7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM

advertisement
75
7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG
MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI
PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGISGELOMBANG MIKRO
7.1 Pendahuluan
Aplikasi pra-perlakuan tunggal (biologis ataupun gelombang mikro)
pada proses konversi bambu menjadi monomer gula gula telah dilakukan
dalam penelitian sebelumnya (bab 5 dan 6). Pengaruh pra-perlakuan
kombinasi ini adalah adanya perubahan struktur selulosa dan kehilangan
lignin serta disorganisasi morfologi serat. Pra-perlakuan biologis dengan TV
selama 30 hari memberikan selektifitas delignifikasi yang lebih baik
dibandingkan dengan inkubasi 15 dan 45 hari (bab 2). Selain itu pada praperlakuan gelombang mikro dalam medium air (bab 3), iradiasi selama 5,
10 dan 12.5 menit (330 W) serta iradiasi selama 5 menit (770 W)
memberikan kehilangan berat yang relatif lebih rendah dengan
mempertimbangkan kehilangan hemiselulosa dibandingkan dengan
kehilangan selulosa, sehingga untuk selanjutnya kondisi pra-perlakuan ini
yang dipilih untuk digunakan dalam hidrolisis. Kombinasi pra-perlakuan
secara biologis-gelombang mikro merupakan upaya alternatif dalam rangka
meningkatkan efisiensi ketercernaan substrat pada proses hidrolisis. Hal ini
terkait dengan terjadinya aktivitas delignifikasi polimer lignin oleh jamur
pelapuk putih dan lebih efektifnya peningkatan luas permukaan dan
porositas substrat pada iradiasi gelombang mikro.
Rendemen gula per bambu awal tertinggi dari hidrolisis enzimatis
pada pra-perlakuan biologis dan gelombang mikro bambu betung dibawah
5% (Gambar 5.1 dan 6.1). Oleh karena itu pengembangan hidrolisis asam
untuk mempercepat waktu hidrolisis dan menekan biaya proses perlu
dilakukan. Efektifitas hidrolisis asam ini dapat diakselerasikan dengan
iradiasi gelombang mikro. Waktu iradiasi gelombang mikro yang singkat
dalam melingkupi seluruh substrat (bersifat volumetrik) mengindari adanya
panas yang berlebihan bagian permukaan mendorong peningkatan rendemen
gula pereduksinya. Terjadi peningkatan rendemen gula 6-7 kali dalam
hidrolisis gelombang mikro dengan asam sulfat 1% dari pra-perlakuan
biologis dan gelombang mikro dibandingkan dengan kontrol. Meskipun
demikian, dalam hidrolisis asam berpotensi menghasilkan produk degradasi
sekunder seperti furfural dan 5- HMF. Oleh karena itu aplikasi karbon aktif
sebagai absorber dalam proses hidrolisis asam-gelombang mikro yang
diaplikasikan (bab 4 dan 5) berhasil menurunkan absorbansi senyawa
coklat. Penambahan karbon aktif dalam hidrolisis onggok dalam medium air
mampu meningkatkan rendemen glukosa, mencerahkan warna hidrolisat,
dan menurunkan kadar HMF dengan suhu pemanasan yang lebih rendah
(Hermiati et al. 2012a).
76
Sejauh ini belum ditemukan studi yang membahas pengaruh
penggunaan kombinasi pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro
pada bambu terhadap rendemen gula pereduksi dari hidrolisis enzimatik
maupun hidrolisis asam- gelombang mikro. Peningkatan rendemen gula
yang diperoleh setelah hidrolisis asam-gelombang mikro dibandingkan
dengan hidrolisis enzimatik juga dibahas dalam penelitian ini dan
dibandingkan dengan penggunaan metode yang sama pada bambu setelah
pra-perlakuan biologis ataupun gelombang mikro. Pengaruh penambahan
katalis karbon aktif dalam hidrolisis asam-gelombang mikro dihubungkan
dengan sifat adsorbsinya juga didiskusikan.
7.2 Bahan dan Metode
Serbuk bambu (40-60 mesh) hasil pra-perlakuan secara biologisgelombang mikro terpilih dijadikan substrat dalam penelitian ini. Inkubasi
selama 30 hari dengan konsentrasi inokulum 5 dan 10% kemudian diiradiasi
asam-gelombang mikro. Daya yang digunakan adalah 330 W dengan lama
iradiasi 5, 10, 12.5 dan 5 menit (770 W). Kondisi dan tahapan pra-perlakuan
yang digunakan pada penelitian ini sama dengan penelitian pra-perlakuan
tunggal yang telah dilakukan sebelumnya (bab 5 dan 6).
