2 tinjauan pustaka

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pulau-pulau Kecil dan Batasan
Pulau berdasarkan UNCLOS 1982, Bab VIII Pasal 121 ayat 1: ”Pulau
adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu
mucul di atas permukaan air pasang tinggi” (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau
memiliki batasan pulau yang memiliki dimensi berubah-ubah dari waktu ke waktu
(Ongkosongo 1998). Pulau kecil mula-mula dibatasi sebagai pulau yang luasnya
kurang dari 10.000 km2, kemudian turun menjadi kurang dari 5.000 km2,
kemudian berubah lagi menjadi kurang dari 2.000 km2 dan bahkan kurang dari
100 km2, kemudian ada pula yang membatasi berdasarkan lebarnya saja yaitu
kurang dari 3 km (Husni 1998; Brookfield 1990; Nakajima dan Machida 1990;
Sugandhy 1999; Dahuri 1998; Tresnadi 1998; Hehanusa et al. 1998).
Batasan pulau kecil yang ditetapkan DKP (2001) pulau kecil dengan ukuran
kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 beserta ekosistemnya dan dengan jumlah
penduduk kurang dari atau sama dengan 20.000 orang (UNESCO 1991, UU No.
27 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3).
PPK dapat terbagi atas 3 kelompok (Bengen 2008) berdasarkan asal-usul
geologi dan evolusi tektonik:
1.
Pulau-pulau Sistem Busur. Secara geomorfologi memiliki karakteristik:
terletak pada zona subduksi membentuk rantai busur pulau-pulau vulkanik
yang berasosiasi dengan cekungan laut dalam hingga 6.000 m, aktivitas
vulkanik yang baru terjadi lebih menonjol, fokus gempa lebih dalam dari 70
km, laut dangkal pada sisi daratan dari busur, aliran panas tinggi pada sisi
daratan dari busur dan sangat jelas terlihat pada lingkar Pasifik: mulai dari
sisi utara Selandia Baru, terus ke Melanesia hingga Indonesia, Filipina,
Jepang, Kep. Kuril, dan sisi timur melalui kepulauan Aleutian. Pulau-pulau
ini memiliki 75 % dari gunung api aktif maupun yang baru mati berada di
lingkar Pasifik seperti di Samudera Hindia, yang terjadi di Jawa dan
Sumatera.
2.
Pulau-pulau Oseanik. Proses pembentukannya terbentuk dari pengangkatan
material ke atas permukaan laut dari zona sempit gunung api bawah laut,
proses vulkanik umumnya terkonsentrasi pada sumbu dari lembah
12
perbukitan simetris yang membentuk pulau. Klasifikasi pulau-pulau
Oseanik terbagi atas 4 kategori:
a) Pulau vulkanik formasi baru: biasanya berukuran kecil, berpantai
curam dengan rataan yang sempit. Komunitas biologis memiliki
jumlah jenis dan kelimpahan yang terbatas,
b) Pulau vulkanik formasi tua: terbentuk dari beberapa kali erupsi yang
sebagian besar berumur tersier. Tanahnya subur, dan pesisirnya
terbentuk formasi karang, khususnya karang tepi (fringing reef),
c) Pulau vulkanik dengan laguna dan karang penghalang: terjadi karena
penenggelaman dan pertumbuhan formasi karang, sehingga pulau
dikelilingi oleh terumbu berlaguna. Pada sisi yang terkena
gelombang (windward) pertumbuhan karang yang cepat membentuk
terumbu yang lebih tebal, sedangkan pada sisi terlindung tidak
terkena gelombang (leeward) terumbu karang lebih tipis. Tanahnya
subur, dan sumberdaya lautnya kaya dan,
d) Pulau Atol: proses penenggelaman dan naiknya terumbu yang
menutupi laguna. Tanahnya kapur dan tidak subur. Sumberdaya air
di pulau atol terbatas.
3.
Pulau-pulau berasosiasi dengan dinamika Paparan Benua. Pembentukan
pulau-pulau yang berasosiasi dengan Dinamika Paparan Benua adalah: i).
terbentuk dari hasil aktivitas tektonik yang menonjol pada daerah paparan
benua, ii). pulau yang terbentuk umumnya lebih besar dan bergunung dari
pada sistem busur maupun pulau oseanik. Contohnya: Kepulauan Fiji,
Solomon
dan
Seychelles
di
Pasifik
dan
iii).
aktivitas
tektonik
direpresentasikan oleh seringnya gempa yang berdampak besar namun
memiliki sumberdaya mineral: hidrokarbon, nikel, tembaga, mangan dll.
Pulau dapat dikelompokkan atas 2 kelompok yaitu pulau oseanik (pulau
kecil) dan pulau kontinental (pulau besar). Pulau oseanik dapat dibagi atas 2
kategori yaitu pulau vulkanik dan pulau koral. Karakteristik topografi pulau-pulau
kecil (Oseanik) tidak mempunyai pola yang tetap dan tergantung kepada tipe
pulau (Bengen 2008): i). Pulau-pulau vulkanik cenderung lebih curam dan
memiliki area yang lebih tinggi; ii). Pulau-pulau koral atau atol cenderung lebih
12
13
landai dan berbentuk dataran yang luas dan; iii). Pulau-pulau komposit yang
berada beberapa meter di atas permukaan laut tergolong ke dalam pulau-pulau
makatea, dimana substratnya berterumbu koral, namun sebagian vulkanik.
Karakteristik PPK dibandingkan dengan pulau besar dan benua berdasarkan
karakteristik geografis, geologi, biologi dan ekonomi tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan karakteristik pulau kecil, pulau besar dan benua
Pulau Kecil/Oseanik
 Jauh dari benua
 Dikelilingi oleh laut luas

 Area kecil
 Suhu udara stabil
 Iklim sering berbeda dengan
pulau besar terdekat



 Umumnya karang atau
vulkanik
 Sedikit mineral penting
 Tanahnya porous/ permeabel
 Keanekaragaman hayati
rendah
 Pergantian spesies tinggi
 Tinggi pemijahan massal
hewan laut bertulang
belakang
 Sedikit sumberdaya daratan
 Sumberdaya laut lebih
penting
 Jauh dari pasar
Pulau Besar/Kontinental
Karakteristik Geografis
Dekat dari benua
Dikelilingi sebagian oleh
laut yang sempit
Area besar
Suhu udara agak bervariasi
Iklim mirip benua terdekat
Karakteristik Geologi
 Sedimen atau
metamorphosis
 beberapa mineral penting
 Beragam tanahnya
Karakteristik Biologi
 Keanekaragaman hayati
sedang
 Pergantian spesies agak
rendah
 sering pemijahan massal
hewan
laut
bertulang
belakang
Karakteristik Ekonomi
 sumberdaya daratan agak
luas
 sumberdaya laut lebih
penting
 lebih dekat pasar
Benua
 Area sangat besar
 Suhu udara bervariasi
 Iklim musiman
 Sedimen atau metamorfosis
 beberapa mineral penting
 Beragam tanahnya
 Keanekaragaman hayati
tinggi
 Pergantian spesies biasanya
rendah
 sedikit pemijahan massal
hewan laut bertulang
belakang
 sumberdaya daratan luas
 sumberdaya laut sering tidak
penting
 pasar relatif mudah
Sumber : Modifikasi Salm et al. (2000) dalam Bengen dan Retraubun (2006)
Pulau Weh secara evolusi tektonik merupakan pulau oseanik dan secara
karakteristik topografi pulau sebagai pulau komposit dengan tebing terjal (cliff)
substrat terumbu koral di sisi barat dan vulkanik di sisi timur pulau.
