakan adalah ambang dengar hantaran udara. Dalam
menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar
hantaran udara saja yaitu dengan menggunakan rumus:
AD = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz
4
(Soetirto, Hendarmin, dan Bashirudddin, 2010)
3.5.11 Timpanogram adalah suatu penyajian berbentuk grafik dari
kelenturan relatif sistem timpano-osikular (Greenfield, Lassman,
dan Levine, 1996; Katz, et al., 2009). Tipe A terdapat pada fungsi
telinga tengah yang normal. Mempunyai bentuk khas, dimana
puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan penurunan imitans
yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif. Tipe As terdapat
Universitas Sumatera Utara
pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang berparut.
Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), dimana puncak
berada atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak
yang secara signifikan berkurang. Huruf s dibelakang A berarti
stiffness atau shallowness. Tipe Ad terdapat pada keadaan
membran timpani yang flaksid atau diskontinuitas (kadang-kadang
sebagian) dari tulang-tulang pendengaran. Timpanogram kelihatan
seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang A berarti deep
atau discontinuity. Tipe B terdapat pada kavum timpani yang berisi
cairan, misalnya pada otitis media efusi. Timpanogram tidak
memiliki puncak dan cenderung mendatar atau sedikit membulat.
ECV dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak ada
abnormalitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak tetapi
ECV > normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran
timpani. Tipe C terdapat pada keadaan membran timpani yang
retraksi dan malfungsi dari tuba eustachius. Tekanan telinga
tengah negatif, titik puncak berada pada titik > -150 daPa (Jerger,
1970; Stach, 1998). Pada penelitian ini, tipe timpanogram
diklasifikasikan berdasarkan Jerger’s Classification, yaitu:
1) Tipe A
2) Tipe As
3) Tipe Ad
4) Tipe B
5) Tipe C
Universitas Sumatera Utara
3.6 Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian ini membutuhkan beberapa bahan dan peralatan sebagai
berikut:
1) Catatan medis penderita dan status penelitian penderita
2) Formulir persetujuan ikut penelitian
3) Kuesioner penelitian
4) Lampu kepala merk Ryne
5) Spekulum telinga merk Hartmann
6) Otoskop merk Riester
7) Larutan Peroksida 3 % (H2O2 3%)
8) Alat penghisap (suction) merk Thomas Medipump tipe 1132 GL
9) Kanul penghisap nomor 6 dan 8 tipe Fergusson
10) Spekulum hidung merk Renz
11) Spatel lidah merk Renz
12) Kaca laringoskopi dan kaca rinoskopi merk Renz
13) Pengait serumen merk Renz
14) Quantikine® ELISA kits dari R&D System (Minneapolis, USA)
15) Chemwell®
2910
Automated
EIA
and
Chemistry
Analyzer
(Awareness Technology Inc, Palm City, FL, USA)
16) AD-28 Interacoustics Clinical Audiometer (Interacoustics, Assens,
Denmark)
17) Interacoustics
Assens,
AA222
Impedans
Audiometer
(Interacoustics,
Denmark)
Alat dan bahan assay:
1. Microplate MMP3
2. Konsentrat buffer pembilas
3. Standar Human MMP3 rekombinan
4. Pengencer assay
5. Biotinylated anti-Human MMP3
6. Konsentrat HRP-Streptavidin
Universitas Sumatera Utara
7. Reagen TMB One-Step Substrate
8. Stop solution
9. Pembaca microplate
10. Pipet
11. Silinder 100 mL and 1 liter
12. Kertas pengering
13. Cairan terdestilasi atau terionisasi
14. Tabung untuk mempersiapkan standar atau pengenceran sampel.
Persiapan standar:
1. Putar vial standar MMP3. Siapkan 200 ng/mL standar MMP3
dengan menambahkan 400 μL pengencer assay kedalam vial.
Campurkan bubuk dengan pencampuran lembut
2. Tabung diberikan label 1-6
3. Siapkan standar 1 dengan menambahkan 250 μL 200 ng/mL
standar kedalam 250 μL pengencer assay kedalam tabung 1.
Campur hingga merata
4. Ambil 400 μL pengencer assay kedalam tabung lainnya
5. Siapkan standar 2 dengan memindahkan 200 μL dari tabung 1 ke
dalam tabung 2. Campur hingga merata.
6. Siapkan standar 3 dengan memindahkan 200 μL dari tabung 2 ke
tabung 3. Campur hingga merata.
7. Lanjutkan pengenceran hingga didapatkan standar 0 (0 pg/mL)
Persiapan sampel assay:
Plasma pasien AR diambil dengan menggunakan sitrat sebagai
antikoagulan. Partikel-partikel disingkirkan dengan sentrifugasi dan
dibekukan pada suhu 23°C.
Prosedur assay:
1. Tambahkan 100 μL setiap standar dan sampel kedalam tabung
yang sesuai. Tutup tabung dan inkubasikan selama 2,5 jam pada
Universitas Sumatera Utara
suhu ruangan atau satu malam
pada suhu
4°C dengan
pencampuran yang lembut.
2. Buang larutan tersebut dan bilas 4 x, dengan larutan pembilas.
Bilas dengan mengisi setiap tabung dengan larutan pembilas (300
mikro L) menggunakan pipet multichannel atau auto washer.
Mengangkat larutan dengan sempurna pada setiap tahap berguna
untuk memperoleh hasil yang baik. Setelah pembilasan terakhir,
angkat sisa larutan dengan mengaspirasinya. Balikkan cakramnya
dan keringkan dengan kertas pengering.
3. Tambahkan 100 mikroL Biotinylated MMP3 Detection Antibody
pada setiap tabung. Inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan
dengan pancampuran lembut.
4. Buang larutan tersebut. Ulangi pembilasan seperti pada langkah 2.
5. Tambahkan 100 μL larutan HRP-Streptavidin pada masing-masing
tabung. Inkubasikan selama 45 menit pada suhu ruangan dengan
pencampuran lembut.
6. Keluarkan larutan. Ulangi pembilasan seperti pada langkah 2
7. Tambahkan 100 μL Reagen TMB One-Step Substrate pada
masing-masisng tabung.
8. Inkubasikan selama 30 menit pada suhu ruangan di ruangan yang
gelap dengan pencampuran lembut.
9. Tambahkan 50 μL stop solution pada setiap tabung. Dilakukan
pembacaan pada 450 nm.
Prosedur pemeriksaan audiometri nada murni
Untuk pemeriksaan audiometri nada murni,
perlu diperhatikan
beberapa syarat antara lain (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008):
1. Alat audiometer yang telah distandardisasi oleh American National
Standards Institute (ANSI).
2. Suasana yang tenang. Bila perlu ruangan kedap suara.
3. Pemeriksa yang sabar dan teliti.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik maka prosedur yang
perlu diperhatikan antara lain (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L.,
2008):
1. Penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat
gerakan tangan pemeriksa, karena hal ini akan mempengaruhi
penderita bahwa nada tes sedang disajikan.
2. Untuk mengurangi interferensi dari suara-suara latar belakang yang
berasal dari sekitarnya maka tempat yang terbaik adalah ruangan
kedap suara akan tetapi bila tidak ada maka tes dilakukan di
ruangan tersembunyi.
