BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi sendiri sebenarnya dapat diartikan sebagai suatu proses dimana meningkatnya saling keterkaitan di antara masyarakat dan dimana kejadian yang terjadi di salah satu belahan dunia dapat memberikan pengaruh yang semakin luas terhadap orang dan masyarakat yang berada di belahan dunia lain (Smith & Baylis 2001, 7) keterikatan dan pengaruh inilah yang menyebabkan dampak globalisasi ini meluas dengan pesat.Ditinjau dari beberapa aspek, globalisasi dewasa kini sudah merasuk dalam beberapa area atau subjek konteks kehidupan seperti; kriminal, kebudayaan, komunikasi, gaya hidup, lingkungan, teknologi, pasar, produksi, keuangan dan lain sebagainya. Subjek-subjek tersebut menjadikan batas-batas antar negara sudah tidak terlihat lagi terutama apabila dilihat. Regionalisme selalu menjadi bagian dari hubungan internasional dimana ada pembagianpembagian terhadap aktor-aktornya berdasarkan region. Dapat dikatakan regionalisme adalah sebuah proses menuju keteraturan global, sehingga membentuk sebuah bentuk dunia yang baru atau reformasi terhadap posisi aktor-aktor yang terdapat di dalamnya. Hal ini terus berlangsung dan berlanjut sehingga menjadi ciri khas dalam dunia internasional, utamanya setelah berakhirnya Perang Dunia kedua dalam hal keamanan internasional dan perekonomian (Acharya dan Johnston, 2007). Ditambah lagi ketika semakin banyak aktor yang semakin mengarahkan kepentingannya terhadap perekonomian dan perdagangan bebas, yang menyebabkan mereka membentuk blok-blok perdagangan untuk menjamin keberlangsungan transaksi-transaksi mereka. Tujuan awal dibentuknya regionalisasi adalah untuk memudahkan terjalinnya kerjasama oleh aktor-aktor yang menjadi anggotanya. Kerjasama yang dimaksud disini dapat berupa kerjasama ekonomi, politik, militer dan pertahanan, dan bidang-bidang lainnya. Sehingga antar aktor yang ada saling terikat oleh kesepakatan-kesepakatan yang mereka buat. Dengan adanya kesepakatan tersebut akan memudahkan mereka dalam pemenuhan kebutuhan akan kepentingankepentingan mereka yang sama. Disamping itu ia juga berfungsi sebagai pengatur dan pengatasan atas konflik-konflik regional yang ada. Seiring dengan berjalanya waktu, motif-motif dibalik terbentuknya sebuah regionalisme mulai bergeser menjadi timbulnya adanya motif ekonomi yang berpotensi memunculkan sebuah kekuatan tunggal dalam regional tersebut. Bisa jadi terciptanya regional itu dipicu oleh salah satu aktor yang menghegemon, bisa juga tidak (Fawn, 2009). Memang secara geografi region adalah sebuah entitas subnegara yang memiliki batas-batas yang membedakannya dari region-region yang lain (Fawn, 2009). Yang kemudian ditandai dengan adanya kerjasama-kerjasama yang menghasilkan banyak kesepakatan antar region tersebut. Salah satu dampak adanya regionalisasi yaitu individu-individu yang ada di dalamnya menjadi semakin bebas melintas batas negara mereka. Utamanya dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini regionalisme dikatakan sebagai batu pijakan bagi terciptanya globalisasi karena ia memudahkan aktor hubungan internasional untuk saling bekerja sama dan berintreaksi. Dari pemaparan diatasa kami dapat meyimpulkan beberapa rumusan masalah yaitu : 1.1 Rumusan Masalah 1. Apa yang seharusnya dilakukan Negara dalam menghadapi Globalisasi? 2. Apa kaitan antara Regionalisme dengan kepentingan dalam negeri Indonesia? 1.2 Tujuan 1. Untuk mengetahui upaya Negara dalam mengahadapi globalisasi. 2. Untuk mengetahui kaitan antara Regionalisme dengan kepentingan dalam negeri Indonesia. BAB II KAJIAN PUSTAKA Sejarah globalisasi Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antar bangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benihbenih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi. Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia. Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antar bangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia. Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini. Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antar negara pun mulai kabur. Pengertian Globalisasi Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985. Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi: • Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain. • Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi. • Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia. • Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal. • Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara. Ciri globalisasi Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia. • Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh duni • Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda. • Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO). • Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan. • Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain. Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. Teori globalisasi Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu: Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut. Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi). Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesarbesarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital. Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan. Dampak Positif dan Negatif Globalisasi Dampak Positif 1.Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mempermudah manusia dalam berinteraksi. 2.Kemajuan teknologi komunikasi berhubungandengan manusia lain. dan informasi mempercepat manusia 3.Kemajuan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi meningkatkan efisiensi. untuk 4.Mendukung nasionalisme dalam menggalakkan proses integrasi antara lain mendobrak etnosentrik. dengan 5.Peningkatan mobilitas social dan pengukuhan kelas menengah. 6. Komunikasi yang lebih mudah dan juga murah. 7. Peluang yang lebih luas bagi manusia berbagai etnik, bangsa, budaya dan agama untuk berinteraksi. Dampak Negatif 1. Masuknya nilai budaya luar akan menghilangkan nilai-nilai tradisi suatu bangsa dan identitas suatu bangsa. 2. Eksploitasi alam dan sumber daya lain akan memuncak karena kebutuhan yang makin besar. 3. Dalam bidang ekonomi, berkembang nilai-nilai konsumerisme dan individual yang menggeser nilai-nilai sosial masyarakat. 4. Terjadi dehumanisasi, yaitu derajat manusia nantinya tidak dihargai karena lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi. 5. Timbulnya dominansi negara-negara maju yang mempunyai kekuatan yang lebih kuat. 6. Mengakibatkan erosi terhadap nilai-nilai tradisi. 7. Timbul gejala-gejala seperti konsumerisme, materialisme, kendornya moralitas, dsb. 8. Pembangunan yang tidak seimbang dan jurang perbedaan ekonomi yang semakin Sumber : www.wikipedia.com/globalisasi Regionalisme Pengertian Regionalisme Hubungan internasional terdiri atas berbagai macam interaksi antar aktor-aktor di dalamnya, baik itu aktor negara maupun non-negara. Interaksi yang timbul ini dapat berupa kerjasama ataupun konflik. Kerjasama antar negara dapat mengarah pada suatu fenomena yang disebut ‘regionalisme’. Regionalisme adalah seperangkay sika, kesetiaan, dan ide-ide yang menyatukan pikiran individu dan kolektif dari masyarakat atas apa yang mereka persepsikan sebagai wilayahnya. Di dalam studi Hubungan Internasional, Regionalisme memiliki irisan studi yang sangat erat dengan ‘Studi Kawasan (Area Studies). Bahkan, dalam aplikasi analisis, istilah region (kawasan) dengan regionalisme sering kali tumpah tindih. Menurut Mansbaach, region atau kawasan adalah “Pengelompokan regional di identifikasi dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketegantungan ekonomi yang saling menguntungkan (Interdependensi), komunikasi serta keikut sertaan dalam organisasi internasianal”. Dalam bukunya yang berjudul Studi Kawasan: Sejarah Diplomasi dan Perkembangan Politik di Asia, Teuku May Rudy menyatakan bahwa: “Dalam Studi Kawasan, yang lazim disebut pula Studi Wliayah (Area Studies), terdapat tiga model atau kajian utama, yaitu: (1) Kajian Ciri-ciri Khusus (typical Studies), (2) Kajian Peristiwa-peristiwa (Study of Events), dan (3) Kajian Kecendrungan Regionalisme (Regionalism) dan Organisasi Kerjasama Regional (Regional Cooperations)”. Selanjutnya T. May Rudy (1997), menegaskan bahwa hal terpenting dalam kajian regionalisme adalah meninjau derajat keeratan (level of cohesion), struktur dalam pelaksanaan peran atau percaturan politik (sturucture of