intisari - Repodig Untan - Universitas Tanjungpura

advertisement
PENGARUH PERILAKU MYOPIA PADA PROSES PENGAMBILAN
KEPUTUSAN INVESTASI DALAM EKSPERIMEN LABORATORI:
Implikasi Teori Myopic Loss Aversion di Pasar Modal
Oleh:
Wendy1
UNIVERSITAS TANJUNGPURA - PONTIANAK
Intisari
Artikel ini mencoba menganalisis bias psikologi yang memengaruhi investor dalam
mengambil keputusan investasi berisiko berdasar teori myopic loss aversion (MLA).
Data diperoleh dari dua sumber (mahasiswa dan investor saham) yang selanjutnya
dimanipulasi dengan dua jenis perlakuan (frequent dan infrequent) menggunakan
desain campuran between-within subject dengan faktorial 2 x 2. Hasil eksperimen
menunjukkan adanya konsistensi kedua kelompok partisipan terhadap teori MLA.
Analisis dari sisi gender menunjukkan bahwa keberanian partisipan laki-laki dan
partisipan perempuan pada kelompok investor adalah sama, sedangkan pada kelompok
mahasiswa, gender menunjukkan pengaruh yang signifikan. Temuan lain
mengindikasikan adanya “efek kejutan” yang dialami para partisipan selama
eksperimen berlangsung.
Kata-kata kunci: keuangan keperilakuan, myopic loss aversion, perlakuan frequent dan
infrequent, gender, dan efek kejutan.
Pendahuluan
Teori keuangan standar umumnya mengasumsikan investor berperilaku rasional.
Mereka dianggap mampu memaksimumkan utilitasnya serta dapat memroses setiap
informasi yang tersedia sehingga cenderung mengabaikan faktor psikologi. Kenyataan
ini kemudian mendorong berkembangnya teori keuangan keperilakuan (behavioral
finance) yang mencoba menganalisis bias psikologi yang ‘kurang diperhatikan’ dalam
teori keuangan standar.
Behavioral finance mulai digali sejak tahun 1950an, hampir bersamaan dengan
perumusan teori portofolio investasi modern oleh Markowitz. Beberapa peneliti pada
saat itu telah mencoba memasukkan unsur psikologi dalam penelitian keuangan mereka
(Burrell, 1951; Bauman, 1967; Slovic, 1969, 1972; dan Bauman and Slovic, 1972 dalam
Asri, 2003). Akan tetapi, perumusan berbagai teori dalam keuangan standar pada masa
itu seperti teori portofolio modern (Markowitz, 1952), single index model (Sharpe,
1963), capital asset pricing model (CAPM) (Sharpe, 1964; Lintner, 1965; dan Mossin,
1969), efficient market hypothesis (Fama, 1970), option pricing theory (Black and
Scholes, 1973), serta arbitrage pricing theory (APT) (Ross, 1976) memperoleh respon
yang luar biasa dari kalangan akademisi sehingga kalangan behavioralists seakan-akan
‘tenggelam’ pada masa itu (Asri, 2003).
1
Penulis dapat dihubungi melalui: [email protected]
Phone: +6281 5225 4994 2
1
Baru pada tahun 1979, Kahneman dan Tversky memperkenalkan teori prospek (the
prospect theory) yang secara konseptual bertentangan dengan expected utility theory
yang telah lama digunakan para peneliti untuk menjelaskan proses pengambilan
keputusan. Penelitian tersebut kemudian mendorong munculnya berbagai penelitian
dalam behavioral finance pada dekade-dekade berikutnya. Pada dasarnya topik yang
diangkat dalam artikel ini juga mengarah pada teori ilmu keperilakuan keuangan.
Analisis dalam penelitian ini difokuskan pada perilaku para investor dalam proses
pengambilan keputusan investasi berisiko berdasarkan teori myopic loss aversion
(MLA) dari Benartzi dan Thaler (1995).
Myopic loss aversion (Benartzi dan Thaler, 1995) menjelaskan kombinasi dari dua teori
perilaku, yaitu loss aversion dan mental accounting. Loss aversion mengacu pada
kenyataan bahwa seseorang akan cenderung lebih sensitif terhadap kerugian dari pada
keuntungan. Seseorang dikatakan to be loss averse apabila keberhati-hatiannya lebih
difokuskan pada kerugian (losses) dari pada keuntungan (gains) (Haigh dan List, 2005).
Hal ini tercermin dalam teori prospek (the prospect theory) yang secara empirikal
menyatakan bahwa sensitivitas seseorang terhadap kerugian sekitar dua kali lebih
besar dari pada sensitivitas terhadap keuntungan (Kahneman dan Tversky, 1979;
Kahneman, Knetsch, dan Thaler, 1990; Tversky dan Kahneman, 1992).
Mental accounting mengacu pada serangkaian tindakan kognitif yang dilakukan para
pelaku ekonomi dalam mengelola, mengevaluasi, dan menjaga aktivitas keuangannya
(Thaler, 1999). Lebih jauh, Pompian (2006) menyatakan bahwa mental accounting
mengacu pada aktivitas pengodean, pengategorisasian, dan pengevaluasian keputusan
keuangan. Pada kasus-kasus tertentu, mental accounting membahas mengenai
bagaimana suatu transaksi dievaluasi secara over the time (misalnya menyangkut
seberapa sering suatu portofolio dievaluasi) dan secara cross-sectional (misalnya
apakah transaksi tersebut dievaluasi berdasarkan portofolionya atau dievaluasi secara
individual) (Thaler et al., 1997; Haigh dan List, 2005).
Penelitian eksperimen yang menguji teori MLA dari Benartzi dan Thaler (1995) masih
sangat terbatas. Gneezy dan Potters (1997) serta Haigh dan List (2005) menggunakan
dua jenis perlakuan dalam eksperimennya, yaitu perlakuan frequent (F) dan perlakuan
infrequent (I) untuk menguji teori MLA. Perlakuan F memungkinkan partisipan
melakukan evaluasi terhadap hasil trading mereka secara periodik atau dalam perioda
waktu yang relatif pendek (per ronde), sedangkan perlakuan I memungkinkan
partisipan mengevaluasi hasil trading-nya dalam perioda waktu yang relatif lebih
panjang (per tiga ronde).
Penelitian ini mencoba menguji kembali teori MLA dari Benartzi dan Thaler (1995)
dengan mengadopsi kedua perlakuan tersebut sekaligus menunjukkan kemungkinan
adanya perbedaan perilaku (tingkat keberanian) antara kelompok berpengalaman
(professional) dengan kelompok tidak berpengalaman (nonprofessional) dalam proses
pengambilan keputusan investasi berisiko. Untuk mengungkap fenomena tersebut,
kedua kelompok (berpengalaman dan tidak berpengalaman) dilibatkan secara
bersamaan sebagai partisipan dalam eksperimen ini. Selain itu, peneliti juga
memberikan perhatian khusus pada variabel gender yang belum dilakukan dalam
eksperimen MLA sebelumnya. Temuan empiris dari Watson dan McNaughton (2007)
menunjukkan bahwa perempuan memiliki derajat penghindaran risiko (risk averse)
yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
2
Haigh dan List (2005) menggunakan perlakuan I dan perlakuan F yang diadopsi dari
Gneezy dan Potters (1997) untuk menguji teori MLA. Studi empiris mereka menemukan
bahwa kelompok profesional menunjukkan perilaku yang konsisten dengan teori MLA,
selain itu derajat kekonsistenen mereka ternyata lebih tinggi dibandingkan mahasiswa.
Temuan tersebut secara tidak langsung mendukung penelitian Gneezy dan Potters
(1997) yang juga menemukan adanya konsistensi para mahasiswa terhadap teori MLA.
Berdasarkan temuan-temuan empiris terdahulu diyakini bahwa perilaku kelompok
berpengalaman dan kelompok tidak berpengalaman pada saat mengambil keputusan
investasi berisiko akan konsisten dengan teori MLA. Kekonsistenan kelompok
berpengalaman terhadap teori MLA juga diyakini akan lebih tinggi dibandingkan
kelompok tidak berpengalaman. Selain itu, kedua kelompok partisipan diduga akan
menunjukkan perilaku (tingkat keberanian) yang berbeda pada saat mengambil
keputusan investasi berisiko setelah memperhatikan faktor gender. Keyakinankeyakinan tersebut memberikan motivasi yang kuat kepada peneliti untuk melakukan
eksperimen ini.
Artikel ini diorganisasi menjadi lima bagian. Bagian pertama diawali dengan
pendahuluan, yang selanjutnya diikuti dengan kajian literatur dan pembahasan teori
yang relevan serta temuan-temuan empiris terdahulu. Metoda penelitian akan
dibicarakan sesudahnya yang diikuti dengan pembahasan hasil penelitian. Bagian
terakhir menyampaikan beberapa simpulan serta keterbatasan penelitian dan arahan
untuk penelitian ke depan.
Kajian Literatur
Perkembangan behavioral finance pada dasarnya tidak luput dari dukungan berbagai
teori psikologi yang diaplikasikan dalam bidang keuangan. Psikologi sendiri dapat
diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku dan proses
mental manusia (Atkinson et al., 2003). Dengan demikian, sangatlah janggal apabila
analisis keuangan mengenai pengambilan keputusan investasi di pasar modal yang
melibatkan sejumlah investor mengabaikan kata “psikologi” ini.
Berbagai teori dan model yang dirumuskan oleh sejumlah ahli keuangan pada
umumnya didasarkan pada asumsi bahwa investor selalu bersikap dan bertindak
rasional dalam proses pengambilan keputusan investasi. Investor dianggap mau
memperhatikan semua informasi yang tersedia di pasar serta mampu mengevaluasinya
dengan seksama dan mencari jawaban berdasarkan pemikiran rasionalitasnya terhadap
sejumlah informasi yang diperolehnya tersebut. Akan tetapi, apakah asumsi rasionalitas
ini selalu dapat dipenuhi setiap investor pada saat mengambil keputusan investasi? Para
investor sering menunjukkan perilaku yang bersifat irasional di samping mereka
mengambil keputusan berdasarkan judgment, sehingga keadaan ini menyimpang jauh
dari asumsi rasionalitas. Sebagai contoh, misalnya peristiwa black thursday pada tahun
1986 yang terjadi di pasar modal Amerika justru dipicu oleh pembicaraan di Eropa
mengenai kemungkinan naiknya inflasi di Amerika Serikat pada hari Kamis, 11
September 1986 (Asri, 2003).
Pembicaraan tersebut mengakibatkan harga future contracts atas obligasi pemerintah
Amerika Serikat (T-bond futures) mengalami penurunan, walaupun tidak terlalu “serius”
apabila dibandingkan dengan penurunan rerata selama seminggu terakhir. Namun pada
3
saat New York Stock Excange (NYSE) di Amerika dibuka keesokan harinya, terjadi hal
yang mengejutkan pasar. Terdapat sejenis “invisible hands” yang mendorong investor
untuk menjual saham dengan segera (panic-selling), sehingga membuat harga saham
mulai berjatuhan. Karena underlying stocks ini jatuh, maka harga-harga derivative
securities akhirnya juga mengalami ”kehancuran”. Dalam waktu dua hari, indeks
industrial jatuh sekitar 87 points, diikuti dengan penurunan sebanyak 37 points lagi
pada hari berikutnya.