Pulp (fraksi padat) hasil penyaringan dari pra-perlakuan gelombang
mikro selanjutnya dihidrolisis dengan enzimatik dan asam-gelombang
mikro. Hidrolisis enzimatis yang dilakukan mengikuti prosedur dari NREL
(Selig et al. 2008) dengan konsentrasi enzim 10 dan 20 FPU/g pada shaking
inkubator selama 48 jam pada suhu 50C pada kecepatan 150 rpm. Posisi
vial dalam hidrolisis ditempatkan secara horizontal untuk memperluas
kontak antara enzim dengan substrat.
Sebanyak 0.1 g (BKO) sampel hasil pra-perlakuan juga dihidrolisis
asam- gelombang mikro menggunakan larutan asam H2SO4 1% hingga
konsentrasi substrat 1%. Selanjutnya suspensi tersebut dihomogenkan
dengan diaduk pada stirer plate selama 15 menit dan diiradiasi selama 7.512.5 menit (330 W). Selain itu juga dilakukan hidrolisis asam-gelombang
mikro dengan penambahan karbon aktif sebesar 0.5 (g/g sampel). Ketika
waktu tercapai, bahan didinginkan dalam air es selama 15 menit dan
kemudian disaring untuk memisahkan hidrolisat dan pulp.
Hidrolisat dianalisis rendemen gula pereduksi (metode NelsonSomogyi) sedangkan penghitungan rendemen gula teoritis dilakukan untuk
rendemen gula pereduksi tertinggi (persamaan 6.3). Karbon aktif yang sama
digunakan sebelumnya pada bab 5 dan 6. Karbon aktif ini diperoleh dari
Ajinomoto Fine-Techno Co., Inc., Japan dengan analisa karakteristik
reaktivasi karbon aktif ini dilakukan berdasarkan metode SNI 06-4253-1996
(BSN 1996).
77
7.3 Hasil dan Pembahasan
7.3.1
Perbandingan Gula
Gelombang Mikro
Pereduksi
Hidrolisis
Enzimatis
dan
4,0
2,0
rendemen gula
pereduksi terhadap
bambu setelah praperlakuan
1,0
Rendemen gula
pereduksi terhadap
bambu awal
0,0
Nisbah hidrolisis
3,0
10 Fpu
20 fpu
10 fpu
20 fpu
10 fpu
20 fpu
10 fpu
20 fpu
10 fpu
20 fpu
10 fpu
20 fpu
10 fpu
20 fpu
10 fpu
20 fpu
10 fpu
20 fpu
Rendemen gula pereduksi dan
nisbah hidrolisis (%)
Gambar 7.1 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi enzim dua
kali hanya sedikit meningkatkan rendemen gula pereduksi. Rendemen gula
pereduksi dari hidrolisis enzimatis dengan konsentrasi enzim 20 FPU pada
pra-perlakuan biologis dengan 5% inokulum dan diiradiasi selama 5 menit
pada daya 330 W (1.49%) dan 770 W (1.69%) menunjukkan rendemen gula
pereduksi per bambu awal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi
pra-perlakuan lainnya. Pada konsentrasi inokulum 10%, rendemen gula
yang tertinggi hanya ditemukan pada iradiasi 5 menit (770 W) sebesar
1.99%. Terjadi peningkatan rendemen gula pereduksi setelah pra-perlakuan
dibandingkan dengan kontrol (1.63 kali) terhadap rendemen gula pereduksi
yang tertinggi. Berdasarkan nisbah hidrolisisnya (Gambar 7.1), pada kondisi
ini holoselulosa yang dapat dikonversi menjadi gula pereduksi hanya
sebesar 2.79% atau 2.83% dari rendemen gula pereduksi teoritis bambu
awal. Secara teoritis, konversi gula pereduksi dari bambu dengan nisbah
hidrolisis 100% dapat memproduksi 71.45 g gula pereduksi/100 g bambu
awal.
