proposal disertasi - Sistem Informasi Manajemen Perguruan Tinggi

advertisement
( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.netBAB III
PEMBARUAN HUKUM ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pembaruan Hukum Islam
1. Pengertian Pembaruan Hukum Islam
Sebelum dibahas secara mendalam apa itu pembaruan hukum Islam, akan
diuraikan terlebih dahulu apa itu pembaruan? dan apa itu hukum Islam?
a.
Pembaruan
Secara etimologi, pembaruan berakar dari kata baru, artinya sesuatu yang
belum pernah ada sebelumnya. Pembaruan dimaknai sebagai proses perbuatan
cara memperbarui (cara berpikir masyarakat) atau proses mengembangkan
kebudayaan. Dalam istilah Barat, pembaruan disebut pula modernisasi atau
modernity, yaitu gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan lama menuju
bentuk atau model kehidupan yang baru.
Harun Nasution menghindari penggunaan modernisasi karena istilah
tersebut mengandung arti-arti negatif di samping arti-arti positif. Untuk itu,
beliau lebih memilih menggunakan terjemahan Indonesianya, yaitu pembaruan.
Arti negatif yang dikandung modernisme misalnya sekularisme, individualisme,
kapitalisme, materialisme dan pergaulan bebas. Namun arti-arti positif yang
dimiliki oleh orang modern adalah rasional, kritis, demokratis, cinta iptek,
humanis dan lain-lain.
Berkaitan dengan kata pembaruan ini, banyak istilah sering digunakan,
seperti istilah-istilah yang mencakup modernisasi (Orientalis Barat), tajdid,
is}lah, reformasi, inovasi, sekularisasi-desakralisasi (Cak Nur), reaktualisasi
(Munawir Syazali), pembaharuan (Harun Nasution), fiqh Indonesia (Ibrahim
Husen dan Ali Yafie). Namun, pembaruan yang digunakan oleh Harunlah yang
menjadi rujukan dalam tulisan ini.
Dalam literatur hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti
dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi,
rekonstruksi, tarjih, is}lah dan tajdid. Di antara kata-kata tersebut yang paling
banyak dipergunakan adalah kata reformasi, is}lah, dan tajdid.
Reformasi
berasal dari bahasa Inggris reformation yang berarti membentuk atau menyusun
kembali, reformasi sama artinya dengan pembaruan.
Harun Nasution memberikan definisi pembaruan dengan gerakan atau
pikiran untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern itu.
Dalam definisi Harun Nasution, pembaruan dapat berbentuk pikiran atau
gerakan pikiran, yang merupakan rumusan-rumusan ijtihad. Sifatnya berupa
ide-ide atau lontaran-lontaran pendapat yang bisa dituangkan dalam bentuk tulisan,
artikel dan buku-buku.
Ensiklopedi Islam Indonesia edisi Bahasa Indonesia juga menggunakan
istilah pembaruan bukan modernisme. Pengertian ini pada garis besarnya
mengandung arti upaya atau aktifitas untuk mengubah kehidupan umat Islam dari
keadaan yang sedang berlangsung kepada keadaan baru yang hendak diwujudkan. Ia
juga berarti adanya upaya untuk kemaslahatan hidup umat Islam, baik di dunia
maupun di akhirat sesuai dengan garis-garis pedoman yang ditentukan oleh Islam.
Kalau upaya pembaruan itu melanggar ajaran dasar, maka pembaruan itu tidak bisa
disebut pembaruan dalam Islam, tetapi merupakan pembaruan di luar Islam.
Sedang kata tajdid dalam arti pembaruan adalah mengandung arti
membangun
kembali,
menghidupkan
kembali,
menyusun
kembali
atau
memperbaikinya agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan.
Sedangkan kata is}lah diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki.
Kata tajdid merupakan bentuk masdar dari kata : ‫ َدَ ّدج‬- ‫ُد ِّدَجُي‬yang
artinya “memperbarui” dan tajdid artinya “pembaruan”. Dalam bahasa Arab
disebutkan bahwa tajdid adalah kebalikan dari qadim. Qadim artinya lama. Kata
tajdid mempunyai arti pembaruan, berarti menjadikan sesuatu menjadi baru.
Sedangkan kata is}lah merupakan bentuk masdar dari kata kerja :
‫ ُحِلْصُي – َحَلْص َا‬yang artinya memperbaiki atau perbaikan. Kata is}lah (‫ا‬
‫ )حلص‬berasal dari s|ulas|i mujarrad ‫ ًاحَلَص – حُلْصَي – َحَلَص‬yang artinya
baik, layak, patut dan memberikan faedah atau manfaat. Dalam sejarah
perkembangan pemikiran Islam, kata is}lah dan tajdid sering dipakai secara
berdampingan dengan pengertian yang sama yaitu “pembaruan”.
Dalam literatur berbahasa Arab, kata yang mengandung arti pembaruan
ialah kata tajdid. Tajdid merupakan bentuk masdar kata :‫ َد َّدَج‬- ‫ ُد ِّدَجُي‬‫ ًادْيِدْجَت‬artinya “memperbarui”. Kata Jaddada-yujaddidu
merupakan fi’il
s|ula>s|i mazi>d (kata kerja yang huruf asalnya tiga kemudian mendapatkan
imbuhan). Ia berasal dari fi’il s|ula>s|i mujarrad (kata kerja yang huruf asalnya
terdiri dari tiga huruf), yaitu jadda-yajiddu, yang artinya “baru”. Dalam bahasa
Arab disebutkan bahwa jadid lawannya qadim. Qadim artinya “lama”. Lebih jauh
dalam Kamus Bahasa Arab disebutkan, jaddadahu ay s}ayyarahu jadidan,
artinya sama dengan istajadda, yaitu menjadikan sesuatu menjadi baru.
Bustami Muhammad Saad, mengemukakan bahwa kata tajdid adalah lebih
tepat digunakan untuk membahas tentang pembaruan hukum, sebab kata tajdid
mempunyai arti pembaruan, sedangkan kata is}lah meskipun sering digunakan
secara berdampingan, tetapi lebih berat pengertiannya kepada pemurnian.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat para muhaddisin dan komentatornya seperti
Ibn al-Ashir, al-Nawawi dan al-Syuyuti yang banyak menggunakan kata tajdid
ketika mereka membicarakan pembaruan hukum dengan arti pembaruan. Karena
penggunaan kata tajdid dan is}lah tanpa dibedakan artinya yaitu pembaruan.
Perkataan tajdid dalam pembaruan hukum Islam mempunyai dua makna:
pertama, apabila dilihat dari segi sasaran, dasar, landasan dan sumber yang tidak
berubah-ubah, maka pembaruan bermakna mengembalikan segala sesuatu kepada
aslinya. Kedua, pembaruan bermakna modernisasi, apabila tajdid itu sasarannya
mengenai hal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan sumber
yang berubah-ubah, seperti metode, sistem, teknik, strategi, dan lain-lainnya
untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi, ruang dan waktu. Meskipun tajdid
dalam rumusan ini tidak terlalu jelas penjelasannya, tetapi secara umum tajdid itu
dapat diartikan sebagai reformasi, purifikasi, modernisasi atau pembaruan. Kata
tajdid yang diartikan sebagai “pembaruan” lebih tepat dipergunakan daripada kata
lain yang sepadam, karena selain sesuai dengan istilah dalam agama Islam juga
lebih luas cakupannya dan lebih komprehensif.
Menurut Masjfuk Zuhdi, kata tajdid lebih komprehensif pengertiannya
sebab dalam kata tajdid terdapat tiga unsur yang saling berhubungan, yaitu:
pertama, al-I’adah artinya mengembalikan masalah-masalah agama terutama
yang bersifat khilafiah kepada sumber ajaran agama Islam yaitu al-Qur’an dan
al-hadis. Kedua, al-Ibanah artinya purifikasi atau pemurnian ajaran agama Islam
dari segala macam bentuk bid’ah dan khurafat serta pembebasan berpikir
(liberalisasi) ajaran Islam dari fanatik mazhab, aliran, idiologi yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Ketiga, al-Ihya, artinya menghidupkan
kembali,
menggerakkan,
memajukan
dan
memperbarui
pemikiran
dan
melaksanakan ajaran Islam.
Pembaruan yang dikemukakan ini berbeda dengan pembaruan yang
dikemukakan oleh Harun Nasution, yang lebih menekankan kepada penyesuaian
pemahaman Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan akibat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Masalah-masalah hukum yang perlu diperbarui (ditajdidkan) adalah
hal-hal yang bersifat z}anni dan hendaklah dijauhi hal-hal yang bersifat qat}’i.
Dalam Islam diyakini adanya ajaran-ajaran yang bersifat qat}’i dan ada yang
bersifat z}anni>. Qat}’i suatu ajaran yang bersifat mutlak dan tidak dapat
diinterpretasi, pada umumnya yang menyangkut masalah ibadah, seperti jumlah
rakaat dalam salat fardu, sedang yang z}anni> suatu ajaran yang tidak bersifat
mutlak dan dapat diinterpretasi, pada umumnya yang menyangkut persoalan
mu’amalah. Jadi ruang lingkup pembaruan meliputi seluruh aspek kehidupan
selama tidak diatur dengan ajaran-ajaran yang bersifat qat}’i.
Ulama pada umumnya melihat bahwa konsep ajaran-ajaran Islam yang
z}anni> itu jauh lebih banyak dibanding dengan nas}-nas} yang qat}’i . Hal
inilah yang sangat memungkinkan ajaran itu mengalami pembaruan atau
reinterpretasi seiring dengan perkembangan dan kemajuan pemikiran umat
manusia saat ini.
Penggunaan kata tajdid dalam membicarakan pembaruan hukum Islam di
dasarkan kepada al-Qur’an, antara lain Surah Ibrahim (14):19
..ِ. ‫ ْن ا‬ù't±o„ öNä3ö7Ïdõ‹ãƒ ÏNù'tƒur 9,ù=sƒ¿2
7‰ƒÏ‰y`
Terjemahnya:
. . . Jika Allah menghendaki, maka Allah akan melenyapkan kamu dan
mengganti dengan generasi yang baru.
Dalam hadis Riwayat Abu> Dawud disebutkan :
‫ُثَعْبَي َهلّلا َّنِا " َلاَق َمَّلَسَو ِهْيَلَع هّللا ىَّلَص هّللا ِلْوُسَر ْنَع‬
‫ " َاهَنْيِد اـَهَل ُد ِّدَجُي ْنَم ٍةَنّس ِةَئ اِم ِّلُك ِسْأَر ىَلَع ِةَّم ألا ِهِذهِل‬.
Artinya; Rasulillah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengutus
untuk umat ini (umat Islam) pada penghujung setiap seratus tahun
orang-orang yang memperbarui agama mereka” (Riwayat Abu> Da>wud).
Hadis yang lain diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal disebutkan :
‫" ْمُكَن اَمْيِا اْو ُد ِّدَج " مّلسو هيلع ُهّللا ىّلص ِهَّللا ُلْوُسَر َل اَقَو‬
‫ْنِم اْوُرِثْك َا" َلاَق اـَنـَن َامْيِا ُد ِّدَجُن َفْيَكَو ِهّللا َلْوُسَر اَي َلْيِق‬
‫" ُهّللا َّالِا َهلِا َال ِلْوَق‬.
Artinya; Bersabda Rasulillah saw. “Perbarui Imanmu”. Rasulullah ditanya,
“Bagaimana kami memperbarui iman ? Rasulullah menjawab: “Perbanyaklah
membaca la ilaha illallah”. (Hadis riwayat Ahmad bin Hambal).
Menurut Yusuf Qard}awi yang dimaksud dengan tajdid adalah berupaya
mengembalikannya pada keadaan semula sehingga ia tampil seakan barang baru.
Hal itu dengan cara memperkokoh sesuatu yang lemah, memperbaiki yang usang
dan menambal kegiatan yang retak sehingga kembali mendekat pada bentuknya
yang pertama. Dengan kata lain, tajdid bukan merombak bentuk yang pertama atau
menggantinya dengan yang baru. Sebagai contoh kongkrit, bila ingin mentajdid
(memperbarui) suatu bangunan tua, berarti kita membiarkan subtansi, ciri-ciri,
bentukan dan karakteristik bangunan itu. Kita hanya memperbaiki yang rusak,
menghiasinya kembali, menambal yang kurang, memperindah bagian yang sudah
lumat. Jadi, memperbarui bangunan bukan menghancurkannya lantas diganti
dengan bangunan baru yang berbeda. Demikian pula tajdidu din bukan bermakna
mengubah din, tapi mengembalikannya menjadi seperti dalam era Rasulullah saw.,
para sahabat dan tabi’in.
Sejak awal abad ke-15 H., tajdid (pembaruan) telah dilaksanakan dalam
bidang intelektualitas dan peradaban yang luas dan dalam. Suatu tajdid diharapkan
dapat menghidupkan kembali semangat dua macam ijtihad yakni, ijtihad
intiqa>’i (dengan mentarjih pendapat melalui penelitian dan penyeleksian) dan
ijtihad insya>’i (dengan cara menetapkan hukum untuk perkara baru), yaitu untuk
mendiagnosa obat Islam itu sendiri, bukan menyembuhkan dan resep bikinan
Barat maupun Timur.
Berkaitan dengan ruang lingkup tajdid para us}u>liyyun membuat hukum
yang menjadi wilayah ijtihad dan yang bukan menjadi wilayah ijtihad. Secara garis
besar, wilayah ijtihad meliputi dua hal, yaitu hukum-hukum yang tidak ada
petunjuk nas} sama sekali dan hukum-hukum ditunjuk nas} yang z}anni>.
Sedangkan hukum-hukum yang telah ditunjuk oleh nas} qat}’i dalalanya, maka
tidak ada sedikitpun ruang gerak untuk ijtihad. Dorongan berijtihad terhadap
hukum yang ditunjuk nas} qat}’i tersebut dikristalkan menjadi sebuah kaidah :
‫ْيِعْطَق ُحْي ِرَّصَن يِف اَمْيِف د اهِتْج َألِِل َغ اَسُم َال‬
(tidak ada peluang
untuk berijtihad dalam hukum-hukum yang telah ada nas}nya secara jelas dan
qat{‘i ).
Suatu tajdid harus mampu mengembalikan gaya Islam yang sesuai dengan
bahasa masa, mengena bagi seluruh masyarakat, perlu terhadap tren zaman,
mempunyai karakteristik Islam dan kepribadian masyarakat. Tajdidi harus
memiliki konsep dan pemahaman yang luas dan mendalam serta selaras dalam
al-Qur’an Surat Ibrahim (14):4
!$tBur
$uZù=y™ö‘r&
`ÏB
@Aqߙ§‘
žwÎ)
Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% šúÎiüt7ãŠÏ9 öNçlm;
( ‘@ÅÒãŠsù ª!$# `tB âä!$t±o„ “ωôgtƒur
`tB
âä!$t±o„
4
uqèdur
Ⓝ͓yèø9$#
ÞO‹Å3ysø9$# ÇÍÈ
Terjemahnya :
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka
Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada
siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana.
Dalam pengembangan budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin
dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada
mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai
hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin
seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara) Kedua alternatif tersebut
akan mempengaruhi pembentukan hukum Nasional pada masa yang akan datang.
b. Hukum Islam
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan
literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh,
hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan
terjemahan dari term islamic law” dari literatur Barat.
Istilah hukum Islam mulai muncul pada literatur Barat ketika para
orientalis Barat mulai mengadakan penelitian tentang syariat Islam dan mereka
menggunakan istilah islamic law yang secara harfiah dapat diartikan dengan
hukum Islam. Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan kata Islam
yang secara terpisah merupakan kata yang dipergunakan dalam bahasa Arab dan
juga berlaku dalam bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun tidak
ditemukan artinya secara definitif. Karena itu, untuk menjelaskan pengertian
hukum Islam, ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam pembahasan ini,
yaitu istilah hukum, syariat, fiqh dan hukum syarak.
1). Hukum
Kata hukum dan yang berhubungan dengan itu dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Arab al-h}ukm. Lafaz al-h}ukm dan kata-kata yang diambil
dari kata tersebut dipergunakan dalam al-Qur’an sebanyak 210 kali. Lafaz
al-h}ukm sendiri adalah masdar dari kata kerja h}akama, yah}kumu, terulang
sebanyak 30 kali. Bahasa-bahasa daerah yang tumbuh di Indonesia tidak ditemukan
kata yang dapat mewakili pengertian kata inggris (law), kata Belanda dan Jerman
(recht) atau kata latin (ius). Karena itu, pengertian hukum di sini dipusatkan pada
kata hukum yang berasal dari bahasa Arab.
Kata al-h}ukm dari bahasa
Arab, al-h}ukm (jamaknya al-ah}ka>m) berarti, “putusan” (judgement, verdict,
decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command), “pemerintah”
(goverment), “kekuasaan” (authority, power), “hukuman” (sentence). Kata
kerjanya h}akama, yah}kumu, menurut Ibn Faris mempunyai arti etimologis,
“mencegah” dan bermakna leksikal “menyelesaikan atau memutuskan suatu
urusan, memberi kekang, dan mencegah seseorang dari apa yang diingininya”.
Muhammad Muslehuddin mengemukakan, hukum adalah:
}}}
“The body of rules, wether proceeding from formal enactment or from
custom, which a particular state or community recognizes as binding on
its members or subjects”.
(Sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat yang diakui
oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi anggotanya).
Perkataan hukum dan segala makna yang berhubungan dengannya yang
sudah populer digunakan dalam bahasa Indonesia bersumber dari bahasa Arab
berasal dari kata kerja : ‫َمَكَح‬- ‫ ُمُكْحَي‬berarti memutuskan, mengadili,
menetapkan, memerintahkan, menghukum, mengandalikan dan lain-lainnya.
Asal usul kata h}akama berarti mengendalikan dengan satu pengendalian.
Hukum tersebut berhubungan dengan keputusan atau perintah yang bijak. Karena
itu, hukum diartikan juga kebijakan atau policy. Sedangkan pengertian hukum
secara umum misalnya terungkap dalam bahasa “anda memutuskan sesuatu dengan
begitu dan begini, baik keputusan tersebut mengikat orang lain ataupun tidak.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam kata hukum berasal dari kata Arab
al-H{ukm berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Secara
bahasa al-H{ukm berarti juga mempunyai pengertian al-Qada’ (ketetapan), dan
al-Mani’ (pencegahan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hukum diartikan
sebagai, (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, (2) undang-undang, peraturan dan
sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, (3) patokan (kaidah,
ketentuan mengenai peristiwa (alam dsb) yang tertentu, (4) keputusan
(pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis.
Pengertian h}ukum
yang sudah populer bagi masyarakat Indonesia
tersebut tidak serta merta juga dipahami dalam satu pengertian, melainkan masih
mengandung pengertian yang bervariasi antara satu dengan yang lainnya
tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Adanya perbedaan dalam
memaknai h}ukum itu seiring dengan perkembangan ilmu h}ukum
dan
aliran-aliran yang berkembang di dalamnya, demikian pula adanya tuntutan sebagai
akibat pergeseran peradaban manusia sesuai dengan tuntutan zaman.
Pemaknaan h}ukum secara sederhana diartikan sebagai peraturan-peraturan
atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik peraturan atau norma tersebut berupa kenyataan yang
tumbuh dan berkembang, maupun peraturan atau norma yang sengaja dibuat
dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Kata hukum dalam al-Qur’an sebagai putusan atau ketetapan terhadap
permasalahan yang diputuskan atau ditetapkan (h}ukima), di samping berhubungan
dengan perbuatan Allah, juga berhubungan dengan perbuatan manusia. Dengan kata
lain, hukum ada yang berasal dari ketentuan Allah dan ada yang berhubungan
dengan ketentuan manusia.
Hukum yang menyangkut perbuatan Allah di akhirat misalnya, adalah
keputusan yang akan Ia berikan di hari akhirat terhadap permasalahan yang
diperdebatkan di kalangan manusia. Misalnya, keputusan menyangkut perselisihan
antara umat Kristen dan umat Yahudi (Q.S. al-Baqarah/2:113), antara sesama
pengikut Nabi Isa tentang ststus kematian beliau (Q.S. A<li Imra>n/3:55), dan
antara umat Nabi Syu’aib yang beriman dan yang tidak beriman (Q.S.
al-‘A’ra>f/7:87). Keputusan atau ketetapan Allah memang berlaku di dunia dan di
akhirat, sehingga sebutan lain untuk Allah dalam al-Qur’an adalah Ma>lik Yaum
al-Di<n (Penguasa atau Raja Hari Agama atau perhitungan). Berbeda dengan di
dunia, di akhirat, manusia tidak dapat menyangga keputusan Allah swt. Bila
semasa kehidupan di dunia ada keputusan hukum yang dijatuhkan tidak
berdasarkan fakta yang sebenarnya, keputusan hukum dalam kehidupan di akhirat
betul-betul berdasarkan fakta sesungguhnya. Kebaikan akan dibalas dengan
kebaikan, dan keburukan akan dibalas dengan keburukan.