Klasifikasi Brookfield (1990) mengemukakan sifat khas pulau-pulau kecil
diantaranya adalah: 1.Pulau kecil yang berlokasi di daerah yang strategis untuk
perdagangan atau berada di dekat pulau besar atau benua, karena ukuran kecil
akan menjadi pembatas struktural yang mengakibatkan tidak adanya fleksibilitas
pemanfaatan sumberdaya untuk merespon adanya perubahan peluang. Ruang dan
14
sumberdaya alam menjadi sangat terbatas. Persediaan air tawar/air tanah juga
sangat terbatas atau terdapat intrusi air laut sehingga pada pulau-pulau yang
terletak di daerah yang jarang turun hujan akan menghadapi bahaya kekeringan, 2.
Pulau kecil mempunyai kendala utama pada transportasi sehingga hubungan
dengan daerah lain menjadi terbatas atau mahal dan 3. Pulau kecil sangat rentan
baik secara fisik maupun ekologis. Secara fisik pulau kecil menghadapi bahaya
tenggelam akibat kenaikan permukaan laut, proporsi erosi tanah lebih besar akibat
sedikitnya
daerah
resapan
air
(catchment
area).
Briguglio
(1995)
mengidentifikasikan karakteristik PPK bersifat unik yaitu berukuran kecil,
terisolasi dari pulau besar (mainland), ketergantungan, rentan dan secara ekonomi
hal ini tidak menguntungkan karena akan menimbulkan keterbatasan sokongan
sumberdaya,
ketergantungan
kisaran
diversifikasi
produk,
keterbatasan
mempengaruhi perubahan harga produk, keterbatasan kompetensi lokal dan
pengembangan skala ekonomi.
PPK memiliki kendala dan keterbatasan yang kompleks seperti Pulau Weh
dengan luas 153 km2 merupakan wilayah yang rawan bencana alam sehingga
perlu dilakukan upaya mitigasi. Mitigasi bencana di pesisir dan PPK terdapat
dalam UU No 27 pasal 56.
2.2 Aspek Peraturan Perundangan Mitigasi Pesisir dan PPK
Pengelolaan
bencana
merupakan
salah
satu
bagian
pembangunan nasional dalam serangkaian kegiatan baik sebelum, pada
dari
saat
maupun sesudah terjadinya bencana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana pada prinsipnya mengatur tahapan bencana
meliputi
prabencana,
saat tanggap,
dan
pascabencana.
Penyelenggaraan
penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan 4 aspek meliputi: a) sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat, b) kelestarian lingkungan hidup, c) kemanfaatan
dan efektivitas; dan d) lingkup luas wilayah (Pasal 31 UU No. 24 tahun 2007).
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa dalam
menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
dilakukan upaya mitigasi
bencana.
Mitigasi bencana adalah upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan
fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan
14
15
kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil (Pasal 1 PP No 64 tahun 2010).
Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan
ppk dilakukan melalui kegiatan: a). struktur fisik dan b). nonstruktur/non fisik
(Pasal 14 PP No. 64 tahun 2010). Kegiatan struktur/ fisik untuk mitigasi terhadap
jenis bencana tsunami meliputi: a) penyediaan sistem peringatan dini dalam
penelitian ini dilakukan dengan vegetasi pantai seperti ekosistem mangrove.b)
penggunaan bangunan peredam tsunami, c) penyediaan fasilitas penyelamatan
diri, d) penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana tsunami, e) penyediaan
prasarana dan sarana kesehatan, f) vegetasi pantai dan g) pengelolaan ekosistem
pesisir (ayat 2 Pasal 15 PP No 64 tahun 2010)
Menyikapi Pasal 15 No 64 tahun 2010 dalam ayat 2 huruf f usaha mitigasi
yang dilakukan di daerah penelitian menitik beratkan pada ekosistem mangrove
dalam mereduksi tsunami.
Dampak dari tsunami mengakibatkan terjadi erosi pantai sehingga dilakukan
upaya mitigasi sesuai dengan ayat 9 pasal 15 PP No 64 tahun 2010 meliputi: a)
pembangunan bangunan pelindung pantai, b) peremajaan pantai, c) vegetasi pantai
dan d) pengeloaan ekosistem pesisir. Aplikasi yang dilakukan di daerah penelitian
khususnya di Pulau Rubiah dengan vegetasi pantai dan pengelolaan ekosistem
pesisir.
Prinsip integrasi antara ekosistem darat dan laut serta antara science dan
management menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang dan zonasi
wilayah menyangkut: 1. mengetahui pola dan karakteristik wilayah pesisir yang
akan disusun tata ruang dan zonasinya secara ekobiofisik, sosial ekonomi, dan
budaya; 2. menentukan pola ruang di darat apakah kompatibel atau tidak dengan
zonasi di kawasan perairan;
3. mengevaluasi dampak kegiatan dalam blok-blok
zona tata ruang dengan zonasi kawasan perairan dan habitat-habitat pesisir
penting misalnya mangrove, terumbu karang, dan lamun; 4. dampak skenario
bencana alam untuk wilayah tersebut terhadap struktur dan pola ruang di kawasan
daratan baik yang datang dari arah laut maupun daratan; 5. menentukan kawasan
setback atau sempadan pantai yang perlu dialokasikan sebagai kawasan lindung
dalam rencana pola ruang terhadap ancaman bencana yang datang dari laut
(Diposaptono 2009).
16
Kawasan setback atau sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian
yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100
meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (ayat 1 Pasal 56 PP No. 26/2008).
Dalam PP No. 26/2008 Pasal 56 ayat 1b kriteria dari sempadan pantai merupakan
daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau
terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
Penetapan sempadan mengikuti ketentuan: 1.
perlindungan terhadap gempa
dan/atau tsunami; 2. perlindungan pantai dari erosi dan abrasi; 3. perlindungan
sumberdaya buatan di pesisir, dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; 4.
perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu
karang, padang lamun, gumuk pasir, estuari dan delta; 5. pengaturan akses publik;
serta pengaturan untuk saluran air dan limbah (ayat 2 pasal 31 UU no. 27/2007).
Fungsi sempadan pantai: sebagai kawasan lindung, yang melindungi kawasan
pantai dari pengaruh negatif yang datang dari laut maupun dari darat. Selain itu,
sempadan pantai diharapkan akan merahabilitasi sumber daya wilayah pantai
beserta seluruh ekosistem yang ada di dalamnya.
2.3 Bencana Alam Pulau-pulau Kecil dan Kerentanan
PPK cenderung rentan terhadap bencana alam dan memiliki ekosistem yang
rapuh. Kaly et al. (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
kerentanan selain bencana alam, juga karena keterpencilan, masalah perbatasan,
migrasi, kerusuhan, pemisahan secara geografis, pemanfaatan ekonomi, pasar
internal yang kecil dan kerusakan sumberdaya.
Kerentanan merupakan multi dimensi meliputi: kerentanan ekonomi,
kerentanan lingkungan, kerentanan sosial, kerentanan perdagangan, kerentanan
perubahan cuaca dan kerentanan perubahan iklim. Kerentanan di PPK meliputi:
1. Exposure
Kondisi lingkungan yang mudah terkena gangguan akibat letaknya yang
berhadapan langsung dengan samudera luas sebagai area terbuka (open acess).
Karena bersifat terbuka maka sumberdaya alam di perairan dapat bebas diambil
tanpa pengawasan atau kontrol dari pemda setempat, sehingga terjadi
penurunan
sumberdaya
alam.
Adrianto
dan
Matsuda
(2003)
mengidentifikasikan bahwa pulau kecil yang berhadapan langsung dengan
16
17
samudera luas menerima aktifitas gelombang dari segala arah. Lebih lanjut
pulau kecil mudah mendapat bencana daripada pulau besar atau pulau utama.
Karena letaknya berhadapan dengan samudera luas maka bencana yang terjadi
adalah abrasi, dan kemungkinan tenggelamnya pulau karena kenaikan muka air
laut (sea level rise), sehingga sumberdaya alam menjadi berkurang dan
menyebabkan ekonomi pulau mengalami penurunan.
