5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem mangrove Beberapa ahli mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Kata mangrove berasal dari kata mangal yang berarti komunitas suatu tumbuhan (How Chaw 1984 dalam Rusila et al, 1993), sedangkan Bengen (2004) mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat, karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung . Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili : Rizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiacea (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus). Secara umum karakteristik habitat (tempat hidup) mangrove adalah sebagai berikut (Bengen, 2004) : • Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. • Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi penggenangan menentukan komposisi vegetasi mangrove. • Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. • Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. bersalinitas payau (2 – 22 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰). Air 6 Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air Laut (Duke, 1992). Ekosistem mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbos dan hutan payau (Kusmana et al, 2005), yang terletak di perbatasan antara darat dan laut, tepatnya di daerah pantai dan disekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Sumaharni, 1994). Ekosistem mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan suatu ekosistem yang spesifik. Hal ini disebabkan oleh proses kehidupan organisme yang saling berkaitan yang terdapat di daratan maupun di lautan. Selain itu ekosistem mangrove sangat berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya, karena hutan mangrove berperan sebagai penghasil bahan organik yang berguna untuk menunjang kelestarian organisme (Heald dan Odum, 1972 dalam Djamali, 1994). 2.2. Fungsi dan manfaat ekosistem mangrove Mangrove merupakan sumberdaya alam wilayah pesisir tropis yang memiliki manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas terhadap aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Besarnya peranan ekosistem mangrove terhadap kehidupan dapat diamati dari keragaman jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan, maupun di tajuk-tajuk tumbuhan mangrove serta ketergantungan manusia secara langsung terhadap ekosistem ini (Naamin, 1991). Hutan mangrove juga merupakan kombinasi dari tanah, air, tumbuhan, binatang, dan manusia yang menghasilkan barang dan jasa (Hamilton and Snedaker, 1984). Menurut pendapat para ahli, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi, fungsi ekonomi atau fungsi produksi (Naamin 1991). Fungsi fisik dari ekosistem mangrove, yaitu menjaga garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai, serta sebagai zat perangkap zat pencemar dan limbah. Fungsi biologi ekosistem mangrove adalah sebagai daerah pasca larva dan juvenil jenis-jenis ikan tertentu dan menjadi habitat alami berbagai jenis biota. White dalam Naamin (1991) menyatakan 7 bahwa ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi, dan fungsi ekonomis ekosistem mangrove sangat banyak baik jumlah maupun kualitasnya. Bengen (2004), menyatakan fungsi ekologis hutan mangrove adalah sebagai berikut : • Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang di angkut oleh aliran air permukaan. • Sebagai penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan. • Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan, udang dan kerang-kerang) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai. Peran yang sangat penting dari ekosistem mangrove adalah berhubungan dengan produktivitas primer ekosistem tersebut yang tinggi jika dibandingkan dengan ekosistem lain di wilayah pesisir, karena secara biologi ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang subur dan diperkirakan produktivitas primer ekosistem ini adalah lebih besar dari pada produktivitas ekosistem perairan pantai lainnya seperti ekosistem terumbu karang dan padang lamun (Indradjaya, 1992). Sebagai suatu ekosistem, mangrove menopang kekayaan plasma nutfah yang mengakibatkan banyak biota darat maupun biota laut yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di ekosistem ini. Dilihat dari aspek perikanan dapat diduga bahwa ekosistem mangrove merupakan daerah penghasil ikan, udang, kepiting dan produk perikanan lain yang memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan (feeding ground) dan tempat pembesaran (nursery ground). 