MINGGU, 29 MARET 2015 Persepolis, Saksi Bisu Kemegahan Persia Pintu gerbang istana Persepolis Oleh Afifah Ahmad Iran, barangkali bukan tujuan wisata popular di kawasan Timur Tengah. Tapi, bagi mereka yang meminati sejarah dan budaya, negeri ini merupakan pilihan tepat untuk dikunjungi. Lantaran Iran menyimpan kekayaan situs-situs yang cukup menarik. Salah satu tempat yang menjadi incaran wisatawaan manca negara adalah reruntuhan Persepolis. Situs yang sejak tahun 1979 telah diakui menjadi warisan budaya dunia UNESCO ini, terletak 70 km dari kota Shiraz, ibu kota propinsi Fars. J arak antara kota Teheran dan Shiraz sebenarnya lumayan jauh, sekitar 900 km sementara menuju Persepolis masih sekitar 70 km di Provinsi Fars. Namun, karena kondisi jalanan yang bagus, bisa ditempuh hanya dalam waktu 13 jam dengan bus. Harga tiket bus sekelas eksekutif cukup murah, 475 ribu rial atau sekitar 16 dolar. Sayangnya, perjalanan dari Shiraz ke Persepolis belum ada angkutan umum yang memadai untuk keluarga yang membawa balita. Terpaksa saya harus menyewa mobil berikut sopirnya. Kalau untuk solo backpacker, bisa naik bus lokal yang biasa digunakan penduduk. Kemegahan Persepolis Pagi beranjak siang, saat mobil yang saya tumpangi memasuki area Persepolis. Istana ini ternyata dibangun di atas bukit. Untuk sampai di sana, pengunjung harus melewati berpuluh anak tangga. Di sinilah dahulu imperium Persia pernah berjaya. Berdiri sejajar dengan kemegahan kekaisaran Romawi. Persepolis yang berarti kota bangsa Persia ini pertama dibangun oleh raja Darius dari dinasti Achaemenia abad ke 5 SM, walaupun penggagas sebenarnya adalah raja Cyrus. Pada saat terjadi penyerbuan oleh pasukan Iskandar, istana ini pun turut dibumihanguskan. Kini, Persepolis hanya meninggalkan jejak sejarah. Berdiri di antara reruntuhan istana ini, postur saya terasa mengecil bersanding dengan pilar-pilar yang tingginya sekitar 12 meter. Konon pilar itu berjumlah 100 buah, tapi hanya beberapa yang masih berdiri kokoh. Selain pilar, yang tersisa dari kemegahan istana ini adalah batu-batu pondasi raksasa, pintu gerbang, dan sebagian dinding yang dihiasi oleh relief-relief mencengangkan. Keseluruhan bangunan istana berdiri di area seluas sekitar 125.000 meter persegi. Nama Persepolis berasal dari Bahasa Yunani yang berarti Kota Orang Persia. Sedangkan warga lokal di Iran sendiri biasa menyebutnya Tahkt-e Jamshid yang berarti Singgasana Jamshid, berasal dari legenda tentang pahlawan Persia kuno yang bernama Jamshid. Relief-relief itu mengingatkan saya pada lukisan dinding candi di sepanjangan pulau jawa. Sejarah masa lalu, sering kali meninggalkan misteri dan pesan tersendiri. Relief yang cukup mendominasi adalah gambar para prajurit yang sedang berbaris, awalnya saya mengira semuanya prajurit kerajaan Achaemenia. Namun, di tempat yang berbeda juga terpahat serombongan prajurit dengan kostum yang berbeda-beda sedang membawa persembahan hadiah. Menurut keterangan yang saya baca, relief tersebut bercerita tentang utusan-utusan dari berbagai negara di bawah kekuasaan dinasti Achaemania untuk mengikuti upacara keagamaan yang diselenggarakan tiap tahun. Para tamu undangan masuk melewati sebuah pintu khusus yang disebut gerbang semua bangsa. Gerbang ini dikawal oleh dua patung banteng berkepala manusia, sebagai lambang kebesaran. Setelah 2500 tahun berlalu, hari ini pun para turis melewati gerbang yang sama. Menurut para peneliti, Persepolis sengaja dibangun sebagai sebuah pusat seremonial. Istana ini menjadi lokasi bagi perayaan sejumlah festival besar bangsa Persia, khususnya perayaan Nowruz. Ruangruangnya sendiri terbagi menjadi barak militer, rumah raja, serta aula pertemuan besar. Pada masanya, bangsa-bangsa dari wilayah taklukan Persia yang membentang dari India hingga Mesir berdatangan untuk membawa upeti bagi raja setiap tahun baru tiba. Meskipun sekarang tempat ini hanya tinggal