3. Instruksi kepada penderita harus jelas misalnya “anda akan
diperiksa dan akan mendengar bunyi yang kadang-kadang keras
dan kadang-kadang lemah melalui earphone. Bila mendengar bunyi
itu, tekan tombol dan acungkan tangan. Kalau mendengar di
sebelah kanan acungkan tangan kanan dan kalau didengar pada
telinga kiri maka acungkan tangan kiri”.
4. Earphone harus diletakkan secara tepat diatas liang telinga
luar,warna merah di sebelah kanan dan warna biru di sebelah kiri.
5. Telinga yang diperiksa terlebih dahulu harus yang berfungsi lebih
baik. Bila oleh penderita mengatakan kedua telinga sama tulinya,
maka yang diperiksakan terlebih dahulu adalah telinga kanan.
6. Penyajian nada tes tidak boleh dengan irama yang konstan dan
lamanya interval antara dua bunyi harus selalu diubah-ubah.
7. Pemeriksaan pertama dimulai pada frekuensi 1000 Hz karena nada
ini dapat memberi hasil akurat yang konsisten. Kemudian periksa
nada-nada lebih tinggi 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, dan
8000 Hz.
Untuk menentukan nilai ambang tiap-tiap frekuensi dilakukan sebagai
berikut (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008):
1. Putar tombol (dial) pada kedudukan 0 dB dan sajikan bunyi selama
1-2 detik. Bila tidak ada respon, intensitas dinaikkan 5 dB, demikian
Universitas Sumatera Utara
seterusnya sampai ada respon. Jika sudah ada respon, turunkan
intensitasnya 5 dB sebagai cross check dan bila tidak mendengar
maka inilah nilai ambang frekuensi tersebut. Untuk telinga kanan
diberikan kode O dan telinga kiri diberi kode X pada audiogram.
2. Cara yang sama dilakukan untuk frekuensi-frekuensi yang lain.
Prosedur pemeriksaan timpanometri
Alat pemeriksaan (probe) dimasukkan ke dalam liang telinga. Alat
tersebut memancarkan sebuah nada dengan frekuensi 220 Hz. Alat
lainnya mendeteksi respon dari membran timpani terhadap nada tersebut.
Secara bersamaan, probe yang menutupi liang telinga menghadirkan
berbagai jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negatif ke dalam
liang telinga. Jumlah energi yang dipancarkan berhubungan langsung
dengan compliance. Compliance menunjukkan jumlah mobilitas di telinga
tengah. Compliance yang rendah menunjukkan kekakuan atau obstruksi
pada telinga tengah. Data-data yang didapat membentuk sebuah gambar
dua dimensi pengukuran mobilitas membran timpani. Pada telinga normal,
kurva yang timbul menyerupai gambaran lonceng (Stach, 1998).
Tekanan telinga tengah dinilai dengan bermacam-macam tekanan
pada liang telinga yang ditutup probe sampai SPL berada pada titik
minimum. Hal ini menggambarkan penghantaran bunyi yang maksimum
melalui telinga tengah. Tetapi bila tekanan udara dalam salah satu liang
telinga lebih dari (tekanan positif) atau kurang dari (tekanan negatif)
tekanan dalam kavum timpani, imitans sistem akan berubah dan aliran
energi berkurang. Pada tekanan yang bervariasi diatas atau di bawah titik
maksimum, SPL nada pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah,
menggambarkan sebuah penurunan dalam penghantaran bunyi yang
melalui telinga tengah (Stach, 1998).
Universitas Sumatera Utara
3.7 Kerangka Kerja
Kerangka kerja penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 3.1 berikut.
Seluruh pasien AR yang didiagnosis
berdasarkan kriteria ARA oleh dokter
ahli konsultan reumatologi
Dicatat jenis kelamin, umur,
dan durasi penyakitnya
Pemeriksaan T.H.T.K.L. rutin
Normal
Eksklusi
Tidak
Pemeriksaan audiometri
nada murni
Pemeriksaan Timpanometri
Didapatkan gangguan
pendengaran
Tidak didapatkan gangguan
pendengaran
Kelompok AR GP (+)
(n=21 orang)
Kelompok AR GP (-)
(n=21 orang)
Pemeriksaan immunoassay MMP-3
plasma darah
Gambar 3.1 Kerangka Kerja
Keterangan Gambar 3.1:
Seluruh pasien AR yang didiagnosis berdasarkan kriteria ARA oleh
dokter ahli konsultan reumatologi dicatat jenis kelamin, umur, dan durasi
penyakitnya. Kemudian dilakukan pemeriksaan T.H.T.K.L. rutin di
Departemen T.H.T.K.L. Pasien yang pada pemeriksaan T.H.T.K.L. rutin
dinyatakan tidak normal dieksklusikan. Sedangkan pasien yang pada
pemeriksaan T.H.T.K.L. rutin dinyatakan normal dilakukan pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
audiologi yang terdiri atas pemeriksaan audiometri nada murni dan
timpanometri. Pasien yang pada hasil pemeriksaan audiometri nada
murninya didapatkan gangguan pendengaran dimasukkan ke dalam
kelompok AR GP (+) yaitu sebanyak 21 pasien. Sedangkan pasien yang
pada hasil pemeriksaan audiometri nada murninya tidak didapatkan
gangguan pendengaran dimasukkan ke dalam kelompok AR GP (-)
sebagai pembanding yaitu sebanyak 21 orang. Kemudian dilakukan
pengambilan darah pada kedua kelompok tersebut untuk pemeriksaan
immunoassay MMP-3 plasma.
3.8 Analisis Data
Hasil pemeriksaan audiometri nada murni yang berupa jenis dan
derajat gangguan pendengaran disajikan dalam bentuk grafik. Untuk
mengetahui perbedaan rerata ambang hantaran udara, rerata ambang
hantaran tulang, rerata air-bone gap, maupun rerata ambang dengar
digunakan independent t-test. Hasil pemeriksaan timpanometri yang
berupa tipe timpanogram disajikan dalam bentuk grafik. Rerata kadar
MMP-3 disajikan dalam bentuk grafik kemudian digunakan independent ttest untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MMP-3 pada kedua
kelompok. Program Statistical Product and Service Solutions (SPSS)
digunakan untuk uji statistik. Dinyatakan bermakna secara statistik jika
diperoleh nilai p<0,05.
3.9 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan (ethical clearance) dari
Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran USU.
Universitas Sumatera Utara
3.10 Jadwal Penelitian
Kegiatan penelitian digambarkan melalui Tabel 3.1 berikut.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
Kegiatan
Waktu
Persiapan proposal
Februari-Maret 2015
Presentasi proposal
April 2015
Pengumpulan dan pengolahan data
April 2015-Mei 2016
Penyusunan laporan
Mei-September 2016
Seminar hasil
September 2016
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji
Adam Malik Medan. Diagnosis AR ditegakkan di Sub Divisi Reumatologi
Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam.
Pemeriksaan
telinga,
hidung,
tenggorok, kepala, dan leher dilakukan di Departemen Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher (T.H.T.K.L.). Pemeriksaan immunoassay
MMP-3 plasma dengan metode ELISA dilakukan di Departemen Patologi
Klinik.
