SINKRONISASI KEBIJAKAN MONETER DAN KEBIJAKAN FISKAL DALAM PENCAPAIAN STABILITAS MAKROEKONOMI PENDEKA TAN MODEL DINAMIS OLEH: RUKHEDI 660400028Y TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains Ekonomi pada Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia DEPOK, 2006 PERSETUJUAN TESIS Nama RUKHEDI N.P.M 660400028Y Kekhususan Ekonomi Uang dan Bank Judul tesis Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal 'dalam Pencapaian Stabilitas Makroekonomi Pendekatan Model Dinamis Depok, 20 Januari 2006 Pembimbing tesis, Penguji, DR. SUGIHARSO SAFUAN DR.MIRANDA S. GULTOM 11 ABSTRAK TESIS SINKRONISASI KEBIJAKAN MONETER DAN KEBIJAKAN FISKAL DALAM PENCAPAIAN STABILIT AS MAKROEKONOMI PENDEKA TAN MODEL DINAMIK RUKHEDI 660400028Y Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Klasifikasi JEL: C61, C71, E63, F41 Tujuan akhir kebijakan moneter dan kebijakan fiskal adalah kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks kebijakan, kesejahteraan masyarakat direpresentasikan dengan stabilitas ekonomi dan stabilitas harga serta rendahnya tingkat pengangguran. Tidak adanya koordinasi kebijakan dalam pencapaian tujuan tersebut akan menghasilkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah. Tesis ini menganalisis bentuk koordinasi kebijakan berdasarkan model ekonomi makro struktural Smallscale Quarterly Macro Model (SQM). Pemilihan kebijakan dilakukan dengan meminimumkan fungsi kerugian sosial masingmasing otoritas kebijakan berdasarkan teori permainan, yaitu model permainan Coumot dan model permainan Stackelberg Hasil simulasi menunjukkan bahwa untuk meminimumkan tingkat kerugian sosial, pemerintah dan Bank Indonesia perlu menetapkan tujuan utama kebijakannya sebagai satu-satunya tujuan kebijakan. Dalam hal ini kebijakan Bank Indonesia lebih fokus dalam pencapaian stabilitas harga, sedangkan kebijakan pemerintah lebih fokus dalam pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan tanggapan yang akan diberikan Bank Indonesia lll Kupersembahkan karya ini untuk lbu dan Bapak tercinta Isteriku tercinta, Romiatun dan anak-anak tercinta, Hasan, Fathan, Faris dan Yahya lV Kata Pengantar Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada manusia teladan, Nabi Muhammad SAW. Dengan penuh rasa syukur, akhimya penulis dapat menyelesaikan tesis Jengan judul "Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal dalam Pencapaian Stabilitas Makroekonomi Pendekatan Model Dinamis" sebagai salah satu syarat guna menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besamya kepada: I. Bapak Dr. Sugiharso Safuan, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan araban dan masukan yang sangat berharga dalam penulisan tesis ini. 2. Bapak Dr. Nachrowi, selaku ketua tim penguji yang telah memberikan koreksi dan masukannya. 3. lbu Dr. Miranda S. Gultom, selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan teoritis maupun intuitif. 4. Bapak Dr. Perry Warjiyo, selaku dosen mata kuliah Keuangan Intemasional yang memberikan masukan altematif model. 5. Bapak Dr. Arindra A. Zaenal, selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia yang telah mendorong percepatan penulisan tesis 6. Semua dosen dan karyawan Program Studi Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia yang telah membantu penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. v 7. Ternan-ternan angkatan 2001 sampai dengan 2005, khususnya angkatan 2004 yang telah banyak memberi dukungan doa dan material yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. 8. Semua pihak yang membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya, untuk itulah penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhimya semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Depok, 20 Januari 2006 Penulis VI Daftar lsi PERSETUJUAN TESIS - - - - - - - - - - - - - - - - - n ABSTRAK TESIS _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 111 PERSEMBAJiAN _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ tv KATAPENGANTAR - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -v DAFTAR lSI ________________________ vn BABI PENDAHULUAN_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ l 1.1 Latar Belakang _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 1 1.2 Permasalahan Penelitian __________________4 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Kerangka Pikir Analisis 1.5 Hipotesis Penelitian ___________________6 1.6 Ruang Lingkup dan Sumber Data 1.7 __________________5 ________________? Sistematika Penulisan __________________? BAB II 2.1 ____________________5 TINJAUAN LITERATUR _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _9 Kebijakan Makroekonomi _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 9 2.1.1 Kebijakan Fiskal 10 2.1.2 Kebijakan Moneter 18 2.1.3 Interaksi Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter 21 2.2 Teori Permainan 28 2.2.1 Model Duopoli Cournot 29 2.2.2 Model Duopoli Stackelberg 30 Vll BABIII METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Spesifikasi Model 32 32 3.1.1 Persamaan Kurva Philips 33 3.1.2 Persamaan Kesenjangan Output 34 3.1.3 Persamaan Permintaan Agregat 36 3.1.4 Persamaan Real Money Balance (M/P) 37 3.1.5 Persamaan Inflasi Impor 37 3.1.6 Persamaan Nilai Tukar 37 3.2 Dampak Kebijakan Makroekonomi 39 3.2.1 Dampak Kebijakan Fiskal 39 3.3.2 Dampak Kebijakan Moneter 40 3.2 Tujuan Kebijakan 3.3 Tanggapan Kebijakan Terbaik dan Keseimbangan Nash Model 41 Permainan Coumot - - - - - - - - - - - - - - - - - - 42 3.4 Keseimbangan Nash Model Permainan Stackelberg _ _ _ _ _ _ _48 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 52 4.1 Estimasi Behavioral Model Struktural 52 4.2 Simulasi Preferensi Kebijakan 53 4.3 Dampak dan Tanggapan Kebijakan Fiskal 54 4.4 Dampak dan Tanggapan Kebijakan Moneter 55 4.5 Estimasi PDB, Tingkat Inflasi dan Tingkat Kerugian Sosial 56 BAB V PENUTUP 66 5.1 Kesimpulan 66 5.2 Implikasi Kebijakan 67 Vlll DaftarPustaka ______________________________________________ 69 Lampiran 71 IX BABI 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses transisi perubahan struktural perekonomian dan kelembagaan sejak awal krisis ekonomi 1997 masih terns berlangsung. Secara kelembagaan masih terjadi proses perubahan struktur, baik pada lembaga pemerintah maupun lembaga ekonomi lainnya. Sedangkan pada struktur perekonomian ditandai dengan masih tingginya fluktuasi indikator makroekonomi seperti inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan tingkat suku bunga. Dengan demikian isu yang seharusnya muncul pada saat ini bukan lagi tradeoff antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi bagaimana meminimumkan fluktuasi indikator makroekonomi tersebut sehingga perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun agen perekonomian yang lain berjalan secara efektif dan efisien. Reaksi spontan pemerintah dan otoritas moneter (Bank Indonesia) terhadap fluktuasi makroekonomi hanya akan menghasilkan stabilitas makroekonomi jangka pendek dan dapat menurunkan kredibilitas pembuat kebijakan karena sebagian faktor penyebab fluktuasi tersebut adalah perubahan struktur perekonomian secara global. Hubungan antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal masih menjadi debat dalam literatur makroekonomi. Kebijakan fiskal dapat mempengaruhi keberhasilan kebij~kan moneter melalui beberapa mekanisme transmisi, yaitu melalui pengaruhnya terhadap kredibilitas kebijakan moneter, melalui pengaruh jangka pendek pada permintaan (short-term effects on demand) , dan melalui Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal ----------------- perubahan jangka panjang kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan kata lain, kebijakan moneter dapat mengakomodasi atau memberikan reaksi terhadap kebijakan fiskal. Kajian tradisional berkaitan dengan interaksi kedua kebijakan telah memfokuskan pada analisis kombinasi kebijakan yang optimal ketika keduanya berada pada otoritas yang sama. Dalam beberapa tahun terakhir, analisis interaksi kebijakan telah memisahkan antara otoritas fiskal dan otoritas moneter berkaitan dengan independensi bank sentral. Beberapa studi telah menganalisis interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter ketika kedua otoritas mempunyai tujuan yang berbeda. Dalam hal ini, isu pentingnya adalah berkaitan dengan perhatian apakah kebijakan fiskal dapat dilihat sebagai ancaman bagi komitmen moneter. Teori ekonomi menetapkan tiga tujuan berdasarkan interaksi kebijakan ini, yaitu rendahnya tingkat pengangguran, stabilitas harga dan pertumbuan ekonomi yang cepat. Dalam hal ini koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan untuk menetapkan besaran target moneter dan fiskal secara konsisten dengan upaya pencapaian target yang ditetapkan. Djojosubroto dalam Subiyantoro dan Riphat (2004) menyatakan bahwa di Indonesia, dan juga di banyak negara lain, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter selalu menjadi masalah. Sumber-sumber dari permasalahan tersebut, antara lain: a. Ketidakjelasan penugasan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada Departemen Keuangan dan Bank Sentral; Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _2 b. Kedudukan Bank Sentral dalam pemerintahan, yaitu sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan yang independen dari pemerintah; c. Persepsi dari pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Departemen Keuangan mengenai koordinasi yang harus dilakukan; d. Instrumen yang dipakai oleh Bank Sentral dalam operasi pasar; e. Tingkat kemajuan pasar modal. Oleh karena itu mungkin tidak atau sulit sekali memperoleh bentuk koordinasi yang universal, yang dapat diterapkan di semua negara. Khususnya di negara-negara berkembang, di mana struktur keuangan dan finansial masih berkembang, diperlukan koordinasi yang berbeda-beda sesua1 dengan perkembangan yang ada. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pemerintah tidak dimungkinkan lagi untuk meminjam uang dari Bank Indonesia untuk menutup defisit APBN, bahkan tidak dimungkinkan untuk meminjam uang untuk jangka pendek dalam hal pemerintah menghadapi masalah cash-flow. Dalam hal ini Bank Indonesia mempunyai kekuasaan penuh di dalam menetapkan/mengatur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian, karena mempunyai objective yang terpisah (inflation targetting). Akan tetapi, asumsi yang dipakai dalam hal ini adalah bahwa kurs · mata uang adalah tetap (fixed exchange rate). Dalam hal .floating exchange rate system, pelaksanaannya a~an lebih rumit, oleh karena kebijakan fiskal akan mempengaruhi kurs rupiah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _3 Oleh karena itu, walaupun Bank Indonesia mempunyai "kebebasan penuh" dalam mengatur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tetap diperlukan walaupun detail koordinasi tersebut akan berubah dari masa ke masa, tergantung kepada perkembangan ekonomi dan pasar uang/modal. 1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarkan kenyataan tersebut, penelitian tentang model keterkaitan antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter menjadi hal yang sangat penting. Analisis yang didasarkan pada model makroekonomi yang tepat akan menghasilkan efisiensi dalam pencapaian target pertumbuhan dan meningkatkan kredibilitas pembuat kebijakan. Demikian pula agen perekonomian di berbagai sektor akan mengantisipasi setiap kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dengan tanggapan yang tepat pula. Penentuan model makroekonomi yang tepat merupakan permasalahan yang tidak mudah. Karakteristik perekonomian yang belum stabil dan rentan terhadap perubahan perekonomian dunia menjadi salah satu persoalan dalam penyusunan model makroekonomi di Indonesia. Permasalahan berikutnya adalah bagaimana merumuskan kebijakan yang tepat sehingga respon agen perekonomian tidak terlalu mempengaruhi target inflasi dan pertumbuhan yang telah ditetapkan. Sinkronisasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal menjadi hal yang mutlak diperlukan karena kedua kebijakan tersebut dimiliki oleh otoritas yang berbeda. Selain itu koordinasi diperlukan untuk mengoptimalkan dampak kebjakan terhadap perekonomian. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal -----------------4 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk menganalisis dampak pemilihan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dan koordinasi antara kedua kebijakan dalam ekonomi terbuka di Indonesia. Secara detail, tujuan penulisan tesis ini adalah : a. menyusun model struktural perekonomian di Indonesia berdasarkan model yang dikembangkan di Indonesia, b. menganalisis dampak kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi c. menganalisis bentuk koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berdasarkan model yang disusun, dan d. menganalisis data empiris kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang dilakukan di Indonesia. 1.4 Kerangka Pikir Analisis Dalam teori makroekonomi, model ekonomi biasanya tidak dibangun atas persamaan tunggal tetapi sistem persamaan struktural. Perubahan di suatu persamaan akan berpengaruh secara simultan terhadap persamaan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem perekonomian, perubahan suatu variabel ekonomi tidak hanya mempengaruhi satu variabel yang lain tetapi mempengaruhi banyak variabel, bahkan terdapat pengaruh antar variabel. Variabel kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan faktor luar negen merupakan variabel exogenous yang diharapkan mampu mempengaruhi sasaran akhir. Sasaran akhir dari setiap kebijakan adalah output yang tinggi, tingkat inflasi Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 5 Kebijakan Fiskal • Kebijakan Moneter r-- rl I I Inflasi Kesejahteraan Masyarakat - rl I I Output dan pengangguran yang rendah. Sedangkan tujuan akhir kebijakan adalah kesejahteraan masyarakat. Dalam prakteknya, kebijakan fiskal seringkali lebih kaku daripada kebijakan moneter. Kebijakan fiskal di Indonesia disusun oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sedangkan kebijakan moneter ditetapkan oleh Bank Indonesia secara independen dan dapat dilaksanakan dalam waktu yang pendek. Dengan demikian analisis interaksi yang akan dibangun pada penulisan ini mengasumsikan kebijakan fiskal sebagai leader dan kebijakan moneter sebagaifollower dalam model permainan Stackelberg. 