2. Ukuran yang kecil (Smallness)
Konsekuensi dari ukuran yang kecil adalah keterbatasan lahan produktif untuk
mendukung daya dukung lingkungan untuk kebutuhan hidup manusia. Ukuran
yang kecil juga mempunyai konsekuensi eratnya hubungan antar ekosistem
sehingga rentan secara ekologis terhadap gangguan pembangunan pada salah
satu ekosistem. Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah suatu kelemahan,
jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penduduk hanya
terdapat di dalam pulau tersebut.
3. Bencana Alam (Natural Disaster)
Jenis bencana alam yang terjadi di PPK adalah bencana geologi (geological
disaster) yang sering dimaksudkan adalah gempabumi, kegiatan gunung api
khususnya letusan gunung api, gerakan tanah dan lahar dingin. Selain bencana
geologi juga bencana oseanografi seperti gelombang pasang, badai tropis, erosi
pantai dan kenaikan muka air laut. Bencana alam mengakibatkan penurunan
sumberdaya alam.
Adrianto dan Matsuda (2002) mengemukakan bahwa kelemahan pulaupulau kecil berupa ukuran yang kecil, insular, terpencil dan cenderung terkait
dengan aktifitas laut, maka bahaya bencana alam dan lingkungan lebih besar,
dibandingkan dengan pulau utama (mainland). Lebih lanjut dikemukakan bahwa
dari perspektif ekonomi, pulau-pulau kecil memiliki kekuatan yang sama dengan
kelemahannya. Keuntungan pulau kecil secara ekonomi meliputi kemampuannya
untuk menghasilkan barang-barang dan pelayanan khusus seperti bidang
perikanan dan turisme.
PPK dipengaruhi oleh sifat kerentanan (vulnerability) dan daya lenting
(resilience) (Gambar 3). Kerentanan (vulnerability) PPK disebabkan oleh fakorfaktor dari luar (exogenous) seperti; tekanan ekonomi, ukuran pulau yang kecil
18
dan bencana lingkungan. Sedangkan daya lenting (resilience) disebabkan oleh
faktor-faktor dari dalam (endogenous) seperti; ketersediaan sumber daya alam dan
dinamika populasi.
Kerentanan
Faktor Dalam
Faktor Luar
•
•
•
Tekanan Ekonomi
Ukuran Pulau Kecil
Keberlanjutan di Wilayah
Pulau-pulau Kecil
•
•
•
Bencana Lingkungan
•
Sumberdaya Alam
Dinamika Populasi
Perekonomian Pulaupulau kecil seperti
perikanan, pariwisata
Specialized economy,
Daya Lenting
Gambar 3. Sistem kerentanan pulau-pulau kecil.
(Adrianto 2007, dimodifikasi)
Definisi kerentanan (vulnerability) adalah kondisi kerentanan ditentukan
oleh fisik, sosial, ekonomi dan faktor-faktor lingkungan atau proses-proses,
sehingga terjadi peningkatan kerawanan yang dapat menyebabkan bencana.
Faktor-faktor yang berperan dalam kerentanan adalah peningkatan kemampuan
masyarakat untuk mengatasi bencana (Birkmann 2006) Konsep kerentanan
didefinisikan sebagai tingkat yang menerangkan sebuah sistem (dalam konteks ini
sistem pesisir dan pulau-pulau kecil) mengalami bencana disebabkan karena
pesisir dan pulau-pulau kecil berada di wilayah terpapar (exsposure) sehingga
mudah terkena tekanan dan gangguan (Ardianto 2007).
Kerentanan memiliki sisi ekternal dan internal (Birkmann 2006). Sisi
internal adalah coping yang dapat diartikan kemampuan untuk mengantisipasi,
menanggulangi dengan cara bertahan dan memperbaiki akibat dari bencana;
berbeda dengan sisi eksternal termasuk exposure yang berhadapan dengan risiko
dan gangguan.
Bencana alam yang terjadi di Pulau Weh bersifat episodik dan kronik.
Bersifat episodik adalah gempabumi, tsunami, angin/badai tropis, sedangkan
18
19
bersifat kondisi kronik adalah abrasi, kenaikan permukaan laut (sea level rise) dan
penurunan permukaan (land subsidence). Bencana episodik terjadi 26 Desember
2004 mengakibatkan terjadi inundasi/genangan akibat hempasan tsunami yang
mencapai pesisir sejauh sampai beberapa km. Kejadian ini menyebabkan
terjadinya kerusakan infrastruktur.
besarnya kekuatan gempabumi.
Kerusakan infrastruktur berkaitan dengan
Kekuatan gempabumi berkorelasi dengan
percepatan tanah. Berdasarkan analisis probalistik bahaya gempa wilayah
Indonesia terbagi dalam 6 wilayah gempa (Standar Perancangan ketahanan
Gempa untuk Struktur Gedung-SNI 03-1726-2002) (Gambar 4) dimana Pulau
Weh berada pada wilayah gempa 4 sebesar 0.20 g. Berarti daerah tersebut
kemungkinan tinggi terjadi gempa. Dalam mengukur kerusakan bangunan dengan
cara wilayah gempa dikalikan dengan g (percepatan grafitasi bumi = 9.81 m/det),
sebagai contoh gempa yang terjadi di Pulau Weh 0.2 dikalikan 9.81 m/det = 1.962
m/det, menunjukkan pada saat gempa terjadi percepatan tanah sebesar 1,962
m/det yang berpengaruh terhadap struktur bangunan.
Gambar 4. Pembagian wilayah gempa di Indonesia.
(BMKG 2007)
2.4 Bencana Gempabumi
Gempabumi terjadi sebagai akibat terlepasnya energi yang tersimpan di
dalam bumi. Inti bumi bersifat cair terdiri atas material utama nikel-besi dengan
20
temperatur
6.000-10.000oC.
Reaksi
kimia-fisika
dalam
bentuk
cairan
menimbulkan proses arus konveksi. Pergerakan antar lempeng terjadi karena arus
konveksi di dalam bumi. Gerak antar lempeng dapat terjadi dalam bentuk
tumbukan/tabrakan dan pemisahan. Pemisahan biasanya terjadi pada retakan
kulitbumi di dasar laut, lempeng dasar samudera tumbuh dan bergerak saling
menjauh karena desakan carian magma yang keluar dari dalam bumi. Bilamana
lempeng-lempeng bertabrakan/bertumbukan secara frontal, lempeng Samudera
biasanya menujam/menyusup di bawah lempeng Benua. Proses ini disebut proses
subduksi. Salah satu ciri utama dari daerah wilayah/zona benturan antar lempeng
adalah tingkat kegempaan yang tinggi. Dengan demikian gempabumi adalah
serangkaian proses pembentukan dan penyimpanan energi yang terjadi akibat
benturan antar lempeng. Pada dasarnya energi yang tersimpan dalam lempenglempeng kulit bumi ini akan terlepas bila telah melampui batas plasitas tegangan
(Suparka 1994).
Tumbukan antar Lempeng Samudera yang menujam di bawah Lempeng
Benua, pada saat bersamaan Lempeng Benua akan tertarik turun dan terjadi
akumulasi tegangan. Tegangan akan mencapai batasnya dari Lempeng Benua
sehingga terjadi patahan dan melenting ke atas menyebabkan gempabumi
(Gambar 5). Permukaan air laut bergerak naik dan turun. Perubahan permukaan
air laut ini mengikuti perubahan deformasi vertikal di dasar laut sehingga
membangkitkan gelombang. Gempabumi dapat menimbulkan tsunami jika 1).
Gempa di laut dengan kekuatan >6.5 SR atau > 6 MW, 2). Kedalaman puncak
gempa <60 km ,3). Terjadi deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar dan 4).
Biasanya terjadi di zona subduksi/tumbukan lempeng tektonik (Kato et al. 2010;
Iida 1963) (Gambar 6).