Hukum menyangkut perbuatan manusia adalah hukum sebagai perintah dari
Allah supaya memutuskan perkara atau urusan (di dalam atau di luar pengadilan,
dan dalam masyarakat pada tingkat kehidupan bernegara) berdasarkan keadilan
(Q.S. al-Ma>’idah/5:5, al-Nisa>’/4:58) dan sesuai dengan yang diajarkan oleh
Allah (al-Nisa>’/4:105).
Dalam hal memutuskan permasalahan yang dihadapi, manusia diminta
untuk mendekati Allah dalam hal keadilan, kedalaman ilmu, integritas diri,
keahlian, kembali ke jalan yang benar, keterikatan pada ketentuan (Kitab,
ketentuan Allah dalam Kitab-Nya), sifat baik, keterbatasan dari segala
kepentingan kebijakan, dan keluasan wawasan. Hal itu, karena dalam diri manusia
yang berasal dari ciptaan Allah terdapat kualitas-kualitas ketuhanan. Salah satu
atribut ketuhanan adalah al-h}aki>m (pemutus perkara, penguasa yang bijak).
Kualitas ini dalam al-Qur’an sering dihubungkan dengan ‘ali>m (maha
mengetahui), ‘azi>z (maha mulia), khabi>r (maha ahli), tawwa>b (maha
penerima taubat), h}ami>d (maha terpuji), ‘ali (maha transenden, sangat teratas)
dan wa>si’ (maha luas). Al-Qur’an sendiri sebagai ketentuan hukum Allah adalah
sebuah kitab (ketentuan, aturan) yang h}aki>m (sangat teliti dan bijak).
Q.S. al-Nisa>’(4):58 menjelaskan :
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè?
ÏM»uZ»tBF{$#
#’n<Î)
$ygÎ=÷dr&
#sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br&
(#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$#
$­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$#
tb%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt/
Terjemhnya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya
Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha Melihat.
Kata “memutuskan hukum” di sini jelas tidak hanya berarti memutuskan
perkara di pengadilan dengan pengertian mengadili atau memutuskan perselisihan
antara dua pihak yang bersengketa atau lebih, tetapi juga dalam pengertian
“memerintah” atau “memegang dan menjalankan kekuasaan politik”. Keharusan
adil di sini menyangkut sikap semua orang yang berada posisi membuat dan
melaksanakan keputusan, baik di lingkungan keluarga, atau masyarakat dan negara,
maupun di bidang hukum, ekonomi, politik atau lainnya. Kata kepercayaan dalam
bentuk jamak (ama>na>t) mencakup segala bentuk kepercayaan dari Allah dan
kepercayaan dari masyarakat agar manusia bertindak adil sesuai dengan
tuntunan-Nya.
Karena itu, hukum menurut al-Qur’an adalah ketetapan, keputusan dan
perintah yang berasal dari Allah dan legislasi manusia yang bertujuan untuk
menegakkan keadilan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara. Sebagai
ketetapan yang berasal dari perintah Allah Yang Maha Adil, Maha Benar, Maha
Tahu kemaslahatan hamba-Nya, hukum ini berisikan keadilan seluruhnya. Sebagai
ketetapan yang berasal dari legislasi manusia, hukum manusia harus berdasarkan
kepada hukum Ilahi dan rasa keadilan yang paling tinggi.
2). Syariah
Syariat secara bahasa, syariat (syari>’ah) dalam bahasa Arab berarti “jalan
yang lurus”. Istilah ini juga berarti “jalan ke sumber air” dan “tempat orang-orang
untuk minum”. Orang Arab menggunakan istilah ini khususnya dengan pengertian
“jalan setapak menuju sumber air yang tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga
tampak oleh mata”. Dengan pengertian bahasa tersebut, syari>’ah berarti suatu
jalan yang harus dilalui. Atau menurut istilah Ahmad Hasan, suatu jalan yang jelas
untuk diikuti (the clear parth or “the highway” to be followed). Menurut Abu>
al-Husain Ahmad bin Fa>ris bin Zakariyya>, perkataan syariat yang berasal dari
akar kata ‫ر‬- ‫ ش‬dan ‫)عرش( ع‬, berarti sesuatu yang dibuka jalan secara lebar
kepadanya. Dari sinilah terbentuk kata syariat yang berarti sumber air minum.
Menurut terminologi agama (al-syar’), al-syari>’ah pada mulanya
mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih (fiqh) dan hukum, tetapi
mencakup pula akidah dan segala yang diperintahkan Allah. Dengan demikian,
syariat mengandung arti mengesankan Allah, menaati-Nya, beriman kepada
rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari pembalasan. Singkatnya, pengertian
syariat mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi Muslim.
Pengertian inilah yang terkandung dalam Q.S. al-Ja>siyah (45):18 yang berbunyi:
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4’n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB
̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿ. . .
Terjemahnya :
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu …
Sejalan dengan pengertian yang terkandung dalam ayat di atas, Abba>s
Husni> Muhammad menegaskan bahwa syariat adalah identik dengan (kandungan)
Alquran dan hadis Nabi.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa pada mulanya syariat tidak lain
dari ajaran Islam secara keseluruhan yang disebut juga al-di>n (‫ )نيدلا‬seperti
yang ditegaskan dalam Q.S. al-Syu>ra> (42):13 yang berbunyi:
tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ӝ»ur
¾ÏmÎ/
%[nqçR
!$uZøŠym÷rr&
ü“Ï%©!$#ur
y7ø‹s9Î)
$tBur
$uZøŠ¢¹ur
ÿ¾ÏmÎ/
tLìÏdºtö/Î)
4Óy›qãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r&
tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs? ÏmŠÏù ...
Terjemahnya :
Dia Telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah kami wasiatkan kepad Ibarahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…
Jadi, syariat adalah apa yang digariskan/ditentukan oleh Allah dalam agama
untuk pengaturan hidup para hambanya. Berdasarkan ini, ‘Abdullah Yusuf ‘Ali
menerjemahkan syari’at sebagai “the right way of religion” (jalan agama yang
betul) yang lebih luas daripada sekedar ibadah-ibadah formal dan ayat-ayat hukum
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ia tidak lain dari al-di>n (agama) itu
sendiri, karena di antara pengertian al-di>n adalah kekuasaan (al-mulk), power
(al-sulta>n), pemerintahan, hukum (al-h}ukm) dan peradilan (al-qada>’) yang
mengikat banyak orang. Nabi Yusuf yang sengaja menangkap saudaranya, seperti
dikisahkan oleh Alquran, sebenarnya tidak ingin memberlakukan di>n al-malik
(aturan/hukum Raja) kecuali atas kehendak Allah (Q.S. Yu>suf/13:76).
Sebagai al-di>n, syari’at Islam sebenarnya mencakup segi keyakinan dan
segi amalan dalam agama. Dengan demikian, syariat adalah hukum Ilahi dengan
pengertian bahwa ia adalah perwujudan kongkret dari kemauan Ilahi melalui
kepatuhan manusia untuk mengikuti tuntutanan-Nya dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat. Perwujudan kemauan Ilahi itu bukan hanya satu perangkat
ajaran-ajaran yang kongkret, orang tidak hanya diminta agar menjadi dermawan,
rendah hati, atau adil, tetapi juga diminta untuk melakukannya dalam keadaan
khusus kehidupan yang disertai dengan sanksi dalam hal pelanggaran.
Penggabungan antara hukum dan agama berlanjut sampai ke abad-abad
berikutnya. Semua uraian hukum yang tak terpisah dari agama ini dimulai dengan
kewajiban-kewajiban keagamaan atau ibadat (seperti t}aha>rah, salat, puasa, dan
haji). Kemudian dilanjutkan dengan masalah-masalah hubungan kemanusiaan
(muamalah), yang mencakup bidang sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain.
Kitab-kitab hukum Islam (fiqh) sampai sekarang tetap memakai sistematika
seperti ini. Seperti disebutkan oleh Gibb, ketidakterpisahan antara agama dan
hukum ini memang menjadi ciri semua agama Semitis (dalam istilah Islam
disebut agama-agama Samawi), yakni hukum tidak dipandang sebagai produk
pikiran manusia yang beradaptasi dengan cita-cita dan kebutuhan sosial yang
berubah, tetapi sebagai wahyu ilahiah yang tidak dapat berubah. Akan tetapi,
menurut pemahaman fukaha, istilah syariat ini digunakan secara khusus untuk
menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum yang berhubungan dengan perbuatan
manusia (al-ah}kam al-‘amaliyyah) atau ketentuan-ketentuan hukum membebani
yang mayangkut perbuatan manusia (al-ah}ka>m al-taklifiyyah al-‘amaliyyah).
Hal ini setidaknya dikemukakan oleh Ahmad Hasan. Bahkan Mahmud Syaltut
menulis buku yang secara tegas membedakan syariat dari akidah sebagaimana
terkesan dari judul buku tersebut, al-Isla>m 'Aqi>dah wa Syari>’ah. Judul buku
ini jelas menunjukkan bahwa syariat mempunyai arti sudah dipersempit karena di
dalamnya tidak lagi termasuk akidah. Dengan demikian, istilah syariat tidak lagi
dipahami oleh kebanyakan orang dalam arti luas tetapi sudah menjadi istilah yang
terkadang diidentikkan dengan fikih atau hukum Islam.
Meskipun istilah syariat dapat diartikan secara sempit dengan arti fikih
atau hukum Islam, namun sebenarnya istilah syariat tidaklah identik dengan fikih
atau hukum Islam, sebab kalau fikih dan hukum Islam dapat bersumber dari ijtihad,
syariat berbeda dari itu karena ia sepenuhnya bersumber dari Allah sebagai
Pencipta syariat (Al-Sya>ri’). Perbedaan syariat dan fikih akan terlihat dalam
pembahasan istilah fikih seperti di bawah ini.
3). Fiqh
Secara harfiah istilah fiqh berasal dari akar kata yang terdiri dari ‫ ق‬- ‫ف‬
dan ‫ )هقف( ه‬yang berarti mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa perkataan fiqh menunjuk kepada pengetahuan
tentang hukum-hukum agama dan hukum-hukum syariat. Salah sati satu
doamenyebutkan: ‫( نيوأتلا ههقفو نيدلا هملع مهللا‬Wahai Tuhan, ajarkanlah
kepadanya pengetahuan agama dan jadikanlah dia memahami takwil).
Dalam al-Qur’an, perkataan fiqh yang dikaitkan dengan pengetahuan agama
disebut Q.S. al-Taubah (9):122 yang berbunyi:
Ÿwöqn=sù
txÿtR
öNåk÷]ÏiB
`ÏB
Èe@ä.
7ps%öÏù
×pxÿͬ!$sÛ
(#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 ’Îû Ç`ƒÏe$!$# …
Terjemahnya:
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama …
Adapun pengertian fiqh menurut istilah antara lain dikemukakan Abu>
Zahrah adalah mengetahui hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang dikaji
dari dalil-dalilnya secara terperinci. Sedang menurut al-‘Amidi>, fiqh ialah ilmu
tentang perangkat hukum syarak yang bersifat furu’iyyah yang didapatkan melalui
penalaran dan istidla>l.
Dari kedua definisi fiqh tersebut di atas dapat diambil pengertian bahwa
fiqh itu bukanlah hukum syarak itu sendiri, melainkan interpretasi terhadap hukum
syarak itu, yang merupakan interpretasi bersifat z}anni> yang terpengaruh dengan
situasi dan kondisi yang melingkupinya, maka fiqh dapat berubah seiring dengan
perubahan waktu dan tempat.
Secara esensial, fiqh dalam arti pemahaman adalah hasil uasaha
sungguh-sungguh yang dilakukan oleh para mujtahid. Di sni dapat dipahami bahwa
fiqh merupakan produk nalar dari mujtahid ketika mereka berusaha menggali
hukum-hukum amaliah dari nas}-nas} syariat (al-Qur’an dan hadis nabi).
Mujtahid dalam menggunakan nalarnya untuk mengetahui hukum, ia menghadapi
dua kemungkinan. Pertama, mereka dapat langsung mengetahui hukum setelah
menelaah sejumlah nas} yang dapat memberi pengertian induktif tentang hukum
yang digali, yang demikian ini disebut fiqh tekstual (al-Fiqh al-Nus}u>s}).
Kedua, mujtahid mengetahui
hukum tentang suatu perbuatan setelah
menggunakan lebih banyak nalar karena obyek hukum yang dimaksud tidak disebut
secara tegas dalam nas}-nas} syariat, yang demikian ini disebut fiqh kontekstual
berdasarkan ijtihad (al-Fiqh al-Ijtiha>di>).
Baik fiqh tekstual maupun fiqh kontekstual, dua-duanya merupakan hasil
pemahaman mujtahid. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam memahami
suatu obyek hukum, hasil pemahaman fiqh yang diperoleh seorang mujtahid
berbeda atau bertentangan dengan yang diperoleh oleh mujtahid lain. Di sini
terasa jelas betapa berbedanya antara fiqh dengan syariat. Syariat dalam arti
nas}-nas} yang mengandung hukum adalah berasal dari Allah, sedangkang fiqh
sebagai upaya memahamkan hukum syariat bersal dari pemikiran mujtahid.
Karena itu, syariat bersifat mutlak dan universal, berlaku untuk segala zaman dan
tempat, sedang fiqh sebagai hasil pemahaman dan penafsiran dari syariat tidak
mesti universal, karena ia lahir dari ijtihad ulama sesuai dengan konteks dan
kondisi zamannya.
Ijtihad dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi diolah
dan diputuskan berdasarkan pertimbangan akal sehat dari mujtahid yang
bersangkutan (al-ra’yi). Karena itu memungkinkan adanya pendapat yang lebih
dari satu, atau perbedaan dan kebinekaan pendapat di kalangan para mujtahid.
Kebinekaan tersebut menurut seorang pengamat modern hukum Islam harus
dipandang sebagai sebuah pertanda aktif fleksibilitas hukum Islam, dan bukan
sebagai penutup yang bersifat dogmatis terhadap keberlakuannya. Kebinekaan dan
perbedaan itu memang ada dan inilah yang melahirkan berbagai mazhab atau aliran
di dunia Islam. Perbedaan-perbedaan ini bersifat alami karena perbedaan wawasan,
lingkungan, tidak adanya nas} (teks agama) yang sahih atau sebuah nas} dipandang
sebagai mansu>kh (dibatalkan oleh nas} yang lain) atau sebuah hadis dipandang
lebih sahih oleh seorang mujtahid tetapi tidak dipandang sahih oleh yang lain.
Semuan imam mujtahid mengatakan bahwa apa yang mereka simpulkan sebagai
hukum fiqh adalah sebenarnya hanyalah pendapat mereka dan tidak mempunyai
unsur kekudusan sama sekali. Apabila dibelakang hari ternyata pendapat mereka
tidak benar atau bertentangan dengan nas} yang jelas, mereka meminta untuk
meninggalkan pendapat mereka dan mengambil pendapat yang mempunyai dasar
yang lebih kuat. Jadi, hukum Islam dalam arti fiqh adalah hasil ijtihad yang dapat
mengalami perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan waktu dan tempat pada
zamannya.
4). Hukum Syarak (‫)يعرشلا مكحلا‬
Untuk menghindarkan adanya kerancuan dan kesalahpahaman, sebelum
menguraikan pengertian hukum syarak perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa
pada hakekatnya, secara garis besar, hukum syarak dapat diklasifikasi menjadi tiga
bagian.
Pertama,
hukum
syarak
yang
berhubungan
dengan
perihal
akidah/keimanan (‫)ةيداقتعا ةيعرش ماكحا‬. Kedua, hukum syarak yang
berhubungan dengan akhlak.(‫ )ةيقلخ ةيعرش ماكحا‬Ketiga, hukum syarak yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf‫) )ةيلمع ةيعرش ماكحا‬.
Hukum syarak bagian pertama menjadi kompetensi kajian ilmu tauhid
(ilmu kalam). Bagian kedua menjadi kompetensi kajian ilmu akhlak dan tasawuf.
Bagian ketiga menjadi kompetensi kajian ilmu fiqh dan us}u>l fiqh. Fiqh dan
Us}u>l fiqh hanya membatasi kajiannya pada hukum syarak kategori ketiga.
Bagian ketiga inilah yang populer disebut “hukum Islam”, sehingga apabila disebut
hukum Islam maka yang dimaksud adalah hukum Islam yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf (‫)ةيلمع ةيعرش ماكحا‬.
Hukum syarak didefinisikan oleh para ahli hukum Islam (us}u>liyyu>n)
sebagai berikut:
‫ِرْيِيْخَّتلا ِوَا ِءاَضِتْق ِأل اِب َنْيِفَّلَكُملا ِلاَعْف َأِب ُقِلَعَتُملا هللا ُباَطِخ‬
‫ِعْض َوْلا ِوَا‬.
Artinya:
Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik
berupa Iqtid}a>’(perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran
untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih
antara melakukan dan tidak melakukan), atau wad}’i (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ [penghalang]).
Dari pengertian hukum syarak menurut istilah us}u>l fiqh di atas dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
Dari kata ‫ هللا باطخ‬dapat diketahui bahwa yang berhak menetapkan hukum
syarak hanyalah Allah. Dari sini muncul prinsip ‫( هلل الا مكح ال‬tidak ada yang
berhak menetapkan hukum Islam selain Allah). Mengenai sumber hukum syarak
selain al-Qur’an, seperti sunnah Nabi, ijmak, qiya>s dan sebagainya, pada
dasarnya hanyalah berfungsi sebagai memberitahu terhadap hukum tersebut (‫فرعم‬
‫)مكحلل‬, bukan menetapkan. Demikian juga Rasulullah saw. tidaklah berhak
menetapkan hukum. Tugas beliau hanyalah menyampaikan dan menjelaskan.
Mengenai mujtahid atau fukaha, mereka pula tidak berhak untuk menetapkan
hukum. Tugas mereka hanyalah menggali hukum yang belum ditegaskan oleh
nas}/teks al-Qur’an dan sunnah.
Dari kata ‫هللا باطخ‬, juga dapat dipahami bahwa hukum syarak ada yang
ditegaskan secara langsung olah al-Qur’an atau sunnah Nabi, dan ada yang tidak
ditegaskan secara langsung; dan baru diketahui setelah digali oleh mujtahid
melalui ijtihad. Kategori pertama dikenal dengan istilah syariat dan kategori
kedua dikenal dengan istilah fiqh.
Dari kata ‫ نيفلكملا لاعف أب قلعتملا‬, dapat diketahui bahwa obyek
hukum adalah perbuatan mukallaf, bukan zat (benda), dan yang perlu digaris
bawahi disini adalah kata “perbuatan”, sehingga atribut hukum hanya dapat
dikenakan pada perbuatan, tidak dapat diterapkan pada zat. Karena itu, ketika Q.S.
al-Ma>’idah (5):3 menyatakan :
ôMtBÌhãm
ãNä3ø‹n=tæ
èptGøŠyJø9$#
ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌ“Yσø:$# . . .
Terjemahnya :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…
Maksudnya adalah diharamkan atas kamu sekalian memakan atau
memanfaakannya. Demikian jika dikatakan bahwa ini uang halal atau uang haram,
maksudnya adalah uang yang diperoleh dengan jalan halal atau haram.
Dari kata ‫ نيفلكملا لاعف أب قلعتملا‬juga dapat diketahui bahwa hukum
syarak yang berhubungan dengan prihal akidah dan akhlak tidak bisa dinamakan
sebagai hukum. Atas dasar inilah sebagian ulama berpendapat bahwa ajaran Islam
yang berkaitan dengan akidah dan akhlak tidak bisa dinamakan hukum Islam.
Dari kata ‫ عض ولا وا رييختلا وا ءاضتق أل اب‬dapat diketahui bahwa
hukum syarak terbagi menjadi dua macam, yaitu hukum takli>fi> dan hukum
wad}’i>. Dari kata
‫ ءاضتقألاب‬tercakuplah hukum ija>b (wajib), nadb (sunnah), tahri>m (haram),
dan kara>hah (makruh). Kata ‫ رييختلا‬muncullah hukum iba>h}ah (mubah).
Kelima hukum ini dikenal dengan hukum takli>fi> yang lazim juga disebut
al-ah}ka>m al-khamsah (hukum lima). Dari kata ‫ عض ولا‬lahirlah hukum
wad}’i> yang tiga, yaitu sebab, syart} dan ma>ni’.
Sebab artinya khit}a>b (firman) Allah yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab bagi yang lain. Seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya
melaksanakan salat Zuhur. Sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Isra>’
(17):78 sebagai berikut :
ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$#
Ï8qä9à$Î!
ħôJ¤±9$# 4’n<Î) È,|¡xî È@ø‹©9$# …
Terjemahnya :
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam…
Syart} artinya firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat bagi
sesuatu yang lain. Seperti kemampuan adalah menjadi syarat bagi wajibnya
menunaikan ibadah haji, sejalan firman Allah dalam Q.S. A>li ‘Imra>n (3):97
sebagai berikut :
ÏmŠÏù
7M»tƒ#uä
×M»uZÉit/
ãP$s)¨B
zOŠÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzyŠ tb%x.