Peristiwa lain terjadi pada hari Senin, 19 Oktober 1987 yang disebut black monday.
Pada hari itu terjadi peristiwa yang tidak masuk akal di mana harga-harga saham di
NYSE mengalami penurunan yang luar biasa (tercatat sebagai hari terburuk bagi pasar
modal Amerika sejak the great depression crash 1929). Terjadi kepanikan luar biasa di
kalangan investor sehingga pasar menjadi tidak terkendali dan mengakibatkan
terjadinya efek penularan (contagious effect) pada bursa-bursa dunia. Dow Jones
Industrial Average turun 22,6 persen dalam waktu sehari, jauh lebih besar dari pada
kerugian tahun 1929 sebesar 12,9 persen (Asri, 2003).
Tidak ada satupun ahli keuangan yang dapat menjelaskan mengapa kedua peristiwa
tersebut dapat terjadi. Shiller (1986) sebagaimana dijelaskan dalam Asri (2003)
kemudian menyebarkan kuesioner kepada 175 investor institusional dan 125 investor
individual di Amerika Serikat. Pertanyaannya mengenai alasan mengapa mereka
menjual saham pada periode crash tersebut. Dari 113 balasan yang diterima, hanya 3
responden yang jawabannya mengacu pada economics and financial news and rumors.
Sisanya (110 orang) menjawab bahwa mereka melakukan aksi jual karena harga saham
di pasar berjatuhan dan investor lain juga menjual. Shiller menyimpulkan bahwa
tindakan para investor yang tidak terkendali tersebut dilatarbelakangi oleh faktorfaktor psikologis seperti ketakutan (fear), ketamakan (greed), dan kepanikan (madness).
Penyimpangan terhadap asumsi rasionalitas ini mengakibatkan makin besarnya
ketidaksesuaian antara pendapat para akademisi dengan para praktisi. Kalangan
akademisi memandang kasus di pasar modal sebagai persoalan yang bersifat
deterministik, yang membuat mereka lebih terikat pada pemodelan matematika,
statistika, dan ekonometrika sehingga mengabaikan faktor behavior yang bersifat
stokastik.
Teori Keuangan Keperilakuan (Behavioral Finance)
Behavioral finance secara gamblang dapat diartikan sebagai aplikasi ilmu psikologi
dalam disiplin ilmu keuangan (Pompian, 2006). Teori ini mulai berkembang pada tahun
1950an, di mana Burrell (1951) dan Bauman (1967) pada saat itu telah mulai
memasukkan unsur psikologi dalam penelitian mereka. Sementara itu, Slovic (1969,
1972) telah menulis artikel mengenai proses pengambilan keputusan investasi ditinjau
dari perspektif behavioral.
Dalam memahami teori keuangan keperilakuan (behavior finance) perlu dipahami
terlebih dahulu siapa investor itu sebenarnya. Menurut beberapa ahli keuangan yang
tergabung dalam Bailard, Biehl & Kaiser (sebuah lembaga investasi di California,
Amerika Serikat) menyatakan bahwa pada dasarnya investor di pasar modal dapat
dikategorikan menjadi lima model (the five-ways model) yaitu petualang (adventures),
celebrities, individualists, guardians, dan straight arrows (Pompian, 2006; Asri, 2003).
4
Para petualang (adventures) biasanya tidak peduli pada risiko bahkan menyukainya
(risk takers) sehingga membuat mereka cenderung mengabaikan nasihat financial
advisors. Celebrities merupakan kelompok investor yang terkesan ingin tampak
menonjol dan menjadi pusat perhatian di pasar modal. Kecenderungan ingin tampil ini
membuat mereka tidak terlalu memperhitungkan untung rugi dari suatu investasi
asalkan aktivitas trading mereka diketahui banyak orang. Apabila kedua jenis investor
ini mendominasi pasar, maka pasar akan jauh dari rasional.
Individualists merupakan kelompok investor yang lebih suka bekerja sendiri dan tidak
peduli terhadap keputusan investasi orang lain. Guardians beranggotakan pemodalpemodal yang lebih berpengalaman, yang pengetahuannya relatif lebih luas. Karena
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki ini, mereka cenderung akan lebih berhatihati dalam mengambil keputusan investasi. Secara umum, ke dua jenis investor ini
memenuhi asumsi rasionalitas dalam teori keuangan standar. Kategori terakhir adalah
straight arrows, di mana kelompok ini terkadang bersifat risk averse, namun di lain
waktu bisa bersifat risk-takers, sehingga kelompok ini tidak dapat dikategorikan ke
dalam empat kelompok sebelumnya..
Selain memahami beberapa kelompok investor, perlu dipahami juga karakteristik yang
sering terjadi pada investor seperti heuristic dealing terhadap informasi, overconfidence,
dan psychology of sending messages (Fromlet, 2001; Shiller, 2000; Nitsch, 1999, dan
Goldberg, 1999 yang dikutip dalam Asri, 2003; serta Kahneman dan Tversky, 1979).
Heuristic dealing terhadap informasi merupakan suatu tindakan untuk mengartikan
suatu informasi secara cepat dan (diharapkan) tepat, dengan mengandalkan sejumlah
pengalaman (kognitif) dan instuisi (afektif) yang dimikili investor. Overconfidence
merupakan rasa percaya diri yang berlebihan, di mana seorang investor merasa sudah
sangat piawai dalam melakukan trading saham padahal baru beberapa kali
mendapatkan capital gain dari hasil trading-nya. Sementara itu, psychology of sending
messages dapat diartikan sebagai perbedaan respon antar investor dalam
menerjemahkan suatu berita.
Dengan
demikian,
selain
menggunakan
”rasio”,
investor
juga
sering
menggunakan ”emosi” dalam mengambil keputusan investasi. Keduanya ”bekerjasama”
dalam membentuk reaksi jangka pendek maupun perilaku jangka panjang manusia, di
mana pada saat-saat tertentu rasio yang akan lebih mendominasi investor dalam
mengambil keputusan investasi, sebaliknya pada kondisi lain kemungkinan emosi yang
akan lebih mendominasi. Untuk menjelaskan emosi, Elster (1998) menunjukkan
beberapa faktor yang dapat memicu emosi manusia seperti faktor keyakinan (beliefs),
intentional objects, ekspresi fisiologis, kecenderungan untuk bertindak (reaksi), serta
gejala fisiologis seseorang.
Beliefs merupakan keyakinan akan ”sesuatu”, misalnya investor memutuskan untuk
membeli saham PT. WNY karena dia merasa yakin saham tersebut akan memberikan
keuntungan padanya. Intentional objects menjelaskan keterkaitan emosi dengan objek
tertentu (orang, barang, atau keadaan). Emosi seseorang dapat ”meningkat” apabila
melihat keberhasilan orang (investor) lain, sehingga akan berusaha untuk menyaingi
keberhasilan orang tersebut. Ekspresi fisiologis dapat tercermin melalui perilaku
seseorang ketika merespon ”sesuatu” misalnya dengan melompat, tertawa, atau bahkan
menangis (Frijda, 1986 dalam Elster, 1998). Emosi juga sering dikaitkan dengan
kecenderungan seseorang (investor) untuk bertindak (reaksi). Beberapa elemen emosi
5
yang sering memengaruhi seseorang untuk melakukan ”sesuatu” seperti rasa marah,
menyesal, takut, gembira, bahkan cinta, yang kesemuanya akan berakibat pada
perubahan mood seseorang.
Penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan bahwa behavioral finance dikembangkan
untuk melengkapi teori keuangan standar yang cenderung mengabaikan faktor
psikologi investor. Behavioral finance mencoba menjelaskan ”bias psikologis” yang tidak
dapat dijelaskan dalam teori keuangan standar. Dengan dimasukkannya faktor psikologi
dalam penelitian-penelitian keuangan, diharapkan hasil penelitian ke depan tidak lagi
sekedar menjawab pertanyaan “what” saja, tetapi juga mampu menjawab pertanyaan
“why.”
Myopic Loss Aversion (MLA)
Teori portofolio investasi menyatakan bahwa tingkat pengembalian yang diharapkan
(expected return) dan risiko (risk) merupakan dua kondisi yang berbanding lurus. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengembalian yang diharapkan oleh
seorang investor, maka semakin tinggi juga kemungkinan tingkat risiko yang akan
dihadapinya. Karena adanya faktor risiko yang melekat dalam setiap unit expected
return yang diharapkan, maka seorang investor perlu melakukan analisis secara
komprehensif sebelum mengambil suatu keputusan investasi. Dengan demikian,
keputusan investasi pada akhirnya akan sangat tergantung pada kemampuan
menganalisis serta keberanian dari pemodal itu sendiri.
Pilihan untuk berinvestasi pada asset yang lebih aman dengan mengabaikan tingkat
return yang lebih tinggi merupakan fenomena dalam pasar modal yang sangat sulit
dijelaskan dengan model ekonomi dan menjadi teka-teki bagi para peneliti hingga saat
ini. Oleh karena itu, dalam teori keuangan, the equity risk premium sering juga disebut
sebagai the equity premium puzzle (Siegel dan Thaler, 1997). Mehra dan Prescott (1985)
mencoba menganalisis fenomena the equity premium puzzle tersebut dengan
menggunakan return saham dan obligasi. Temuan empiris mereka hanya menjelaskan
bahwa tingkat penghindaran risiko yang tinggi dapat digunakan untuk menjelaskan
mengapa kebanyakan investor memilih menyimpan obligasi. Selanjutnya, Benartzi dan
Thaler (1995) mengombinasikan dua konsep perilaku yaitu loss aversion (Kahneman
dan Tversky, 1979) dan mental accounting (Thaler, 1985) yang kemudian disebut
myopic loss aversion (MLA) untuk membangun landasan teoritis dalam mengobservasi
the equity premium puzzle.
Adanya derajat penghindaran risiko yang berbeda antara satu individu dengan individu
yang lain merupakan salah satu faktor perilaku yang dikemukakan oleh Kahneman dan
Tversky (1979) dalam teori prospek, yang kemudian disebut mereka sebagai loss
aversion. Seseorang dikatakan loss averse (Kahneman dan Tversky 1979: 279) apabila
dia tidak menyukai taruhan yang simetrik (50:50), serta tingkat penghindaran mereka
terhadap taruhan akan meningkat sesuai dengan peningkatan ukuran absolut
taruhannya. Lebih jauh Kahneman dan Tversky (1979) serta Starmer (2000)
menjelaskan bahwa, pengertian loss aversion adalah ekuivalen dengan fungsi utility, di
mana seseorang lebih khawatir dengan kerugian dari pada keuntungan. Thaler (1999)
menjelaskan bahwa secara umum individu akan merasa lebih ‘sakit’ pada saat
kehilangan seratus dollar dibandingkan kegembiraan pada saat memperoleh seratus
dollar. Selanjutnya Thaler (1999) menyarankan untuk mengurangi rasa ‘sakit’ tersebut
dengan cara mengombinasikannya dengan tingkat keuntungan yang lebih besar. Kajian
6
dari beberapa studi ini mengindikasikan bahwa loss aversion pada dasarnya mengacu
pada adanya perbedaan utilitas antara kerugian dan keuntungan terhadap suatu
taruhan yang memiliki ukuran absolut yang sama.