2.5 Pengertian Tsunami
Secara harfiah tsunami berasal dari Bahasa Jepang. Tsu berarti pelabuhan
dan nami adalah gelombang. Secara umum tsunami diartikan sebagai gelombang
laut yang berasal dari pelabuhan (Levin dan Nosov 2009).
Istilah tsunami
dikenal luas oleh masyarakat dunia setelah adanya kejadian gempa besar 15 Juni
1896, yang menimbulkan tsunami besar melanda kota Pelabuhan Sanriku
(Jepang).
20
21
22
Tsunami sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan
gangguan implusif yang terjadi pada medium laut. Gangguan implusif bisa berupa
gempabumi tektonik di laut, erupsi vulkanik (meletusnya gunung api) di laut,
longsoran (land slide) di laut atau jatuhnya meteor di laut. Akibat dari gangguan
impulsive menyebabakan terjadinya gelombang laut yang datang tiba-tiba, sebagai
akibat terganggunya kestabilan air laut, yang menghempas pantai dan
menimbulkan bencana (Bien 2005).
2.5.1 Karakter Tsunami
Tsunami yang ditimbulkan oleh gaya implusif bersifat transien, artinya
tsunami semakin melemah dengan bertambahnya waktu dan hanya berlangsung
sesaat (Kajiura dan Shuto 1994). Gelombang tsunami berbeda dengan gelombang
pasang surut yang dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama
matahari dan bulan terhadap bumi dan gelombang angin yang digerakkan oleh
tiupan angin di permukaan laut.
Meijde (2005) dan UNESCO-IOC (2006) menjelaskan bahwa ada
perbedaan yang jelas antara tsunami dengan gelombang laut akibat angin seperti
terlihat pada (Gambar 7). Tsunami yang memiliki ketinggian satu meter di laut
dalam (kedalaman air >30 m) dapat meninggi hingga puluhan meter pada garis
pantai dan merupakan gelombang panjang. Berbeda dengan gelombang laut yang
terjadi karena terpaan angin yang hanya mengganggu kestabilan permukaan laut,
maka energi tsunami meluas sampai ke dalam lautan (kolom air). Saat mendekati
pantai, energi tsunami terkonsentrasi pada arah vertikal karena berkurangnya
kedalaman air dan berubah arah menjadi horizontal ketika memendeknya panjang
gelombang yang diakibatkan perlambatan gerak gelombang (UNESCO-IOC
2006). CDIT (2007) menjelaskan bahwa perlambatan gerak gelombang ini disebut
sebagai attenuasi jarak akibat penyebaran tsunami ke segala arah.
Tsunami memiliki karakteristik dalam hal panjang gelombang, jarak antar
puncak gelombang, periode, dan tinggi gelombang yang membedakannya dengan
jenis gelombang lain (Synolakis 2003). UNESCO-IOC (2006) menerangkan
bahwa,
kecepatan
tsunami
tergantung
pada
kedalaman
perairan,
yang
mengakibatkan terjadinya percepatan atau perlambatan sesuai dengan bertambah
atau berkurangnya kedalaman dasar laut.
22
23
Sebagaimanai diuraikan pada persamaan (1)
c=
…………………………………………………………………. (1)
dimana:
c = Kecepatan tsunami
g = 9,8 m/s
h = Kedalaman air
Gambar 7. Perbedaan gelombang akibat angin dan gelombang tsunami.
(Meijde 2005)
Cepat rambat tsunami tergantung pada kedalaman laut. Semakin besar
kedalaman semakin besar kecepatan rambatnya. Pada kedalaman 5.000 m cepat
rambat tsunami mencapai 230 m/detik (sekitar 830 km/jam), sedangkan pada
kedalaman 100 m tsunami memiliki kecepatan sekitar 110 km/jam. Tinggi
gelombang tsunami bervariasi dari 0,5 m sampai 30 m dan periode dari beberapa
menit sampai sekitar satu jam. Panjang gelombang tsunami yaitu jarak antara dua
puncak gelombang yang berurutan bisa mencapai 200 km. Di
lokasi
pembentukan tsunami (daerah episentrum gempa) tinggi gelombang tsunami
diperkirakan antara 1,0 m dan 2,0 m.
Selama penjalaran dari tengah laut (pusat terbentuknya tsunami) menuju
pantai tinggi gelombang menjadi semakin besar.
Proses ini disebabkan oleh
pengaruh perubahan kedalaman laut, saat mendekati pantai, kecepatannya
melambat menjadi beberapa puluh kilometer per jam seperti terlihat pada Gambar
8.
24
Gambar 8. Karakteristik tsunami di lautan lepas saat mendekati pantai.
(Meijde 2005)
Setelah sampai di pantai gelombang naik/gelombang datang (run up) ke
daratan dengan kecepatan tinggi yang bisa menghancurkan kehidupan di daerah
pantai. Wilayah yang mempunyai dataran rendah bisa jadi tergenang.
Kembalinya air laut setelah mencapai puncak gelombang (run down) bisa
menyeret segala sesuatu kembali ke laut. (Triatmodjo 1999).
Kerusakan akibat tsunami diketahui dari survei pasca tsunami dengan
memperhatikan karakteristik tsunami yang meliputi tinggi gelombang datang
(run up) dan dampak yang ditimbulkan oleh tsunami. Run up tsunami
didefinisikan sebagai elevasi air laut vertikal yang dapat dicapai oleh tsunami ke
arah darat diukur dari muka air laut rata-rata (MSL) atau garis pantai saat tsunami
(Gambar 9). Estimasi hubungan antara gempabumi dengan ketinggian gelombang
datang (run up) tsunami dapat ditunjukkan pada Tabel 3.
24
25
26
Kekasaran pantai berpengaruh terhadap tinggi tsunami (USDA-NRCS,
1986). Keberadaan material permukaan dapat menunjukkan tingkat kekasaran
pantai. Dampak positif kekasaran pantai adalah semakin padat material
permukaan akan semakin besar energi tsunami yang terendam, sedangkan dampak
negatif adalah semakin lepas material permukaan akan semakin besar kerusakan
sarana dan prasarana berikut kehilangan jiwa. Uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kondisi alam yang mempengaruhi perubahan gelombang pasang akibat
tsunami: 1. geometri (kelengkungan pantai), 2. topografi (kemiringan pantai) dan
batimetri, 3. lokasi muara di pantai dan 4. kekasaran pantai.
Pencatatan tsunami telah dikembangkan suatu hubungan antara tinggi
tsunami di daerah pantai dan magnitude/besaran tsunami dinyatakan dalam m.
Besaran tsunami bervariasi mulai dari m = -2.0 yang memberikan tinggi
gelombang kurang dari 0,3 m sampai m = 5 untuk gelombang lebih besar dari 32
m, seperti tertera dalam Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan magnitudo dan tinggi tsunami di pantai
Magnitude Tsunami (m)
5,0
4,5
4
3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
-0,5
-1
-1,5
-2
Tinggi tsunami/H (meter)
>32
24-32
16-24
12 -16
8-12
6-8
4-6
3-4
2-3
1,5-2
1-1,5
0,75-1
0,5-0,75
0,3-0,5
<0,3
Sumber : Iida 1963
Kejadian tsunami yang disebabkan oleh gempabumi di laut tergantung pada
beberapa faktor yaitu: a). kedalaman pusat gempa (epicentrum) di bawah dasar
laut h (km), b).kekuatan gempa M yang dinyatakan dengan skala Richter dan c).
kedalaman air di atas episentrum d (m).
26
27
28
29
dengan pemodelan numerik sehingga dapat dilakukan upaya mitigasi untuk
mengeliminir kerusakan.
Tabel 5. Hubungan antara magnitude tsunami (m), ketinggian tsunami (meter),
dan skala kerugian
No.
Skala
Magnitudo
Ketinggian
Tsunami
Kerusakan
1.
-1
< 50 cm
Tidak ada
2.
0
1m
Sangat sekidit
3.
1
2m
Kerusakan sepanjang pantai dan kapal
4.
2
4–6m
5.
