Keragaman gen protein selubung rice tungro

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi
Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun yang juga
merupakan makanan pokok utama bagi lebih dari sepertiga penduduk dunia. Dari
semua padi yang diproduksi dan dikonsumsi lebih dari 90% terpusat di Asia.
Sebagai sumber pemberi tenaga, beras merupakan bahan makanan utama untuk
ratusan juta umat manusia, terutama bagi umat manusia yang menduduki belahan
timur dari benua ini. Oleh karenanya tidaklah mengherankan bahwa tanaman padi
yang terluas terdapat di negara-negara Asia yang seluruh penduduknya sebagian
besar memperoleh tenaganya dari beras sebagai sumbernya (Siregar 1980).
Tanaman padi diduga berasal dari negara India dan Cina kemudian
menyebar ke negara-negara lain. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman
padi di Zhejiang, Cina sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan
gabah ditemukan di Hastinapur, Uttar Pradesh, India sekitar 100-800 SM.
Tanaman padi di Indonesia berasal dari perantau-perantau Malaysia yang
membawa tanaman padi sekitar tahun 1.500 SM (Siregar 1980).
Botani dan Morfologi Padi
Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk golongan tumbuhan Gramineae
yaitu tumbuhan yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas.
Tanaman ini juga termasuk golongan tanaman setahun/semusim (Affandi 1997).
Bentuk batangnya bulat dan berongga, daunnya memanjang seperti pita yang
berdiri pada ruas-ruas batang dan mempunyai sebuah malai yang terdapat pada
ujung batang (Siregar 1980).
Batang tanaman padi tersusun atas beberapa ruas. Ruas-ruas itu
merupakan bubung kosong yang pada kedua ujung bubung ditutupi oleh buku.
Panjang ruas tidak sama, ruas terpendek terdapat pada pangkal batang. Ruas
kedua, ketiga dan seterusnya lebih panjang daripada ruas yang didahuluinya. Pada
buku bagian bawah dari ruas tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai
buku bagian atas. Tepat pada buku bagian atas ujung dari daun pelepah memper
4
lihatkan percabangan dimana cabang yang terpendek menjadi lidah daun (ligula),
dan bagian yang terpanjang dan terbesar menjadi kelopak. Di dekat lidah daun dan
daun kelopak terdapat dua embel sebelah kiri dan kanan yang disebut auricle.
Daun kelopak yang membalut ruas yang paling atas dari batang umumnya disebut
daun bendera (flag-leaf). Tepat dimana daun pelepah teratas muncul ruas yang
disebut bulir padi. Bulir terdiri dari ruas-ruas pendek. Tiap-tiap ruas sebelah kiri
dan kanannya timbul cabang-cabang bulir, dan pada ujung tiap-tiap cabang bulir
terdapat bunga padi. Bunga padi terdiri dari tangkai bunga, perhiasan bunga dan
daun mahkota yang terdiri dari dua belahan yang tidak sama besarnya (Siregar
1980).
Taksonomi Padi
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil),
dengan urutan taksonomi (Siregar 1980):
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Class
: Liliopsida (Monocotyledons)
Subclass
: Commelinidae
Family
: Poaceae
Genus
: Oryza
Spesies
: Oryza sativa L.
Varietas Padi
Varietas padi adalah segolongan tanaman yang satu sama lain memiliki
sifat-sifat yang sama. Sifat-sifat tersebut diwariskan oleh tanaman tersebut kepada
keturunannya. Suatu varietas dikatakan unggul jika varietas padi tersebut
mempunyai sifat-sifat yang lebih daripada sifat yang dimiliki varietas padi
lainnya. Sifat-sifat unggul tersebut antara lain adalah daya hasil yang lebih tinggi,
umur yang lebih pendek, tahan terhadap gangguan hama atau penyakit, lebih
5
tahan terhadap tumbangnya pertanaman, mutu beras, dan rasa nasi yang lebih
enak (Siregar 1980).
Keunggulan dari varietas tersebut tidak bersifat kekal atau abadi. Predikat
unggul yang diberikan pada suatu varietas yang tertentu hanya berlaku sebelum
ditemukannya varietas baru yang dapat menandingi varietas terdahuluya dalam
sifat-sifatnya (Siregar 1980).
Selain varietas unggul tersebut, padi memiliki beberapa varietas yang
resisten, moderat (intermediet), dan rentan terhadap hama dan penyakit. Varietas
resisten dan moderat terhadap penyakit tungro diklasifikasikan tahan terhadap
wereng hijau sebagai penular (vektor) patogen dan tahan terhadap virus yang
merupakan penyebab penyakit tungro.