Mental accounting dikembangkan oleh profesor Richard Thaler dari Chicago University
(Pompian, 2006; Haigh and List, 2005). Mental accounting sendiri dapat diartikan
sebagai serangkaian tindakan kognitif dari para pelaku ekonomi dalam mengelola,
mengevaluasi, dan menjaga aktivitas keuangannya (Thaler, 1999). Di sisi lain, mental
accounting juga dapat diartikan sebagai sistem pencatatan dan peringkasan transaksi
bisnis dan keuangan dalam buku transaksi, kemudian menganalisis, melakukan
verifikasi, dan melaporkan hasilnya (Thaler, 1999). Lebih jauh, Pompian (2006)
menyatakan bahwa mental accounting mengacu pada aktivitas pengodean,
pengategorisasian, dan pengevaluasian keputusan keuangan.
Menurut Thaler (1999), mental accounting mencakup tiga komponen utama. Komponen
pertama menyangkut bagaimana suatu outcome dipersepsikan dan dijadikan sebagai
pengalaman, serta bagaimana membuat keputusan, dan setelah itu mengevaluasi
keputusan tersebut. Komponen kedua menyangkut aktivitas untuk merincikan suatu
account secara mendetil, misalnya untuk kelompok sumber-sumber maupun
penggunaan dana diberi label secara baik dan benar. Komponen terakhir meliputi
frekuensi suatu account dievaluasi. Semakin sering suatu account dievaluasi maka
seseorang akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan selanjutnya. Account
yang dievaluasi tersebut selanjutnya akan diseimbangkan kembali secara berkala. Lebih
jauh, Barberis dan Huang (2001) menyatakan bahwa mental accounting akan terjadi
apabila seseorang memikirkan dan mengevaluasi transaksi keuangan mereka secara
berkala.
Sejak dikemukakannya konsep loss aversion (Kahneman dan Tversky, 1979) yang
menyebutkan bahwa kerugian memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan
keuntungan, maka tingginya frekuensi evaluasi terhadap suatu investasi pada asset
berisiko akan mendorong tingkat ketidakpuasan investor yang semakin tinggi juga
(Haigh dan List, 2005). Sebaliknya frekuensi evaluasi yang semakin rendah
kemungkinan besar akan menyebabkan kinerja asset yang lebih berisiko lebih tinggi
dari pada kinerja asset yang kurang berisiko.
Dengan demikian frekuensi evaluasi yang semakin rendah akan mendorong investor
untuk mengalokasikan proporsi asset yang lebih besar pada investasi yang lebih
berisiko (misalnya saham) dibandingkan investasi yang kurang berisiko (misalnya
obligasi). Kondisi ini menunjukkan bahwa para investor akan mengalami myopic loss
aversion apabila mereka mengevaluasi hasi investasi mereka berupa keuntungan dan
kerugian secara terpisah pada saat mengonsumsi suatu informasi (Haigh dan List,
2005). Analisis inilah yang mendorong manager bank Hapoalim (salah satu perusahaan
reksadana terbesar di Israel) mengubah jangka waktu pemberian informasinya dari
satu bulan menjadi tiga bulan (Gneezy et al., 2003: 821).
Penelitian Gneezy dan Potters (1997) telah mengungkap adanya perbedaan perilaku
antara mahasiswa yang diberikan feedback secara frequent dan infrequent dalam
mengambil keputusan investasi. Penelitian tersebut menggunakan subyek mahasiswa
dengan diberikan perlakuan F (frequent) dan perlakuan I (infrequent) untuk melihat
konsistensi mereka terhadap teori MLA. Hasil eksperimen tersebut menunjukkan
adanya konsistensi para mahasiswa terhadap teori MLA dalam proses pengambilan
keputusan investasi berisiko. Hal ini tercermin dari perilaku mahasiswa yang
7
cenderung lebih berani mengambil risiko (ditunjukkan melalui lebih besarnya taruhan
mereka dalam setiap ronde eksperimen) pada saat diberikan perlakuan I dibandingkan
pada saat diberikan perlakuan F (Gneezy dan Potters, 1997). Penelitian Haigh dan List
(2005) juga menunjukkan adanya konsistensi para professional options and futures
traders dari CBOT terhadap teori MLA. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa
konsistensi para traders profesional terhadap teori MLA ternyata lebih besar
dibandingkan para mahasiswa.
Penelitian ini mencoba menguji kembali teori MLA dalam setting pasar modal Indonesia.
Untuk itu, peneliti menggunakan dua subjek eksperimen (kelompok berpengalaman
diwakili mahasiswa dan kelompok tidak berpengalaman diwakili investor saham) dalam
penelitian ini dan sekaligus memperhatikan faktor gender. Kajian literatur dan temuantemuan empiris dari penelitian terdahulu mendukung argumentasi penulis dalam
mengajukan dua hipotesis pertama untuk menguji teori MLA.
H1 :
H2:
Kelompok tidak berpengalaman lebih berani mengambil keputusan investasi
yang berisiko pada saat diberikan perlakuan infrequent (I) dibandingkan pada
saat diberikan perlakuan frequent (F).
Kelompok berpengalaman lebih berani mengambil keputusan investasi yang
berisiko pada saat diberikan perlakuan infrequent (I) dibandingkan pada saat
diberikan perlakuan frequent (F).
Penelitian ini juga mencoba mengungkap kemungkinan adanya perbedaan perilaku
antara kedua kelompok partisipan dalam proses pengambilan keputusan investasi
berisiko. Penelitian List (2002, 2003, 2004) menunjukkan terjadi pengurangan anomali
pasar dalam pengambilan keputusan investasi terutama pada kalangan pelaku ekonomi
yang memiliki pengalaman pasar. Temuan ini mempertegas pendapat bahwa
kemungkinan terdapat perbedaan perilaku antara kalangan professional
(berpengalaman) dengan kalangan nonprofessional (tidak berpengalaman) dalam
mengambil keputusan investasi berisiko (Haigh dan List, 2005).
Lebih jauh, Haigh dan List (2005) menyatakan bahwa kemungkinan akan terdapat
perubahan perilaku yang signifikan pada saat menggunakan kalangan professional
(berpengalaman) sebagai subjek eksperimen dibandingkan menggunakan mahasiswa
(seperti pada penelitian Gneezy dan Potters, 1997). Kajian tersebut mengindikasikan
bahwa penggunaan partisipan berupa kelompok tidak berpengalaman (misalnya
mahasiswa) untuk mewakili kelompok yang berpengalaman (misalnya investor saham)
dalam eksperimen dikhawatirkan memberikan hasil yang kurang optimal karena
kemungkinan mengandung sejumlah bias (Szalanski & Beach, 1984; Bonner &
Pennington, 1991; Frederick & Libby, 1986 dalam Haigh & List, 2005). Penjelasan
tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa perilaku para pelaku ekonomi
yang memiliki pengalaman pasar yang baik akan berbeda dengan perilaku para pelaku
ekonomi yang belum (tidak) memiliki pengalaman pasar yang baik. Perbedaan perilaku
tersebut diyakini penulis akan tercermin pada saat mereka mengambil keputusan
investasi berisiko. Argumentasi tersebut mendukung penulis dalam mengajukan dua
hipotesis berikut ini.
H3a:
Perilaku kelompok berpengalaman berbeda dengan perilaku kelompok tidak
berpengalaman dalam proses pengambilan keputusan investasi berisiko pada
saat diberikan perlakuan frequent ( F ).
8
H3b:
Perilaku kelompok berpengalaman berbeda dengan perilaku kelompok tidak
berpengalaman dalam proses pengambilan keputusan investasi berisiko pada
saat diberikan perlakuan infrequent ( I ).
Perbedaan derajat penghindaran risiko menurut para peneliti juga dipengaruhi oleh
faktor lain seperti faktor gender. Beberapa temuan empiris mengenai derajat
penghindaran risiko akibat faktor gender dilakukan oleh Cohn et al., (1975) serta
Watson dan McNaughton (2007). Temuan empiris mereka menunjukkan bahwa, secara
umum wanita memiliki derajat penghindaran risiko (risk averse) yang lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Sementara itu, Save-Soderbergh (2003) sebagimana dijelaskan
dalam Watson dan McNaughton (2007) menyatakan bahwa proporsi wanita yang
memilih berinvestasi pada superannuation-fund (sejenis dana pensiun) yang berisiko di
Swedia lebih kecil dibandingkan proporsi para pria.
Lebih jauh Felton et al., (2003) menyatakan bahwa setidaknya terdapat dua alasan
utama yang memengaruhi mengapa wanita memiliki tingkat risk averse yang lebih
tinggi dibandingkan pria. Alasan pertama karena perbedaan faktor biologi. Berdasarkan
penelitian Zuckerman (1994) yang dijelaskan dalam Watson dan McNaughton (2007)
menyatakan bahwa wanita memproduksi enzim monoamine-oxidase yang lebih tinggi
dibandingkan pria. Enzim ini menghalangi tingkat pencarian sensasi sekaligus
membatasi keleluasaan mereka pada saat akan mengambil keputusan yang berisiko.
Alasan kedua menyangkut aspek sociocultural yang membuat pria lebih berani dalam
mengambil keputusan yang lebih berisiko. Byrnes (1998) menyatakan bahwa anak
gadis cenderung dimonitor lebih ketat oleh orang tuanya pada waktu kecil
dibandingkan anak laki-laki sehingga sewaktu dia menginjak dewasa keberaniannya
dalam mengambil keputusan risiko menjadi lebih rendah. Berdasar temuan-temuan
empiris tersebut, diyakini bahwa faktor gender secara tidak langsung akan
memengaruhi individu dalam mengambil keputusan investasi berisiko sehingga perlu
mendapat perhatian khusus agar tidak menimbulkan bias pada hasil eksperimen.
Argumentasi tersebut mendukung penulis untuk mengajukan empat hipotesis terakhir
dalam penelitian ini.
H4a:
H4b:
H4c:
H4d:
Pada kelompok berpengalaman, laki-laki memiliki tingkat risk-averse yang lebih
rendah dibandingkan perempuan pada saat diberikan perlakuan F.
Pada kelompok berpengalaman, laki-laki memiliki tingkat risk-averse yang lebih
rendah dibandingkan perempuan pada saat diberikan perlakuan I.