4.2 Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 4.1 memperlihatkan proporsi usia, jenis kelamin, dan durasi
penyakit subjek dengan rerata usia kelompok AR GP (+) yaitu 35,38±2,00
tahun dan kelompok AR GP (-) yaitu 35,19±2,25 tahun. Perbedaan rerata
usia pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik (p>0,05).
Pasien-pasien tersebut sedang menjalani pengobatan dengan obat anti
inflamasi, baik steroid maupun non-steroid. Obat Anti Inflamasi NonSteroid (OAINS) yang digunakan yaitu natrium diklofenak, ibuprofen,
meloksikam, atau parasetamol. Obat golongan steroid yang digunakan
yaitu metilprednisolon atau prednison. Obat lain yang dikonsumsi adalah
golongan Disease Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs) yaitu
metotreksat atau klorokuin. Pasien-pasien tersebut mengkonsumsi obat
secara tunggal maupun kombinasi.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1 Proporsi Jenis Kelamin, Usia, dan Durasi Penyakit
Jenis Kelamin
Usia (tahun)
Durasi
(tahun)
Laki-laki
Perempuan
≤20
21-30
31-40
≥41
penyakit ≤5
6-10
≥11
Kelompok AR GP
(+)
n
%
5
23,8
16
76,2
1
4,8
7
33,3
5
23,8
8
38,1
14
66,7
7
33,3
0
0
Kelompok AR GP
(-)
n
%
5
23,8
16
76,2
1
4,8
7
33,3
5
23,8
8
38,1
17
81,0
3
14,3
1
4,8
4.3 Proporsi Jenis dan Derajat Gangguan Pendengaran pada
Kelompok AR dengan Gangguan Pendengaran
Pemeriksaan audiometri nada murni mendapatkan rerata ambang
dengar kelompok AR GP (+) yaitu 38,39±3,37 dBHL dan kelompok AR GP
(-) yaitu 20,48±0,72 dBHL. Dengan menggunakan independent t-test,
didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,001) ambang dengar diantara
kedua kelompok tersebut.
Gambar 4.1 memperlihatkan proporsi jenis gangguan pendengaran.
Dapat diketahui bahwa jenis gangguan pendengaran terbanyak adalah
SNHL yaitu sebanyak 16 pasien (76,2%), dimana 8 diantaranya bilateral
dan 8 lainnya unilateral. CHL didapatkan pada sebanyak 3 pasien
(14,3%), dimana 1 diantaranya bilateral dan 2 lainnya unilateral. MHL
hanya didapatkan pada sebanyak 2 pasien (9,5%), dimana keduanya
bilateral.
Universitas Sumatera Utara
76,2
80
Persentase (%)
70
60
50
40
30
14,3
9,5
20
10
0
SNHL
CHL
MHL
Tipe Gangguan Pendengaran (n=21)
Gambar 4.1 Jenis Gangguan Pendengaran pada Kelompok AR GP (+)
Gambar 4.2 memperlihatkan proporsi derajat gangguan pendengaran
kelompok AR GP (+). Proporsi derajat gangguan pendengaran yang
terbanyak didapatkan pada kelompok AR GP (+) adalah derajat ringan
yaitu sebanyak 14 pasien (66,7%), yang terdiri atas SNHL sebanyak 13
pasien (61,9%) dan CHL sebanyak 1 pasien (4,8%). Diikuti dengan derajat
sedang dan berat.
70
61,9
Persentase (%)
60
50
40
30
20
10
4,8
9,5 9,5
4,8
9,5
0
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat
Derajat Gangguan Pendengaran (n=21)
SNHL
CHL
MHL
Gambar 4.2 Derajat Gangguan Pendengaran pada
Kelompok AR GP (+)
Universitas Sumatera Utara
4.4 Perbedaan Rerata Hantaran Udara, Hantaran Tulang, Air-Bone
Gap, dan Ambang Dengar Kedua Kelompok
Gambar 4.3 memperlihatkan rerata ambang hantaran udara setiap
frekuensi pada kedua kelompok. Dapat diketahui bahwa rerata hantaran
udara kelompok AR GP (+) lebih tinggi daripada kelompok AR GP (-) pada
semua frekuensi. Dengan menggunakan independent t-test, didapatkan
perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada rerata hantaran udara diantara
kedua kelompok yaitu pada frekuensi 1000 Hz hingga 8000 Hz.
Frekuensi (Hz)
Ambang Pendengaran (dBHL)
250 HZ
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
20,5
32,67
500 HZ
1000 HZ 2000 HZ 4000 HZ 8000 HZ
23
23
23
35,67
34,67
34,33
23
39,33
23
36,33
Gambar 4.3 Rerata Ambang Hantaran Udara Kedua Kelompok
Gambar 4.4 memperlihatkan rerata hantaran tulang setiap frekuensi
pada kedua kelompok. Dapat diketahui bahwa rerata hantaran tulang
kelompok AR GP (+) lebih tinggi daripada kelompok AR GP (-) pada
semua frekuensi. Dengan menggunakan independent t-test, didapatkan
perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada rerata hantaran tulang diantara
kedua kelompok pada semua frekuensi.
Universitas Sumatera Utara
Frekuensi (Hz)
Ambang Pendengaran (dBHL)
250 HZ
500 HZ
1000 HZ
2000 HZ
4000 HZ
15
15
31
32
0
5
10
15
15
20
17
20
24,67
28,67
25
33
30
35
Gambar 4.4 Rerata Ambang Hantaran Tulang Kedua Kelompok
Gambar 4.5 memperlihatkan rerata ambang ABG pada setiap frekuensi
diantara kedua kelompok. Dapat diketahui bahwa rerata ambang ABG
pada kelompok AR GP (+) lebih tinggi daripada kelompok AR GP (-) pada
frekuensi 1000 Hz hingga 4000 Hz. Dengan menggunakan independent ttest, didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada rerata ambang
ABG yaitu pada frekuensi 4000 Hz.
Frekuensi (Hz)
500 HZ
1000 HZ
2000 HZ
4000 HZ
Ambang Pendengaran (dBHL)
0
1
2
2
2,67
3
4
5
6
7
3,5
3,33
3,5
3
6
7,33
8
Gambar 4.5 Rerata Nilai Air-Bone Gap Kedua Kelompok
Universitas Sumatera Utara
4.6 Proporsi Tipe Timpanogram Kedua Kelompok
Gambar 4.6 memperlihatkan proporsi berdasarkan tipe timpanogram
pada kedua kelompok. Dapat diketahui bahwa tipe timpanogram
terbanyak adalah tipe A baik pada kelompok AR GP (+) yaitu sebanyak 15
pasien (71,4%), maupun pada kelompok AR GP (-) yaitu sebayak 10
pasien (47,6%). Diikuti timpanogram tipe As sebanyak 6 pasien (28,6%)
pada kelompok AR GP (+), dan sebanyak 10 pasien (47,6%) pada
kelompok AR GP (-). Pada kelompok AR GP (+), dari semua pasien
dengan timpanogram tipe As, hanya didapatkan 1 pasien dengan CHL.
