BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Masa remaja merupakan suatu fase tumbuh kembang yang dinamis dalam
kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa kanakkanak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental,
emosional, dan sosial. Untuk tercapainya tumbuh kembang remaja yang optimal
tergantung pada potensi biologinya. Tingkat tercapainya potensi biologi seorang
remaja merupakan hasil interaksi faktor genetik dan lingkungan sosial. Proses dan
hasil akhir yang berbeda-beda memberikan ciri tersendiri pada setiap remaja
(Hurlock, 2007).
Menurut Soetjiningsih (2007), remaja sering dianggap sebagai periode yang
paling sehat dalam siklus kehidupan. Akan tetapi pertumbuhan sosial dan pola
kehidupan masyarakat akan sangat memengaruhi pola tingkah laku dan jenis penyakit
golongan usia remaja seperti kecelakaan, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit
akibat
hubungan
seksual,
penyalahgunaan
alkohol,
pengguna psikotropika,
HIV/AIDS, TB paru, dan penyakit lainnya, yang semuanya akan menentukan
kehidupan pribadi serta dapat menjadi masalah bagi keluarga maupun bangsa dan
negara di masa yang akan datang. Selain itu kepadatan hunian, pengangguran,
penghasilan yang kurang dan pendidikan yang rendah pada remaja, juga merupakan
faktor risiko terkena penyakit TB paru.
Universita Sumatera Utara
Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan aktifitas, baik belajar,
bermain atau mengembangkan diri dan kemampuan. Aktifitas remaja yang padat,
membuat mereka kurang memperhatikan kebutuhan dirinya sendiri, baik asupan
nutrisi yang kurang seimbang ataupun istirahat yang tidak cukup serta kurangnya
remaja dalam memperhatikan kebersihan lingkungan dan perilaku hidup bersih sehat
yang menyebabkan mekanisme pertahanan tubuh jadi menurun, yang mengakibatkan
pertahanan paru juga menurun. Seseorang yang sedang dalam kondisi tubuh tidak fit,
daya tahan tubuh rendah sangat rentan terserang TB paru. Selain itu, apabila remaja
tersebut merokok semakin rentan menderita TB paru, karena iritasi asap rokok yang
terus menerus di saluran pernapasan. Merokok dapat mengiritasi paruā€paru yang sakit
sehingga mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya (Dhamayanti, 2009).
Masalah gizi pada remaja juga merupakan faktor terjadinya TB paru, yang
berdampak negatif pada tingkat kesehatan masyarakat. Masalah gizi yang terjadi
misalnya anemia, penurunan konsentrasi belajar, dan penurunan kesegaran jasmani.
Banyak kelompok remaja menderita anemia dan indeks massa tubuh (IMT) kurang
dari normal (kurus). Prevalensi anemia pada remaja berkisar 40-88%, sedangkan
prevalensi remaja dengan IMT kurus berkisar 30-40%. Banyak faktor yang dapat
menjadi penyebab masalah TB paru. 15% remaja memiliki risiko lebih tinggi
mengalami TB paru dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Penyakitpenyakit yang terjadi pada remaja tetap merupakan masalah yang harus mendapat
Universita Sumatera Utara
perhatian, sebab bila tidak ditanggulangi akan menurunkan kualitas remaja sebagai
sumber daya manusia (Depkes, 2003).
Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang di sebabkan oleh
bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobackterium
tuberculosis yang banyak menyerang organ paru-paru manusia yang biasa disebut TB
Paru. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi kronis menular yang dapat
menyebabkan kematian dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat serta
perhatian dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
bakteri ini (Depkes, 2005).
TB Paru merupakan salah satu jenis penyakit generatif yang telah berjangkit
dalam periode waktu yang lama. Hal-hal yang menjadi penyebab semakin
meningkatnya penyakit TB paru di dunia antara lain karena kemiskinan, perlindungan
kesehatan yang tidak mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, meningkatnya
penduduk dunia dan perubahan struktur umur manusia yang hidup (Amin, 2006).
TB paru adalah penyakit menular bersifat menahun seperti flu biasa, yang
menyebar melalui udara, kuman ini dapat menyerang semua bagian tubuh manusia
dan yang paling sering terkena adalah 90% organ paru yang ditularkan melalui batuk,
bersin, berbicara atau meludah ke udara. Seseorang hanya perlu menghirup sejumlah
udara kecil akan menjadi terinfeksi, diperkirakan 1 orang menderita TB paru BTA
positif yang tidak diobati akan menulari 10-15 orang setiap tahunnya. Remaja, anakanak, orang tua, dan juga wanita hamil mempunyai risiko yang tinggi untuk terkena
penyakit TB paru (Aditama, 2006).
