PRETORIAN DALAM PERKEMBANGAN POLITIK NEGARA BERKEMBANG Dra. JUNITA SETIANA GINTING Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Pretorian atau campur tangan militer dalam politik adalah suatu kajian yang menarik, sehingga penulis berniat membuat karya tulis berjudul "Pretorian Dalam Perkembangan Politik Negara Berkembang". Hal ini berhubungan dengan keadaan negara-negara berkembang tersebut yang dipengaruhi oleh kekuatan militer dalam perkembangan politik. Militer di negara berkembang khususnya di Asia, Afrika hitam dan Amerika Latin, sangat terpengaruh dan menentukan jalannya roda perkembangan politik. Militer dalam peranannya dalam negara berkembang selalu mempengaruhi pemerintahan yang sedang berkuasa, maka mau tidak mau pemerintah yang berkuasa harus menjalin kerjasama dengan militer untuk tetap menjalin kestabilan dan keamanan dalam mencapai tujuan negara dibidang ekonomi dan sosial masyarakat. Pada awalnya pretorian adalah prajurit dari Kerajaan Romawi Kuno yang melindungi kaisar dan keluarganya dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan. Pretorian ini digunakan juga untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan raja serta menguasai pemilihan umum. Karena begitu besar pengaruhnya dalam suatu negara pretorian akan mengancam secara terangterangan untuk mengadakan kudeta, kecuali jika tuntutan yang mereka ajukan dikabulkan. Dan hal yang lebih penting lagi peran pemimpin perwira pretorian ini akan mengambil alih pemerintahan. Di negara-negara berkembang pretorian ini memegang peranan kuat. Ini terlihat di 20 negara Amerika Latin, Asia dan Timur Tengah. Bermula sejak negara-negara tersebut merebut kemerdekaannya dari penjajah atau pengganti kekuasaan dari pimpinan ke pimpinan lain dalam pemerintahan tersebut, di mulai pada tahun 1945 atau setelah perang Dunia II berakhir. Keikutsertaanya dalam perkembangan politik, pretorian ini akan berusaha melakukan kudeta sebagai salah satu alat politiknya, baik berhasil atau gagal. peristiwa-peristiwa ini dapat terjadi jika pemerintahan sipil tidak efektif, sehingga executif tidak berhasil mengendalikan militer. Dalam perkembangannya sebagai penguasa, pretorian menjadi sebuah pemerintahan yang modern. Dimana militer telah dilatih hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan perkembangan suatu bangsa. Mereka menjadi seorang ahli-ahli teknik, ekonomi dan sosial. Pretorian disini menjadi pretorian modern yang membutuhkan profesionalisme dan organisasi-organisasi modern dalam mengembangkan kebijaksanaan mereka. Dalam kapasitasnya sebagai organisasi modern pretorian menjadi pembaru dan pioner pembangunan politik dalam negara yang kedudukannya telah mereka gantikan sebagai kekuatan baru. Mereka juga melakukan perubahan-perubahan di bidang ekonomi, teknologi dan sosial di samping peranannya dalam bidang politik. Perubahan dalam politik, militer melakukan reorganisasi partai politik, menekan massa, dan memasukkan orang-orangnya dalam partai politik tersebut. Pretorian dalam praktek modernisasi politik negara berkembang dianggap tidak memiliki peran yang besar dalam pembangunan politik negara-negara politik negara-negara berkembang. Kenyataan ini diungkapkan oleh para ahli politik negara barat yang menyatakan bahwa lembaga-lembaga politik yang dibentuk oleh para militer tersebut hanya ditujukan untuk kalangan menengah keatas, sehingga aspirasi kalangan bawah atau rakyat kecil tidak tertampung atau terpenuhi. ©2003 Digitized by USU digital library 1 Pretorian dalam kegiatannya sebagai pembaru politik dalam suatu negara akan melakukan kudeta sebagai alatnya dalam mencapai puncak kekuasaan untuk memungkinkan mereka dapat melakukan perubahan dalam banyak hal, terutama politik. Para perwira militer melakukan kudeta apabila terdapat kegagalan pemerintah sipil dan kehilangan keabsahan dalam suatu negara itu. Campur tangan militer ini lambat laun berubah menjadi pendobrak dan pembaharu politik negara berkembang mereka dilatih dalam bidang profesionalisme yang sangat dibutuhkan negara berkembang tersebut. Militer disini telah menjadi suatu alat modernisasi untuk mencapai tujuan negara. BAB I SEKILAS MENGENAI PRETORIAN Pretorianisme sangat berkaitan dengan campur tangan korp militer dalam arena politik dirujuk sebagai perwira berkuda. Karena tradisionalisme para perwira militer tersebut adalah penunggang kuda. Mereka juga dikenal sebagai "tentara berbaju sipil" karena mereka sering menggantikan lencana militer dan pakaian seragam mereka dengan gelar dan pakaian sipil. Pretorianisme mengacu pada situasi dimana tentara tampil sebagai aktor politik utama yang sangat dominan secara langsung menggunakan kekuasaan dan mengancam dengan kekuasaan mereka. Istilah ini diambil dari salah satu contoh campur tangan militer yang pertama dan termasyhur. Pengawai-pengawai pretorian kerajaan Roma telah dibentuk sebagai satu unit tentera khusus yang bertugas melindungi mereka dan juga menggunakan kekuasaannya untuk menumbangkan raja dan menguasai pemilihan umum. Angkatan bersenjata dalam semua negara mempunyai pengaruh politik yang luas. Mereka merupakan lambang kedaulatan negara dan penahan utama bagi serangan terhadap negara, di samping prestige, tanggung jawab dan