Varietas tahan wereng hijau dikelompokkan berdasarkan sumber gen tetua
tahannya menjadi golongan T1, T2, T3, dan T4 (Tabel 1). Anjuran penggunaan
varietas tahan wereng hijau adalah (1) di Jawa Barat dapat ditanam varietas tahan
golongan T1, T2, dan T4, (2) Jawa Tengah dapat menanam semua golongan
varietas tahan, (3) Yogyakarta dianjurkan menanam varietas tahan dari golongan
T2 dan T4, (4) Jawa Timur dan Bali hanya dianjurkan menanam varietas tahan
golongan T4, dan (5) NTB dianjurkan menanam varietas tahan virus (Widiarta
dan Said 2007).
Tabel 1 Varietas tahan wereng hijau untuk mengendalikan penyakit tungro
Golongan
Varietas
Gen Tahan
To
IR5, Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung, dan Lusi
-
T1
IR20, IR30, IR26, IR46, Citarum, dan Serayu
T2
IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Ciliwung,
Krueng Aceh dan Bengawan Solo
Glh1
Glh 6
T3
IR50, IR48, IR54, IR52 dan IR64
Glh 5
T4
IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun, dan Klara.
Glh 4
Sumber: Widiarta dan Said 2007
(-) Tidak Ada.
6
Varietas tahan virus tungro yang telah dilepas antara lain Tukad Petanu,
Tukad Unda, Tukad Balian, Kalimas, dan Bondoyudo yang sesuai di setiap daerah
(Tabel 2). Varietas Tukad Petanu dapat dianjurkan untuk ditanam di seluruh
daerah endemis, sedangkan Tukad Unda dianjurkan ditanam di NTB dan di
Sulawesi Selatan. Petani di derah Bali dan Sulawesi Selatan dianjurkan menanam
varietas Tukad Balian dan Bondoyudo. Varietas Kalimas dan Bondoyudo
diketahui tahan terhadap penyakit tungro di Jawa Timur (Widiarta dan Said
2007).
Tabel 2 Pewilayahan kesesuaian varietas tahan virus tungro
Varietas
Kesesuaian Daerah
Jabar
Jateng
Jatim
Bali
Mataram
Sulsel
Tukad Petanu
+
+
+
+
+
+
Tukad Unda
-
-
-
-
+
+
Tukad Balian
-
-
+
+
-
+
Bondoyudo
-
-
+
+
-
+
Kalimas
-
-
+
-
-
-
Sumber: Widiarta dan Said 2007
(+): Sesuai (tungro < 50%)
(-): Tidak (tungro > 50%)
Varietas yang disukai petani sekarang ini umumnya berpotensi hasil tinggi
namun disisi lain berpeluang terinfeksi oleh penyakit tungro. Ciherang dan IR64
merupakan salah satu varietas yang sering ditanam petani karena mempunyai rasa
nasi enak (Puslitbangtan 2007). Ciherang adalah varietas padi yang termasuk
golongan padi sawah yang dilepas pada tahun 2000, tahan terhadap wereng coklat
biotipe 2 dan 3 (Syam 2007). IR64 merupakan varietas padi tipe indica yang
dikeluarkan IRRI (1985-1989). Meskipun varietas padi ini resisten wereng hijau
namun memiliki kerentanan terhadap virus tungro (Hibino 1987). Taichung
Native 1 (TN1) adalah varietas padi hasil persilangan dari padi varietas Dee-Geo-
7
Woo-Gen dan Tsai-Yuan-Chung yang dirakit pada tahun 1949 oleh pemulia
tanaman di Taichung District Agricultural Improvement Station, Taiwan. TN1
adalah varietas padi yang rentan terhadap virus tungro dan wereng hijau
(Cabautan et al. 1995).
Penyakit Tungro
Arti Penting Penyakit Tungro
Tungro yang berarti ‘pertumbuhan terhambat’, untuk pertama kali
ditemukan di Philiphina pada tahun 1963 dan merupakan penyakit yang sangat
merugikan. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang ditularkan wereng daun,
terutama Nephotettix virescens Distant (Semangun 1991).
