SIMBOL-SIMBOL NONVERBAL KAUM SOSIALITA (Studi Kasus Penggunaan Simbol-Simbol Komunikasi Nonverbal dalam Membangun Kesan Kemewahan pada Kaum Sosialita Komunitas Pelepas Santai Sejenak di Kota Surakarta Tahun 2016) Arintha Dyah Hapsari Sri Hastjarjo Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract In conducting the study, the researchers raised the socialite's tribe because it is currently busy-crowded discussed. Conversations about the socialite mostly negative impression. With a variety of luxury attribute that is used has a distinct impression to be conveyed. The figure socialite with all the attributes that apply in their daily activities to create a symbol contained meaning. The main theory used by the author is dramaturgy. Guided by the theory is divided into two stages, namely the back stage and front stage. In theory Dramaturgy by Goffman stated that the term Self presentation as well as impression management. In such a case have the same world as a stage, where the man set things done in interacting with people around. on the theory can be seen the impression of what you want shown, what motive behind the symbol to be used, and how the socialite especially Pelepas Santai Sejenak’s members in deliver the impression he has made. In analyzing the authors use a case study approach. The sampling technique used purposive sampling with maximum variation sampling approach. This is done on the grounds that community of Pelepas Santai Sejenak’s members has more than 20 people. Sample taken consisted of six person, including three career women and three housewife. Data collection techniques used in the form of an interview to the socialite, direct observasions, and some documentation belonging to informant. The conclusion reached by the authors that the socialite Pelepas Santai Sejenak largely administer the impression of a glamorous socialite who was impressed with the motive to be accepted by their group. The use of luxury goods are visible from the everyday appearance while playing a role in front of the other socialite elite or the other. Most of them use branded goods abroad at a fantastic price. Not just from appearance, but lifestyle also requires a deep budget. Keywords : Dramaturgy, Nonverbal Symbols, The socialite. Pendahuluan Komunikasi nonverbal dapat menjelaskan bagaimana seseorang menyampaikan pesan dengan atribut-atribut yang digunakan dalam gaya hidup yang mereka kenakan. Melalui pakaian yang dikenakan, riasan, atau barang-barang yang melekat pada tubuh seseorang dapat mencerminkan bagaimana gaya hidup yang mereka lakukan sehari-hari. Terkadang banyak orang yang memang sengaja tampil secara berbeda untuk menunjukan eksistensinya kepada khalayak. Dalam penelitian ini pemilihan objek kaum sosialita dikarenakan mereka merupakan kaum golongan atas atau yang terlahir dari keluarga bangsawan yang memang terbiasa akan kehidupan yang mewah. Makna sebenarnya sosialita adalah seseorang yang memang memiliki kekayaan berlebih dan digunakan untuk kegiatan-kegiatan social. Kaum sosialita saat ini sedang ramai-ramainya diperbincangkan. Sosok sosialita dengan segala atribut yang dikenakan dalam aktivitas sehari-harinya menciptakan sebuah symbol yang terkandung makna, dapat dipersepsikan oleh khalayak sekitar. Persepsi yang muncul di masyarakat cenderung kurang menyenangkan dilihat dari sisi status sosial. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2001: 51). Di Indonesia fenomena kaum sosialita menjadi suatu bentuk citra negatif dan dapat pula berdampak buruk untuk pembangunan suatu Negara. Seperti yang dituliskan Ros (2014) pada media online detik news edisi kamis, 16 Januari 2014, bahwa kaum sosialita merupakan gaya hidup hodonisme yang dapat mempengaruhi ekonomi Negara. Didalamnya Abraham Samad menyatakan jika sudah bisa terhindar dari kehidupan pragmatisme dan hedonisme, pejabat itu tidak akan korup, tapi kalau terjebak pada pragmatisme dan hedonisme pastilah korup. Pernyataan sang ketua Lembaga Antirasuah itu selaras dengan sindiran mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Khofifah Indar Parawansa, akhir Desember lalu, Khofifah menyebut ada istri pejabat yang ikut arisan tas sampai Rp 25 juta per bulan. 