sumber-sumber material yang diperlukan guna melaksanakan tugas tersebut. Semua angkatan bersenjata mempunyai pengaruh politik yang besar, sekalipun di negara seperti Mexico dan India, yang mempunyai tradisi pemerintahan sipil yang tegas. Tentara menjadi prajurit pretorial apabila mereka mengancam atau menggunakan kekuasaan untuk mendominasi arena pemerintahan. Oleh karena itu pretorian (campur tangan militer) berlaku apabila para perwira yang mengancam secara terang-terangan tidak mengadakan kudeta, kecuali jika beberapa tututan dikabulkan. Misalnya, apabila mereka melancarkan kudeta tetapi gagal, apabila suatu perebutan kekuasaan menghambat atau menuju kepada peralihan pemerintahan dan juga yang lebih penting lagi, apabila para perwira itu sendiri yang mengambil alih pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pretorian jauh lebih penting di Amerika Latin, Asia, Afrika dan Timur Tengah. Dari 20 negara Amerika Latin, hanya Costa Rico dan Mexico yang pihak militernya tidak bertindak sebagai pretorian sejak tahun 1945. Kenyataan ini menunjukkan bahwa separuh dari 121 orang yang pernah menjadi presiden dari benua tersebut sejak tahun 1940 hingga tahun 1955 terdiri dari para perwira militer. Dari tahun 1945 hingga 1976, pihak militer berhasil merebut kekuasaan di setengah dari 18 negara di Asia. Sampai tahun 1976 pihak militer telah melakukan sekurang-kurangnya suatu percobaan, baik yang berhasil ataupun gagal untuk merebut kekuasaan di dalam dua pertiga dari seluruh negara di Timur Tengah dan Afrika utara. Mereka membentuk rejim militer di Mesir, Syria, Irak, Sudan, Libya dan Algaria. Perebutan kakuasaan merupakan peristiwa politik yang penting. Perebutan kekuasaan militer yang pertama memberi kesan besar dalam menentukan "aturan permainan". Melalui ini, pihak militer secara terang-terangan menonjolkan dan menuntut "haknya" sebagai kekuatan politik. Arena politik lanta ©2003 Digitized by USU digital library 2 diperluas lagi guna memasukkan militer sebagai perebutan kekuasaan yang dianggap penting. A. Rasional Sipil Terhadap Pretorianisme Seorang pretorian menunjukkan kalau mereka adalah perwira yang bertanggungjawab dan berjiwa nasional. Rasa kebangsan yang mementingkan orang banyak ini menyebabkan mereka tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankan konstitusi dan negara dari pengaruh pemerintah sipil yang sangat labil. Jenderal Organia, dalam kapasitasnya sebagai panglima Angkatan Bersenjata Argentina, dengan jelas telah memasukkan tema-tema di atas pidatonya pada tahun 1960-an didepan para kader perwira di West Point. "Kesetiaan ditujukan kepada pemerintah apabila kekuasan diperoleh dari rakyat, dan melaksanakan apa yang diisyaratkan dalam undang-undang dan oleh orang banyak… " Jenderal Organia selanjutnya menegaskan bahwa dalam keadaan yang demikian, masyarakat mempunyai hak untuk menentang penindasan, tetapi sebagai warga negara yang tidak bersenjata mereka tidak dapat rnenggunakan hak tersebut. Kekuasaan diarahkan kepada orang pretorian yang memiliki senjata. Pihak militer mempunyai satu tanggung jawab yang khusus, satu tugas penting yang mengatasi ikatan-ikatan mereka kepada pemerintah yang berkuasa ini adalah rasional umum yang berdasar terhadap pretorianisme. B. Tipe-tipe pretorian Pretorian berbeda antara satu sama lain, terutama dari segi tingkat campur tangan, yaitu pada tingkat mana mereka berkuasa dalam pemerintahan dan keinginan mencapai tujuan mereka. Semakin banyak dan tinggi sasaran politik dan ekonomi pihak pretorian, semakin besar kekuasaan mereka dalam pemerintahan dan kemudian pula sebaliknya. Untuk itu ada tiga tipe perwira pretorian yang dapat di klassifikasikan sebagai: 1. Moderato 2. pengawal 3. pemerintah 1. Moderator pretorian "Moderator" pretorian menggunakan hak veto atas keputusan pemerintah dan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. Walaupun pihak sipil yang memerintah, tetapi kekuasaan mereka diawasi oleh militer yang tidak akan menerima supremasi sipil. "Moderator" pretorian ini bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat dalam politik. Dalam hubungan mereka dengan pimpinan sipil, kadangkala mereka mengancam akan melakukan kudeta. Jika perlu, mereka akan mengadakan satu kudeta pengganti dimana sebuah pemerintah digulingkan dan digantikan oleh sekelompok orang sipil lainnya yang dapat dikuasai dan diterima oleh militer. Apabila pihak militer telah menyatakan keinginan mereka, maka keputusan terserah kepada pimpinan sipil untuk mematuhi dan mempertimbangkan dengan hati-hati, sampai dimana tuntutan itu harus dipenuhi agar mereka dapat mempertahankan kedudukan mereka masingmasing. Singkat kata, tentera "moderator" bertindak sebagai golongan konservatif, dan ini merupakan bagian dari penjelasan tentang mengapa mereka tidak menguasai pemerintahan itu sendiri. Kejadian seperti ini dapat dilihat di Amerika Latin. Argentina merupakan contoh menarik mengenai bentuk peralihan kekuasaan ini semasa pemerintahan presiden Frondzizi, pada tahun 1959 hingga 1962, pihak militer bertindak sebagai "moderator" dan mengajukan berbagai tuntutan terhadapnya. Mereka menuntut agar dia memecat beberapa orang ©2003 Digitized by USU digital library 3 menteri kabinet dan menggantikan mereka dengan orang-orang yang lebih diterima perwira militer tersebut, dan permintaan-permintaan lain yang harus diterima pihak penguasa, jika tidak kemungkinan para perwira akan melakukan kudeta. Kasus lain adalah kasus Brazil, yang agak unik karena telah memainkan peranan moderator sepanjang abad duapuluh, mereka juga telah menguasai pemerintahan dalam tahun 1964. Begitu juga mereka Chili, dimana angkatan bersenjata telah bertindak sebagai moderator selama lebih empat puluh tahun. 