330 W 330 W 330 W 770 W 330 W 330 W 330 W 770 W
5 min 10 min 12,5 5 min 5 min 10 min 12,5 5 min
min
min
Kontrol
5%,30 hari
10%,30 hari
Pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro
Gambar 7.1 Rendemen gula pereduksi dan nisbah hidrolisis pada hidrolisis
enzimatis
Dibandingkan dengan rendemen gula pereduksi tertinggi hasil
hidrolisis enzimatis pada pra-perlakuan biologis (2.53% per bambu awal)
dan gelombang mikro (4.24% per bambu awal) (bab 5 dan 6), maka
rendemen gula pereduksi pra-perlakuan kombinasi ini menurunkan
rendemen gula pereduksi. Hal ini diduga terkait dengan terjadinya
kehilangan berat yang lebih banyak pada perlakuan pendahuluan kombinasi
dan lebih tingginya kadar lignin setelah kombinasi perlakuan pendahuluan
78
kombinasi ini (bab 4) dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan tunggal
(bab 2 dan 3). Terdapat kecenderungan yaitu pengaruh perlakuan
pendahuluan gelombang mikro lebih dominan pengaruhnya dalam
meningkatkan rendemen gula pereduksi melalui perbaikan karakteristik
substrat setelah perlakuan.
Hidrolisis asam-gelombang mikro merupakan upaya untuk
meningkatkan rendemen gula pereduksi mengingat rendahnya rendemen
gula pereduksi dari hidrolisis enzimatis. Asam sulfat merupakan katalis
yang umum digunakan dalam hidrolisis (Aguilar et al. 2002). Berdasarkan
hasil hidrolisis asam-gelombang mikro dari pra-perlakuan gelombang mikro
(simpulan bab 6), peningkatan konsentrasi asam sampai 5% hanya sedikit
meningkatkan rendemen gulanya, dan justru terjadi penurunan rendemen
gula pada hidrolisis asam-gelombang mikro dari pra-perlakuan biologis
(pembahasan bab 5). Hal ini menjadi dasar untuk menggunakan konsentrasi
asam 1% pada hidrolisis asam-gelombang mikro pada penelitian ini.
Perolehan rendemen gula pereduksi pada konsentrasi inokulum 5%
cenderung lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi inokulum 10%
(Gambar 7.2). Rendemen gula pereduksi ini lebih tinggi dibandingkan
dengan hasil hidrolisis enzimatis. Kehilangan lignin (24.27%) dan
hemiselulosa (10.92%) yang lebih besar pada pra-perlakuan biologis dengan
konsentrasi inokulum 5% ikut meningkatkan rendemen gula pereduksi (bab
2). Kecenderungan ini sejalan dengan hasil hidrolisis asam-gelombang
mikro dari pra-perlakuan tunggal biologis ataupun gelombang mikro
(Gambar 5.3 dan 6.3). Struktur substrat setelah perlakuan pendahuluan yang
lebih terbuka (peningkatan luas daerah permukaan dan perbesaran pori-pori)
akibat terdepolimerisasi lignin setelah inokulasi jamur dan pemanasan
gelombang mikro berkontribusi terhadap peningkatan rendemen gula
pereduksi tersebut (Gambar 4.3). Pada konsentrasi inokulum 5%, praperlakuan gelombang mikro selama 10 dan 12.5 menit menunjukkan
rendemen gula hidrolisis asam-gelombang mikro yang rendah. Peningkatan
waktu iradiasi pada hidrolisis asam cenderung meningkatkan rendemen gula
pereduksi pada pra-perlakuan biologis dengan inokulum 10%. Rendemen
gula pereduksi tertinggi (16.65% per bambu awal) diperoleh pada perlakuan
pendahuluan biologis inokulum 5% yang diberikan pra-perlakuan
gelombang mikro 5 menit (330 W) dan dihidrolisis asam selama 12.5 menit.
Rendemen ini meningkat 13.7 dan 8.4 kali dibandingkan dengan kontrol dan
rendemen gula tertinggi hasil hidrolisis enzimatis. Hal ini berarti praperlakuan biologis-gelombang mikro memberikan efek peningkatan
rendemen gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis
asam-gelombang mikro dari pra-perlakuan biologis (6.74 kali) ataupun
gelombang mikro (6.20 kali). Pada kondisi rendemen gula pereduksi
tertinggi ini, sebanyak 27.21% holoselulosa mampu dikonversi menjadi gula
pereduksi atau 23.84% dari maksimum potensi gula yang bisa dihasilkan.
