bab 4 hasil dan pembahasan

advertisement
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh
dari rata-rata empat kerbau setiap minggunya selama 10 minggu menunjukkan
nilai yang bervariasi. Data hasil penelitian terhadap jumlah sel darah merah, kadar
hemoglobin, dan nilai hematokrit dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Rata-rata jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai
hematokrit pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu
Minggu
BDM (juta/mm3)
Hb (gram%)
PCV (%)
1
5.27±1.13
11.74±1.44
28.96±3.27
2
5.20±0.99
10.92±1.33
28.42±4.16
3
5.33±1.53
10.59±1.09
24.92±1.95
4
4.84±1.14
10.31±1.31
24.70±2.04
5
5.91±0.92
10.55±1.13
25.03±2.59
6
5.50±1.38
10.68±1.08
26.11±2.13
7
5.25±1.08
10.55±0.98
25.69±2.52
8
5.21±0.95
10.10±0.72
23.39±1.83
9
5.25±1.13
10.16±0.68
22.86±1.39
10
5.39±0.89
10.44±0.70
24.84±1.85
Rata-rata
5.32±1.13
10.60±1.14
25.49±3.05
Keterangan: BDM: jumlah sel darah merah; Hb: Hemoglobin; PCV: Hematokrit.
4.1. Sel Darah Merah
Sel darah merah atau dikenal juga dengan eritrosit memiliki fungsi utama
dalam mentransportasikan hemoglobin yang membawa oksigen dari paru-paru ke
seluruh jaringan tubuh. Sel darah merah juga mengandung banyak enzim karbonat
anhidrase yang berfungsi untuk mengkatalisis reaksi reversibel antara air dan
karbon dioksida menjadi asam karbonik (H2CO3) (Kerr 2002; Guyton and Hall
2006). Proses pembentukan sel darah merah disebut eritropoeisis, kecepatan
eritropoeisis ini sangat dipengaruhi oleh hormon eritropoeitin yang dihasilkan di
ginjal.
Hasil perhitungan rata-rata jumlah sel darah merah pada keempat kerbau
menunjukkan nilai yang cenderung sama setiap minggunya. Secara keseluruhan,
rata-rata jumlah sel darah merah yang diperoleh yaitu 5.32±1.13 juta/mm3, nilai
ini cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai jumlah sel darah merah
19
pada kerbau di Indonesia yang dilaporkan oleh Tharar et al. (1983) sebesar
7.63±1.22 juta/mm3. Nilai yang tidak jauh berbeda juga dilaporkan pada hasil
penelitian Ciaramella et al. (2005) pada kerbau Mediteranian yang berusia dua
sampai tiga tahun sebesar 7.4±0.7 juta/mm3 dan pada hasil penelitian Sulong et al.
(1980) yang melaporkan bahwa jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur di
Malaysia adalah sebesar 8.8±2.4 juta/mm3. Pada penelitian lain yang khusus
menggunakan kerbau sungai dewasa sebagai hewan cobanya diperoleh jumlah sel
darah merah yakni 7.8±0.38 juta/mm3 (Sharma et al.1985). Rata-rata jumlah sel
darah merah dari keempat kerbau lumpur betina bila dibandingkan dengan
literatur yang ada menunjukkan nilai yang cenderung lebih rendah.
Variasi nilai dari jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur ini
umumnya dipengaruhi oleh kondisi fisiologis masing-masing kerbau. Kondisi
fisiologis pada hewan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperatur
lingkungan, kualitas nutrisi pada pakan, keseimbangan cairan tubuh, dan breeding
(Ciaramella et al. 2005). Sulong et al. (1980) juga menyebutkan bahwa Perbedaan
jumlah sel darah merah dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, pakan,
suhu, iklim, perbedaan fisiologis hewan, dan variasi genetik. Variasi genetik akan
mempengaruhi gambaran darah yang meliputi nilai-nilai pada jumlah sel darah
merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kerbau lumpur dan kerbau
sungai. Menurut Tharar et al. (1983) pakan yang tinggi serat akan menunjukkan
jumlah sel darah merah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pakan tinggi
konsentrat.