$YYÏB#uä 3 ¬!ur ’n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm
ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó™$# Ïmø‹s9Î)
Wx‹Î6y™ 4 `tBur txÿx.
¨bÎ*sù ©!$#
;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$#
Terjemahnya :
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;
barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam.
Ma>ni’ artinya firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang
bagi sesuatu yang lain. Seperti haid menjadi penghalang bagi kebolehan
melakukan hubungan suami-isteri, sesuai firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah
(2):222 sebagai berikut :
štRqè=t«ó¡o„ur
ö@è%
uqèd
Ç`tã
“]Œr&
ÇيÅsyJø9$#
(
(#qä9͔tIôã$$sù
uä!$|¡ÏiY9$# ’Îû ÇيÅsyJø9$# ( Ÿwur
£`èdqç/tø)s?
4Ó®Lym
tbößgôÜtƒ
(
#sŒÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]ø‹ym
ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä†
tûüÎ/º§q­G9$#
=Ïtä†ur
šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$#
Terjemahnya :
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Para pakar us}u>l fiqh menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kata
khita>bulla>h dalam definisi hukum Islam tersebut adalah kala>m nafsi
aza>li>, artinya firman Allah yang qadi>m yang tidak dapat disifatkan seperti
apa dan bagaimana. Karena itu, untuk mengetahui hukum Allah (hukum Islam)
harus ada yang memberi tahu (mu’arrif), yaitu dalil yang dapat dipahami oleh
kemampuan akal manusia. Dalil tersebut ialah al-Qur’an, sunnah Nabi, ijmak,
qiya>s. istis}la>h}, istih}sa>n, dan lain-lain. Lewat dalil-dalil inilah mujtahid
akan menggali dan mengungkapkan hukum syarak yang berhubungan dengan
tingkah laku, segala segi hidup dan kehidupan, dan problematika yang dihadapi
umat manusia. Dari sini muncul saling keterkaitan antara perbuatan manusia,
hukum syarak, dalil hukum, ijtihad, dan mujtahid tidak mungkin bisa terlepaskan.
Dari keterangan hukum syarak di atas, maka dapat dipahami bahwa hukum
Islam dalam satu rangkaian kata Hasbi Ash-Shiddiqy memberikan definisi hukum
Islam adalah “koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai
dengan kebutuhan masyarakat”. Pengertian hukum Islam dalam definisi ini
mendekati kepada makna fiqh.
Dalam khasanah ilmu hukum di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami
sebagai penggabungan dua kata, berarti mencegah atau menolak. Hukum Islam
harus mencegah ketidakadilan, kezaliman, dan segala bentuk penganiayaan dan
kekerasan. Perwujudan makna hukum dalam berbagai ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf (manusia dewasa dan cakap) dapat berupa
bentuk tuntutan, pilihan dan wad}’i> (hubungan antara satu perbuatan dengan
perbuatan lain). Ayat al-Qur’an yang berisi perintah (amr) oleh para ahli hukum
Islam digolongkan ke dalam dua sifat, yaitu wajib dan sunnat. Demikian pula ayat
al-Qur’an yang mengandung makna larangan (nahi) digolongkan ke dalam dua
bentuk, yaitu haram dan makruh. Sedangkan ayat al-Qur’an yang memberikan
kebebasan atau pilihan dalam melakukan sesuatu tindakan atau tidak melakukannya
digolongkan sebagai hukum mubah. Menurut Amir Syarifuddin kata hukum bila
dihubungan dengan Islam, makna hukum Islam berarti: seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama
Islam. Sedangkan Ahmad Rofiq mengemukkan bahwa hukum Islam adalah:
Peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam
keempat produk pemikiran hukum, fiqh, fatwa keputusan pengadilan, dan
undang-undang yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam di
Indonesia.
Jadi hukum Islam mencakup hukum taklifi, dan hukum wad}’i> yang
obyek sasarannya adalah perbuatan mukallaf.
Dari beberapa pengertian tentang pembaruan dan hukum Islam
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa,
pembaruan hukum Islam adalah adanya perubahan waktu, tempat yang seiring
dengan kemajuan peradaban manusia disebabkan kemajuan di bidang iptek. Hal ini
dilakukan oleh mujtahid yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam
pengembangan hukum Islam (mujtahid) dengan cara-cara yang telah ditentukan
berdasarkan kaidah-kaidah istinbat} hukum yang dibenarkan sehingga menjadikan
hukum Islam dapat tampil lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman.
Pembaruan hukum Islam yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki otoritas
dan kompetensi dalam pengembangan hukum Islam, tidak dilakukan berdasarkan
kaidah yang benar, hal itu tidak disebut sebagai pembaruan hukum Islam.
2. Tujuan Pembaruan Hukum Islam
Islam sebagai agama wahyu terakhir, agama yang berlaku dan dibutuhkan
sepanjang zaman tentu mempunyai pedoman dan prinsip dasar yang dapat
digunakan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam kehidupannya agar mereka
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai agama yang
dibawa untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, Islam tentu harus dapat
menjawab semua permasalahan umat manusia yang telah dan akan timbul akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau Islam tidak mampu menjawab
permasalahan umat manusia tersebut, Islam tentu akan ditinggalkan. Hal itu tentu
tidak diinginkan oleh siapa pun yang meyakini kebenaran ajaran Islam.
Agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi perkembangan zaman, dan
mampu menjawab tantangan zaman, maka hukum Islam perlu dikembangkan, dan
pemahaman terhadap Islam perlu terus-menerus diperbarui dengan memberikan
penafsiran-penafsiran baru terhadap nas} syara’ dengan cara menggali
kemungkinan-kemungkinan lain atau alternatif-alternatif dalam syari’at yang
diyakini mengandung alternatif yang bisa diangkat dalam menjawab masalah baru.
Jadi pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam selalu mampu
merealisasi tujuan syari’at semaksimal mungkin, yaitu mampu merealisasi
kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Pembaruan hukum Islam
dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab
permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam dunia modern ini.
Kemajuan ilmu iptek modern dewasa ini, membuat dunia ini semakin
kecil, dunia globalisasi. Dunia globalisasi diartikan secara sederhana:
“menjadikan bumi sebagai satu titik perhatian”; meskipun ia terdiri dari beberapa
negara yang terpisah dan dihuni oleh kelompok manusia yang berbeda bangsa,
bahasa dan agama. Menyatunya titik pandang itu karena sudah begitu lancarnya
komunikasi dan transportasi hingga jarak tidak berarti lagi dan lancarnya arus
informasi sehingga sekat wilayah dan budaya menjadi kabur disebabkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dalam era globalisasi arus lalu lintas barang, modal dan jasa menjadi
mudah dan cepat yang akan mempengaruhi ekonomi dunia. Begitu pula arus
mobilitas orang antara satu tempat ke tempat lain akan berpengaruh terhadap
sosial budaya manusia. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan dan
pergolakan yang besar dalam seluruh segi kehidupan. Meskipun pada saat ini yang
dirasakan paling besar mendapat pengaruh adalah bidang ekonomi, tetapi
berpengaruh ke bidang kehidupan lainnya. Pengaruh ini bisa dalam bentuk positif
(bermanfaat) dengan arti menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam
bentuk negatif (mud}arat) dengan arti merugikan. Manusia tidak mungkin lari
dari arus globalisasi, walaupun takut akan terkena mud}arat yang ditimbulkannya.
Sikap yang harus dimiliki oleh umat Islam adalah meraih sebanyak mungkin
manfaat dari globalisasi dan dalam waktu yang bersamaan mampu menghindari
segala kemungkinan mud}arat.
Pengaruh globalisasi dapat mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan
umat manusia, termasuk di bidang agama. Menurut Amir Syarifuddin
kemungkinan yang muncul dari globalisasi sehubungan dengan kehidupan
beragama dan budaya antara lain:
Pertama,
mudah
dan
terbukanya
komunikasi
dan
transportasi
menyebabkan semakin besarnya arus masuk manusia dari seluruh dunia. Boleh
jadi mereka membawa paham keagamaan yang asing dan dapat menyesatkan umat
beragama. Mereka berbuat dan bertingkah laku di negeri orang lain sebagaimana
di negeri mereka, yang mungkin tidak sesuai dengan adat kebiasaan budaya
setempat. Ini dapat menyebabkan rusaknya adat dan nilai luhur yang dijungjung
tinggi oleh suatu bangsa itu sendiri. Mereka membawa pendapat dan pemikiran
baru sebagai hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah lebih
dahulu mereka peroleh yang mungkin tidak sesuai dengan norma agama dan adat
istiadat setempat.
Kedua, semakin lancarnya lalu lintas informasi menyebabkan orang
semakin mudah dan cepat mengetahui, melihat dan mendengar seluruh kejadian
yang terjadi di seluruh pelosok dunia. Perkembangan informasi dan kunjungan
orang asing (turis) bisa jadi berdampak negatif karena adanya titik lemah yang
terdapat pada umat manusia tersebut.
Di antara titik lemah itu adalah; (1) kurangnya ketahanan agama disebabkan
oleh lemahnya keimanan dan ketaqwaan,
sehingga mudah ragu dan
terombang-ambing oleh munculnya ajaran-ajaran agama baru dan asing yang di
bawa oleh umat pendatang. (2) rendahnya pengetahuan umat akan ajaran agamanya
sehingga tidak menyadari ketinggian nilai ajaran agamanya dan tidak dapat
menyeleksi ajaran agama yang betul dan ajaran agama yang sesat dan
menyesatkan. (3) rendahnya ketahanan budaya menyebabkan mudahnya menerima
budaya yang datang dari luar. Tidak menyadari ketinggian nilai budaya sendiri,
yang menyebabkan gampang menggantinya dengan yang baru meskipun tidak
sesuai dengan adat istiadat yang luhur. (4) kurangnya kepercayaan terhadap diri
sendiri dan adanya rasa rendah diri (minder), serta selalu merasa baik apa yang
datang dari Barat, sehingga menyebabkan hilangnya daya seleksi pada waktu
menerima suatu yang datang dari luar.
Munculnya segi negatif dari globalisasi lebih banyak ditimbulkan oleh
unsur eksternal, adanya titik-titik lemah pada diri manusia yang menyebabkan
tidak tahan terhadap sesuatu yang datang dari luar. Hal ini berarti bahwa dampak
negatif dari globalisasi itu dapat dihilangkan atau setidaknya diperkecil bila
titik-titik lemah dalam diri manusia itu dapat dihilangkan atau dikurangi.
Pada era globalisasi akan banyak perubahan dalam kehidupan manusia;
yang di antaranya mungkin mempunyai kemiripan yang pernah ada selama ini dan
di antaranya mungkin asing dan tidak dikenal selama ini. Karena semua tindak
tanduk manusia harus berbeda dalam tatanan hukum Allah, hukum Islam harus
mampu menjawab perubahan itu dengan perangkat aturan yang akan menempatkan
tingkah laku manusia yang mengalami perubahan dalam tatanan hukum syara’.
Aturan baru itu mungkin dengan cara reinterpretasi atas sumber yang selama ini
telah diformulasikan oleh pakar terdahulu atau dengan cara menggali langsung
dari sumber yang ada dengan menggunakan pendekatan baru dengan menjadikan
kondisi yang ada sebagai bahan pertimbangan dalam hal-hal yang baru sama sekali.
Oleh karena itu pengembangan atau pembaruan hukum Islam perlu dilakukan
dengan tujuan agar hukum Islam dapat diterima oleh semua pihak, khusunya bagi
umat Islam.
Pengembangan atau pembaruan dalam hal ini berarti usaha membuat
sesuatu menjadi berkembang dengan arti menjadi semakin luas, semakin besar
atau semakin banyak. Bila kata “pengembangan atau pembaruan” itu dihubungkan
kepada hukum Islam berarti usaha menjadikan hukum Islam itu berkembang dalam
arti meluas penggunaan dan pemberlakuannya. Kalau tadinya hanya berlaku untuk
maksud tertentu, menjadi berlaku untuk maksud lain-lainnya.
Timbul
pertanyaan, apakah boleh hukum Islam diperbarui
dan
dikembangkan? Bukankah ajaran Islam itu mutlak benar dan tidak berubah ? Untuk
menjawab pertanyaan itu perlu dipelajari terlebih dahulu hakikat Islam secara
filosofis dan historis, serta sifat dasar hukum Islam itu sendiri.
Sebagaimana diketahui wahyu Allah swt. Yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw. Terkandung seluruhnya dalam al-Qur’an. Al-Qur’an dengan
demikian adalah sumber utama dari Islam, bahkan menurut sebagian ulama ia
adalah satu-satunya sumber, karena hadis sebenarnya hanyalah penjelasan tentang
apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Ayat-ayat yang mengandung ketentuan
hukum dalam al-Qur’an sebagaimana diketahui disebut ayat ahka>m. Ayat
ahka>m terbagi ke dalam dua kelompok besar, ayat ahka>m mengenai ibadat
atau pemujaan pada Tuhan dan ayat ahka>m mengenai muamalah atau hidup
kemasyarakatan manusia. Masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan
ini adalah ayat ahka>m dalam kelompok kedua karena yang dipermasalahkan di
sini bukanlah hukum Islam mengenai ibadat, tetapi hukum Islam mengenai hidup
kemasyarakatan umat.
Anggapan bahwa al-Qur’an mengandung segala-galanya secara lengkap,
termasuk di dalamnya soal hukum, sebenarnya kurang tepat. Ahli-ahli hukum
semenjak awal telah mengetahui bahwa ayat ah}ka>m dalam al-Qur’an jumlahnya
sedikit. Pandangan ini disadari terutama oleh ahli-ahli hukum Islam sekarang.
Menurut Abdul wahhab Khallaf, jumlah ayat ahka>m dalam al-Qur’an hanyalah
228. ‘Abdul Wahhab Khallaf menegaskan bahwa sebagian besar dari ayat-ayat
ahka>m itu, tidak pula mengandung arti tegas dan pasti (qat}’i al-D}ala>lah),
tetapi mengandung arti dugaan (z}anni> al-D}ala>lah). Dengan demikian
ayat-ayat ahka>m yang sedikit jumlahnya itu masih memerlukan penjelasan dan
perincian dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itulah, para sahabat dan para ulama hukum Islam memerlukan
hadis sebagai sumber kedua dari hukum Islam. Tetapi sebagaimana dikatakan ‘Ali
Hasballah, jumlah hadis juga sedikit dan terbatas dibandingkan dengan
persoalan-persoalan yang timbul dalam hidup kemasyarakatan manusia.
Jumlahnya menurut Khhallaf, 4500 hadis dan kebanyakan memberi penjelasan
terhadap hukum-hukum yang disebut dalam garis besarnya di dalam al-Qur’an.
Hanya sebagian kecil mengandung hukum tentang apa yang tidak disebut dalam
al-Qur’an.
Jelas bahwa hadis pun tidak dapat memenuhi kebutuhan para sahabat dan
para ulama hukum Islam pada zaman lampau. Karena itu mereka melakukan
ijtihad. Ijtihad, seperti disebut ‘Ali Hasballah adalah sumber ketiga dari hukum
Islam di samping al-Qur’an dan hadis, sebagian besar dari hukum Islam adalah
hasil ijtihad. Qiya>s, Mas}lah}ah Mursalah, Istih}sa>n dan istihsa>b yang
dalam us}u>l fiqh diterima sebagai sumber hukum termasuk dalam ijtihad. Di
antara sumber-sumber hukum yang disebut dalam us}u>l fiqh, hanya dua yaitu
al-Qur’an dan hadis yang merupakan wahyu. Sebagian besar dari sumber-suber itu
bukan wahyu, tetapi termasuk dalam kategori ijtihad.
Hukum Islam seperti dijelaskan Abdul wahhab Khallaf, mempunyai bentuk;
(1) hukum yang ditentukan oleh ayat dan hadis, dan ini adalah hukum Ilahiyah; (2)
hukum yang dihasilkan ijtihad para ulama dan ini adalah hukum Ilahiyah ditinjau
dari segi sumbernya, tetapi hukum insaniyah kalau ditinjau dari kenyataan bahwa
ia hasil ijtihad atau pemikiran manusia.
Demikianlah keadaan hukum Islam, hanya sebagian kecil saja yang bersifat
absolut (al-Qur’an dan hadis mutawatir), sedangkan sebagian besar lainnya
bersifat relatif hasil ijtihad para ulama. Di dalamnya sering dijumpai perbedaan
pemikiran antara satu ulama dengan ulama lainnya. Perubahan-perubahan
pemikiran para ulama hukum Islam, karena dipengaruhi oleh zaman dan tempat
sering kali tidak bisa dihindarkan. Contoh termasyhur yang disebut-sebut dalam
buku-buku fiqh adalah perbedaan fiqh al-Syafi’i ketika ia di Irak dan ketika ia di
Mesir.
Dalam hukum Islam diakui bahwa situasi dan kondisi dapat mengubah
hukum. Mengenai hal ini Mahmasa>ni mengemukakan:
Oleh karena kepentingan mutlak yang menjadi dasar segala hukum, sebagai
telah kami jelaskan sebelumnya, maka hukum harus berubah sesuai dengan
perubahan zaman dan perubahan lingkungan masyarakat. Benarlah Ibn
al-Qasim ketika ia mengatakan bahwa fatwa berubah dan berbeda sesuai
dengan perubahan zaman, tempat, situasi, niat dan adat kebiasaan.
Sejarah hukum Islam menyatakan bahwa perubahan hukum terjadi bukan
hanya dalam bidang hukum hasil ijtihad ulama, tetapi juga dalam bidang hukum
yang ditentukan al-Qur’an sendiri. Yang masyhur dalam masalah perubahan hukum
ini adalah khalifah ‘Umar bin Khat}t}a>b. Mu’allaf pada zaman Nabi Muhammad
mendapat bagian dari zakat, pada zaman ‘Umar tidak lagi memperoleh,
dikeluarkan dari golongan orang yang berhak menerima zakat, dengan alasan
bahwa Islam telah kuat dan tidak perlu lagi pada sokongan mereka. ‘Umar yang
membagi-bagikan tanah yang dikuasai tentara Islam setelah menaklukkan Irak
kepada penggarap tanah tersebut. Alasan ‘Umar, apabila tanah itu dikuasai oleh
para tentara, maka itu akan merugikan Islam sebagai negara. ‘Umar juga tidak
menjalankan potong tangan pada orang yang mencuri karena kelaparan. Di dalam
buku-buku fiqh terdapat lagi kasus-kasus yang hukumnya sebagaimana tersebut
dalam al-Qur’an diubah oleh ‘Umar sesuai dengan situasi dan kondisi
Hukum Islam yang dikembangkan ulama-ulama Islam, ternyata tidak
memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat akan hukum. Sultan-sultan membuat
undang-undang di samping hukum Islam yang telah ada. Undang-undang yang
dibuat para Sultan itu terutama mengatur administrasi negara, pajak, kepenjaraan,
keuangan dan sebagainya. Sultan yang masyhur dalam bidang undang-undang ini
adalah sultan Sulaiman (1520-1566) dari kerajaan ‘Usmani. Undang-undang yang
dibuatnya mencakup hak milik sewa tanah, kepolisian, kejahatan, harga
barang-barang, gaji, bunga uang, perlakuan terhadap binatang dan sebagainya.
Sultan
Sulaiman
dikenal
dengan
gelar
Sulaiman
al-Qanu>n,
karena
produktifitasnya membuat undang-undang. Al-Qa>nu>ni berarti pembuat
undang-undang.
Pembuatan undang-undang oleh sultan dalam pendapat ahli-ahli hukum
Islam dibolehkan, bahkan undang-undang itu wajib dipatuhi oleh rakyat. Argumen
yang diajukan adalah QS. Al-Nisa (4):59
$pkš‰r'¯»tƒ
(#qãè‹ÏÛr&
tûïÏ%©!$#
©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãè‹ÏÛr&ur
tAqߙ§9$# ’Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB
(...
Terjemahnya :
Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang
berkuasa di antara kamu…
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tidaklah benar hukum Islam
bersifat statis, tidak bisa diperbarui dan dikembangkan sesuai dengan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hakikat hukum Islam tidak
menghendaki keadaan statis, tetapi sebaliknya menghendaki perkembangan.
Ulama-ulama ahli hukum Islam pada abad dua puluh satu ini memang kuat
menganjurkan agar disusun hukum Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman
sekarang. ‘Abdul Wahhab Khallaf mengatakan, semoga diambil langkah untuk
menyusun hukum Islam yang sesuai dengan jiwa dan perkembangan zaman
sekarang, tetapi tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan hadis, sungguhpun tidak
diambil dari mazhab-mazhab yang pernah ada.