puing-puing istana, namun tetap terawat dengan baik. Para turis tidak boleh menyentuh atau menginjak bagian artefak yang berada di sekitar bangunan. Pengunjung juga dilarang membawa makanan ringan. Pantas saja, selama saya mengitari situs ini, tidak melihat sampah yang berserakan atau berbagai coretan di dinding. Saya sering menyayangkan, bila mengunjungi situs sejarah yang kumuh dan tak terawat dengan baik. Padahal, bangunan sejarah adalah warisan berharga dari leluhur yang perlu kita jaga dan lestarikan. SilinderPerdamaian Menjelang siang, sinar matahari terasa menghangatkan tubuh, sementara kaki mulai lelah mengitari kompleks yang memiliki luas sekitar 125 hektar ini. Saya istirahat sejenak di area Apadana, yang dulunya merupakan bangunan sentral kerajaan. Serombongan turis yang didampingi pemandu juga sedang melepas penat, tidak jauh dari tempat saya duduk. Mereka sedang membicarakan prasasti Cyrus, salah seorang raja paling terkemuka pada masa dinasti Achaemenid, juga penggagas berdirinya Istana Persepolis. Prasasti Cyrus yang berbentuk silinder ini pertama kali ditemukan oleh Hormuzd Rossam pada tahun 1879. Sekarang artefak tersebut berada di museum London. Saya pernah melihat miniaturnya di museum nasional Teheran. Tulisan dalam silinder Cyrus berupa huruf paku yang dikenal dengan akkadia, bahasa kuno di Mesopotamia. Menurut keterangan pemandu, prasasti ini berisi prinsip-prinsip penting hak asasi manusia. Karena itulah, prasasti cyrus sering disebut sebagai piagam perdamaian pertama di dunia. Diantara kata-kata Cyrus yang cukup terkenal dalam prasasti itu: “Aku Cyrus, Raja Babilonia, Raja Sumeria, Raja Akkadia, Raja yang memimpin empat negara...Pesanku yang termasyur memasuki Babilonia dengan mengusung perdamaian. Dan aku memerintahkan supaya semua orang dibebaskan untuk menyembah dewa mereka tanpa ancaman. Aku memerintahkan agar tidak ada penghancuran tempat tinggal dan perampasan tanah” Serombongan turis masih asik mendengarkan keterangan pemandu mereka, saat saya perlahan mulai meninggalkan reruntuhan istana. Biarlah pilar-pilar itu menjadi saksi bisu para turis yang datang dan pergi mengagumi kemegahan Persepolis. Tujuan saya berikutnya adalah Naghse Rostam, bukit batu bersejarah yang lokasinya tidak jauh dari komplek Persepolis. Bukit Naqshe Rostam Dinding dengan relief Naqshe Rostam Sebuah bukit batu setinggi kira-kira 60 meter berdiri kokoh dilatari langit biru. Naghse adalah pahatan atau relief, sedangkan Rostam nama salah satu tokoh ternama dalam cerita kepahlawanan Iran. Mungkin sehebat Gajah Mada di tanah Majapahit. Nama ini disematkan lantaran, pada dinding batu terdapat relief yang menggambarkan cerita kepahlawanan bangsa Persia. Seniman Iran dari berbagai generasi sejak Elimatie (700 tahun sebelum Masehi), hingga dinasti Achaemenia (559-330 SM) dan terakhir Sasania (224-651 M) menorehkan karyanya di atas bukit batu ini. Sungguh maha karya seni yang luar biasa. Menyulap bukit batu menjadi artefak seni yang masih bisa dinikmati sampai hari ini. Salah satu artefak yang cukup menarik, relief yang menceritakan pertempuran raja Shapur I melawan dua raja Romawi, Valeria dan Philip. Pada bagian bukit juga terdapat ruangan seperti gua berpintu. Konon, di situlah tempat pemakaman raja dan tokoh penting jaman dahulu. Namun, sayangnya tidak banyak keterangan yang menguatkan. Berkeliling mengitari Persepolis dan Naghse Rostam yang begitu luas, membuat waktu seolah berjalan cepat. Matahari mulai condong ke Barat, saat saya tinggalkan dua tempat bersejarah peninggalan Persia Kuno. Sejarah manusia terus datang dan pergi. Bangunan-bangunan, artefak, dan peninggalan sejarah lainnya bisa saja hancur dan memudar. Tapi ruh sejarah akan selalu bersemayam melintas jaman. Persepolis, melalui silinder perdamaiannya, telah menitipkan pesan abadi sampai hari ini berupa prinsip-prinsip hak asasi manusia dan perdamaian. (11)