80
71,4
Persentase (%)
70
60
47,6
50
40
47,6
28,6
30
20
4,8
10
0
Tipe A
Tipe As
Tipe Ad
Tipe B
Tipe C
Tipe Timpanogram
Kelompok AR GP (+) (n=21)
Kelompok AR GP (-) (n=21)
Gambar 4.6 Proporsi Tipe Timpanogram
4.7 Perbedaan Kadar MMP-3 diantara Kedua Kelompok
Gambar 4.7 memperlihatkan kadar MMP-3 plasma pada kedua
kelompok. Dapat diketahui bahwa kadar MMP-3 plasma yang paling tinggi
adalah sebesar 9,47 ng/ml dan yang paling rendah adalah sebesar 2,06
ng/ml pada kelompok AR GP (+). Sedangkan pada kelompok AR GP (-),
kadar MMP-3 plasma yang paling tinggi adalah sebesar 2,00 ng/ml dan
yang paling rendah adalah sebesar 0,02 ng/ml. Rerata kadar MMP-3
plasma kelompok AR GP (+) yang berdurasi penyakit≤5 tahun adalah
sebesar 4,15 ng/mL dan yang berdurasi penyakit >6 tahun adalah sebesar
5,09 ng/mL.
Universitas Sumatera Utara
10
9
Kadar MMP-3 (ng/ml)
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Kelompok AR GP (+)
Kelompok AR GP (-)
Gambar 4.7 Kadar MMP-3 Plasma Kedua Kelompok
Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa perbedaan rerata kadar MMP-3
plasma pada kedua kelompok adalah sebesar 3,38±0,52 ng/ml.
Didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0,001) kadar
MMP-3 plasma diantara kedua kelompok.
Tabel 4.2 Hasil Independent t-test terhadap Kadar MMP-3 diantara
Kedua Kelompok
Kelompok AR
Kelompok AR
Nilai p
GP (+)
GP (-)
(Mean±SEM)
(Mean±SEM)
Kadar MMP-3
4,47±0,50
1,08±0,12
<0,001
Plasma (ng/ml)
Universitas Sumatera Utara
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
AR adalah penyakit inflamasi kronik yang didapatkan pada 1% populasi
(Carrasco & Barton, 2010; Paul, Das, & Bhattacharjee, 2015; Emamifar,
Bjoerndal, & Hansen, 2016). Pada penelitian ini, wanita usia muda≤40
(
tahun) dengan AR banyak didapatkan. Prevalensi AR diketahui 2-3 kali
lebih banyak diderita kaum perempuan dibandingkan dengan kaum pria.
Serangan awal penyakit ini paling sering terjadi pada dekade keempat dan
kelima (Paul, Das, & Bhattacharjee, 2015). Penyakit ini biasanya
menyerang kelompok dewasa produktif, berusia 20-40 tahun seperti yang
dikemukakan oleh Carter (2005). Predileksi perempuan pada pasien AR
paling tinggi didapatkan pada kelompok usia yang lebih muda. Ini
memperkuat pendapat yang menyebutkan bahwa hormon sex merupakan
salah satu faktor predisposisi AR (del Rincón, et al., 2002). Pada
penelitian ini, durasi penyakit yang terbanyak didapatkan adalah ≤5 tahun,
diikuti dengan durasi 6-10 tahun. AR merupakan penyakit sistemik yang
ditandai dengan inflamasi kronik. Penelitian membuktikan bahwa semakin
cepat pasien AR diobati, maka semakin baik pula prognosisnya. Namun,
diagnosis AR secara dini biasanya sulit dilakukan dan pada saat diagnosis
ditegakkan telah terjadi kerusakan yang ireversibel (Carrasco & Barton,
2010).
5.2 Proporsi Jenis dan Derajat Gangguan Pendengaran pada
Kelompok AR dengan Gangguan Pendengaran
Pada penelitian yang dilakukan Ozcan, et al. (2002), didapatkan
gangguan pendengaran sebesar 51,4% pada kelompok penderita AR
sedangkan pada kelompok pembanding hanya didapatkan sebesar
14,3%. Pada pasien AR, baik SNHL maupun CHL pernah dilaporkan
(Doig, et al., 1971; Reiter, et al., 1980; Elwany, ElGarf, dan Kamel, 1986;
Universitas Sumatera Utara
Colletti, et al., 1997). SNHL merupakan jenis gangguan pendengaran
yang paling sering ditemukan pada pasien AR yaitu sebanyak 24-60%
sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.1 di bawah ini (Magaro, Zoli, &
Altomonte, 1990; Kastanioudakis, et al., 1995; Raut, Cullen, & Cathers,
2001; Ozcan et al., 2002; Takatsu, et al., 2005; Bhama, et al., 2005;
Halligan, et al., 2006; Murdin, et al., 2008; Dikici, et al., 2009; Baradaranfar
and Doosti, 2010; Arslan, et al., 2011; Vega, et al., 2016).
Tabel 5.1 Hasil Pemeriksaan Audiometri Nada Murni pada Pasien AR
Peneliti
Magaro, Zoli, & Altomonte (1990)
Kastanioudakis, et al. (1995)
Raut, Cullen, & Cathers (2001)
Ozcan et al. (2002)
Takatsu, et al. (2005)
Bhama, et al. (2005)
Halligan, et al. (2006)
Murdin, et al. (2008)
Dikici, et al. (2009)
Baradaranfar and Doosti (2010)
Arslan, et al. (2011)
Vega, et al. (2016)
Jumlah
Pasien
20
45
35
37
37
25
29
55
20
50
44
53
SNHL (%)
CHL (%)
55
35,5
60
35,1
36,1
60
40
29,6
45
60
27,3
43,4
24,3
12
10
1,9
56,8
-
Sebuah tinjauan pustaka yang dilakukan Emamifar, Bjoerndal, &
Hansen (2016) memperlihatkan berbagai patologi gangguan pendengaran
pada AR sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.1. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa telinga tengah adalah target primer penyakit ini,
namun beberapa
peneliti lainnya
mendapati bahwa
SNHL yang
merupakan manifestasi gangguan pada telinga dalam adalah temuan
terbanyak pada pasien AR (Heyworth dan Liyanage, 1972; SiamopoulouMavridou,
et
al.,
1990;
Mukerji,
Estrem,
dan
O'Sullivan,
1994;
Kastanioudakis, et al., 1995; Ozcan, et al., 2002). Sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 5.1, SNHL dihubungkan dengan neuropati
auditori, kerusakan sel rambut koklea, ototoksisitas obat yang digunakan
dalam pengobatan, dan akumulasi deposit imun di telinga dalam
(Kastanioudakis, et al., 1995; Seçkin, et al., 2000; Coutinho dan Duarte,
2002; Dikici, et al., 2009). Dalam teori, manifestasi ekstraartikular, seperti
Universitas Sumatera Utara
vaskulitis dan neuritis, dapat mempengaruhi sel rambut koklea dan saraf
koklea, sehingga menghasilkan SNHL (Emamifar, Bjoerndal, & Hansen
2016).