relations) dalam suatu kawasan, serta rasa kebersamaan yang mewarnai tumbuhnya kerja sama regional tersebut. Merujuk pada aktivitas kerjasama regional yang menunjukan interdependensi termasuk negosiasi-negosiasi bilateral sampai pembentukan rezim yang dikembangkan untuk memelihara kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai bersama, serta memecahkan masalah bersama terutama yang timbul dari meningkatnya tingkat interdependensi regional. Disamping itu, kerjasama regional mungkin mengarah pada terciptanya institusi formal, namun dengan struktur yang longgar, berupa pertemuan-pertemuan rutin yang menghasilkan aturan-aturan sekaligus dengan mekanisme pelaksanaan dan persiapan untuk menindak lanjuti kegiatan tersebut (Hurrel, 1995: 42). Istilah regionalisme berasal dari kata ‘regional’ ditambah ‘isme’. Region dalam perspektif hubungan internasional merupakan unit terkecil dari suatu negara yaitu nation-state. Sedangkan regional merupakan dua atau lebih negara (nation-state) yang letaknya secara geografis berdekatan. Berdasarkan pengertian tersebut maka regionalisme dapat dimaknai secara sederhana sebagai suatu kerjasama regional. Sedangkan menurut Joseph Nye, yang dimaksud dengan region internasional adalah kumpulan sejumlah negara yang dihubungkan atas dasar kondisi geografis dan ketergantungan bersama. Berdasarkan asumsi tersebut, maka Nye menyatakan bahwa regionalisme merupakan wilayah yang dibentuk berdasarkan formasi region. Pemikiran Nye ini menunjukkan bahwa regionalisme dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan fisik, seperti letak geografis negara-negara anggotanya. Berbeda dengan Nye, Ravenhill justru berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang ‘murni’ region, regionalisme hanyalah suatu rekaan atau kontruksi sosial dari anggotanya yang mendefinisikan batas-batas region tersebut. Regionalisme merupakan konsep dalam hubungan internasional yang banyak dibicarakan oleh para praktisi maupun akademisi hubungan internasional. Secara praktis, konsep ini sering digunakan secara silih berganti dengan konsep region/kawasan, subregion/sub-kawasan, atau subsistem. Sejarah Munculnya Regionalisme Sejarah awal kemunculan regionalisme ini tidak dapat dipahami secara pasti, namun adanya regionalisme dalam hubungan internasional dipahami oleh Louise Fawcett dengan adanya kesadaran regional dan keinginan negara-negara untuk melakukan sesuatu yang terbaik di lingkungan regional mereka. Regionalisme seperti yang dinyatakan oleh Fawcett ini merupakan regionalisme tradisional yang terjadi di era sebelum perang dingin. Motif-motif regionalisme era ini lebih bersifat politis, karena pasca Perang Dunia 2 negara-negara di dunia memandang security sebagai sesuatu yang sangat penting. Sehingga dibutuhkan suatu ‘collective security’ yang dapat menjamin keamanan mereka. Pada era perang dingin, regionalisme terbentuk akibat adanya dua blok yang saling berseteru yaitu blok barat dan blok timur. Selain itu, terbentuk pula Gerakan Non-Blok (GNB) yang tidak memihak pada salah satu blok tersebut. Pada era sesudah perang dingin, muncul yang dinamakan ‘new regionalism’ atau suatu bentuk regionalisme baru. Adanya fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain berakhirnya perang dingin yang juga mengakhiri blok-blok pada era tersebut. Hal ini membawa konsekuensi pada timbulnya keinginan untuk mewujudkan suatu kerjasama internasional yang lebih dilandasi akan motif-motif ekonomi. Salah satu contoh adalah dengan adanya Free Trade Area (FTA), seperti (Asean Free Trade Area) AFTA atau (North Atlantic Free Trade Area) NAFTA. Pembentukan regionalisme semacam ini didasarkan atas motif ekonomi yang juga dilandasi pertimbangan geografis negaranegara anggotanya. Dalam artikel Ravenhill, menurut para ekonom kesejahteraan ekonomi dapat dicapai lebih maksimal jika hambatan-hambatan dikurangi, namun hal ini dibantah oleh para ilmuwan politik yang menyatakan bahwa perdagangan regional semacam ini hanya akan mengurangi kesejahteraan dalam konteks global. Lebih lanjut mereka menuturkan bahwa akan lebih efisien melakukan suatu negosiasi dengan banyak negara daripada dengan suatu negara atau suatu grup kecil. Asumsi para ekonom tersebut diyakini sebagai salah