Profil sel darah merah setiap minggunya menunjukkan jumlah yang relatif
sama sampai minggu ketiga dan mengalami sedikit penurunan pada minggu
keempat. Penurunan jumlah sel darah merah pada minggu keempat kemungkinan
disebabkan oleh kondisi kerbau yang tidak stabil dan diduga karena adanya
pengaturan hormonal terhadap kondisi lingkungan yang panas (heat stress).
Terjadinya peningkatan suhu sekitar 2 °C di kandang URR memasuki bulan Juni
(minggu keempat penelitian) menjadikan suhu di kandang URR pada pagi hari
berkisar antara 27 sampai 28 °C dengan kelembaban sekitar 84 sampai 85 %. Pada
kondisi lingkungan yang panas terjadi penurunan sekresi hormon tiroid yakni
triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Hormon tiroid berperan dalam pengaturan
20
metabolisme tubuh. Penurunan hormon tiroid menyebabkan laju metabolisme
kerbau juga menurun hingga nilai terendah di musim panas (Marai and Haeeb
2010). Penurunan laju metabolisme menyebabkan kebutuhan jaringan akan
oksigen juga menurun, sehingga pembentukan sel darah merah yang baru juga
rendah.
Tindakan adaptasi kerbau terhadap kondisi lingkungan yang sangat panas
juga dipengaruhi oleh sekresi hormon korteks adrenal terutama hormon kortisol.
Paparan panas secara akut akan menyebabkan peningkatan hormon kortisol.
Peningkatan level kortisol ini menyebabkan hormon glukokortikoid aktif
membentuk glukosa melalui proses glukoneogenesis (Marai and Haeeb 2010).
Fase akut heat stress pada kerbau lumpur dapat menyebabkan peningkatan
kandungan protein plasma dari 9.21 gr/100ml sampai 9.81 gr/100ml (Chaiyabuter
et al. 1987).
Pada minggu kelima terjadi peningkatan jumlah sel darah merah.
Peningkatan ini terjadi sebagai akibat penurunan jumlah sel darah merah yang
terjadi pada minggu keempat dan merespon sumsum tulang untuk melepaskan
darah dalam jumlah yang besar agar jumlah sel darah merah kembali normal
(Guyton and Hall 2006). Hal lain yang juga bisa menyebabkan terjadinya
peningkatan jumlah sel darah merah adalah kondisi hipoksia. Suatu tempat yang
memiliki kadar oksigen yang rendah akan menstimulasi eritropoeitin untuk
memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya hingga kondisi kembali
normal. Pada minggu keenam hingga minggu kesepuluh, jumlah sel darah merah
kembali turun berada dikisaran 5.32±1.13 juta/mm3. Profil jumlah sel darah merah
pada kerbau lumpur setiap minggunya disajikan pada Gambar 4.
Jumlah Sel Darah
Merah (juta/mm3)
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
1
2
3
4
5
6
7
Waktu (minggu)
8
9
10
Gambar 4 Profil jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur betina selama sepuluh
minggu.
21
Kondisi dimana jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai
hematokrit berada jauh di bawah rentang nilai normal disebut anemia (Guyton and
Hall 2006). Anemia merupakan gejala klinis yang muncul sebagai respon
sekunder akibat suatu penyakit. Kerr (2002) menggolongkan kejadian anemia
berdasarkan kejadiannya yaitu anemia yang terjadi secara akut dan kronis.
Kejadian anemia secara akut dapat terjadi karena hemoragi akut, hemolisis akut,
produksi sel darah merah yang terganggu, dan defisiensi substansi pembentuk
hemoglobin. Adapun anemia yang berjalan secara kronis dapat disebabkan oleh
hemoragi pada saluran pencernaan, traktus urinari, ektoparasit pengisap darah,
dan hemolisis pada sel darah yang disebabkan oleh agen infeksius, toksin, dan
kelainan kongenital.