Pada kelompok tidak berpengalaman, laki-laki memiliki tingkat risk-averse yang
lebih rendah dibandingkan perempuan pada saat diberikan perlakuan F.
Pada kelompok tidak berpengalaman, laki-laki memiliki tingkat risk-averse yang
lebih rendah dibandingkan perempuan pada saat diberikan perlakuan I.
Metoda Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang mencoba menguji kembali teori
MLA (kuantitatif konfirmatori), dan bersifat eksplanatori. Faktor yang dimanipulasi di
sini adalah faktor penyebab (variabel bebas) yaitu myopic loss aversion, sedangkan yang
menjadi faktor akibat adalah variabel terikatnya, yaitu pengambilan keputusan
investasi yang berisiko. Peneliti melakukan manipulasi terhadap empat kondisi
eksperimen menggunakan desain campuran within-between subject dengan matrik 2 x 2,
(dua kelompok partisipan: berpengalaman (diwakili investor saham) dan tidak
9
berpengalaman (diwakili mahasiswa), dan dua jenis perlakuan:
infrequent).
frequent dan
Populasi dalam eksperimen ini adalah seluruh mahasiswa S-1 jurusan Manajemen pada
salah satu perguruan tinggi di Pontianak yang telah lulus mata kuliah Manajemen
Keuangan serta seluruh investor saham yang tergabung pada beberapa perusahaan
sekuritas di Kalimantan Barat. Penentuan subjek eksperimen didasarkan pada kriteria
tertentu dengan tujuan agar kelompok yang dipilih matching satu sama lain sehingga
memenuhi kriteria dalam penelitian eksperimen.
Untuk kelompok tidak berpengalaman, kriteria yang diberikan adalah: (1) merupakan
mahasiswa aktif jurusan Manajemen kelas reguler yang telah lulus mata kuliah
Manajemen Keuangan, dan (2) belum pernah mengikuti simulasi atau memiliki
pengalaman trading saham, option, index dan derivatif lainnya pada perusahaan
sekuritas manapun juga, serta belum pernah bergabung dalam investor-club apapun
juga. Sedangkan untuk keompok berpengalaman, kriteria yang diberikan adalah: (1)
merupakan investor aktif yang tercatat pada perusahaan sekuritas di Kalimantan Barat,
dan (2) Memiliki pengalaman trading saham minimal satu (1) tahun.
Jumlah sampel untuk masing-masing kelompok partisipan meliputi 40 orang yang
terdiri atas 20 orang perempuan dan 20 orang laki-laki. Jumlah subjek eksperimen
sebanyak 80 orang ini (40 orang per sel) dianggap cukup karena sesuai dengan
rekomendasi Myer dan Hansen (2001) bahwa subjek eksperimen setidaknya terdiri
atas 15- 20 orang untuk setiap kelompok perlakuan. Karakteristik para partisipan
dalam eksperimen ini dapat dilihat pada tabel satu.
Tabel 1. Karakteristik Partisipan
Karakteristik
1. Gender
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
2. Umur
Kurang dari 21 tahun
21 s.d. 30 tahun
Di atas 30 tahun
Jumlah
3. Pengalaman Trading
1 bulan s.d. 12 bulan
13 bulan s.d. 24 bulan
Lebih dari 2 tahun
Jumlah
Kelompok
Berpengalaman
Jumlah
Persen (%)
Kelompok Tidak
Berpengalaman
Jumlah
Persen (%)
20
20
40
50
50
100
20
20
40
50
50
100
0
11
29
40
0
27,50
72,50
100
37
3
0
40
92,50
7,50
0
100
0
9
31
40
0
22,5
77,5
100
0
0
0
0
0
0
0
0
Teknik eksperimen dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Gneezy dan Potters
(1997) serta Haigh dan List (2005) dengan mengadakan sejumlah modifikasi. Perlakuan
yang diberikan dibagi menjadi dua, yaitu perlakuan F (evaluasi hasil trading dilakukan
secara berkala/per ronde) dan perlakuan I (evaluasi hasil trading dilakukan dalam
perioda waktu yang lebih panjang/per tiga ronde). Para partisipan diberikan modal
awal sebesar 100 unit pada setiap awal ronde.
10
Pada perlakuan F, subjek diberikan sembilan (9) ronde trading yang masing-masing
ronde mempertaruhkan 100 unit modal dengan kurs yang berbeda antara kedua
kelompok partisipan. Besarnya kurs untuk kelompok tidak berpengalaman adalah (1:1),
artinya seratus ribu Rupiah berbanding satu unit, sedangkan untuk kelompok
berpengalaman sebesar (2:1) atau dua ratus ribu Rupiah berbanding satu unit.
Perbedaan ini mempertimbangkan adanya return yang telah diperoleh para investor di
bursa saham (Haigh dan List, 2005). Menang kalahnya partisipan ditentukan oleh
ketepatan memilih abjad yang akan ditampilkan (X, Y, dan Z).
Partisipan dikatakan menang apabila abjad yang dipilih (X, Y, atau Z) sama dengan
abjad yang ditampilkan. Dengan demikian probabilitas kemenangan partisipan adalah
satu pertiga (atau 33 persen), sedangkan probabilitas kekalahannya adalah dua pertiga
(atau 67 persen). Apabila partisipan kalah (abjad yang dipilih tidak sesuai dengan abjad
yang ditampilkan) maka partisipan akan kehilangan seluruh taruhannya (antara nol
unit sampai seratus unit), tetapi apabila abjad yang dipilih sesuai dengan abjad yang
ditampilkan maka partisipan dinyatakan menang dan berhak memperoleh dua setengah
kali (2,5) dari jumlah taruhannya. Pada bagian akhir setiap ronde para partisipan wajib
menghitung dan mencatat hasil trading-nya pada kertas yang disediakan, dan
dilanjutkan terus sampai ronde ke sembilan.
Pada perlakuan I, para partisipan hanya dapat mengevaluasi hasil trading mereka per
tiga ronde (satu blok trading). Di sini para partisipan akan diberikan tiga blok trading di
mana masing-masing blok terdiri atas tiga ronde trading. Pada awal masing-masing
ronde, setiap partisipan akan diberikan modal awal sebesar 100 unit dengan kurs yang
berbeda antara kelompok tidak berpengalaman dan kelompok berpengalaman.
Perbedaan utama dalam perlakuan I adalah para partisipan diwajibkan memberikan
taruhan per tiga ronde (satu blok trading) secara bersamaan.
Evaluasi menang kalahnya partisipan akan dilakukan pada setiap akhir blok trading,
yang berarti peneliti akan menampilkan tiga abjad berturut-turut untuk masing-masing
ronde dalam satu blok. Misalnya pada blok satu, partisipan akan memutuskan untuk
memberikan sejumlah taruhan pada ronde 1, 2, dan 3 secara bersamaan. Setelah semua
partisipan memberikan taruhannya maka pada akhir blok satu (akhir ronde ke tiga)
akan ditampilkan tiga abjad, di mana abjad pertama untuk ronde satu, abjad kedua
untuk ronde dua, dan abjad ketiga untuk ronde tiga secara bergantian. Setelah itu
partisipan baru mengalkulasi hasil taruhannya (menang atau kalah) pada blok satu
tersebut. Hal ini akan berlangsung sama pada blok dua (ronde 4-6), dan blok tiga (ronde
7-9). Aturan menang/kalah yang diberlakukan dalam perlakuan I sama dengan aturan
menang/kalah pada perlakuan F.
Pada perlakuan F tiap ronde diberikan waktu selama 2 menit sehingga total waktu yang
diperlukan diperkirakan sekitar 30 menit (termasuk waktu yang diperlukan untuk
mengalkulasi hasil trading). Sementara itu, pada perlakuan I, waktu yang diberikan
lebih lama yaitu sekitar 10 menit untuk tiap blok trading dengan total waktu yang
diperkirakan sekitar 45 menit (termasuk waktu yang diperlukan untuk mengalkulasi
hasil trading). Waktu eksperimen untuk kedua perlakuan ini dirancang kurang dari satu
jam guna menghindari kebosanan, selain itu eksperimen dilakukan pada pagi hari untuk
menjaga kesegaran partisipan. Untuk meminimalisir efek interaksi dan pembelajaran
para partisipan, eksperimen akan dibagi ke dalam empat sesi waktu yang berbeda.
11
Asumsi dasar dalam analisis multivariate adalah normalitas (Hair et al., 2010). Hasil uji
statistik dikatakan akan lebih baik (tidak terdegradasi) jika sampel observasi
berdistribusi normal. Dengan demikian, sebelum menganalisis data, terlebih dahulu
akan dilakukan uji normalitas terhadap sampel observasi. Hasil pengujian tersebut
selanjutnya digunakan untuk menentukan jenis statistika dan alat analisis yang akan
digunakan. Uji normalitas dalam penelitian ini meliputi uji shapiro-wilk , uji liliefors
(kolmogorov-smirnov), dan uji jarque-bera (JB-test).
Pengujian teori MLA (desain within-subject) direncanakan menggunakan paired-samples
t-test. Sementara itu, untuk menguji kemungkinan adanya perbedaan perilaku (yang
tercermin dari besarnya jumlah taruhan) (desain between-subject) digunakan
independent-samples t-test. Selanjutnya, untuk menguji pengaruh variabel gender pada
masing-masing kelompok partisipan digunakan statistika nonparametrik dengan mannwhitney statistical test. Dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan bantuan
software SPSS dan Eviews.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tabel dua menyajikan hasil uji normalitas pada sampel observasi yang digunakan dalam
penelitian ini. Berdasar tabel tersebut, secara umum asumsi normalitas telah terpenuhi
untuk ke empat kelompok perlakuan, baik menggunakan metoda liliefors, shapiro-wilk,
maupun JB-test, dengan nilai sig. di atas 0,05. Dengan demikian analisis statistik
berikutnya untuk menguji teori MLA dapat dilakukan, yang secara rinci dapat dilihat
pada tabel tiga.
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas
Kelompok Partisipan
Tidak Berpengalaman
(Frequent)
Tidak Berpengalaman
(Infrequent)
Berpengalaman
(Frequent)
Berpengalaman
(Infrequent)
Liliefors
Statistik
Sig.
Shapiro-Wilk
Statistik
Sig.
Jarque-Bera
Statistik
Sig.
0,112
0,200
0,964
0,226
0,229
0,892
0,100
0,200
0,954
0,101
2,030
0,362
0,120
0,148
0,982
0,754
0,613
0,736
0,105
0,200
0,984
0,820
0,759
0,684
Tabel 3. Hasil Pengujian Teori MLA
Kelompok
Perlakuan
Tidak
Berpengalaman
Frequent
Infrequent
Frequent
Infrequent
Berpengalaman
Mean
(Unit)
55,464
64,553
48,125
72,956
Deviasi
Standar
Sig.