satu motif terbentuknya Uni Eropa yang manjadikan Eropa sebagai suatu pasar tunggal bagi negara-negara anggotanya. Di sisi lain, secara implisit penulis memandang bahwa pemikiran para ilmuwan politik tersebut justru memberikan justifikasi akan terbentuknya kerjasama ekonomi internasional yang diwujudkan dalam bentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Teori Study Regionalisme . Teori memiliki arti penting dalam membuat berbagai proses dan perkembangan dalam regionalism -seperti proses regionalisasi ekonomi dan sosial, pertumbuhan identitas regional, formasi dari institusi antar regional dan kemunculan blok politik regional- menjadi lebih mudah dimengerti sekaligus menggunakan teori tersebut dalam studi kasus. Dalam menjelaskan regionalisme kemudian, ada beberapa teori yang dapat digunakan a. Teori Sistem Teori ini menggarisbawahi pentingnya struktur ekonomi dan politik yang lebih luas serta dampak yang dapat diberikan oleh pihak luar terhadap region itu sendiri. Teori ini memiliki 2 pandangan utama. Pandangan pertama, neorealisme, menitikberatkan pada sistem internasional yang anarki serta pentingnya kompetisi power dan politik. Neorealisme juga concern terhadap ancaman dan pengaruh pihak eksternal terhadap suatu region. Aliran ini tidak terlalu memikirkan apakah regionalisme berjalan dalam ranah politik atau ekonomi karena para neorealis melihat politik dan kompetisi ekonomi merkantilis sebagai pembentuk power yang dibutuhkan dalam dunia tanpa pemerintahan (anarki). Karena dunia adalah anarki, maka neorealis menganggap pentingnya hegemoni yang dapat diwujudkan dalam institusi regional. Hegemoni menguat dalam kerangka institusi. Hal ini diperkuat oleh theory of hegemonic stability dimana pembentukan kerjasama institutional bergantung pada ketidakmerataan power dalam keberadaan hegemoni. Bila negara dengan power lebih besar berusaha menjadikan institusi regional sebagai sarana hegemoni legal, maka negara dengan power lebih kecil menggunakan institusi regional sebagai senjata perlawanan terhasap dominasi negara superpower. Kelebihan aliran neorealisme ini terletak pada kemampuannya menjelaskan pentingnya kekuatan eksternal dan kuatnya hegemoni. Aliran ini juga menjelaskan dengan baik bagaimana logika tentang interaksi strategis para aktor dalam kerangka institusi regional. Namun kelemahannya aliran ini hanya berbicara sedikit tentang berbagai karakter kerjasama regional sebagai ciri khusus yang membedakan regionalisme dari komunitas lain seperti aliansi dan organisasi internasional. Pandangan kedua, interdependensi struktural dan globalisasi, yang muncul sebagai kritik terhadap diabaikannya dinamika perubahan struktur oleh neorealis. Para penganut aliran interdependensi struktural dan globalisasi -Nye, Keohane dan Morse- mengemukakan pandangan mereka tentang perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem internasional, yaitu meluasnya globalisasi sejak era 1990an. Para penstudi memandang regionalisme sama kompleksnya dengan konstelasi global karena sifat multidimensi dalam regionalisme tidak hanya membahas negara tetapi juga semua unsur-unsur kekuatan di dalamnya seperti perusahaan dan kelompok sosial. Para penstudi lain memandang regionalisme sebagai kritikan untuk globalisasi serta terhadap strategi yang dilakukan aktor untuk menghadapi globalisasi. Mereka juga menekankan pentingnya sistem politik yang mengatur distribution of power yang merupakan faktor penting untuk menjelaskan pola regionalisme antar waktu. Kaum realis menganggap ketidakmerataan power memunculkan pemikiran otonom yang tidak bisa diatasi oleh pasar kapitalis dan civil society. Globalisasi memunculkan perubahan di bidang regulasi massive dalam supra-state level dan memunculkan administrative government. Globalisasi menempatkan batas region lebih berarti daripada batas negara. Dalam hubungannya dengan institusi regionalis ala kaum liberalis, ada kalanya globalisasi bertentangan dengan regionalisme dan ada kalanya keduanya saling mendukung. Regionalisme bertentangan dengan globalisasi ketika globalisasi menyebabkan interdependensi antar negara meluas dan memunculkan masalah-masalah yang membutuhkan perhatian global seperti pengungsian dan kejahatan kemanusiaan. Dalam