2 Salah satu komunitas yang ada di kota Surakarta adalah komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS). Anggota dari komunitas tersebut adalah para ibu pejabat dan wanita karir yang terbilang sukses dan banyak orang yang mengenal sebagai kaum Sosialita di Kota Solo. Beberapa anggota dari komunitas Pelepas Santai Sejenak ini atau yang sering disingkat PSS adalah orang-orang eksis di Kota Solo. Media online Bisnis.com edisi Rabu 22 Februari 2016 (Saraswati, 2016) menyatakan bahwa untuk menjadi anggota PSS haruslah menggunakan barang-barang Branded dengan harga fantastis. Kaum sosialita memiliki berbagai symbol-simbol nonverbal yang menarik untuk dibahas, seperti contoh ketika kaum sosialita sedang berkumpul dengan sesama, mereka memiliki ekspresi, gesture, sampai nada bicara yang berbeda-beda yang dari hal-hal tersebut terdapat makna didalamnya. Hal tersebut mereka lakukan untuk mengelola bagaimana peran dirinya sebagai kaum sosialita. Dengan demikian, adanya simbol-simbol yang unik pada diri kaum sosialita tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dimana Komunitas Pelepas Santai Sejenak yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini tentang bagaimana simbol-simbol komunikasi tersebut digunakan oleh Komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS) demi membangun citra kemewahan. Topik yang ingin peneliti angkat “Simbol-simbol Komunikasi nonverbal dalam Membangun Citra Kemewahan Pada Kaum Sosialita Komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS) di Kota Surakarta” Rumusan Masalah Bagaimana penggunaan simbol-simbol komunikasi nonverbal untuk membangun kesan kemewahan pada kaum sosialita Komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS) di Kota Surakarta tahun 2016? Tujuan Penelitian Untuk menggambarkan atau mendeskripsikan serta menganalisis bagaimana penggunaan simbol-simbol komunikasi nonverbal dalam membangun kesan 3 kemewahan pada kaum sosialita Komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS) di Kota Surakarta tahun 2016. Kerangka Teori 1. Fungsi Komunikasi Nonverbal Riswandi (2009: 71) menyebutkan bahwa dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilau nonverbal memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Perilaku nonverbal dapat mengulangi repetisi perilaku verbal, dimana seseorang akan lebih mengerti ketika bahasa nonverbal digunakan dalam berkomunikasi. Seseorang secara tidak langsung menggunakan bahasa nonverbal sebagai bentuk pengulangan kata. 2. Memperteguh, menekankan atau melengkapi sebuah kata dari bahasa verbal. Hal tersebut membuat orang lebih mengerti dan lebih jelas saat seseorang melakuan sebuah komuniasi. 3. Perilaku nonverbal dapat menggantikan ataupun dapat mensubtitusi perilaku verbal yang tak jarang orang banyak melakukan hal tersebut. Perilaku nonverbal tersebut tentunya merupkan bentuk isyarat yang lazim orang gunakan. 4. Perilaku nonverbal dapat mengatur perilaku verbal. Seperti yang sering terjadi pada saat perkuliahan dimana mahasiswa melihat jam yang mengartikan bahwa mahasiswa tersebut telah menginginkan perkulihan selesai, kemudian dosen mengerti dan menutup perkulihan. Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan apa yang diucapkan, seperti halnya seorang suami yang sedang menonton telesivi diberikan pertanyaan oleh istrinya untuk memberikan komentar terhadap apa yang sedang dikenakan, tanpa melihat suami itu mengatakan “bagus! Bagus”. Menurut Deddy Mulyna (2003) klafikasi pesan-pesan nonverbal terbagi atas 5 kategori, yaitu: 4 1. Pesan kinesik. Merupakan sebuah pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh yang memiliki arti dan terdiri atas tiga komponen utama: pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. 2. Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita membentuk citra tubuh dengan pakaian, dan kosmetik. Pesan artifaktual inilah yang dijadikan pedoman dan digunkan dalam penelitian ini. Peneliti menganalisis kaum sosialita melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. 3. Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. 4. Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan dengan cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan secara berbeda. 5. Pesan sentuhan dan bau-bauan. Alat penerima sentuhan adalah kulit, yang mampu menerima dan membedakan emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan. Sentuhan dengan emosi tertentu dapat mengkomunikasikan kasih sayang, takut, marah, bercanda, dan tanpa perhatian. Bau-bauan, terutama yang menyenangkan (wewangian) telah berabad-abad digunakan orang, juga untuk menyampaikan pesan. 2. Dramaturgi Erving Goffman Dedi Mulyana (2013: 110), Mead menganggap Diri pada dasarnya bersifat social. Dimana individu tidak dapat melakukan segala aktivitasnya secara individu. Social yang dimaksud adalah tidak dapatnya seseorang hidup tanpa membutuhkan 5 orang lain, terlebih dalam hal berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini goffman mengemukakan bahwa individu tidak sekedar mengambil peran orang lain saja, melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapi citra diri. Secara garis besar mead dan goffman memiliki definisi yang sama mengenai konsep diri. Dalam pendekatan dramaturgis, peran menentukan perilaku individu yang berinteraksi. Dimana seperti seseorang yang sedang memerankan dalam pentas drama dalam sebuah teater ataupun pertunjukan, actor tersebut memainkan sebuah karakter sehingga penonton dapat memperoleh sebuah gambaran kehidupan dan terlebih mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Tujuan dari adanya presetasi – diri, seperti yang dijelaskan oleh goffman adalah memproduksi definisi situasi dan identitas social bagi para actor dan definisi situasi tersebut. Presentasi diri yang telah disampaikan akan diproses oleh oranglain sebagai suatu informasi yang dapat mendefinisikan situasi, apakah penyampaian pesan berupa kesan tersebut tersampaikan atau tidak, sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Dalam penjelasan tersebut dapat diasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka menginginkan penyajian sebuah gambaran diri yang akan orang lain terima sesuai yang diharapkan. Seseorang akan melakukan presentasi- diri dengan sebai mungkin agar kesan yang diterima oranglain akan terlihat baik dan sempurna. Hal tersebut dapat diartikan sebagai upaya penyampaian pesan dengan pengelolaan kesan. Konsep cermin diri Cooley (dalam Ritzer, 2007: 295) dapat dijabarkan kedalam tiga komponen. Pertama, membanyangkan seperti apa presentasi –diri di mata orang lain. Kedua, menerka dan memprediksi apa yang orang lain pikirkan berkenan dengan kesan yang telah dibuat. Ketiga, akbat dari apa yang dibayangkan mengenai penilaian orang lain terhadap diri, seperti perasaan diri tertentu tentang rasa harga diri atau rasa malu. Konsep cermin diri ini berkaitan dengan presentasi diri dari Goffman. 6 Pengelolaan kesan tersebut dapat diwujudkan dengan penggunaan atribut yang actor gunakan sebagai presentasi-diri yang inginkan. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi yang sedang dilakukan dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana seseorang menguasai interaksi tersebut. Segala hal yang melakat pada tubuh manusia atau yang berada disekitar merupakan sebuah atribut yang dimiliki dan menjadi sebuat alat dalam menunjang perannya dalam mengelola kesan. Pakaian, segala aksesoris yang digunakan, tempat dimana tinggal, dan rumah yang dimiliki, cara berpenampilan, cara berbicara, cara berjalan, pekerjaan, sampai cara menghabiskan waktu luang merupakan sebuah atribut dimana kesan tersebut dibuat untuk disampaikan kepada orang lain yang diharapkan dapat sesuai dengan apa yang dikehendaki. Chelsea Amanda (2014: 4) menuliskan bahwa Goffman menyebutkan bahwa istilah Self presentation (presentssi diri) dengan impression management (manajeman kesan). Dalam hal tersebut memiliki dunia yang sama dengan panggung sandiwara, dimana manusia mengatur hal-hal yang dilakukan dalam berinteraksi dengan orang sekitar. Manajemen kesan digunakan sebagai kebutuhan seseorang dalam mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang diterima oleh orang lain. Sebagai seorang penampil, hal tersebut dilakukan bukan semata-mata untuk sebuah produk social, namun memiliki dasar motivasi tersendiri. Seseorang menata kesan yang dimiliki agar dapat diterima sebagai seseorang yang memiliki citra yang disukai oleh orang lain. Ruth Segev (2013: 437) menyatakan bahwa pengelolaan kesan dapat mempengaruhi orang dari pandangan dan bagaimana mereka dirasakan, dihargai, dan diperlakukan oleh orang lain. Dapat teridentifikasi beberapa motif keterlibatan dalam manajemen kesan. Pertama, orang terlibat dalam manajemen kesan ketika ingin menentukan tempat mereka di lingkungan sosial yang mempengaruhi persepsi orang lain. Kedua, manajemen kesan dapat memfasilitasi pengembangan identitas yang diinginkan seperti ketika orang bertindak yang diharapkan dari peran kerja mereka 7 atau dalam kerangka hubungan pribadi. Terakhir untuk perlindungan dari bahaya potensial. Aktivitas yang mempengaruhi orang lain tersebut disebut sebagai “pertunjukan” (performance). Untuk memerankan peran social tersebut, seorang actor menggunakan bahasa verbal dan nonverbal dalam penyampaian pesannya untuk menunjang artibutnya. Layaknya sebuh pementasan, kehidupan social pun dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Dalam kehidupan social wilyah depan seperti sebuah pementasan dimana seseorang melakukan peran formalnya yang ingin disampaikan kepada khalayak pesan apa yang ingin disampaikan. Lakaykanya sebuah sandiwara, wilayah belakang adalah tempat dimana seseorang mempersiapkan perannya tersebut sebelum ditampilkan kepada oranglain. Apabila di panggung sandiwara, panggung depan adalah tempat dimana pemeran memainkan perannya sedangkan panggung belakang adalah tempat untuk berias, istirahat dan mempersiakan segala sesuatu sebelum seorag actor memaikan pertunjukannya. Personal front mencakup keduanya, baik bahasa verbal dan nonverbal (bahasa tubuh). Berbicara sopan, ekspresi wajah, penampakan usia, cara berpakaian, ciri-ciri fisik dimana bahasa nonverbal tersebut dalam tingkatan tertentu dapat dikendalikan oleh actor. Namun ada beberapa yang sulit untuk disembunyikan seperti ras, jenis kulit, dan penampakan usia, akan tetapi mausia terkadang memanipulasikan dengan menggunakan cat rambut untuk menutupi uban, melakukann perawatan agar kulit kembali kencang, dan lain-lain. Berbeda dengan panggung depan dimana seseorang dapat menyampaikan pesan tersebut dengan etika, tutur kata yang lembut, dan segala sesuatu yang akan menimbulkan kesan yang baik di depan khalayak. Panggung belakang merupakan tempat atau situasi dimana seseorang terlepas dari peranya tersebut dan menjadi diri sendiri sesuai dengan karakter yang dimiliki setiap individu masing-masing tanpa ada khalayak luar yangmengetahui. Sehingga seseorang tidak akan pernah membolehkan 8 seseorang untuk masuk kedalam sehingga tidak ada persepsi lain selain kesan yang telah dibuat dalam