26,140
0,017
18,379
0,000
Tabel tiga menunjukkan bahwa rerata partisipan pada kelompok tidak berpengalaman
bertaruh sebesar 55,464 unit pada saat diberikan perlakuan F, sedangkan pada saat
diberikan perlakuan I keberanian mereka meningkat (rerata taruhan naik menjadi
64,553 unit). Kenyataan ini juga terjadi pada kelompok berpengalaman. Pada saat
diberikan perlakuan F, rerata taruhan mereka sekitar 48,125 unit, dan meningkat
drastis menjadi 72,956 unit pada saat diberikan perlakuan I. Dari hasil uji-t sampel
berpasangan terlihat bahwa nilai signifikansi bermakna secara statistik pada tingkat
12
lima persen (0,017) untuk kelompok tidak berpengalaman dan satu persen (0,000)
untuk kelompok berpengalaman. Hasil uji statistik tersebut secara umum menunjukkan
dukungan terhadap hipotesis satu dan dua.
Kedua kelompok partisipan pada tabel-3 menunjukkan konsistensi terhadap teori MLA
pada saat mengambil keputusan investasi yang berisiko. Temuan ini sekaligus
mengindikasikan bahwa kelompok berpengalaman menunjukkan konsistensi yang lebih
tinggi terhadap teori MLA dibandingkan kelompok tidak berpengalaman. Hal ini
tercermin dari lebih kecilnya rerata taruhan para partisipan pada kelompok
berpengalaman (48,125 unit) pada saat diberikan perlakuan F dan lebih besarnya
taruhan mereka (72,956 unit) pada saat diberikan perlakuan I dibandingkan para
partisipan pada kelompok tidak berpengalaman.
Adanya perbedaan tingkat signifikansi antara kelompok tidak berpengalaman (lima
persen) dengan kelompok berpengalaman (satu persen) perlu dieksplorasi lebih jauh.
Untuk itu, dilakukan simulasi dengan membagi hasil eksperimen kedua kelompok
partisipan pada perlakuan F ke dalam tiga blok trading sesuai dengan model perlakuan I.
Blok satu terdiri atas rerata trading pada ronde 1-3; blok dua terdiri atas rerata trading
pada ronde 4-6; sedangkan blok tiga terdiri atas rerata trading pada ronde 7-9.
Setelah ditabulasi per blok, selanjutnya dilakukan uji paired-samples t-test untuk
melihat di mana letak perbedaan perilaku yang menjadi pemicu perbedaan tingkat
signifikansi kedua kelompok partisipan tersebut. Adapun hasil pengujian statistik pada
masing-masing blok trading dapat dilihat pada tabel empat.
Tabel 4. Hasil Pengujian Antar Perlakuan Per-Blok Trading
Kelompok
Tidak
Berpengalaman
Berpengalaman
Perlakuan
Blok
Frequent
Infrequent
Frequent
Infrequent
Frequent
Infrequent
Frequent
Infrequent
Frequent
Infrequent
Frequent
Infrequent
1
1
2
2
3
3
1
1
2
2
3
3
Mean
(Unit)
57,075
60,742
55,425
62,692
53,892
70,225
48,616
72,317
47,008
72,583
48,750
73,967
Deviasi
Standar
Sig.
26,906
0,197
28,705
0,059
30,290
0,001
20,076
0,000
19,665
0,000
18,760
0,000
Berdasar tabel tersebut terlihat bahwa hasil pengujian pada blok satu dan blok dua
pada kelompok tidak berpengalaman ternyata tidak signifikan. Walaupun rerata nilai
trading secara absolut menunjukkan angka yang lebih besar pada saat diberikan
perlakuan I dari pada diberikan perlakuan F, namun secara statistik tingkat keberanian
para partisipan dalam proses pengambilan keputusan investasi berisiko untuk ke dua
jenis perlakuan tersebut ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Pada blok trading ke tiga, yaitu tiga ronde terakhir sebelum eksperimen selesai, terlihat
bahwa terjadi perubahan perilaku trading pada kelompok tidak berpengalaman. Pada
perlakuan F, para partisipan menunjukkan derajat penghindaran risiko yang semakin
besar di mana nilai rerata trading turun dari 57,075 unit pada blok satu menjadi 53,892
unit pada blok tiga. Sementara itu, pada perlakuan I terjadi perubahan perilaku yang
13
bertolak belakang di mana risk tolerance investor menjadi semakin besar pada tiga
ronde terakhir tersebut. Pada blok ke tiga ini, rerata nilai trading meningkat dari 60,742
unit pada blok satu menjadi 70,225 unit. Penurunan rerata nilai trading pada perlakuan
F dan peningkatan rerata nilai trading pada perlakuan I di blok ke tiga tersebut secara
statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan tingkat signifikansi satu
persen.
Perubahan perilaku para partisipan pada kelompok tidak berpengalaman di blok tiga
inilah yang membuat hasil analisis untuk hipotesis satu menjadi signifikan pada derajat
lima persen. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa para partisipan pada kelompok tidak
berpengalaman baru menunjukkan perubahan perilaku yang konsisten dengan teori
MLA menjelang tiga ronde terakhir sebelum eksperimen selesai.
Pada kelompok berpengalaman, signifikansi pada derajat satu persen terjadi pada
semua blok trading dan rerata nilai trading juga tidak menunjukkan fluktuasi yang
besar. Pada perlakuan F, rerata nilai trading pada blok satu, dua, dan tiga masingmasing 48,616 unit, 47,008 unit, dan 48,750 unit. Hal serupa juga terjadi pada
perlakuan I di mana pada blok trading satu, dua, dan tiga rerata nilai trading masingmasing menunjukkan angka sebesar 72,317 unit, 72,583 unit, dan 73,967 unit. Dengan
demikian konsistensi terhadap teori MLA pada kelompok berpengalaman sudah
ditunjukkan sejak awal permainan dengan derajat signifikansi yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok tidak berpengalaman. Hasil penelitian ini menunjukkan
dukungan terhadap hasil eksperimen dari Gneezy and Potters (1997) serta Haigh and
List (2005) mengenai teori MLA. Perbandingan hasil eksperimen pada penelitian ini
dengan ke dua penelitian MLA sebelumnya dapat dilihat pada gambar satu.
72
.9
6
F- 4
8.13
I-
74
.2
9
I-
F- 4
5.59
I- 6
4.5
5
I- 6
2.5
0
F55
.46
60.00
50
.89
80.00
F-
Rerata Taruhan
Perbandingan Hasil Eksperimen
Dengan Penelitian Terdahulu
40.00
20.00
0.00
Mhs-G&P
Mhs-Wd
Trdr-H&L
Invst-Wd
Partisipan dan Perlakuan
Gambar 1. Perbandingan Hasil Eksperimen dengan Penelitian Terdahulu
Keterangan:
Mhs-G&P
: Penelitian Gneezy and Potters (1997),
Trdr-H&L
: Penelitian Haigh and List (2005),
Mhs/Invst-Wd : Penelitian dalam artikel ini,
F/I
: Perlakuan Frequent dan perlakuan Infrequent.
Untuk menguji kemungkinan adanya perbedaan perilaku antara ke dua kelompok
partisipan, maka dibandingkan hasil trading pada kedua kelompok partisipan tersebut
(baik pada perlakuan F maupun perlakuan I), yang hasil pengujiannya disajikan pada
tabel lima.
14
Tabel 5. Pengujian Perilaku Trading Antar Kelompok Pertisipan
Deviasi
Perlakuan
Kelompok
Mean (Unit)
Sig.
Standar
Frequent
Infrequent
Tidak
Berpengalaman
Berpengalaman
Tidak
Berpengalaman
Berpengalaman
55,464
16,007
48,125
17,567
64,553
17,305
72,956
11,389
0,054
0,013
Berdasarkan hasil analisis pada tabel lima terlihat bahwa pada saat diberikan perlakuan
F kelompok tidak berpengalaman memiliki rerata nilai trading sebesar 55,464 unit.
Sementara itu, pada kelompok berpengalaman ternyata perlakuan F membuat mereka
lebih sensitif terhadap kerugian di mana rerata nilai trading berada di bawah rerata
nilai trading kelompok tidak berpengalaman (48,125 unit). Secara statistik perbedaan
tersebut hampir mendekati signifikansi sepuluh persen. Pada perlakuan I, rerata nilai
trading kelompok tidak berpengalaman menunjukkan angka sebesar 64,553 unit.
Sementara itu, pada kelompok berpengalaman ternyata rerata nilai trading mereka
menunjukkan angka yang jauh lebih besar (72,956 unit). Pengujian statistik
menunjukkan bahwa perbedaan rerata nilai trading kedua kelompok tersebut
bermakna pada derajat lima persen. Secara umum, analisis pada tabel-5 menunjukkan
bahwa perilaku kedua kelompok partisipan berbeda secara statistik dalam proses
pengambilan keputusan investasi berisiko baik pada saat diberikan perlakuan F
maupun I, yang sekaligus menunjukkan dukungan terhadap hipotesis tiga poin (a) dan
(b).
Untuk mengeksplorasi lebih jauh hasil pengujian ke dua hipotesis tersebut maka
dilakukan simulasi dengan membagi sembilan ronde trading pada perlakuan F ke dalam
tiga blok trading seperti pada perlakuan I. Setelah diperoleh rerata nilai trading per
blok, selanjutnya dilakukan pengujian independent-samples t-test yang hasilnya dapat
dilihat pada tabel enam.
Tabel 6. Hasil Pengujian Antar Kelompok Per-Blok Trading
Perlakuan
Frequent
Infrequent
Kelompok
Blok
Tidak Berpengalaman
Berpengalaman
Tidak Berpengalaman
Berpengalaman
Tidak Berpengalaman
Berpengalaman
Tidak Berpengalaman
Berpengalaman
Tidak Berpengalaman
Berpengalaman
Tidak Berpengalaman
Berpengalaman
1
1
2
2
3
3
1
1
2
2
3
3
Mean
(Unit)
57,075
48,617
55,425
47,008
53,892
48,750
60,742
72,317
62,692
72,583
70,225
73,967
Deviasi
Standar
15,079
18.856
16.879
18.021
17.116
17.615
21.270
11.755
21.235
11.393
19.365
12.910
Sig.
0.030
0,034
0,189
0,004
0,012
0,313
Berdasarkan hasil pengujian tersebut terlihat bahwa pada perlakuan F untuk blok satu
dan dua, ternyata hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan perilaku yang
bermakna antara kedua kelompok partisipan pada derajat signifikansi lima persen.
15
Akan tetapi pada blok trading ke tiga ternyata hasil uji statistik tidak lagi
memperlihatkan adanya perbedaan perilaku yang signifikan antara kedua kelompok
tersebut. Hal ini terjadi karena rerata nilai trading kelompok tidak berpengalaman terus
menunjukkan penurunan dari 57,075 unit dan 55,425 unit di blok satu dan dua
menjadi 53,892 unit pada blok ke tiga. Sementara itu, rarata hasil trading kelompok
tidak berpengalaman menunjukkan angka yang cukup stabil masing-masing 48,617
unit; 47,008 unit; dan 48,750 unit untuk masing-masing blok trading.