Dalam Islam sebenarnya terdapat dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran
absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah, dan tak dapat diubah yang jumlahnya
sedikit sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an. Kedua, ajaran relatif, tidak
mutlak benar, tidak kekal, tetapi dapat berubah dan boleh diubah yang jumlahnya
banyak sekali sebagaimana terdapat dalam buku-buku ilmu kalam, atau teologi
Islam, ilmu fiqh atau hukum Islam, ilmu tasawuf, tafsir, hadis, akhlak, filsafat dan
sebagainya. Ajaran-ajaran relatif yang berubah dan dapat diubah inilah yang
berkembang semenjak Nabi Muhammad saw. wafat pada permulaan abad ke-7
sampai zaman modern abad dua puluh satu sekarang ini dan seterusnya akan
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan kondisi
setempat. Ajaran yang tidak berubah adalah ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip
sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan hadis.
Sebagai contoh ajaran dasar yang tidak bisa berubah adalah; sai dalam
ibadah haji, kendati arus perubahan yang terjadi semakin dahsyat namun yang
disebut sa’i itu tetap berbentuk perjalanan bolak balik. Hanya mungkin mengalami
perubahan adalah pelaksanaannya yang tidak bersifat subtantif. Kalau dulunya
perjalanan bolak balik yang bernama sai dilakukan di atas tanah berbatu,
dilingkungi hawa kering krontang di bawah terik matahari; pada saat ini perjalanan
bolak balik itu dilakukan di lantas yang rata dan indah, di ruangan nyaman ber AC
dan terlindungi oleh atap yang bagus, namun perjalanan bolak balik itu sendiri
sebagai subtantif ajaran tetap tidak mengalami perubahan. Contoh lain dapat
diambil pada perkawinan pria Islam dengan wanita Ahli Kitab yaitu wanita Yahudi
dan Kristen. Dalam mazahab Syafi’i ada pendapat bahwa wanita Kristen tak boleh
dikawini seorang pria muslim, karena ia menganut keyakinan trinitas. Menurut
mazahab lain, seorang pria Islam boleh kawin dengan wanita Kristen karena dia
adalah Ahli Kitab dan bukan musyrikah atau politeis. Ayat dengan jelas
mengatakan bahwa orang Islam boleh mengambil wanita Ahli Kitab menjadi isteri.
Tetapi karena ayat tidak menjelaskan lebih lanjut Ahli Kitab mana yang dimaksud,
timbullah perbedaan penafsiran tentang Ahli Kitab dalam ayat ini.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sepanjang masa timbul penjelasan
dan penafsiran mengenai ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam al-Qur’an. Penjelasan dan penafsiran para ulama, yang disebut ijtihad,
makin lama makin banyak jumlahnya, dan memerlukan buku-buku tebal dan
berjilid-jilid. Ijtihad ulama jauh lebih banyak jumlahnya dari pada ayat-ayat
al-Qur’an sendiri, juga merupakan ajaran-ajaran Islam. Tetapi karena ajaran-ajaran
yang berasal dari ijtihad ini adalah hasil pemikiran manusia, maka ajaran-ajaran itu
bersifat relatif dan tidak absolut. Prinsip-prinsip dasar yang di bawa oleh
al-Qur’an memerlukan penjelasan dan penafsiran melalui ijtihad ulama agar
ajaran-ajaran dasar serta prinsip-prinsip itu dapat dijalankan oleh umat dalam
masyarakat. Ijtihad ulama itu berjalan sepanjang zaman semenjak Nabi
Muhammad wafat, dan dalam Islam terdapat ijtihad yang bukan saja jumlahnya
besar sekali, melainkan juga berbeda, bahkan terkadang bertentangan. Karena
ijtihad ulama ini juga merupakan ajaran Islam, ajaran Islam itu dalam sejarah pada
hakikatnya senantiasa bertambah dan berkembang, sehingga pada akhirnya yang
banyak terdapat dalam Islam adalah ajaran hasil ijtihad ulama yang tidak bersifat
mutlak benar, tetapi relatif, berubah dan dapat diubah. Dalam pada itu ajaran yang
bersifat mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tak dapat diubah sebagaimana
terdapat dalam al-Qur’an dan hadis tetapi sebagaimana ditinggalkan Nabi, tidak
bertambah jumlahnya.
Dari hakikat ajaran Islam sebagaimana tersebut di atas, maka dapat
dikatakan
bahwa
tujuan
pembaruan
hukum
Islam
adalah
melakukan
pengembangan-pengembangan melaui ijtihad agar hukum Islam dapat dijalankan
oleh umat sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi setempat di
mana hukum Islam itu akan diterapkan. Hukum Islam tidak ketinggalan zaman,
tetap eksis sepanjang zaman dan dapat merealisasikan kemaslahatan umat di
tengah dunia global akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi modern
dewasa ini.
3. Penyebab Terjadinya Pembaruan Hukum Islam
Pembaruan hukum Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama,
berproses dengan kondisi dan situasi serta sesuai dengan tuntunan zaman. Hal ini
disebabkan karena yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh banyak yang tidak
mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah baru sekarang muncul
belum terjadi pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis. Sebagai contoh antara lain
adalah perkawinan yang ijab qabulnya dilakukan dengan pesawat telepon.
Pemberian harta waris yang berbeda agama dengan pewaris, pemberian harta waris
kepada anak angkat dengan cara wasiat wajibah, wakaf dalam bentuk tunai, dan
sebagainya. Hal ini telah mendorong negara mengaturnya dalam berbagai
peraturan perundangan agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaannya.
Menurut pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan hukum Islam yang
terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; pertama, untuk
mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab
fiqh tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum pada
masalah yang baru terjadi sangat cepat dan mendesak untuk diterapkan. Kedua,
pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang
mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya.
Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang
kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
Keempat, pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh
para mujtahid baik tingkat internasional maupun tingkat nasional, terutama hal-hal
yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembaruan hukum Islam disebabkan adanya perubahan kondisi, situasi,
tempat dan waktu sebagai akibat dari faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas.
Perubahan ini sejalan dengan qaul qadi>m dan qaul jadi>d yang dikemukakan
oleh Imam Syafi’i bahwa hukum dapat juga berubah karena berubahnya
pertimbangan hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan
maqa>s}d
al-Syari>’ah. Perubahan hukum perlu dilaksanakan secara
terus-menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat relatif, sedangkan kebenaran
perlu ditemukan atau didekatkan sedekat mungkin. Oleh karena itu, ijtihad sebagai
metode penemuan kebenaran itu perlu terus dilaksanakan. Itulah sebabnya jawaban
terhadap masalah baru yang senantiasa harus bersifat baru pula. Ijtihad tidak
pernah tertutup dan setiap saat harus selalu terbuka untuk menemukan jawaban
terhadap hukum baru dalam menghadapi arus globalisasi yang terjadi saat ini.
Hak dan kewajiban melakukan pembaruan hukum Islam adalah perintah,
dan umat Islam wajib menaatinya sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah. Para cendekiawan muslim diharapkan dapat
memperbarui hukum Islam dengan melakukan ijtihad, baik secara individual
maupun kolektif, (kelembagaan NU, Muhammadiyah, MUI dan sebagainya).
Diharapkan ormas-ormas Islam itu lebih responsif menghadapi masalah-masalah
sosial keagamaan yang timbul akibat kemajuan IPTEK. Mengingat masalah sosial
keagamaan yang dihadapi umat sekarang pada umumnya sangat kompleks, maka
seyogiyanya ijtihad dalam rangka pembaruan hukum Islam lebih tepat
dilaksanakan dengan cara ijtihad kolektif dengan mempergunakan berbagai
disiplin ilmu yang relevan dengan permasalahannya.
Dalam kaitan pembaruan hukum Islam, Ahmad Mustafa al-Maragi
mengemukakan bahwa sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk
kepentingan manusia dan kepentingan manusia itu tidak sama satu dengan yang
lainnya karena ada perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum yang
diundangkan itu pada saat dibuat dipandang sebagai suatu kebutuhan, kemudian
pada saat yang lain kebutuhan akan hukum itu tidak ada lagi, maka adalah suatu
tindakan bijaksana untuk menghapus hukum itu dan menggantikannya dengan
hukum yang baru yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan nada yang
hampir sama Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa sesungguhnya hukum
itu dapat berbeda karena ada perbedaan waktu dan lingkungan, situasi dan kondisi.
Jika suatu hukum yang diundangkan pada waktu dibuat sangat dibutuhkan oleh
masyarakat terhadap hukum itu, tetapi kemudian kebutuhan akan hukum itu sudah
tidak ada lagi, maka sebaiknya hukum yang lama itu segera diperbarui dengan
hukum yang baru sesuai dengan situasi dan kondisi, waktu dan tempat dalam
masyarakat yang melaksanakan hukum itu.
Adanya faktor-faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum Islam
sebagaimana tersebut di atas, mengakibatkan munculnya berbagai macam
perubahan dalam tatanan sosial umat Islam, baik yang menyangkut idiologi,
politik, sosial, budaya dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut melahirkan
sejumlah tantangan baru yang harus dijawab sebagai bagian hukum Islam. Untuk
mengantisipasi masalah ini, maka ijtihad tidak boleh berhenti dan harus
terus-menerus dilaksanakan untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah
hukum baru yang sangat diperlukan oleh umat Islam. Hal ini penting untuk
dilaksanakan karena perubahan tersebut melahirkan simbol-simbol sosial dan
kultural yang secara eksplisit tidak dimiliki oleh simbol keagamaan yang telah
mapan yang apabila dibiarkan akan menjauhkan umat Islam dari norma-norma
agama. Hukum Islam mampu menghadapi segala persoalan zaman dan dapat
diberlakukan sepanjang zaman. Untuk mencapai hal itu perlu dilaksanakan ijtihad,
baik secara individual maupun kolektif, secara terus-menerus.
Amir Mu’alim dan Yusdani mengemukakan bahwa hal yang sangat
mendesak untuk dilakukan oleh pakar hukum Islam saat ini adalah agar
menghasilkan hukum Islam yang komprehensif dan merumuskan suatu
metodologi sistematis yang mempunyai akar yang kukuh. Menurut Nur Cahaya, di
sinilah
letak
pentingnya
rumusan-rumusan
metodologi
hukum
Islam
kontemporer, yang harus disusun kembali baik yang ideal-moral maupun yang
formal. Kerangka metodologi yang ideal moral dan formal ini bertujuan untuk
menjaga keutuhan norma-norma keilahian, kemanusiaan dan kemaslahatan yang
memberikan arah yang benar bagi perkembangan kehidupan. Cita-cita ini akan
terwujud apabila para ahli hukum Islam berani meninjau kembali sejarah
perkembangan hukum Islam di masa silam dan mengkaji sumber-sumber hukum
Islam itu untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang timbul kini
dan esok. Metode mas}lahah dan istih}sa>n adalah metode yang masih relevan
dalam rangka menemukan hukum guna menjawab segala permasalahan sosial
dewasa ini.
Untuk mengantisipasi faktor-faktor penyebab sebagaimana tersebut di
atas, maka perlu dilaksanakan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengadakan kajian secara komprehensif terhadap seluruh tradisi
Islam, baik yang bersifat fenomena tradisional maupun Islam modernis
dalam berbagai aspek;
2. Menggunakan kajian ilmiah kontemporer tanpa mengabaikan khasanah
intelektual Islam klasik;
3. Memasukkan masalah kekinian ke dalam pertimbangan pada saat
menginterpretasikan al-Qur’an dan Sunnah;
4. Mengembangkan fiqh Islam dengan cara menfungsikan kembali ijtihad
baik individual maupun kolektif sehingga dapat menghasilkan materi
hukum yang sesuai dengan modernisasi yang sekarang sedang berjalan
dalam masyarakat Islam;
5. Menyatukan pendapat di antara mazhab-mazhab tentang berbagai
masalah hukum yang serupa dan sama demi kepastian hukum dan ini
dapat dilaksanakan jika semua pihak memandang bahwa fiqh sebagai
suatu kesatuan yang utuh;
6. Zaman modern dikenal dengan zaman spesialisasi dan zaman
pembidangan secara kritis, sebab tidak mungkin para fuqaha dapat
berbicara tentang segala bidang pada zaman sekarang ini. Tentang hal
ini hendaknya dipahami sebagai hikmah tersembunyi yang
memungkingkan para ahli hukum Islam untuk duduk bersama
memecahkan berbagai masalah hukum yang lebih menyentuh akar
permasalahan, disinilah pentingnya dilakukan ijtihad kolektif.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya
pembaruan hukum Islam adalah; pertama, untuk mengisi kekosongan hukum,
karena banyaknya masalah baru yang muncul sementara tidak diatur dalam kitab
hukum sebelumnya atau tidak relevan terhadap hukum yang sudah ada dalam
kitab-kitab fiqh sebelumnya. Kedua, karena pengaruh globalisasi akibat IPTEK,
sehingga berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, baik di bidang
sosial, politik, ekonomi, hukum maupun agama, yang menyebabkan perlunya ada
penyesuaian-penyesuaian agar ajaran agama Islam tetap eksis sepanjang masa.
4. Pembaruan hukum Islam sebagai Suatu Kebutuhan
Perlu dipahami bahwa hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki
dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial (social control); dan kedua, sebagai
nilai baru dan proses perubahan sosial (social change). Jika yang pertama hukum
Islam ditempatkan sebagaiblue print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai
kontrol juga sekaligus sebagai social egineering terhadap keberadaan suatu
komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum Islam lebih merupakan
produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi
terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam
konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa
kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum
Islam akan mengalami kemandulan fungsi, atau meminjam istilah Abdurrahman
Wahid, fosilisasi bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para ahli hukum tidak
memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mengantisipasi setiap persoalan
yang muncul dalam masyarakat dan penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam
akan kehilangan aktualitasnya.
Apabila hukum Islam kehilangan aktualisasinya dalam memberikan
jawaban-jawaban yang memuaskan terhadap permasalahan yang timbul di
tengah-tengah masyarakat, maka akan dikhawatirkan suatu ketika umat Islam
meragukan eksistensi Islam itu sendiri (bahkan bisa jadi pada akhirnya
menghilangkan kepercayaan umat Islam terhadap kitab sucinya). Kecenderungan
seperti itu bukan tidak mungkin terjadi, bila diperhatikan secara seksama, apa
yang dilakukan oleh kalangan muslim sekularis yang mengadopsi sistem hukum
Barat mentah-mentah untuk diterapkan bagi umat Islam adalah satu indikasi dari
analis di atas. Ini tentu tidak bijaksana dan akan merugikan umat Islam sendiri.
Mereka akan terasingkan dari sistem hukum itu karena bukan berasal dari
tradisinya sendiri.
Di lain pihak, kita juga harus menyadari bahwa formulasi hukum Islam
yang terdapat dalam kitab-kitab fqh peninggalan para fuqaha dalam beberapa aspek
ada yang telah kehilangan kemampuan transpormasinya. Bila formulasi hukum
Islam aut of date itu tetap dipaksakan penerapannya dikhawatirkan akan
menimbulkan penentangan-penentangan dari masyarakat, sehingga pada akhirnya,
akan memunculkan konflik-konflik internal, dan bahkan konflik eksternal yang
tidak perlu.
Berdasarkan elaborasi tersebut, maka upaya pembaruan terhadap hukum
Islam melalui wahana ijtihad mutlak dilakukan. Ide itu banyak disuarakan oleh para
ulama, seperti Ibn Taimiyah, Jala>l al-Din al-Suyuti, Mahmud Syaltut, M. Yusuf
Musa, M. Muslehuddin, Subhi Mahmassani, Wahbah al-Zuhaili dan lain-lain.
Sebagaimana para tokoh di atas, ide tentang pentingnya pembaruan hukum
Islam dikumandangkan pula oleh para cendekiawan di Indonesia, di antaranya
Munawir
Sjadzali,
dalam
bukunya
berjudul
Ijtihad
Kemanusiaan
ia
mengungkapkan beberapa permasalahan hukum Islam kontemporer yang muncul
pasca putusnya era wahyu, yaitu kasus kedudukan perempuan , kasus bunga bank,
kasus kedudukan warga non muslim, dan kasus perbudakan. Menurut mantan
menteri Agama RI tersebut, jawaban-jawaban para ulama terhadap keempat
permasalahan kontemporer tidak cukup memuaskan, karena tampaknya mereka
masih menggunakan perspektif lama dalam memahaminya.
Dalam kasus kedudukan perempuan misalnya, berdasarkan pendekatan
tekstual terhadap al-Qur’an Surah al-Nisa (4):34 dan 176 , al-Baqarah (2):228,
al-Nur (24):4, dan al-Maidah (5):5 disimpulkan bahwa Islam menetapkan:
a. Kaum laki-laki lebih tinggi tingkatannya dari kaum perempuan,
karenanya
kepemimpinan
dalam
kehidupan
berkeluarga
dan
bermasyarakat di tangan kaum laki-laki.
b. Kaum perempuan tidak diterima kesaksiannya dalam perkara-perkara
pidana. Kesaksian mereka dalam perkara perdata diterima, tetapi
Kesaksian dua perempuan sama bobotnya dengan kesaksian satu orang
laki-laki.
c. Dalam pembagian warisan, anak laki-laki mendapat bagian dua kali
lebih banyak dari anak perempuan.
d. Kaum
laki-laki
Islam
diperkenankan
kawin
dengan
perempuan-perempuan ahl al-Kitab (Yahudi dan Kristen), tetapi kaum
perempuan Islam tidak diperbolehkan kawin dengan pria ahl al-Kitab.
Keempat kesimpulan di atas menurut Sjadzali dalam banyak hal sudah tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern pada saat ini, ketika masalah
kesetaraan dan hak asasi manusia (human rights) menjadi global mainstream.
Tentu saja tidak sepakat dengan kritik Sjadzali tersebut, tetapi setidaknya kritik
tersebut memberikan gairah baru bagi para ulama untuk menilik kembali
formulasi hukum Islam yang ada selama ini. Karena bagaimanapun, hukum Islam
itu bersumber dari wahyu Allah (al-Qur’an) yang suci, tetapi ia juga merupakan
jawaban kontekstual para ulama terhadap berbagai permasalahan umat pada
masanya. Bahkan al-Qur’an sendiri pada mulanya diwahyukan sebagai respon
terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang lebih
luas.
Menyadari keadaan tersebut, para pakar hukum Islam telah berusaha
membuat kajian hukum Islam yang lebih komprehensif agar hukum Islam tetap
eksis dan dapat dipergunakan untuk menyelesaikan segala masalah umat dalam era
globalisasi saat ini. Dalam kaitan ini, prinsip yang harus dilaksanakan adalah
prinsip maslahat yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan. Prinsip ini
merupakan gabungan dari prinsip-prinsip yang dipegang para imam mazhab,
khususnya aliran al-Ra’yu dan al-Hadis yang telah terbukti membawa ketertiban
dan kesejahteraan dalam masyarakat. Tidak ada perselisihan di kalangan para ahli
hukum Islam tentang masalah ini, bahkan mereka sepakat bahwa dalam pembaruan
hukum Islam segala sesuatu yang ditetapkan hendaknya melahirkan kemaslahatan
bagi manusia yang bersifat d}aruriya>t, h}ajiya>t dan tah}siniya>t. sehubungan
dengan niat memberikan kemaslahatan kepada masyarakat, maka dalam pembaruan
hukum itu hendaknya dilaksanakan kebijakan untuk membuat masyarakat lebih
dekat dan gemar kepada kebijakan serta menjauhkan diri dari keburukan dan
kerusakan.
Menurut Nourrouzzaman, di Indonesia orang pertama yang mengeluarkan
gagasan agar dilakukan pembaruan hukum Islam atau fiqh agar hukum Islam sesuai
kepribadian bangsa Indonesia adalah Hasbi ash-Shiddieqy. Untuk mewujudkan hal
itu perlu dibuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Beliau mendirikan
Lembaga Fiqh Islam Indonesia (LEFISI) yang berkedudukan di Yogyakarta.
Lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi dalam kajian perubahan hukum
Islam yang bercorak Indonesia. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, dalam rangka
pembaruan hukum Islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfiq dan secara
selektif memilih pendapat mana yang cocok dengan kondisi negara Indonesia. Di
samping itu, perlu digalakkan metode komparasi, yaitu membandingkan satu
pendapat dengan pendapat lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau yang
pernah ada, dan memilih yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran serta
didukung oleh dalil yang kuat. Kajian komparasi ini hendaknya dilakukan juga
antara fiqh dengan hukum adat dan hukum positif Indonesia, juga dengan syari’at
agama lain. Sehubungan dengan hal ini, seorang yang ingin melakukan kajian
komparasi hendaknya mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai ilmu
pengetahuan, mengetahui secara lengkap tentang berbagai masalah fiqh.