Destruksi sendi
inkudomaleus dan
inkudostapedius
CHL
Nodul reumatoid
Neuropati auditori
Gangguan
pendengaran
pada AR
SNHL
Kerusakan sel rambut
koklea
ototoksisitas
Keterlibatan multifokal dari
sistem auditori
Mixed-HL
Gambar 5.1 Patologi Gangguan Pendengaran pada AR
Telah diketahui bahwa penyakit autoimun dapat menghasilkan
gangguan
pendengaran
perseptif
sebagai
akibat
dari
perubahan
degeneratif pada organ corti (Heyworth dan Liyanage, 1972). Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, AR merupakan penyakit autoimun (Takatsu,
et al., 2005; Junior, et al., 2006). Pada penyakit autoimun, selain
kerusakan yang diakibatkan oleh respon imun terhadap patogen, telinga
dalam dapat juga menderita efek autoimun tersebut. Tiga mekanisme
utama dalam penyakit autoimun adalah autoantibodi terhadap antigen
jaringan, pengendapan antigen dan antibodi dalam jaringan, serta infiltrasi
dan kerusakan jaringan oleh sel T sitotoksik (Harris, 2006). Penyakit
autoimun telinga dalam bermanifestasi sebagai SNHL yang progresif
Universitas Sumatera Utara
cepat. SNHL tersebut berawal dari gangguan pendengaran unilateral yang
pada akhirnya berkembang menjadi gangguan pendengaran bilateral
(American Speech-Language-Hearing Association, 2016).
Pada penelitian ini, diantara pasien yang mengalami SNHL, 8 pasien
mengalami SNHL bilateral sedangkan 8 pasien lainnya mengalami SNHL
unilateral.
SNHL
unilateral
yang
didapatkan
pada
penelitian
ini
memperlihatkan adanya pengaruh penyakit autoimun pada telinga dalam.
Penyakit autoimun telinga dalam bermanifestasi sebagai SNHL yang
progresif dalam hitungan bulan. SNHL tersebut dapat berawal dari
gangguan pendengaran unilateral yang pada akhirnya berkembang
menjadi bilateral (Mijovic, Zeitouni, & Colmegna, 2013; American SpeechLanguage-Hearing Association, 2016).
Takatsu, et al. (2005) tidak mendapatkan autoimunitas terhadap
kolagen tipe II pada penelitiannya, sehingga mereka berpendapat bahwa
hiperaktivitas sistem kekebalan humoral dan selular terhadap antigen
telinga dalam adalah penyebab SNHL. Pada vaskulitis yang diperantarai
kompleks imun telinga dalam, autoantibodi yang melawan epitop antigen
telinga dalam dapat menyebabkan SNHL. Peningkatan prevalensi SNHL
juga pernah dilaporkan pada penyakit autoimun lainnya seperti lupus
eritematosus sistemik dan sindrom Sjo¨gren’s. Hiperaktivitas imunitas
humoral dan selular terhadap autoantigen telinga dalam juga dapat
menyebabkan SNHL (Ziavra, et al., 2000; Kastanioudakis, et al., 2002;
Takatsu, et al., 2005). Sistem imunitas humoral dan selular berperan
dalam kerusakan koklea pasien dengan penyakit autoimun telinga dalam.
Secara histopatologi, kerusakan tersebut meliputi kerusakan organ corti,
distrofi stria vaskularis, neofibroosteogenesis basal koklea, fibrosis dari
kantung endolimfatik, dan terdapatnya limfosit dalam kompartemen
membran labirin (Mijofic, Zeitouni, & Colmegna, 2013).
Obat-obat ototoksik merupakan salah satu penyebab stres oksidatif
pada koklea (Ozcan, et al., 2002; Dikici, et al., 2009). Beberapa obat
tertentu seperti salisilat, OAINS, antimalaria, dan DMARDS dapat
Universitas Sumatera Utara
mengganggu
sistem
pendengaran.
Tinnitus,
hilangnya
sensitivitas
terhadap suara, dan perubahan persepsi suara adalah efek samping yang
paling sering didapatkan akibat penggunaan salisilat dosis tinggi. Gejala
tersebut didapatkan segera setelah terapi inisial, berfluktuasi selama
pengobatan, dan pada umumnya reversibel. Hidroksiklorokuin dan
klorokuin berhubungan dengan jejas pada sel rambut luar, berkurangnya
populasi neuron dan struktur penunjang, serta atrofi stria vaskularis yang
menghasilkan SNHL. Keadaan ini bisa reversibel jika pengobatan
dihentikan dan diberikan terapi
yang adekuat dengan kortikosteroid
(Emamifar, Bjoerndal, & Hansen 2016).
CHL didapatkan pada sebanyak 14,3% pasien dimana 1 pasien
diantaranya mengalami CHL bilateral, sedangkan 2 pasien lainnya
mengalami CHL unilateral. Rosenberg, Moffat, dan Ramsden (1978)
menyatakan bahwa CHL merupakan fenomena yang jarang ditemukan
pada pasien AR. CHL telah dilaporkan pada pasien AR, namun dengan
prevalensi yang lebih rendah daripada SNHL yaitu sebesar 0-24,3%
(Ozcan et al., 2002; Takatsu, et al., 2005; Bhama, et al., 2005; Halligan, et
al., 2006; Murdin, et al., 2008; Dikici, et al., 2009; Baradaranfar and
Doosti, 2010; Arslan, et al., 2011; Vega, et al., 2016).
Kelemahan mekanisme transduser telinga tengah yang disebabkan
oleh terganggunya ligamentum suspensorium tulang pendengaran serta
terganggunya sendi inkudomaleus dan inkudostapedius, dikemukakan
sebagai penyebab CHL (Harris, 2006). CHL dapat berhubungan dengan
kekakuan maupun diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran (Moffat,
et al., 1977). Gussen (1977) melaporkan lesi reumatoid pada sendi tulangtulang pendengaran seorang wanita dengan AR dan sindroma Sjo¨gren’s.
Lesi patologis yang ditemukan pada pasien ini adalah disolusi material
diskus, proliferasi elemen sinovial diskus dan permukaan sendi, dengan
pembentukan jaringan seperti pannus, dan kehancuran tulang rawan
dengan jaringan kolagen seluler yang dijumpai sepanjang permukaan
tulang yang terkena (Goodwill, Lord, dan Jones, 1972). Inflamasi pada
Universitas Sumatera Utara
tahap aktif penyakit dan fibrosis dalam rangkaian tulang pendengaran
dapat menyebabkan kurangnya elastisitas dan munculnya komponen
konduktif pada gangguan pendengaran (Dikici, et al., 2009).
Mixed HL juga dijumpai pada pasien AR namun dengan prevalensi
yang lebih rendah yaitu sebanyak 10-10,8% (Ozcan, et al., 2002). Pada
penelitian ini, mixed HL didapatkan sebanyak 9,5% pada masing-masing
telinga kanan dan kiri. Mixed HL didapatkan pada 2 (9,5%) pasien dimana
keduanya mengalami mixed HL bilateral. Komponen konduktif dapat
berkembang lebih lambat daripada komponen sensorineural. Hal ini
menyebabkan mixed HL (Dikici, et al., 2009).
