BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teoritis 2.1.1. Sawah Tadah Hujan Lahan sawah tadah hujan merupakan lahan sawah yang dalam setahunnya minimal ditanami satu kali tanaman padi dengan pengairannya sangat bergantung pada hujan. Saat musim hujan, penanaman padi di sawah tadah hujan bisa dilakukan penggenangan, akan tetapi disaat musim kemarau, penanaman padi harus digogokan (tidak dilakukan penggenangan) akibat sangat terbatasnya air pada saat musim kemarau. Lahan sawah tadah hujan umumnya tidak subur (miskin hara), sering mengalami kekeringan, dan petaninya tidak memiliki modal yang cukup, sehingga agro ekosistem ini disebut juga sebagai daerah miskin sumber daya (Toha dan Juanda, 1991). Potensi sawah tadah hujan di Indonesia cukup besar yaitu 2,1 juta ha yangtersebar di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (Balitsereal 2002). Namun lahan sawah tadah hujan umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, antara lain ditunjukkan oleh rendahnya ketersediaan hara esensial tanaman, terutama N, P, K, dan kandungan bahan organik, serta rendahnya produktivitas tanaman dengan agihan curah hujan yang tidak menentu. Hasil padi sawah tadah hujan rata-rata 23 ton per hektar (IRRI 1997). Menurut Swain et al. (2005) kendala umum yang dihadapi dalam bertani pada lahan sawah tadah hujan di Asia adalah lahan tidak subur, dan kurangnya varietas yang dapat beradaptasi dengan ekosistem tersebut. Untuk dapat mengatasi ketidak suburan lahan sawah tadah hujan, maka perlu dilakukan Pengelolaan Tanaman Terpadu, salah satunya adalah pengelolaan pupuk yang baik dengan teknolologi Pengelolaan hara Spesifik Lokasi (PHSL). 2.1.2 Sistem Gogo Rancah Sistem penanaman padi di Indonesia secara garis besar dikelompokan menjadi dua, yaitu padi sawah dan padi gogo. Pada sistem sawah, tanaman padi sepanjang hidupnya selalu dalam keadaan tergenang air. Sedangkan pada sistem 5 gogo, tanaman padi ditumbuhkan tidak dalam kondisi tergenang. Sistem gogo rancah merupakan kombinasi dari sistem sawah dan sistem gogo. Pada sistem gogo rancah, padi ditanam pada awal musim hujan pada petakan sawah, kemudian secara perlahan digenangi dengan air hujan seiring dengan bertambahnya curah hujan (Purnowo dan Heni, 2007). Produksi padi gogo rancah di Indonesia masih rendah karena petani belum mampu menerapkan teknik budidaya anjuran, varietas yang ditanaman umumnya varietas lokal atau tradisional, pengendalian gulma dan penyakit kurang intensif, serta belum menerapkan pemupukan yang berimbang (Widyantoro et al., 2007). Untuk meningkatkan produktivitas padi gogo rancah di Indonesia diperlukan pengelolaan pupuk yang tepat yaitu dengan cara menggunakan teknologi Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi. 2.1.3. Pengelolaan HaraSpesifik Lokasi (PHSL) Pengelolaan hara spesifik lokasi (PHSL) merupakan suatu pendekatan untuk menyediakan hara bagi tanaman padi saat dan bila dibutuhkan. Aplikasi dan pengelolaan hara secara dinamis disesuaikan dengan kebutuhan tanaman (BPTP Maluku, 2011). Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi resiko penggunaan pupuk yang berlebihan. Menurut Jansen et al. (1990) konsep PHSL telah dikembangkan sejak pertengahan tahun 1990-an. Yang kemudian diteliti terhadap sekitar 200 petani lahan sawah irigasi di enam negara Asia Tenggara termasuk Indonesia pada tahun 1997-2000 (Dobermann et al. 2002). Buresh et al. (2006) mengemukakan bahwa penggunaan teknologi PHSL berpotensi meningkatkan hasil gabah sekitar 400 kg per hektar per musim tanam. 2.1.4. Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Zahrah (2011) dengan judul aplikasi pupuk bokashi dan NPK organik pada tanah ultisol untuk tanaman padi sawah dengan sistem SRI dan parameter pengamatannya adalah serapan hara N, P, K, jumlah anakan produktif, jumlah bulir per malai, persentase gabah bernas, berat gabah kering per rumpun, bobot 1000 biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi berbagai dosis pupuk bokashi dan NPK organik berpengaruh terhadap jumlah serapan hara N, P, 6 dan K tanaman, anakan produktif, panjang malai, jumlah bulir per malai, berat gabah kering per rumpun, dan berat 1000 biji. Dengan perlakuan terbaik adalah pemberian bokashi 30 ton per hektar(3 kg petak-1) dan pemberian NPK organik 600 kg per hektar (60 g petak-1) dengan hasil anakan produktif 19,0 batang per rumpun, panjang malai, jumlah bulir per malai 210,7 bulir, persentase gabah bernas 97,63%, berat gabah kering 94,35 g per rumpun, berat 1000 biji 29,6 g. Hasil penelitian Barus (2009) yang berjudul uji efektivitas kompos jerami dan pupuk NPK terhadap hasil padi dengan parameter pengamatan pertumbuhan vegetatif, komponen hasil dan produksi (ubinan) padi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman akan tetapi pemberian 10 t per hektarkompos jerami di tambah dengan 100 % NPK memberikan jumlah anakan padi terbanyak (16,8), dan paling sedikit pada perlakuan tanpa NPK. Jumlah gabah per malai paling banyak diperoleh pada perlakuan kombinasi kompos + 75 % NPK dan terendah pada perlakuan tanpa NPK. Perlakuan kompos ditambah 75 % NPK meningkatkan jumlah gabah 8,7 % dibandingkan hanya 100% NPK, dan meningkat sebesar 14,2 % dibandingkan perlakuan hanya kompos, sedangkan terhadap bobot 1000 butir perlakuan tidak berpengaruh nyata. Hasil penelitian (Setiawan, 2006) yang berjudul pengaruh pemberian guano sebagai substitutor urea terhadap ketersediaan dan serapan unsur N tanaman sawi ( Brasicca juncea L. ), pada inseptisol Wlingi, Blitar dengan parameter pengamatan pengaruh perlakuan terhadap kadar N total dan N mineral tanah, pengaruh perlakuan terhadap serapan tanaman, pengaruh perlakuan kombinasi terhadap pertumbuhan tanaman sawi (tinggi tanaman dan jumlah daun) dan hubungan kadar N total tanah, N mineral tanah, serapan N dan pertumbuhan tanaman sawi. Hasil penelitian menyebutkan pemberian kombinasi Urea dan Guano berpengaruh nyata terhadap kadar N-Total dalam tanah dan berpengaruh sangat nyata terhadap N Mineral tanah pada 42 HST. Perlakuan A5 (Guano 100%) dapat meningkatkan kadar N total dalam tanah sebesar 42,07 % pada awal tanam, sebesar 29,27 % pada 22 hst dan sebesar 15,24 % pada 42 hst. Pemberian Guano 100 % merupakan perlakuan terbaik yang dapat menggantikan penggunaan Urea. Perlakuan ini menghasilkan nilai N mineral tertinggi pada 22 HST dan 42 7 HST dibanding keempat kombinasi perlakuan lainnya. Hasil serapan - menunjukkan kadar serapan N tertinggi dengan rata-rata serapan 68,78 g tanaman 1 .Untuk kombinasi paling efektif yang memadukan Urea dan Guano terdapat pada perlakuan A4 yaitu (25%Urea+75% Guano). Pada perlakuan ini terdapat pola -1 -1 distribusi N mineral yang stabil yaitu 160,68 mg kg pada 0 HST, 124,6 mg.kg -1 pada 22 HST dan 8.8 mg.kg pada 42 HST. Pada perlakuan kombinasi Urea dan Guano (50% Urea + 50% Guano) berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah daun dan tinggi tanaman. 2.2. Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka maka dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Pengelolaan pupuk NPK maupun kombinasinya dengan Organofosfat dan pupuk organik dari jerami pada tanaman padi gogo rancah di lahan sawah tadah hujan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah individu per rumpun, jumlah malai per rumpun, panjang malai, jumlah bulir per rumpun, bulir bernas, pesentase bulir bernas, bobot 1000 butir, GKP dan GKG. 2. Pengurangan 25% dosis pupuk anjuran disertai penambahan materi lokal jerami (75% NPK 15-15-15 + pupuk organik dari jerami) memiliki tinggi tanaman, jumlah individu per rumpun, jumlah malai per rumpun, panjang malai, jumlah bulir per rumpun, bulir bernas, pesentase bulir bernas, bobot 1000 butir GKP dan GKG yang tidak berbeda nyata dengan pemupukan NPK 15-15-15 dosis anjuran, sehingga (75% NPK 15-15-15 + pupuk organik dari jerami) bisa dijadikan sebagai alternatif teknologi Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) di Desa Semawung Ke. Andong Kab. Boyolali. 2.3. Definisi dan Pengukuran Variabel Agar terhindar dari penafsiran yang berbeda-beda terhadap hipotesis yang dikemukakan, maka dibuat definisi dan pengukuran variabel sebagai berikut: Variabel terikat: Pemupukan NPK dan kombinasinya dengan , pupuk Organofosfat maupun pupuk organik dari jerami. 8 Variabel bebas : 1. Dosis merupakan kadar dari sesuatu (kimiawi, fisik, biologis) yang dapat mempengaruhi suatu organisme secara biologis. Dosis pupuk NPK dan Organofosfat dengan satuan kg per hektar. 2. Tinggi tanaman (cm) adalah panjang tanaman yang diukur mulai dari atas permukaan tanah sampai bagian tertinggi tanaman maksimum (cm) pada fase vegetatif diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun terpanjang dilakukan pada 15 minggu, 30 minggu, 45 dan 60Hari Setelah Tumbuh (HST)serta menjelang panen pada 10 sampel tanaman tiap petak. Tinggi tanaman fase generatif diukur pada saat menjelang panen diukur dari permukaan tanah sampai malai terpanjang pada 10 rumpun sampel tiap petak. 3. Jumlah individu per rumpun (tanaman) adalah jumlah total individu dalam setiap rumpun. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah individu total tiap rumpun pada 10 sampel rumpun pada 15, 30, 45, dan 60 HST. 4. Jumlah malai per rumpun (batang) adalah total malaiyang ada di dalam setiap rumpun dan dihitung pada saat tanaman menjelang panen dengan mengambil 10 sampel rumpun tiap petak. 5. Panjang malai (cm),merupakan panjangnya malai yang diukur dari buku terakhir sampai ujung butir malai (tanpa rambut malai) dan diukur setelah panen dengan mengambil sampel sebanyak 10 rumpun tiap petak. 6. Jumlah bulir per rumpun (butir), merupakan jumlah total bulir yang ada pada setiap rumpun. Pengukuran dilakukan dengan menghitung jumlah total bulir (gabah isi + gabah hampa) dari 10 sampel rumpun pada setiap petak. Jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai (butir), dilakukan dengan menghitung jumlah gabah isi dan gabah hampa secara terpisah. 7. Persentase bulirbernas.(%), persentase gabah yang berisidan pengukuran dilakukan dengan membandingkan antara jumlah gabah isi per malaidengan jumlah gabah total per malai. 8. Berat gabah panen (kg), berat gabah yang dihasilkan pada saat panen. Penentuan Gabah Kering Panen (GKP) dengan mengukur gabah sesaat setelah dipanen dan penentuan Gabah Kering Giling (GKG) dilakukan dengan 9 mengambil contoh 1 kg GKP kemudian dikeringkan dan dihitung berat kering dari 1 kg GKP. Dari hasil pengeringan diperoleh (GKG) dari 1 kg (GKP). Dari data tersebut dikonversi menjadi ton per hektar. 9. Bobot 1000 butir (gram), merupakan berat 1000 butir gabah. Pengukuran dilakukan dengan menimbang 1000 butir contoh (GKG) kadar air maksimal 14 % dengan menggunakan timbangan dengan skala terkecil. 10