isu global ini, peranan organisasi internasional lebih diperlukan daripada organisasi regional. Selain itu penyebaran organisasi regional juga dirasa lebih ‘kebarat-baratan’ sehingga norma dan identitas organisasi regional menjadi kabur. Globalisasi dapat menjadi katalis regionalisme ketika kebutuhan untuk mengadakan integrasi dalam kawasan meningkat. Selain itu organisasi regionalis dibutuhkan untuk menangkal efek kapitalisme yang dibawa oleh globalisasi yang mengancam perekonomian. b. Regionalisme dan Interdependensi Akhir Perang Dunia membuat dominasi superpower hilang sehingga kekuatan regional mulai mencoba mendominasi. Interdependensi antar region memunculkan konflik keamanan dari dalam sekaligus ancaman intervensi dari luar. Keadaan ini memunculkan kebutuhan untuk keamanan politik walaupun usaha ini diselubungi dengan ‘wajah’ institusi ekonomi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, interdependensi adalah ciri khusus yang jelas terlihat dalam regionalisme. Teori ini menyertai 3 pandangan utama tentang interdependensi dan kerjasama. Pandangan pertama, neofungsionalisme berpendapat bahwa peningkatan interdependensi akan memunculkan kerjasama yang pada akhirnya membuahkan integrasi politik. Pandangan kedua, neoliberal-institusionalisme memandang keberadaan institusi sebagai jawaban atas kebutuhan collective action. Institusi ini penting mengingat banyaknya keuntungan yang dapat diberikan kepada negara-negara yang tergabung di dalamnya. Pandangan ini kemudian fokus pada pola interaksi strategis yang dilakukan para aktor untuk meningkatkan kerjasama. Pandangan terakhir menitikberatkan pada identitas regional sehingga lebih memandang regionalisme dari tatanan sosial daripada ekonomi. Aliran ini disebut kontruktivisme, membangun konstruksi sosial untuk meningkatkan integrasi dan kohesi regional. c. Teori Intra Regional Teori ini memasukkan teori Heartland karya Mackinder yang pada awalnya bertujuan untuk menciptakan pasar bersama dalam kepentingan ekonomi transnasional. Regionalisme Institusi regional dipandang sebagai solusi yang ditujukan untuk berbagai masalah collective action yang ditimbulkan oleh interdependensi karena institusi mempengaruhi pembuatan keputusan dalam perhitungan cost and benefit, mengurangi biaya transaksi, menyediakan informasi dan transparansi serta memfasilitasi pelaksanaan. d. Teori Dalam Level Domestic Dalam level domestik, organisasi regional dilihat dari kesamaan internal yang dimiliki negara anggota seperti sejarah, tradisi, bahasa, etnis, dsb. Fokusnya adalah melihat regionalisme dari kacamata hubungan regionalisme dengan koherensi negara serta tipe rezim dan demokratisasi. Teori domestik ini kurang relevan diterapkan dalam negara berkembang yang mayoritas memiliki pluraritas kependudukan. Bila teori domestik menganggap bahwa kesamaan internal merupakan aspek penting dalam regionalisme dimana kemudian teori ini dapat dihubungkan dengan konstruktivisme dalam kaitannya dengan identitas regional, maka negara berkembang yang rata-rata merupakan bekas daerah kolonial dimana unsur-unsur barat juga melebur dalam budaya mereka, tidak sesuai dengan teori domestik ini, Karena walaupun katakanlah ASEAN, memiliki ketidaksamaan internal, namun ternyata organisasi regional ini dapat diperhitungkan sebagai kekuatan potensial yang mendorong Jepang, Cina dan Korea bergabung dalam ASEAN. B. KARAKTERISTIK REGIONALISME Joseph S. Jr. Nye, seorang teoritisi Hubungan iinternasional dai AS yang cukup terkemuka mengemukakan bahwa konsep ini bersifat ambigious. Lima karakteristik di dalam mengklasifikasikan suatu kawasan, yaitu : 1. Negara-negara yang tergabung dalam suatu kawasan memiliki kedekatan geografis. 2. Mereka memiliki pula kemiripan sosiokultural. 3. Terdapatnya kemiripan sikap dan tindakan politik seperti yang tercermin dalam organisasi internasional. 4. Kesamaan keangotaan dalam organisasi internasional. 