Di Indonesia, penyakit tungro mula-mula hanya terbatas penyebarannya di
daerah tertentu seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara
Barat (NTB), dan Sulawesi Utara. Penyakit ini kemudian menyebar ke Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Selanjutnya pada awal tahun 1970-an
ledakan penyakit tungro dilaporkan terjadi di beberapa daerah sentra produksi
padi di Indonesia. Ledakan penyakit tungro terjadi di Bali pada tahun 1980, yang
meliputi Kabupaten Badung, Tabanan, dan Gianyar (Rachim 2000).
Daerah endemis penyakit tungro di Indonesia terpusat di daerah sentra
produksi padi seperti Sulawesi Selatan, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat
(Hasanuddin et al. 1995), serta propinsi Sulawesi Tenggara, Papua, dan Sulawesi
Tengah terutama di daerah Parigi Moutong (Burhanuddin 2004). Menurut data
Balai Informasi Pertanian Palu, luas serangan penyakit tungro di Sulawesi Tengah
pada tahun 2004 mencapai 217 ha terjadi di Donggala, Parigi, Banggai dan
Tolitoli. Sebelumnya, pada musim tanam 2002 serangan virus tungro terjadi di
Kabupaten Donggala, Tolitoli dan Parigi Moutong (Negara et al. 2004).
Secara ekonomi, penyakit tungro
merupakan penyakit yang sangat
penting di Asia Selatan dan Asia Tenggara, karena kerugian yang ditimbulkannya
sangat besar. Begitu pula di Indonesia penyakit ini merupakan masalah bagi
pemerintah dalam rangka meningkatan stabilitas produksi padi nasional dan juga
merupakan ancaman bagi ketahanan pangan nasional (Widiarta et al. 2003 di
8
dalam Agustina 2007). Di Indonesia, kerugian yang dirasakan oleh petani akibat
serangan virus tungro pernah terjadi di Sulawesi Selatan tahun 1972, di Bali tahun
1980, dan di Surakarta tahun 1995, dengan kerugian ditaksir milyaran rupiah
(Talanca et al. 2007). Pada musim tanam 2005/2006 lalu, virus tungro telah
menyerang tanaman padi di NTB dan Manokwari dengan tingkat serangan sedang
sampai berat. Bahkan pada musim tanam tahun ini pun produksi padi menurun
hingga lebih dari 10% di Bengkulu (Bengkulu Express 2010). Diperkirakan
kehilangan hasil akibat serangan virus tungro di seluruh Indonesia rata-rata 12.000
ha/tahun atau kerugiannya senilai Rp 48 miliar/tahun (asumsi harga gabah Rp
1.000/kg). Karenanya penyakit ini perlu diantisipasi, terutama di daerah endemis
seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB, Papua, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Bali (Puslitbangtan 2007).
Gejala Penyakit Tungro
Penyakit tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu rice tungro
bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro spherical waikavirus (RTSV).
Tanaman padi yang terinfeksi kedua virus tersebut menjadi kerdil dan kelihatan
belang serta perubahan warna kuning sampai oranye pada daun. Gejala tungro
yang khas dapat disebabkan oleh RTBV dan gejala dapat diperkuat dengan
kehadiran RTSV (Agrios 1997).
Secara umum gejala serangan virus tungro pada tanaman padi tergantung
pada ketahanan tanaman dan umur tanaman sewaktu terinfeksi. Daun-daun dari
rumpun tanaman padi yang sakit menjadi berwarna kuning oranye atau jingga dan
daun-daun muda yang baru keluar menggulung dan memendek. Perubahan warna
daun bermula dari ujung daun, meluas ke bagian pangkal daun (Gambar 1). Pada
daun tersebut terlihat bercak-bercak berwarna coklat seperti karat. Kadang-kadang
gejala kuning pada tanaman yang masih muda dapat hilang karena bertambahnya
umur tanaman sehingga seolah-olah tanaman menjadi sembuh. Apabila diteliti
tanaman tersebut masih banyak mengandung virus. Gejala perubahan warna daun
tergantung kepada varietas tanaman, umur tanaman pada saat terinfeksi, dan
keadaan lingkungan pertumbuhan.
9
Gambar 1 Gejala serangan virus tungro pada daun tanaman padi. Warna daun
yang menguning (orange), dimulai dari ujung daun dan berkembang
kebagian lamina daun bawah ([email protected] ).