2. Pengawal Pretorian Setelah pengawal pretorian menggulungkan sebuah pemerintahan sipil, umumnya mereka sendiri akan memegang tampuk pemerintahan untuk periode dua hingga empat tahun. Berhubung dengan tujuan-tujuan pemerintahan, mereka biasanya tidak berbeda dari moderator pretorian yang ingin menghalangi perubahan politik dan mempertahankan peraturan politik. Hanya pengawal pretorian yang merasa yakin bahwa sasaran tersebut lebih mudah dicapai apabila mereka sendiri yang menguasai pemerintahan. Semua jenis pengawal pretorian untuk mempertahankan status quo yang utama yang diduga sebagai keadaan yang terwujud sebelum kegagalan pihak sipil. Dengan demikian, pretorian coba meningkatkan kecakapan atau mengubah arah kebijaksanaan pemerintah sebelumnya, malah sebagian diantaranya cenderung melakukan perubahan sosisal ekonomi dalam ukuran yang sangat minimal. Sasaran mereka mungkin meliputi pemecatan ahli politik yang sering melakukan tindak pidana korupsi dan berlaku curang dalam penyusunan kembali struktur pemerintahan dan administrasi serta pembagian kekuasaan dan fungsi ekonomi dikalangan kelompok-kelompok sipil. Oleh karena itu, mereka disebut "dokter bedah ganas" yang bersedia melakukan pembedahan terhadap organisasi politik, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk mengagantikan segala sesuatu yang telah dibedah itu. Karena itu tidak acta usaha mengadakan berbagai perubahan dasar, maka pengawal pretorian tidak perlu membentuk sebuah rejim yang dapat menguasai orang banyak. 3. pemerintah pretorian Pemerintah pretorian ini jarang diterima bila dibandingkan dengan moderator pretorian dan pengawal pretorian. Diperkirakan kasusnya tidak lebih dari 10 persen dari semua kasus campur tangan militer. Jika dibandingkan dengan moderator pretorian dan pengawal pretorian, maka penguasa pretorian bukan saja menguasai pemerintahan, tetapi juga mendominasi rejim tersebut, dan kadang kala mencoba menguasai sebagian besar kehidupan Politik, ekonomi dan sosial melalui pembentukan struktur yang bermobilisasi. Karena perubahan yang direncanakan itu begitu menyeluruh dan mendalam, disertai dengan kesadaran bahwa perubahan tersebut memakan banyak waktu. Penguasa pretorian tidak pernah berjanji kepada pihak sipil mengenai pengembalian kekuasaan dalam jangka waktu beberapa tahun, hanya mengatakan bahwa pihak sipil perlu dipulihkan. Misalnya dalam pengumuman prinsip-prinsi dasar pada tahun 1974, pemerintahan Jenderal Pirochet dengan jelas menegaskan bahwa tentara Chili akan terus berkuasa untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Bentuk pemerintahan pretorian bermaksud mengadakan perubahanperubahan dasar dengan menghapuskan hampir sernua organisasi politik dan semua politik diharamkan. Pada umumnya, terjadi penindasan dimana-mana dan meluas. Penguasa pretorian tidak bersedia berkompromi dengan kritik dan pertentangan. Masyarakat dimobilisasi untuk membentuk sebuah partai yang mereka kuasai secara exclusif. Pola pemerintahan ekonomi dan masyarakat dikendalikan dari atas. ©2003 Digitized by USU digital library 4 BAB II PRETORIAN DI NEGARA BERKEMBANG Campur tangan militer dibidang politik di negara berkembang telah berulangkali terjadi dalam bentuk coup atau kontra coup, baik itu berhasil atau gagal, di sebagian besar republik Amerika Latin, di lima negara merdeka di dunia Arab, di empat belas negara negara baru Afrika, dibeberapa negara Asia Tenggara dan di Pakistan. Peristiwa-peristiwa ini mengukuhkan fakta sejarah dan politik bahwa hila pemerintahan sipil tidak efektif, maka eksekutif tidak akan berhasil mengendalikan militer. Militer dapat mengambil alih pemerintahan dengan atau tanpa persetujuan para politisi sipil demi kepentingan atau bertentangan dengan kepentingan mereka untuk meniadakan satu kelompok sipil dan mendirikan lainnya, atau untuk menyingkirkan rival dalam militer. Negara pretorian Modern Pretorianisme untuk petama kali berasal dari kerajaan Romawi, yang bergerak untuk melestarikan legitimasi kerajaan dengan mempertahankan senat melawan pemberontak militer yang berada di ibukota. Pada masa kerajaan Romawi tersebut pretorian menguasai tiga faktor: Monopoli keamanan atas kekuasan militer lokal, tiadanya undang-undang defenitif tentang penggantian kekuasaan dan petisi senat Romawi. Atas dasar inilah pretorian pada masa itu sangat kuat, sehingga mampu melaksanakan calon mereka kepada senat. Berdasarkan hal tersebut suatu pemerintahn pretorian modern dapat berkembang bila lembaga-lembaga sipil tidak memiliki legitimsi atau didominasi oleh militer. Pretorian modern membutuhkan profesionalisme dan organisasi-organisasi modern dalam mengembangkan kebijaksanaan mereka. Kondisi-kondisi pretorian dihubungkan