2.3. Kualitas lingkungan mangrove Suhu perairan merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sebaran organisme akuatik dan reaksi kimia. Peningkatan suhu perairan secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme suatu perairan. Selanjutnya Sylva 8 dalam Train (1979) menyatakan bahwa suhu berpengaruh terhadap metabolisme, respirasi, tingkah laku, distribusi, migrasi, kecepatan makan, pertumbuhan dan reproduksi organisme perairan. Kusmana (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu udara rata-rata minimal lebih besar dari 20°C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5°C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10°C. Hutching dan Saenger (1987) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa spesies mangrove, yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20°C dan suhu optimum Bruguiera spp. sekitar 27°C. Boyd (1982) mendefinisikan kekeruhan sebagai ukuran biasan cahaya dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi suatu polutan yang terkandung di perairan. Kekeruhan pada perairan pesisir tidak sama sepanjang tahun, air akan sangat keruh pada musim penghujan. Kekeruhan di perairan pesisir terutama disebabkan oleh adanya erosi dari daratan. Pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga bentik, akhirnya akan menurunkan produktivitas perairan (Nybakken, 1988) Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove, berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus daunnya. Bengen (2004) menyatakan adaptasi mangrove terhadap kadar garam yang tinggi ada beberapa cara yakni tumbuhan memiliki selsel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, berdaun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam dan daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. Lingkungan asin (bergaram) diperlukan untuk kestabilan ekosistem mangrove (Lugo, 1980). Salinitas pada air, tanah dan substrat diketahui sangat penting bagi pertumbuhan sintasan, dan zonasi mangrove (Aksornkoae, 1993). Tumbuhan mangrove tumbuh subur pada daerah estuaria dengan salinitas 10-30‰. Jenis-jenis 9 Sonneratia umumnya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut. Rhizophora mucronata pada salinitas 55 ‰ (Chapman, 1976 dalam Noor et al (1999). Jenis-jenis Bruguiera umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas di bawah 25 ‰ (MacNae, 1968 dalam Noor et al, 1999) menyebutkan bahwa kadar salinitas optimum untuk B. gymnorrhiza adalah 10 - 25 ‰. Sumber oksigen terlarut dalam perairan dapat diperoleh dari hasil proses fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan hijau dan proses difusi dari udara, serta hasil proses kimiawi dan reaksi-reaksi oksidasi. Keberadaan oksigen di perairan biasanya diukur dalam jumlah oksigen terlarut dalam satu liter air. Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah. Oleh karena itu, konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol komposisi spesies, distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah, keanekaragaman tumbuhan, dan organisme aquatik. Hara yang dihasilkan oleh serasah mangrove antara lain mengandung N dan P yang terlarut dalam air akan menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Sehingga terdapat hubungan antara total N dan P serasah, total N dan P air, produktivitas perairan dan jumlah individu fitoplankton, zooplankton dan makrozoobentos (Welch dan Lindell, 1980). Fitoplankton merupakan tumbuhan mikroorganisme yang hidup melayang atau mengapung di dalam air dan tidak mampu menahan arus (Barnes, 1980). Ruang hidupnya mulai dari permukaan hingga pada kedalaman yang dapat ditembus oleh cahaya matahari. Fitoplankton mampu hidup di perairan yang tenang seperti kolam, danau dan waduk atau di perairan laut. Kesuburan suatu perairan dan potensi sumberdaya hayati umumnya ditentukan oleh besarnya biomassa dan produktivitas fitoplankton (Nontji, 1984). Dalam suatu perairan fitoplankton memiliki fungsi (1) pengubah zat anorganik menjadi zat organik; (2) makanan zooplankton dan beberapa jenis larva ikan; (3) sumber zat asam; dan (4) bagian dari daur ulang hara yang terkandung dalam perairan (Raymont, 1963). Fitoplankton merupakan salah satu organisme penting di perairan karena fitoplankton adalah produser primer yang sangat penting bagi rantai makanan, dimana 10 fitoplankton mengolah makanan dari mineral dan zat hara dengan prosess fotosintesis menjadi zat-zat organik. Selanjutnya fitoplankton akan dimakan oleh zooplankton sebagai konsumen pertama, sedangkan zooplankton sendiri akan dimakan oleh konsumen tingkat kedua yang merupakan hewan predator. Dengan demikian fitoplankton secara tidak langsung sangat dibutuhkan bagi kehidupan organisme di suatu perairan (Raymont, 1963). Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh tersedianya unsur hara terutama dalam bentuk senyawa fosfor dan nitrat. Oleh karena itu kelimpahan fitoplankton dapat bervariasi baik menurut ruang maupun waktu. Dalam variasinya menurut ruang, estuaria sering merupakan area kesuburan tinggi dan populasi fitoplankton yang cukup besar (Hartati et al, 1990). Zooplankton sangat kaya jenis. Ada hewan yang seluruh daur hidupnya tetap sebagai plankton, disebut holoplankton. Ada pula yang hanya sebagian dari daur hidupnya sebagai plankton. Kehidupan sebagai plankton dijalaninya hanya pada awal, sebagai telur atau larva, sedangkan bila telah dewasa hidup sebagai nekton (berenang bebas) atau bentos (hidup di dasar laut). Plankton yang bersifat sementara ini disebut