Penelitian ini memperlihatkan bahwa SNHL derajat ringan adalah yang
paling sering didapatkan pada pasien AR. Hasil penelitian sebelumnya
memperlihatkan bahwa tidak didapatkan hubungan antara durasi penyakit
dengan SNHL pada pasien AR (Takatsu, et al., 2005). Namun berbeda
dengan penemuan tersebut, Dikici et al mengungkapkan bahwa pada
pasien dengan durasi penyakit yang lebih lama, baik patologi penyakit AR
maupun penggunaan obat ototoksik dapat menyebabkan kerusakan pada
telinga dalam. Obat-obat ototoksik merupakan salah satu penyebab stres
oksidatif pada koklea (Dikici, et al., 2009). Pada penelitian ini, SNHL
derajat ringan didapatkan baik unilateral maupun bilateral. Autoimunitas
telinga dalam biasanya mempengaruhi pasien pada dekade ketiga hingga
keenam kehidupan dan menghasilkan SNHL unilateral atau bilateral yang
progresif dalam hitungan minggu hingga bulan. Walaupun pada
anamnesis sebanyak 50% pasien menyatakan menderita gangguan
pendengaran unilateral, namun dengan pemeriksaan audiologi didapatkan
SNHL bilateral yang asimetris pada mayoritas kasus (80-100%) (Mijovic,
Zeitouni & Colmegna, 2013).
Universitas Sumatera Utara
5.3 Perbedaan Rerata Hantaran Udara, Hantaran Tulang, Air-Bone
Gap, dan Ambang Dengar Kedua Kelompok
Audiometri nada murni merupakan pemeriksaan yang paling sering
digunakan untuk menilai gangguan pendengaran. Pemeriksaan ini
dilakukan pada frekuensi yang bervariasi mulai dari nada rendah 250 Hz
hingga nada tinggi 8000 Hz. Frekuensi 250 Hz dan 500 Hz adalah
frekuensi rendah, 1000 Hz dan 2000 Hz adalah frekuensi menengah,
sedangkan 4000 Hz dan 8000 Hz adalah frekuensi tinggi. Pemeriksaan
audiometri pada frekuensi 8000 Hz - 16.000 Hz dapat mendeteksi
gangguan pendengaran pada stadium dini. Namun, pemeriksaan tersebut
jarang dilakukan.
Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,05)
pada rerata hantaran udara diantara kedua kelompok yaitu pada frekuensi
1000 Hz hingga 8000 Hz. Didapatkan pula perbedaan yang bermakna
(p<0,05) pada rerata hantaran tulang diantara kedua kelompok pada
semua frekuensi. Ini memperlihatkan bahwa gangguan pendengaran pada
pasien AR bisa didapatkan pada semua frekuensi terutama frekuensi
menengah hingga tinggi. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian
sebelumnya
yang
mendapatkan
bahwa
prevalensi
gangguan
pendengaran pada pasien AR didapatkan pada semua frekuensi yang
meliputi frekuensi rendah, menengah, tinggi, dan sangat tinggi (Emamifar,
Bjoerndal, & Hansen, 2016). Colletti, et al. menjelaskan bahwa fiksasi
sendi
tulang-tulang
pendengaran
jangka
panjang
menyebabkan
kerusakan sel rambut koklea secara tidak langsung atau membuat telinga
dalam mengalami jejas karena terpapar trauma intrinsik dan ekstrinsik
secara bersamaan. Raut, et al .menyatakan bahwa keadaan tersebut akan
menyebabkan SNHL pada nada tinggi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dikici, et al. (2009), tidak
ditemukan perbedaan ambang dengar diantara kelompok AR dengan
kelompok
pembanding
yang
merupakan
orang
sehat.
Mereka
menggunakan pemeriksaan audiometri nada murni dan audiometri
Universitas Sumatera Utara
frekuensi tinggi dalam penelitiannya. Namun, hal ini berbeda dengan
temuan yang dihasilkan pada penelitian Baradaranfar dan Doosti (2010).
Pada penelitian tersebut, didapatkan perbedaan ambang dengar yang
bermakna pada frekuensi tinggi terutama pada frekuensi 8000 Hz diantara
kelompok AR dengan kelompok pembanding. Mereka menyatakan bahwa
jenis gangguan pendengaran yang didapat adalah sensori bukan neural.
5.4 Proporsi Tipe Timpanogram Kedua Kelompok
Pada penelitian ini, didapatkan timpanogram tipe As pada kelompok
kontrol yang terdiri atas pasien AR tanpa gangguan pendengaran. Begitu
pula pada kelompok kasus, diantara 6 pasien yang didapati timpanogram
tipe As, hanya didapatkan 1 pasien yang mengalami CHL. Ini
memperlihatkan keterlibatan subklinis tulang-tulang pendengaran dan
persendiannya.
Siamopoulou-Mavridou,
et
al.
(1990)
menemukan
timpanogram tipe As pada sebanyak 47% pasien AR kronis. Reiter, et al.
(1980) juga mengutarakan peningkatan kekakuan persendian pada
rangkaian tulang pendengaran dengan atau tanpa penurunan stabilitas
ligamennya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Colletti, et al. (1997),
dikemukakan bahwa AR dapat mempengaruhi sendi inkudomaleus dan
inkudostapedius,
serta
dapat
mengubah
mekanika
tulang-tulang
pendengaran dalam merespon perubahan tekanan udara statis. Mereka
menemukan penurunan kekakuan sendi sebanyak 6,6% dan peningkatan
kekakuan sendi sebanyak 18,3%.
Penelitian
inkudomaleus
sebelumnya
dan
mengungkapkan
inkudostapedius
bahwa
tersebut
tidak
ankilosis
sendi
menyebabkan
perubahan dalam konduksi suara ke koklea, karena sendi-sendi tersebut
utuh secara fungsional selama transmisi suara berlangsung. Hal ini dapat
menjelaskan keadaan pendengaran yang normal meskipun telah terjadi
peningkatan kekakuan sendi di telinga tengah. Penjelasan lainnya adalah
bahwa pengaruh AR terhadap ligamen dan kapsul sendi tulang-tulang
Universitas Sumatera Utara
pendengaran meningkatkan kelemahan atau menurunkan kekakuan tanpa
mengganggu konduksi suara (Colletti, et al., 1997).
Didapatkan pula timpanogram tipe Ad yaitu sebesar 4,8% pada
penelitian ini. Rosenberg, Moffat, dan Ramsden (1978) menyatakan
bahwa CHL pada pasien AR mungkin berhubungan dengan diskontinuitas
rangkaian tulang pendengaran. Karakteristik lain dari penyakit ini yaitu
vaskulitis. Vaskulitis tersebut dapat mengakibatkan perfusi yang tidak
adekuat pada tulang pendengaran terutama pada prosessus longus inkus.
Nekrosis pada struktur ini dapat menyebabkan diskontinuitas tulang
pendengaran (Colletti, et al., 1997).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
memperlihatkan bahwa CHL merupakan temuan yang sangat jarang,
walaupun timpanometri abnormal didapatkan (Reiter, et al., 1980;
Takatsu, et al., 2005; Dikici, et al., 2009; Arslan, et al., 2011). Elwany,
ElGarf, dan Kamel (1986) melakukan timpanometri pada 68 orang pasien
AR dan menemukan kekakuan sendi pada sebanyak 56% telinga. Hanya
1 kasus CHL (1,5%) didapatkan pada penelitian mereka. Keterlibatan
subklinis yang dapat dideteksi oleh audiometri imitans telah dilaporkan
oleh peneliti lainnya (Moffat, et al., 1977). Reiter, et al. (1980) menemukan
prevalensi pola timpanometri abnormal yang lebih banyak yaitu sebanyak
59%. Ini memperlihatkan terlibatnya tulang-tulang pendengaran dan
persendiannya walaupun gangguan pendengaran konduktif yang nyata
belum dapat dideteksi dengan audiometri nada murni (CHL subklinis).