Peningkatan rendemen gula pereduksi dari hidrolisis asam-gelombang
mikro ini terhadap kontrol yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi
daripada peningkatan rendemen gula pereduksi (2.3%) yang dilaporkan
Husnil (2009) menggunakan jenis bambu yang sama setelah pra-perlakuan
gelombang mikro dengan hidrolisis secara enzimatis. Namun rendemen gula
79
pereduksi tertinggi (16.65 g/100 g bambu awal) dalam penelitian ini lebih
rendah dibandingkan dengan rendemen gua pereduksi (66.5 g/100 g bagas
tebu awal) dari hidrolisis enzimatis bagas tebu setelah pra-perlakuan
gelombang mikro-alkali-asam (Binod et al. 2012). Hal ini diduga karena
dalam penelitian ini, pra-perlakuan tidak menggunakan bahan kimia
sehingga meskipun rendemen gula pereduksinya lebih rendah namun praperlakuan ini relatif lebih ramah lingkungan. Selain itu daya gelombang
mikro yang digunakan dalam penelitian tersebut lebih tinggi (600 W).
Rendemen gula pereduksi
(% bambu awal)
A
25,0
20,0
15,0
10,0
7.5 min
5,0
10 min
0,0
5 min, 10
12,5 5 min, 5 min, 10
12,5 5 min,
330 W min, min, 770 W 330 W min, min, 770 W
330 W 330 W
330 W 330 W
Inokulum 5%
12.5 min
Inokulum 10%
Pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro
Rendemen gula pereduksi
(% bambu awal)
B 14,0
12,0
10,0
8,0
6,0
4,0
2,0
0,0
7.5 min
10 min
12.5 min
5 min, 10 12,5 5 min, 5 min, 10 12,5 5 min,
330 W min, min, 770 W 330 W min, min, 770 W
330 W 330 W
330 W 330 W
Inokulum 5%
Inokulum 10%
Pra-perlakuan secara biologis gelombang mikro
Gambar 7.2. Rendemen gula pereduksi per bambu awal dari hidrolisis asamgelombang mikro tanpa karbon aktif (A) dan dengan karbon
aktif (B)
Penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis asam-gelombang
mikro berpengaruh terhadap rendemen gula pereduksi yang diperoleh
(Gambar 7.2B). Fenomena pengaruh penambahan karbon aktif ini juga sama
dengan hasil hidrolisis asam-gelombang mikro setelah pra-perlakuan
biologis ataupun gelombang mikro (Gambar 5.2B dan 6.3B) serta hidrolisis
asam pada onggok (Hermiati 2012). Oligomer yang teradsorbsi di
permukaan karbon aktif memungkinkannya tidak ikut terhidrolisis (Hermiati
2012) sehingga berpengaruh terhadap penurunan rendemen gula
80
pereduksinya. Lebih lanjut menurut Matsumoto et al. (2011) mengatakan
bahwa kapasitas adsorbsi maltosa berbanding terbalik dengan daya
sakarifikasinya.
Nisbah hidrolisis (%)
A
40,0
35,0
30,0
25,0
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
7.5 min
10 min
12.5 min
5 min, 10 min, 12,5 m, 5 m, 5 m, 10 m, 12,5 m, 5 m,
330 W 330 W 330 W 770 W 330 W 330 W 330 W 770 W
5% inokulum
10% inokulum
Pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro
B
Nisbah hidrolisis (%)
25,0
20,0
15,0
10,0
7.5 min
5,0
10 min
0,0
5 min, 10
12,5 5 min, 5 min, 10
12,5 5 min,
330 W min, min, 770 W 330 W min, min, 770 W
330 W 330 W
330 W 330 W
12.5 min
5% inokulum
10% inokulum
Pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro
Gambar 7.3 Nisbah hidrolisis per bambu awal dari hidrolisis asamgelombang mikro tanpa karbon aktif (A) dan dengan karbon
aktif (B)
Terkait dengan karakteristik karbon aktif (Tabel 7.1) yang digunakan
sebagai hasil reaktivasi karbon aktif yang telah digunakan pada hidrolisis
asam pada sagu (Fajriutami et al. 2014) tampak bahwa terjadi perbedaan
sifat adsorpsi dan pH setelah reaktivasi. Hal ini diduga berkaitan dengan
penurunan peranan karbon aktif dalam membantu meningkatkan rendemen
gula pereduksi. Daya adorpsi terhadap senyawa I2 yang mewakili adsorbsi
terhadap senyawa berukuran kecil atau berbobot molekul rendah mengalami
sedikit penurunan setelah reaktivasi, tetapi adsorpsi terhadap senyawa biru
metilena yang mewakili adsorbsi senyawa berukuran atau berbobot molekul
besar mengalami penurunan yang nyata. Selain itu juga terjadi
kecenderungan penurunan luas permukaan setelah reaktivasi, hal ini
mengindikasikan bahwa sifat adsorbsi karbon aktif awal lebih baik daripada
setelah reaktivasi. Reaktivasi karbon aktif menyebabkan pH lebih bersifat
81
basa, sehingga berpotensi terjadinya penurunan daya hidrolisis. Hal ini
kemungkinan merupakan faktor penyebab penurunan rendemen gula
pereduksi dalam hidrolisis asam-gelombang mikro dengan penambahan
karbon aktif.