dengan lembaga-lembaga dan struktur militer profesional, dan sebagian dari badan-badan ini dilembagakan sebelum berdirinya struktur politik dan sosio-ekonomi yang menyertainya yakni partai-partai politik, parlemen, birokrasi pemerintah yang sentralistis, wewenang nasional, idiologi nasional. A. Kondisi-kondisi Berkembang sosial yang Mendukung pretorian di Negara 1. Lemahnya Kohesi Sosial Dalam suatu negara yang kohesi sosialnya lemah, keinginan-keinginan personal dan tujuan kelompok seringkali bervariasi. Struktur formal negara tidak didukung oleh struktur informal; lembaga-lembaga tidak berkernbang atau tidak berjalan efektif; kontrol sosial tidak efektif; dan jalur-jalur komunikasi sangat minim. Kondisi-kondisi ini menunjukkan kurangnya simbol-simbol universal yang bermakna yang dapat mengikat masyarakat secara keseluruhan. Berasal dari keretakan ini muncullah satu kelompok revolusioner, partai, birokrasi dan militer. Para pemimpin militerlah yang lebih mampu berkomunikasi dengan rakyat karena mereka dapat memancing respon psikologis pada tingkat simbolis. Dan mereka dapat mengatasi dan mempertahankan bagian tertentu dari bagian-bagin penduduk yang aktif secara politik. 2. Keberadaan Kelas-kelas Sosial Pretorian mampu memperlarisasi segelintir orang-orang kaya dengan sejumlah besar orang-orang miskin di negara-negara terbelakang dan memperlihatkan gradiasi dan variasi di dalarn kedua kelompok ini dan juga di kelas menengah (jika ada). 3. Polaritas Sosial dan Kelas Menengah yang Tidak Terkonsolidasi Kehadiran kelas menengah adalah akibat dari adanya perbedaan antara kelas atas dan bawah. Di Amerika Latin (misalnya Argentina dan Brazilia) kita ©2003 Digitized by USU digital library 5 temukan suatu kelas menengah semakin besar dan semakin kohesif (10-19%, 20%), tetapi kelas menengah ini adalah presipisator campur tangan militer. Campur tangan militer memungkinkan kelas menenengah berkuasa hanya jika mereka tidak berhasil berkuasa melalui sasaran pencalonan. 8. Kondisi-kondisi Politik yang Mendukung Bagi Pretorian di Negara Berkembang 1. Pusat dan Pinggiran Secara keseluruhan, peranan intelektual, sarjana, birokrat, pedagang, administrator kolonial dan elit-elit modernisasi telah dipusatkan di negara-negara berkembang. Sekarang modernisasi ini telah berkembang dengan cepat. Adanya perbedaan pusat dan pinggiran dalam hal ini sering menimbulkan konflik yang tidak ditanggapi para nasionalis secara serius. Dan akhirnya pinggiran yang merasa diabaikan melakukan balas dendam. Disinilah muncul militer sebagai suatu kegiatan yang terpenting yang karaktaristiknya dapat merangsang mobilisasi secara terbuka. Dalam kasus-kasus ini banyak militer memihak pinggiran (terjadi di Suriah dan Nigeria tahun 1966), pusat kekuasaan dihujat masyarakat pinggiran, yang mengklaim sebagai pusat keamanan. 2. Rendahnya Tingkat Pelembagaan Politik dan Alpanya Dukungan Terhadap Struktur Politik Dalam negara-negara pretorian tingkat dukungan terhadap organisasiorganisasi politk yakni jumlah dan jenis-nenis para anggota organisasi ini sangat rendah. Dengan demikian, fragmentasi partai-partai politik cenderung tidak dapat dicegah dan masing-masing didukung oleh berbagai kelornpok sosial yang tidak penah mermiliki pesatuan dan kesatuan. Gerakan buruh juga terpecah-pecah, masing-masing kategori buruh tergolong kepada serikat yang berbeda, yang satu sama yang lain saling berakar dari kealpaan kohesi sosial sebagimana disebutkan diatas. Tingkat pelernbagaan yang tradisional bertindak secara otonom sehingga badan kelembagaan rendah. Disamping pranata-pranata sosial yang tidak dapat merubah keadaan sosial dan ekonomi. Legitimasi lembaga-lembaga sering dihambat oleh kebutuhan kelompok-kelompok tertentu. Dalam kondisi-kondisi seperti inilah intervensi militer masuk dan menjadi suatu kekuatan yang dapat mempersatukan berbagai kepentingan kelompokkelompok yang berbeda. 3. Partai-partai Politik yang Lemah Partai-partai politik yang lemah dan tidak efektif dapat dijumpai di negara berkembang. Namun beberapa negara berkembang mempunyai partai-partai yang kuat yang bersifat pluralistik. Di Mesir, partai West didukung oleh kepentingan-kepentingan tuan tanah. Di Peru Alianza Popular Revolusioner de Amerika (APRA). Tetapi tidak semua negara berkembang memiliki partai politik sekalipun dalam derajat efektifitas dan kekalahan yang rendah yang dimiliki partai West dan APRA. C. Pretorian sebagai Pembaru dan Pioner Pembangunan Politik Walaupun banyak militer telah gagal dalam berbagai usaha untuk memantapkan partai politik secara efektif dan berumur panjang atau mendukung lembaga-lembaga dan prosedur politik. Dalam hal ini pihak militer merasa tidak yakin pihak sipil mampu melaksanakan berbagai kegiatan untuk mewujudkan semua tujuan ini. Oleh karena itu struktur politik yang mereka bentuk selama periode pemerintahan militer ini mempunyai kelemahan seperti yang dijumpai dalam ©2003 Digitized by USU digital library 6 struktur yang digantikannya dan struktur lainnya yang lebih militer. Terlepas dari kagagalan militer dalam membentuk prosedur politik yang mereka inginkan. Di suatu pihak kediktatoran militer dapat menghasilkan modernisasi yang sukses. Dalam kasus demikian, militer