1.5 Hipotesis Penelitian Dengan kerangka pikir di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam pcnelitian ini adalah : 1. Terdapat pengaruh kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi secara simultan. 2. Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal belum dikoordinasikan dengan baik dalam pencapaian target inflasi dan pertumbuhan yang ditetapkan. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal -----------------6 1.6 Ruang Lingkup dan Sumber Data Ruang lingkup penelitian ini meliputi penyusunan model struktural makroekonomi, analisis dampak kebijakan, analisis keseimbangan Nash model permainan Coumot, analisis keseimbangan Nash model permainan Stackelberg, dan analisis data empiris kebijakan moneter dan kebijakan fiskal di Indonesia Sedangkan data yang digunakan dalam analisis empiris adalah data runtun waktu yang diperoleh melalui website Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Keuangan. 1. 7 Sistematika Penulisan Tesis ini disusun dalam empat bab, yaitu: Bab 1 Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang, Permasalaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Kerangka Pikir Analisis, Hipotesis Penelitian, Ruang Lingkup dan Sumber Data, serta Sistematika Penulisan. Bab 2 Tinjauan Literatur, terdiri dari Kebijakan Makroekonomi yaitu Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, Interaksi Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter serta Teori Permainan Bab 3 Metode Analisis, terdiri Spesifikasi Model, Dampak Kebijakan Makroekonomi, yaitu Dampak Kebijakan Fiskal dan Dampak Kebijakan Moneter, Tujuan Kebijakan , Tanggapan Kebijakan Terbaik dan Keseimbangan Nash Model Permainan Coumot, serta Keseimbangan Nash Model Permainan Stackelberg Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal -----------------7 Bah 4 Analisis dan Pemhahasan, terdiri dari Estimasi Behavioral Model Struktural, Simulasi Preferensi Kehijakan, Dampak dan Tanggapan Kehijakan Fiskal, Dampak dan Tanggapan Kehijakan Moneter, serta Estimasi PDB, Tingkat Inflasi dan Tingkat Kerugian Sosial. Bah 5 Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan lmplikasi Kehijakan Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal ----------------- 8 BAB II 2.1 TINJAUAN LITERATUR Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi merupakan kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian variabel-variabel ekonomi secara agregat seperti inflasi, pengangguran, neraca pembayaran luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut secara garis besar dibedakan menjadi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Masing-masing kebijakan menggunakan instrumen kebijakan yang berbeda. Secara umum, baik kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter dibedakan berdasarkan arab perubahan nilai variabel target yang menjadi tujuan kebijakan. Dengan dasar ini maka dikenal istilah kebijakan ekspansif dan kebijakan kontraktif. Kebijakan ekspansif yaitu kebijakan makroekonomi yang mempunyai tujuan untuk memperbesar kegiatan ekonomi dalam perekonomian. Sedangkan kebijakan kontraktif merupakan kebijakan makroekonomi yang tujuannya adalah untuk menurunkan kegiatan ekonomi dalam perekonomian. Kebijakan ekspansif pada umumnya diambil pada masa-masa perekonomian menghadapi banyak pengangguran dan kapasitas produksi nasional bel urn dalam pemanfaatan penuh. Sebaliknya kebijakan kontraktif pada umumnya dilakukan pada masa-masa perekonomian dalam keadaan overemployment, yaitu keadaan di mana permintaan agregat melampaui besamya kapasitas produksi nasional. Keadaan ini pada umumnya ditandai oleh tingkat inflasi yang tinggi. Di Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _9 samping itu kebijakan kontraktif pada umumnya juga dipakai dalam keadaan di mana perekonomian mengalami defisit neraca pembayaran secara terns menerus. Dengan perkataan lain, entah kebijakan fiskal ataukah kebijakan moneter yang dipergunakan, kebijakan ekspansif pada umumnya dapat diharapkan memperoleh hasil berupa meningkatnya pendapatan nasional dan menurunnya tingkat pengangguran. Sebaliknya kebijakan kontraktif pada umumnya diharapkan dapat menurunkan tingkat inflasi dan memperkecil defisit neraca pembayaran luar negeri (Sudiyono, 1985). 2.1.1 Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pada dasamya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negata ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara (Djojosubroto dalam Subiyantoro dan Riphat, 2004). Secara teoretis ada empat cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penerimaan, yaitu meningkatkan pajak dan harga sektor publik, mengurangi · Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 10 pengeluaran pemerintah, mencetak uang, dan utang baru pemerintah (Dornbucsh, 1993). Namun perlu dicatat beberapa kendala saran teoretis tersebut. Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan pajak adalah basis pajak yang sempit, banyaknya transaksi informal, dan sulitnya meningkatkan intensifikasi pemungutan. Meningkatkan harga sektor publik selain dapat meningkatkan penerimaan juga mengurangi subsidi sehingga dapat mengurangi distorsi pasar. Namun, kebijakan penurunan subsidi sering menuai penentangan yang besar dari masyarakat dan menstimulasi inflasi. Pencetakan uang selain akan menstimulasi hiperinflasi, juga tidak dapat dilakukan karena undang-undang menempatkan Bank Sentral independen dari intervensi pemerintah. Pilihan kebijakan utang juga dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pertama, utang luar negeri menjadi tidak mudah, terutama setelah Indonesia memilih tidak memperpanjang kontrak kerja sama dengan IMF dan itu berarti utang ditumpukan pada sumber dalam negeri (Abimanyu, 2004). Kedua, pasar dalam negeri mungkin memiliki keterbatasan untuk menyerap kebutuhan utang pemerintah. Pada sisi pengeluaran, manuver untuk men-fine-tune pengeluaran juga tidak mudah karena banyak pos APBN yang merupakan pos wajib (misalnya Undangundang Otonomi Daerah mewajibkan Menteri Keuangan untuk menganggarkan setidaknya 26 persen dari penerimaan dalam negeri untuk Dana Alokasi Umum). Pos wajib tersebut mayoritas merupakan recurrent expenditures, bukan capital expenditures. Angka pengganda untuk recurrent expenditures lebih rendah daripada capital expenditures. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _________ 11 Kebijakan fiskal secara umum dipercaya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, lebih tepatnya dapat dinyatakan bahwa kebijakan fiskal yang tepat pada kondisi tertentu dapat digunakan untuk mendorong pembangunan ekonomi atau pertumbuhan. Secara umum, pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan melalui dua saluran utama: melalui peningkatan kuantitas faktor produksi yang kemudian menyebabkan peningkatan pertumbuhan output dan secara tidak langsung melalui peningkatan marginal produktifitas dari faktor-faktor produksi yang disediakan (Barro dan Sala-i Martin, 1992). Fakta empiris dalam literatur menunjukkan hubungan terbalik antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan, tetapi terdapat hubungan positif antara peningkatan pengeluaran pemerintah dan tingkat pertumbuhan. Dalam ranah teori, paham Keynesian menyarankan ekspansi fiskal untuk mendorong perekonomian (fiscal stimulus). Keynes (1936) memandang ekspansi fiskal melalui proses angka pengganda (multiplier) akan meningkatkan pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor. Pada sisi lain, paham Neo Klasik memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran Iangsung dalam perekonomian (Santoso, 2004 ). Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _________ l2 Sebagai pelaku ekonomi, pemerintah juga mempunyai andil dalam perkembangan perekonomian suatu negara. John Maynard Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money ( 1936) menyarankan dilakukannya kebijakan pemerintah yang ekspansif untuk membantu mengurangi pengangguran akibat depresi ekonomi. Hal ini berbeda dengan pendapat David Ricardo ( 1772-1823 ). Ricardo berpendapat bahwa upaya pemerintah untuk mempengaruhi permintaan melalui kebijakan fiskal tidak akan berhasil. Jika terjadi defisit anggaran dan pemerintah melakukan pinjaman untuk menutupinya, maka ini sebenamya merupakan pajak yang tertunda. Berdasarkan ekspektasi rasionalnya, konsumen akan beranggapan bahwa pemerintah akan mengkompensasikan dana pinjaman tersebut dengan cara menaikkan pajak di masa yang akan datang. Inilah yang disebut sebagai Ekuivalensi Ricardian (Ricardian Equivalence). Menurut aliran Neoklasik, pinjaman yang dilakukan pemerintah terhadap publik akan berakibat pada berkurangnya investasi swasta. Hal ini disebabkan penurunan cadangan dana publik akan diikuti oleh meningkatnya tingkat bunga. Dengan biaya modal yang tinggi investasi swasta menjadi tertekan dan pertumbuhan ekonomi akan menurun. Fenomena ini disebut sebagai crowding out. Friedman (1987) menegaskan potensi terjadinya crowding-out ini pada masamasa rawan defisit fiskal, bahkan pada saat perekonomian mencapai full- employment. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa utang pemerintah akan berhubungan dengan penyerapan utang swasta. Selain itu utang juga berhubungan Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _________ 13 dengan tingkat pendapatan. Teorinya didasarkan pada dua hipotesis perilaku pemberi pinjaman, yaitu: 1. Modigliani 's Life-Cycle Hypothesis of Saving Pada perekonomian maju dengan sebaran populasi yang stabil, individu akan menyimpan dana pada berbagai pilihan dimana terdapat kestabilan hubungan antara pendapatan dengan kesejahteraan ekonomi secara agregat. 2. Risk-Averse Portfolio Behavior Theory Investor akan menanamkan dananya pada portfolio yang meminimalisir risiko dan memaksimalkan keuntungan. Swasta akan mengambil pinjaman berdasarkan pada faktor-faktor seperti tingkat keuntungan usaha, ketersediaan kredit, tingkat pajak, risiko ekonomi maupun non ekonomi dan regulasi tentang kepailitan. Dengan adanya rasionalitas sektor swasta, maka kenaikan tingkat utang pemerintah akan direspon sebagai ekspektasi kenaikan pajak di masa mendatang. Jika hal ini terjadi maka Ricardian equivalence akan berlaku. Berkaitan dengan defisit fiskal, dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian akan berbeda. Hal ini bergantung pada cara pemerintah mengatasi kekurangan terse but. Hoogendom ( 1996) melengkapi anal isis dengan 2 kemungkinan solusi yang diambil pemerintah untuk keluar dari defisit. Pertama, melakukan pinjaman ke swasta. Sejalan dengan pemikiran Neoklasik, skenario ini akan melahirkan efek tekanan terhadap swasta dalam hal kesempatan berinvestasi. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 14 Kedua, menambah penerimaan pajak, misalnya melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan perbaikan administrasi. Defisit fiskal juga dapat berdampak negatif terhadap perekonomian. Mankiw (2003) mencatat tiga efek yang dapat ditimbulkan oleh ekspansi anggaran pemerintah yang terlampau eksesif. Pertama, terjadinya ekspansi di sektor moneter yang berujung pada peningkatan jumlah uang beredar (inflasi). Kedua, jika tidak ditangani dengan baik, akan berlanjut dengan pelarian modal (capital flight) ke luar negeri. Di beberapa negara, persentase capital flight terhadap utang pemerintah menunjukkan angka yang cukup tinggi. Bahkan, Venezuela pemah memiliki persentase capital flight terhadap utang pemerintah sebesar 240 persen pada akhir tahun 1988. Indonesia pemah mengalami capital flight yang besar pada puncak krisis 1998. Ketiga, dalam jangka panjang akan timbul pergeseran beban utang ke generasi yang akan datang. Dampak kontradiktif perilaku fiskal terhadap pasar uang juga diamati oleh Brandon dan Marquez (1988). Studinya tentang dampak pemotongan pengeluaran pemerintah terhadap suku bunga di Jepang, Jerman dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa suku bunga cenderung menurun jika pemerintah berhenti berekspansi. Konservatisme fiskal juga memiliki pengaruh terhadap perekonomian. Di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman (Chouraqui, 1986) dan Amerika Serikat (Friedman, 1981 ), rasio utang terhadap PDB justru distabilkan dalam jangka pendek. Utang Amerika Serikat pasca Perang Dunia II yang umumnya Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _ _ _ _ _ _ _ _ _ 15 bersifat jangka panJang dikonversikan dalam jangka pendek untuk segera diselesaikan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko di masa depan. Buiter ( 1983) mengutarakan kemungkinan adanya ruang bagi pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap perekonomian. Hal ini berdasarkan teori Neo-Keynesian tentang peran penting campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Setidaknya ada dua alasan pemerintah melakukan campur tangan dalam perekonomian. Pertama, intervensi karena alasan distribusi. Pemerintah dapat melakukan redistribusi pendapatan untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya melalui reformasi pajak dan struktur yang progresif. Kedua, untuk mengatasi kegagalan pasar. Sebagai contoh, jaminan kredit untuk mengatasi asymmetric information mengenai usaha yang akan didanai olehnya. Buiter yakin bahwa anggaran pemerintah mampu menstabilkan permintaan agregatif masyarakat pada saat tertentu. Hal ini melibatkan pajak dan transfer (termasuk subsidi), ketika variabel konsumsi dan investasi tidak berubah. Departemen Keuangan sebagai pengelola fiskal harus transparan dalam memonitor seluruh aset dan kewajiban yang terjadi. Buiter (1997) menolak adanya off-balance sheet budget atau dana taktis di luar anggaran resmi. Menurutnya, seluruh aktiva pemerintah harus termonitor dengan seksama. Aset berupa sumber daya alam juga harus didata ulang berdasarkan harga pasamya. Pada beberapa kasus, Buiter juga menyorot peran bank sentral dalam stabilisasi fiskal. Kelemahan kebijakan dapat muncul baik dari sisi moneter maupun fiskal. Dalam kasus Uni Eropa, Buiter dan Graf (2002) menjelaskan tentang perlunya koordinasi fiscal-financial criteria dan peran European Central Bank (ECB). Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _________ 16 Menurut mereka, peran bank sentral idealnya dimasukkan dalam The FiscalFinancial Programme Uni Eropa. Kesinambungan fiskal-finansial dan stabilitas makro dapat dicapai melalui kerjasama dua sisi. Studi empiris menunjukan bahwa faktor inflasi dapat mempengaruhi besamya beban fiskal pemerintah. Buiter dan Juan (1993) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat inflasi akan semakin tinggi pula defisit primer pemerintah. Hal ini terjadi karena inflasi mengurangi nilai riil penerimaan pajak. Oleh karena itu, kerjasama moneter dengan bank sentral mutlak diperlukan (Santoso, 2004). Keputusan politik atas kebijakan fiskal sebagaimana dituangkan dalam APBN yang meliputi; (i) besar pengeluaran dan peruntukannya, (ii) jumlah penerimaan dan sumbemya, dan (iii) volume pinjaman dan kreditumya akan menuntut kesiapan unit-unit penanggungjawab pelaksana instrumen kebijakan untuk melakukan penyesuaian agar kebijakan dimaksud dapat terlaksana di lapangan. Segi teknis dari penyesuaian tersebut meliputi; penyiapanlperubahan peraturan perundangan, perubahan struktur organisasi dan tata laksana unit kerja, pengadaan peralatan kerja, pengembangan jaringan kerja antar unit berbasis teknologi inforrnasi, dan peningkatan sumber daya manusia di lingkungan Departemen Keuangan. Keseluruhan penyesuaian di atas merupakan proses yang memerlukan waktu, oleh karenanya penetapan kebijakan fiskal seyogyanya tidak hanya mempertimbangkan kepentingan politik dan mempertimbangkan tantanganl ancamanlpeluang dari perekonomian global tetapi juga perlu memperhitungkan kapasitas dan kesiapan organisasi pelaksananya (Subiyantoro dan Riphat, 2004). Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _________ 17 2.1.2 Kebijakan Moneter Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas moneter dalam bentuk pengendalian besaran moneter dan atau suku bunga untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan tersebut adalah terjaganya stabilitas ekonomi makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan!kesempatan kerja yang tersedia. (Warjiyo, 2004). Kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan ekonomi makro, yang pada umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian suatu negara; tertutup atau terbuka, serta faktor-faktor fundamental ekonomi lainnya. Dalam pelaksanaannya, strategi kebijakan moneter dilakukan berbeda-beda dari suatu negara dengan negara lain, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan mekanisme transmisi yang diyakini berlaku pada perekonomian yang bersangkutan. Berdasarkan strategi dan transmisi yang dipilih, maka dirumuskan kerangka operasional kebijakan moneter. Umumnya pengendalian besaran moneter dilakukan oleh Bank Se.ntral melalui berbagai instrumen, khususnya operasi pasar terbuka (open market operations, OMO). Selama ini, Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMO (Djojosubroto dalam Subiyantoro dan Riphat, 2004). Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 18 Beralihnya sistem nilai tukar Rupiah dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem yang mengambang penuh memberikan beberapa implikasi terhadap pengendalian moneter di Indonesia. Secara teori, dalam sistem nilai tukar mengambang penuh kebijakan moneter akan semakin efektif khususnya apabila diikuti oleh mobilitas kapital secara intemasional semakin sempuma. Setiap terjadi tekanan nilai tukar Rupiah sebagai efek kebijakan moneter akan disesuaikan melalui pengaruh suku bunga terhadap aliran modal dan pengaruh perubahan nilai tukar Rupiah terhadap penawaran ekspor dan permintaan impor. Melalui mekanisme demikian, neraca transaksi berjalan berfungsi sebagai alat mekanisme penyesuaian yang penting sehingga overall Balance of Payment (BOP) selalu dalam ekuilibrium. Dengan demikian, kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar Rupiah yang fleksibel secara teori memerlukan sensivitas yang tinggi antara suku bunga domestik terhadap aliran modal intemasional dan keeratan hubungan negatif antara nilai tukar Rupiah dengan suku bunga serta elatisitas yang tinggi antara perubahan nilai tukar Rupiah dengan penawaran ekspor dan permintaan impor. Selain itu, nilai tukar Rupiah yang fleksibel dan stabil juga harus tetap dijaga agar tidak memberikan tekanan pada harga-harga domestik. Oleh karena suku bunga tampak memegang peranan vital dalam pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel, maka pendekatan pengendalian moneter diusulkan untuk menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional dengan inflasi sebagai sasaran tunggal. Suku bunga sebagai sasaran operasional akan diuji transmisinya secara detail mulai dari suku bunga overnight, Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 19 suku bunga deposito, suku bunga SBI lelang, dan suku bunga kredit. Selain menfokuskan pada variabel suku bunga, juga akan diteliti besamya excess reserve bank yang optimal dan compatibel dengan sasaran suku bunga. Untuk mencapai sasaran inflasi dengan baik, maka perlu dicari sasaran antara yang dekat hubungannya dengan inflasi. Sasaran antara ini dapat berupa suku bunga jangka panjang seperti suku bunga deposito 3 bulan atau lebih dan nilai tukar Rupiah, baik secara nominal maupun riil, atau kombinasi antara keduanya yang disebut Monetary Condition Index (MCI). Perlu tidaknya digunakan sasaran antara tergantung pada keeratan hubungan antara suku bunga jangka pendek dengan inflasi. Apabila suku bunga jangka pendek dapat langsung mempengaruhi laju inflasi dengan meyakinkan, tidak diperlukan sasaran antara seperti di beberapa negara yang menerapkan inflation targeting yakni Australia, Inggris dan Spanyol. Bank of Japan yang tidak menerapkan inflation targeting juga tidak memiliki sasaran antara. Sedangkan yang memakai MCI sebagai sasaran antara adalah New Zealand, Swedia dan Kanada. Transmisi perubahan nilai tukar Rupiah ke inflasi dapat melalui dua saluran. Pertama, melemahnya nilai tukar Rupiah akan menaikkan biaya produksi yang memakai barang impor sehingga menaikkan harga. Tekanan harga ini akan diperburuk jika para buruh melakukan desakan kenaikan upah nominal dalam rangka mempertahankan upah riilnya. Kedua, harga non-tradable goods yang relatif lebih murah dibandingkan harga tradable goods akan mendorong permintaan non-tradable goods sehingga meningkatkan harga domestik. Kenaikan harga ini akan dipacu lagi jika suku bunga relatif rendah. Sasaran akhir dari Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _________.20 pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel adalah inflasi. Jenis inflasi yang digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan moneter biasanya underlying inflation seperti yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan inflation targeting. Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1999, yang antara lain mengemukakan bahwa sasaran 1aju inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia adalah inflasi yang dapat dipengaruhi kebijakan moneter atau secara implisit dapat diartikan sebagai underlying inflation. (Wijoyo Santoso dan Iskandar, 1999) 2.1.3 Interaksi Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Semmler dan Zhang (2003) menjelaskan beberapa teori tentang interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berdasarkan literatur yang dapat dianalisis dari empat sudut pandang. Pertama, Pendekatan teori fiskal ten tang tingkat harga (Fiscal Theory of the Price Level, FTPL). Teori ini dikembangkan oleh Leeper (1991), Sims (1994, 1997 dan 2001a) dan Woodford (1994, 1995, 1998 dan 2000) dan telah menarik b:myak perhatian. Pendekatan teori ini ada1ah mengkaji pengaruh kebijakan fiskal yang disebut dengan isti1ah "non-Ricardian", dengan menentukan lintasan waktu dari hutang pemerintah, pengeluaran dan pajak tanpa memperhatikan keterbatasan pembayaran pemerintah sehingga pada saat keseimbangan terjadi, tingkat harga harus menyesuaikan untuk memastikan kemampuan pembayaran pemerintah. Wacana kebijakan fiska1 non-Ricardian dalam model standard New Keynesian menunjukkan bahwa perubahan kondisi stabilitas berkaitan dengan kebijakan suku bunga bank sentral. Benhabib et al. (200 1) mendapatkan kondisi dimana Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _ _ _ _ _ _ _ _ _21 kebijakan moneter yang mengikuti interest-rate feedback rules, dengan menetapkan suku bunga nominal sebagai fungsi meningkat dari tingkat inflasi, menyebabkan ketidakstabilan aggregate. Mereka menemukan bahwa kondisi tersebut sebagian disebabkan oleh rejim fiskal-moneter sebagaimana ditegaskan dalam FTPL (Selengkapnya lihat Semmler dan Zhang, 2003). Meskipun populer, FTPL telah dikritik baik dalam tataran teoritis maupun empiris. Buiter (200 1) mencatat bahwa FTPL keliru dengan dua asumsi dasar pemodelan dalam ekonomi pasar; kendala anggaran harus identik dan kondisi keseimbangan pasar. Canzoneri, Cumby and Diba (2000) melakukan beberapa penelitian empiris untuk menguji apakah rejim Ricardian atau non-Ricardian yang berlaku untuk negara tertentu dengan data runtun waktu. Dengan data AS periode 1951-1995, mereka menyimpulkan bahwa rejim fiskal AS adalah Ricardian, bukan non-Ricardian, dan menemukan bahwa kesimpulan tersebut dapat berlaku pada sub periode data yang berbeda. Kedua, Interaksi strategis antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Beberapa peneliti telah mencoba mengeksplorasi interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam perspektif strategis. Di antara peneliti tersebut adalah Catenaro (2000), Van Anarle, Bovenberg dan Raith (1995), Buti et al. (2000), Wyplosz ( 1999), dan Van Anarle, Engwerda and Plasmans (2002). Van Aarle, Bovenberg dan Raith ( 1995) memperluas anal isis yang dikembangkan Tabellini (1986) dan meneliti interaksi antara otoritas moneter dan fiskal dalam kerangka permainan (berbasis game theory) yang berbeda. Solusi dinamis dari Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _.22 defisit fiskal, intlasi dan hutang pemerintah dalam konteks kerjasama kebijakan dan keseimbangan Nash diturunkan secara eksplisit. Ketiga, Penelitian empiris interaksi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Meskipun kebanyakan penelitian tentang interaksi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal berbasis teoritis, tetapi kajian empiris juga dapat ditemukan. Di samping penelitian empiris oleh Canzoneri, Cumby and Diba (2000), yang mengkaji rejim fiskal di Amerika Serikat dengan model VAR, beberapa peneliti yang lain telah mengeksplorasi bagaimana kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berinteraksi dalam realitas. Di antaranya adalah Melitz (1997 dan 2000), van Aarle et al. (200 1), Muscatelli et al. (2002) dan Smaghi dan Casini(2000). Melitz (1997), misalnya menggunakan data 15 anggota negara Uni Eropa kecuali Luxembourg dan 5 negara OECD yang lain untuk melakukan beberapa estimasi dan menemukan bahwa terdapat kebijakan makroekonomi yang terkoordinasi, yaitu kebijakan fiskal yang longgar mendorong kebijakan moneter yang ketat dan kebijakan moneter yang longgar mendorong kebijakan fiskal yang ketat. Muscatelli et al. (2002) mengestimasi model V AR dengan parameter-parameter konstan dan time-varying untuk negara G7 dan menemukan bahwa ketika kebijakan moneter dan fiskal makin digunakan sebagai pelengkap strategis, tingkat respon kebijakan fiskal terhadap siklus bisnis menurun sejak tahun 1980an dan bahwa interdependensi strategis antara kebijakan fiskal dan moneter dapat ditangkap dengan menggunakan model Bayesian VAR. Keempat, Interaksi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal pada ekonomi terbuka. Analisis interaksi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal telah diperluas Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _23 pada ekonomi terbuka. Di antaranya dikembangkan oleh Leith dan Wren-Lewis (2002), Melitz (2000), van Aarle et al.