Tabel 7.1. Perbandingan sifat karbon aktif sebelum dan setelah reaktivasi
Karakteristik
Bentuk
Ukuran
pH
Sifat adsorbsi
Daya serap I2 (mg/g)
Daya serap biru metilena
(mg/g)
Luas permukaan (m2/g)
Sumber : 1. Fajriutami et al.(2014)
2. Hermiati (2012)
Awal
Granul1,2
8-20 mesh 1,2
6.21
Reaktivasi
Granul
8-20 mesh
8.91
11501
1078
2001
981.722
120.9
443.4
7.3.2 Pengaruh Karbon Aktif Terhadap Senyawa Coklat dan pH
Hidrolisat
Pada proses hidrolisis asam dimungkinkan terbentuknya inhibitor yang
mengganggu proses fermentasi melalui penghambatan pertumbuhan sel ragi
dan produksi etanol (Larsson et al. 1999) seperti senyawa coklat (hasil
degradasi sekunder gula berantai 5 dari hemiselulosa), asam asetat, furan
ataupun phenol. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menurunkan kadar
inhibitor tersebut diantaranya melalui penambahan karbon aktif. Terjadinya
penurunan kadar turunan furan, asam asetat, phenolik dan senyawa coklat
dalam hidrolisat setelah penambahan karbon aktif juga telah dilaporkan
sebelumnya (Seo et al. 2009; Chandel et al. 2007). Pembentukan senyawa
coklat dalam hidrolisat mengindikasikan reaksi pencoklatan non enzimatis
seperti reaksi Maillard dan karamelisasi yaitu ketika sistem yang
mengandung gula pereduksi dan asam amino dipanaskan (Chen et al.
2009b;Vilota dan Hawkes 2007).
Jika dibandingkan dengan hidrolisis asam-gelombang mikro tanpa
karbon aktif tampak bahwa penambahan karbon aktif berpengaruh positif
terhadap penurunan senyawa coklat dalam hidrolisat (Gambar 7.4). Hal ini
mengindikasikan bahwa karbon aktif meskipun menurunkan rendemen gula
pereduksi pada proses hidrolisis asam-gelombang mikro, tetapi mampu
menghambat produksi senyawa coklat. Hal ini karena terjadi adsorpsi
oligomer pada permukaan karbon aktif menyebabkannya tidak ikut
terhidrolisis sehingga rendemen gula pereduksinya menurun. Absorbansi
senyawa coklat yang tertinggi terjadi pada pra-perlakuan biologis dengan
inokulum 5% diiradiasi selama 12.5 menit (330 W). Waktu iradiasi yang
lama memungkinkan lebih intensifnya proses degradasi sekunder yang
terjadi. Tingginya rendemen gula pereduksi pada pra-perlakuan secara
biologis-gelombang mikro dengan inokulum 5% selama 5 menit (330 W)
82
kemungkinan terkait dengan rendahnya senyawa coklat yang terbentuk
(Gambar 7.4). Pengaruh positif hidrolisis asam-gelombang mikro yang
dikatalisasi karbon aktif terhadap penurunan inhibitor ini juga telah
dilaporkan sebelumnya menggunakan substrat hasil pra-perlakuan tunggal
biologis-gelombang mikro (bab 5 dan 6).