3
10 – 20 m
6.
4
30 m
Sedikit sampai di daratan dan kerugian dari
segi manusia
Kerusakan yang nyata di garis pantai lebih
dari 400 km
Kerusakan yang nyata di garis pantai lebih
dari 500 km
Sumber: Immamura dan Iida 1949 dalam Diposaptono 2008
2.5.2 Pemodelan Numerik Tsunami
UNESCO-IOC (2006) mendefinisikan pemodelan numerik tsunami adalah
uraian matematis yang digunakan untuk menjelaskan tsunami yang telah diamati
berdasarkan kejadian masa lalu beserta pengaruh-pengaruhnya. Pemodelan ini
digunakan untuk memperkirakan bencana tsunami di masa mendatang.
Pemodelan numerik tsunami oleh Borah (2007) dibagi menjadi tiga tahapan
pemodelan yaitu :
1) Pembangkitan (Generation)
Pada tahap pemodelan ini memperkirakan pembentukan ganguan
permukaan laut akibat tenaga pemicu (gempa bumi, meteor, letusan
gunung api dasar laut) yang menyebabkan deformasi di dasar laut.
Data yang dibutuhkan dalam tahap ini yaitu data patahan (panjang dan
lebar patahan), besarnya strike, dip dan slip, kedalaman patahan,
dislokasi dan magnitudo gempa.
2) Perambatan (Propagation)
Perambatan gelombang tsunami menyebar ke seluruh wilayah dari
sumber pembangkitnya, pergerakan tersebut dipengaruhi oleh batimetri
dan parameter oseanografi. Data yang digunakan yaitu batimetri,
30
kelengkungan bumi (earth curvature), dan parameter oseanografi
seperti pasang surut, kecepatan dan arah arus laut.
3) Penggenangan (Inudation)
Penggenangan terjadi karena perambatan gelombang yang mengenangi
daerah pesisir akibat dari tinggi gelombang datang/run up.
Data yang dibutuhkan yaitu batimetri di perairan dangkal, topografi
daratan, morfologi pantai seperti muara, teluk, gumuk pasir dan lainlain.
Kerusakan akibat tsunami di pesisir dapat dilihat dari seberapa jauh
genangan/inundasi yang terjadi di pesisir dengan memperhatikan tinggi
gelombang datang pada saat tsunami terjadi. Pada saat genangan/inundasi terjadi
maka akan menggenangi penggunaan lahan di daerah pesisir pantai, sehingga
terjadi kerusakan di daerah pesisir.
Penelitian ini, menggunakan model genangan/inundasi sesuai perhitungan
matematis Persamaan (4) dengan bantuan spasial analisis yang ada pada perangkat
lunak SIG. Parameter yang digunakan adalah tinggi tsunami terburuk yang
mungkin dapat terjadi akibat proses perambatan tsunami menurut skala ImamuraIida. Tinggi gelombang datang (run up) dikombinasikan dengan aliran air yang
mengalir di permukaan topografi yang kasar, sebagai contoh gumuk, vegetasi
pantai, bangunan-bangunan, topografi yang tidak teratur,
sungai-sungai dan
semua tutupan lahan di permukaan merupakan unsur yang sangat penting untuk
mengetahui seberapa jauh genangan yang mungkin terjadi (Barryman 2006).
Pendekatan variabel untuk menahan gelombang datang (run up) menggunakan
model Berryman (2006) yaitu dengan koefisien kekasaran permukaan (surface
roughness coefficient). Uraian di atas diperjelas dengan menampilkan Tabel 6.
Tabel 6. Nilai kekasaran permukaan untuk masing-masing jenis penutup lahan
Jenis penutup lahan
Lumpur, salju, lahan terbuka
Daerah permukiman
Pusat kota
Hutan
Sungai, Danau
Sumber: Berryman 2006
30
Koefisien kekasaran permukaan
0,015
0,035
0,1
0.07
0,007
31
Menghitung jarak inundasi wilayah pesisir yang datang, persamaan yang
digunakan untuk mengetahui jarak inundasi ke arah darat mengacu prakarsa
Tsunami UK menggunakan persamaan (3).
X maks 
4
3
0,06 (H0 )
.…….................…………….………..……………..….…. (3)
n2
dimana :
X maks = Jarak inundasi dari garis pantai ke arah darat
H0
= Ketinggian gelombang tsunami di garis pantai
n
= Koefisien kekasaran permukaan
Persamaan (3) oleh Hawke‟s Bay dan Wellington dimodifikasi untuk
memasukkan variabel varisasi ketinggian permukaan (Berryman 2006). Variasi
ketinggian permukaan direpresentasikan oleh besarnya lereng. Persamaan
modifikasi seperti terlihat pada Persamaan (4).
 167 n 2 
  5 Sin S ...………….....................………….....................................
H loss  
1/3 
 H0 
(4)
dimana :
Hloss
= Hilangnya ketinggian tsunami per 1 m dari jarak inundasi
n
= Koefisien kekasaran permukaan
H0
= Ketinggian gelombang tsunami di garis pantai
S
= Besarnya lereng permukaan
Koefisien kekasaran permukaan dibedakan berdasarkan jenis penggunaan
lahan (Putra 2008) yang merupakan hasil modifikasi dari klasifikasi kekasaran
permukaan berdasarkan tipe penutup lahan yang dibuat Berryman (2006). Tabel 7
merupakan tabel kekasaran permukaan modifikasi Putra (2008).
2.6 Tingkat Kebencanaan, Integrasi Pengelolaan Pesisir di Daerah Bencana
dan Analisis Bentuklahan untuk Bahaya Tsunami
Perencanaan tata ruang berbasis bahaya tsunami sangat diperlukan pada
wilayah yang rentan bencana.
Penentuan tingkat kebencanaan
dengan
pendekatan dari wilayah yang tergenang pada penggunaan lahan, tinggi elevasi
dan bentuklahan.
32
Tabel 7. Nilai kekasaran permukaan berdasarkan penggunaan lahan
Jenis Penggunaan Lahan
Koefisien Kekasaran Permukaan
Empang
Laut
Rawa
Sungai
Tambak
Bukit Pasir
Hutan Rawa
Hutan Rapat
Rumput
Semak
Jalan Arteri
Jalan Kolektor
Jalan Lain
Jalan Lokal
Kebun
Ladang
Permukiman/Lahan Terbangun
Trotoar
Sawah
Tanah Kosong
Sumber: Putra 2008
0,007
0,001
0,015
0,007
0,010
0,018
0,025
0,070
0,020
0,040
0,010
0,010
0,013
0,013
0,035
0,030
0,045
0,015
0,020
0,015
Kejadian tsunami 26 Desember 2004 yang dibangkitkan dari gempabumi di
Sumatera dengan kekuatan 9.0-9.3 MW mengakibatkan kerusakan di pesisir
pantai India, Andaman dan kepulauan Nikobar, Indonesia, Sri Lanka, Malaysia
dan Thailand, kejadian tsunami terjadi setelah dua jam kejadian gempa bumi.
Dampak dari tsunami mengakibatkan kerusakan di sejumlah wilayah (Lay et al.
2005).
Tingkat kompleksitas masalah di wilayah pesisir menjadi perhatian khusus
ICZM sebagai mekanisme pemerintah untuk mengetahui berbagai jenis aspek
aktivitas manusia dan pengelolaannya. Pandangan World Bank terhadap ICZM
sebagai pendekatan yang interdisplin dan intersektoral (Xue et al. 2004).