Universita Sumatera Utara
TB Paru adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Hingga
saat ini, belum ada satu negara pun yang bebas TB paru. Di seluruh negara angka
kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis ini pun tinggi.
Tahun (2009) 1,7 juta orang meninggal karena TB paru. sementara ada 9,4 juta kasus
baru TB paru, sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB paru dimana
sebagian besar penderita TB paru adalah usia produktif (15-55 tahun) (Laporan
Subdit TB Depkes RI, 2000-2010). World Health Organization (WHO) tahun 2011
juga melaporkan lebih dari 250 ribu remaja dibawah usia 15 tahun terserang TB paru
dengan angka kematian 100 ribu remaja setiap tahunnya. Jumlah penderita TB paru
pada remaja dibawah usia 15 tahun mencapai 10% hingga 12% dari seluruh jumlah
kasus TB.
Indonesia saat ini berada pada ranking kelima negara dengan beban TB Paru
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB Paru semua kasus adalah sebesar
660.000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per
tahun. Jumlah kematian akibat TB Paru diperkirakan 61.000 kematian pertahunnya
(Kementerian Kesehatan RI, 2011). Di Indonesia, prevalensi penderita tuberkulosis
paru sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus tuberkulosis paru
dengan BTA positif, dari jumlah tersebut terdapat 169.213 merupakan kasus
tuberkulosis paru baru (insidensi). Secara keseluruhan prevalensi semua tipe
tuberkulosis sebesar 242 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe
tuberkulosis. Jumlah kematian akibat penyakit tuberkulosis sebanyak 91.339 kasus
(CFR sebesar 39 per 100.000 penduduk) (Depkes, 2010).
Universita Sumatera Utara
Menurut Depkes RI (2007), target program penanggulangan TB paru adalah
tercapainya penemuan pasien baru TB paru BTA positif paling sedikit 70% dari
perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien. Target ini diharapkan dapat
menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB paru hingga separuhnya pada
tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan Millenium Development
Goals (MDGs) pada tahun 2015.
Jumlah penderita TB paru pada remaja di setiap provinsi berbeda-beda. Ada yang
jumlahnya mencapai 20%, tetapi ada pula yang hanya 2-3 % dari total kasus. Adanya
kecenderungan meningkatnya jumlah penderita TB paru pada remaja mencapai
sekitar 10% dari jumlah kasus TB secara keseluruhan. Pada umumnya, remaja
dibawah umur 15 tahun tertular TB paru dari orang dewasa yang terjangkit penyakit
tersebut. Sementara pada umur diatas 15 tahun tertular TB paru akibat tertular dari
penderita TB paru lainnya, terutama penderita TB paru yang dahaknya mengandung
kuman TB. Kuman TB dapat berada di dalam percikan cairan yang dikeluarkan
seseorang ketika batuk, bersin, atau berbicara (Rahajoe, dkk, 2005).
Di Sumatera Utara, penderita TB paru menempati urutan ketujuh nasional.
Jumlah penderita TB Paru di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak 104.992
orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 13.742 orang, serta
yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32% (Dinkes Prov.Sumatera
Utara, 2010). Berdasarkan data Depkes (2010) ada lima Kabupaten/kota di Sumatera
Utara pada tahun 2010 dengan jumlah penderita terbanyak berdasarkan jumlah
penduduk yaitu Kota Medan sebanyak 2.397 penderita, Pematang Siantar 288, Binjai
Universita Sumatera Utara
260, Tanjung Balai 150, Tebing Tinggi 145 dan Kabupaten Deli Serdang 1.554
penderita. Kasus tuberkulosis paru di Kota Medan tahun 2010 tercatat sebanyak 918
orang dengan prevalensi 45,9 per 100.000 penduduk. Berdasarkan survei dari jumlah
tersebut, kota Medan merupakan yang terbesar penderitanya bila dibandingkan
dengan jumlah penduduk dari tiap kab/kota dengan jumlah penderita sebanyak 10.653
orang yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 1.960
orang, yang sembuh sebanyak 790 orang (Dinkes Kota Medan, 2010). Dibandingkan
seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, jumlah penderita tuberkulosis
paru di Kota Medan cukup tinggi, hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
seperti perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan dan kondisi rumah
(Dinkes Prop.Sumatera Utara, 2010).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Medan tahun 2012, kasus TB paru di
puskesmas Helvetia mulai dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, mulai tahun
2010 dengan kasus BTA positif 74 orang, BTA negatif 16 orang, ekstra paru 1 orang,
dan yang diobati 91 orang. Pada tahun 2011 kasus BTA positif 67 orang, pasien yang
kambuh 2 orang, BTA negatif 3 orang dan kasus ekstra paru 1 orang. Pada tahun
2012 BTA positif 90 orang, BTA negatif 15 orang dan ekstra paru 1 orang. Pada
tahun 2013 kasus BTA positif 27 orang, BTA negatif 12 orang dan kasus ekstra paru
1 orang.