panggug depan. Panggung depan seperti terlembagakan atau terorganisir secara structural. Terkadang peran tersebut merupakan telah ditetapkan dalam artian bahwa panggung depan dipilih alih-alih diciptakan. Meskipun panggung depan telah terstruktur namun daya tarik pendekatan goffman terletak pada interaksi. Umumnya orang-orang berusaha menyajikan presentasi- diri sesuai dengan apa yang telah diidealisasikan dalam panggung depan dan menyembunyikan apa yang dapat membuat kesan tersebut menajadi tidak sesuai. Metodelogi Penelitian 1. Jenis Penelitian Gunawan (2015: 112) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian kulaitatif dimana dalam penelitian studi kasus memusatkan diri pada satu objek tertentu secara intensif yang dipelajari sebagai suatu kasus. Peneliti dalam penelitian ini menggunakan studi kasus dimaksudkan untuk mempelajari tentang latar belakang masalah, keadaan, dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsug saat ini dan bersifat apa adanya (given). Pada hakikatnya studi kasus bertujuan untuk menggali fenomena (kasus) dari suatu masa tertentu dan aktivitas serta mengumpulkan detail informasi dengan menggunakan berbagai prosedur selama kasus tersebut terjadi. Aktivitas yang dimaksud dapat berupa program, kejadian, proses, institusi atau kelompok sosial). 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah tempat atau daerah dimana peneliti melakukan pengumpulan data. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil daerah Surakarta. Alasan peneliti mengambil lokasi Surakarta sebagai lokasi penelitian dikarenakan 9 terdapat sebuah komunitas sosialita yang bernama Komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS). 3. Sampel Peneliti akan menggunakan system keterwakilan dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, enam orang anggota dari Komunitas Pelepas Santai Sejenak akan dijadikan sampel. Sampel tersebut terdiri dari 3 orang sosialita yang berlatarbelakang sebagai seorang wanita karir dan 3 orang sosialita sebagai istri seorang pengusaha/ pejabat. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling didalamnya terdapat pendekatan sampling variasi maksimal. Peneliti akan menggunakan pendekatan tersebut dikarenakan jumlah dari komunitas Sosialita tersebut lebih dari 20 orang, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan penelitian pada semua anggota. Strategi ini akan digunakan dengan cara pemilihan narasumber dengan cara mengkelompokan kedalam 2 kategori, yaitu wanita karir dan wanita istri pejabat/ pengusaha. Dalam tiap kategori tersebut peneliti akan mengambil 3 orang anggota dari setiap kategori tersebut. 4. Validitas Data Teknik triangulasi adalah menjaring data dengan berbagai metode dan cara dengan menyilangkan informasi yang diperoleh agar data yang didapatkan lebih lengkap dan sesuai dengan yang diharapkan. Setelah mendapatkan data yang jenuh yaitu keterangan yang didapatkan dari sumber-sumber data telah sama maka data yang didapatkan lebih kredibel. Dari berbagai teknik tersebut cenderung menggunakan sumber, sebagaimana disarankan oleh patton yang berarti membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu data yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Untuk itu kebenaran data dengan cara, yaitu: membandingkan hasil wawancara 10 dan pengamatan dengan data hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan 5. Teknik Analisis Data Dalam penelitian studi kasus, salah satu strategi yang data digunakan dan sering digunakan adalah penjodohan pola. Menurut Yin (2015) Penjodohan pola merupakan sebuah teknik untuk membandingkan pola yang didasarkan atas empiri dengan pola yang diprediksikan. Jika kedua pola ini memiliki persamaan, hasilnya akan menguatkan validitas data internal studi kasus. Penerapan teknik penjodohan pola dilakukan dengan membandingkan