Tanaman yang terinfeksi virus tungro tumbuh kerdil, jumlah anakan
sedikit, helaian daun dan pelepah daun memendek. Pada bagian bawah helaian
daun muda terjepit oleh pelepah daun sehingga daunnya terpuntir atau
menggulung sedikit. Malai pendek, gabah tidak terisi sempurna atau kebanyakan
hampa dan terdapat bercak-bercak coklat yang menutupi malai. Infeksi virus
tungro pada tanaman tua (umur di atas 50 hari setelah tanam) kurang berpengaruh
terhadap produksi dan tanaman tidak menampakkan gejala serangan sampai panen
(Ling 1972).
Penurunan jumlah anakan sangat tinggi bila infeksi terjadi pada stadium
pertumbuhan sangat awal. Jumlah anakan tanaman padi dipengaruhi umur dan
mungkin akan meningkat bila infeksi virus tungro setelah tanaman berumur lebih
dari satu bulan. Namun jumlah anakan akan tetap sedikit jika selama infeksi
terjadi, stadium petumbuhan terhambat (Ling 1972).
Penularan Penyakit Tungro
Virus tungro ditularkan secara semipersisten oleh wereng daun
Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadelidae). Vektor tersebut
menularkan RTSV secara bebas, sedangkan untuk menularkan RTBV vektor ini
membutuhkan kehadiran dari RTSV (Hibino 1987).
10
Serangga penular virus tungro terutama adalah wereng hijau (N. virescens
Distant, N. nigropictus (Stal), N. malayanus dan N. parvus). Serangga lain yang
dapat juga sebagai penular virus tungro, namun kurang efisien adalah wereng
loreng Recilia dorsalis (Motsch). Rentang efisiensi penularan virus oleh populasi
N. virescens antara 35 - 83%, dibandingkan dengan N. nigropictus yang rentang
efisiensinya antara 0 - 27%. Spesies wereng hijau lainnya seperti N. malayanus
dan N. parvus memiliki kemampuan menularkan virus berturut-turut 40% dan 7%
lebih rendah dari N. virescens (Deptan 1986).
Nephotettix sp. dikenal sebagai wereng hijau. Serangga ini menyerang
bagian daun tanaman padi. Serangga dewasa tersebut berukuran 4-6 mm.
Telurnya berbentuk bulat panjang atau lonjong berwarna terang (kuning pucat),
berukuran 1,3 x 0,30 mm. Telur ini diletakkan berderet sebanyak 5-25 butir.
Wereng daun betina mampu bertelur 200-300 butir yang diletakkan di dalam
jaringan pelepah daun. Telur tersebut menetas setelah 4-8 hari dan membentuk
serangga muda (nimfa). Nimfa ini mengalami 5 kali ganti kulit selama 16-18 hari,
kemudian menjadi dewasa setelah 2-3 hari. Terdapat dua jenis Nephotettix sp
yang dominan yaitu N. virescens dan N. nigropictus. Spesies N. virescens
berwarna hijau kekuningan dengan ujung kepala meruncing. N. virescens jantan
mempunyai ukuran 4 mm dan N. virescens betina 6 mm, sedangkan nimfa
N. virescens berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua. Spesies N. nigropictus
berwarna hijau tua dengan ujung kepalanya agak tumpul dan dilengkapi dengan
garis pita hitam yang jelas di atas bagian kepalanya. Serangga jantan
N. nigropictus berukuran 3,6 mm, sedangkan nimfa N. nigropictus berwarna
kuning coklat hingga gelap (Deptan 1986).
RTBV dan RTSV tidak berkembang pada tubuh vektornya, tidak menular
pada telur vektor virus tersebut dan menjadi hilang pada saat ganti kulit. Vektor
ini hanya memerlukan waktu penghisapan dari tanaman sakit selama 3-5 menit,
kemudian sudah mampu menularkan virus ke tanaman sehat yang rentan (Deptan
1986). Vektor ini akan menularkan virus tungro secara terus menerus sampai virus
yang dikandung tersebut habis. Masa terlama vektor ini menularkan virus tungro
secara terus menerus yang disebut masa retensi adalah 6 hari (Wathanakul dan
Weerapat 1969 dalam Widiarta 2005).