Pemberantasan penyakit Tuberkulosis paru ini di Indonesia oleh Depertemen
Kesehatan RI telah dimulai secara terpadu sejak tahun 1969 di Ciloto, Namun sampai
saat ini permasalahan TB paru masih belum dapat terselesaikan dengan baik
Universita Sumatera Utara
disebabkan oleh banyak faktor. Pengobatan Tuberkulosis berlangsung cukup lama
yaitu setidaknya 6 bulan pengobatan dan selanjutnya dievaluasi oleh dokter apakah
perlu dilanjutkan atau berhenti, karena pengobatan yang cukup lama seringkali
membuat pasien putus berobat atau menjalankan pengobatan secara tidak teratur,
kedua hal ini fatal akibatnya yaitu pengobatan tidak berhasil dan kuman menjadi
kebal disebut MDR (multi drugs resistance), kasus ini memerlukan biaya berlipat dan
lebih sulit dalam pengobatannya sehingga diharapkan pasien disiplin dalam berobat
setiap waktu demi penanggulangan tuberkulosis di Indonesia (Depkes, 2005).
Masih kurangnya pengetahuan mengenai bahaya TB paru serta pelayanan
kesehatan yang tersedia, membuat jumlah pasien yang dapat menjangkau layanan TB
paru masih relatif rendah. Dalam konteks TB paru, ditemukan bahwa pengetahuan,
kesadaran dan perilaku nyata warga untuk menjaga mutu asupan makanan minuman
yang bergizi, menjaga sanitasi diri dan lingkungan, memeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan serta berobat teratur tuntas bila terkena TB paru masih relatif rendah.
Untuk itu, diperlukan pula keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan TB paru
(Lembaga Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).
Berbagai bentuk pendidikan kesehatan telah dilakukan selama ini, khususnya
berkaitan dengan TB Paru. Namun dari hasil laporan belum menunjukkan penurunan
jumlah temuan kasus. Penanggulangan TB paru memerlukan upaya terpadu dan
sistematis dalam berbagai aspek diantaranya melalui strategi komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE) untuk perubahan perilaku serta mobilisasi kekuatan elemenelemen sosial kemasyarakatan (Lembaga Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).
Universita Sumatera Utara
Menurut Notoatmodjo (2003) dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan
pada hakikatnya adalah suatu upaya menyampaikan pesan kesehatan kepada
masyarakat, kelompok, individu agar memperoleh pengetahuan kesehatan yang lebih
baik. Pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku.
Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai bentuk
metode penyuluhan. Alternatif metode yang dapat dipergunakan pada penyuluhan TB
Paru pada remaja adalah metode ceramah dan metode Diskusi Kelompok Terarah
(DKT). Metode ceramah, selain sederhana juga efektif dalam upaya penyampaian
informasi secara cepat kepada kelompok sasaran yang cukup besar, dapat dipastikan
tersampaikannya informasi yang telah disusun dan disiapkan. Apalagi kalau waktu
yang tersedia sangat minim, maka metode ceramah yang dapat menyampaikan
banyak pesan dalam waktu singkat. Namun metode ceramah mempunyai kelemahan
yaitu jika ceramahnya berlangsung terus-menerus selama 1 jam atau lebih, harus
waspada terhadap kebosanan hadirin, dan pesan mudah dilupakan setelah beberapa
lama sesudahnya (Lunandi, 1993). Sedangkan metode Diskusi Kelompok Terarah
(DKT) dapat digunakan untuk penyampaian informasi dengan lebih memberikan
kesempatan pada remaja untuk mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau
menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah (Sofa, 2008). Manfaat dari metode
Diskusi Kelompok Terarah (DKT) adalah biaya murah dan dapat memberikan hasil
cepat, format yang fleksibel memungkinkan fasilitator untuk menggali isu yang tidak
diantisipasi sebelumnya dan mendorong terjadinya interaksi diantara peserta diskusi.
Metode diskusi kelompom Terarah (DKT) juga mempunyai kelemahan yaitu format
Universita Sumatera Utara
yang fleksibel cenderung dapat mengarah pada bias dari fasilitator, diskusi dapat
didominasi oleh segelintir individu yang vokal (UNDP, 2013).