pola yang ada dari sampel/ objek secara keseluruhan, mana yang memiliki pola yang sama dan mana yang memiliki pola yang berbeda. Peneliti menggunakan teknik ini dalam pengamatan/ penelitian bertujuan untuk mengetahui pola apa saja yang ada dalam komunitas sosialita tersebut dan bagaimana pola yang dilakukan oleh anggota komuitas sosialita Pelepas Santai Sejenak (PSS) dalam melakukan kegiatan nonverbal untuk membentuk sebuah citra kemewahan. Sajian dan Analisis Data Tabel 1 Panggung Belakang N Status O Pekerjaan 1 Ibu Rumah Tangga Kesan yang Nama ingin Motivasi ditampilkan EL Agar dapat diterima oleh orang lain khususnya kaum sosialita Elegan 11 Ketika diluar peran sosialita (dirumah) Berpenampilan sederhana tanpa menggunakan brand ternama 2 NI Glamor sexy 3 TT Glamor 4 SR Elegan IN Elegan etnik YN Elegan 5 Wanita Karir 6 Tetap berpenampilan cantik, tetap memakai bermerek walaupun tidak dengan harga yang fantastis Dapat diterima kelompok sosialitanya Dapat diterima kelompok sosialitanya Agar mendapatkan kepercayan oleh nasabah prioritasnya Agar mendapatkan kepercayaan oleh klien Agar dapat diterima oleh oranglain Berpenampilan sederhana Tidak memikirkan merek, tampil apa adanya Memakai daster Berpenampilan biasa saja tanpa memikirkan merek Sumber: Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2016 oleh peneliti. Tabel 2 Panggug Depan No Status pekerjaan 1 2 Ibu rumah tangga 3 4 Wanita karir Simbol kemewahan Alasan memakai yang digunakan simbol tersebut EL Tas branded, pakaian bermerek, perawatan tubuh dan wajah. Demi mendapatkan sebuah kenyamanan NI Perawatan tubuh dan wajah, baju bermerek, tas brended, cicin berlian Prestige TT Mobil mewah, tas branded, makeup, pakaian bermerek Prestige Tas branded, pakaian Menginginkan pengakuan dari Nama SR 12 bermerek 5 6 nasabahnya dan prestige IN Batu mulia, mobil mewah, tas branded Prestige YN Aksesoris, mobil mewah, tas branded Demi mendapatkan sebuah kenyamanan dan pelayanan yang baik. Sumber: Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2016 oleh peneliti. Dari kedua tabel diatas, dapat dilihat adanya sebuah pola yang membedakan antara sosialita yang tidak bekerja dan sosialita yang menjadi seorang wanita karir. Dalam panggung belakang terdapat perbedaan, dimana perbedaan tersebut dapat terlihat dari kesan apa yang ingin dibentuk ketika dirinya menggunakan barang mewah dan ingin menjadi seorang sosialita. Alasan yang dimiliki dari kedua klasifikasi tersebut pun memiliki perbedaan. Dan terdapat pula persamaan yang dimiliki antara ibu rumah tangga dan wanita karir. Begitu pula yang terlihat dalam tabel panggung depan, dimana terbentuk sebuah pola baik perbedaan maupun persamman dari kedua profesi tersebut. Dalam panggung belakang dapat dilihat pola yang terbentuk dari kaum sosialita yang berstatus ibu rumah tangga, dimana sebagain besar mereka menginginkan sebuah kesan dalam dirinya ketika menjadi seorang sosialita. Mereka ingin terlihat glamor pada saat memainkan perannya sebagai seorang sosialita dengan memakai barang-barang mewah. Pemilihan barang-barang sebagi penunjang perannya tersebut juga mereka pilih yang sesuai dengan kesan yang ingin diciptakan. Berbeda dengan sosialita yang berstatus wanita karir, mereka dalam menciptakan sebuah kesan, ingin terlihat sebagai seorang wanita karir dengan penampilan yang elegan. Dikarenakan sebuah tuntutan sebagai seorang pekerja dan lingkungan kerjanya. 13 Motif yang dimiliki dari keduanya pun berbeda-beda, sebagai sorang wanita karir dimana dirinya memiliki posisi yang tinggi dalam pekerjaannya, pastilah berbeda dengan ibu rumah tangga. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan oaringorang kalangan atas dan tingkat ekonomi tinggi, sehingga menuntut mereka untuk berpenampilan yang sesuai. Hal tersebut mereka lakukan sebagai bentuk cara mereka dalam menghormati client dan relasinya. Sehingga dua dari tiga narasumber memiliki motif ingin adanya rasa kepercayaan dari klien atau nasabah mereka. Berbeda dengan ibu sosialita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga. Mereka memang sudah memiliki status ekonomi yang tinggi, sehingga cara berpikirnya pun mengikuti gaya hidup kelas atas. Sehingga motif yang dimilikinya dalam berpenampilan mewah adalah ingin diterima dilingkungan yang dikehendaki, yaitu komunitas sosialita. Dari hasil penelitian sebenarnya dapat terlihat bahwa semua berasal dari lingkungan yang membentuk pola pikir mereka. Seperti sosialita yang berstatus ibu rumah tangga, mereka yang memiliki suami yang sukses kemudian terbawa kedalam lingkungan kelas atas, sehingga mau tidak mau gaya hidupnya dan penampilan mereka menyesuaikan secara tidak langsung. Jika sosialita yang berstatus sebagai seorang wanita karir, dirinya bertemu langsung dengan relasi dan kolega mereka yang memiliki tingkat ekonomi kelas atas. Dalam tabel 1 terlihat pola yang terbentuk dalam hal motivasi mereka dalam memainkan perannya sebagai seorang sosialita. Jika ibu rumah tangga, mereka lebih banyak mengarah kepada ingin sekedar diterima oleh teman-teman komunitasnya, sehingga mereka melakukan penyesuaian mulai dari pakaian dan gaya mereka. Berbeda dengan yang berstatus sebagai wanita karir, mereka memiliki motivasi agar dapat dipercaya dan ingin diterima oleh kalangan yang lain. Dalam tabel panggung belakang, terdapat kesamaan pola yang terbentuk. Ibu rumah tangga maupun wanita karir saat mereka sedang berada dirumah, mereka berpenampilan dan berperilaku layaknya seorang istri dan ibu bagi anak-anak mereka. Tanpa memikirkan merek apa dan berapa harga yang dikanakannya tersebut mereka berpenampilan sederhana. Hal itu dilakukan saat mereka berada dirumah 14 meninggalkan segala atribut perannya sebagai seorang sosialita dengan kemewahannya. Seperti yang dijelaskan dalam teori bahwa mereka sebisa mungkin menyembunyikan seperti apa dirinya sebenarnya dihadapan public agar peran yang dimainkan tersebut dapat berjalan sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Pola lain terbentuk pada saat kaum sosialita tersebut berada di panggung depan. Dapat dilihat dari tabel kedua, terdapat perbedaan pola dan kesamaan yang terbentuk dari sosialita yang berstatus ibu rumah tangga dan berstatus wanita karir. Terlihat sosialita yang berstatus ibu rumah tangga menggunakan simbol-simbol kemewahan tersebut secara keseluruhan. Semua yang menunjang penampilannya merupakan simbol kemewahan. Mulai dari barang yang dikanakan sampai perawatan tubuh yang dilakukan membutuhkan budget yang sangat besar. Apabila sosialita yang berstatus sebagai seorang wanita karir, mereka hanya menggunakan simbol-simbol kemewahan tersebut pada barang terlihat oleh orang lain. Pada dasarnya mereka tidak memiliki waktu banyak untuk melakukan berbagai perawatan khusus bagi tubuh dan wajahnya, sehingga mereka tidak menggunkan simbol kemewahan untuk hal tersebut. Barang-barang mewah yang mereka kenakan juga mengartikan sebagai lambang kesuksesan dalam berkarir. Alasan dari penggunaan barang-barang mewah tersbut, adalah sebuah prestige. Dimana mereka merasa lebih percaya diri ketika mereka menggunakannya. Namun untuk sosialita yang berstatus sebagai wanita karir, penggunaan barangbarang mewah tersebut tidak hanya sebagai prestige saja tapi inigin adanya sebuah pengakuan dan kepercayaan dari relasi mereka masing-masing. Dimana hal tersebut dapat menunjang karir mereka. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kaum sosialita Pelepas Santai Sejenak dalam menciptakan kesan kemewahan menggunakan simbol-simbol nonverbal. Terdapat 2 temuan kesan yang ingin dibangun oleh kaum sosialita, yaitu 15 kesan elegan dan glamor. Kesan elegan yang notabene terlihat rapi, formal, dan berkelas dimiliki oleh 4 orang sosialita. Kempat orang tersebut adalah EL, IN, SR, YN. Kesan glamor dimiliki oleh 2 orang sosialita, yaitu NI dan TT. Terlihat dari penampilannya yang dicermikan dengan kecenderungannya dalam memakai barangbarang yang terkesan gemerlap. Motif yang dimiliki dari keenam narasumber ini ada 2 motif, yaitu ingin diterima dan ingin dipercaya. Motif ingin diterima dimiliki oleh EL, NI, TT, dann YN. Masing-masing dari mereka sama-sama ingin adanya penerimaan kesan yang mereka bentuk dengan menggunakan barang-barang mewah. Dua orang sisanya memiliki motif agar dipercaya. Berkaitan dengan statusnya sebagai wanita karir, motif ingin dipercaya ditujukan bukan untuk sesama kaum sosialita, namun untuk klien dan nasabahnya. Pengelolaan kesan tersebut hanya berlaku ketika mereka sedang berada di panggung depan. Saat Mereka lebih memilih untuk berpenampilan biasa dan sederhana ketika sedang berada diluar perannya. Namun terdapat satu orang dari keenam orang tersebut yang masih menggunakan barang-barang bermerek walaupun hanya pakaian rumah. Dalam panggung depan, pengelolaan kesan tersebut ditunjukan dengan menggunakan barang-barang mewah yang memiliki harga fantastis. Barangbarang tersebut berupa tas bermerek luar negeri, sepatu mahal, baju bermerek ataupun rancangan desainer khusus, gelang merek luar negeri, berlian, kaca mata merek luar negeri, sampai kendaraan yang mereka pakai pun memiliki harga yang mahal. Saran 1. Dalam penelitian ini kaum sosialita menggunakan barang-barang mewah untuk mengelola kesan dalam penciptaan image. Diharapkan dalam penggunaannya tidak secara berlebihan, dikarena dapat menimbulkakan beberapa permasalahan sosial. Kesenjangan sosial dapat terjadi walaupun sesama kaum sosialita. Akan adanya rasa kecemburuan dan persaingan yang dikhawatirkan merusak hubungan pertemanan. 2. Untuk penelitian berikutnya, jika ingin mengambil tema yang sama terdapat beberapa subjek lainnya yang sama menariknya dengan fenomena sosialita. Atau peneliti 16 berikutnya dapat menggali kembali sisi lain dari kaum sosialita, karena masih terdapat 4 jenis pesan nonverbal lainnya yang belum digunakan peneliti dalam penelitian ini. Seperti pesan kinesik, person proksemik, paralinguistik, dan Pesan Sentuhan dan bau-bauan. Daftar Pustaka Amanda, Chelsea. (2014). Impression Management Agnes Monica Melalui Akun Instagram (@agnezmo). Jurnal E-Komunikasi. Vol. 2, No 3: 1-10. http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmukomunikasi/article/viewFile/3805/3576. (Diakses 12 Agustus 2016) Gunawan, Imam. (2015). Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Ros. (2014). Mengintip Arisan Sosialita Jakarta: Gaya Hidup Sosialita Bisa Mendorong Suami Korupsi . DetikNews [Internet]. [diakses pada tanggal 16 Januari 2014]. Tersedia pada: http://news.detik.com/berita/2468706/-gayahidup-sosialita-bisa-mendorong-suami-korupsi Saraswati, Marissa. (2012). SOSIALITA SOLO (1): Tas Rp25 Juta, Tiket Masuk Komunitas Tajir. Bisnis [Internet].[diakses pada tanggal 22 Maret 2016]. Tersedia pada: http://kabar24.bisnis.com/read/20120222/79/65365/sosialitasolo-1-tas-rp25-juta-tiket-masuk-komunitas-tajir Riswandi. (2009). Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu Mulyana, Deddy. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin, Rakhmat. (2003). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ritzer, George. (2007). Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana. Segev, Ruth, Aviv Shoham dan Ayalla Ruvio. (2013). Gift-giving among adolescents: exploring motives, the effects of givers personal characteristics and the use of impression management tactics. Journal of Consumer Marketing, Vol. 30 Iss 5 pp. 436 – 449. Yin, Robert K. (2015). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 17