(2002), Sims (1997), Chamberlin et al. (2002), Clausen dan Wohltmann (2001) dan Beetsma dan Jensen (2002). Interaksi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal antara dua atau lebih negara, khususnya antara negara anggota EMU biasanya menjadi fokus penelitian ini. Masalah ini nampak begitu penting di Uni Eropa karena setiap negara anggota mempunyai otoritas fiskal sendiri tetapi kebijakan monetemya mengikuti otoritas tunggal, yaitu ECB. Semmler dan Zhang (2003) menganalisis interaksi antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal di Perancis dan Jerman pada tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an. Keduanya menerapkan model ruang pemyataan dengan "Markov switching" untuk mengestimasi vektor parameter dengan keragaman waktu dari model sederhana. Analisisnya bertujuan untuk memeriksa apakah terdapat perubahan rejim dalam interaksi antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal dan bagaimana hal tersebut terjadi. Interaksi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tergantung pada spesifikasi variabel kebijakan yang digunakan. Baru-baru ini analisis kebijakan moneter secara dramatis dikembangkan dari "new Keynesian framework" yang dibangun dari persamaan-persamaan micro foundation of behavioral yang solid. Pertimbangan kebijakan fiskal di bawah kerangka ini barn dikembangkan oleh beberapa peneliti seperti Benigno dan Woodford (2003), Eggertsson dan Woodford (2004), Schmitt-Grohe dan Uribe (2004) dan Siu (2004). Di bawah manajemen kebijakan optimal melalui pemerintahan yang terkonsolidasi, otoritas Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _________.24 moneter dan otoritas fiskal mencoba untuk memaksimumkan satu fungsi tujuan dengan restriksi yang sama. Variabel-variabel kebijakan masuk dalam persamaan anggaran pemerintah yang terkonsolidasi. Secara umum, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal berinteraksi begitu kuat; kebijakan moneter tidak dapat mengabaikan urusan fiskal, sementara kebijakan fiskal harus memperhatikan fluktuasi output. Meskipun demikian, dalam banyak literatur juga terdapat kasus khusus di mana interaksi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal begitu lemah. Dalam situasi semacam ini, mengabaikan sating keterkaitan antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal diterima sebagai praktek yang baik. Lambertini dan Rovelli (2004) menganalisis koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara teoritis. Analisisnya didasarkan pada model statik agregat demand (AD) dan agregat supply (AS) sebagai berikut: AD: y=y*-a(i-Jr*-r)+lJ/+&1 (2.1) AS: 7r=Jr*-p(y-y*)+&2 (2.2) Dalam analisisnya, Lambertini dan Rovelli (2004) menyimpulkan bahwa koordinasi antara otoritas fiskal dan otoritas moneter secara umum akan memperbaiki kesejahteraan. Secara umum, koordinasi antara pembuat kebijakan dapat berarti : a. pertukaran informasi antar pembuat kebijakan, b. sating menghargai keberadaan perilaku pembuat kebijakan yang lain, c. pembuatan keputusan bersama antara pembuat kebijakan (kolusi), d. kesepakatan pada urutan langkah antara kedua kebijakan. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _25 Koordinasi dalam pemyataan b berarti menghargai adanya fungsi tanggapan terbaik (best response function) bagi masing-masing pembuat kebijakan. Sedangkan pemyataan d sama dengan pentingnya mengidentifikasi salah satu pembuat kebijakan sebagai pemimpin (leader) dan yang lain sebagai pengikut (follower). Sedangkan Chamberlin, et al (2002) menggunakan model struktural dinamis pada ekonomi terbuka. Model yang digunakan adalah sebagai berikut: Y=C+G+X-M (2.3) cd = r F - err + ¢M ( q - q *) (2.4) O=(Y-Y*)+A(q-q*) (2.5) X= ¢x (q -q *) (2.6) = -¢M ( q- q *) (2.7) q=r (2.8) F=(¢M +¢x)(q-q*) (2.9) M =eM Chamberlin et.al. menyimpulkan bahwa ketika kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dilakukan oleh otoritas yang independen, kombinasi kebijakan yang kurang baik akan dihasilkan oleh ketiadaan koordinasi an tara keduanya. Hal ini timbul sebagai akibat penggunaan instrumen yang berbeda dalam mencapai tujuan yang berbeda tanpa memperhatikan pengaruh dan respon pembuat kebijakan yang lain. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _26 Sejalan dengan literatur teoritis di atas, studi empiris juga telah dilakukan beberapa peneliti untuk mengevaluasi hubungan antara independensi bank sentral dengan otoritas fiskal dalam pencapaian stabilitas makroekonomi. Dalam salah satu paper tentang penaksiran dampak pendelegasian kebijakan moneter dan koordinasi kebijakan, Hall, Henry and Nixon (2001), menyimpulkan bahwa kurangnya koordinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang merupakan ciri utama kerangka kerja kebijakan di UK setelah independensi BoE, telah menghasilkan over appreciation dan medium term loss of traded goods output (mendorong apa yang disebut "imbalance" dalam ekonomi). Hastiadi (2005) menganalisis pentingnya koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah berdasarkan model regresi dengan variabel koordinasi sebagai salah satu variabel independen. Dalam kesimpulanya Hastiadi menyatakan bahwa kebijakan yang dilakukan tanpa adanya koordinasi akan berimplikasi pada tidak tercapainya tujuan dari masing-masing otoritas ekonomi. Target intlasi yang dibuat oleh Bank Indonesia akan menjadi sebuah hal yang tidak mungkin dicapai tanpa adanya koordinasi dengan pihak pemerintah, begitu juga sebaliknya target tingginya level perekonomian tidak akan tercapai tanpa adanya dukungan dari Bank Indonesia. Tanpa adanya koordinasi, kebijakan yang dibuat baik oleh pihak otoritas moneter maupun otoritasw fiskal bisa mempunyai hubungan yang saling menegasikan yang berimplikasi pada tidak efektifnya sebuah kebijaka. Dalam perekonomian yang berlandaskan mekanisme pasar, dimensi persoalan koordinasi dan sinkronisasi kebij akan tidak lagi terbatas antar kebijakan makroekonomi (Fiskal, Moneter, Perdagangan dan Investasi) tetapi juga Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _________27 menyangkut dimensi koordinasi antara perekonomian makro dengan perekonomian mikro. Berkaitan dengan hal ini, arah perubahan kebijakan fiskal tidak cukup dan berhenti pada posisi 'minimum intervensi pemerintah' (Minimalist Goverment Intervention) namun harus sampat pada rumus an kebijakan yang menciptakan dan mengembangkan smergt antara sektor pemerintah dengan sektor swasta (Complementarity of goverment and market (Meier, 2001) dalam Subiyantoro dan Riphat, 2004). 2.2 Teori Permainan Misalkan dalam suatu permainan terdapat n pemain dan Si menyatakan himpunan strategi yang mungkin untuk pemain i dan Sj adalah anggota himpunan ini ( Sj E Si ). ( s 1 , ... ,sn ) merupakan kombinasi strategi untuk masing-masing pemain dan ui(s1, ... ,sn) adalah fungsi imbalan (payofffunction) untuk pemain ke-i jika para pemain memilih strategi ( Sj, ... ,sn ). Defmisi : Representasi bentuk normal dari suatu permainan dengan n pemain yang ditentukan dalam ruang strategi para pemain St, ... ,Sn dan fungsi imbalannya, Ut, ... , Un dinotasikan dengan G = { St, ... ,Sn; Ut, ... , Un) Defmisi: Dalam permainan bentuk normal dengan n pemain, G = { s~, ... ,Sn; Ut, ... , un), strategi ( s*1 , ... ,s*n) merupakan keseimbangan Nash jika untuk setiap pemain i, s*i merupakan tanggapan terbaik pemain ke-i untuk strategi yang dilakukan oleh n-1 pemain lainya, ( s*1 , ... ,s*i-1 ,s*i+1 , ... ,s*n) sedemikian rupa sehingga ui( s*1, ... ,s*i-1 ,s*i, s*i+1, ... ,s*n) 2: Ui( s*1, ... ,s*i-1 ,s*i, s*i+1, ... ,s*n) untuk Strategi yang mungkin, Si dalam Sj. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _.28 2.2.1 Model Duopoli Cournot Model duopoli Coumot menggambarkan permaman dengan 2 pemain. Misalkan q 1 dan q2 banyaknya produk (homogen) yang dihasilkan oleh perusahaan 1 dan perusahaan 2.Misalkan juga P(Q) = a- Q merupakan harga keseimbangan pasar, di mana Q = q1 + q2. Asumsikan bahwa biaya total untuk perusahaan i memproduksi qi adalah Ci(qi) = cqi. Dalam hal ini tidak ada biaya tetap dan biaya marginalnya konstan, c, dan asumsikan c <a. Untuk mendapatkan keseimbangan Nash model permaman Coumot, asumsikan bahwa fungsi imbalan dari masing-masing perusahaan (sebagai pemain) adalah keuntungannya. Sehingga keuntungan masing-masing perusahaan dapat dinyatakan dengan "; ( q;, qi) =q; (P( q; + qi)- c)= q; (a- (q; + qi)- c) (2.10) Dalam model duopoli Coumot, pasangan ( q~, q;) merupakan keseimbangan Nashjika untuk setiap perusahaan i, q; memenuhi (2.11) Kondisi order pertama (First Order Condition) masalah optimisasi untuk perusahaan ke-i menghasilkan : (2.12) Dengan demikian, jika jumlah produksi ( q;, q; )merupakan keseimbangan Nash, maka pilihan produksi perusahaan harus memenuhi Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _29 (2.13) (2.14) Sehingga solusi keseimbangan Nash: 2.2.2 q; = q; =_!_(a-c) 3 (2.15) Model Duopoli Stackelberg Dalam terminologi teori permainan, pemam dalam model duopoli Stackelberg adalah pemimpin (leader) dan pengikut (follower) dan keduanya menentukan jumlah produksi. Pemimpin memilih jumlah produksi terlebih dahulu dan pengikut mengamati pilihan pemimpin kemudian menentukan jumlah pruduksinya. Untuk mendapatkan keseimbangan Nash model permainan Stackelberg, pemimpin harus tahu bahwa pengikut mengamati perilaku pilihannya dan akan melakukan tanggapan terbaiknya. Dengan demikian harus ada komitmen dari pem1mpm Stackelberg dalam memilih jumlah produksi dengan memperhatikan tanggapan terbaik yang akan diberikan oleh pengikutnya. Sebagai ilustrasi digunakan contoh permainan pada model duopoli Coumot. Untuk menyelesaikan induksi mundur dalam permainan ini, pertama kali dihitung fungsi tanggapan pengikut (perusahaan 2) untuk sembarang pilihan pemimpin (perusahaan 1). Fungsi tersebut dapat diperoleh dari persamaan 2.12, sehingga tanggapan perusahaan 2 adalah (2.16) Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _30 Tahap berikutnya adalah menghitung jumlah produksi yang akan dipilih oleh perusahaan 1 untuk memaksimumkan keuntungan dengan memperhatikan tanggapan yang akan dilakukan oleh perusahaan 2, IS (q1 ) • Dengan demikian masalah bagi perusahaan 1 menjadi : (2.17) yang akan menghasilkan • a-c q, =-2- (2.18) (2.19) sebagai keseimbangan Nash model permainan Stackelberg. Model duopoli Stackelberg menghasilkan jumlah produksi yang lebih banyak dan tingkat harga yang lebih rendah, sehingga secara agregat lebih menguntungkan jika dibandingkan model duopoli Cournot. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _.31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Spesifikasi Model Sangat banyak literatur tentang koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dengan pendekatan statik pada ekonomi tertutup. Pada kenyataannya masalah stabilitas makroekonomi merupakan masalah dinamik dan tidak lepas dari faktor luar negeri. Kebijakan fiskal misalnya, paling tidak tergantung pada akumulasi hutang pemerintah periode sebelumnya. Demikian pula kebijakan moneter dalam negeri tidak akan lepas dari kondisi makroekonomi dan kebijakan moneter luar negeri. Analisis koordinasi kebijakan fiskal dan moneter dalam perekonomian terbuka, model sederhana dan dinamik pada sektor ekstemal dikembangkan oleh Chamberlin et.al (2002). Sedangkan dalam penulisan tesis ini, analisis koordinasi kebijakan fiskal dan moneter menggunakan model ekonomi makro struktural Smallscale Quarterly Macro Model (SQM) yang dikembangkan Bank Indonesia. Model SQM disusun dalam beberapa persamaan simultan, yaitu: !:lp, =a, +a2 !:lpr-J ~ + a 3!:lp *+a4 (~- Y*, )+ a 5!:lwpi - Y *, = a 6 + a 7 !:l~ - a 8 i, - a 9 w, + a 10 o,_ 3 1:1~ =a 11 +a 12 !:1~_ 1 -a 13 i, +a 14 g, -a15 e, +a 16 o, +a 17 !:l(m,- p,) m, - p, = a 18 + a 19 ( m,_, !:lwpi, e, p,_ 1 ) + a 20 ~ - a 21 !:li, - a 22 !:lp, = a 23 + a 24 e, + a 25 !:lpa = a 26 + a 27 dummy- a 28 (i- ia), Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal (3.1) (3.2) (3.3) (3.4) (3.5) (3.6) 32 di mana p indeks harga konsumen (IHK) L1p * target intlasi Y Produk Domestik Bruto, PDB (dalam log) Y* PDB Potensial L1wpi indeks harga perdagangan besar (IHPB) Suku Bunga SBI w tingkat upah g pengeluaran pemerintah (dalam log) o harga minyak m uang beredar (M2) pa IHK Amerika 1a Suku Bunga Amerika e Nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika 3.1.1 Persamaan Kurva Philips Persamaan intlasi ditunjukkan oleh Kurva Philips intlasi pada periode sebelumnya (~Pt-t), target intlasi (~p) (~p*), sebagai fungsi dari output gap (Yt- Y*t), serta intlasi impor (~wpi)_ ~p, = a 1 +a 2 ~p,_ 1 +a 3 ~p*+a4 (Y,- Y*, )+a5 ~wpi Definisi : Laju/Tingkat Inflasi (inflation rate) adalah tingkat perubahan harga secara umum dari sejumlah (paket) komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga di daerah perkotaan di Indonesia. Dua indikasi utama dalam perhitungan Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _33 tingkat perubahan inflasi berupa indeks harga konsumen dan indeks harga produsen yang mengikuti perubahan harga yang dibayar oleh konsumen dan produsen. Kurva Philips menggambarkan trade off antara inflasi dengan tingkat output. Persamaan tersebut menunjukkan tiga faktor utama determinan inflasi. Pertama, pengaruh inflasi dari output gap ( ~ - Y *,), di mana terdapat hubungan apabila inflasi mengalami kenaikan maka pendapatan aktual akan menurun sehingga output gapnya akan lebih besar lagi. Pengaruh output gap terhadap inflasi meliputi pengaruh permintaan agregat (demand pull inflation) dan penawaran agregat (cost push inflation) yang ditunjukkan pada persamaan 3.1 dan 3.2. Kedua, pengaruh ekspektasi inflasi terhadap inflasi, yang ditunjukkan oleh inflasi pada peri ode sebelumnya ( llp,_ 1 ), di mana hal ini berkaitan dengan inertia, dan target inflasi ( llp *) berkaitan dengan ekspektasi masyarakat sebagai tanggapan atas tingkat inflasi yang ditargetkan atau diumumkan oleh pemerintah. Ketiga, inflasi juga dipengaruhi oleh inflasi impor yang diwakili variabel indeks harga perdagangan besar ( llwpi ). 