Sendi inkudomaleus dan inkudostapedius merupakan diartrosis sejati,
sehingga dapat mengalami lesi reumatoid yang sama sebagaimana sendi
lain di tubuh kita (Colletti, et al., 1997; Frade dan Martin, 1998; Takatsu, et
al., 2005; Emamifar, Bjoerndal, & Hansen 2016). Destruksi sendi bisa
didapatkan tanpa manifestasi klinis karena tulang-tulang pendengaran
tetap utuh secara fungsional selama transmisi suara. Selain itu, kerusakan
pada ligamen meningkatkan elastisitas sendi yang mengalami kekakuan
tanpa mengganggu konduksi suara. Oleh karena itu, dapat dijumpai
Universitas Sumatera Utara
pendengaran yang normal walaupun telah terjadi kekakuan sendi (Coletti,
et al., 1997; Dikici, et al., 2009; Arslan, et al., 2011, Emamifar, Bjoerndal,
& Hansen 2016).
5.5 Perbedaan Kadar MMP-3 pada Kedua Kelompok
AR merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama
mengenai sendi diartrodial. Penyakit ini termasuk penyakit autoimun
dengan etiologi yang tidak diketahui. Manifestasi artikular AR dapat dibagi
menjadi gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel
dan gejala akibat kerusakan struktur pesendian yang bersifat ireversibel.
Sistem auditori juga dapat mengalami gangguan pada penyakit ini.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa artritis reumatoid dapat
menyebabkan gangguan pendengaran (Lee, 2003; Kasper, et al., 2005;
Rani, et al., 2008; Dikici, et al., 2009; Baradaranfar & Doosti, 2010;
Emamifar, Bjoerndal, & Hansen 2016).
Pada penelitian ini, didapatkan rerata kadar MMP-3 plasma pada
pasien AR dengan gangguan pendengaran berjenis kelamin perempuan
adalah sebesar 3,77 ng/mL dan pada pasien AR dengan gangguan
pendengaran berjenis kelamin laki-laki adalah sebesar 6,69 ng/mL. Rerata
kadar MMP-3 plasma pada pasien AR dengan gangguan pendengaran
dengan durasi penyakit ≤5 tahun adalah sebesar 4,15 ng/mL dan pada
pasien AR dengan gangguan pendengaran dengan durasi penyakit >6
tahun adalah sebesar 5,09 ng/mL. Sun, et al. (2014) meneliti hubungan
antara kadar MMP-3 serum dengan usia, jenis kelamin, dan durasi
penyakit pada pasien AR. Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa
usia dan durasi penyakit tidak berhubungan dengan kadar MMP-3
tersebut. Kadar MMP-3 pada pasien berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan juga tidak berbeda bermakna. Mereka menyimpulkan bahwa
MMP-3 merupakan petanda inflamasi sendi. Ribbens, et al. (2002)
menyimpulkan bahwa kadar MMP-3 serum meningkat baik pada AR akut
Universitas Sumatera Utara
maupun pada AR kronis. Mereka juga menyimpulkan bahwa MMP-3
serum menggambarkan inflamasi sendi.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa kadar serum MMP-3 menurun
pada pasien yang diterapi dengan DMARDs (Mamehara, et al., 2010).
Kadar MMP-3 plasma menurun pada pasien dengan AR yang respon
terhadap sulfasalazin maupun kombinasi sulfasalazin dan metotreksat
(Posthumus, et al., 2002). Penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa
OAINS
seperti
naproxen
dan
natrium
diklofenak
memiliki
efek
kondroprotektif. Glukokortikoid, merupakan inhibitor yang potensial
terhadap sintesis MMP dan oleh karena itu memperlambat
degradasi
tulang rawan (Sadowski & Steinmeyer, 2001). Namun, penelitian lainnya
mendapatkan bahwa kortikosteroid dapat meningkatkan kadar MMP-3
serum. Kadar MMP-3 serum meningkat pada penyakit reumatik dengan
sinovitis sendi. Kadarnya normal pada penyakit reumatik non-inflamasi
tanpa sinovitis, namun kadarnya meningkat pada pasien yang diterapi
dengan steroid (Ribbens, et al. 2002). Pada pasien AR, kadar MMP-3
serum menurun setelah pemberian anti TNF-α. Hal ini mengindikasikan
bahwa MMP-3 dapat digunakan sebagai prediktor terhadap efisiensi
pengobatan (Sun, et al. 2014).
MMP-3 merupakan anggota famili proteinase ekstraselular. Pada
penelitian ini, dapat diketahui bahwa rerata kadar MMP-3 plasma pada
kelompok AR dengan gangguan pendengaran adalah sebesar 4,47 ng/ml
dan rerata kadar MMP-3 plasma pada kelompok AR tanpa gangguan
pendengaran adalah sebesar 1,08 ng/ml. Perbedaan rerata kadar MMP-3
plasma pada kedua kelompok adalah sebesar 3,38±0,52 ng/ml.
Didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara kadar MMP3 pada pasien AR dengan gangguan pendengaran dan pasien AR tanpa
gangguan pendengaran. Ini memperkuat kesimpulan yang menyatakan
bahwa MMP-3 berperan dalam kerusakan sel rambut dalam akibat proses
oksidatif (Evans & Halliwell, 1999; Takatsu, et al., 2005; Emamifar,
Bjoerndal, & Hansen 2016).
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian yang dilakukan oleh Takatsu, et al., didapatkan bahwa
konsentrasi MMP-3, interleukin-6 (IL-6), MMP-9, TNF-α pada plasma
meningkat
pada
pasien
AR
dengan
SNHL.
Penelitian
tersebut
mendapatkan hubungan yang bermakna antara SNHL pada pasien AR
dengan peningkatan MMP-3 dan IL-6 plasma plasma tersebut. Peneliti
menyimpulkan bahwa sitokin proinflamasi atau MMP berperan dalam
kerusakan sel rambut dalam akibat proses oksidatif. Keadaan ini
menghasilkan SNHL (Evans & Halliwell, 1999; Takatsu, et al., 2005;
Emamifar, Bjoerndal, & Hansen 2016).
Target MMP-3 meliputi kolagen, fibronektin, laminin, plasminogen, ecadherin dan MMP lainnya (berpartisipasi dalam aktivasi pro MMP).
Protein ini terlibat dalam penguraian matriks ekstraselular pada artritis
(Nagase, Visse, & Murphy, 2006; Enzo Life Sciences, 2014; National
Center for Biotechnology Information, 2014). Pada AR, MMP-1, MMP-3,
MMP-9, dan MMP MT1 diproduksi secara berlebihan. MMP ini
disekresikan ke dalam sinovium dan menyerang tulang rawan yang
terendam dengan cairan sinovial. Konsentrasi MMP-3 dalam cairan
sinovial reumatoid lebih tinggi daripada MMP lainnya dan dalam beberapa
penelitian terbukti bersifat memprediksi kehancuran sendi (Carrasco &
Barton, 2010).