Kondisi anemia terjadi karena jumlah sel darah merah dewasa yang
beredar dalam darah rendah. Kekurangan sel darah merah juga dapat dipengaruhi
oleh proses pematangan sel darah merah yang terganggu. Defisiensi vitamin B12
dan asam folat pada pakan merupakan penyebab kegagalan sel darah merah untuk
berkembang menjadi dewasa. Kegagalan maturasi sel darah merah juga dapat
disebabkan oleh rendahnya daya absorpsi saluran pencernaan terhadap vitamin
B12 (Guyton and Hall 2006).
4.2. Hemoglobin
Hemoglobin
merupakan
protein
yang
berfungsi
dalam
proses
pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dari paru-paru menuju ke jaringan,
begitu juga sebaliknya. Data hasil pengukuran rata-rata kadar hemoglobin pada
Kadar Hemoglobin
(gram %)
keempat kerbau lumpur selama sepuluh minggu dapat dilihat pada Gambar 5.
13,00
12,00
11,00
10,00
9,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 5 Profil kadar hemoglobin pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu.
22
Kadar hemoglobin pada kerbau lumpur setiap minggunya mengalami
fluktuasi. Rata-rata kadar hemoglobin tertinggi ditunjukkan pada minggu pertama
yaitu 11.74±1.44 gr%, kemudian minggu kedua hingga minggu kesepuluh
menunjukkan kadar hemoglobin yang relatif konstan berada dikisaran 10 sampai
11 gram%. Tingginya rata-rata kadar hemoglobin pada minggu pertama bila
dibandingkan minggu-minggu lainnya diduga terjadi karena kerbau masih dalam
tahap menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Kondisi tersebut
menyebabkan kerbau membutuhkan lebih banyak oksigen dan direspon dengan
pembentukan hemoglobin yang tinggi. Kadar hemoglobin kemudian berangsurangsur menurun setiap minggunya. Kadar hemoglobin yang ditunjukkan pada
minggu keempat sedikit mengalami penurunan dari kadar hemoglobin pada
minggu ketiga dan kemudian pada minggu kelima mengalami kenaikan kembali.
Gambaran kadar hemoglobin ini sejalan dengan gambaran jumlah sel darah merah
pada minggu keempat yang juga mengalami penurunan dan mengalami
peningkatan pada minggu kelima. Profil kenaikan dan penurunan kadar
hemoglobin dari minggu keenam hingga minggu kesepuluh kemudian mengikuti
pola yang sama dengan profil jumlah sel darah merah.
Secara keseluruhan, hasil perhitungan kadar hemoglobin yang diperoleh
menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda setiap minggunya. Rata-rata kadar
hemoglobin dari keempat kerbau selama sepuluh minggu yaitu 10.60±1.14
gram%. Rata-rata kadar hemoglobin yang diperoleh pada kerbau lumpur ini
cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar hemoglobin pada kerbau
lumpur di Malaysia sebesar 13.4±1.9 gram% (Sulong et al. 1980) dan kadar
hemoglobin pada kerbau di Indonesia yang dilaporkan oleh Tharar et al. (1983)
sebesar 16.91±1.61 gram%. Nilai kadar hemoglobin yang relatif lebih tinggi juga
dilaporkan oleh Ciaramella et al. (2005) pada kerbau Mediteranian yang berumur
dua sampai tiga tahun yaitu 14±0.98 gram%. Nilai kadar hemoglobin yang sedikit
lebih tinggi juga dilaporkan pada kerbau sungai dewasa yakni 12.10±1.36 gram%
(Sharma et al.1985).