3.1.2 Persamaan Kesenjangan Output Persamaan kesenjangan output ( ~ - Y *, ) dinyatakan sebagai fungsi ·dari pertumbuhan ekonomi ( ll~ ), suku bunga jangka pendek ( i, ), harga min yak ( o, ) dan tingkat upah ( w, ). Apabila output aktual melebihi tingkat output potensial, maka permintaan agregat akan meningkat, sehingga kesenjangan output menjadi positif. Kenaikan permintaan agregat juga dipengaruhi secara langsung oleh Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _.34 konsumsi yang tinggi, yang tercermin dari efek subtitusi dalam suku bunga jangka pendek. Selanjutnya perubahan harga minyak dunia mempengaruhi pendapatan pemerintah terutama pada hasil ekspomya, yang pada gilirannya meningkatkan PDB. Definisi : Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan oleh BI sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto. Pembeli SBI memperoleh hasil berupa diskonto yang dibayar di muka. Besamya diskonto adalah nilai nominal dikurangi dengan nilai tunai. Sebagai otoritas moneter, BI berkewajiban memelihara kestabilan nilai Rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang kartal dan uang giral di Bl) yang berlebihan dapat mengurangi kestabilan nilai Rupiah. SBI diterbitkan dan dijual oleh BI untuk mengurangi kelebihan uang p;:imer tersebut. Lain halnya dengan output aktual, output potensial tidak bisa diobservasi sehingga harus diestimasi. Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan Hodrick- Prescott Filter untuk mengestimasi output potensial, sehingga selisihnya terhadap output aktual akan diperoleh output gap. Mekanisme bekerjanya HPFilter pada intinya adalah meminimumkan loss Junction dari tluktuasi output aktual terhadap trend-nya dari tingkat perubahan trend output secara keseluruhan. Secara matematis, loss Junction dalam HP-Filter didefinisikan sebagai berikut : L s s-1 1=1 1=2 = L(Y,- y*) 2 +...ti(~y*/+1 -~y*,) 2 (3.7) Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 35 di mana A adalah weighting factor yang menentukan derajat smoothness dari trend (A= 1.600 untuk data triwulanan dan A= 100 untuk data tahunan). 3.1.3 Persamaan Permintaan Agregat Persamaan permintaan agregat ( ~~) dinyatakan sebagai fungsi dari output peri ode sebelumnya ( ~~-~ ), suku bunga jangka pendek ( i1 ), pengeluaran pemerintah ( g 1 ), nilai tukar ( e1 ) , real money balance ( ~ ( m1 - p 1 ) ), dan harga minyak ( o1 ). Definisi : Nilai Tokar (exchange rate; rate of exchange) adalah nilai tukar satuan rupiah terhadap negara lain (dolar Amerika) nilai tukar dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat suku bunga dalam negeri, tingkat inflasi, dan intervensi bank sentral terhadap pasar uang jika diperlukan sehingga senantiasa berubah. Secara teoritis, terdapat hubungan negatif antara suku bunga jangka pendek dengan pertumbuhan agregat, yang berarti bahwa apabila ada kenaikan suku bunga maka terjadi penurunan terhadap komponen pembentuk permintaan agregat. Sementara itu efek negatif dari nilai tukar terhadap output berkaitan erat dengan tingginya komponen impor dari produksi dalam perekonomian Indonesia. Sebagai akibatnya, depresiasi nilai tukar rupiah akan mengurangi nilai tambah (value added) dari barang-barang yang diproduksi di dalam negeri, dan selanjutnya akan mengurangi pendapatan. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _________ 36 3.1.4 Persamaan Real Money Balance (M/P) Persamaan real money balance ( m1 - p 1 ) dinyatakan sebagai fungsi dari real money balance periode sebelumnya ( m 1_ 1 - p 1_ 1 ) , tingkat pendapatan ( ~ ), suku bunga jangka pendek ( /).i1 ) dan inflasi ( /).p1 ). Real money balance secara negatif dipengaruhi oleh suku bunga jangka pendek dan inflasi serta dipengaruhi secara positif oleh tingkat pendapatan. 3.1.5 Persamaan Inflasi Impor Persamaan inflasi impor ( f).wpi1 ) ditunjukkan sebagai fungsi dari depresiasi nilai tukar ( e1 ) , dan laju inflasi di negara penyumbang terbesar volume impor Indonesia ( /).p' ).Depresiasi mempunyai pengaruh positif terhadap inflasi impor. Demikian pula dengan tingkat inflasi di negara penyumbang terbesar volume impor Indonesia. 3.1.6 Persamaan Nilai Tukar Persamaan nilai tukar ( e1 ) ditunjukkan sebagai fungsi dari perbedaan suku bunga di dalam dan di luar negeri ( id1 =interest rate differencial) dan dummy variable yang menjelaskan variabel-variabel lain yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh bank sentral. Dalam analisis selanjutnya, variabel dummy tidak digunakan dalam penulisan tesis ini untuk lebih menyederhanakan persoalan. e 1 = a 26 + a 21 dummy- a 28 (i- ia) 1 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _________37 Persamaan 3.1 sampai dengan persamaan 3.6 merupakan persamaan yang bersifat struktura1, atau bersifat perilaku (behavioral), karena persamaanpersamaan tersebut menggambarkan struktur hubungan yang lengkap di antara berbagai variabel ekonomi. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Trihadmini (2004) menunjukkan bahwa beberapa variabel sisi kanan persamaan SQM tidak signifikan dalam menjelaskan variabel endogennya. Untuk menyederhanakan analisis, variabelvariabel tersebut dikeluarkan dari model. Variabel tersebut adalah target inflasi, inflasi Amerika, harga minyak, lag pertumbuhan ekonomi dan tingkat upah. Dengan demikian persamaan 3.1-3.6 dapat disederhanakan menjadi atau (3.1 0) (3.11) di mana 1r1 : tingkat inflasi. Persamaan 3.1 0 dan 3.11 dapat disusun dengan memisahkan variabel endogen (1r dan Y) dengan variabel eksogennya. (3.12) (3.13) atau dalam bentuk matriks Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 38 1t I-I ( -~, -a, ) ( ~: ) = ( :: a4 0 -a4 0 ag- a1 as -ag aiO ) y; i, g, ia, f'::...m,_I (3.14) 3.2 Dampak Kebijakan Makroekonomi 3.2.1 Dampak Kebijakan Fiskal Ana1isis dampak kebijakan fiskal terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi didasarkan pada derivatif persamaan 3.14. Metode penghitungan yang digunakan adalah operasi matrik dengan aturan. Dengan metode tersebut, secara teoritis dampak kebijakan fiskal terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut. Dampak kebijakan fiskal terhadap inflasi diperoleh dengan menderivasikan n1 dalam sistem persaman struktural terhadap g1• (3.15) Dari persamaan 3.15 dapat dinyatakan bahwa transmisi kebijakan fiskal dalam mempengaruhi tingkat inflasi tidak melalui pengaruh langsung, tetapi juga melalui pengaruhnya terhadap pembentukan output. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 39 Sedangkan dampak kebijakan fiskai terhadap pertumbuhan ekonomi diperoieh dengan menderivasikan Yt daiam sistem persaman strukturai terhadap variabei gt. 0 dY, dg, -a6 as -= = I -a3 as I - a3a6 -a6 3.3.2 (3.I6) Dampak Kebijakan Moneter Dengan metode yang sama, dampak kebijakan moneter terhadap intlasi diperoieh dengan menderivasikan 7tt daiam sistem persaman strukturai terhadap it. -a6 (3.17) Sedangkan dampak kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi diperoieh dengan menderivasikan Yt daiam sistem persaman strukturai terhadap it. a9-a6 _ ____,;_ _ a7 dY, _ ....:....__,.--_ di, 1 -a3 -a6 1 = a9- a7 + a4a6 1 - a3a6 (3.18) Secara teoritis persaman 3.17 dan 3.18 menunjukkan bahwa pengaruh kebijakan moneter terhadap pembentukan intlasi dan pertumbuhan ekonomi terjadi meiaiui mekanisme transmisi yang Iebih banyak daripada pengaruh Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _40 kebijakan fiskal. Selain melalui pengaruh langsung, pengaruh kebijakan moneter terhadap intlasi dan pertumbuhan ekonomi ditransmisikan melalui jalur transmisi silang kedua variabel makroekonomi tersebut. 3.2 Tujuan Kebijakan Tujuan kebijakan secara umum adalah memimimumkan fungsi kerugian so sial kuadratik (quadratic social loss function) sebagai berikut : (3.19) Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang (UU) No.3 Tahun 2004 yang merupakan amandemen UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, penetapan sasaran intlasi ditentukan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Sehingga dalam hal ini Bank Indonesia mendapat mandat dari Pemerintah untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter dalam pencapaian sasaran intlasi. Dengan demikian tujuan kebijakan moneter adalah meminimumkan deviasi intlasi dari sasaran yang ditetapkan Pemerintah. . ( mm L6 = f3h " -" Di mana ph > rh. •)2 + Yb (Y- Y •)2 (3.20) Sebenamya penggunaan intlasi sebagai satu-satunya variable yang mempengaruhi monetary policy rule sejalan dengan penerapan kerangka inflation targeting dalam kebijakan moneter di Indonesia (Alamsyah et.al., 2001, dalam Mochtar, 2003). Hasil uji sederhana menunjukkan pula bahwa sejak periode 1998 kebijakan moneter di Indonesia yang tergambar melalui penetapan suku bunga SBI hanya memberikan bobot dan perhatian kepada intlasi dalam kebijakan moneter (Mochtar, 2003). Meskipun demikian dalam analisis ini Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal -----------------41 pertumbuhan ekonomi masih menjadi salah satu pertimbangan dalam kebijakan moneter meskipun dengan proporsi yang rendah. Sedangkan kebijakan fiskal mempunyai tujuan yang sama dengan preferensi parameter yang berbeda. . 1 mmL =f31 (1[-1[•)2 +y1 (Y-Y •)2 (3.21) Dari model persamaan dan fungsi tujuan tersebut akan dibandingkan solusi keseimbangan Nash model permainan Cournot dari tanggapan terbaik masingmasing kebijakan dengan solusi keseimbangan Nash di mana kebijakan fiskal sebagai leader dan kebijakan moneter sebagai follower dalam konteks model permainan Stackelberg. 3.3 Fungsi Tanggapan Kebijakan Terbaik dan Keseimbangan Nash Model Permainan Cournot Solusi keseimbangan Nash model permaman Cournot diperoleh dari meminimumkan fungsi kerugian dengan kendala yang ada. Dari solusi ini didapatkan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang menghasilkan kerugian sosial minimum berdasarkan fungsi tanggapan terbaiknya. Persamaan 3.14 dapat disusun kembali memjadi Sinlrronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _42 ltt-1 r; -a 3 0 -a,o 0 -a4 a9 0 0 as a10 ) r,_, i, i,_, ·' ,, g, tlm,_ 1 (3.22) 7r{ I ( a 1 + a 3a 5 - a 3 f; + a 3a 8g, + a 3Y,_ 1 + a 3a 7i,_1 + a 3 a 10 ~m,_ 1 ) = I - a3a6 +i;(a 3a 9 - a 4) + i,(a4 + a 3(a9- a7)) + ~_,(a2- a3a10) (3.23) a 5 + a 1a 6 + a 8g,- a 3a 6f; + Y,_, + a7i,_ 1 + a 10 ~m,_, ) +i;(a9- a4a6) + i,(a9- a7 + a4a6) +~-I (a2a6- a 10) (3.24) 1 I- a3a6 ( a,+ a 3as- (1- a 3a 6)7t;- a 3r; + a 3a 8g, + a 3 Y1-1 + a 3 a1i1-1 ) +a 3a 10 tlm,_ 1 + i;(a 3a 9 - a 4) + i,(a 4 + a3(a9- a7)) + 7t,_,(a2- a3a 10) (3.25) (3.26) Jadi dalam konteks independensi otoritas kebijakan fiskal secara penuh dan tanpa adanya kerjasama dengan otoritas moneter, kebijakan fiskal yang ideal akan meminimumkan fungsi kerugian sosial L1 pada persaman 3.21 dengan kendala persamaan 3.25 dan 3.26 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _43 Dengan melakukan subtitusi persamaan 3.25 dan 3.26 terhadap fungsi tujuan pemerintah, maka fungsi tujuan menjadi (3.27) Kondisi ordo pertama diperoleh dengan menderivasikan persamaan 3.27 terhadap g 1 , diperoleh fungsi tanggapan terbaik kebijakan fiskal terhadap kebijakan moneter sebagai berikut. (3.28) Jika tidak ada perubahan variabel lain, maka tanggapan kebijakan fiskal terhadap perubahan kebijakan moneter adalah sebagai berikut : dgfR = -(a3~ja4+ a3(a9- a7 )) + yja9- a7 (a~as~1+ asYJ) di, Persamaan + a4a6)) 3.29 menunjukkan persentase perubahan (3.29) pengeluaran pemerintah sebagai akibat perubahan 1 persen tingkat suku bunga yang ditetapkan otoritas moneter jika tidak ada perubahan pada variabellain. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _44 Sedangkan otoritas moneter akan melakukan kebijakan berdasarkan fungsi tanggapan terbaik yang dihasilkan dengan meminimumkan fungsi kerugian sosial pada persamaan 3.20 dengan kendala persamaan 3.25 dan 3.26. . Lb mm =j3b (1r- 1r•)2 + rb (Y- Y •)2 Dengan melakukan subtitusi persamaan 3.25 dan 3.26 terhadap 3.20 maka fungsi tujuan kebijakan moneter menjadi : (3.30) Untuk mendapatkan tingkat kerugian sosial yang minimum, kondisi ordo pertama dari persamaan 3.31 akan menghasilkan fungsi tanggapan terbaik kebijakan moneter terhadap kebijakan fiskal sebagai berikut. (3.31) Jika diasumsikan tidak ada perubahan pada variabel lain, otoritas moneter akan memberikan tanggapan perubahan suku bunga jika terjadi perubahan Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _45 kebijakan pengeluaran pemerintah. Besamya tanggapan kebijakan moneter terhadap perubahan kebijakan fiskal adalah : dirR -((a4 + a3(a9- a1 ))pbaJas + (a9- a1 + a4a6)ybas) dg, = ((a4+a3(a9-a7)) 2Pb+(a9-a7+a4a6) 2yb) (3.32) Dari persamaan 3.28 sebagai fungsi tanggapan terbaik kebijakan fiskal terhadap kebijakan moneter dan 3.33 sebagai fungsi tanggapan terbaik kebijakan moneter terhadap kebijakan fiskal, dapat diperoleh solusi keseimbangan Nash antara kedua kebijakan. Keseimbangan Nash model Coumot diperoleh melalui ekuivalensi dan subtitusi kedua persamaan tersebut. Dengan demikian, keseimbangan Nash model permainan Coumot untuk kebijakan fiskal adalah sebagai berikut : gfOURNOT = gl (. ) - g2 (. ) gJ(.) (3.33) di mana: (3.34) Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal -----------------46 g2(.) = (3.35) ((a4 + a3(a9- a1 )) 2 ~b + (a9- a1 + a4a6) 2yb) ( a~as~J+ asyJ) ( (a3~ja4 + a3(a9- a7 )) + yja9- a1 + a4a6)) ((a4 +a3(a9 -a7))~b(a3as)+(a9 -a1 ) +a4a6)yb(as)) (3.36) Sedangkan keseimbangan Nash model permainan Coumot untuk kebijakan moneter adalah: (3.37) di mana ((a4 + a3(a9 - a1 ))a3as~b + (a9 - a1 + a4a6 )asy b) ( a~as~J+ UsYJ) (3.38) Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal 47 ----------------- (3.39) dan (Ca4 +a3(a9 -a7)) 2Bb +(a9 -a7 +a4a6) 2yb) ( ((a4 + a3(a9- a7 ))a3asBb + (a9- a7 + a4a6)asyb) ) ((a4 + a3(a9- a7 ))a3B1+ (a9- a7 + a4a6)yf) (3.40) 3.4 Keseimbangan Nash Model Permainan Stackelberg Solusi keseimbangan Nash model permainan Stackelberg diperoleh dengan menetapkan kebijakan fiskal sebagai leader dan kebijakan moneter sebagai follower. Dalam hal ini terdapat kerjasama antar otoritas kebijakan dalam mencapai kerugian sosial yang minimum. Proses mendapatkan solusi keseimbangan Nash model permaman Stackelberg dihitung melalui induksi mundur : Pertama, otoritas moneter menentukan fungsi tanggapan terbaik atas kebijakan fiskal. Fungsi tersebut tidak lain adalah persamaan 3.31 di atas. Kedua, otoritas fiskal membuat kebijakan meminimumkan fungsi kerugian sosialnya tunduk pada kendala fungsi tanggapan terbaik kebijakan moneter yang akan dilakukan oleh otoritas moneter. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _48 Jadi tujuan kebijakan pemerintah pada persamaan 3.21 menjadi dengan kendala Subtitusikan fungsi tanggapan terbaik kebijakan moneter tersebut ke dalam persamaan 3.25 dan 3.26 sehingga diperoleh 1 I-UJU6 7t,-n; ( U1 + ClJCls- ClJ r; + UJUHg, + ClJCllo&11 _1 + n; (uJu 6 1 I) ) -ia 1(a 4 +u 3u 9 )+7tl-l(u 2 -uJuiO) = (3 .41) Y,-r;= (3.42) Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _49 Selanjutnya persamaan 3.41 dan 3.42 disubtitusikan ke fungsi tujuan kebijakan pemerintah. Tahap berikutnya adalah menderivasikan fungsi tujuan terhadap g1 sebagai syarat perlu untuk memperoleh solusi keseimbangan Nash model permainan Stackelberg. Hasil dari proses tersebut adalah keseimbangan Nash model permainan Stackelberg untuk kebijakan fiskal, yaitu : gfTACKELBERG = gd (.) + g,z(.) gsJ(.) (3.43) di mana (<a4 + a3(a9- a1)) 2l3h + (a9- a1 + a4a6) 2Yh) ( al+aJas-aJr;+aJalo~m,_l+rri(aJa6-l)) -ia,(a4 + a 3a9) + Tft-1(a 2 - UJU 10) -(a4 + a3(a9 - a1)) gd(.) =- A ( (a4 + a3(a9- a1 ))..,h a1 + a3as- a3r; + aJa 10 ~m,_ 1 + n;(a 3a6- I) ) -ia,(a4 + a 3a9) + 1ft-1<a2- a3a 10) + ( a9- a1 + a4a6 )Yh ( as+a1a6-r;+a10~m,_1 ) -ia,(a9 + a4a6) + Tft-1<a2a6- a 10) (3.44) Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 50 (<a4 + a3(a9- a1 )) 2 ~h + (a9 - a1 + a4a6) 2'Yb) as+ala6-r;+aJO~m,_J ( ) -ia,(a9 + a4a6) +1ft- I(a2a6 -a 10) -(a9( a4 + a3 ( a9 - a1 )) f.l Ph ( a1 + a4a6) a1 +aJas-aJr; +aJaJO~m,_l +1t;(a3a6-l)) -ia,(a4 + a3a9) + 1ft-1(a2- a3a 10) +( a9- a1 + a4a6 )'Yh ( as+ala6-r;+aJO~m,_l ) -ia,(a9 + a4a 6) + Ttr-1 (a2a6 -a 10) (3.45) dan (3.46) Sedangkan solusi keseimbang Nash model Stackelberg untuk kebijakan moneter diperoleh dengan melakukan subtitusi solusi optimal kebijakan fiskal terhadap fungsi tanggapan terbaiknya. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 51 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Estimasi Behavioral Model Struktural Dengan menggunakan software Eviews 4.1 sistem persamaan 3.10 dan 3.11 diestimasi berdasarkan data kuartalan periode 1998:3 sampai dengan 2004:2. Metode estimasi yang digunakan adalah metode Three Stage Least Square (3SLS) sesuai dengan karakteristik model. Pemilihan model diambil dari kombinasi variabel instrumen yang digunakan dalam estimasi 3SLS Hasil estimasi parameter adalah sebagai berikut (selengkapnya lihat lampiran 2) : System: THRSLS155 Estimation Method: Three-Stage Least Squares Sample: 1998:3 2004:2 Included observations: 24 Total system (balanced) observations 48 Linear estimation after one-step weighting matrix C(1) C(2) C(3) C(4) C(5) C(6) C(7) C(8) C(9) C(10) Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. -0.000465 0.577121 1.630034 0.130565 11.28663 0.931900 2.184428 0.038628 1.614096 0.063796 0.009582 0.257439 0.535018 0.132994 0.241572 0.280083 0.235104 0.020327 0.232778 0.124192 -0.048566 2.241774 3.046687 0.981735 46.72155 3.327227 9.291327 1.900311 6.934071 0.513687 0.9615 0.0309 0.0042 0.3324 0.0000 0.0020 0.0000 0.0650 0.0000 0.6104 Dengan demikian estimasi persamaan struktural menjadi ;r, =-0.000465+0.577121;rt-l +1.630034(Y, -Y*,) + 0.130565(i, - ia,) Y, = 11.28663 + 0.931900;r, - 2.184428i, + 0.038628g, + 1.614096 ( i, - ia,) + 0.063 796t1. ( rn,_, - p,_ 1 ) SinA:ronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal (4.1) (4.2) ----------------52 . Berdasarkan model tersebut, pengaruh kebijakan moneter signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan tingkat harga (pada a= 1%). Sedangkan pengaruh kebijakan fiskal terhadap harga dan pertumbuhan ekonomi signifikan pada a=10%. Untuk menganalisis besamya pengaruh kebijakan moneter dan kebijakan fiskal akan diuraikan pada sub bab 4.3. 4.2 Simulasi Preferensi Kebijakan Pada tesis ini, simulasi kebijakan didasarkan pada tingkat preferensi masing-masing otoritas terhadap tujuan stabilitas makroekonomi. Preferensi pemerintah lebih besar dalam mendorong stabilitas pertumbuhan ekonomi dibandingkan stabilitas harga. Sedangkan preferensi Bank Indonesia sesua1 dengan peraturan perundang-undangan adalah pencapaian stabilitas harga. Meskipun demikian pada tesis ini menggunakan dua model simulasi. Simulasi pertama (Model 1) mengasumsikan bahwa masing-masing otoritas kebijakan berpegang kuat pada tujuan utama kebijakan. Dalam hal ini bobot untuk fungsi kerugian sosial bagi pemerintah adalah 0 untuk stabilitas harga dan I untuk stabilitas pertumbuhan ekonomi. Sedangkan bobot untuk fungsi kerugian sosial Bank Indonesia adalah 1 untuk stabilitas harga dan 0 untuk stabilitas pertumbuhan ekonomi. Tabel 4.1 Simulasi Preferensi Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Pemerintah Bank Indonesia Simulasi Pi Y! /3b Yb Model 1 0 1 1 0 Model2 1 2 2 1 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 53 Simulasi kedua (Model 2) mengasumsikan bahwa masing-masing otoritas kebijakan tetap memperhatikan stabilitas makroekonomi secara keseluruhan dengan bobot yang berbeda. . Dalam hal ini bobot untuk fungsi kerugian sosial bagi pemerintah adalah 1 untuk stabilitas harga dan 2 untuk stabilitas pertumbuhan ekonomi. Sedangkan bobot untuk fungsi kerugian sosial Bank Indonesia adalah 2 untuk stabilitas harga dan 1 untuk stabilitas pertumbuhan ekonomi. 4.3 Dampak dan Tanggapan Kebijakan Fiskal Berdasarkan perilaku model struktural di atas, dampak setiap kebijakan dapat dihitung berdasarkan persamaan 3.15 sampai dengan persamaan 3.18. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa setiap kenaikan 1 persen belanja pemerintah, pertumbuhan ekonomi akan meningkat 0,074 persen. Di sisi lain, setiap kenaikan belanja pemerintah sebesar 1 persen akan meningkatkan inflasi 0, 121 persen. Grafik 4.1 Scatter Plot Antara Pengeluaran Pemerintah (G) dengan Tingkat Harga dan PDB (Y) Pvs.G Yvs.G 5.0 11.68 4.9 11.64 0 0 11.60 0 0 4.8 11.56 0.. 4.7 4.6 >8 0 0 11.48 0 0 4.5 4.4 10.4 11.52 11.44 10.8 11.2 G 11.6 12.0 0 0 11.40 10.4 10.8 11.2 11.6 12.0 G Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 54 Berdasarkan angka tersebut, kenaikan belanja pemerintah akan mendorong laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi dampak terhadap kenaikan harga lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai. Besamya tanggapan perubahan kebijakan fiskal hila terjadi perubahan kebijakan moneter dengan asumsi tidak ada perubahan pada variabel lain berdasarkan simulasi model 1 adalah 5,81. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan suku bunga yang ditetapkan bank sentral sebesar 1 persen, pemerintah llkan meningkatkan pengeluarannya sebesar 5,81 persen. Sedangkan jika menggunakan simulasi model 2, pemerintah akan menanggapi dengan kenaikan pengeluaran sebesar 6, 11 persen untuk setiap 1 persen kenaikan suku bunga Bank Indonesia. 4.4 Dampak dan Tanggapan Kebijakan Moneter Sedangkan dampak kebijakan moneter -dalam hal ini adalah penentuan suku bunga SBI- terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi berdasar metode di atas adalah sebagai berikut. Setiap kenaikan suku bunga 1 persen mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,86 persen. Sementara keuntungan setiap peningkatan suku bunga 1 persen adalah menurunnya tingkat inflasi sebesar 0,21 persen. Dari data ini dapat dinyatakan bahwa suku bunga yang terlalu tinggi akan merugikan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan keuntungannya adalah inflasi yang lebih rendah tetapi dengan proporsi yang lebih kecil dibandingkan kerugiannya. Dengan demikian meskipun tugas utama bank sentral adalah pengendalian tingkat Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _ _ _ _ _ _ _ _ _ 55 harga, tetapi perhatian terhadap pengaruh negatif kebijakan moneter seharusnya tidak diabaikan. Besamya tanggapan perubahan kebijakan moneter bila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah dengan asumsi tidak ada perubahan pada variabel lain berdasarkan simulasi model 1 adalah 0,08. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan pengeluaran pemerintah 1 persen, maka Bank Indonesia akan meningkatkan suku bunganya sebesar 0,0788 persen. Sedangkan jika menggunakan simulasi model 2, Bank Indonesia akan meningkatkan suku bunga sebesar 0,0798 persen setiap 1 persen kenaikan pengeluaran pemerintah. Dari tanggapan masing-masing otoritas kebijakan dapat dinyatakan bahwa fungsi tanggapan terbaik dari kedua otoritas bemilai positif pada saat variabel yang lain tetap. Artinya, pemerintah akan meningkatkan pengeluaran pemerintahnya hila Bank Indonesia meningkatkan suku bunga pada saat tidak ada perubahan variabel lain. Demikian pula sebaliknya, Bank Indonesia akan meningkatkan suku bunganya apabila pemerintah meningkatkan pengeluarannya. Meskipun demikian, derajat peningkatan masing-masing kebijakan akibat kenaikan pada kebijakan yang lain sangat berbeda. Dalam hal ini pemerintah lebih responsif daripada Bank Indonesia. 4.5 Estimasi PDB, Tingkat Inflasi dan Tingkat Kerugian Sosial Untuk mendapatkan perkiraan tingkat kerugian sosial dilakukan estimasi terhadap PDB dan tingkat inflasi pada level riil, keseimbangan Nash model permainan Coumot dan keseimbangan Nash model permainan Stackelberg. Nilai- Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 56 nilai ini diperoleh dengan tingkat pengeluaran pemerintah dan suku bunga SBI pada ketiga level sedangkan variabel yang lain dianggap tetap. Hasil estimasi PDB dan tingkat harga berdasarkan simulasi model 1 disajikan pada Tabel4.2. Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa pada estimasi PDB pada level riil lebih tinggi daripada nilai estimasi PDB pada keseimbangan Nash model permainan Coumot dan model permainan Stackelberg, tetapi mempunyai fluktuasi yang lebih besar. Tetapi di sisi lain tingkat inflasi yang dihasilkan pada level riil juga jauh lebih besar daripada keseimbangan Nash model permainan Coumot maupun model permainan Stackelberg. Tabel 4.2 Estimasi Inflasi dan PDB menurut Kuartal, Simulasi Model 1 Riil Kuartal 7[ 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 4 I 2 3 4 I 0 3 4 I 2 3 4 1 2 3 4 I 2 3 4 I 2 0.0734 0.1489 0.0267 -0.0629 -0.0039 -0.1050 0.0626 0.0528 0.0238 0.0472 0.0241 0.0081 -0.0805 0.0180 0.0001 0.0472 -0.0182 0.0487 0.0445 0.0191 0.0016 0.0658 0.0617 Coumot y 11.4100 11.5123 11.4570 11.4376 11.4884 11.4288 11.5318 11.5379 11.5242 11.5439 11.5367 11.5357 11.4864 11.5605 11.5541 11.6068 11.5743 11.6230 11.6332 11.6360 11.6335 11.6794 11.6888 7[ 0.0285 0.0280 0.0275 0.0269 0.0264 0.0259 0.0254 0.0250 0.0247 0.0243 0.0240 0.0237 0.0233 0.0230 0.0227 0.0224 0.0221 0.0218 0.0216 0.0215 0.0214 0.0214 0.0214 y 11.4535 11.4613 11.4693 11.4774 11.4857 11.4943 11.5030 11.5119 11.5210 11.5302 11.5396 11.5491 11.5587 11.5685 11.5783 11.5883 11.5983 11.6083 11.6184 11.6286 11.6387 11.6488 11.6590 Stackelberg y 7[ 0.0285 0.0280 0.0275 0.0269 0.0264 0.0259 0.0254 0.0250 0.0247 0.0243 0.0240 0.0237 0.0233 0.0230 0.0227 0.0224 0.0221 0.0218 0.0216 0.0215 0.0214 0.0214 0.0214 11.4535 11.4613 11.4693 11.4774 11.4857 11.4943 11.5030 11.5119 11.5210 11.5302 11.5396 11.5491 11.5587 11.5685 11.5783 11.5883 11.5983 11.6083 11.6184 11.6286 11.6387 11.6488 11.6590 Potensial n* 0.0285 0.0280 0.0275 0.0269 0.0264 0.0259 0.0254 0.0250 0.0247 0.0243 0.0240 0.0237 0.0233 0.0230 0.0227 0.0224 0.0221 0.0218 0.0216 0.0215 0.0214 0.0214 0.0214 Y* 11.4535 11.4613 11.4693 11.4774 11.4857 11.4943 11.5030 11.5119 11.5210 11.5302 11.5396 11.5491 11.5587 11.5685 11.5783 11.5883 11.5983 11.6083 11.6184 11.6286 11.6387 11.6488 11.6590 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 57 Tingkat kerugian sosial untuk . . masmg-masmg otoritas kebijakan berdasarkan simulasi model 1 disajikan pada Tabel 4.3. Kolom (2) dan kolom (3) merupakan tingkat kerugian riil untuk pemerintah (F) dan Bank Indonesia (B). Sedangkan kolom (4) dan kolom (5) adalah tingkat kerugian sosial pada keseimbangan Nash model permainan Cournot. Kolom (6) dan kolom (7) adalah tingkat kerugian sosial yang didasarkan pada keseimbangan Nash model permainan Stackelberg. Tabel 4.3 Tingkat Kerugian Sosial menurut Kuartal dan Jenis Kerugian tiap Otoritas, Simulasi Model 1 Riil Kuartal {I) 1998 1999 2000 4 1 2 3 4 1 2 3 4 2001 2002 2 3 4 I 2 3 4 2003 2004 Total Loss 2 3 4 1 2 F (2) 0.001899 0.002604 0.000151 0.001582 7E-06 0.004284 0.00083 0.000678 l.04E-05 0.000189 8.39E-06 0.000178 0.005232 6.33E-05 0.000588 0.000345 0.000575 0.000216 0.000219 5.59E-05 2.69E-05 0.000937 0.000886 0.021566 8 (3) 0.002021 0.014621 6E-07 0.008054 0.000912 0.017119 0.001383 0.000769 7.29E-07 0.000524 l.l6E-08 0.000242 0.010783 2.47E-05 0.000509 0.000616 0.001624 0.000721 0.000523 5.83E-06 0.000391 0.001973 0.001632 0.06445 Coumot F (4) 1.26E-29 2.84E-29 1.26E-29 2.84E-29 0 3.16E-30 0 3.16E-30 l.26E-29 0 3.16E-30 3.16E-30 3.16E-30 0 3.16E-30 3.16E-30 l.26E-29 2.84E-29 0 0 l.26E-29 3.16E-30 3.16E-30 l.77E-28 8 (5) 2.5E-31 2.7E-30 5.9E-32 3.02E-30 4.28E-30 l.29E-30 4.61 E-30 6.17E-30 l.4E-29 5.02E-30 l.63E-30 4.73E-30 5.83E-31 3.9E-31 2.88E-30 2.91E-30 6.34E-30 4.26E-30 l.02E-30 4.33E-30 l.27E-29 3.27E-30 l.l8E-29 9.83E-29 Stackelberg F (6) 1.26E-29 2.84E-29 1.26E-29 1.26E-29 3.16E-30 3.16E-30 3.16E-30 3.16E-30 3.16E-30 3.16E-30 0 3.16E-30 3.16E-30 0 3.16E-30 3.16E-30 3.16E-30 l.26E-29 0 3.16E-30 3.16E-30 l.26E-29 l.26E-29 l.45E-28 8 (7) 5.308E-33 4.345E-33 7.704E-34 7.704E-34 l.204E-33 l. 733E-33 l.083E-34 7.704E-34 0 3.479E-33 4.815E-35 3.009E-34 l.926E-34 l. 733E-33 l.926E-34 l.204E~35 l.204E-35 4.333E-34 3.009E-34 l.204E-35 5.826E-33 l.083E-34 l.204E-33 2.886E-32 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 58 Dari Tabel 4.3 dapat dinyatakan bahwa tingkat kerugian sosial pemerintah pada tingkat riil lebih besar daripada tingkat kerugian sosial Bank Indonesia. Pelaksanaan kebijakan masih jauh dari kondisi keseimbangan Nash model permainan Coumot maupun model permainan Stackelberg. Selain itu tingkat kerugian pada keseimbangan Nash model permainan Coumot lebih besar daripada tingkat kerugian model permainan Stackelberg. Artinya pada saat pemerintah dan Bank Indonesia berkoordinasi dalam menentukan kebijakannya akan lebih baik jika dibandingkan kondisi optimum tetapi tidak berkoordinasi. Dalam hal ini pemerintah dan Bank Indonesia nampak kurang koordinasi dalam pengambilan kebijakannya. Berdasar simulasi model 1 ini, meskipun pemerintah dan Bank Indonesia menetapkan tujuan kebijakan secara fokus, tetapi tingkat kerugian sosial yang diperoleh pada level riil masih cukup besar karena tidak adanya koordinasi. Grafik 4.2a Fluktuasi Tingkat Kerugian Sosial Simulasi Model 1 --1 0.02 : I 0.02 I ~~---~.