MMP-3 merupakan proteinase yang disekresikan oleh fibroblas dan
kondrosit sinovial. Aktivitasnya menyebabkan degradasi protein inti
aggrecan, protein tulang rawan, fibronektin, serta kolagen tipe IV, VII, IX
dan XI. MMP-3 ada dalam cairan sinovial penderita AR dan diekspresikan
secara berlebihan. MMP-3 berhubungan dengan kerusakan sendi yang
lebih parah pada AR. Dalam hal lainnya, konsentrasi MMP-3 serum
diajukan sebagai prediktor untuk kehancuran sendi pada AR dini atau AR
yang sudah lanjut. Konsentrasi MMP-3 yang bersirkulasi tampaknya telah
ditentukan secara genetik (Dénarié, et al., 2014).
Kultur tulang rawan terbukti menghasilkan vesikel matriks yang
mengandung pro MMP-3 dan MMP-3 aktif. Kondrosit dari zona
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan menghasilkan vesikel membran dengan kandungan MMP
yang lebih tinggi, yang mengindikasikan bahwa enzim ini terlibat dalam
pemodelan ulang matriks ekstraselular pada zona sel hipertrofik pada
tulang
panjang.
Sebuah
penelitian
tentang
neuron
dopaminergik
menunjukkan adanya peranan pro-apoptotik dari MMP-3 intrasel aktif.
Selama apoptosis, pro MMP-3 dibelah untuk menjadi bentuk aktif secara
katalitik oleh serin proteinase. Ketiadaan aktivitas MMP-3 intrasel
melindungi sel-sel dopaminergik dari apoptosis. Penghambatan aktivitas
MMP-3 melemahkan aktivasi caspase-3, enzim pengeksekusi dalam
apoptosis (Olsen, et al., 2011).
Sel T, sel B, dan interaksi sitokin proinflamasi berperan pada
patofisiologi AR. Kerusakan sendi berawal pada membran sinovial,
dimana influks dan/atau aktivasi lokal terhadap sel mononuklear dan
pembentukan pembuluh darah baru menyebabkan sinovitis. Pannus,
bagian membran sinovial yang kaya akan osteoklas menghancurkan
tulang, sementara enzim yang disekresikan oleh sinoviosit dan kondrosit
mendegradasi kartilago. Dikeluarkannya sitokin, khususnya MMP-3, TNFα, IL-6, IL-1, menyebabkan peradangan pada sendi (Choy, 2012;
Emamifar, Bjoerndal, & Hansen 2016). Keadaan ini dapat menyebabkan
gangguan
pada
tulang-tulang
pendengaran
yang
dimanifestasikan
sebagai CHL.
Selama ini, diagnosis gangguan pendengaran pada pasien AR
didasarkan pada manifestasi klinik dan pemeriksaan audiologi. Akan
tetapi, sering sulit mendiagnosis gangguan pendengaran pada fase yang
sangat dini. Oleh karena itu, penelitian ini membuktikan peran penting
MMP-3 plasma sebagai biomarker gangguan pendengaran pada AR.
Kami merekomendasikan pemeriksaan kadar MMP-3 plasma terhadap
pasien AR dengan durasi penyakit≤5 tahun untuk mendeteksi gangguan
pendengaran lebih dini.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Penelitian ini mendapatkan rerata ambang dengar kelompok AR GP
(+) yaitu 38,39±3,37 dBHL dan kelompok AR GP (-) yaitu
20,48±0,72 dBHL. Dengan menggunakan independent t-test,
didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,001) ambang dengar
diantara kedua kelompok tersebut. Jenis gangguan pendengaran
terbanyak adalah SNHL yaitu sebanyak 76,2%. CHL didapatkan
pada sebanyak 14,3%. MHL hanya didapatkan pada sebanyak
9,5%. Derajat gangguan pendengaran yang terbanyak didapatkan
pada kelompok AR GP (+) adalah derajat ringan yaitu sebanyak
66,7%, yang terdiri atas SNHL sebanyak 61,9% dan CHL sebanyak
4,8%. Diikuti dengan derajat sedang dan berat.
2. Penelitian ini mendapatkan rerata hantaran udara kelompok AR GP
(+) lebih tinggi daripada kelompok AR GP (-) pada semua frekuensi.
Dengan menggunakan independent t-test, didapatkan perbedaan
yang bermakna (p<0,05) pada rerata hantaran udara diantara kedua
kelompok yaitu pada frekuensi 1000 Hz hingga 8000 Hz. Rerata
hantaran tulang kelompok AR GP (+) lebih tinggi daripada kelompok
AR
GP
(-)
pada
semua
frekuensi.
Dengan
menggunakan
independent t-test, didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,05)
pada rerata hantaran tulang diantara kedua kelompok pada semua
frekuensi. Rerata ambang ABG pada kelompok AR GP (+) lebih
tinggi daripada kelompok AR GP (-) pada frekuensi 1000 Hz hingga
4000 Hz. Dengan menggunakan independent t-test, didapatkan
perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada rerata ambang ABG yaitu
pada frekuensi 4000 Hz.
Universitas Sumatera Utara
3. Penelitian ini mendapatkan tipe timpanogram terbanyak adalah tipe
A baik pada kelompok AR GP (+) yaitu sebanyak 71,4%, maupun
pada
kelompok
AR
GP
(-)
yaitu
sebayak
47,6%.
Diikuti
timpanogram tipe As sebanyak 28,6% pada kelompok AR GP (+),
dan sebanyak 47,6% pada kelompok AR GP (-). Pada kelompok AR
GP (+), dari semua pasien dengan timpanogram tipe As, hanya
didapatkan 1 pasien dengan CHL.
4. Penelitian ini mendapatkan perbedaan rerata kadar MMP-3 plasma
pada kedua kelompok adalah sebesar 3,38±0,52 ng/ml. Didapatkan
perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0,001) kadar MMP-3
plasma diantara kedua kelompok.
6.2 Saran
1. Pemeriksaaan kadar MMP-3 pada tahap awal perkembangan
penyakit (durasi penyakit≤5 tahun)
diperlukan untuk diagnosis
maupun intervensi yang lebih dini terhadap gangguan pendengaran.
Pemeriksaan
audiometri
direkomendasikan
untuk
dan
timpanometri
memantau
gangguan
berkala
juga
pendengaran
tersebut.
2. Diperlukan kerja sama yang baik antara Departemen T.H.T.K.L.
dengan Departemen Ilmu Penyakit Dalam untuk mencegah dan
menangani gangguan pendengaran pada pasien AR.
3. Diperlukan penelitian lanjutan untuk meneliti kadar MMP-3 plasma,
MMP lain, maupun sitokin proinflamatori pada pasien AR yang
diberikan pengobatan sama, baik berdasarkan durasi penyakit,
maupun berdasarkan jenis gangguan pendengaran.
Universitas Sumatera Utara
Download