Selanjutnya, diadakan workshop bekerja sama dengan WWF, Wet Land
international untuk konservasi pasca tsunami dan tantangan bahwa pendekatan
ICZM adalah perlu untuk rekonstruksi. Sebagai contoh pasca tsunami di India
dilakukan pengamatan wilayah yang terkena bencana. Akibat dari bencana
tsunami sektor perikanan dan pariwisata menderita kerusakan parah yang
berdampak pula pada terumbu karang sebagai objek wisata dan tempat kehidupan
32
33
ikan karang. Rusaknya terumbu karang berdampak pula pada mata pencaharian
penduduk yang hidup bergantung pada sektor pariwisata dan perikanan. Konflik
penggunaan sumberdaya pesisir terjadi antar sektor dan pengelolaan yang tidak
terintegrasi juga berdampak pada degradasi ekosistem pesisir (Chua et al. 1997;
Xue et al. 2004).
Kejadian tsunami mengakibatkan kerentanan sumberdaya alam di pesisir.
Kejadian bencana tidak dapat dielak, kerentanan dapat direduksi oleh perencanaan
yang tepat (Sonak et al. 2008). Kompleksitas pesisir meliputi dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan pemulihan/rekonstruksi di area/wilayah bencana
merupakan tantangan besar. Dengan demikian perlu memahami dinamika
kompleksitas pesisir dan jenis-jenis tantangan yang dihadapi oleh beberapa
stakeholder seperti kelangsungan dalam pengelolaan pesisir, tanggung jawab dan
partisipasi komuniti.
ICZM sebagai “proses dari pemerintahan
kerangka kerja
institusional untuk meyakinkan
yang terdiri dari legal dan
bahwa pembangunan dan
rencana pengelolaan untuk pesisir diintegrasikan dengan lingkungan dan sasaransasaran sosial, dan dibangun secara partisipasi dari yang terkena bencana” (Xue et
al.
2004). Kerangka kerja pengelolaan
ICZM digunakan untuk pesisir dan
masalah-masalah kelautan lingkungan dan konflik-konflik untuk memperoleh
pemanfaatan kesesuaian sumberdaya pesisir dalam pembangunan wilayahwilayah. Namun terdapat sejumlah tantangan dan terdapat keterbatasan konsep
ICZM. ICZM terdiri atas ekologi, institusional dan dimensi sosial-ekonomi.
Peningkatan kelangsungan kegiatan ICZM, melalui beberapa faktor-faktor
meliputi: 1. memerlukan hubungan manajemen untuk meningkatkan kondisi
biofisik,
2.
pentingnya
peraturan
partisipasi
stakeholder
dalam
proses
pengambilan keputusan, dan 3. kontribusi untuk pemulihan ekonomi dan mata
pencaharian (White et al. 2005). Terdapat peningkatan sosial dan pemanfaatan
lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat merupakan hal yang logis dalam
pengelolaan pesisir secara berkelanjutan. Hal ini merupakan faktor yang utama
dalam pengelolaan pesisir (Christie et al. 2005).
Pencapaian tujuan Integrated Coastal Management (ICM) memerlukan
gambaran yang jelas dari kemajuan program yang disusun, kondisi lingkungan
34
dan pengaruh faktor-faktor anthropogenik memberikan tantangan yang signifikant
(Bowen dan Riley 2003). Konsep ICZM yang mencakup sasaran dan dasar
integrasi pengetahuan lingkungan dan pengetahuan sosial. Dalam kenyataannya
terdapat jarak komunikasi yang luas antara peneliti dengan disiplin ilmu yang
berbeda, sebagaimana halnya antara berbagai stakeholder. Sebagai tambahan,
pemecahan konflik antara tradisional dan industri masih perlu pemikiran. Lebih
lanjut, pengoperasian ICM melalui serangkaian tahapan dan aksi dalam proses
kebijakan harus tepat diperlukan dan pada tempat yang tepat (Olsen 2003).
Program ICM bersifat lokal maupun regional harus bertanggung jawab dan
memberikan keuntungan pada pemilik stakeholder (Bowen dan Riley 2003).
Bentuk ICM yang tidak terintegrasi seperti kejadian tsunami di India dengan
banyaknya korban akibat kejadian tsunami disebabkan tidak adanya sistem
peringatan Tsunami di India karena Samudera Hindia jarang terjadi tsunami.
Berbeda dengan Samudera Pasifik yang memiliki frekuensi aktivitas seismik lebih
tinggi.
Perjalanan waktu dari sumber gempa hingga terjadi tsunami yang
mengakibatkan kerusakan di pesisir memerlukan waktu 5 hingga 30 menit.
Sebagai contoh, tsunami terjadi 8 menit setelah gempa bumi yang terjadi di
Hokkaido-Nansei-Oki pada 12 Juli 1993. Pada saat kejadian tsunami menerjang
desa dengan ketinggian gelombang datang (run up) 12 m, di lokasi lain
gelombang mencapai 5 hingga 10 m. Lokasi bencana dekat dengan sumber gempa
dan peringatan tsunami terjadi 5 menit setelah gempa, merupakan sistem
peringatan yang baik dengan tersedianya teknologi. Pada saat kejadian bencana
korban sangat sedikit karena penduduk segera menyelamatkan diri berlari ke
tempat yang lebih tinggi segera setelah merasakan getaran gempa bumi tanpa
menunggu peringatan. Hal ini terjadi karena penduduk mengikuti program
pelatihan penyelamatan dan informasi umum tentang bencana.
Usaha-usaha rekonstruksi meliputi persiapan dalam masyarakat yang dapat
meningkatkan ketahanan (resilience) komunitas pesisir terhadap tsunami dan
bencana alam pesisir lainnya, dimana usaha tersebut memerlukan penyelesaian
dalam waktu yang lama dalam skenario pasca tsunami (Gambar 12).
34
35
Kajian Kondisi Terkini
Memerlukan Kajian
Pendekatan ICZM untuk Rekonstruksi
Wilayah Akibat Tsunami
Rehabilitasi/Rekonstruksi
Ekologi:
Terumbu
Karang
Mangrove
Pengelolaan Bencana
Sosial-Ekonomi
Kerentanan
Masyarakat
Partisipasi
Stakeholder
Tanggung Jawab
Teknologi Signal
Peringatan
Persiapan
Komunitas
Perencanaan
Penggunaan Lahan
Partisipasi
Stakeholder
Tanggung Jawab
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Pengambilan Keputusan
Gambar 12. Model integrasi pengelolaan wilayah pesisir akibat tsunami.
(Sonak et al. 2008, dimodifikasi)
Penilaian bahaya tsunami dilakukan melalui analisis bentuklahan (landform)
terutama dari aspek morfogenesis untuk mengetahui kerentanannya dan aspek
morfometri.
Verstappen (1983) mengklasifikasikan bentuklahan secara morfogenesis
menjadi
sepuluh
(10)
macam
bentuklahan
asal
proses,
yaitu:
1. Bentuklahan asal proses vulkanik (V), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini
antara lain: Lereng Vulkanik Denudasional, Perbukitan Vulkanik Denudasional.
2. Bentuklahan asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan
lipatan, pegunungan patahan, perbukitan, dan kubah, merupakan contoh-contoh
untuk bentuklahan asal struktural.3. Bentuklahan asal fluvial (F), merupakan
kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran
banjir, rawa belakang, teras sungai, dan tanggul alam merupakan contoh-contoh
satuan bentuklahan ini. 4. Bentuklahan asal proses solusional (S), merupakan
kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada
batuan yang mudah larut, seperti batu gamping dan dolomite, karst menara, karst
36
kerucut, doline, uvala, polye, goa karst, dan logva, merupakan contoh-contoh
bentuklahan ini.5. Bentuklahan asal proses denudasional (D), merupakan
kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses degradasi seperti
longsor dan erosi. Contoh satuan bentuklahan ini antara lain: bukit sisa, lembah
sungai, peneplain, dan lahan rusak. 6. Bentuklahan asal proses eolin (E),
merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses angin.