---------------- -RiiiF I I 001 0.01 t - - - - J ' - - l t - - 1 + - - - + - - - + - - - - - 1 - + - - - - - - - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 0.00 _j Grafik 4.2 memperlihatkan tingkat kerugian sosial pada level riil, keseimbangan Nash model permainan Coumot dan model permainan Stackelberg. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal ----------------59 Pada level keseimbangan Nash model permainan Coumot dan model permainan Stackelberg garis kurva berimpit dengan sumbu nol. Sedangkan pada data empiris selama 24 kuartal nilainya bertluktuasi, tetapi terlihat terdapat siklus 4 kuartalan. Hal ini terkait dengan kebijakan fiskal yang bersifat periodik. Di awal tahun pengeluaran pemerintah relatif kecil, sedangkan di akhir tahun pengeluaran pemerintah lebih besar. Untuk melihat perbandingan antara keseimbangan Nash model permainan Coumot dengan model permainan Stackelberg, skala sumbu vertikal diperkecil sebagaimana Grafik 4.2b. ---~--------------------- Grafik 4.2b Fluktuasi Tingkat Kerugian Sosial Simulasi Model 1 -RiiiF -+-RiiiB -coumotF -coumotB , - - Stackelberg F I I -stackelber~ 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 '------------------------~-~----- ------- Tabel 4.4 menyajikan tingkat kerugian sosial berdasarkan simulasi model 2. Jika dibandingkan antara simulasi model 1 dan simulasi model 2, terlihat bahwa tingkat kerugian sosial pada simulasi model 2 lebih besar daripada tingkat kerugian sosial pada simulasi model 1. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan meminimalkan kerugian sosialnya, koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia semestinya didasarkan pada tujuan utama kebijakan masingmasing. Dalam hal ini tujuan pemerintah adalah menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, sedangkan tujuan Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas harga. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal ---------------- 60 . . Jika masmg-masmg otoritas melakukan kebijakan sesuai dengan fungsi tanggapan terbaiknya, maka kondisi optimum yaitu keseimbangan Nash model permainan Coumot akan dapat dicapai dengan tingkat kerugian yang cukup kecil. Selisih tingkat kerugian sosial antara kondisi riil dengan keseimbangan Nash model permainan Coumot maupun model permainan Stackelberg yang besar menunjukkan pentingnya koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tabel 4.4 Tingkat Kerugian Sosial menurut Kuartal dan Jenis Kerugian tiap Otoritas, Simulasi Model 2 Riil Kuartal F (2) (I) 1998 1999 2000 2001 4 I 2 3 4 1 0 3 4 1 2 3 4 2002 2003 2 3 4 I 2 3 4 2004 Total Loss I 2 0.005819 0.019828 0.000302 0.011218 0.000926 0.025688 0.003043 0.002126 2.16E-05 0.000902 1.68E-05 0.000598 0.021247 0.000151 0.001685 0.001306 0.002774 0.001I54 0.000962 O.OOOII8 0.000445 0.003847 0.003404 0.107581 Stackelberg Coumot 8 (3) 0.005941 0.031845 0.000152 0.01769 0.001832 0.038522 0.003595 0.002217 1.19E-05 0.001238 8.42E-06 0.000662 0.026798 0.000113 0.001605 0.001578 0.003824 0.001658 O.OOI265 6.75E-05 0.000809 0.004884 0.004I5 0.150465 F (4) 2.53E-29 1.03E-29 6.52E-29 7.03E-29 1.39E-28 4.4E-29 8.12E-30 2.4E-29 2.46E-28 5.92E-29 9.14E-29 9.75E-29 9.86E-30 3.76E-29 9.88E-29 2.86E-28 1.62E-28 5.6IE-29 3.26E-29 1.7E-28 4.03E-29 3.03E-29 I.64E-28 1.97E-27 8 (5) 1.27E-29 l.IIE-29 1.21 E-28 1.03E-28 1.27E-28 7.85E-29 6.78E-30 3.85E-29 3.4E-28 3.32E-29 1.45E-28 l.lE-28 1.03E-29 3.73E-29 1.12E-28 3.36E-28 2.38E-28 7.44E-29 5.57E-29 1.88E-28 4.28E-29 2.28E-29 1.77E-28 2.42E-27 F (6) 2.52E-29 2.53E-29 2.53E-29 2.54E-29 6.44E-30 6.39E-30 6.39E-30 6.43E-30 6.41E-30 6.45E-30 1.35E-31 6.31E-30 6.41E-30 6.24E-32 6.38E-30 6.38E-30 6.31E-30 6.36E-30 I.56E-32 6.32E-30 6.37E-30 2.53E-29 6.35E-30 2.22E-28 8 (7) 1.262E-29 1.268E-29 1.28E-29 1.295E-29 3.411E-30 3.313E-30 3.31E-30 3.401E-30 3.359E-30 3.441E-30 2.705E-31 3.156E-30 3.346E-30 1.248E-31 3.284E-30 3.294E-30 3.16E-30 3.251E-30 3.I2E-32 3.I77E-30 3.277E-30 1.275E-29 3.234E-30 1.136E-28 Pemilihan sasaran inflasi sebagai satu-satunya tujuan kebijakan moneter sesuai dengan Inflation Targetting Framework (ITF) yang merupakan sebuah Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 61 kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Simulasi model 1 menunjukkan bahwa kredibilitas moneter akan diperoleh jika target inflasi dapat dicapai dan masyarakat mempercayai dalam pembentukan ekspektasi inflasinya. Penetapan tujuan tunggal kebijakan moneter tersebut dapat membuat Bank Indonesia lebih dipercaya karena akan memperjelas pengukuran Jan pertanggungjawabannya. Selain itu penekanan tujuan utama kebijakan moneter jangka panjang pada kestabilan harga yang dianut dalam ITF didasarkan pada alasan sebagai berikut : 1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter IT didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut : • Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound). • Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004. • Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter. • Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output. • Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target. 2. Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal ----------------- 62 maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation). 3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang Penyebabnya, karena tingkat berkelanjutan inflasi (suistanable berkorelasi growth). positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan. Secara institusional, penerapan ITF memerlukan beberapa persyaratari, di antaranya adalah independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneternya dan tidak ada fiscal dominace, yaitu adanya larangan atau batasan yang ketat atas pembiayaan defisit anggaran oleh bank sentral.. Di sisi lain, sesuai Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _63 dengan UU No.3/2004, sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah (goal dependence) setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Terkait dengan penetapan target inflasi perlu disepakati jenis indikator inflasi yang digunakan, yaitu IHK (headline inflation) atau inflasi yang dapat dikendalikan kebijakan moneter (core inflation). IHK lebih mudah dipahami .nasyarakat, akan tetapi terdapat komponen yang tidak dapat dipengaruhi kebijakan moeneter, seperti supply shocks dan administered prices. Apabila indikator ini digunakan, perlu ada rumusan yang jelas mengenai asumsi dalam penentuan target inflasi. Sedangkan inflasi inti lebih terkait dan dapat dipengaruhi kebijakan moneter. Dengan demikian koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tidak saJa terkait dengan besaran variabel kebijakan, tetapi juga koordinasi dalam penetapan target pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta variabel indikator yang z.kan digunakan. Pentingnya keterlibatan Pemerintah dalam menetapkan inflasi didasarkan pada pertimbangan beberapa faktor. Pertama, tidak semua sumber inflasi di bawah kendali kebijakan Bank Indonesia. Kebijakan pemerintah turut menyumbang inflasi, diantaranya adalah penetapan administered price, upah minimum regional, gaji pegawai negeri, kebijakan di bidang produksi sektoral, perdagangan domestik dan tata niaga impor. Kebijakan pemerintah lainnya (misalnya di bidang politik, keamanan, dan penegakan hukum) juga secara tidak langsung turut p~ngendalian mempengaruhi inflasi. Kedua, kebersamaan komitmen inflasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia di atas kertas akan menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel, karena menjadi "milik bersama". Jika Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal 64 ----------------- sasaran inflasi sangat kredibel, dalam arti Bank Indonesia dan Pemerintah dinilai akan mampu mencapainya, para pelaku ekonomi akan menyamakan perkiraan inflasi mereka dengan angka sasaran inflasi tersebut. Bila kondisi ini terjadi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan lebih mudah menurunkan dan menstabilkan inflasi dalam jangka menengah dan panjang, tanpa harus menelan biaya kebijakan yang terlalu besar. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal ------------------ 65 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dalam perekonomian terbuka, permasalahan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter menjadi sangat komplek. Perubahan kebijakan tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dalam negeri, tetapi juga dipengaruhi oleh perubahan makroekonomi luar negeri seperti perubahan harga minyak, tingkat suku bunga dan tingkat harga di luar negeri. Berdasarkan analisis data empms yang diterapkan pada model yang digunakan pada penelitian ini, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam perekonomian terbuka berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat harga dengan proporsi pengaruh yang berbeda. Besamya perbedaan antara tingkat kerugian pada kondisi riil dengan kondisi keseimbangan Nash model permainan Coumot dan model permainan Stackelberg menunjukkan bahwa selama periode penelitian, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter belum terkoordinasi dengan baik. Sedangkan tingkat kerugian sosial yang sangat kecil pada model permainan Stackelberg menunjukkan bahwa kebijakan yang dikoordinasikan. dengan tepat sesuai dengan perkembangan perubahan setiap variabel yang ada akan menghasilkan tingkat kerugian sosial yang minimum. Untuk meminimumkan tingkat kerugian sosial, pemerintah dan Bank Indonesia perlu menetapkan tujuan utama kebijakannya sebagai satu-satunya tujuan kebijakan. Dalam hal ini kebijakan Bank Indonesia lebih fokus dalam Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _66 pencapaian stabilitas harga, sedangkan kebijakan pemerintah lebih fokus dalam pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan tanggapan yang akan diberikan Bank Indonesia. Koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tidak saja terkait dengan besaran variabel kebijakan, tetapi juga koordinasi dalam penetapan target pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta variabel indikator yang akan digunakan. 5.2 Implikasi Kebijakan Untuk menganalisis koordinasi kebijakan fiskal dan moneter dengan tepat dan menyeluruh, diperlukan sistem analisis dengan model yang lengkap dan akurat. Dengan model yang lengkap, perubahan pada suatu variabel dapat diantisipasi dengan kebijakan yang tepat. Selain itu diperlukan penaksiran parameter model yang akurat karena akan mempengaruhi besaran kebijakan yang perlu dilakukan. Tesis ini mengeksplorasi bentuk koordinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal berdasarkan model struktural yang disederhanakan. Variabel k~bijakan yang digunakan dalam tesis ini hanya total belanja negara untuk kebijakan fiskal dan suku bunga SBI untuk kebijakan moneter. Lebih detail lagi perlu dianalisis dampak setiap variabel kebijakan fiskal (seperti pajak, surat utang negara, dan subsidi) dan variabel kebijakan moneter serta bentuk koordinasi yang dapat dilakukan. Selain itu, model makroekonomi yang digunakan pada tesis ini diasumsikan sama. Pada kenyataannya pemerintah dan Bank Indonesia mempunyai sistem Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _67 kebijakan yang didasarkan pada model yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sistem koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dengan model kebijakan yang berbeda tersebut. Kelemahan lain dari tesis ini adalah keterbatasan banyaknya sampel data yang diaplikasikan ke dalam model. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa analisis dilakukan setelah melalui puncak periode krisis ekonomi. Demikian pula rezim nilai tukar yang dianalisis adalah rezim nilai tukar mengambang bebas. Selain itu, tidak semua data untuk periode 2004:3 sampai dengan penulisan tesis ini tersedia untuk semua variabel. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel data yang lebih banyak untuk mendapatkan estimasi parameter yang Jebih akurat. Terkait dengan koordinasi kebijakan, perlu dibentuk dan diperkuat tim pengendalian stabilitas makroekonomi, yang terdiri dari unsur Pemerintah dan Bank Indonesia yang bertugas untuk mengusulkan sasaran-sasaran kebijakan, mengevaluasi perkembangan variabel makroekonomi dan merekomendasikan kebijakan yang perlu diambil Pemerintah dan Bank Indonesia sehingga menjadikan sasaran kebijakan sebagai sasaran yang kredibel. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _68 Daftar Pustaka Carlberg, Michael. "Monetary and Fiscal Policy Interactions in the Euro Area" , Maret 2004 Chamberlin, Graeme; Hall, Stephen; Henry, Brian dan Vines, David. "Coordinating Monetary and Fiscal Policies in an Open Economy". May 2002 Choy, Seonghoon dan Moreno, Antonio. "A Structural Estimation and Interpretation of the New Keynesian Macro Model." Working Paper, 2002 Gibbons, Robert. Game Theory for Applied Economists, Princeton University Press, 1992. Hastiadi, Fithra Faisal. "Arti Penting Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Era Independensi Bank Indonesia", Laporan Akhir, FE UI, Depok, Mei 2005 Iwamoto, Yasushi. "Interaction between Monetary and Fiscal Policy and the Policy Mix Theoretical Consideration and Japanese Experience". Working Paper. 2005 Lambertini, Luca dan Rovelli, Ricardo. "Monetary and Fiscal Policy Coordination and Macroeconomic Stabilisation, A Theoritical Analysis". Mei 2004 Mochtar, Firman. "SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi". Buletin Ekonomi dan Perbankan, September 2003, 10(2) hal. 56. Muscatelli, V.Anton; Tirelli, Patrizio dan Trecroci, Carmine. "Fiscal and Monetary Policy Interactions: Empirical Evidence and Optimal Policy using a Structural New Keynesian Model". July 2003. Santoso, Bagus, Studi Manajemen Utang Luar Negeri dan Dalam Negeri Pemerintah dan Assessment Terhadap Optimal Borrowing, Laporan Akhir Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Badan Analisa Fiskal, 2004. Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _________69 Santoso, Wijoyo dan Iskandar, "Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Yang Fleksibel (Konsiderasi kemungkinan penerapan inflation targeting di Indonesia), Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 2 No.2, September 1999. Semmler, Willi dan Zhang, Wenlang. "Monetary and Fiscal Policy Interactions: Some Empirical Evidence in the Euro-Area" Maret 2003 Staudinger, Sylvia. "Monetary and Fiscal Policy Interaction in the EMU". 2003 Subiyantoro, Heru dan Riphat Singgih. Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Kompas, 2004 Sudiyono R, Ekonomi Makro : Ana/isis IS-LM dan Permintaan-Penawaran Agregat. Liberty, 1985. Torres, Rene Cabral. "Monetary and Fiscal Policy Coordination for Small Open Economies in a Monetary Union." Discussion Papers, Agustus 2005 Trihadmini, Nuning. Ana/isis Determinan Inflasi di Indonesia Periode 1988-2002. Universitas Indonesia, 2004 Watjiyo, Perry. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah Pengantar, PPSK Bank Indonesia, 2004 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _________70 Lampiran I ldentifikasi Model SQM Dalam sistem persamaan simultan terdapat 2 jenis variabel, yaitu determined variables (variabel endogen) dan predetermined variables (yaitu variabel eksogen dan lag variabel endogen). Untuk mengetahui apakah suatu persamaan dalam sistem persamaan dapat diidentifikasi atau tidak, hams diidentifikasi syarat perlu (necessary condition) dan syarat cukup (sufficient _ondition) dari suatu persamaan. Syarat perlu teridentifikasinya suatu persamaan adalah jumlah variabel predetermined yang ada dalam sistem tetapi tidak ada dalam persamaan hams paling tidak sama dengan jumlah variabel endogen dalam sistem yang ada dalam persamaan tersebut dikurangi satu. Misalkan K = jumlah variabel predetermined yang ada dalam sistem persamaan k = jumlah variabel predetermined yang ada dalam suatu persamaan M = jumlah variabel endogen dalam sistem yang ada dalam persamaan Maka kriteria identifikasi suatu persamaan adalah sebagai berikut : Jika K-k < M-1 maka persamaan unidentified Jika K-k = M-1 maka persamaan just identified Jika K-k > M-1 maka persamaan over identified Berdasarkan persaman stmktural SQM, maka Kriteria Keterangan 1. Kurva Philip II> 2 over identified 2. Kesenjangan Output 10 > 0 over identified 3. Permintaan Agregat 8>3 over identified 4. Real Money Balance 11 > 2 over identified 5. lnflasi Impor 14 > 1 over identified 6. Nilai Tukar 13 > 0 over identified Persamaan Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal _ _ _ _ _ _ _ _ _7I Proses identifikasi berikutnya adalah terpenuhinya syarat cukup, yaitu teridentifikasinya syarat rank (Rank Condition) matriks koefisien persamaan struktural. ldentifikasi ini diperlukan karena syarat perlu yang telah diidentifikasi masih memungkinkan bahwa suatu persamaan tidak teridentifikasi. Hal ini bisa terjadi karena variabel eksogen yang dikeluarkan dari persamaan tetapi ada dalam model mungkin tidak semuanya independen, sehingga mungkin tidak ada hubungan satu-satu antara koefisien struktural dengan koefisien bentuk reduksinya. Akibatnya parameter struktural mungkin tidak bisa ditaksir dari koefisien bentuk reduksi. Sehingga dalam proses identifikasi, baik syarat perlu dan syarat cukup, keduanya dilakukan. Persamaan struktural SQM dapat diuraikan dalam bentuk : r; = a 1 + a2f1Pt-l + a3p; + a4 Y;- a4 + as!lwpi, Y,= a6 + a7 Y,- a7 r;_, - asi,- a9w, +a 10ot-J Y,- Y,_,-= a11 +a,2!lY,_, -al3i,+a,4g,-a,se,+a,6o,+a,7!lm,-al7p,+al7p,_, m,-p, = a,s +a,9(m,_, -p,_,)+a2oY,-a2,!li,-a22p,+a22Pt-l !lwpi, = a23 + a24e, + a2stlp; e, = a26- a27{i,- i;) p,- Pt-l r; atau Pt- Pt-1 -a 1 - a2!lp1-1 - a3p; - a4 Y, + a4 Y, - as!lwpi, = 0 Y,- Y,- a6- a7Y, + a7Y,_, + asi, + a9w,- a,oo,_J = 0 Y,- Y,_, -a'' -a 12!lf1-1 +a 13i,- a 14g, +a 1se,- a 160,- a 17m,+ a 17m,_, +a 17Pt- a 17Pt-l = 0 m,- p,- a 18- a 19m,_, +a 19Pt-l - a2oY, + a21 i,- a21 i1-1 + a22p,- a22P1-1 = 0 !lwpi,- a23 - a24e,- a2sllPi = 0 e,- a26 + a27i,- a21ii = 0 atau dalam bentuk matrik koefisien persamaan struktural : Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _72 !lpt-1 Y,_l !!Yt-1 p; r; 0 -az 0 -a3 a4 i, i,_l o, o,_3 m,_l !lp; w, g, i'I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -l as 0 0 -a1o 0 0 a9 0 0 -al2 0 0 a13 0 -al6 0 al7 0 0 -al4 0 0 0 0 0 a21 -a21 0 0 -a19 0 0 0 0 c p, Y, m, !lwpi, e, Pt-1 -al l -a4 0 -as 0 0 -a6 0 l - a7 0 0 0 0 0 a1 0 -a11 al7 l -a11 0 a15 -a17 0 -l -azo l 0 0 a19- a22 0 -a 18 a22- l -a23 0 0 0 l -az4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -azs 0 0 0 -az6 0 0 0 0 l 0 0 0 0 0 0 a21 0 0 0 0 0 0 0 -an Berdasarkan matriks koefisien tersebut dapat disusun suatu matriks yang tidak mengandung variabel pada suatu persamaan. Matriks tersebut beserta rank (diolah menggunakan software Scientific WorkPlace) adalah sebagai berikut: Untuk persamaan Kurva Philips 0 0 0 a7 0 as 0 0 -a to 0 0 a9 0 0 -a17 a1s -a17 -1 -a12 a13 0 -ai6 0 a17 0 0 -a14 0 1 0 a19-a22 0 0 a21 -a21 0 0 -a19 0 0 0 0 0 -a24 0 0 0 0 0 0 0 0 -a2s 0 0 0 0 1 0 0 0 a27 0 0 0 0 0 0 0 -a27 I. rank= 5 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal 73 Persamaan Kesenjangan Output 0 -as 0 0 -a2 0 -a3 0 0 0 0 0 0 a17 -a17 0 a1s -a17 0 -a12 0 0 -ai6 al7 0 -a14 0 a22- 1 1 0 0 a19- a22 0 0 0 -a21 0 -a19 0 0 0 0 0 1 -a24 0 0 0 0 0 0 0 -a2s 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -a27 I. rank= 5 Persamaan Permintaan Agregat -as -a2 -a3 a4 0 0 0 0 0 0 -a1o 0 a9 0 0 0 0 0 0 0 0 -a21 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 -a2s 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -1 J. rank= 5 0 -a27 Persamaan Real Money Balance (M/P) -as 0 -a2 0 0 0 0 0 a1 0 0 0 a1s 0 -1 -a12 0 1 -a24 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -a1o 0 a9 0 0 0 -al6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -a3 a4 -1 0 -a14 0 -a2s 0 0 0 0 0 0 -a21 I. rank= 5 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal 74 Persamaan Inflasi Impor -a4 0 0 -a2 0 0 0 1- a7 0 0 0 a7 0 a17 1 -a17 -a17 0 -1 -a2o 1 a 19- a22 0 0 0 0 0 a22- 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 . -1 ag 0 0 -a1o 0 a9 0 0 -a12 0 0 al3 0 -al6 0 al7 0 -al4 0 0 0 0 0 a21 -a21 0 0 -a19 0 0 0 0 0 0 0 a21 0 0 0 0 0 0 -a27 -a3 a4 I. rank= 5 Persamaan Nilai Tukar 1 -a4 0 -a5 0 -a2 0 0 -a3 a4 0 0 0 0 0 0 0 0 1- a7 0 0 0 0 a7 0 0 -1 0 0 -a1o 0 0 a9 0 a17 1 -a17 0 -a17 0 -1 -a12 0 0 0 -al6 0 al7 0 0 -a14 a22-1 -a2o 1 0 a 19- a22 0 0 0 0 0 -a21 0 0 -a19 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -a25 0 0 I. rank= 5 Berdasarkan matriks dan rank tersebut dapat dinyatakan bahwa semua persamaan dalam sistem memenuhi syarat cukup, sehingga semua persamaan dapat diidentifikasi Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal 75 Lampiran 2 System: THRSLS155 Estimation Method: Three-Stage Least Squares Date: 01/18/06 Time: 07:49 Sample: 1998:3 2004:2 Included observations: 24 Total system (balanced) observations 48 Linear estimation after one-step weighting matrix C(1) C(2) C(3) C(4) C(5) C(6) C(7) C(8) C(9) C(10) Coefficient Std. Error t-Statistic Pro b. -0.000465 0.577121 1.630034 0.130565 11.28663 0.931900 2.184428 0.038628 1.614096 0.063796 0.009582 0.257439 0.535018 0.132994 0.241572 0.280083 0.235104 0.020327 0.232778 0.124192 -0.048566 2.241774 3.046687 0.981735 46.72155 3.327227 9.291327 1.900311 6.934071 0.513687 0.9615 0.0309 0.0042 0.3324 0.0000 0.0020 0.0000 0.0650 0.0000 0.6104 Determinant residual covariance 1.50E-07 Equation: DP=C( 1)+C(2)*DP( -1 )+C(3)*(Y-YP)+C(4 )*(I-lA) Instruments: DP(-1) PA(-1) DMP(-1) G1 E(-1) 0 DWPI YP(-1) Observations: 24 0.458893 Mean dependent var R-squared 0.377727 S.D.dependentvar Adjusted R-squared 0.029340 Sum squared resid S.E. of regression 2.126427 Durbin-Watson stat lAC 0.026548 0.037194 0.017217 Equation: Y=C(5)+C(6)*DP-C(7)*1+C(8)*G+C(9)*(1-IA)+C(1 O)*DMP(-1) Instruments: DP(-1) PA(-1) DMP(-1) G1 E(-1) 0 DWPI YP(-1) lAC Observations: 24 11.54418 R-squared 0.858349 Mean dependent var 0.074233 S.D. dependentvar 0.819001 Adjusted R-squared 0.017953 0.031582 Sum squared resid S.E. of regression Durbin-Watson stat 1.703813 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _76 Lampiran 3 f---- -~rafik L.1 Fluktuasi Tingkat Kerugian Sosial Simulasi Model 2 0.04 0.04 i I 0.03 1 ~- -----------~I •1\ 0.03 0.02 -~1 0.02 ~ 0.01 I -RiiiF II -Riil8 I Cournot F -cournot8 1' 1 - - Stackelberg F Stackelberg 8 . .1 0.01 l: , t ~ ~ .... ~ i r I I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 _____ _j ,~-~· Grafik L.2 Fluktuasi Tingkat Kerugian Sosial Simulasi Model 2 0.00000 I 0.00000 1--~~-----..--------=-----~ --~-, 0.00000 - 0.00000 +-~~~~~~~fa\-~~~~~-/1'-\--lc--~~~~- -+- Riil 8 0.00000 -cournotF -cournot8 0.00000 1--------ff-\\------IJ--\+---;:;--~ +-~~~---;-~~-/l'---lt--.-~~~+----'\-\-~--Jt.-~-f- 0.00000 - - Stackelberg 1- 0.00000 +----.I-F-~~4-\c---,I-~-1J--~-\c~-F-~~--'...__,.,_--1.,--,r--- 0.00000 ~~e~~~~~...,...~~ Riil F : ' I F , Stackelbe_r:~ ......,..~;.,.~~~ 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 '--~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~------- --------- Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _77 Lampiran 4 Beberapa Hasil Kombinasi Instrument Variabel yang Lain System: THRSLS001 Estimation Method: Three-Stage Least Squares Date: 01/18/06 Time: 07:49 Sample: 1998:3 2004:2 Included observations: 24 Total system (balanced) observations 48 Linear estimation after one-step weighting matrix C(1) C(2) C(3) C(4) C(5) C(6) C(7) C(8) C(9) C(10) Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. -0.002322 0.522660 1.867038 0.173799 11.57387 0.936447 2.380410 0.014503 1.756698 0.001029 0.008542 0.231826 0.397067 0.119293 0.157264 0.244933 0.202190 0.013117 0.203585 0.108221 -0.271839 2.254538 4.702070 1.456918 73.59530 3.823276 11.77316 1.105652 8.628834 0.009510 0.7872 0.0300 0.0000 0.1534 0.0000 0.0005 0.0000 0.2758 0.0000 0.9925 Determinant residual covariance 1.56E-07 Equation: DP=C( 1)+C(2)*DP(-1 )+C(3)*(Y-YP)+C( 4)*(1-IA) Instruments: DP(-1) PA DMP(-1) G E 0 DWPI YP lAC Observations: 24 0.360647 Mean dependent var R-squared 0.264744 S.D.dependentvar Adjusted R-squared 0.031893 Sum squared resid S.E. of regression 2.150952 Durbin-Watson stat 0.026548 0.037194 0.020343 Equation: Y=C(5)+C(6)*DP-C(7)*1+C(8)*G+C(9)*(1-IA)+C(1 O)*DMP(-1) Instruments: DP(-1) PA DMP(-1) G E 0 DWPI YP lAC 0bservations: 24 11.54418 Mean dependent var 0.882697 R-squared 0.074233 Adjusted R-squared 0.850113 S.D.dependentvar 0.014867 S.E. of regression 0.028739 Sum squared resid 1.564363 Durbin-Watson stat Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _78 System: THRSLS437 Estimation Method: Three-Stage Least Squares Date: 01/18/06 Time: 07:49 Sample: 1998:4 2004:2 Included observations: 23 Total system (balanced) observations 46 Linear estimation after one-step weighting matrix C(1) C(2) C(3) C(4) C(5) C(6) C(7) C(8) C(9) C(10) Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. 0.007201 0.251334 0.671847 0.091107 11.65505 2.067617 2.512490 0.006248 1.875650 0.121174 0.004999 0.134355 0.195084 0.065041 0.206536 0.536385 0.252933 0.017635 0.254855 0.124346 1.440576 1.870664 3.443894 1.400759 56.43097 3.854724 9.933423 0.354313 7.359682 0.974488 0.1583 0.0695 0.0015 0.1698 0.0000 0.0005 0.0000 0.7252 0.0000 0.3363 Determinant residual covariance 4.94E-08 Equation: DP=C(1 )+C(2)*DP(-1 )+C(3)*(Y-YP)+C(4 )*(1-IA) ;nstruments: DP(-1) PA DMP(-2) G E(-1) 0(-1) DWPI YP(-1) IA(-1) C Observations: 23 R-squared 0.045501 Mean dependent var 0.019752 Adjusted R-squared -0.105209 0.016955 S.D.dependentvar S.E. of regression 0.017825 Sum squared resid 0.006037 Durbin-Watson stat 1.814202 Equation: Y=C(5)+C(6)*DP-C(7)*1+C(8)*G+C(9)*(1-IA)+C( 1O)*DMP( -1) Instruments: DP(-1) PA DMP(-2) G E(-1) 0(-1) DWPI YP(-1) IA(-1) C Observations: 23 R-squared 0.811512 Mean dependent var 11.54811 Adjusted R-squared 0.756074 S.D.dependentvar 0.073304 S.E. of regression 0.036204 Sum squared resid 0.022282 Durbin-Watson stat 1.590364 Sinkronisasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiska/ _ _ _ _ _ _ _ _ _79