11
Cabautan dan Hibino (1984) melaporkan bahwa wereng hijau dapat
memindahkan RTSV dari tanaman padi yang hanya terinfeksi RTSV, tetapi tidak
mampu memindahkan RTBV dari tanaman yang hanya terinfeksi RTBV. RTBV
hanya dapat dipindahkan oleh wereng hijau dari tanaman yang telah terinfeksi
RTSV. Dengan demikian RTBV merupakan virus dependent sedangkan RTSV
berfungsi sebagai helper. Kedua partikel virus tersebut bersifat noncirculative,
yaitu dalam tubuh vektor virus tidak dapat ditularkan dari imago ke telur maupun
stadia perkembangan imago (Ling 1966). Disamping itu virus tungro juga tidak
dapat ditularkan melalui biji, tanah, air dan secara mekanis (misal pergesekan
antara bagian tanaman yang sakit dengan yang sehat). Nimfa wereng hijau juga
dapat menularkan virus tungro, tetapi menjadi tidak infektif setelah ganti kulit
(Widiarta 2005).
Fluktuasi kepadatan populasi vektor virus tungro sangat mempengaruhi
keberadaan tanaman terinfeksi virus tungro bila sumber inokulum virus ini sudah
ada di lapang. Persentase tanaman terinfeksi virus tungro yang tinggi pada musim
hujan (Desember hingga April) bertepatan dengan kepadatan populasi wereng
hijau yang tinggi pada periode yang sama. Sebaliknya pada musim kemarau (Mei
sampai November), persentase tanaman terinfeksi virus tungro yang rendah
bersamaan dengan kepadatan populasi wereng hijau yang lebih rendah daripada
musim hujan (Widiarta 2005).
Virus Tungro
Penyakit tungro disebabkan oleh infeksi yang terjadi secara bersama-sama
oleh dua virus, yaitu rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro
spherical waikavirus (RTSV) (Hibino et al. 1978). Kedua virus tersebut tidak
mempunyai hubungan kekerabatan karena secara morfologi dan genom keduanya
tidak mempunyai kesamaan. Pada tanaman padi yang terinfeksi, kedua virus
tersebut hidup secara bebas, RTBV terdapat dalam jaringan pembuluh (floem dan
xylem) dan RTSV hanya terdapat dalam jaringan floem. Dalam sel-sel terinfeksi,
kedua partikel RTBV dan RTSV tersebar atau terkumpul dalam sitoplasma.
Partikel RTSV juga terdapat dalam vakuola (Dahal et al. 1997).
12
RTSV termasuk kedalam famili Sequiviridae genus Waikavirus. RTSV
mempunyai genom poliadenil ssRNA, unipartit, terbungkus partikel isometrik
dengan diameter 30 nm (Hibino et al. 1978). Genom RNA RTSV kira-kira 11 kb
(kilo base) dan protein selubungnya terbentuk dari dua jenis molekul protein
(Agrios 1997).
RTBV termasuk famili Caulimoviridae dan genus Badnavirus. Bentuk
partikel RTBV adalah bacilliform dengan diameter 30-35 nm dan panjang kirakira 100-300 nm yang bervariasi antar isolat (Hibino et al. 1978). Asam nukleat
RTBV adalah DNA utas ganda dan bulat lebih kurang 8 kb. Asam nukleat
tersebut mengandung dua daerah yang tidak bersambung yang merupakan hasil
dari proses replikasi oleh reverse transcriptase dan empat open reading frames
(ORFs) (Gambar 2). ORF1 mengkode protein pada 24 kDa (P1) dan ORF4 pada
46 kDa (P4), fungsi dari keduanya belum diketahui. ORF2 mengkode protein
pada 12 kDa (P2) yang fungsinya juga belum diketahui secara pasti. ORF3
mengkode poliprotein P194 yang mempunyai fungsi berhubungan dengan coat
protein virus (37 kDa), aspartic protease, reverse transcriptase, movement
protein dan ribonuclease (Hull 1996).
13
Gambar 2 Gambaran skematik genom RTBV, polyprotein P3 dan gen protein
selubung. (A) Organisasi genome RTBV. DNA RTBV digambarkan
oleh dua garis tipis dengan dua daerah tidak bersambungan (putus)
(∆1 dan ∆ 2). Anak panah tebal diluar menggambarkan DNA empat
gen virus ini (I, II, III, dan IV). Pregenomic RNAditunjukkan sebagai
suatu anak panah tipis di sebelah dalam DNA. (B) Polyprotein P3.