Absorbansi
0,35
A
A
0,30
0,25
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00
7.5 min
10 min
5 min, 10 min, 12,5 5 min, 5 min, 10 min, 12,5 5 min,
330 W 330 W min, 770 W 330 W 330 W min, 770 W
330 W
330 W
12.5 min
5% Inokulum
10% Inokulum
Pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro
Absorbansi
0,18
B
0,16
0,14
0,12
0,10
0,08
0,06
0,04
0,02
0,00
7.5 min
10 min
12.5 min
5 min, 10
12,5 5 min, 5 min, 10
12,5 5 min,
330 W min, min, 770 W 330 W min, min, 770 W
330 W 330 W
330 W 330 W
5% Inokulum
10% Inokulum
Pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro
Gambar 7.4 Senyawa coklat yang terbentuk pada hidrolisis asam-gelombang
mikro tanpa karbon aktif (A) dan dengan karbon aktif (B)
Perubahan nilai pH hidrolisat selama proses hidrolisat disajikan oleh
Gambar 7.5. Terjadi fenomena peningkatan nilai pH pada pra-perlakuan
biologis 5% dan pra-perlakuan gelombang mikro selama 5 dan 10 menit
(330 W) serta 5 menit (330 W) dan 12.5 menit (770 W). Hal ini
mengindikasikan bahwa pemanasan selektif gelombang mikro pada substrat
bisa memberikan efek penghambatan terhadap kemungkinan terjadinya
dekomposisi produk degradasi karbohidrat lanjutan menjadi asam organik.
Namun penyebab fenomena ini belum diketahui pasti. Dibandingkan dengan
pH hasil hidrolisis asam pada kontrol, maka pra-perlakuan kombinasi ini
memiliki pengaruh lebih baik. Kecenderungan yang sama juga telah
dilaporkan hidrolisis asam-gelombang mikro pada perlakuan pendahuluan
83
biologis dan gelombang mikro (bab 5 dan 6). Tingkat penurunan pH
hidrolisat terhadap kontrol dari perlakuan pendahuluan tunggal (bab 5 dan
6) dan kombinasi secara biologis-gelombang mikro tidak berbeda
signifikan. Penambahan karbon aktif tidak terlalu berpengaruh terhadap
perubahan nilai pH (Gambar 7.5B).
pH
A
1,2
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
7.5 min
10 min
5 min, 10
12,5 5 min, 5 min, 10
12,5 5 min,
330 W min, min, 770 W 330 W min, min, 770 W
330 W 330 W
330 W 330 W
12.5 min
5% Inokulum
10% Inokulum
Pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro
1,2
B
1,0
pH
0,8
0,6
0,4
7.5 min
0,2
10 min
0,0
5 min, 10 min, 12,5 5 min, 5 min, 10 min, 12,5 5 min,
330 W 330 W min, 770 W 330 W 330 W min, 770 W
330 W
330 W
12.5 min
5% inokulum
10% inokulum
Pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro
Gambar 7.5. Perubahan nilai pH pada hidrolisis asam-gelombang mikro
tanpa karbon aktif (A) dan dengan karbon aktif (B)
B
7.4 Simpulan
Hidrolisis asam-gelombang mikro dengan bantuan iradiasi gelombang
mikro berhasil memperbaiki kinerja hidrolisis enzimatis pada bambu setelah
pra-perlakuan kombinasi secara biologis-gelombang mikro. Rendemen gula
pereduksi ini meningkat 8.4 kali dibandingkan dengan rendemen gula
pereduksi tertinggi dari hidrolisis enzimatis (1.99%) dan terhadap kontrol
(13.7 kali). Rendemen gula tertinggi sebesar 16.65% per bambu awal atau
18.92% per bambu setelah pra-perlakuan diperoleh pada pra-perlakuan
biologis dengan inokulum 5% dilanjutkan pra-perlakuan gelombang mikro 5
menit (330 W) setelah hidrolisis asam-gelombang mikro selama 12.5 menit.
Pada kondisi ini sebanyak 27.21% holoselulosa bambu mampu dikonversi
84
menjadi gula pereduksi atau 23.84% dari maksimum potensi gula yang bisa
dihasilkan. Penambahan karbon aktif dalam hidrolisis asam mampu
menurunkan senyawa coklat yang berpotensi sebagai inhibitor dalam proses
fermentasi.
Download