Gagasan Hasbi ash-Shiddieqy tersebut mendapat sambutan positif dari
berbagai pihak dari pembaru hukum Islam di Indonesia, baik secara perorangan
maupun secara organisasi. Secara perorangan, di antaranya Hasan Bangil, Harun
Nasution, Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Sjadzali, Bustanul Arifin dan
lain-lain. Tokoh-tokoh pembaru hukum Islam ini telah banyak berjasa dalam
perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama dalam hal memasukkan
nilai-nilai hukum Islam ke dalam legalisasi nasional dan juga ide lahirnya
beberapa peraturan perundang-undangan untuk dipergunakan oleh umat Islam pada
khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya. Di samping itu organisasi
Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis),
Jamiatul wasliyah, al-Irsyad, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) telah banyak memberikan kontribusi yang
sangat besar terhadap pembaruan hukum Islam di Indonesia dan telah berusaha
semaksimal mungkin agar hukum Islam dapat masuk ke dalam legalisasi hukum
nasional.
Hasil ijtihad ulama Indonesia, baik yang dilakukan secara perorangan
maupun
organisasi
perundang-undangan
Islam,
yang
telah
berlaku
melahirkan
di
Indonesia.
beberapa
Di
peraturan
antaranya
ialah;
Undang-undang RI. Nomor: 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo peraturan
pemerintah RI. Nomor: 9 Tahun 1975; Undang-undang RI. Nomor: 7 tahun 1992
tentang Bank Indonesia jo Peraturan Pemerintah RI. Nomor: 72 tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil; Undang-undang RI. Nomor: 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-undang RI. Nomor: 3 tahun 2006
jo UU RI No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang diberlakukan berdasarkan Inpres RI. Nomor: 1 tahun 1991 yang
saat ini sedang digagas untuk ditingkatkan menjadi hukum terapan di kalangan
Peradilan Agama.
Meskipun dalam peraturan perundang-undangan tersebut telah memuat
nilai-nilai baru hukum Islam sebagai hasil ijtihad kolektif para ahli hukum Islam
di Indonesia, tetapi nilai-nilai baru tersebut belum sepenuhnya terakomodasi
dalam legilasi nasional, ditambah lagi banyak hal-hal baru yang timbul sebagai
akibat lajunya pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus segera
ditampung dan dicari solusi pemecahannya, maka peraturan perundang-undangan
tersebut perlu disempurnakan dan diperbarui agar sesuai dengan kondisi zaman.
Mengubah suatu peraturan hukum bukanlah suatu hal yang mudah, di samping
prosedur yang harus dilakukan begitu panjang dan lama, juga harus berhadapan
dengan politik negara yang kadang-kadang tidak begitu kondusif menyambut ide
hukum Islam dalam tatanan nasional. Meskipun sebenarnya hal ini sudah dijamin
oleh Undang-undang RI. Nomor: 35 tahun 2000 tentang Propernas, yang
menyebutkan bahwa untuk membentuk hukum nasional, salah satu bahan bakunya
adalah hukum agama dalam hal ini adalah hukum Islam.
Oleh karena permasalahan hukum yang timbul belum ada pengaturan dalam
fiqh, dan belum juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan negara
Indonesia, maka terhadap kasus-kasus yang diajukan ke Pengadilan Agama,
terpaksa Pengadilan Agama melaksanakan ijtihad. Alasan Pengadilan Agama
melaksanakan ijtihad adalah pasal 22 AB dan pasal 14 Undang-undang RI. Nomor:
14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah
dengan Undang-undang RI. Nomor: 4 tahun 2005 yang menyatakan bahwa hakim
tidak boleh menolak untuk memutus dan mengadili suatu perkara yang diajukan
kepadanya dengan dalil bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan mengadilinya. Selain dari itu, pasal 229 Kompilasi Hukum Islam
menekankan bahwa hakim dalam mengadili dan memutus suatu perkara wajib
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini juga
dipertegas oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim :
‫َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِهّللا َلْوُسَر َعِمَس ُهَّنَأ ِصًاَعْلا ُنْب وُرْمَع ْنَع‬
‫اَف َمَكَح اَذِا َو ِناَرْج َا ُهَلَف َباَصَا َّمُث َدَهَتْج اَف ُمِكاَحلا َمَكَح اَذِا" َل اَق‬
‫ ٌرْج َا ُهَلَف ْأَطْخ َا َّمُث َدَهَتْج‬.
Artinya; Dari ‘Umaru bin al-‘A<s} Sesungguhnya telah mendengar
Rasulullah saw. bersabda “bahwa apabila seorang hakim menyelesaikan
suatu perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, maka ia
mendapat dua pahala, tetapi jika ia berijtihad dan kemudian ternyata
ijtihadnya itu salah, maka baginya mendapat satu pahala”.
Putusan lembaga Peradilan Agama sudah banyak memberikan kontribusi
terhadap perkembangan pembaruan hukum Islam di Indonesia, terutama putusan
yang didasarkan kepada ijtihad hakim. Jika para hakim tidak menemukan dalil
dalam kitab-kitab fiqh terhadap suatu kasus yang sedang diperiksanya, biasanya
para hakim mengambil dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika
dalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan barulah para hakim
melaksanakan ijtihad untuk menetapkan suatu hukum. Contoh ijtihad hakim dalam
rangka pembaruan hukum Islam adalah putusan Peradilan Agama Jakarta Selatan
Nomor 1751/P/1989 tanggal 20 April 1989 tentang perkawinan melalui telepon
yang merupakan persoalan baru dalam hukum Islam yang timbul akibat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 51K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 yang memperbaiki putusan
Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 83/Pdt/1997/PA.Yk, tanggal 4 Desember
1997 tentang penetapan ahli waris yang bukan Islam berdasarkan wasiat wajibah,
ketentuan ini menyimpang dari dalil hukum Islam yang berlaku saat ini.
Dengan demikian hukum Islam bukanlah sistem yang ajeg dan hanya
memiliki satu standar kebenaran yang berlaku sepanjang masa. Hukum Islam
tumbuh dan berkembang melalui proses evolusi yang sangat panjang mulai tahun
pertama kenabian hingga sekarang. Atau dengan kata lain apa yang dipahami
dengan hukum Islam pada saat ini, sebenarnya merupakan pembakuan dan
pemberlakuan yang sebelumnya telah mengalami proses kritik dan dinamika
sosio-kultural tersendiri. Lebih jauh lagi apa yang dikatakan oleh Abdullahi
Ahmed al-Na’im; pertama, hukum Islam itu bukanlah Islam itu sendiri, tetapi ia
semata-mata hanya merupakan
hasil
interpretasi
para yuris
terhadap
sumber-sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an dan al-sunnah); kedua, apa yang
dianggap sebagai hukum Islam merupakan produk pemahaman manusia tentang
sumber-sumber Islam dalam konteks sejarah sejak abad ketujuh sampai
kesembilan. Selama periode tersebut menurut an-Na’im, para ahli hukum Islam
telah
menafsirkan
al-Qur’an
dan
sumber-sumber
lain
dalam
rangka
mengembangkan suatu sistem syari’at yang komprehensif dan koheren sebagai
petunjuk bagi kaum muslim.
Bila mengikuti cara pandang di atas, maka setidaknya kita bisa menduga
apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai sebuah produk pemikiran hukum Islam
disusun berdasarkan kondisi objektif saat itu. Kondisi objektif itu bisa meliputi
kesamaan atau perbedaan sebab atau illat atau perbedaan budaya masyarakat.
Kedua hal tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi dalam menentukan
formulasi hukum Islam yang diharapkan. Seperti, apa yang telah dilakukan oleh
‘Umar Ibn al-Khattab tentang pembagian rampasan perang (ganimah). Dalam QS.
al-‘Anfal (8):41
(#þqßJn=÷æ$#ur
`ÏiB
&äóÓx«
ÉAqߙ§=Ï9ur
$yJ¯Rr&
¨br'sù
“Ï%Î!ur
4’yJ»tGuŠø9$#ur
ÇÆö/$#ur
¬!
NçGôJÏYxî
¼çm|¡çHè~
4’n1öà)ø9$#
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
È@‹Î6¡¡9$#
bÎ)
óOçGYä.
NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9t“Rr&
4’n?tã $tRωö6tã tPöqtƒ Èb$s%öàÿø9$#
tPöqtƒ
‘s)tGø9$#
Èb$yèôJyfø9$#
3
ª!$#ur 4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« 퍃ωs%
Terjemahnya :
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.
Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dalam ayat tersebut di atas, bahwa ganimah atau rampasan perang itu
setelah dikurangi seperlima untuk kegiatan keagamaan dan sosial seperti
penyantunan anak-anak, fakir miskin, dan sebagainya, maka sisanya atau yang
empat perlima dibagikan kepada mereka yang ikut berperang. Sebelum
kekhalifahan ‘Umar, yang dibagi tidak hanya benda-benda bergerak, tetapi juga
tidak bergerak, seperti ladang dan kebun pekarangan di wilayah yang baru
ditaklukkan.
Namun, di bawah kepemimpinan ‘Umar, sewaktu tentara Islam berhasil
menaklukkan Iraq, Suriah, dan Khurasan, dia tidak memperlakukan ketentuan
dalam al-Qur’an itu. Dia menolak membagikan tanah-tanah di wilayah yang baru
dikuasai itu kepada para pejuang yang ikut berperang. Dia membiarkan tanah-tanah
itu tetap dikuasai oleh para pemilik aslinya, hanya kepada mereka dibebankan
pembayaran pajak tanah dan jizyah sebagai imbalan dari kebebasan yang diberikan
kepada mereka untuk tetap memeluk agama asli mereka. Pajak tanah dan jizyah
itu dikumpulkan dan dikelola oleh bait al-ma>l atau perbendaharaan negara, yang
kemudian dipergunakan untuk pembiayaan kegiatan kenegaraan dan pemerintahan.
Kebijakan ‘Umar itu ditentang oleh banyak peserta perang, termasuk sejumlah
sahabat senior seperti Bila>l Mu’adzin Rasul, ‘Abd al-Rahma>n ibn ‘Auf, dan
Zubair ibn awam. Maka terjadilah perdebatan sengit selama tiga malam. Mereka
menuduh ‘Umar telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tetapi ‘Umar
tidak tergoyahkan dan tetap bertahan dengan kebijakannya. Pada suatu ketika,
perdebatan telah sedemikian meruncing, sampai dengan nada iba ‘Umar bermohon
kepada Allah: “ya Allah, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawannya”.
Permohonan itu tentu bukan berarti ‘Umar putus asa, tetapi ia berharap Allah akan
membukakan hati sahabat-sahabatnya itu untuk dapat menerima kebijakannya
tersebut. Pada hari ketiga ‘Umar menemukan suatu ayat dalam al-Qur’an yang
dapat memperkuat kebijakannya, yakni QS al-Hasyr (59):6 dan 7
!$tBur
uä!$sùr&
¾Ï&Î!qߙu‘
ª!$#
öNåk÷]ÏB
4’n?tã
!$yJsù
óOçFøÿy_÷rr& Ïmø‹n=tã ô`ÏB 9@ø‹yz Ÿwur
7U%x.͑
£`Å3»s9ur
©!$#
äÝÏk=|¡ç„
¼ã&s#ߙ①4’n?tã `tB âä!$t±o„ 4 ª!$#ur
4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« ֍ƒÏ‰s% ÇÏÈ !$¨B
uä!$sùr& ª!$# 4’n?tã ¾Ï&Î!qߙu‘ ô`ÏB
È@÷dr&
3“tà)ø9$#
¬Tsù
“Ï%Î!ur
4’n1öà)ø9$#
4’yJ»tGuŠø9$#ur
Èûøó$#ur
ÉAqߙ§=Ï9ur
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
È@‹Î6¡¡9$#
ö’s1
Ÿw
tbqä3tƒ
P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߙ§9$# çnrä‹ã‚sù
$tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
(#qà)¨?$#ur
©!$#
(
¨bÎ)
©!$#
߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# .
Terjemahnya :
Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
(dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak
mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah
yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
Ayat tersebut dinyatakan bahwa kepada Rasul diberikan kebebasan untuk
membagikan harta rampasan perang yang disebut fa’i kepada siapa pun, dan
konon para penentang ‘Umar dapat diyakinkan. Tetapi dapat dikemukakan disini
bahwa fa’i tidak sama dengan ganimah. Ada kesan bahwa ayat 6 dan 7 Surat
al-Hasyr itu dikemukakan oleh ‘Umar sebagai wahana menyelamatkan muka para
penentangnya. Bila diikuti perbedaan di atas sekaligus memang ‘Umar telah
melakukan kesalahan fatal dengan mengabaikan pesan tekstual al-Qur’an. Akan
tetapi, apabila ditilik lebih jauh dengan menggunakan konsep mas}lahat
mursalah dan maqa>s}id al-Syari’ah, maka apa yang dilakukan ‘Umar itu
berkesesuaian dengan semangat (ruh) al-Qur’an secara keseluruhan yaitu agar
“harta tidak berputar-putar pada orang-orang tertentu saja”.
Sehingga
dalam kasus ini ‘Umar sebenarnya bukan mengingkari nas}, tetapi beralih dari
suatu mas}lahat yang terdapat pada nas} tertentu ke mas}lahat yang terkandung
pada nas} yang lain. Dengan demikian, kategori mas}lahat yang dipakai dalam
kasus benda rampasan itu masih berkisar pada nas}.
Dengan tidak diberikannya tanah hasil rampasan perang kepada para
pejuang dan kemudian hanya diambil pajaknya saja, ‘Umar dapat memberikan
jaminan-jaminan sosial kepada para tentara yang tinggal di wilayah taklukan,
sehingga mereka dapat dengan tenang menjalankan tugasnya. Kondisi ini pada
akhirnya tentu saja berimbas langsung kepada jaminan keamanan yang diberikan
tentara Islam kepada masyarakat yang diduduki (baik muslim maupun non
muslim). Stabilitas keamanan yang ada dengan sendirinya turut membantu
mendongkrak investasi ekonomi dan perdagangan di daerah setempat, yang secara
langsung berpengaruh pula pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila ‘Umar tidak melakukan
terobosan intelektual terhadap kasus harta rampasan itu, barangkali tentara Islam
yang ada di daerah-daerah ada sebagian yang kaya (karena ikut berperang), tetapi
ada pula yang tidak memiliki apa-apa (karena kebetulan tidak ikut berperang).
Kondisi ini tentu saja tidak diinginkan oleh ‘Umar karena akan melemahkan
mental dan semangat juang para tentara Islam. Selain akan menimbulkan
kecemburuan sosial yang susah disembuhkan.
Jika ditelusuri literatur-literatur Islam terobosan intelektual ‘Umar bukan
hanya pada kasus benda rampasan perang saja, tetapi terdapat pula pada
kasus-kasus lain, di antaranya kasus pembagian zakat untuk orang yang baru masuk
Islam (mu’allaf), kasus talak (t}alak), penjualan Umm al-Walad, hukuman bagi
pencuri, hukuman bagi pelaku zina, ta’zir dan lain-lain. Akan tetapi, atas
pertimbangan tertentu penulis tidak akan menguraikan satu persatu tentang
bagaimana inovasi ‘Umar terhadap kasus-kasus tersebut. Cukuplah kiranya kasus
harta rampasan di atas sebagai contoh ideal bahwa sejak tiga tahun sepeninggal
Nabi saw., permasalahan hukum yang muncul sudah sedemikian komplek dan
membutuhkan inovasi-inovasi baru untuk pemecahannya. Bila masa tiga tahun itu
saja sudah bisa membuat ‘Umar berpikir untuk memberikan solusi-solusi
rumusan hukum Islam yang lebih masuk akal dan sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada, semestinya kondisi pada saat ini lebih membutuhkan langkah-langkah
inovatif tersebut.
Apabila menggunakan analogi, umat Islam sekarang (terutama para ulama)
semestinya dapat melakukan langkah-langkah yang sama seperti yang telah
dirintis oleh ‘Umar ibn Khaththab ra. Mereka dapat melakukan studi kritis
terhadap formulasi-formulasi hukum Islam masa lalu. Bila ternyata kemudian
ditemukan formulasi-formulasi hukum Islam yang tidak lagi sesuai dengan
kebutuhan situasi dan kondisi yang ada, kita bisa saja melakukan ijtihad untuk
merumuskan hukum Islam yang baru. Namun perlu dipahami, hasil ijtihad
terkemudian bukan berarti otomatis menggantikan atau menghapus hasil ijtihad
sebelumnya, tetapi semata-mata memberikan pilihan hukum yang lebih sesuai
dengan kebutuhan. Artinya, hukum Islam hasil ijtihad para ulama terdahulu masih
tetap berlaku selama memang umat Islam membutuhkannya dan cocok dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi.
Konsep seperti itulah yang semestinya digunakan dalam memahami
realitas qawl qadi>m dan qawl jadi> al-Syafi’i. Sebagaimana diketahui al-Syafi’i
adalah salah satu Imam mazhab yang memiliki dua pendapat yang berbeda terhadap
satu persoalan, yang kemudian dikenal dengan istilah qawl qadi>m dan qawl
jadi>d. Qawl jadid adalah pendapat al-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis
ketika hijrah di Mesir hingga akhir hayatnya. Menurut sebagian ulama, sejak
munculnya qawl jadi>d maka eksistensi hukum qawl qadi>m tidak berlaku
berdasarkan doktrim hukum, bahwa hukum terkemudian menghapus hukum
sebelumya. Menurut hemat penulis, kesimpulan tersebut pada kenyataannya
menyalahi realitas sejarah yang sebenarnya. Sebab tidak pernah dijumpai
informasi yang dapat dipercaya bahwa sejak difatwakannya qawl jadi>d
al-Syafi’i kemudian serta merta mencabut qawl qadi>mnya. Dengan demikian,
qawl qadi>m bisa saja masih tetap berlaku, tetapi untuk konteks tertentu di Iraq
seperti juga qawl Jadi>d di Mesir.
Kasus qawl qadi>m dan qawl jadi>d al-Syafi’i di atas memberikan
preseden dan penegasan bahwa hukum Islam itu tidak bersifat statis, tetapi
sebaliknya sangat dinamis. Hukum Islam bisa saja mengalami proses pembaruan
bila memang dibutuhkan, melalui apa yang disebut dengan ijtihad. Lebih jauh dari
itu, pembaruan terhadap hukum Islam itu bukan semata-mata kebutuhan, tetapi
menurut para ahli merupakan pengejawantahan dari pesan-pesan Tuhan sendiri.
Dengan kata lain, sifat dinamis hukum Islam itu, menurut para ahli, memiliki akar
yang sangat kuat dalam ajaran internal Islam sendiri dan memiliki landasan
teologis dari al-Qur’an dan al-Sunnah melalui konsep naskh. Naskh adalah
sebuah konsep pergeseran atau pembatalan (nasikh) terhadap hukum atau
petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat yang diterima Nabi pada
waktu-waktu sebelumnya (mansu>kh). Dalam Tafsir al-Jawa>hir karya Syaikh
Thanthawi al-Jawhari, terdapat sebanyak 21 kasus naskh dalam al-Qur’an.
Pendapat al-Jawhari itu tidaklah final karena hingga saat ini para ulama tidak
pernah sepakat tentang berapa sebenarnya jumlah ayat yang mengalami proses
naskh.
Dasar hukum adanya naskh dalam al-Qur’an adalah Surat al-Baqarah
(2):106
$tB ô‡|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR
ÏNù'tR
9Žösƒ¿2
!$pk÷]ÏiB
÷rr&
!$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$#
4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃ωs%
Terjemahnya:
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu?
Mengenai ayat di atas Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m
berkomentar: “sesungguhnya menurut rasio tidak terdapat sesuatu yang menolak
adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah”. Ahmad Mustafa
al-Mara>gi> mengatakan: “sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk
kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan
zaman dan tempat. Maka apabila suatu hukum diundangkan pada waktu yang
memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebutuhan itu
tidak ada lagi, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan
menggantikannya dengan hukum yang lain yang lebih sesuai dengan waktu
terakhir.” Muhammad Rasyid Ridha> dalam Tafsi>r al-Mana>r mengatakan:
“Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan zaman, tempat dan
situasi. Kalau satu hukum diundangkan pada saat dibutuhkannya hukum itu,
kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan
bijaksana menghapus hukum itu dan menggantikannya dengan hukum lain yang
lebih sesuai dengan waktu yang belakangan itu”. Sayyid Quthb dalam Tafsi>r fi>
Zila>l al-Qur’a>n berpendapat: “Ayat 106 dari Surat al-Baqarah itu diturunkan
sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Nabi tidak
konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari Masjid al-Aqsa ke Masjid
al-H{aram maupun perubahan-perubahan petunjuk hukum dan perintah yang akan
terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta
kondisi mereka yang terus berkembang”.