Tidak signifikannya uji statistik pada blok trading ke tiga tersebut akhirnya
memengaruhi pengujian secara menyeluruh untuk rerata hasil trading sembilan ronde
pada perlakuan F. Hal ini menyebabkan hasil uji statistik mendekati derajat signifikansi
sepuluh persen (lihat tabel-5). Tiga ronde terakhir membuat kelompok tidak
berpengalaman menjadi lebih konservatif dalam mengambil keputusan trading
sehingga mereka cenderung mempertahankan endowment yang dimiliki dengan cara
menurunkan nilai trading mereka.
Pada perlakuan I terlihat bahwa rerata nilai trading kelompok tidak berpengalaman
juga sangat fluktuatif. Pada blok trading pertama rerata nilai trading mereka sebesar
60,742 unit, namun pada blok ke dua dan ke tiga rerata nilai trading mereka meningkat
menjadi 62,692 unit dan 73,967 unit. Peningkatan terbesar terjadi pada blok trading
terakhir. Untuk kelompok berpengalaman, rerata nilai trading terlihat tidak banyak
mengalami perubahan (relatif stabil), hal ini ditunjukkan melalui besarnya rerata nilai
trading mereka per blok trading, yang masing-masing sebesar 72,317 unit, 72,583 unit,
dan 73,967 unit.
Perubahan perilaku kelompok tidak berpengalaman pada blok trading ke tiga
menyebabkan hasil uji statistik pada blok tersebut menjadi tidak signifikan. Analisis ini
menunjukkan bahwa pada blok trading ke tiga ternyata perilaku ke dua kelompok
partisipan tidak berbeda secara statistik. Meningkatnya rerata nilai trading kelompok
tidak berpengalaman pada blok tiga menunjukkan adanya perubahan perilaku yang
spontan, yang mungkin disebabkan oleh kekhawatiran akan segera berakhirnya
permainan. Kelompok tidak berpengalaman menunjukkan konsistensi terhadap teori
MLA pada blok trading ke tiga dengan memberikan jumlah taruhan yang lebih besar di
bandingkan dua blok trading sebelumnya, atau dengan kata lain terjadi peningkatan
derajat risk tolerance dari kelompok tidak berpengalaman pada blok trading terakhir
tersebut.
Hasil analisis ini sekaligus menunjukkan bahwa kelompok berpengalaman mengalami
myopic loss aversion selama eksperimen berlangsung mulai dari ronde pertama hingga
ronde ke sembilan. Hal ini tercermin dari relatif stabilnya rerata nilai trading mereka
pada setiap blok trading (untuk kedua jenis perlakuan). Sementara itu, kelompok tidak
berpengalaman menunjukkan perilaku yang agak berbeda. Konsistensi mereka
terhadap teori MLA baru terjadi pada beberapa ronde terakhir sebelum eksperimen
selesai yang tercermin melalui tajamnya fluktuasi rerata nilai trading mereka pada blok
trading ke tiga (untuk kedua jenis perlakuan). Temuan ini sekaligus mendukung
argumentasi Haigh and List (2005).
Faktor Gender
Beberapa temuan empiris menyatakan bahwa umumnya wanita memiliki derajat
penghindaran risiko yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Watson and McNaughton,
16
2007; Feltton et. al., 2003; Cohn et al., 1975; serta Riley and Chow, 1992). Melihat
kenyataan tersebut maka peneliti memberikan perhatian khusus terhadap variabel
gender dalam eksperimen ini.
Untuk menguji hipotesis apakah laki-laki lebih berani mengambil keputusan investasi
berisiko dibandingkan perempuan, maka dilakukan pengujian nonparametrik dengan
mann-whitney statistical test yang merupakan alternatif pengujian dari independentsamples t-test (Uyanto, 2006). Hasil pengujian nonparametrik disajikan pada tabel 7.
Tabel 7. Faktor Gender dalam Pengambilan Keputusan Investasi Berisiko
Perlakuan
( Kelompok )
Frequent
(Tidak Berpengalaman)
Infrequent
(Tidak Berpengalaman)
Frequent
(Berpengalaman)
Infrequent
(Berpengalaman)
Jenis Kelamin
N
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
20
20
20
20
20
20
20
20
Nilai Z
Sig.
-3,084
0,001
-1,894
0,029
-0,230
0,409
-0,555
0,290
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa pernyataan mengenai laki-laki lebih risk
taker dibandingkan perempuan hanya signifikan pada kelompok tidak berpengalaman
saja, baik pada perlakuan F maupun pada perlakuan I (mendukung hipotesis 4c dan 4d).
Sementara itu, pada kelompok berpengalaman ternyata partisipan laki-laki tidak
menunjukkan risk tolerance yang lebih besar dibandingkan partisipan perempuan pada
ke dua jenis perlakuan (hipotesis 4a dan 4b tidak terdukung).
Tidak signifikannya pengujian pada kelompok berpengalaman diduga diakibatkan oleh
variabel non-eksperimental lain selain gender. Benzion dan Yagil (2003) menemukan
adanya hubungan yang terbalik antara tingkat kekayaan dengan tingkat penghindaran
risiko. Menurut penelitian mereka, semakin tinggi tingkat kekayaan seseorang maka
semakin rendah tingkat penghindaran risiko mereka. Beberapa penelitian lain juga
menunjukkan hal yang serupa di mana dikatakan bahwa semakin rendah penghasilan
seseorang maka kencenderungan tingkat penghindaran risikonya semakin besar
(Bajtelsmit dan Vanderhei, 1997; Hinz et al., 1997 dalam Watson dan McNaughton,
2007).
Jaggia dan Thosar (2000) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara faktor
usia dengan tingkat keberanian mengambil risiko. Temuan empiris ini juga didukung
oleh Watson dan McNaughton (2007) yang menunjukkan bahwa usia yang relatif
semakin dewasa/tua akan membuat investor cenderung memilih jenis investasi yang
kurang berisiko, demikian juga sebaliknya.
Hasil penelitian Riley dan Chow (1992) menunjukkan bahwa investor yang memiliki
tingkat pendidikan formal yang lebih rendah umumnya akan memilih jenis investasi
yang lebih konservatif walaupun tingkat penghasilan mereka sebanding dengan investor
yang memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini juga
didukung oleh penelitian Dwyer et al., (2001) yang menyatakan bahwa pengontrolan
terhadap tingkat pendidikan investor menunjukkan pengaruh yang semakin rendah
terhadap pemilihan jenis investasi yang berisiko.
17
Beberapa temuan empiris tersebut menunjukkan bahwa faktor gender bukanlah satusatunya variabel non-eksperimental yang memengaruhi proses pengambilan keputusan
investasi berisiko seseorang. Beberapa variabel non-eksperimental lain seperti tingkat
penghasilan, usia, serta tingkat pendidikan secara tidak langsung juga turut
memengaruhi individu dalam mengambil keputusan investasi berisiko. Beberapa
variabel tersebut belum dikontrol dalam eksperimen ini sehingga kemungkinan besar
tidak signifikannya pengujian pada kelompok berpengalaman dipengaruhi oleh
beberapa variabel non-eksperimental tersebut.
Analisis ini menjadi semakin kuat ketika melihat signifikannya hasil pengujian pada
kelompok tidak berpengalaman. Kelompok tidak berpengalaman merupakan
mahasiswa S-1 kelas reguler yang rerata memiliki tingkat usia yang sama. Selain itu
mereka juga belum memiliki penghasilan yang besar karena umumnya mereka tidak
bekerja (kalaupun ada mungkin hanya sekedar part-time saja) karena harus menempuh
perkuliahan pada pagi dan siang hari (bahkan terkadang sampai sore hari). Karena
kelompok tersebut di pilih dari mahasiswa S-1 pada jurusan yang sama, maka tingkat
pendidikan formal mereka juga homogen. Dengan demikian pengunaan sampel
mahasiswa ini secara tidak langsung telah mengontrol beberapa variabel noneksperimental lain seperti usia, tingkat penghasilan, dan tingkat pendidikan formal.
Homogenitas inilah yang diduga menjadi penyebab signifikannya hasil pengujian pada
kelompok tidak berpengalaman. Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa gender
bukanlah satu-satunya variabel non-eksperimental yang perlu diperhatikan dalam riset
yang berhubungan dengan risk-averse investor. Rerata nilai trading antara partisipan
laki-laki dengan partisipan perempuan pada kedua kelompok partisipan disajikan pada
gambar dua.
1
-7
2.
11
P
L
-4
7.
98
8.
26
1
-4
L
9
7
-6
0.
06
P
39
L
-6
L
-6
-7
9.
03
9
P
50.000
-4
8.0
60.000
P
Rerata Taruhan
70.000
2.
88
9
80.000
3.
80
0
FAKTOR GENDER DALAM PENGAMBILAN
KEPUTUSAN INVESTASI BERISIKO
40.000
30.000
20.000
10.000
0.000
F-Mhs
I-Mhs
F-Invstr
I-Invstr
Kelompok Partisipan
Gambar 2. Faktor Gender Dalam Pengambilan Keputusan Investasi Berisiko
Efek Kejutan
Barberis dan Huang (2001) menyatakan bahwa loss aversion akan terjadi ketika
seseorang menjadi lebih sensitif terhadap kerugian daripada keuntungan. Temuan
empiris mereka menunjukkan bahwa apabila seseorang mengalami kerugian setelah
sebelumnya menikmati keuntungan maka rasa ‘sakit’ yang ditimbulkan akibat kerugian
tersebut menjadi lebih kecil. Rasa ‘sakit’ akan lebih terasa apabila seseorang menderita
18
kerugian di saat pertama kali bertransaksi, sehingga kejadian tersebut akan membuat
mereka menjadi lebih sensitif terhadap transaksi berikutnya. Hal ini menunjukkan
bahwa, secara psikologis mereka terpengaruh oleh kerugian yang ditimbulkan oleh
transaksi pertama. Temuan empiris ini mendukung pendapat Thaler dan Johnson
(1990) sebagaimana dijelaskan dalam Thaler (1999) mengenai eksperimen mahasiswa
MBA (lihat Thaler, 1999).
Untuk menganalis temuan Barberis dan Huang (2001), dilakukan analisis secara rinci
terhadap perilaku para partisipan yang mengalami kekalahan dan kemenangan pada
ronde pertama. Peneliti mencoba memisahkan partisipan pada kelompok tidak
berpengalaman dan kelompok berpengalaman yang mengalami kemenangan dan
kekalahan pada ronde pertama khusus pada perlakuan frequent saja. Hal ini terjadi
karena pada perlakuan I, transaksi dilakukan per tiga ronde (satu blok trading)
sehingga kemungkinan besar para partisipan akan mengalami kemenangan sekaligus
kekalahan dalam blok trading pertama.