5. Adanya ketergantungan ekonomi yang diukur dari perdagangan luar negeri sebagai bagian dari proporsi pendapatan nasional. Sementara itu, menurut Coulumbis dan Wolfe, dalam bukunya yang berjudul Introduction to International Relation, Power and Justice, terdapat empat cara atau kriteria yang bisa dipergunakan untuk mendefinisikan dan menunjuk sebuah kawasan atau region yang sebenarnya sangat ditentukan oleh tujuan analisisnya. Keempat kriteria tersebut adalah: 1. Kriteria geografis: Mengelompokan negara berdasarkan lokasinya dalam benua, sub-benua, kepulauan dan sebagainya seperti Eropa dan Asia. 2. Kriteria politik/militer: Mengelompokan negara-negara dengan berdasarkan pada keikutsertaannya dalam berbagai aliansi, atau berdasarkan pada orientasi ideologis dan orientasi politik, misalnya blok sosialis, blok kapitalis, NATO dan Non-Blok. 3. Kriteria ekonomi: Mengelompokan negara-negara berdasarkan pada kriteria terpilih dalam perkembangan pembangunan ekonomi, seperti, GNP, dan output industri, misalnya negara-negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang atau terbelakang. 4. Kriteria transaksional: Mengelompokan negara-negara berdasarkan pada jumlah frekuensi mobilitas penduduk, barang, dan jasa, seperti imigran, turis, perdagangan dan berita. Contoh ini dapat pada wilayah Amerika, Kanada, dan Pasar Tunggal Eropa. Kemudian, Bruce Russet juga mengemukakan kriteria suatu region, yaitu: 1. Adanya kemiripan sosiokultural; 2. Sikap politik atau perilaku eksternal yang mirip, yang biasanya tercermin pada voting dalam sidang-sidang PBB; 3. Keanggotaan dalam organisasi-organisasi supranasional atau antar pemerintah; 4. Interdependensi ekonomi, yang diukur dengan kriteria perdagangan sebagai proporsi pendapatan nasional; dan 5. Kedekatan geografik, yang diukur dengan jarak terbang antara ibukota-ibukota negara-negara tersebut. C. BENTUK- BENTUK REGIONALISME Kerjasama antar negara-negara yang berada dalam suatukawasan untuk mencapai tujuan regional bersama adalah salah satu tujuan utama mengemukanya regionalisme. Dengan membentuk organisasi regional dan atau menjadi anggota organisasi regional, negara-negara tersebut telah menggalang bentuk kerjasama intra-regional. Dengan kata lain, negara-negara dalam suatu kawasan telah melakukan distribusi kekuasaan diantara mereka untuk mencapai tujuan bersama. Bentuk Integrasi ini dibagi menjadi dua tingkat. Bentuk pertama disebut sebagai "integrasi dangkal (shallow integration) yang hanya mengacu pada upaya regional untuk mengurangi kendala-kendala perdagangan. Bentuk kedua berupa "integrasi dalam (deep integration) yang bertujuan untuk mencapai kesatuan ekonomi dan fiskal secara menyeluruh (full economic and monetary union). Bentuk berikutnya adalah 'interregionalism' dan 'regional transnationalism'. Bentuk kedua megacu pada proses kerjasama yang melibatkan aktor-aktor ekstra regional (termasuk pula aktor-aktor non negara seperti MNC) yang memiliki kesamaan kepentingan ekonomi, politik dan kultural. Bentuk selanjutnya adalah hubungan bi-regional (dua kawasan) dan transregional (antar kawasan). Hingga kini, paling tidak, tercatat lima hubungan bi-regional dan transregional yang mencakup kawasan Amerika, Eropa, Asia Pasifik, dan Afrika. Bentuk ketiga dari regionalisme adalah hubungan antara kelompok regional dengan single power. Hubungan ini merupakan bentuk campuran yang menyerupai hubungan antar kawasan. Namun dalam banyak kasus hubungan ini, single power kerapkali memainkan peranan dominan dalam kerjasama tersebut. Hal ini misalnya terlihat cukup jelas mengenai peran AS yang begitu menonjol dan cenderung dominan di Eropa dan kadang mengganggu hubungan transatlantik AS dengan beberapa negara Uni Eropa. Sumber : http://blogmuhamadtohir.blogspot.com/2011/12/hubungan-internasional.html Sumber menurut webnya Nuraeni S.,dkk, Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional,Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://renalupitasari.student.umm.ac.id/2010/07/14/regionalisme/ http://h4riyono.multiply.com/journal/item/5/Regionalisme_dalam_Hubungan_Internasional_Seb uah_Pengantar http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/3017/1731 http://kopiitudashat.wordpress.com/2009/06/12/kajian-berbagai-teori-dalam-studi-tentangregionalisme/ http://muhammad-ahalla-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-68388-umumGlobalisasi%20dalam%20Hubungan%20Internasional.html http://indira-a--fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-49740-Teori%20Hubungan%20InternasionalRegionalisme.html