Penafsiran empat mufassir sebagaimana tersebut di atas telah meletakkan
suatu prinsip bahwa perubahan hukum karena perubahan kondisi dan situasi itu
dibenarkan oleh Islam, tidak saja hanya pada zaman Nabi, tetapi juga pada waktu
sepeninggal beliau. Demikian juga halnya sunnah Nabi. Tidak jarang Nabi
memberikan petunjuk yang berbeda dengan apa yang beliau pernah berikan. Suatu
contoh yang populer, pada awal Islam Nabi melarang umatnya berkunjung ke
kubur, karena khawatir kambuh penyakit memuja nenek moyang atau minta
wasilah kepada kubur. Tetapi setelah mereka kuat keiamanannya, justru Nabi
mengimbau agar umatnya berziarah kubur, sebab dengan demikian mereka akan
mengingat bahwa cepat atau lambat mereka akan mati.
Dari berbagai uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah pembaruan
hukum Islam adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi apabila menginginkan
ajaran Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan memberikan
jawaban positif terhadap berbagai permasalahan umat yang menuntut penyelesaian
segera. Ini sangat rasional dan tidak menyalahi ajaran Islam sendiri. Apalagi bila
melihat kenyataan bahwa dari 6236 (atau 6666 menurut satu versi) ayat dalam
al-Qur’an, hanya kira-kira 500 ayat saja yang jelas-jelas berbicara masalah hukum.
Keterbatasan ayat hukum tersebut membuat para ulama melakukan ijtihad
dalam rangka mengembangkan hukum Islam, agar hukum Islam mampu menjawab
berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat akibat kemajuan yang
ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
B. Kompilasi Hukum Islam
1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi berasal dari bahasa latin, yang direduksi dari perkataan
compilare yang megandung pengertian mengumpulkan secara bersama-sama,
misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar dan berserakan
dimana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi compilation dalam
bahasa Inggris dan compilatie dalam bahasa Belanda istilah ini kemudian
dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi kompilasi yang berarti
mengumpulkan bersama-sama, menghimpun menjadi satu kesatuan, kumpulan
yang tersusun secara teratur, karangan yang disusun dari kutipan buku-buku lain.
Jadi apabila ditinjau dari segi bahasa kompilasi adalah kumpulan dari
berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai kitab / tulisan mengenai
persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh
beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam satu buku tertentu, sehingga
kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.
a. Pengertian Kompilasi Menurut Hukum
Dari beberapa pengertian kompilasi menurut bahasa tersebut di atas,
tampaklah bahwa kompilasi itu bukanlah selalu merupakan suatu produk hukum
sebagaimana halnya dengan sebuah kodifikasi.
Dalam pengertian hukum maka pengertian kompilasi tidak lain adalah
sebuah buku hukum atau kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum
tertentu, pendapat hukum.
b. Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Apabila dilihat dari segi rencana penyusunan Kompilasi hukum Islam
adalah untuk menghimpun bahan-bahan (materi) hukum bagi para hakim
dilingkungan peradilan Agama, berupa bahan-bahan yang diambil dari berbagai
kitab yang bisa digunakan sebagai sumber pengambilan dalam penetapan hukum
yang dilakukan oleh para hakim agama dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan
dengan itu, maka dapat dikemukakan bahwa dengan Kompilasi Hukum Islam
dalam pengertian hukum Islam adalah rangkuman berbagai pendapat hukum yang
diambil dari berbagai kitab, yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa digunakan
sebagai referensi pengadilan agama untuk diolah dan dikembangkan serta
dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut ini yang dinamakan
kompilasi.
Materi yang tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa
dengan perundang-undangan (yaitu berupa bab dan pasal-pasal tertentu). Bahan itu
kemudian ditetapkan berlakunya melalui sebuah keputusan penguasa (presiden)
yang merupakan hasil kesepakatan para ulama, untuk selanjutnya dapat
dipergunakan oleh para hakim pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan
memutuskan serta menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya,
Kompilasi hukum Islam menjadi pedoman bagi mereka.
2. Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Secara historis, hukum Islam masuk di Indonesia sama-sama dengan
masuknya Islam itu sendiri (living law). Meskipun demikian, dalam sejarah
hukum Islam, yang bagi umat Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan beragama itu sendiri, walaupun telah mengalami berbagai kendala dan
hambatan dalam penyebaran dan pemberlakuan yang pada akhirnya tertuang di
dalam perundang-undangan.
Dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia, hukum Islam
memperoleh tempat sebagai salah satu unsurnya. Dengan demikian, secara
berangsur-angsur materi hukum Islam merupakan bagian integral dalam hukum
nasional. Hal ini dapat dilihat lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan mengandung hukum Islam. Peraturan pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang wakaf Tanah Milik sepenuhnya dari hukum Islam.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan yang sangat
menggembirakan adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materil
yang tentunya memperkukuh berlakunya hukum Islam.
Apabila dicermati perkembangan pembangunan hukum di Indonesia,
khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam, cukuplah menggembirakan
lahirnya Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu respon positif dari
komunitas bangsa Indonesia yang sebagian besar adalah mayoritas muslim, dalam
rangka menata dan membenahi sekaligus mengaktualisasikan keberadaan hukum
Islam dalam sistem hukum nasional.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya Kompilasi Hukum Islam
secara umum, maka tidaklah mudah diungkapkan secara menyeluruh. Sebab
lahirnya Kompilasi Hukum Islam sangat terkait dengan berbagai macam kebijakan
dan pertimbangan yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Namun demikian
sebagai langkah awal dapat diperhatikan dan dilacak pada konsideran keputusan
bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Tanggal 21 Maret 1985
Nomor 07/KMA/1985 dan No 25 tahun 1985 tentang penunjukkan pelaksanaan
Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi atau lebih dikenal
sebagai proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka dari sini dapat dikemukakan
dua pertimbangan mengapa proyek ini diadakan yaitu :
a. Bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung RI terhadap
jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya
lingkungan Peradilan Agama, maka perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang selama ini menjadi hukum positif di Pengadilan Agama.
b. Bahwa guna mencapai maksud tersebut demi meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas, sinkronisasi
dan tertib administrasi
dalam proyek
pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, maka dipandang perlu
membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia.
Apabila diteliti dari dua Konsideran tersebut di atas, nampaknya belumlah
cukup untuk memberikan jawaban yang tegas mengenai keharusan membentuk
Kompilasi Hukum Islam (KHI), menurut Abdurahman, apabila diteliti lebih jauh
tentang pembentukan KHI maka mempunyai kaitan yang sangat erat dengan
kondisi hukum Islam di Indonesia selama ini.
Dalam beberapa literatur tentang latar belakang munculnya Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia paling tidak ada dua hal yang ditinjau, yaitu penelaahan
latar belakang secara umum dan secara khusus. Hal ini perlu dilakukan sebagai
langkah untuk mengetahui secara historis keberadaan hukum Islam sampai
lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
1. Latar Belakang Secara Umum
Mengetahui latar belakang peninjauan Kompilasi Hukum Islam secara
umum dapat penulis uraikan secara gamblang. Adapun latar belakang secara umum
dapat ditinjau sebagai berikut:
a). Keadaan Hukum Islam di Indonesia secara umum selama ini
Term hukum Islam telah berkembang di Indonesia selama ini, memerlukan
penjelasan mengingat belum adanya pengertian yang disepakati tentang hukum
Islam selama ini, sehingga muncul berbagai anggapan tentang hukum Islam itu
sendiri karena masing-masing pakar melihat hukum Islam dari sudut yang
berbeda-beda.
Dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa pandangan para pakar hukum
Islam di Indonesia, Muhammad Daud Ali misalnya memahami pengertian hukum
Islam di Indonesia dari sudut pandang kedudukan hukum Islam dalam sistem
hukum di Indonesia. Sedangkan Ichtijanto memahami hukum Islam dari sudut
pandang hukum Islam di Indonesia adalah hukum yang diperpegangi atau ditaati
oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia yang telah hidup dalam masyarakat
dan merupakan bagian dari ajaran keyakinan Islam yang ada dalam kehidupan
nasional dan merupakan bahan dalam pembinaan hukum dan pengembangannya.
Sehingga dalam kondisi yang demikian, dibutuhkan persepi yang menyatu
mengenai keberadaan hukum Islam di Indonesia. Munculnya Kompilasi Hukum
Islam merupakan salah satu bentuk upaya untuk menyatukan persepsi yang
berbeda selama ini di tengah masyarakat tentang hukum Islam, sehingga tidak
terjadi tumpang tindih antara para pakar hukum dalam memaknainya, dan terlebih
khusus lagi bagi masyarakat muslim sebagai konsumen hukum.
b). Keberadaan hukum Islam di Indonesia maupun di dunia Islam lain pada
umumnya, sampai saat ini merupakan fiqh hasil penafsiran pada abad kedua dan
beberapa abad berikutnya, kitab-kitab fiqh klasik masih tetap mendominasi dan
berfungsi memberikan informasi tentang hukum, baik di sekolah-sekolah
menengah agama maupun perguruan tinggi, kajian pada umumnya banyak
dipusatkan pada masalah-masalah ibadat, dan al-akhwa>l syakhsiyah, kajiannya
tidak terlalu banyak diarahkan pada fiqih muamalah, seperti halnya masalah
perekonomian dalam Islam. Sehingga apabila hukum Islam dihadapkan dengan
masalah kontemporer sekarang ini, kelihatannya sangat kaku. Hal ini disebabkan
materi-materi yang termasuk dalam buku-buku fiqh tidak atau belum sempat
disistimatisasikan, sehingga ia dapat disesuaikan dengan kondisi sekarang ini.
Problem yang muncul sekarang ini bukan saja perubahan sosial tetapi juga
peningkatan kebutuhan masyarakat dalam berbagai bentuknya. Banyaknya masalah
baru yang muncul, yang belum ada pada masa Rasulullah dan di masa terbentuknya
mazhab-mazhab, sehingga berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah
dikemukakan.
Di
satu
sisi
kehendak
berpegang
pada
tradisi
dan
penafsiran-penafsiran ulama mujtahid terdahulu, di lain pihak ada yang
menawarkan, bahwa apabila perpegangan erat saja pada penafsiran-penafsiran lama
tidak cukup dalam menghadapi perubahan sosial di abad kemajuan ini. Oleh karena
itu penafisaran-penafsiran hendaklah diperbaharui untuk disesuaikan dengan
kondisi yang dihadapi pada masa kekinian, untuk itu ijtihad sangat perlu untuk di
hidupkan kembali untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.
Kondisi seperti ini diperlukan Kompilasi hukum Islam sebagai wujud penafsiran
baru atau fiqh baru ala Indonesia.
Pelaksanaan hukum dapat berjalan dengan baik apabila, sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu hakim dipengadilan dalam
menyelesaikan perkara yang dihadapi harus memperhatikan dan menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tentang hal ini Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman pasal 27 ayat 1 menyatakan
“hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Kuatnya tradisi pemikiran fiqh di dunia muslim, sesungguhnya bukan hal
mengada-ada. Hal ini didasarkan, paling tidak, pada kenyataan bahwa esensi
masyarakat Islam terletak pada kesadaran akan pentingnya perilaku hidup
berdasarkan ajaran wahyu. Artinya keberagamaan seseorang baru bermakna jika
ajaran agama itu termanifestasikan dalam perilaku hidup sehari-hari. Kebutuhan
terhadap legislatif pengaturan masyarakat. Di sisi lain juga telah meniscayakan
pertumbuhan tradisi pemikiran fiqh secara lebih intensif. Inilah sebabnya
mengapa umat Islam selalu berusaha menformulasikan ajaran wahyu itu ke dalam
bentuk-bentuk ketentuan-ketentuan formal sebagai aturan hidup. Hal inilah yang
kemudian hari melahirkan kelompok masyarakat yang dikenal sebagai ahli hukum
atau fuqaha.
c). Penerapan hukum Islam hendaknya disesuaikan dengan penyesuaian pada
budaya dan kultur Indonesia. Karena kadang-kadang hasil ijtihad yang diterapkan
di negara-negara Islam lainnya seperti halnya dalam bidang jual beli, sewa
menyewa, warisan, wakaf dan hibah, demikian pula penerapan hukum Islam
melalui yurisprudensi di Pengadilan Agama. Pada Pengadilan Agama di luar Jawa,
Madura dan Kalimantan Selatan telah banyak hukum Islam menjadi hukum positif
sekaligus menjadi kompetensi Pengadilan Agama, sedangkan di Jawa dan Madura
masih sebagian kecil hukum Islam yang menjadi hukum positif.
d). Bahwa sumber yang dipergunakan oleh para hakim Peradilan Agama dalam
penerapan hukum adalah hukum Islam ala mazhab Syafi’i, walaupun tidak selalu
demikian, dalam prakteknya baik sebelum tahun 1976 maupun sesudahnya, hakim
Pengadilan Agama dalam menetapkan apa yang tidak selalu berpegangan kepada
referensi aliran Syafi’iyah. Pengadilan Agama dalam menetapkan putusan tentang
harta bersama/gono gini, harta syarikat, yang hal ini tidak dikenal dalam referensi
kitab Syafi’iyyah, dalam hal ini Pengadilan Agama banyak mengutip langsung
ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an.
Di Indonesia kecenderungan seperti ini tampak begitu kental. Selain
tergantung kepada kitab-kitab fiqh klasik, pola pikir masyarakat pun sangat khas
fiqh. Klaim-klaim terhadap kaum santri yang berpikiran “fiqh Oriented” secara
apik mengilustrasikan fenomena tersebut, demikian pula terminologi dan
dominasi ulama yang berkembang lebih identik sebagai ulama fiqh. Puncaknya
dapat dilihat ketika sejumlah (13) kitab fiqh Syafi’iyyah direkomendasikan
sebagai referensi hukum dalam Pengadilan Agama. Semua itu menunjukkan bahwa
pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia terkonsentrasi pada tradisi
pemikiran fiqh klasik.
Menurut Munawir Sjadzali, bahwa ini berakibat jika hakim agama
menghadapi kasus yang diadili maka rujukannya adalah buku fiqh tanpa
standarisasi atau keseragaman. Akibat lanjutnya, secara praktis, kasus yang sama
dapat lahir keputusan yang berbeda jika ditangani oleh hakim yang berbeda. Dari
sudut teori hukum, ini berarti produk-produk Peradilan Agama bertentangan
dengan prinsip kepastian hukum. Hal ini akan menumbuhkan sikap sinis
masyarakat, baik terhadap Pengadilan Agama maupun terhadap para hakimnya, dan
hukum Islam yang dipergunakan sebab biasanya dalam setiap masalah selalu
ditemukan lebih dari satu pendapat, qaul.
Dalam kondisi hukum yang demikian, maka dibutuhkan Kompilasi Hukum
Islam untuk menyatukan pendapat mazhab. Mazhab tersebut dalam satu mazhab
yang pada akhirnya melahirkan mazhab ala Indonesia atau dikenal fiqh Indonesia.
Dengan terbentuknya Kompilasi Hukum Islam, maka harapan masyarakat
untuk mendapatkan kepastian dan keadilan akan terwujud, karena rujukan para
hakim Pengadilan Agama telah berpedoman pada satu kitab fiqh, yakni Kompilasi
Hukum Islam ala Indonesia yang telah menjadi ijma oleh para ulama dan umara di
Indonesia.
e). Munculnya kecenderungan umat Islam pada dekade akhir-akhir ini untuk
menjadikan pemerintah sebagai “maz\hab” untuk melegalformalkan penerapan
hukum Islam lewat perundang-undangan Indonesia. Walaupun jumlahnya masih
kecil, namun telah berkembang dengan penerapannya untuk menjawab tantangan
dan kebutuhan masyarakat untuk menuju tujuan hukum Islam seperti dalam hal
monogami, masalah batas umur kebolehan kawin, masalah harta bersama, masalah
nadzir dan saksi pada perwakafan tanah milik dan masalah ikrar perwakafan harus
tertulis.
Penerapan hukum Islam di Indonesia baik yang penerapannya dalam
kehidupan masyarakat, dalam Pengadilan Agama menurut Rahmat Djatnika
mengandung masalah ijtiha>diyah yang harus diselesaikan dengan ijtiha>d
(ulama Indonesia) tentunya dengan menggunakan metode-metode ijtihad, seperti
istih}sa>n, istis}lah, al-‘urf, dan lain metode-metode istidlal dengan bertujuan
terwujudnya kemaslahatan umat. Manakala ada pihak yang sependapat dengan hasil
ijtihad tersebut sedangkan hakim memutuskan dengan ketentuan yang tersebut
dalam perundang-undangan, maka ijtihad para hakim tidak dapat dibatalkan dengan
ijtihad yang lain.
2. Latar Belakang secara khusus
Untuk mengungkapkan latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam
secara khusus, dapat ditelusuri dari pernyataan-pernyataan yang bersumber dari
para tokoh yang banyak terlibat langsung dalam proses penyususunan Kompilasi
Hukum Islam, karena data yang dikemukakan oleh mereka sangat terkait langsung
denga latar belakang dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam. Adapun beberapa
tokoh sentral yang banyak terlibat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam
antara lain; KH. Hasan Basri, Bustanul Arifin, Masrani Basran dan M. Yahya
Harahap. Keberadaan KH. Hasan Basri adalah sebagai ketua Majelis Ulama
Indonesia yang banyak terlibat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam,
sedangkan tiga tokoh lainnya adalah para hakim Agung yang banyak memberikan
kontribusi dan sekaligus sebagai motor penggerak dari pelaksanaan proyek
penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Dari pendapat mereka ini, terdapat perbedaan-perberdaan antara satu
dengan yang lainnya, tetapi bukanlah merupakan pertentangan, karena perbedaan
sudut pandang, maka keterangan-keterangan dimaksud tidak terlepas dari berbagai
keterangan umum tentang hukum Islam di Indonesia sekarang sebagaimana
dikemukakan di atas.
Adapun yang melatarbelakangi lahirnya Kompilasi Hukum Islam secara
khusus, penulis akan mengemukakan beberapa pandangan dan argumen yang
dipaparkan oleh para tokoh yang terlibat langsung dalam penyusunan Kompilasi
Hukum Islam, yang dijadikan sandarannya sebagai berikut :
a). Terjadinya kesimpangsiuran keputusan dan tajamnya perbedaan pendapat
tentang masalah hukum Islam di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh KH. Hasan
Basri dalam suatu tulisannya mengenai urgensi dirumuskannya Kompilasi Hukum
Islam, beliau mengungkapkan bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan
keberhasilan besar umat Islam di Indonesia pada masa Orde Baru ini. Sebab
dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman
fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh
seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan adanya Kompilasi Hukum
Islam dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam
lembaga-lembaga Peradilan Agama, demikian juga sebab-sebab ikhtilaf yang
disebabkan oleh pengaruh-pengaruh masalah fiqh akan dapat diakhiri.
Lebih jauh Bustanul Arifin menyatakan bahwa di Indonesia karena belum
adanya Kompilasi Hukum Islam dalam paratiknya sering kali terjadi keputusan
peradilan Agama yang saling berbeda/tidak seragam, pada hal kasusnya sama.
Bahkan dapat dijadikan alat praktek untuk menjatuhkan yang dianggap tidak
sepaham. Juga beliau mengatakan bahwa fiqh yang semestinya membawa rahmat
bagi manusia, malah menjadi perpecahan. Dengan demikian menurut pendapat
beliau adalah karena umat Islam salah paham dalam mendudukan fiqh dan belum
adanya Kompilasi Hukum Islam. Sebab rancangan buku hukum Kompilasi Hukum
Islam tersebut bukan hanya sekedar reaktualisasi hukum Islam melainkan dapat
disebut sebagai reformulasi hukum Islam.
b). Adanya urgensi kepastian hukum bagi pencari keadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
Kehadiran Undang-undang Peradilan Agama menegaskan kembali
keberadaan dan kompetensi absolut Peradilan Agama. Pasal 2 misalnya
menyatakan bahwa “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan
Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini”. Tentang kompetensi absolut
Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 undang-undang Nomor 7 tahun 1989
menjelaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wakaf,
sedekah, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Ketentuan pasal 49 tersebut nampaknya bersifat global sekali, untuk itu
diperlukan adanya unifikasi dan kodifakasi hukum yang memadai, agar tujuannya
sangat jelas yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dalam
masyarakat muslim.
Dalam hal ini, Bustanul Arifin mengemukakan bahwa munculnya persoalan
tentang adanya masalah hukum Islam yang diterapkan oleh pengadilan Agama.
Dikatakannya bahwa hukum Islam (fiqh) tersebar dalam sejumlah besar kitab yang
disusun oleh para fuqaha beberapa abad yang lalu, biasanya, bahwa dalam setiap
masalah selalu ditemukan lebih dari satu pendapat (qaul). Sehingga wajar jika ada
orang yang bertanya “hukum Islam yang mana”? bagi pribadi-pribadi atau
kelompok tertentu mungkin jelas, mengingat masing-masing telah menganut
paham tertentu. Hal ini menurut pendapatnya adalah salah satu kenyataan yang
tidak bermaksud mengingkari bahwa perbedaan pendapatnya adalah rahmat, akan
tetapi yang ditekan disini adalah bahwa untuk diberlakukan di Pengadilan, suatu
peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, sehingga tercipta kepastian
hukum.