Perbedaan kadar hemoglobin tersebut dapat terjadi karena perbedaan
teknik pembiakan, nutrisi pada pakan, aktivitas kerbau, dan kondisi iklim
(Ciaramella et al. 2005). Kadar hemoglobin yang diperoleh dari hasil penelitian
23
menunjukkan nilai yang cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan
literatur yang ada. Hal ini diduga karena adanya pengaruh kuantitas dan kualitas
pakan yang diberikan terhadap pembentukan hemoglobin sehingga kadar
hemoglobin cenderung rendah. Tharar et al. (1983) menyebutkan dalam hasil
penelitiannya bahwa kerbau yang diberi pakan tinggi konsentrat akan
memperlihatkan kadar hemoglobin dan nilai hematokrit yang lebih tinggi, namun
jumlah sel darah merah dan sel darah putihnya lebih rendah bila dibandingkan
dengan kerbau yang diberi pakan tinggi serat. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang diperoleh. Kadar hemoglobin yang cenderung lebih rendah ini
dapat disebabkan karena pakan yang diberikan pada kerbau penelitian hanya
berupa serat atau hijauan saja, berbeda dengan pakan berupa konsentrat dan
hijauan yang diberikan pada kerbau penelitian Tharar et al. (1983).
Suatu keadaan dimana kadar hemoglobin berada jauh di bawah nilai
normal dapat menjadi salah satu penyebab kondisi anemia. Rendahnya kadar
hemoglobin dalam darah dapat disebabkan oleh faktor internal yaitu kekurangan
zat besi (Fe) sehingga proses pembentukan hemoglobin menjadi terganggu. Faktor
eksternal dengan adanya logam berat dengan konsentrasi tinggi dalam darah yang
mengganggu aktivasi enzim yang mengandung gugus sulfit sehingga sintesis
hemoglobin menjadi terganggu. Selain logam berat, proses kemoterapi, dan
radiasi juga dapat mengganggu proses sintesa hemoglobin (Tim Fisiologi 2002).
4.3. Hematokrit
Hematokrit merupakan sebuah pengukuran fraksi volume darah yang
terdiri dari eritrosit dan dinyatakan sebagai persentase atau sebagai pecahan
desimal. Nilai hematokrit sangat bervariasi tergantung jenis spesiesnya. Pada
hewan besar nilai hematokrit berada pada rentang 30% sampai 40%, pada kucing
rentang nilai hematokritnya 30% sampai 45%, dan pada anjing bernilai 35%
sampai 65% (Kerr 2002).
Rata-rata nilai hematokrit dari keempat kerbau selama sepuluh minggu
menunjukkan nilai yang bervariasi. Rata-rata nilai hematokrit yang diperoleh
sebesar 25.49±3.05 %. Nilai hematokrit yang diperoleh menunjukkan nilai yang
cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai hematokrit yang
24
dilaporkan oleh Ciaramella et al. (2005) pada kerbau Mediteranian yang berusia
dua sampai tiga tahun sebesar 37±1.2 %. Laporan nilai hematokrit lain pada
kerbau lumpur di Malaysia menunjukkan nilai hematokrit sebesar 39.2±4.9 %
(Sulong et al. 1980) dan 41.3±4.4 % pada kerbau di Indonesia (Tharar et al.
1983). Bila dibandingkan dengan semua laporan nilai hematokrit yang ada, maka
nilai hematokrit yang diperoleh cenderung bernilai lebih kecil. Perbedaan nilai
hematokrit tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, kelembaban,
variasi genetik, dan keadaan fisiologis hewan yang berbeda sehingga
menyebabkan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan
jumlah sel darah putihnya turut berbeda (Sulong et al. 1980). Tharar et al. (1983)
juga menyebutkan bahwa peningkatan nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh
jenis pakan yang dikonsumsi.
Pengamatan nilai hematokrit setiap minggunya mengalami kenaikan dan
penurunan. Pola kenaikan dan penurunan rata-rata nilai hematokrit pada keempat
Nilai Hematokrit (%)
kerbau lumpur selama sepuluh minggu disajikan pada Gambar 6.
30,00
29,00
28,00
27,00
26,00
25,00
24,00
23,00
22,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 6 Profil nilai hematokrit pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu.