Contoh satuan bentuklahan ini antara lain: gumuk pasir barchan, parallel,
parabolik, bintang, lidah, dan transversal. 7. Bentuklahan asal proses marine (M),
merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses laut
oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut. Contoh satuan bentuklahan ini
adalah: daerah pasang surut (tidal flat), gisik pantai (beach), bura (spit), tombolo,
laguna, dan beting gisik (beach ridge). Pada umunya sungai bermuara ke laut,
maka seringkali terjadi bentuklahan yang terjadi akibat kombinasi proses fluvial
dan proses marine. Kombinasi ini disebut proses fluvio-marine. Contoh-contoh
satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses fluvio marine ini antara lain delta
dan estuari.8. Bentuklahan asal glasial (G), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan
bentuklahan ini antara lain lembah menggantung dan morine.9. Bentuklahan asal
organik (O), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat
pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna). Contoh satuan bentuklahan
ini adalah mangrove dan terumbu karang. 10. Bentuklahan asal antropogenik (A),
merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas
manusia. Waduk, kota, dan pelabuhan, merupakan contoh-contoh satuan
bentuklahan hasil proses antropogenik.
Morfogenesis bentuklahan yang sesuai dengan lokasi penelitian adalah: 1.
Bentuklahan asal proses vulkanik (V), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini
antara lain: Lereng Vulkanik Denudasional, Perbukitan Vulkanik Denudasional.
2. Bentuklahan asal proses marine (M), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan
pasang-surut. Contoh satuan bentuklahan ini adalah: daerah pasang surut (tidal
flat), gisik pantai (beach).
36
37
Morfometri merupakan aspek kuantitatif pantai seperti kemiringan pantai,
ketinggian, elevasi, panjang pantai, dan kelerengan pantai. Dalam penelitian ini
dilakukan pengukuran karakteristik pantai.
Informasi dari bentuklahan di wilayah yang rentan akan bahaya tsunami
dapat diketahui kemampuan wilayah tersebut dalam menerima ancaman bahaya,
dengan demikian dapat dipetakan bentuklahan mana saja yang rentan.
Diketahuinya wilayah yang rentan maka di wilayah tersebut pemanfaatan
penggunaan lahan perlu diperhatikan.
2.7 Mitigasi Tsunami dengan Ekosistem Mangrove
2.7.1 Sifat Mangrove
Tsunami dapat direduksi dengan ekosistem mangrove dengan cara menanam
sabuk hijau (green belt) (Coachard et al. 2008). Mangrove tanaman yang banyak
dijumpai di pantai-pantai daerah tropik dan dapat hidup pada kondisi air payau.
salinitas tinggi, dan pasir lumpur. Keterkaitan antara faktor lingkungan dengan
penyebaran jenis-jenis mangrove dapat dilihat pada Tabel 8.
Vegetasi mangrove mempunyai sistem perakaran yang bervariasi (Gambar 13)
yaitu 1. Akar udara (Aerial root): Struktur yang menyerupai akar, keluar dari
batang, menggantung di udara dan bila sampai ke tanah dapat tumbuh seperti akar
biasa. Beberapa kadang-kadang menyerupai struktur akar yang dimiliki oleh
famili Rhizophoraceae, 2. Akar banir/papan (Buttress) : Akar berbentuk seperti
papan miring yang tumbuh pada bagian bawah batang dan berfungsi sebagai
penunjang pohon, 3. Akar lutut (Knee root) : Akar yang muncul dari tanah
kemudian melengkung ke bawah sehingga bentuknya menyerupai lutut, 4. Akar
nafas (Pneumatophore) : Akar yang tumbuhnya tegak, muncul dari dalam tanah,
pada kulitnya terdapat celah-celah kecil yang berguna untuk pernafasan, 5. Akar
tunjang (Stilt-root) : Akar yang tumbuh dari batang diatas permukaan dan
kemudian memasuki tanah, biasanya berfungsi untuk penunjang mekanis.
(Kusmana et al. 2005 dan Marpaung 2008).
38
39
Tabel 8. Keterkaitan antara faktor-faktor lingkungan dengan penyebaran beberapa
jenis pohon mangrove secara alami
Zonasi
Type Pasang
Surut
Pinggir
Pantai
Harian
Frekwensi
Penggenangan
(hari/bulan)
20
Tengah
Harian
10-19
10-30
Berdebu
sampai liat
berdebu
Pedalaman
Tergenang
hanya saat
pasang
purnama
4-9
0-10
Berdebu-liat
berdebu
sampai liat
Pinggir
sungai
Jarang
tergenang: air
tawar-payau
2
0-10
Berpasir
sampai liat
berdebu
Sumber: Kusmana 2005
Salinitas
(ppt)
Substrat
dasar
Jenis-jenis Pohon
Mangrove
10-30
Koral,
berpasir,
lempung
berpasir
Avicennia marina,
Sonneratia, S.
Caseolaris, Rhizopora
stylosa dan Rh.
Apiculata
A.alba, A. Officinalis,
Rh.mucronata,
Aegiceras
corniculatum, A.
Floridum, Bruguiera
gymnorhiza, B.
Sexangula, Ceriops
tagal, C.decandra,
Excoecaria agallocha,
Lumnitzera recemosa,
Xylocarpus granatum
A.alba,
B.sexangula.C.tagal, E.
Agallocha, Heritiera
littoralis,, Scyphiphora
hydrophylacea,
Xylocarpus granatum.
X. mekongensis, Nypa
fruticans
Muara sungai:
Avicennia marina,
A.officinalis, Aegiceras
corniculatum,
A.floridum,
Camptostemon
philipinensis, Rh
apiculata, Rh.
Mucronata, Rh. Stylosa
Hulu sungai: A. Alba,
A.officianalis,
Aegiceras
corniculatum, A.
Floridium, Bruguiera
cylindrica, B.
Gymnorhiza,
Bparviflora,
Carntostemon
philipinensis, E.
Agallocha, Heritera
litoralis, Nypa
fructicans, Rh.
Mucronata,
Rh.apiculata,
Xylocarpus granatum,
X. mekongensis
40
41
memiliki konfigurasi yang meruncing keatas dan daun yang lebat sehingga pada
saat terjadi gelombang tsunami dapat mereduksi gelombang (Mazda et al. 2006).
Komposisi substrat perairan dangkal menuju daerah pasang surut di Red
Delta Vietnam (Quartel 2007)
adalah lumpur dengan dibagian atas pasir
kemudian lumpur yang merupakan tempat tumbuh mangrove. Umumnya
mangove tumbuh pada daerah intertidal yang substrat dasarnya berlumpur,
berlempungan atau berpasir (Bengen 2001b).
Komposisi substrat perairan dangkal menuju daerah pasang surut di Red
Delta Vietnam (Quartel 2007)
adalah lumpur dengan dibagian atas pasir
kemudian lumpur yang merupakan tempat tumbuh mangrove. Umumnya
mangove tumbuh pada daerah intertidal yang substrat dasarnya berlumpur,
berlempungan atau berpasir (Bengen 2001b).
Mangrove yang tumbuh pada substrat yang memiliki bagian dasarnya
lempung dapat mereduksi gelombang tsunami, disamping itu juga kepadatan
vegetasi mangrove tersebut yang terdiri dari batang, cabang dan akar, contoh
mangrove spesies Kandelia candel (Quartel 2007).
Faktor yang menentukan mangrove dapat mereduksi tsunami meliputi: lebar
hutan, kemiringan hutan, kerapatan pohon, diameter pohon, proporsi biomassa di
atas permukaan tanah yang terdapat di akar, tinggi pohon, tekstur tanah, lokasi
hutan, tipe vegetasi dataran rendah yang berdekatan dengan vegetasi mangrove,
keberadaan habitat tepi pantai (padang rumput padang lamun, terumbu karang,
bukit), ukuran dan kecepatan tsunami, jarak dari kejadian tektonik, dan sudut
datang tsunami yang relatif terhadap garis pantai (Alongi 2005).
Ilustrasi berikut Gambar 15, memperlihatkan keberadaan vegetasi pantai
dapat berfungsi sebagai penghalang ketika tsunami menerjang pantai dan
menahan kapal-kapal atau perahu sehingga tidak ke darat.