Dari identifikasi per partisipan per kelompok, diperoleh 26 partisipan pada kelompok
tidak berpengalaman mengalami kekalahan di ronde pertama, sementara sisanya 14
orang mengalami kemenangan. Sedangkan pada kelompok berpengalaman, sebanyak
25 partisipan mengalami kekalahan dan 15 partisipan mengalami kemenangan pada
ronde pertama. Rerata nilai trading dari hasil pemisahan partisipan yang menang dan
yang kalah pada perlakuan frequent di ronde pertama di sajikan pada gambar tiga.
Pada gambar tersebut, para partisipan menunjukkan perilaku sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Barberis dan Huang (2001). Para partisipan yang mengalami
kekalahan pada ronde pertama umumnya menurunkan nilai trading mereka pada ronde
ke dua, sementara para partisipan yang menang pada ronde pertama cenderung
meningkatkan nilai trading mereka pada ronde ke dua.
PERILAKU PARTISIPAN SETELAH MENGHADAPI
KEMENANGAN/KEKALAHAN PADA RONDE PERTAMA
50.00
R
.2
-4
.79
.93
62
52
2R.
.27
16
5.
6
R.
2-
.23
8.3
44
52
5
1R.
R.
1-
2R.
6.
72
4
-5
0.0
.1
60.00
6
1R.
R
R er a t a T a r u h a n
70.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
F-Mhs (K)
F-Invst (K)
F-Mhs (M)
F-Invst (M)
Kelompok Partisipan
Gambar 3. Perilaku Partisipan Setelah Menghadapi Kemenangan/Kekalahan Pada Ronde Pertama
Keterangan
R.1 / R.2
:
F-Mhs / F-Invst :
M/K
:
:
Ronde pertama / ronde ke dua
Perlakuan F (kelompok mahasiswa) dan perlakuan F (kelompok investor)
Menang / Kalah
Para partisipan pada kelompok tidak berpengalaman yang mengalami kekalahan pada
ronde pertama (F-Mhs (K)) umumnya menurunkan rerata nilai trading mereka pada
ronde ke dua. Rerata nilai trading mereka pada ronde pertama sebesar 60,04 unit,
19
tetapi setelah mengalami kekalahan pada ronde pertama, rerata nilai trading mereka
menurun menjadi 52,23 unit atau turun sekitar 7,81 unit. Hal serupa juga terjadi pada
kelompok berpengalaman. Rerata nilai trading mereka pada ronde pertama sebesar
56,72 unit, tetapi setelah mengalami kekalahan pada ronde pertama, rerata nilai trading
mereka turun menjadi 45,16 unit atau turun sebesar 11,56 unit. Penurunan tersebut
lebih tinggi dari pada penurunan pada kelompok tidak berpengalaman (sekitar 3,75
unit).
Kejadian lain terjadi pada partisipan yang mengalami kemenangan pada ronde pertama.
Pada kelompok tidak berpengalaman, rerata nilai trading mereka sebesar 58,36 unit,
namun pada saat mereka mengalami kemenangan pada ronde pertama, rerata nilai
trading mereka meningkat menjadi 62,79 unit atau naik sebesar 4,43 unit. sementara
itu, pada kelompok berpengalaman, rerata nilai trading pada ronde pertama
menunjukkan angka sebesar 44,27 unit, namun setelah mengalami kemenangan di
ronde pertama, rerata nilai trading mereka meningkat menjadi 52,93 unit atau
meningkat sebesar 8,66 unit. Peningkatan tersebut lebih tinggi dari pada peningkatan
pada kelompok tidak berpengalaman yaitu sekitar 4,23 unit.
Hal ini terjadi karena secara psikologi para partisipan terpengaruh oleh kerugian/
(kemenangan) yang ditimbulkan di awal transaksi sehingga mendorong mereka untuk
menurunkan/(meningkatkan) nilai trading mereka pada transaksi berikutnya. Kerugian
dan kemenangan tersebut memberikan ‘efek kejutan’ kepada para partisipan sehingga
memengaruhi psikologi mereka. Temuan ini secara tidak langsung juga mendukung
pendapat Thaler dan Johnson (1990) dalam Thaler (1999: 198).
Hasil analisis ini secara tidak langsung juga menunjukkan konsistensi terhadap teori
loss aversion dari Kahneman dan Tversky (1979) sekaligus mendukung penelitian
Barberis dan Huang (2001). Para partisipan menunjukkan sensitifitas yang lebih tinggi
terhadap kerugian dari pada keuntungan. Pada saat mengalami kerugian, mereka
cenderung mengambil keputusan investasi yang lebih konservatif dengan menurunkan
nilai investasi mereka (kelompok berpengalaman menurunkan rerata nilai tradingnya
sebesar 7,81 unit, sementara kelompok berpengalaman menurunkan rerata nilai
tradingnya sebesar 11,57 unit). sementara itu, pada saat mengalami kemenangan,
peningkatan nilai trading tidak sebesar penurunan nilai investasi mereka pada saat
mengalami kekalahan. Pada kelompok tidak berpengalaman, rerata nilai trading
meningkat sebesar 4,43 unit, sedangkan pada kelompok berpengalaman rerata nilai
trading meningkat sebesar 8,66 unit. Hasil analisis ini sekaligus mempertegas teori loss
aversion mengenai adanya pemberian nilai timbang (bobot) yang berbeda antara
kerugian dan keuntungan.
Analisis pada ronde-ronde berikutnya tidak lagi dilakukan karena akumulasi permainan
selama beberapa ronde memungkinkan terjadinya kemenangan dan kekalahan
sehingga para partisipan tidak lagi mengalami ‘efek kejutan’. Hal ini sejalan dengan apa
yang diungkapkan oleh Kahneman dan Tversky (1979) mengenai faktor heuristic
dealing terhadap informasi. Heuristic dealing sering terjadi pada investor yang baru
pertama kali menghadapi suatu informasi (Kahneman dan Tversky, 1979), namun
setelah investor menghadapi beberapa kejadian yang hampir sama maka pengaruh
heuristic dealing menjadi berkurang. Pendapat tersebut dibenarkan oleh Asri (2003)
dengan memberikan contoh mengenai ledakan bom di hotel J.W. Mariot Jakarta tahun
2003. Pada saat ledakan tersebut terjadi, IHSG malah naik menembus angka Rp. 600,00.
20
Hal ini terjadi karena ledakan bom tersebut merupakan ledakan kesekian kalinya
setelah Jakarta dan beberapa kota besar lain di Indonesia dilanda rentetan ledakan bom.
Ledakan-ledakan bom sebelumnya telah memberikan ‘pelajaran’ dan ‘pengalaman’
kepada para investor di pasar modal Indonesia.
Simpulan
Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dalam eksperimen ini. Tujuan pertama adalah
untuk menguji kembali teori MLA melalui dua jenis perlakuan (F dan I). Sementara
tujuan kedua adalah melihat apakah terdapat perbedaan perilaku antara kelompok
berpengalaman dengan kelompok tidak berpengalaman dalam proses pengambilan
keputusan investasi berisiko.
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa kedua kelompok partisipan menunjukkan
konsistensi terhadap teori MLA. Dari sembilan ronde trading, kelompok berpengalaman
menunjukkan konsistensi terhadap teori MLA sejak eksperimen di mulai. Sementara itu,
konsistensi kelompok tidak berpengalaman terhadap teori MLA baru terjadi menjelang
tiga ronde terakhir sebelum eksperimen berakhir. Temuan ini menunjukkan bahwa
konsistensi kelompok berpengalaman terhadap teori MLA ternyata lebih besar
dibandingkan kelompok tidak berpengalaman. Kelompok berpengalaman ternyata
memiliki derajat risk aversion yang lebih tinggi pada saat diberikan perlakuan F, serta
derajat risk tolerance yang lebih tinggi pada saat diberikan perlakuan I.
Analisis selanjutnya membahas kemungkinan adanya perbedaan perilaku antara kedua
kelompok partisipan dalam proses pengambilan keputusan investasi berisiko. Hasil
analisis menunjukkan bahwa pada saat diberikan perlakuan F, ternyata perilaku ke dua
kelompok partisipan signifikan pada derajat sepuluh persen. Setelah dieksplorasi lebih
jauh diketahui bahwa nilai signifikansi yang mendekati 10 persen tersebut dipengaruhi
oleh konsistensi kelompok tidak berpengalaman menjelang tiga ronde terakhir sebelum
eksperimen selesai.
Penelitian ini juga memperhatikan faktor gender. Hasil pengujian pada kelompok tidak
berpengalaman menunjukkan bahwa laki-laki lebih berani mengambil keputusan
investasi berisiko dibandingkan perempuan, baik pada perlakuan F maupun I.
Pengujian pada kelompok berpengalaman menunjukkan bahwa keberanian partisipan
laki-laki tidak berbeda dengan keberanian partisipan perempuan dalam mengambil
keputusan investasi berisiko. Simpulan ini diperoleh dari tidak signifikannya hasil
pengujian statistik baik pada perlakuan F maupun perlakuan I. Eksplorasi terhadap
beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa, proses pengambilan keputusan
investasi berisiko ternyata bukan hanya dipengaruhi oleh faktor gender saja. Tingkat
pendidikan formal, pengalaman trading, tingkat penghasilan, dan usia seseorang
ternyata juga menjadi variabel non-eksperimental yang perlu dikontrol.
Dugaan tersebut menjadi semakin kuat ketika melihat hasil pengujian yang signifikan
pada kelompok berpengalaman baik pada perlakuan F maupun perlakuan I. Partisipan
pada kelompok tidak berpengalaman merupakan mahasiswa S-1 kelas reguler sehingga
secara tidak langsung penggunaan kelompok partisipan ini telah mengontrol beberapa
variabel non-eksperimental lain seperti tingkat pendidikan formal, pengalaman trading,
usia, dan tingkat penghasilan. Homogenitas beberapa variabel non-eksperimental inilah
yang diduga membuat hasil pengujian variabel gender pada kelompok tidak
berpengalaman menjadi signifikan.
21
Eksperimen ini juga menemukan adanya ‘efek kejutan’. Efek ini terjadi sebagai akibat
dari evaluasi hasil transaksi pertama (menang/kalah) yang dilakukan oleh para
partisipan pada perlakuan F, baik kelompok tidak berpengalaman maupun kelompok
berpengalaman.
Keterbatasan dan Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini mencoba menguji kembali teori MLA menggunakan lab-experiment. Dalam
melakukan simulasi, para partisipan diberikan sejumlah endowment (modal awal) yang
bersifat virtual sehingga apa yang dipertaruhkan dalam trading bukanlah uang tunai
yang sesungguhnya. Dengan demikian, meskipun mengalami kerugian, para partisipan
tidak akan kehilangan uang mereka. Walaupun peneliti telah mencoba merancang
eksperimen ini sedemikian rupa supaya persepsi para partisipan terhadap risiko
terkesan nyata, namun bagaimanapun juga penggunaan modal virtual tersebut akan
memengaruhi berkurangnya perceived of risk dari para partisipan. Untuk itu,
penggunaan modal sesungguhnya melalui field-experiment perlu dipertimbangkan.