mengadopsi orientasi teknorat dan cendikiawan dapat menarik diri dari usaha-usaha untuk menjalankan pembangunan politik. Pemusatan pada teknologi dan sains akan mengurangi ancaman pada kediktatoran militer yang timbul dari terbentuknya organisasi sipil (mirip dalam kasus indonesia saat ini). Turki dapat digambarkan sebagai negara yang sesuai dengan model pretorian ini yang telah mengubah konteks sosio-politik menciptakan organisasiorganisasi politik sipil. Langkah-langkah yang diambil para pemimpin itu dirangsang pada mulanya oleh aksi-aksi sipil, namun para perwira ini segera melepaskan diri dari kelompok-kelompok sipil. Langkah-langkah Kemal adalah : 1. Mengambil peran primer dalam memilih suatu sistem pemerintahan negara itu; 2. Memilih para sekutunya dari kalangan politik sipil dan abdi negara; 3. Menjadi sumber perubahan revolusioner yang melancarkan upaya mengalihkan negara pretorian menjadi non pretorian; 4. Membentuk partai politik sipil mereka sendiri; dan 5. Melembagakan tradisi bahwa militer dalam markas harus berfungsi sebagai pelindung pemerintahan sipil. BAB III PERANAN PRETORIAN DALAM PROSES MODERNISASI POLITIK NEGARA BERKEMBANG Beberapa tahun belakangan ini negara-negara muda yang baru mendapatkan kemerdekaannya akan sangat tergantung kepada efektivitas para intelektual (mereka yang telah sempat menikmati pendidikan modern di dunia barat), birokrat-birokrat, penguasa yang nasionalis dan termasuk adanya ancaman dari partai-partai komunis. Dan di tengah-tengah negara berkembang inilah militer merupakan sebuah kelompok politik yang memiliki potensi tinggi di dalam rangka pembinaan bangsa. Militer telah menjelmakan dirinya sebagai kelompok penentu dominan di dalam proses pembuatan keputusan di lebih kurang delapan negara Afro-Asia. Ada anggapan bahwa militer tidak memiliki peran yang besar di dalam pembangunan politik negara-negara berkembang. Anggapn ini dipergunakan sejumlah pemikir politik barat bahwa lembaga-lembaga politik itu adalah produk dari kekuatan dinamis ditujukan secara khusus pada masyarakat golongan menengah ke atas. A.Militer sebagai Organisasi Modern Negara Berkembang Militer yang telah memiliki ketrampilan adalah pihak yang paling cepat untuk mengadakan adaptasi dan adopsi atas semua nilai-nilai yang diperkenalkan maupun nilai-nilai yang masuk dari luar negeri, sedangkan organisasi politik lainnya, walaupun mempunyai predikat sebagai sebuah struktur modern, masih jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan militer. Sehingga militer menjadi sebuah organisasi modern di negara berkembang. Militer yang ada dinegara-negara berkembang dibentuk oleh pemerintah kolonial telah lebih lama berkecimpung ditengah-tangah organisasi modern yang ada di dalam negara mereka sepanjang masa penjajahan berlangsung. Sebagai contoh, militer di India, Resimen Malaysia, Pandu Philipina, Legium Arab Saudi, Resimen Gurcha serta pasukan raja-raja Afrika. ©2003 Digitized by USU digital library 7 Di sini para pejabat-pejabat militer membentuk militer sebagai organisasi yang mampu merangsang pertumbuhan industri dalam skala maksimal. Penekanan lain tampak pada keprofesionalisme, tingkah laku pribadi, membuat militer tampil lebih halus daripada organisasi mana sekalipun, apalagi militer memiliki disiplin team yang kuat. Negara-negara berkembang umumnya memperoleh kemerdekaannya melalui pejuang-pejuang mereka yang dikemudian hari melahirkan militer. Militer telah melaksanakan tugasnya membela negara, mengalihkan perhatiannya menjadi pendorong dan motor modernisasi dan pembangunan nasional serta berpandangan dan bersikap nasional. Umumnya, negara-negara berkembang tadi meniru tipe dan pola militer negara-negara Eropa Barat dan Amerika sebagai tipe mereka. Dengan demikian mereka berusaha menciptakan pola organisasi sama dengan pola-pola yang terdapat di negara-negara maju tersebut, yang telah menetapkan teknologi tinggi dan mengenal peradaban modern. Maka militer-militer modern adalah faktor penting dalam masyarakat industri, sehingga militer di negara-negara berkembang berhasrat mempercepat jalan pembangunan teknologi tinggi di negara mereka masing-masing. Dan terjadilah apa yang dapat dilihat sekarang, militer sebagai sebuah organisasi modern. Dan militer-militer yang terdapat di negara-negara praindustri merupakan proto tipe militer yang maju, yang dengan sendirinya telah melahirkan impak para peranan politik mereka. Salah satu karakteristik mereka yang utama adalah adanya spesialisasi fungsi dan kecakapan yang memang dibutuhkan oleh militermiliter modern, dimana spesialisasi fungsi dan kacakapan itu hanya dipisahkan oleh kekerasan komando. Semua militer negara berkembang yang mengikuti militer modern berusaha untuk mengintrodusir latihan dan pendidikan khusus dalam bidang menejemen personalis yang sangat intensif kerada para perwira dan prajuritnya. Karena itu banyak perwira tinggi militer menikmati latihan dan pendidikan dalam kecakapan industri yang jauh lebih tinggi dari pads para teknisi sipil. Perwira militer ini memiliki sensitivitas yang tinggi sekali akan modernisasi dan teknologi untuk pembangunan nasional yang menyeluruh. B. Militer Sabagai Agen Modernisasi Negara Berkembang Di dalam masyarakat