Target Pertumbuhan Ekonomi Sulit Dicapai Sofjan Wanandi Selasa, 22 Januari 2008 JAKARTA (Suara Karya): Ekonomi global yang tidak kondusif, termasuk krisis ekonomi AS, membuat target pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini, yang dipatok pemerintah sebesar 6,8 persen, kemungkinan sulit bisa dicapai. Terlebih fundamental ekonomi nasional amat rentan terhadap guncangan faktor eksternal. Demikian rangkuman pendapat ekonom Bank BNI A Tony Prasetiantono, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, ekonom Citibank Indonesia Anton Gunawan, serta ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengenai prospek ekonomi nasional. Dihubungi secara terpisah, di Jakarta, kemarin, mereka sependapat bahwa target pemerintah mengenai pertumbuhan ekonomi ini selalu saja kelewat tinggi. Target-target itu semu dan tidak sehat sehingga bisa melemahkan optimisme bangsa mengenai prospek ekonomi nasional. Menurut Tony, faktor eksternal yang tidak kondusif serta banyaknya masalah yang perlu dibenahi pemerintah membuat pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini tidak akan jauh berbeda dengan realisasi pada tahun lalu, yakni 6,3 persen. "Paling maksimal pertumbuhan ekonomi tahun ini mencapai 6,5 persen," katanya. Tony membeberkan, di lingkungan internal, kondisi infrastruktur kian memburuk. Ditambah eonomi biaya tinggi yang tetap menggejala, itu membuat target pertumbuhan ekonomi nasional 6,8 persen tahun ini amat sulit bisa dicapai. Asumsi itu makin beralasan karena di sisi eksternal, kenaikan harga minyak dunia dan sejumlah komoditas pangan, juga krisis ekonomi AS, diperkirakan masih terus berlangsung hingga pertengahan tahun 2008. "Meski pemerintah AS telah mengeluarkan paket kebijakan Bush, belum dapat dipastikan bahwa dampak krisis ekonomi AS tidak berlanjut," katanya. Tony menilai, krisis minyak dunia kemungkinan sedikit mereda. Tapi itu menuntut beberapa langkah konkret berbagai negara. Langkah itu, antara lain, penghematan dan penggunaan energi alternatif. Sementara dampak kenaikan harga komoditas pangan harus diantisipasi dengan peningkatan produksi di dalam negeri sebagai alternatif utama mengurangi ketergantungan terhadap impor. Bagi Sofjan Wanandi, pemerintah harus cepat mengantisipasi kemungkinan krisis ekonomi AS menjalar ke Indonesia. Ini bisa dilakukan dengan mempercepat program-program yang telah menjadi kebijakan pemerintah, terutama di bidang investasi perdagangan, serta memperbaiki sistem birokrasi. "Langsung atau tidak langsung, krisis ekonomi AS pasti berpengaruh besar terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Pengaruh itu terutama di sektor keuangan," kata Sofjan. Kondisi ekonomi dunia yang serba tidak pasti, menurut Sofjan, dapat menjadi faktor penekan pertumbuhan ekonomi di negara mana pun. Tak terkecuali ekonomi nasional. Karena itu, katanya, pemerintah Indonesia harus bisa optimal memanfaatkan potensi sumber daya alam, seperti energi, pertambangan, perkebunan, dan komoditas strategis lain. "Dengan memperbaiki sistem pengelolaan sumber daya alam, kita bisa berharap dapat mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang menjadi masalah utama ekonomi nasional. Kalau tidak, masalah ini akan kian berat dan berdampak semakin menurunkan daya saing ekonomi nasional," ujar Sofjan Wanandi. Menurut Sofyan, krisis ekonomi AS sangat sulit dihindari berdampak negatif terhadap ekonomi dunia karena separo perdagangan dunia terkait dengan AS. "Pertumbuhan ekonomi kita sendiri bisa tetap tumbuh di tengah krisis ekonomi AS ini. Namun itu dengan catatan, kita harus bekerja sama dengan negara-negara lain yang bisa membeli komoditas-komoditas utama kita," ujarnya. Sementara itu, Anton Gunawan menuturkan, kondisi ekonomi Indonesia tetap dibayangi masalah serius sehingga perlu peningkatan kewaspadaan untuk menghadapi berbagai risiko yang muncul. Risiko itu terutama meliputi laju inflasi, penurunan produksi minyak, krisis listrik, dan depresiasi nilai tukar rupiah. Anton menyebutkan, tekanan inflasi tahun ini akan lebih tinggi karena harga makanan melonjak hebat. Begitu juga harga energi. Untuk itu, katanya, Bank Indonesia perlu memperketat kebijakan moneter bila tidak ingin melihat arus dana dalam investasi portofolio mengalir deras ke luar negeri. Di sisi lain, produksi minyak nasional masih tetap cenderung menurun. Padahal konsimsi bahan bakar minyak (BBM) tak juga berkurang. Kedua faktor itu berdampak semakin memperberat posisi anggaran pemerintah. Tahun ini, bayangan krisis listrik di dalam negeri kian serius. Paling tidak, krisis tersebut bisa terjadi di 94 lokasi di luar sistem interkoneksi listrik Jawa-Bali-Madura. Krisis bisa dihindari kalau saja pembangunan proyek-proyek pembangkit listrik sudah selesai. Faktanya, proyek-proyek tersebut sebagian besar baru beroperasi pada tahun 2010. "Hanya beberapa pembangkit listrik yang siap beroperasi pada akhir 2009. Ini berarti, dalam waktu satu atau dua tahun ke depan beberapa daerah dan industri harus menghadapi pemadaman listrik. Pengiriman bahan pokok pembangkit listrik, seperti batu bara, diesel, dan gas alam yang tersendat-sendat juga membuat situasi ini semakin parah," ujar Anton. Dia menambahkan, kemungkinan melemahnya nilai nominal mata uang rupiah juga berpotensi menjadi batu sandungan dalam kinerja perkenomian di tahun 2008. "Ketidak pastian hukum akan terus berlanjut menghantui stabilitias institusi dan pasar finansial," ujar Anton. Sementara itu, Fauzi Ichsan bahkan mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini hanya akan mencapai level 6,1 persen. Senada dengan Tony, masalah infrastruktur yang masih belum memadai, bahkan tidak bertambah dibanding tahun lalu, serta menurunnya kinerja industri manufaktur serta pertanian turut memengaruhi capaian normatif dan kualitas pertumbuhan ekonomi di tahun ini. "Masalah pembangunan infrastruktur saat ini hanya sekadar komitmen dalam proses tender saja, tapi belum ada tanda-tanda realisasi pembangunan secara fisik. Lalu hingga saat ini juga belum terlihat penyelesaian dalam hal pembebasan lahan," katanya. Selain itu, menurut Fauzi, kemungkinan berlanjutnya gejolak di AS yang menimbulkan resesi dan perlambatan ekonomi di AS serta wilayah Asia juga dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. "Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, serta ditambah adanya peningkatan permintaan bahan bakar minyak dari negara maju, kemungkinan besar berdampak bagi ekonomi di Indonesia," katanya. Salah satu cara untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, lanjut Fauzi, dengan cara mempercepat realisasi perbaikan iklim investasi. (Tri Handayani/Andrian/Indra)