Eksperimen ini hanya memperhatikan variabel gender. Beberapa variabel
noneksperimental lain seperti tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, usia, dan
pengalaman trading belum dikontrol dalam eksperimen ini. Berdasarkan temuan
empiris terdahulu, variabel-variabel ini secara tidak langsung juga memengaruhi
keberanian investor dalam mengambil keputusan investasi yang berisiko, sehingga
penelitian selanjutnya disarankan memperhatikan beberapa variabel tersebut.
Dari sisi metodologi, eksperimen ini menggunakan desain campuran between-within
group. Desain within-group memungkinkan terjadinya efek pembelajaran antara
perlakuan pertama dengan perlakuan berikutnya. Walaupun peneliti telah mencoba
meminimalisirnya, namun efek tersebut masih sangat mungkin terjadi. Untuk itu,
penyempurnaan terhadap metodologi yang dipergunakan dalam eksperimen ini sangat
diperlukan.
Pembahasan dalam artikel ini hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang terjadi
dalam bidang keperilakuan keuangan. Untuk itu, eksplorasi yang lebih mendalam
diperlukan untuk mengembangkan disiplin ilmu ini melalui kolaborasi antara kalangan
praktisi dan akademisi dengan mempertimbangkan aspek ketidakrasionalan investor
dan teori keperilakuan keuangan dalam proses perumusan kebijakan strategik
(khususnya bagi para praktisi), dan pengembangan riset ilmiah di bidang keuangan
(khususnya bagi para akademisi). Dengan demikian, diharapkan penelitian keuangan ke
depan tidak lagi hanya terpaku pada pemodelan matematika, statistika, dan
ekonometrika saja, tetapi mampu mengombinasikannya dengan aspek psikologi
investor sehingga hasil riset lebih mampu diaplikasikan di dunia nyata. [ ]
Referensi
Asri, Marwan. 2003. Ketidakrasionalan Investor di Pasar Modal, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 6
Desember.
Atkinson, Rita L., Atkinson, Richard C., Smith, Edward E., and Bem, Daryl J. 2003. Pengantar
Psikologi, Edisi kesebelas, Batam: Interaksa.
22
Bajtelsmit, Vickie L., and J.L. Vanderhei. 1997. “Risk Aversion And Pension Investment Choices”,
In Positioning Pensions For The Twenty-First Century. Philadelphia, PA: University of
Pensylvania Press.
Barberis, Nicholas and Ming Huang. 2001. “Mental Accounting, Loss Aversion, And Individual
Stock Returns,” The Journal of Finance, vol. 56, no. 4, pp. 1247-1292.
Bauman, W. S. 1977. “Scientific Investment Analysis: Science or Fiction?” Financial Analyst
Journal, Jan-Feb.
Benartzi, Shlomo, and Richard H. Thaler. 1995. “Myopic Loss Aversion And The Equity Premium
Puzzle,” Quarterly Journal of Economics, vol. 110, pp. 73–92.
Benzion, Uri, and Joseph Yagil. 2003. “Portfolio Composition Choise: A Behavioral Approach”,
Journal of Behavioral Finance, vol. 4, no. 2, pp. 85-95.
Burrel, O. K. 1951. “Possibility of an Experimental Approach to Investment Studies”, Journal of
Finance, June.
Byrnes, J.P. 1998. The Natural And Development of Decision-Making: A Self-Regulation Model.
Mahwah, NJ: L. Erlbaum Associates.
Cohn, Richard A., Wilbur G. Lewellen, Ronald C. Lease, and Gary G. Schlarbaum. 1975.
“Individual Investor Risk Aversion And Invesment Portfolio Compotition,” Journal of Finance,
vol. 30, no. 2, pp. 605-620.
Cooper, Donald R., and Pamela S. Schindler. 2006. Metode Riset Bisnis, vol. 1, Jakarta : PT Media
Global Edukasi.
Dwyer, P.D., Gilkeson, J.H., and List, John A. 2002. “Gender Differences In Revealed Risk Taking:
Evidence From Mutual Fund Investors,” Economics Letters, vol. 76, no.2, pp. 151-158.
Elster, J. 1998. “Emotions and Economic Theory,” Journal of Economic Literature, vol. 36, no. 1.
Felton, James, Bryan Gibson, and David M. Sanbonmatsu. 2003. “Preference For Risk In Investing
As A Function Of Trait Optimism And Gender,” Journal of Behavioral Finance, vol. 4, no. 1, pp.
33-40.
Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Gneezy, Uri, Arie Kapteyn, and Jan Potters. 2003. “Evaluation Periods And Asset Prices In A
Market Experiment,” Journal of Finance, vol. 58, pp. 821–838.
Gneezy, Uri, and Jan Potters. 1997. “An Experiment On Risk Taking And Evaluation Periods,”
Quarterly Journal of Economics, vol. 112, pp. 631–645.
Haigh, Michael S., and John A. List. 2005. “Do Professional Traders Exhibit Myopic Loss
Aversion? An Experimental Analysis”, The Journal Of Finance, vol. 60, no. 1, pp. 523-534.
Hair, J.F. Jr., Black, W.C., Babin, B.J., and Anderson, R.E. 2010. Multivariate Data Analysis:
A Global Perspective, 7th ed. NJ: Pearson Prentice Hall.
Hinz, R.P., D.D. McCarthy, and J.A. Turner. 1997. “Are Women Conservative Investors? Gender
Differences In Participant-Directed Pension Investment,” In Positioning for The Twenty- First
Century, Philadelphia, PA: University of Pensylvania Press.
Isaac, Stephen dan William B. Michael. 1990. Handbook In Research and Evaluation 2nd edition,
Edith Publishers, San Diego: California.
Jaggia, Sanjiv, and Satish Thosar. 2000. “Risk Aversion And The Investment Horizon: A New
Perspective On The Time Diversification Debate,” Journal of Psychology and Financial
Markets, vol. 1, no. 3-4, pp. 211-215.
Kahneman, Daniel, and Amos Tversky. 1979. “Prospect Theory: An Analysis of Decision Under
Risk,” Econometrica, vol. 47, pp. 263–291.
Kahneman, Daniel, Jack L. Knetsch, and Richard Thaler. 1990. “Experimental Test of The
Endowment Effect And The Coase Theorem,” Journal Of Political Economy, XCVIII, pp. 13251348.
Latipun. 2008. Psikologi Eksperimen, edisi kedua, Malang: UMM Press.
List, John A. 2002. “Preference Reversals Of A Different Kind: The More Is Less Phenomenon,”
American Economic Review, vol. 92, pp.1636–1643.
23
List, John A. 2003. “Does Market Experience Eliminate Market Anomalies?” Quarterly Journal of
Economics, vol. 118, pp. 41–71.
List, John A., (2004), “Neoclassical Theory Versus Prospect Theory: Evidence From The
Marketplace,” Econometrica, vol. 72, 615–625.
Lo, A. W., and D. V. Repin. 2001. “The Psycology of Real Time Financial Risk Processing,” NBER
Working Paper, Series no. 8508.
Mehra, Rajnish, and Edward Prescott. 1985. “The Equity Premium: A Puzzle”, Journal of
Monetary Economics, vol. 15, pp. 145–161.
Myers A., and Hansen, C.H. (2001), Experimental Psychology, USA: Wadsworth Thomson
Learning.
Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Methods - Qualitative and Quantitative Approaches,
6th edition, Pearson Education.
Novemsky, Nathan and Daniel Kahneman. 2005. “How Do Intentions Affect Loss Aversion?”
Jornal of Marketing Research, vol. 42, pp. 139-140.
Pompian, Michael M. 2006. Behaioral Finance and Wealth Management – How to Build Optimal
Portfolios that Account for Investor Biases, USA: John Wiley & Sons, Inc.
Premananto, Gancar Candra, dan B. M. Purwanto. 2007. Dalam Desain Eksperimental - Aplikasi
Dalam Riset Ilmu Ekonomi, Manajemen Dan Akuntansi, Yogyakarta: FORMADEGAMA.
Quattlebaum, Owen M. 1988. “Loss Aversion: The Key To Determining Individual Risk,” Journal
of Financial Planning, pp. 66-68.
Riley, Willam B., and K. Victor Chow. 1992. “Asset Allocation And Individual Risk Aversion,”
Financial Analysts Journal, vol. 48, no. 6, pp. 32-37.
Save-Soderbergh, J. 2003. “Essay on Gendr Differences In Economic Decision-Making,” Ph.D
Thesisi, Stockholm Universitiy.
Schmidt, Ulrich, and Horst Zank. 2005. “What Is Loss Aversion?” The Journal of Risk and
Uncertainty”, vol. 30, no. 2, pp. 157-167.
Siegel, J. J., and Richard H. Thaler. 1997. “Anomalies The Equity Premium Puzzle,” Journal of
Economic Perspectives , Vol. 11, pp. 191 -200.
Slovic, P. 1969. “Analyzing the Expert Judge: A Study of a Stockbroker’s Decision Process,”
Journal of Applied Psychology, vol. 54, no. 4, August.
_____. 1972. “Psycological Study of Human Judgment: Implication for Investment Decision
Making,” Journal of Finance, vol. 27, no. 4.
Slovic, P., and W. S. Bauman. 1972. “Analyzing the Use of Information in Investment Decision
Making: A Methodological Proposal,” Journal of Business, April.
Starmer, C. 2000. “Developments In Non-Expected Utility Theory: The Hunt For A Descriptive
Theory of Choice Under Risk,” Journal of Economic Literature, vol. 38, pp. 332–382.
Thaler, Richard H. 1985. “Mental Accounting and Consumer Choice,” Marketing Science, vol. 4,
pp. 199–214.
Thaler, Richard H., Amos Tversky, Daniel Kahneman, and Alan Schwartz. 1997. “The Effect of
Myopia and Loss Aversion on Risk Taking: An Experimental Test,” Quarterly Journal of
Economics, vol. 112, pp. 647–661.
Thaler, Richard H. 1999. “Mental Accounting Matters,” Journal of Behavioral Decision Making, vol.
12, pp. 183-206.
Thaler, Richard H. 1993. Advances in Behavioral Finance, New York: Russell Sage Foundation.
Tversky, Amos, and Daniel Kahneman. 1992. “Advances In Prospect Theory Cumulative
Representation Of Uncertainty,” Journal of Risk and Uncertainty, vol. 5, pp. 297-323.
Tversky, Amos, and Daniel Kahneman. 1991. “Loss Aversion In Riskless Choice: A ReferenceDependent Model,” The Quarterly Journal of Economics, November, pp. 1039-1061.
Uyanto, Stanislaus S. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Watson, John and Mark McNaughton. 2007. “Gender Differences In Risk Aversion And Expected
Retirement Benefits,” Financial Analysts Journal, vol. 63, no. 4, pp. 52-62.
Zuckerman, M. 1994. Behavioral Expressions and Biosocial Bases of Sensation Seeking, New York:
Cambrige University Press.
24
Download