Masalah yang tidak kalah pentingnya lagi menurut Bustanul Arifin bahwa
dalam keputusan Pengadilan Agama menggunakan kitab-kitab fiqih, hal ini
membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika
pihak yang berpekara mengenai kekalahan kemudian mempertanyakan pemakaian
kitab/pendapat yang memang tidak menguntungkan itu, seraya menunjuk
kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan di antara 13
kitab fiqh, yang menjadi pegangan itu telah jarang menjadi rujukan dan sering pula
terjadi pada para hakim berselisih pendapat sesama mereka tentang pemilihan
kitab rujukan.
Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa kitab fiqh yang dipergunakan
sekarang, telah ada sebelum lahirnya paham kebangsaan, di mana praktek
kenegaraan Islam masih memakai konsep umat. Hal ini sangat berbeda dengan
paham kebangsaan, konsep umat menyatukan berbagai kelompok masyarakat
dengan ikatan agama, sedangkan paham kebangasaan baru lahir sesudah perang
dunia pertama, dan kemudian negara Islam menganutnya, termasuk negara-negara
dunia Arab. Dengan demikian kita tidak lagi bisa memakai sejumlah produk dan
peristilahan yang dihasilkan sebelum lahirnya paham kebangsaan tersebut.
Untuk menghadapi kondisi yang demikian, maka dibutuhkan adanya
Kompilasi Hukum Islam sebagai langkah untuk menyatukan misi dan persepsi
menuju kebangsaan yang berkeadilan.
Dengan melihat situasi hukum Islam seperti yang digambarkan di atas
inilah, sehingga menurut Bustanul Arifin mendorong untuk diadakannya Proyek
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam
pengambilan keputusan sekaligus dapat memberikan kepastian hukum pada pihak
yang ingin menyelesaikan perkara/sengketanya.
c). Munculnya Persepsi yang belum seragam tentang penggunaan istilah
antara, syariah, Din dan fiqh, terutama pada abad kemunduran yang dialami oleh
dunia Islam yang melanda hampir disegala segi kehidupan, termasuk di dalamnya
bidang hukum.
Hal ini diakui oleh Masrani Basran yang mengemukakan bahwa lahirnya
KHI lebih disebabkan oleh beberapa hal antara lain: pertama, adanya ketidak
jelasan persepsi tentang syariah dan fiqh, kekacauan persepsi tentang kedua
istilah ini berlangsung lama dikalangan umat Islam. Mereka kadang kala
menyamakan syariat Islam dan fiqh, bahkan ada kalanya dianggap sama pula
dengan al-din, maka terjadinya kekacauan pengertian dikalangan umat Islam, dan
kekacauan pengertian ini berkembang pula bagi orang di luar Islam. Akibat
terjadinya polemik orang Islam karena tidak seragamnya mengenai pengertian
syariah ini akan menyebabkan munculnya hal berikut ini:
1). Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam.
2). Ketidak jelasan bagaimana melaksanakan syariat Islam itu.
3). Akibatnya yang lebih jauh lagi adalah kita tidak mampu mempergunakan
jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam UUD 1945 dan perundang-undangan
lainnya.
Masalah ini perlu diperhatikan agar persepsi tentang syariat harus
diseragamkan agar tidak terjadi kerancuan pemahaman, langkah yang harus
diambil adalah mengembalikan pada awal seperti yang dialami sebelum terjadinya
kemunduran berpikir, dan sebelum kaum penjajah menjajah dan menguasai bidang
kehidupan umat Islam. Karena sangat sulit untuk melakukan pembangunan bangsa
yang kokoh dan kuat apabila persepsi yang keliru tentang syariat Islam tetap
menyelimuti pemikiran umat Islam.
Kondisi pemahaman yang beragam tentang syariah yang dialami umat
Islam ini, maka perlu dilakukan proyek yurisprudensi Islam yang mencakup ruang
lingkup Kompilasi Hukum Islam.
d). Munculnya kecenderungan para hakim Pengadilan Agama menjadikan
kitab fiqh sebagai “kitab hukum” (perundang-undangan).
Menurut M. Yahya Harahap bahwa Kecenderungan para hakim Pengadilan
Agama yang bergantung pada kitab-kitab klasik, dan pola pikir masyarakat yang
mencerminkan kekhasan fiqh, merupakan satu problema yang perlu mendapatkan
perhatian dan harus diluruskan. Karena pandangan yang menganggap bahwa
pemikiran fiqh merupakan harga mati dan dilihat identik sebagai aturan Tuhan
merupakan suatu hal yang sangat keliru dan salah. Oleh karena itu atas kekeliruan
inilah perlu dilakukan penegasan hukum. Dikatakannya bahwa hukum Islam yang
diterapkan dan ditegakkan, seolah-olah bukan lagi berdasarkan hukum, akan tetapi
sudah menjurus ke arah penerapan hukum menurut buku/kitab pertimbangan dan
putusan yang dijatuhkan berdasarkan kitab. Praktik penerapan hukum seperti ini
bertentangan dengan asas yang mengajarkan, putusan pengadilan harus
berdasarkan hukum. Oleh karena itu orang yang tidak boleh diadili berdasarkan
buku atau pendapat ahli atau ulama manapun.
Kecenderungan mengutamakan fatwa atau penafsiran syarah ulama dalam
menemukan hukum menyebabkan kitab-kitab fiqh telah berubah fungsinya, yang
semula kitab fiqh merupakan literatur pengkajian ilmu hukum para Hakim
Peradilan Agama telah dijadikan “kitab hukum”. Padahal situasi hukum Islam di
Indonesia tidak berbeda dengan negara lain, yaitu tetap tinggal dalam “kitab
kuning”. Kitab ini merupakan kitab karangan dan bahasan para sarjana hukum
Islam, sehingga sebagiannya adalah karangan dan hasil pemikiran (ijtihad)
seorang, maka dengan sendirinya setiap kitab kuning diwarnai oleh pendapat dan
pendirian masing-masing pengarangnya untuk dasar pemberian fatwa-fatwa sangat
tergantung sungguh pada kemampuan yang dimilikinya serta situasi yang
menyelimutinya.
Hal ini sangat berbeda dengan hakim agama yang mempunyai otoritas
menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Demikian pula hakim
harus mampu menentukan hukum yang adil dalam suatu perkara yang dihadapinya
serta mencari cara pemecahannya, dan apabila tidak mampu mengatasinya, maka
akan dapat merusak rasa keadilan dari pihak yang berperkara yang diminta
penyelesaiannya.
Sebagai ilustrasi dari kecenderungan tersebut M. Yahya Harahap
mengemukakan suatu kasus, misalnya di Pengadilan Agama. Pertimbangan dan
putusan hakim, mengambil dan menemukan hukum yang diterapkan dari kitab
ulama Bagdad, kemudian pada tingkat banding, pengadilan Tinggi Agama
mengambil hukum yang diterapkan dari buku/kitab ulama Kairo, sehingga putusan
ini menimbulkan pertanyaan apakah tepat atau adilkah penerapan hukum seperti
itu? Tentu saja jawabnya bisa bermacam-macam. Apabila kebetulan terhadap anda
dipergunakan fatwa atau sarahan kitab ulama Bagdad, dengan penerapan itu anda
menang dalam sengketa, barangkali anda akan merasa diperkosa atas putusan yang
didasarkan pada kitab ulama Bagdad tadi. Hal ini disebabkan sekiranya kitab ulama
Kairo yang diterapkan hakim, pihak lawan itupun akan menjerit-jerit sambil
menuntut agar kitab ulama Kairo yang tepat dan adil, atau barangkali pihak lawan
menuntut kitab ulama Hijazlah yang paling tepat dan adil untuk diterapkan dalam
perkara yang sedang diperiksa.
Penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim seperti ilustrasi di atas akan
mengakibatkan tindakan semena-mena para hakim dan juga menimbulkan citra
yang buruk terhadap putusan Peradilan Agama, sehingga praktek penerapan hukum
yang semata-mata berdasarkan penemuan dan pengambilan hukum dari sumber
kitab-kitab, benar-benar tidak dapat diperhatikan. Karena praktek penerapan
hukum demikian tentu akan menjurus ke arah penegakan hukum menurut persepsi
hakim. Kebebasan hakim yang demikian sangat menyimpang dari kerangka
kebebasan yang bertanggung jawab menurut hukum dan lari mendekati pada
kebebasan yang tak terkendali pada hakekatnya kebebasan para hakim mengadili
suatu perkara tidak lain daripada kebebasan yang tunduk pada hukum. Dalam
kebebasan melaksanakan fungsi ketaatan kepada hukum tadi hakim tidak tunduk
kepada pengaruh siapapun. Jadi makna kebebasan para hakim melaksanakan fungsi
Peradilan bukan merupakan kebebasan menerapkan hukum sesuka hati dari
sumber yang bersifat pengkajian ilmiah yang tertulis dari berbagai kitab.
Kejadian tersebut di atas dapat mengundang pertanyaan, mengapa hal itu
terjadi ? dalam hal ini, Yahya Harahap menjelaskan jawabnya yaitu mungkin belum
adanya hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai landasan rujukan
yang mutlak. Atau hukum Islam yang ada di Indonesia pada umumnya masih
merupakan abstraksi hukum, dan umat Islam belum memiliki wujud hukum Islam
secara konkrit positif. Karena yang kita miliki baru berupa “abstraksi” hukum
yang substansinya terdapat dalam al-Quran dalam bentuk “wahyu”, substansi
hukum yang abstarak tadi, memang ada yang di susun dalam kitab-kitab fiqh para
mujtahid, sesuai dengan ra’yu dan suasana waktu serta lingkungan tempat kitab itu
ditulis, walaupun itu banyak tulisan dan kitab para Mujtahid atau imam mazhab
yang tersebar di Indonesia, sama sekali kuantitas itu tidak akan mengurangi arti
hipotesis abstraksi yang dikemukakan. Sampai pada saat sekarang ini masih
banyaknya masyarakat Indonesia yang masih mereka-reka wujud dan bentuk
hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan bidang muamalah, dan juga yang
berkenaan langsung dengan perkawinan, kekeluargaan, hibah, wakaf, warisan dan
shadaqah.
Dalam kondisi yang demikian, maka dipandang perlu untuk dilakukan
penyusunan Kompilasi Hukum Islam sebagai suatu kitab hukum yang mampu
menjawab problema yang dihadapi masyarakat baik pada masa kini maupun pada
masa yang akan datang. Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam dapat membantu
para penegak hukum dalam memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat,
sehingga pada akhirnya putusan yang dihasilkan dapat menyentuh rasa keadilan dan
kepastian hukum bagi masyarakat.
Demikian beberapa di antara pandangan yang dikemukakan para pakar yang
menyangkut hal-hal yang melatarbelakangi diadakannya proyek penyusunan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, yang permasalahannya bertumpu pada
pelaksanaan hukum Islam dilingkungan Peradilan Agama. Mungkin masih ada
banyak lagi permasalahan yang dapat disebut sebagai tambahan di atas untuk
sementara dapat ditunjuk sebagai latar belakang pembentukan Kompilasi Hukum
Islam.
3. Proses dan Prosedur Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam di awali dengan penunjukan
pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan itu, dalam surat Keputusan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI. dan Menteri Agama Republik Indonesia No.
07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985. Di dalam SKB
tersebut ditunjuk pimpinan umum proyek yang di ketuai oleh Prof. H. Bustanul
Arifin, SH. (Ketua Muda Mahkamah Agung RI. Urusan Lingkungan Peradilan
Agama) yang dibantu oleh dua orang wakil pimpinan umum, yaitu H.R. Djoko
Soegianto, SH. (Ketua Muda Mahkamah Agung RI. Urusan Lingkungan Peradilan
Umum Bidang Hukum Perdata tidak tertulis), dan H. Zaini Dahlan, M.A.
(Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
RI.).
Kemudian pelaksanaan proyek ini diketuai oleh H. Masrani Basran, SH.
(Hakim Agung Mahkamah Agung RI.), dan wakil Ketua H. Muchtar Zarkasyi, SH.,
(Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI.),
sekretaris dijabat oleh Ny. Lies sugondo, SH., (Direktur Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI.), wakilnya Drs. Mafruddin Kosasih (Pejabat Departemen
Agama RI.) dan Bendahara Alex Marbun (Pejabat Mahkamah Agung RI.), serta
Drs. Kadi S (Pejabat Departemen Agama RI.). Adapun pelaksana bidang sebagai
berikut:
a. Bidang Kita/Yurisprudensi : (1) Prof. KH.Hosen LML (Majelis Ulama
Indonesia) (2) Prof. HMD. Kholid, SH. (Hakim Agung) (3) HA. Wasit
Aulawi (Pejabat Departemen Agama RI.).
b. Bidang Wawancara : (1) M. Yahya Harahab, SH. (Hakim Agung
Mahkamah Agung RI.) (2) Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH. (Pejabat
Departemen Agama RI.)
c. Bidang Pengumpul dan Pengolah Data : (1) H. Amiroeddin Noer, SH.
(Hakim Agung Mahkamah Agung RI.) (2) Drs. Muhaimin Nur, SH.
(Pejabat Departemen Agama RI.).
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama tersebut, telah ditentukan tentang
tugas pokok proyek, yakni untuk melaksanakan usaha pembangunan hukum
melalui yurisprudensi dengan jalan mengadakan Kompilasi Hukum Islam.
Adapubn sasarannya adalah untuk mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai
landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat
Indonesia menuju Hukum Nasional. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut,
maka proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
a. Pengkajian kitab-kitab fiqh
b. Wawancara dengan para ulama
c. Yurisprudensi pengadilan Agama
d. Studi perbandingan hukum dengan negara lain
e. Pengolahan data hasil penelitian
f. Lokakarya/Seminar materi hukum untuk pengadilan Agama.
Bidang garapan usaha ini adalah bidang hukum perkawinan, hukum
kewarisan, hukum perwakafan, hibah, sedekah dan lain-lain yang menjadi
kompetensi Peradilan Agama. Secara teknik proyek penyusunan Kompilasi
Hukum Islam ini dilakukan secara bertahap. Adapun tahapan proses
penyusunannya adalah sebagai berikut :
a. Tahap I : Tahap Persiapan
b. Tahap II : Tahap pengumpulan data melalui jalur ulama, kita-kitab fiqh,
yurisprudensi Peradilan Agama dan studi perbandingan dinegara-negara
Timur Tengah.
c. Tahap III : Tahap penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Islam dari data
yang terkumpul.
d. Tahap IV : Tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-masukan
akhir dari para ulama/cendekiawan muslim seluruh Indonesia yang ditunjuk
melalui lokakarya.
Untuk lebih memperjelas kronologis pelaksanaan proyek Kompilasi
Hukum Islam melalui jalur tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Pengkajian kitab-kitab fiqh
Pengkajian kitab-kitab fiqh sebanyak 160 masalah di bidang hukum
perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan, wasiat, hibah, dan sedekah.
Terdapat 38 (tiga puluh delapan) kitab fiqh yang dikaji oleh tujuh IAIN yang
ditunjuk untuk mengkaji dan diminta pendapat, beserta argumentasi dan dalil-dalil
hukumnya. Kajian kitab ini berlangsung selama 3 (tiga) bulan mulai dari tanggal 7
Maret sampai tanggal 21 Juni 1985.
Adapun rincian pelaksanaan pengkajian masing-masing IAIN adalah sebagai
berikut :
a) IAIN Arraniri Banda Aceh 6 kitab, yaitu (1) al-Bajuri (2) Fathul Mu’in
(3) syarqawi ‘ala> Tahri>r (4) Mugni Muhtaj (5) Niha>yah al-Muhta>j
(6) As-Syarqawi
b) IAIN Syarif Hidayatullah 6 kitab, yaitu (1) I’anatut Ta>libi>n (2)
Tuhfah (3) Targib al-Musytaq (4) Bulgat al-Salik (5) Syamsuri fil
Fara>id (6) Al-Mudawwanah.
c) IAIN Antasari 6 kitab, yaitu (1) Qalyubi/Mahlli (2) Fathul Wahab dan
Syarahnya (3) Bidayah al-Mujtahid (4) Al-Umm (5) Bugyatul
Musytarsyidi>n(6) aqidah wa Syari’ah
d) IAIN Suna Kalijaga 5 kitab, yaitu (1) Al-Muhalla (2) Al-Wajiz (3)
Fathul Qadi>r (4) al-Fiq ala> Mazhabil Arba’ah (5) Fiqh Sunnah
e) IAIN Sunan Ampel Surabaya, yaitu 5 Kitab, yaitu (1) Kasyfal Qina> (2)
Majmu’atau Fata>wi> Ibn Taimiyah (3) Qawa>ni>n Syari’ah li Sayyid
Usman bin Yahya (4) al-Mugni (5) Al-Hidayah Syarah Bidayah
al-Mubtadi
f) IAIN Alauddin Ujung Pandang 5 kitab, yaitu (1) Qawa>ni>n Syar’iyah
li Sayyid Sudaqah Dahlan (2) Nawab al-Jalil (3) Syarah Ibn Abidi>n (4)
Al-Muwat}t}a (5) Hasyiah Syamsuddin Moh. Irfat Dasuki
g) IAIN Imam Bonjol Padang 5 kitab, yaitu (1) Bada’i al-Sanai (2) Tabyin
al-Haqa>iq (3) Al-Fatawi> al-Hindiyah (4) Fat} al-Kadi>r (5)
Niha>yah.
Selain pengkajian kitab tersebut, untuk kepentingan perbendaharaan hukum
kontemporer dipedomani pula hasil-hasil fatwa yang berkembang di Indonesia,
baik lembaga fatwa Majelis Ulama Indonesia maupun lembaga-lembaga
keagamaan seperti Nahdatul Ulama, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan lain-lain.
2. Wawancara
Kegiatan wawancara dilakukan dengan para ulama diseluruh Indonesia,
pokok masalah yang telah disusun dan disajikan sebagai bahan wawancara dimuat
dalam sebuah buku guide questioner berisi 102 masalah dalam bidang hukum
keluarga Perkawinan, Kewarisan, Perwakafan, wasiat, dan Hibah. Wawancara
dilakukan di 10 lokasi Pengadilan Tinggi Agama, yaitu (1) Banda Aceh 20 orang
ulama (2) Medan 19 orang ulama (3) Padang 20 orang ulama (4) Palembang 20
orang ulama (5) Bandung 16 orang ulama (6) Surakarta 18 orang ulama (7)
Surabaya 18 orang ulama (8) Banjarmasin 15 orang ulama (9) Ujung Pandang 19
orang ulama (10) Mataram 20 orang ulama.
3. Penelitian Yurisprudensi
Penelitian yurisprudensi dilaksanakan oleh direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam terhadap putusan Peradilan Agama yang telah dihimpun
dalam 16 buku yaitu, (1) Himpunan putusan PA/PTA 4 buku yaitu terbitan tahun
1976/1977, 1977/1978, 1978/1979 dan 1980/1981 (2) Himpunan Fatwa 3 buku,
yaitu buku terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980, dan 1980/1981 (3)
Yurisprudensi PA 5 buku, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979,
1981/1982, 1982/1983, dan 1983/1984 (4) Law Report 4 buku, yaitu buku
terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, dan 1983/1984.
4. Studi Perbandingan
Studi perbandingan dilaksanakan ke Timur Tengah yaitu negara-negara:
Maroko pada tanggal 28 dan 29 Oktober 1986, Turki pada tanggal 2 Nopember
1986, Mesir pada tanggal 3 dan 4 Nopember 1986.
Studi perbandingan dilaksanakan oleh H. Masran Basran, SH., (Hakim
Agung Mahkamah Agung RI.), H. Muchtar Zarkasyi, SH. (Direktur Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam Departem Agama RI.). Adapun pihak-pihak yang
dihubungi, yaitu:
a. Maroko : (1) Direktur Institut Kehakiman Nasional (2) sekretaris
Jenderal kementerian Wakaf dan Urusan Islam (3) Penasehat Menteri
Wakaf dan Urusan Islam (4) Ketua Supreme Court (5) Ketua Badan
Kerjasama UNESCO ALESCO.
b. Turki : (1) Ketua Islamic Center (2) Supreme Court diwakili oleh
ATTOR NEY GENERAL.
c. Mesir : (1) Rektor al-Azhar (2) Majelis Tinggi al-Azhar (3) Grand
Syeikh al-Azhar (4) Dekan Fakultas Dakwah al-Azhar (5) Ketua
Supreme Court (6) Mufti Negara dan (7) Menteri Wakaf.
Informasi bahan masukan yang diperoleh yaitu : (1) Sistem Peradilan (2)
Masuknya Syariah law dalam arus Tata Hukum Nasional (3) Sumber-sumber
hukum dan hukum materiil yang menjadi pegangan/terapan hukum dibidang
Ahwalussyakhsiyah yang menyangkut kepentingan muslim.