Nilai hematokrit memiliki hubungan yang sangat erat dengan jumlah sel
darah merah. Peningkatan jumlah sel darah merah umumnya diikuti dengan
peningkatan nilai hematokrit. Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada
penelitian ini menunjukkan nilai yang tidak sesuai pada minggu ketiga dan
minggu keenam dengan pola jumlah sel darah merah. Pada minggu ketiga jumlah
sel darah merah mengalami peningkatan, namun nilai hematokritnya mengalami
25
penurunan. Berbeda dengan minggu keenam yang mengalami penurunan jumlah
sel darah merah, namun nilai hematokritnya mengalami peningkatan.
Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit yang tidak sesuai dengan
pola kenaikan dan penurunan jumlah sel darah merah ini dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Penurunan nilai hematokrit yang terjadi pada minggu ketiga tanpa
terjadi penurunan jumlah sel darah merah diduga terjadi karena banyaknya sel
darah merah yang mengalami penuaan memasuki minggu ketiga, hal ini didukung
dengan nilai MCV yang juga mengalami penurunan pada minggu ketiga. Sel
darah merah yang lebih tua akan berukuran jauh lebih kecil dibandingkan dengan
sel darah merah yang muda. Ukuran sel darah merah yang tua ini tentunya akan
mempengaruhi nilai hematokrit yang juga menurun. Selain itu, penurunan nilai
hematokrit tanpa disertai penurunan jumlah sel darah merah dapat disebabkan
oleh kandungan hemoglobin yang rendah di dalam sel sehingga ukuran sel darah
merah juga menjadi kecil. Peningkatan nilai hematokrit pada minggu keenam
diduga terjadi karena volume plasma darah yang menurun seperti pada kondisi
dehidrasi. Hal ini menyebabkan nilai hematokrit menjadi meningkat.
Suatu kondisi dimana nilai hematokrit sangat tinggi dibandingkan dengan
nilai normalnya disebut polisitemia. Kerr (2002) membagi kondisi polisitemia
dalam bentuk polisitemia relatif dan absolut. Polisitemia relatif dapat disebabkan
karena kondisi dehidrasi dan kontraksi limpa. Saat kondisi dehidrasi, jumlah
plasma di dalam pembuluh darah berkurang dan menyebabkan sumsum tulang
berespon untuk memproduksi sel darah merah sehingga nilai hematokrit menjadi
naik disertai dengan kenaikan protein plasma dan albumin. Kontraksi limpa yang
turut meningkatkan nilai hematokrit dapat terjadi dalam kondisi hewan yang
sangat gembira, khawatir, dan takut. Kondisi tersebut mengakibatkan otot halus di
limpa berkontraksi sehingga dilepaskannya sejumlah sel darah merah yang diikuti
dengan peningkatan nilai hematokrit tanpa peningkatan plasma protein (Kerr
2002).
Polisitemia absolut dengan peningkatan ukuran sel darah merah terjadi
dikarenakan polisitemia vera dan polisitemia sekunder yang disebabkan oleh
penyakit organ lain seperti gagal jantung (Kerr 2002). Menurut Guyton and Hall
(2006) polisitemia vera terjadi karena kelainan genetik dalam sel hemositoblastik
26
yang memproduksi sel darah, sehingga sel blast terus memproduksi sel darah
merah walaupun jumlah sel darah merah sudah banyak. Hal ini tidak hanya
menyebabkan peningkatan jumlah sel darah merah tetapi nilai hematokrit dan
kadar hemoglobin juga meningkat. Pada keadaan ini akan terjadi peningkatan
viskositas darah tiga sampai sepuluh kali viskositas air.