meroplankton. Acapkali bentuk larva sebagai plankton sangat jauh bedanya dengan bentuk dewasanya. Larva kepiting misalnya sama sekali tidak menunjukkan persamaan bentuk dengan kepiting dewasa (Nontji, 1993). Bentos mencakup semua organisme yang hidup di dasar atau dalam dasar perairan. Berdasarkan pada ukurannya, bentos dikelompokkan menjadi makrobentos (tersaring dengan Sieve Set No. US. 30) dan mikrobentos, sedangkan menurut batasan biologis digolongkan menjadi fitobentos dan zoobentos (Dahuri et al, 1993). Zoobentos yang hidup di permukaan dasar perairan dinamakan epifauna dan yang hidup di bawah permukaan dasar perairan dinamakan infauna. Peran bentos di dalam ekosistem perairan sangat besar diantaranya sebagai pengurai bahan-bahan organik yang terdapat di dasar atau dalam dasar perairan, pemindah energi dari produser primer ke organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi. Selain itu, beberapa diantaranya bernilai ekonomis penting, seperti oyster, lobster, golongan kepiting dan udang. 11 Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1976). Di Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Jenis-jenis lain seperti Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau karang berupa pecahan karang, kerang dan bagian-bagian dari Halimeda. Di Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang berpasir, atau bahkan pada pantai berbatu (Ding Hou Kint, 1934 dalam Norr et al 1999). 2.4. Keterkaitan sumberdaya iktiofauna dengan ekosistem mangrove Ekosistem mangrove merupakan daerah perikanan yang lebih subur daripada dataran lumpur terutama yang terdapat di daerah sepanjang pantai sekitar beting karang (reef) dan laguna (lagoon). Tumbuhan mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai pangan dari dataran lumpur ke bentuk yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis hewan laut seperti ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang dapat dimakan oleh manusia. Tumbuhan mangrove disamping melengkapi pangan untuk binatang juga mampu menciptakan iklim yang cocok untuk binatang tersebut. Tidak teraturnya sistem perakaran dan batang mangrove serta dengan berbagai bentuk ukuran parit dan kolam yang saling berhubungan, merupakan perlindungan bagi banyak binatang, khususnya sebagai tempat membesarkan anak karena suplai makanan tersedia dan terlindung dari ikan pemangsa dan ganasnya laut (Sukarjo dan Frey, 1986 dalam Kaswinto, 1992). Burbridge dan Maragos (1985) menyatakan bahwa ekosistem pesisir terkait satu sama lain karena adanya aliran energi dan mineral. Meskipun hutan mangrove ditemukan di sepanjang garis pantai Queensland, penelitian-penelitian mengenai komunitas ikan yang masuk ke habitat-habitat ini pada saat pasang masih sedikit (Stephenson dan Dredge 1976; Morton 1990; Robertson and Duke 1990 dalam Halliday, 1996). Hal ini mengindikasikan bahwa kerugian habitat belum diperhitungkan dalam produktivitas perikanan. Sebagian besar jenis biota laut (ikan, udang, kepiting) yang bernilai ekonomi penting hidup di daerah mangrove. Menurut Snedaker (1978) sekitar 80% dari jenis-jenis 12 ikan laut daerah tropika menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya, di daerah pesisir berhutan mangrove. Djamali (1994), menyatakan bahwa di perairan mangrove sekitar Sungai Donan dan Sungai Sapuragel (Cilacap, Jawa Tengah) ditemukan 15 spesies ikan yang berasal dari 10 famili. Di sekitar perairan mangrove Teluk Bintuni, Papua Barat ditemukan 57 spesies ikan dari 26 famili. Di perairan sekitar mangrove muara Sungai Berau, Kalimantan Timur didominasi oleh ikan-ikan dari famili Sciannidae, Polnemidae dan Strimateidae. Di perairan Mangrove sekitar sungai Musi Banyuasin, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah tersebut dijumpai 99 spesies ikan dari 38 famili, 9 famili diantaranya merupakan ikan yang bernilai ekonomis penting (Genisa, 1994). Kawaroe (2000) melaporkan bahwa terdapat sebanyak 74 spesies ikan ekonomis penting dari 30 famili di perairan mangrove sekitar Mayangan dan Blanakan, kabupaten Subang, hasil tangkapan di dua daerah tersebut didominasi oleh Engraulis grayi, Stolephorus zollingeri, Trichiurus haumela dan Mugil dussumieri. Kelompok famili ikan tersebut diklasifikasikan ke dalam dua grup, yaitu ikan yang berasosiasi dengan estuariasungai dan ikan yang berasosiasi dengan estuaria-laut. Meskipun fauna ikan di Mayangan memiliki kelimpahan yang rendah, tetapi nampaknya kaya akan spesies ketimbang daerah Blanakan. Menurut beberapa peneliti sebelumnya bahwa hanya (Yanez Aranccibia, 1985 dalam Haroen, 2002) melaui penelitian yang dilakukan di teluk Mexico, telah menemukan secara jelas hubungan positif antara penangkapan ikan yang dilakukan secara komersil dengan wilayah pesisir yang ditumbuhi mangrove. De Graaf dan Xuan (1997) memberikan gambaran mengenai hubungan antara hasil tangkapan ikan dan mangrove merupakan ssuatu hubungan yang kompleks karena perubahan-perubahan yang terjadi pada fishing effort adalah sangat nyata.