tradisional, militer sebagai kelompok paling modern dan dalam kedudukannya sebagai kaki tangan pemerintah, jelas mempunyai otoritas politik yang demikian besarnya. Dapat diuraikan secara umum aspekaspek sosial dan politik dari kegiatan militer dan beberapa akibat langsung yang dihasilkannya ditengah-tengah kehidupan masyarakat sipil. Dalam setiap sistem sosial militer telah diterima masyarakat sebagai tentera terbaik, terutama pada masa transisi anggota-anggota militer memiliki kualifikasi tinggi, sehingga militer mudah menjelma menjadi kelompok yang mampu memainkan peranan penting dalam proses peraliahan dari tradisional kearah modernisasi, baik ideal maupun praktis. Latihan-latihan militer dengan sendirinya diselaraskan dengan aturanaturan dasar dari proses akulturasi yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat transisi. Di dalam tubuh militer bagaimanapun, derajat akulturasi berjalan jauh lebih cepat dari apa yang dialami oleh masyarakat sipil. Hal ini tampak bahwa perwira-perwira tinggi militer dapat memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat sipil dalam proses adopsi ide-ide baru ketika modernisasi dan perubahan sosial sedang berlangsung. Militer juga dapat memberi perlindungan dalam proses akulturasi yang memberi keamanan batin yang cukup tinggi. Karena banyak pengalaman menunjukkan bahwa perubahan tanpa perlindungan akan membawa kegelisahan. Sehingga masyarakat desa yang mencoba untuk menjadi anggota militer dalam mengejar ketinggalan-ketinggalan mereka dari masyarakat perkotaan. ©2003 Digitized by USU digital library 8 Proses modernisasi yang berlangsung di Afrika dan di Amerika Latin serta di sebagian besar negara-negara Asia, yaitu kecenderungan yang melahirkan ketidakamanan bagi penduduk disana. Barang siapa yang pernah bertempat tinggal di kota-kota besar dibenua yang disebutkan diatas, lebih-lebih di Afrika Hitam dan Amerika Latin, selalu menemukan dirinya dalam keadaan terancam. Sebaliknya barang siapa yang telah diperkenalkan dalam pola hidup masyarakat teknologi tinggi, ketika bergabung dengan anggota militer, akan selalu memberikan tekanan khusus kepada kebutuhan penyesuaian-penyesuaian umum yang sifatnya eksplisit dan terbuka. Di kota-kota besar yang terdapat di Asia, terlihat sebuah gejala umum, dimana masyarakatnya terlihat modern disatu pihak, tetapi dipihak lain mereka masih menganut cara berpikir dan bertindak seperti apa yang dimiliki oleh orangorang desa tradisional. Mereka biasanya hidup dalam orbitan keluarga dan sanak saudara, tetapi yang memiliki hubungan dan kontak sosial yang sangat terbatas dengannya. Militer telah menampilkan organisasi modern, maka siapa saja yang telah di tatar di dalam sikap dan kecakapan-kecakapan seperti itu, pasti akan berhasil di dalam organisasi modern lainnya. Di negara barat, militer telah memainkan peranan yang sangat penting di dalam penyediaan latihan-latihan teknis termasuk pelayanan-pelayanan langsung di dalam proses pelayananindustri. Militer-militer Jeman melatih sejumlah perwira-perwira yang menduduki posisi penting dan kemudian menempatkan mereka di dalam perusahaan-perusahaan besar yang mereka miliki. Di Amerika juga, teknisi-teknisi militer sudah tentu, memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi dan teknologi negaranegara barat secara keseluruhan. Di Amerika Latin, militer-militer Brazilia adalah merupakan motor pembuka jalan, promotor sumber-sumber nasional dan melindungi masyarakat Indian. Di Asia juga dapat kita lihat banyak persamaan umum dengan yang terjadi ditempat-tempat tersebut diatas. Hal serupa juga terjadi sebelum perang Dunia II, latihan-latihan wajib militer di dalam tuduh pasukan bela dirinya telah memberikan sumbangan besar bagi semua penduduk dalam meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja dan sumber daya alam, yang secara langsung mempunyai sumbangan besar bagi pembangunan industri. Sebagai contoh di India, mereka bergerak di sektor perindustrian. Sedangkan Malaysia, Philipina dan Muang Thai, militer merupakan instrumen penting dalam melatih masyarakat untuk menggerakkan dan merawat industri-industri kenderaan bermotor dan alat-alat industri lainnya. Oleh karena militer telah menunjukkan dirinya kelompok dinamisator dalam meningkatkan mobilitas sosial dan ekonomi, maka semangat nasionalisme militer selalu rneliputi segenap lapisan masyarakat luas baik dalam artian perasaan maupun sikap mereka. Sehingga militer mampu menjadi agen modernisasi dalam suatu negara, baik negara yang sudah maju maupun sedang berkembang. BAB IV KUDETA SEBAGAI SALAH SATU ALAT MILITER DALAM POLITIK Kudeta adalah satu kegiatan yang direncanakan dan dilakukan dengan sengaja. Ia dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai target yang telah ditetapkan dengan menyadari kemungkinan dana dan resikonya. Dengan demikian kudeta dianalisa dan diuraikan dari prespektif pihak militer itu sendiri. Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa jawaban atas dua pertanyaan; mengapa dan bila militer melakukan campur tangan dalam bidang politik. Umumnya para perwira militer melakukan kudeta adalah masalah motivasi, yaitu apa yang ingin dicapai oleh perwira adalah mempertahankan dan mengukuhkan kepentingan pihak militer. ©2003 Digitized by USU digital library 9 Kapankah militer melakukan kudeta? Jawaban yang tepat atas pertanyaan ini adalah terdapat di dalam kegagalan pemerintah sipil dan kehilangan keabsahan mereka akibat kegagalan itu. Kegagalan untuk mempertahankan kestabilan umum akan mendorong perwira untuk bertindak berdasarkan motifmotif campur tangan; terutama bila mereka memang memandang rendah orangorang yang memegang kekuasaan. Perwira militer akan lebih mudah memberikan alasan dan menghalalkan tindakan kudeta mereka terhadap kelompok yang sedang berkuasa yang mereka anggap tidak cakap atau lemah. Yang penting lagi ialah bahwa kegagalan itu mengurangi keabsahan pemerintah dikalangan penduduk yang sadar akan politik. A. Kepentingan Korporat Militer Setiap institusi, baik badan eksekutif, legislatif yudikatit, polisi dan angkatan bersenjata memberikan perhatian terhadap kepentingan masingmasing. Institusi tersebut juga melihat kepentingan mereka melalui cara yang hampir sama. Mereka menuntut adanya anggaran yang memadai, kekuasaan ekonomi dalam mengendalikan urusan internal masing-masing, tanggung jawab dan keinginan untuk dicampuri institusi lain dan hubungan kerja antar institusi itu sendiri. Mempertahankan kepentingan korporat militer adalah tujuan campur tangan yang paling penting sekali. Dengan adanya citra perwira militer sebagai golongan nasionalis utama, mereka biasanya dapat merasionalkan dan menghalalkan kegiatan kekerasan mereka. Karena mereka mengidentifikasikan diri dengan negara, apa yang dianggap baik bagi pihak militer juga baik untuk negara. Corak pemikiran seperti ini diperkuat lagi oleh identifikasi sebaliknya, yakni mengidentifikasikan negara dengan militer. Martabat nasional kedaulatan dan kekuasaan terletak di dalam dan pada angkatan bersenjata. Ia seolah-olah hampir sama dengan situasi bahwa kudeta sebenarnya adalah untuk kepentingan negara, cara para perwira mengidentifikasikan diri mereka dengan negara sedang negara diidentifikasikan dengan militer. Kenyataan seperti ini pernah dibuat oleh seorang analis kehidupan militer di Amerika Latin yang agak kritis terhadap tindakan mereka. Para jenderal bukanlah orang yang berpendirian tidak tetap, yang hanya berniat untuk menghancurkan domokrasi dan menggerogoti keuangan negera (pera perwira menganggap diri mereka pejuang-pejuang yang jujur). Mereka percaya bahwa campur tangan mereka biasanya dimaksudkan untuk kepentingan dan menyelamatkan negara atau mempertahankan institusinya, yang mereka anggap sebagai penjelmaan dari perwujudan negara itu sendiri. Tanpa ragu-ragu, militer kemudian ikut campur tangan guna menjamin kepentingan bersama mereka terutama terhadap pemerintahan sipil yang telah kehilangan popularitas. B. Kondisi-kondisi Politik Yang Mendukung Bagi Pretorian di Negara Berkembang Kepentingan Korporat militer terutama adalah tersedianya anggaran belanja tahunan yang memadai. Namun begitu seringkali terjadi bahwa penguasa sipil cenderung memberikan jumlah yang lebih kecil dibanding usaha militer dan terus berusaha memperkecil di masa-masa berikutnya, sekalipun militer sering mengajukan tuntutan keberatan. penguasa sipil tidak melihat adanya urgensi menjaga keselamatan dan keamanan nasional. Faktor penting satu-satunya yang mereka pikirkan adalah prinsip penghematan anggaran negara, yang akan digunakan untuk melaksanakan program modernisasi dan pembangunan sektor pelayanan sosial. Mungkin juga bahwa pemerintah sipil cenderung memandang pihak militer sebagai seteru mereka. Berdasarkan alasan tersebut diatas bukanlah hal yang mengejutkan jika banyak komando militer tertinggi di dunia ketiga sering mengeluarkan ancaman kudeta, dan segera melaksanakannya bila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Segera setelah pemerintah militer atau sipil yang baru naik ke panggung kekuasaan, penyesuaian atas sejumlah anggaran belanja militer pun segera ©2003 Digitized by USU digital library 10 dilakukan. Dalam konteks ini sejarah campur tangan militer di Peru dapat dianggap sebagai salah satu contoh kasus yang menarik. Di antara rangkaian kudeta yang terjadi antara tahun 1912-1964, terdapat dua pola yang sangat menonjol. Setiap pemerintahan sipil, yang berusaha menurunkan jumlah anggaran belanja militer di Peru selalu ditumbangkan melalui kekerasan senjata. penguasa baik militer maupun sipil yang menggantikan pemerintah yang ditumbangkan itu segera melakukan realokasi demi meningkatkan jumlah anggaran militer. Misalnya, kudeta di Peru yang terjadi pada tahun 1948 telah dijelaskan sebagai impak dari pengabaian pihak penguasa sipil terhadap pemeliharaan pangkalan militer yang sangat strategis, sedangkan program pembangunan ekonomi yang mereka lancarkan tidak begitu bersentuhan dengan kepentingan luas. Walaupun kajian ini tidak memberikan bukti langsung mengenai motif campur tangan, tetapi dana pertahanan yang begitu tinggi dalam negara dimana tentaranya cenderung melakukan campur tangan menunjukan bahwa salah satu tujuan mereka melakukan kudeta adalah untuk menambah biaya tahunan mereka, atau sekurang-kurangnya mencegah pemerintah sipil menurunkan alokasi tersebut. Alokasi anggaran belanja militer juga mempengaruhi persepsi dari