Tabel 4 Rata-rata Jumlah MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina
selama sepuluh minggu
Minggu
MCV (fl)
MCH (pg)
MCHC (gr/dl)
1
57.09±12.90
23.34±7.03
41.04±6.71
2
56.35±13.22
21.51±3.72
38.77±3.88
3
49.17±9.76
20.91±4.26
42.52±3.13
4
53.55±12.73
22.29±5.35
41.72±3.88
5
42.97±6.16
18.18±3.11
42.21±2.50
6
50.16±13.03
20.38±4.86
40.87±2.04
7
50.51±9.62
20.74±3.83
41.13±1.49
8
46.11±7.98
19.80±2.83
43.29±3.12
9
45.25±9.37
19.97±3.30
44.58±3.71
10
46.90±6.20
19.73±2.72
42.11±2.31
Rata-rata
49.81±11.08
20.69±4.39
41.82±3.76
Keterangan: MCV: Mean Corpuscular Volume; MCH: Mean Corpuscular Hemoglobin; MCHC:
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration.
4.4. Mean Corpuscular Volume (MCV)
Mean corpuscular volume merupakan salah satu indikator yang penting
dalam penentuan jenis anemia. Nilai MCV menunjukkan ukuran sel darah merah
yang diperoleh dari aritmatik sederhana antara PCV dan jumlah sel darah merah
(Kerr 2002). MCVs tinggi menunjukkan ukuran sel darah merah besar atau
makrositik. MCV rendah menunjukkan ukuran sel darah merah kecil atau
mikrositik. Ukuran MCV normal menunjukkan ukuran sel darah merah normal
atau normositik.
Data perhitungan MCV yang diperoleh dari rata-rata keempat kerbau
lumpur selama sepuluh minggu menunjukkan nilai 49.81±11.08 fl. Hasil yang
tidak jauh berbeda ditunjukkan dari penelitian Sulong et al. (1980) pada kerbau
lumpur di Malaysia sebesar 49.3±13.9 fl dan 49.6±4.9 fl pada kerbau
Mediteranian yang berusia dua sampai tiga tahun Ciaramella et al. (2005). Nilai
MCV yang tidak jauh berbeda juga dilaporkan oleh Sharma et al. (1985) yaitu
51.02±3.82 fl pada kerbau sungai. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Tharar et al. (1983) menunjukkan nilai MCV yang cenderung lebih tinggi
27
yaitu 57.35±9.9 fl. Hasil perhitungan nilai MCV yang diperoleh bila dibandingkan
dengan semua literatur yang ada menunjukkan nilai yang hampir sama. Profil
kenaikan dan penurunan nilai MCV disajikan pada Gambar 7.
Nilai MCV (ƒā„“)
60,00
55,00
50,00
45,00
40,00
35,00
30,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 7 Profil nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) pada kerbau lumpur betina
selama sepuluh minggu.
Nilai MCV yang ditunjukkan pada Gambar 7 terlihat mengalami
perbedaan setiap minggunya. Nilai MCV tertinggi berada pada minggu pertama
yakni 57.09±12.90 fl. Nilai MCV kemudian mengalami penurunan dan kenaikan
setiap minggunya. Pola kenaikan dan penurunan nilai MCV mengikuti pola
kenaikan dan penurunan nilai hematokrit setiap minggunya. Penurunan nilai MCV
pada minggu ketiga sesuai dengan penurunan nilai hematokrit yang sangat drastis
pada minggu yang sama. Hal ini menunjukkan sel darah merah pada minggu
ketiga cenderung berukuran kecil.
4.5. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)
Data hasil perhitungan rata-rata nilai mean corpuscular hemoglobin
(MCH) pada kerbau lumpur selama sepuluh minggu diperoleh nilai MCH sebesar
20.69±4.39 pg. Nilai MCH ini tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan nilai
MCH yang dilaporkan oleh Sharma et al. (1985) pada kerbau sungai sebesar
15.51±2.80 pg dan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sulong et al. (1980)
pada kerbau lumpur di Malaysia yaitu 16.5±4.7 pg. Nilai MCH lain yang tidak
jauh berbeda dengan nilai MCH yang diperoleh ditunjukkan pada kerbau
Mediteranian yang berusia dua sampai tiga tahun sebesar 18.7±1.7 pg (Ciaramella
et al. 2005). Berbeda dengan hasil penelitian lainnya, nilai MCH yang dilaporkan
28
pada hasil penelitian Tharar et al. (1983) menunjukkan nilai yang cenderung lebih
tinggi yaitu 23.90±4.20 pg. Nilai MCH yang normal menunjukkan rata-rata massa
hemoglobin di dalam sel darah merah juga normal, sebaliknya nilai MCH yang
tinggi menunjukkan rata-rata massa hemoglobin di dalam sel darah merah juga
Nilai MCH (pg)
tinggi. Profil kenaikan dan penurunan nilai MCH disajikan pada Gambar 8.