Dalam
pemilihan
metode
promosi
kesehatan,
beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa pemilihan metode berkaitan erat dengan tujuan yang ingin
dicapai. Sebagai contoh, Hasil penelitian Harahap (2010) menunjukkan bahwa
intervensi yang dilakukan dengan metode ceramah dan diskusi kelompok pada
perawat menunjukkan ada perubahan pengetahuan dan sikap dalam pembuangan
limbah medis padat sebelum dan sesudah intervensi. Penelitian Tarigan (2010) yang
dilakukan pada remaja dengan menggunakan metode ceramah dan diskusi kelompok
ternyata bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang
kesehatan reproduksi.
Sekolah sebagai lingkungan sekunder setelah keluarga merupakan tempat
yang efektif untuk pendidikan kesehatan bagi remaja yang umumnya masih berstatus
sebagai pelajar dan mempunyai peranan yang cukup besar di dalam pelaksanaan
program penyuluhan kesehatan remaja melalui metode ceramah dan metode Diskusi
Kelompok Terarah (DKT) (Depkes RI, 2002). Mengingat masih banyaknya pelajar
yang belum mengerti tentang pencegahan penularan TB paru, sangatlah penting untuk
dilakukan ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) dengan harapan dapat
mengubah pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penularan TB paru pada
remaja, dalam hal ini adalah pelajar di SMA Negeri 12 Medan menjadi lebih baik.
SMA Negeri 12 Medan menjadi salah satu Sekolah favorit di kota Medan,
yang berlokasi di Jalan Cempaka
no. 75, Kelurahan
Helvetia Tengah,
Universita Sumatera Utara
Kecamatan Medan Helvetia. Pemilihan SMA Negeri 12 Medan sebagai lokasi
penelitian dengan pertimbangan bahwa institusi pendidikan berada pada kawasan
puskesmas Helvetia yang menjadi salah satu sentra pengobatan TB paru di kota
Medan dari 13 sentra yang ada. Jumlah penduduknya padat, letak puskesmas Helvetia
strategis dan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, bahkan sering pasien TB
paru dari Kabupaten Deli Serdang berobat ke Puskesmas Helvetia, selain itu institusi
pendidikan ini letaknya dekat dengan jalan raya yang dapat memengaruhi secara
langsung maupun tidak langsung pada remaja karena rentan terkena TB paru. Remaja
yang berada di jalanan akan rentan untuk terinfeksi TB akibat kontak dengan sumber
penyakit. Sumber penyakit ini dapat berasal dari sputum para pengendara atau
pemakai jalan yang menderita TB paru. Pada siswa di SMA Negeri 12 Medan juga
belum pernah dilakukan metode ceramah dan metode Diskusi Kelompok Terarah
(DKT) mengenai pencegahan penularan TB paru (Profil SMA Negeri 12 Medan,
2012).
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “pengaruh metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT)
terhadap pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan TB paru di
SMA Negeri 12 Medan”.
Universita Sumatera Utara
1.2.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan untuk
mengetahui apakah pengaruh metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT)
terhadap pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan TB paru di
SMA Negeri 12 Medan.
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh metode ceramah
dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap pengetahuan dan sikap remaja
mengenai pencegahan penularan TB paru di SMA Negeri 12 Medan.
1.4.
Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada perbedaan rata-rata pengetahuan remaja sebelum dan sesudah intervensi
dengan metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) mengenai
pencegahan penularan TB paru.
2. Ada perbedaan rata-rata sikap remaja sebelum dan sesudah intervensi dengan
metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) mengenai
pencegahan penularan TB paru.
3. Ada perbedaan keefektifan metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah
(DKT) terhadap pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan
penularan TB paru.
Universita Sumatera Utara
1.5.
Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa
SMA Negeri 12 Medan sebagai acuan dalam meningkatkan
kemampuan dalam memperoleh dan menggunakan informasi kesehatan
tentang pencegahan TB paru baik bagi dirinya maupun untuk diinformasikan
kembali pada orang lain disekitarnya.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kota sebagai masukan dalam upaya meningkatkan dan
mengembangkan metode promosi kesehatan yang efektif dalam upaya
penanggulangan dan pencegahan TB paru.
3. Bagi puskesmas sebagai masukan kepada pengelola program Promosi
Kesehatan sebagai acuan dalam menyempurnakan program promosi kesehatan
masyarakat, terutama untuk pencegahan TB paru.
4. Secara teoritis dapat mendukung pengembangan promosi kesehatan dan dapat
dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk pengembangan ilmu kesehatan
khususnya tentang TB Paru.
Universita Sumatera Utara
Download