para perwira sebagai anggota organisasi profesional modern. peningkatan kuantitas dan kualitas peralatan militer bahkan seragam prajurit dapat dinilai sebagai sebuah indikasi akan modernisasi dan ketrampilan profesional. Perwira militer yang tidak mendapatkan alokasi negara yang memadai bagi keperluan modernisasi diri tersebut jelas akan merasa dikecewakan yang akhirnya menjadi sumber bagi terjadinya intervensi melalui kekerasan senjata. C. Otonomi Militer Keengganan pihak sipil untuk rnengakolir anggaran pertahanan dalam jumlah besar seharusnya tidak harus memicu aksi-aksi kudeta. Intervensi terhadap urusan militer juga menimbulkan pengaruh yang sama. Malahan mencampuri urusan kecil pihak militer juga dianggap sabagai ancaman terhadap korporat kepentingan militer. Otonomi militer menegaskan bahwa pihak sipil tidak dapat mencampuri urusan penyusunan kurikulum pendidikan dan latihan, mutasi perwira dalam posisi tertentu, promosi para perwira tinggi dan pernbentukan strategi pertahanan. Hakikat otonomi itu juga menegaskan bahwa percobaan untuk mempengaruhi prajurit dan perwira oleh pejabat sipil akan selalu ditentang. Campur tangan pihak sipil selalu mempunyai pengaruh penting terhadap para perwira militer. Tindakan yang demikian biasanya dianggap sebagai penghinaan terhadap profesionalisme prajurit dan citra diri para perwira dengan cara menggantikan kriteria prestasi dengan kriteria politik. Kita mengetahui bahwa intervensi yang demikian sangatlah menyakitkan bagi citra diri korps militer yang dapat menjadi sumber utama bagi terjadinya kudeta berdarah. Penggulingan pemerintahan monarkhi di Mesir pada tahun 1952 sebagian besar terjadi karena adanya campur tangan raja dalam urusan tentara. Kesalahan pertama terjadi pada tahun 1948, ketika Raja Farauk memerintahkan militer yang belum siap siaga untuk segera menyerang Israel, tanpa berkonsultasi dengan kepala angkatan bersenjata yang sebenarnya telah meramalkan akan kemungkinan kekalahan tentara Mesir secara total. Contoh lain adalah tindakan presiden Goulart dari Brazil yang telah menyebabkan kejatuhannya sediri pada tahun 1964. D. Kegagalan Pemerintah Sipil Pretorian seringkali menuduh pemerintah yang mereka gulingkan sebagai pemerintah yang telah gagal melakukan tugas-tugas masing-masing. Tindakan yang tidak sah dan diluar kelembagaan (terutama kejahatan politik yanq luas), bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi atau hifer inflasi dan ©2003 Digitized by USU digital library 11 ketidakmampuan mengendalikan perasaan kecewa dan penentangan politik tanpa menimbulkan tindakan kekerasan dan kekacauan merupakan tiga kegagalan yang sering digunakan untuk menghalakan tindakan mereka menggulingkan pemerintahan sipil. Tuduhan-tuduhan tersebut biasanya sejalan dengan hakikat kontemporer dan dengan demikian lebih memudahkan pretorian untuk menghalalkan tindakan rnereka demi mempertahankan tindakan konstitusi. Partai-partai politik yang lemah - Dalam perkembangan selanjutnya, pretorian menjadi alat modernisasi dalam bidang teknologi, ekonomi dan sosial. Mereka adalah profesionalisprofesionalis dalam ketiga bidang itu untuk memecahkan persoalan-persoalan yang kemungkinan muncul di tengah-tengah masyarakat yang mereka kuasai. - Para perwira militer, kadang-kadang mempergunakan kudeta sebagai alat dalam perubahan politik, apabila tuntutan-tuntutan yang mereka ajukan tidak dapat dikabulkan oleh para penguasa saat ini. - Pretorian yang begitu berpengaruh di negara-negara berkembang, akhirnya menyadari keberadaan mereka bukan hanya sebagai alat keamanan saja, melainkan menjadi alat pembaru dan pendobrak keadaan-keadaan ekonomi dan sosial dalam negara mereka masing-masing. PENUTUP KESIMPULAN Negara-negara berkembang di hampir semua negara di Amerika Latin, Asia, Timur Tengah dan Afrika pengaruh dan ketergantungan terhadap pretorian cukup besar. - Militer dalam negara berkembang mempunyai politik yang luas lambang kedaulatan negara dan penahan utama bagi serangan terhadap negara baik dari dalam dan dari luar. - Pretorian di negara berkembang dimungkinkan adanya kondisi-kondisi sosial dan politik yang mendukung, seperti: 1. Lemahnya kohesi sosisal 2. Keberadaan kelas-kelas sosial 3. Polaritas sosial dan kelas menengah yang tidak terkonsolidasi 4. Pusat dan pinggiran 5. Rendahnya tingkat pelembagaan politik dan alpanya dukungan terhadap struktur politik DAFTAR PUSTAKA Anderson, B. 1972. The Idea Of Pawer In Javanese Culture; Dalam Claire Holt (Ed), Culture And Politics In Indonesia, Itmaka Cornell Unyversity Press Britton, P. 1982. Military Profesionalis In Indonesia, Javanese And Wersten Military Traditionsin Amry Idiologi To Time 1970's Tesis Ma, Monash University Duverger, M. 1954. Political Parties, London. Feith, Herbert, 1977. Political Control, Class Formation And Ligitimacy, Kabar Seberang 2 Liddle, R.William, 1989. Demokrasi Dan Kelas Menengah;Tempo 8 Juli Norungger, Eric , Soldier And Polities, Alih Bahasa Sahat Simamora, Edisi I, Rineka Cipta, Jakarta Simamora Sahat, 1989. Beberapa Aspek Pembangunan Politik, Edisi II, CV. Rajawali, Jakarta ______________1987, Pembangunan Politik Dalam Perspektif, Edisi I,Bina Aksara, Jakarta. ©2003 Digitized by USU digital library 12