42
43
obyek berdasarkan konvergensi bukti atau ciri-ciri yang mengarah pada obyek
tersebut. Berikutnya pengenalan objek didasarkan pada karakteristik dan
atributnya pada citra (Sutanto 1986), untuk memudahkan proses interpretasi maka
dapat menggunakan unsur interpretasi yaitu: 1. Rona : tingkat kecerahan relatif
objek pada citra, 2.
menggunakan
Warna:
ujud
spektrum sempit, 3.
menggambarkan
konfigurasi
yang
Bentuk:
tampak
oleh
variabel
mata
kualitatif
dengan
yang
atau kerangka suatu objek, 4. Ukuran: atribut
objek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume sesuai skala citra, 5.
Tekstur:
frekuensi perubahan rona pada gambar objek, 6.
Pola : susunan
keruangan objek, 7. Situs: letak objek relatif terhadap objek lain di sekitarnya, 8.
Asosiasi: keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lain, 9.
Bayangan. Aplikasi dari penginderaan jauh digunakan untuk klasifikasi
Penggunaan Lahan dan Bentuklahan.
2.8.2 Citra Quickbird
Quickbird adalah satelit resolusi tinggi milik Digital Globe, yang
dioperasikan secara langsung oleh perusahaan tersebut. Quickbird menggunakan
sensor BGIS 2000. Sensor dengan derajad kedetilan resolusi 0.61 meter. Citra
satelit ini merupakan sumber yang sangat baik dalam pemanfaatannya untuk studi
lingkungan dan analisis perubahan penggunaan lahan, pertanian, dan kehutanan.
Dalam bidang perindustrian, citra satelit ini dapat dimanfaatkan untuk eksplorasi
dan produksi minyak/gas, teknik konstruksi, dan studi lingkungan.
Satelit Quickbird diluncurkan 24 September 1999 di USA memiliki dua
macam sensor yaitu sensor Pankromatik (hitam-putih): 0,6 m (nadir) hingga 72
cm (25o off-nadir), dan Multi Spektral (berwarna) : 2,44 m (nadir) hingga 2,88 m
(25 o off-nadir).
Periode orbit dari satelit ini adalah 93,4 menit dengan sudut inklinasi 980
dan ketinggiannya 450 km di atas permukaan bumi. Cakupan citra 16.5 km x
16.5 km pada nadir dan minimum area yang terliput oleh citra satelit Quickbird
adalah 8x 8 km
Tabel 9.
2
, adapun panjang gelombang satelit Quickbird tertera dalam
44
Tabel 9. Karakteristik satelit Quickbird
Kanal
Panjang gelombang
Cahaya
( m)
1
2
3
4
0,45 – 0,52
0,52 – 0,60
0,63 – 0,69
0,76 – 0,90
biru
hijau
merah
Infra Red dekat
Panchromatic 0,45 – 0,90
Panchromatic
Sumber: www.satimagingcorp.com/satellite-sensors/quickbird.html
Pada penelitian ini citra Qiuckbird digunakan untuk interpretasi
penggunaan lahan dan bentang lahan. Wilayah yang tertutup awan, interpretasi
dapat dibantu dengan Peta RBI.
2.8.3 Citra ALOS AVNIR-2
Satelit ALOS merupakan satelit yang dikembangkan oleh Jepang yang
digunakan untuk tujuan observasi bumi, kelautan dan atmosfer (Shimada 2007).
Secara lebih spesifik tujuan diluncurkannya satelit ini adalah untuk kartografi,
observasi wilayah, monitoring bencana, dan survei sumberdaya
alam. Citra
ALOS AVNIR-2 diperoleh dari JAXA merupakan Badan penyedia data citra
ALOS.
Satelit ALOS memiliki
PALSAR. Masing-masing
tiga
sensor
sensor
memiliki
yaitu
PRISM,
karakteristik
AVNIR-2
dan
dan keunggulan
masing-masing. Untuk menjamin sensor bekerja secara maksimal, satelit ALOS
dirancang dapat bergerak dengan cepat, memiliki kapasitas yang besar serta
memiliki presisi dalam hal orbit maupun ketinggiannya. Satelit ALOS
diluncurkan pada 24 Januari 2006 dari Tanegashima Space Center Jepang,
mengorbit secara sun-synchronous sub-recurrent dengan ketinggian terbang
691,65 km (di equator), serta memiliki sudut inklinasi 98,16°, untuk dapat
mengitari bumi secara menyeluruh, dibutuhkan waktu 46 hari.
Sensor AVNIR-2 memiliki dua saluran yaitu saluran tampak dan
saluran inframerah dekat. Keunggulan sensor ini yaitu dapat digunakan untuk
pemetaan penutup lahan secara detail dan monitoring wilayah. Resolusi spasial
yang dihasilkan yaitu 10 meter pada saluran tunggal dan 16 meter pada saluran
multispektral dengan cakupan area 70 km. Karakterisitk sensor ALOS AVNIR-2
dapat ditunjukkan pada Tabel 10.
44
45
Tabel 10. Karakteristik sensor ALOS AVNIR-2 Multispektral
Parameter
Jumlah saluran
Panjang gelombang
AVNIR-2
4 (tampak dan inframerah)
Saluran 1 : 0,42 - 0,50 μm
Saluran 2 : 0,52 - 0,60 μm
Saluran 3 : 0,61 - 0,69 μm
Saluran 4 : 0,76 - 0,89 μm
10 meter
Resolusi spasial
Sumber : Shimada 2007
Citra satelite ALOS
terdiri atas beberapa level yang menunjukkan
pemrosesan produk AVNIR-2 yang diperjelas dalam Tabel 11. Citra ALOS
AVNIR-2
digunakan
untuk interpretasi penggunaan lahan. Wilayah yang
tertutup awan, interpretasi dibantu dengan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).
Tabel 11.Tingkat pemrosesan produk ALOS AVNIR-2 Multispektral
Level
IA
1B1
Keterangan
Citra masih dalam level 0 atau citra mentah (raw data).
Sudah dilakukan koreksi radiometrik, dan sudah dikalibrasi
absolut.
Sumber : Shimada 2007
2.8.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)
SIG
dalam pengertian
Puntodewo,
Sonya,
dan
Jusupta (2003)
merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat
lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara
efektif untuk menangkap,
menyimpan,
memperbaiki,
memperbaharui,
mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis, dan menampilkan
data dalam suatu informasi berbasis geografis.
Analisis spasial yang ada di dalam SIG memungkinkan adanya
pemodelan numerik tsunami yaitu pemodelan genangan/inundasi tsunami
berdasarkan nilai koefisein permukaan (Berryman 2006). Format data yang
dibutuhkan adalah raster. Format data ini sesuai untuk membuat model spasial dan
analisis aliran atau pola data yang merepresentasikan permukaan relief bumi dan
pemodelan inundasi yang terjadi di wilayah penelitian. ESRI (2001) spasial
analisis menunjukkan perspektif lokasi dalam masing-masing lokasi sel dan
nilai diasosiasikan dengan identitas sel. Fungsi
dengan sel raster dapat
46
dilakukan pemodelan, dengan perlakukan pada satu sel (fungsi lokal), sel
dan
tetangganya, sel dan zonanya (fungsi zonal), dan perlakuan sel secara
menyeluruh pada satu raster (fungsi global). Fungsi yang digunakan untuk
pemodelan
genangan/inundasi tsunami
adalah
fungsi
cost-distance
(Berryman 2006). Fungsi cost-distance menyediakan pemodelan untuk membuat
harga permukaan dan menghitung koridor optimum di permukaan (ESRI 2006
a,b). Fungsi cost-distance menghitung setiap harga akumulatif sel piksel yang
paling kecil ke lokasi sumber yang spesifik melalui harga permukaan. Costdistance adalah prasyarat untuk menentukan bagian harga yang paling kecil
dan koridornya.
46
Download