24,00
23,00
22,00
21,00
20,00
19,00
18,00
17,00
16,00
15,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 8 Profil nilai Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) pada kerbau lumpur
betina selama sepuluh minggu.
Berdasarkan grafik MCH pada Gambar 8 dapat dilihat nilai MCH tertinggi
berada pada minggu pertama. Nilai MCH kemudian mengalami penurunan pada
minggu kedua, minggu ketiga, minggu kelima, dan minggu kedelapan.
Peningkatan nilai MCH terjadi pada minggu keempat, minggu keenam, dan
minggu ketujuh. Pola grafik MCH mengikuti pola kadar hemoglobin sampai pada
minggu ketiga. Pada minggu keempat nilai MCH mengalami peningkatan dari
minggu ketiga, berbeda dengan jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin
pada Gambar 4 dan Gambar 5 yang mengalami sedikit penurunan pada minggu
sama. Pada minggu kelima terjadi penurunan nilai MCH, namun jumlah sel darah
merah dan kadar hemoglobin pada minggu yang sama mengalami sedikit
peningkatan. Pada minggu keenam sampai minggu kesepuluh kemudian
mengikuti pola yang sama dengan pola grafik kadar hemoglobin.
4.6. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
Mean corpuscular hemoglobin concentration merupakan ukuran dari
konsentrasi hemoglobin dalam sel-sel darah merah. Nilai MCHC ini diperoleh
29
dari perhitungan antara PCV dan total konsentrasi hemoglobin pada sampel darah
yang dinyatakan dalam gr/100 ml (Kerr 2002). Suatu keabnormalan nilai MCHC
yang sangat tinggi seharusnya tidak mungkin terjadi seperti kejadian pada sel
darah merah yang hiperkromik. Kondisi sel darah merah tidak mungkin memiliki
kandungan konsentrasi hemoglobin yang tinggi disebabkan adanya kapasitas
maksimal dari jumlah hemoglobin yang dapat dimuat dalam sel darah merah.
Hasil perhitungan nilai MCHC yang diperoleh dari rata-rata keempat
kerbau lumpur selama sepuluh minggu menunjukkan nilai 41.82±3.76 gr/dl. Bila
dibandingkan dengan nilai MCHC yang ada pada beberapa literatur menunjukkan
nilai yang cenderung sama. Beberapa literatur yang melaporkan nilai MCHC pada
kerbau menunjukkan nilai MCHC yang bervariasi diantaranya oleh Tharar et al.
(1983) yang melaporkan nilai MCHC pada kerbau di Indonesia sebesar
40.87±3.00 gr/dl. Ciaramella et al. (2005) juga melaporkan nilai MCHC yaitu
37.5±2.7 gr/dl pada kerbau yang berusia dua sampai tiga tahun, pada kerbau
lumpur di Malaysia memiliki nilai MCHC yang diperoleh sebesar 34.1±2.1 gr/dl
(Sulong et al. 1980). Penelitian lain yang dilaporkan Sharma et al. (1985)
menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai MCHC yang
diperoleh yakni 30.4±3.06 gr/dl. Profil kenaikan dan penurunan nilai MCHC
Nilai MCHC (gr/dā„“ )
disajikan pada Gambar 9.
45,00
44,00
43,00
42,00
41,00
40,00
39,00
38,00
37,00
36,00
35,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 9 Profil nilai Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) pada
kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu.
Download