Kecuali masukan-masukan yang didapat dan 4 jalur informasi di atas
didapat juga dari masukan-masukan spontan dari: (1) Syariah NU Jawa Timur yang
mengadakan 3 kali bahtsul masail di tiga Pondok Pesantren yaitu : Tambak Beras,
Lumajang dan Sidoarjo. (2) Majelis Tarjih PP Muhammadiyah melalui suatu
seminar tentang Kompilasi Hukum Islam.
5. Pengolahan data hasil penelitian
a. Hasil penelitian bidang kitab, yurisprudensi, wawancara dan studi
perbandingan diolah oleh Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum Islam
melalui Yurisprudensi yang terdiri dan seluruh pelaksana proyek
sebagaimana tersebut dalam Bab IV angka I.
b. Hasil rumusan dari Tim Besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah
Tim Kecil yang merupakan tim inti, yang terdiri dari : (1) Prof. H.
Busthanul Arifin, SH. (2) Prof. H. MD. Kholid, SH. (3) H. Masrani
Basran, SH. (4) M. Yahya Harahap, SH. (5) H. Zaini Dahlan, MA. (6)
H. A. Wasit Aulawi, MA. (7) H. Muchtar Zarkasyi, SH. (8) H.
Amiroeddin Noer, SH. (9) Drs. H. Marfuddin Kosasih, SH.
Tim kecil akhirnya setelah mengadakan rapat sebanyak 20 kali dapat
merumuskan dan menghasilkan 3 buku naskah Rancangan Kompilasi Hukum
Islam, yaitu : (a). Hukum Perkawinan (b). Hukum Kewarisa (c). Hukum
Perwakafan. Rancangan Kompilasi Hukum Islam ini selesai disusun dalam kurun
waktu 2 tahun 9 bulan yang telah siap di lokakaryakan. Untuk itu tanggal 29
Desember 1987 secara resmi naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam oleh
Pemimpin Proyek Pembinaan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi diserahkan
kepada Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI.
6. Lokakarya
Pada upacara penyerahan naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam
dilakukan penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Mahkamah
Agung RI, H. Ali Said, SH. dan Menteri Agama RI. H. Munawir Sjadzali, MA.
tentang pelaksanaan lokakarya pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi
pada bulan Februari 1988.
Lokakarya tersebut dilaksanakan pada tanggal 2 s.d 6 Februari 1988
dimaksud untuk mendengarkan komentar akhir para Ulama dan Cendikiawan
Muslim. Ulama dan Cendikiawan Muslim yang diundang pada lokakarya tersebut
adalah wakil-wakil yang respresentatif dari daerah penelitian dan wawancara
dengan mempertimbangkan luas jangkauan pengaruhnya dan bidang keahliannya,
mereka yang ikut menghadiri ada sebanyak 124 orang.
Lokakarya tersebut diselenggarakan selama 2 hari di Hotel Kartika
Chandra Jakarta yang dibuka oleh Ketua Mahkamah Agung RI. H. Ali Said, SH.
dan ditutup oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung RI. H. Purwoto Ganda Subrata,
SH.
Pelaksanaan pembahasan naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam pada
lokakarya tersebut dibagi dalam dua Instansi yaitu sidang Pleno dan sidang
Komisi: Sidang Pleno dihadiri oleh seluruh peserta melakukan perbaikan umum,
dan mengesahkan hasil rumusan akhir lokakarya.
Sidang Komisi terdiri :
a). Komisi Hukum Perkawinan :
Pemimpin : H. M. Yahya Harahap, SH.
Sekretaris : Drs. Marfuddin Kosasih, SH.
Narasumber : K.H. Abdul Halim
Muhammad, SH.
Notulen
: a. Drs. Muchtar Effendi. b. Farchan Hisjam.
Anggota
: 42 orang.
b). Komisi Hukum Kewarisan :
Pemimpin
: H.A. Wasit Aulawi, MA.
Sekretaris
: H. Zainal Abidin Abubakar, SH.
Nara sumber : K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA
Notulen
: a. Drs. Nabhan Maspoetra. b. Drs. H. M. Zuffran Sabrie.
Anggota
: 42 orang.
c). Komisi Hukum Wakaf :
Pemimpin
: H. Masrani Basran, SH.
Sekretaris
: Dr. H.A. Gani Abdullah, SH.
Nara sumber : Prof. Dr. H. Rahmat Djatnika
Notulen
: a. Drs. Wahyu Widiana. b. Drs. Farid.
Anggota
: 29 orang.
Masing-masing Komisi membentuk Tim Perumus sebagai berikut :
1). Tim Perumusan Komisi A, tentang Hukum Perkawinan :
(a). H.M. Yahya Harahap, SH. (b). Drs. Marfuddin Kosasih, SH. (c). K.H.
Abdul Halim Muhammad, SH. (d). H. Muchtar Zarkasyi, SH. (e). K.H. Ali
Yafie (f). K.H. Najih Ahyad.
2). Tim Perumusan Komisi B, tentang Hukum Kewarisan (a). H.A. wasit
Aulawi, M.A (b). H. Zainal Abidin Abubakar, SH (c). K.H. Azhar Basyir,
M.A (d). Prof.K.H. Md. Kholid, SH (e). Drs. Ersyad, SH
3). Tim Perumusan Komisi C, tetang Hukum Wakaf
(a). H. Masrani Basran, SH (b). DR HA. Gani Abdullah, SH (c). Prof. DR.
H. Rahmat Djatnika (d). Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML (e). K.H. Aziz
Masyhuri.
4) Kata akhir para Ulama dalam sidang pleno pengesahan rumusan
Kompilasi Hukum Islam buku I, II, III disampaikan oleh:
(a). K.H. Hasan Basri mewakili MUL (b). K.H. Ali Yafie mewakili NU
(c). K.H. AR. Fahruddin mewakili Muhammadiyah.
5). Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan
Buku III tentang Wakaf mengalami Penghalusan redaksi yang intensif di
Ciawi Bogor yang dilakukan oleh Tim Besar Proyek untuk selanjutnya
disampaikan kepada Presiden oleh Menteri Agama dengan surat tanggal
14 Maret 1988 Nomor: MA/123/1988 Hal: Kompilasi Hukum Islam
dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan dalam
praktek dilikungan Peradilan Agama. Kemudian lahirlah Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang dalam diktumnya menyatakan:
MENGINSTRUKSIKAN
Kepada
: Menteri Agama untuk
Pertama
: Menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dan
:
a. Buku I tentang Perkawinan;
b. Buku II tentang Kewarisan;
c. Buku III tentang Perwakafan;
Sebagaimana telah diterima baik oleh para Alim Ulama Indonesia dalam
lokakarya di Jakarta pada tanggal 2 s.d 5 Februari 1988, untuk digunakan
oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.
Kedua
: Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan
dengan penuh tanggung-jawab. Untuk melaksanakan Instruksi Presiden
tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 154
tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, yang dalam diktumnya menyatakan:
Pertama : Seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah
lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di
bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sebagaimana
dimaksud dalam diktum Pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 masyarakat yang
memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang
tersebut.
Kedua
: Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum
Pertama, dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum
Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan
Kompilasi
Hukum
Islam
tersebut
di
samping
peraturan
perundang-undangan lainnya.
Ketiga
: Direktur Jenderal Pembinaan kelembagaan Agama Islam
dan Urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia dalam bidang tugasnya masing-masing.
Jadi dengan telah dikeluarkannya Instruksi Presiden dan Keputusan
Menteri Agama tersebut, Kompilasi Hukum Islam telah mendapatkan pengesahan
untuk dipergunakan sebagai pedoman bagi para Hakim pada lingkungan Peradilan
Agama dan instansi lain dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dan oleh
masyarakat yang memerlukannya.
4. Substansi Kompilasi Hukum Islam
Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam diktum Inpres No 1 Tahun 1991
bahwa Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku yakni buku I tentang
Perkawinan, buku II tentang Kewarisan, buku III tentang perwakafan. Dalam
kerangka sistimatikanya masing-masing buku terbagi dalam beberapa bab,
kemudian bab tertentu terbagi pula atas beberapa bagian yang selanjutnya dirinci
dalam beberapa pasal.
Secara menyeluruh Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 229 pasal dengan
pembagian yang berbeda-beda untuk masing-masing buku. Porsi yang paling
banyak adalah pada buku hukum perkawinan, kemudian hukum kewarisan dan
paling sedikit adalah hukum perwakafan. Perbedaan ini sebenarnya mucul bukan
hanya karena intensif dan terurai atau tidaknya pengaturan masing-masing yang
tergantung pada tingkat penggarapannya. Hukum Perkawinan tampaknya telah
dijelaskan sampai hal-hal yang sangat detail, karena hal yang demikian ada dalam
perundang-undangan tentang perkawinan. Sedangkan hukum kewarisan belum
pernah digarap demikian pula hukum perwakafan ia hanya mucul secara garis
besarnya dalam jumlah yang cukup terbatas. Buku I tentang perkawinan terdiri dari
19 bab 170 pasal.
1) Hukum Perkawinan
Buku I dalam Kompilasi Hukum Islam menjelaskan ketentuan yang
terdiri dari sebagai berikut; Bab I, tentang Ketentuan Umum (pasal 7), bab II
Dasar-dasar Perkawinan (pasal 2-10), bab III peminangan (11-13), bab IV Rukun
dan syarat Perkawinan (pasal 14-24), bab V Mahar (pasal 30-38), bab VI larangan
Kawin (pasal 39-44), bab VII Perjanjian Perkawinan (pasal 45-52), bab VIII
Kawin Hamil (pasal 53-54), bab IX Beristeri lebih dari satu orang (pasal 55-59),
bab X Pencegahan Perkawinan (pasal 60-69), bab XI batalnya Perkawinan (pasal
70-76), bab XIII Hak dan Kewajiban Suami isteri (pasal 77-84), bab XIII Harta
kekayaan dalam Perkawinan (85-97) bab XIV Pemeliharaan anak (pasal 98-106),
bab XV Perwalian (pasal 107-112), bab XVI Putusnya Perkawinan (149-162),
bab XVII Rujuk (pasal 163-169). Bab XIX masa berkabung (pasal 170).
Apabila ditinjau dari materi muatan Kompilasi Hukum Islam khususnya
mengenai buku perkawinan ini kelihatannya banyak terjadi duplikasi terhadap apa
yang telah diatur dalam Undang-undang RI. No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dan Peraturan Pemerintah RI. No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU RI. No. 1
tahun 1974, mengingat
Kompilasi
Hukum Islam ini
juga mengatur
ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural, pada sisi lain terdapat pula hal-hal
yang baru dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam.
Mengenai pengertian perkawinan dalam hal ini digunakan dalam konteks
dasar-dasar perkawinan dan sedikit berbeda dengan apa yang disepakati dalam
Undang-undang No 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah swt dan
melaksanakannya merupakan ibadah, kemudian dalam pasal 3 menyebutkan
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah. Sedangkan dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 merumuskan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Salah satu persoalan yang sama sekali tidak diatur dalam Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 akan tetapi cukup banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh dan
juga hukum adat, yaitu tentang peminangan yang diatur dalam satu bab khusus
dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun pasal 13 Kompilasi menyebutkan bahwa
belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan
peminangan. Pengertian hubungan peminangan tidak dijelaskan di sini akan tetapi
mencakup apa yang dalam praktik disebut “pertunangan”. Ketentuan ini rasanya
juga kurang serasi dengan pasal 12 ayat 3 yang melarang meminang wanita yang
sedang dipinang pria lain. Larangan demikian yang juga dikenal dalam kitab-kitab
fiqh tentunya tidak bisa dilanggar begitu saja.
Persoalan mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya mendapat
pengaturan yang cukup banyak dalam Kompilasi Hukum Islam. Apabila dalam
Undang No. 1 Tahun 1974 persoalan ini cukup diatur akibatnya pasal Bab (Bab
VIII) tentang putusnya perkawinan serta akibat-akibatnya pasal (38-41), maka
dalam Kompilasi Hukum Islam di atur dalam dua Bab yaitu XVI tentang putusnya
perkawinan (pasal 149-162), kemudian masih ada lagi satu Bab yaitu Bab XVII
tentang rujuk (pasal 163-169) dimana untuk hal yang disebut terakhir tidak
mendapat pengaturan sama sekali dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Selain
itu masih ada lagi ketentuan lain mengenai hal yang sama perlu disebutkan yaitu
ketentuan yang termuat dalam pasal 65-91 Undang-undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam isinya sama dengan pasal 38
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan perkawinan dapat putus
karena, kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Kemudian pasal 114
menentukan putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena thalak atau berdasarkan gugatan cerai.
Pasal 115 Kompilasi isinya sama dengan pasal 39 ayat (1) Undang-undang
RI. No. 1 Tahun 1974 dan pasal 65 Undang-undang RI. No. 7 Tahun 1989 yang
menyebutkan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. Sedangkan mengenai alasan perceraian dalam pasal 116
Kompilasi selain alasan yang disebutkan dalam penjelasan pasal 39
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 atau pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975
ditambahkan pula ada dua alasan lain yaitu, pertama suami melanggar taklik thalaq
dan yang kedua, peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Mengenai akibat putusnya perkawinan di atur tentang berbagai kewajiban
dari suami dan waktu tunggu. Mengenai waktu tunggu yang diatur dalam pasal 153
Kompilasi Hukum Islam yang isinya hampir sama dengan pasal 39 PP. No. 9
Tahun 1975. Di sini juga diatur tentang mut’ah yaitu berupa pemberian mantan
suami kepada istri yang dijatuhi thalaq berupa benda atau uang dan lainnya. Akibat
khuluk dan akibat li’an.
Pengaturan tentang rujuk merupakan satu hal tersendiri yang sekaligus juga
merupakan tambahan ketentuan bagi hukum acara Peradilan Agama mengenai
masalah tersebut. Kompilasi Hukum Islam ditutup dengan satu bab khusus tentang
masa berkabung. Dalam pasal 170 yang merupakan ketentuan penutup untuk buku
pertama disebutkan :
1) Istri yang ditinggal mati oleh suami, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda berduka cita dan sekaligus
menjaga timbulnya fitnah.
2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung
menurut keputusan.
Ketentuan ini merupakan satu ketentuan baru yang sebenarnya tidak perlu
diatur dalam satu bab khusus mengingat urgensinya yang tidak terlalu mendesak.
Namun, sebagaimana beberapa ketentuan lain dalam Kompilasi Hukum Islam
ketentuan ini adalah ketentuan hukum yang tidak mempunyai sanksi dan karenanya
walaupun dirumuskan dengan kata-kata “wajib melaksanakan” hanya bersifat
anjuran saja.
2) Hukum Kewarisan
Sistematika kompilasi mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit bila
dibandingkan dengan hukum perkawinan sebagaimana yang diurai di atas. Buku II
yang berisi tentang kewarisan terdiri dari enam bab dan beberapa pasal mulai pasal
171-214 (43 pasal). Adapun sistematikanya sebagai, yaitu : Bab I tentang
Ketentuan umum (pasal 171), bab II ahli waris (pasal 172-175), bab III besar
bahagian (176-191), bab IV Aul dan rad (pasal 192-193), bab V wasiat (pasal
194-209), bab VI Hibah (pasal 210-214).
Sebagaimana halnya dengan hukum perkawinan maka apa yang diatur dalam
ketentuan umum adalah pengertian-pengertian dan ternyata juga di sini tidak
menguraikan secara keseluruhan pengertian yang disebutkan dalam Buku ke II ini.
Ketentuan ini berlaku sejalan dengan hukum yang berlaku bagi pewaris yaitu
beragama Islam dan karenanya masalah harta warisannya harus diselesaikan sesuai
dengan ketentuan hukum-hukum Islam. Hal ini adalah suatu hal yang sangat
prinsip sekali akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam ini disebut secara
sepintas dalam rumusan mengenai pewaris dan ahli waris.
Persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan
bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak
ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam buku kedua ini. Sebagaimana halnya
pewaris pun adalah beragama Islam. Untuk itu pasal 172 menegaskan indikator
untuk menyatakan bahwa seseorang itu adalah Islam.
Dalam pasal 173 dijelaskan tentang terhalangnya seorang untuk menjadi
ahli waris yang pada dasarnya hanya berupa melakukan kejahatan terhadap pewaris.
Tetapi, sebagaimana ditemukan di atas ketentuan ini tidak mencantumkan bahwa
murtadnya seseorang menjadi penghalang utama untuk menjadi ahli waris. Hal
yang demikian seharusnya ditambahkan dalam pasal 173 ini.
Mengenai siapa menjadi ahli waris pasal 174 menyebutkannya secara
singkat yaitu ahli waris karena hubungan darah ahli waris menurut hubungan
perkawinan. Kemudian disebutkan keutamaan dari masing-masing ahli waris
bilamana semua ahli waris ada, hanya saja di sini tidak disebutkan sebagaimana
pewarisan dari seseorang pewaris yang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli
waris sama sekali. Hal ini, memang ada diatur dalam pasal 191 tetapi mengenai
pembagian warisnya. Begitu juga mengenai keutamaan yang bersifat lebih
kasuistik jika satu ahli waris dapat menghijab ahli waris lain seharusnya juga
secara lebih rinci di sini.
Dalam persoalan mengenai besarnya bagian warisan dapat dicatat ada
beberapa hal penting yang menarik perhatian antara lain :
a. Mengenai porsi perbandingan bagian wanita dan bagian laki-laki masih
mempertahankan secara ketat bahwa bagian anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan (pasal 176), walaupun sebenarnya
cukup banyak orang termasuk dari kalangan umat Islam sendiri yang
menginginkan penentuan bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Tetapi karena dalil al-Qur’an tentang hal ini cukup tegas maka dalam
Kompilasi Hukum Islam menuangkannya sebagaimana yang tersebut di
atas.
b. Mengenai
prinsip
musyawarah
dalam
pembagian
waris
juga
memungkinkan. Pasal 183 menentukan bahwa para ahli waris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah
masing-masing pihak menyadari bagiannya. Ketentuan ini akan membuka
peluang,
setelah
para
pihak
yang
terlibat
menentukan
bagian
masing-masing yang seharusnya mereka terima selanjutnya mereka
menentukan secara musyawarah misalnya semua harta dibagi sama di
antara ahli waris.
c. Penentuan bagian dari masing-masing ahli waris adalah sesuai dengan
ketentuan faraid yang umumnya ditentukan kasus per kasus seperti telah
diatur dalam pasal 177-182.
d. Pembagian waris tidak mesti harus membagikan bendanya secara fisik.
Pasal 189 mengatur tentang pembagian warisan yang berupa lahan
pertanian yang luasnya kurang dari 2 ha yang harus dipertahankan dan
dimanfaatkan bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga
tanahnya tetap dipegang oleh seorang ahli waris saja.
Ketentuan lain yang seharusnya dimasukkan dalam Bab mengenai ahli
waris yaitu tentang ahli waris pengganti sebagaimana yang diatur dalam pasal 185.
Dengan adanya ketentuan seperti ini dalam hukum Islam Indonesia dimungkinkan
terjadinya penggantian tempat dalam warisan, walaupun dalam paham yang lain hal
yang demikian tidak dikenal dalam hukum Islam.
Bab V mengatur tentang wasiat (pasal 194-209) baik menyangkut mereka
yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal yang boleh
dan tidak boleh dalam wasiat. Sedangkan Bab VI (pasal 210-214) adalah tentang
hibah yang hanya diatur secara singkat.
3). Hukum Perwakafan
Materi yang terdapat dalam buku III ini terdiri dari lima bab dan beberapa
pasal mulai pasal 215-229 (15 pasal), adapun sistematikanya sebagai berikut :
Bab I berisi ketentuan umum (pasal 215), bab II fungsi, unsur-unsur dan
syarat-syarat wakaf (pasal 216-222), bab III Tata cara perwakafan dan pendapatan
benda wakaf (pasal 223-224), bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan
benda wakaf (pasal 225-227) dan bab V Ketentuan Peralihan (pasal 228)
Kemudian Kompilasi Hukum Islam Penutup (pasal 229).
Sesuai dengan tujuannya semula bahwa Kompilasi Hukum Islam ini akan
memuat materi hukum Islam yang diangkat dari berbagai pendapat hukum dikenal
dalam hukum Islam, maka Kompilasi Hukum Islam ini harus memuat hukum
substantif dari hukum Islam yakni materi hukum perwakafan sebagaimana yang
diatur dalam kitab-kitab fiqh. Sedangkan dalam PP No 28 Tahun 1977 seharusnya
lebih menitik beratkan pada aspek prosedurnya yang menyangkut masalah
prosedur administratif lainnya. Akan tetapi, karena PP No. 28 Tahun 1977 tidak
hanya mengatur masalah proseduaral semata tetapi juga banyak yang bersifat
hukum substantive. Demikian juga lahirnya Undang-undang RI. No. 41 Tahun
2004 tentang wakaf telah banyak membicarakan masalah substantif mengenai
wakaf, maka perpaduan antara KHI, PP dan UU Wakaf, Kompilasi Hukum Islam
dapat lebih sempurna sebagai acuan hukum para hakim tentang wakaf di
Pengadilan Agama.
Download