Lokasi dari domain-domain tersebut berhubungan dengan movement
protein (MP), coat protein (CP), aspartic protease (PR), reverse
transcriptase (RT), dan RNase H (RH) dalam P3. Fungsi domain
yang tidak diketahui ditandai dengan tanda tanya. Posisi daerah
pemotongan dicirikan oleh garis vertikal dan anak panah. Dugaan
daerah potongan yang lain disimbolkan oleh garis zigzag dan tanda
tanya. Posisi ujung amino dan karboksi dari protein selubung (p37)
dan RT (p55 and p62) telah ditandai. Lingkaran bulat menunjukkan
posisi dari zinc finger motif dalam coat protein (Herzog et al. 2000).
14
Keragaman Gen Protein Selubung RTBV
Pendiagnosisan keragaman virus tungro dengan melihat gejala dan analisis
RFLP telah dilakukan pada isolat dari Philippina (Azzam dan Chancellor 2002a)
dan Indonesia (Suprihanto 2005). Dari diagnosis tersebut diperoleh pengetahuan
bahwa virus tungro memiliki perbedaan pada setiap lokasi. Populasi virus tungro
secara geografi dilaporkan hanya stabil pada periode waktu tertentu. Ini
menunjukkan bahwa virus tungro memberikan respon yang berbeda terhadap
perubahan lingkungan dan inang. Studi lingkungan menunjukkan bahwa pada satu
lokasi virus tungro yang memiliki keragaman secara genetik dan biologi dapat
hidup berdampingan (Azzam dan Chancellor 2002b).
Cabautan et al. (1995) melaporkan bahwa ada keragaman pada empat
strain RTBV (G1, G2, Ic dan L) dari Philippina berdasarkan gejala yang berbeda
pada varietas padi FK135 dan TN1. Uji RFLP terhadap genom empat strain
RTBV di atas menunjukkan pola RFLP yang beragam. Suprihanto (2005) juga
melakukan uji penularan virus tungro pada tanaman diferensial FK 135 dan TN1,
dan uji PCR-RFLP terhadap delapan isolat RTBV yang diambil dari daerah
endemis tungro di Indonesia. Berdasarkan gejala yang diamati dan pola PCRRFLP diketahui bahwa delapan isolat RTBV berturut-turut menyebabkan gejala
yang berbeda terutama pada warna daun dan keragaman pada gen protein
selubungnya. Demikian juga Arfianis (2006) melakukan uji diferensiasi dengan
PCR-RFLP empat isolat RTBV yang diambil dari daerah endemis tungro di Jawa
Barat. Hasil yang diperoleh pun menunjukkan adanya keragaman pada gen protein
selubung RTBV. Pengujian terhadap variasi genetik protein selubung RTBV pada
tingkat luasan hamparan padi disuatu wilayah pada varietas juga dilaporkan oleh
Agustina (2007). Hasil yang diperoleh yaitu terdapatnya keragaman pada gen
protein selubung RTBV.
Polymerase Chain Reaction
Restriction Fragment Length Polymorphism ( PCR-RFLP)
Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk
melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan
cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary
15
B. Mullis, seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Metode PCR
sangat sensitif karena dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu molekul
DNA. Metode ini juga sering digunakan untuk memisahkan gen-gen kanopi
tunggal dari sekelompok sekuen genom. PCR mensyaratkan bagian tertentu
sekuen DNA yang dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses
pelipatgandaan tersebut dilakukan. Sekuen yang diketahui tersebut penting untuk
menyediakan primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi
mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polimerase (Yuwono 2006 ).
Proses PCR pada dasarnya terdiri atas tiga tahap reaksi dengan kondisi
suhu yang berbeda secara berulang dalam beberapa siklus tertentu yaitu
denaturasi, annealing (penempelan primer) dan ekstensi primer (sintesis DNA).
Dengan reaksi amplifikasi DNA secara simultan, maka jumlah sasaran akhir telah
dilipatgandakan secara eksponensial (Mc Pherson et al. 1992 dalam Mutaqin
2000). Proses sintesis inilah yang membuat sensitifitas teknik PCR semakin
tinggi, karena dari jumlah molekul DNA yang sedikit dapat dikopi menjadi
berlipat ganda (Takahashi et al. 1993).
Restriction fragment length polymorphism (RFLP) adalah salah satu teknik
yang dapat membedakan suatu organisme dengan analisis pola pemotongan DNAnya. RFLP menggunakan enzim restriksi endonuklease yang dapat memotong
molekul DNA pada urutan nukleotida yang spesifik tergantung enzim yang
digunakan. Analisis RFLP dan ekstraksi DNA memakan waktu dan tenaga yang
banyak. Dari ekstrak DNA biasanya molekul DNA masih berupa urutan DNA
organisme yang utuh (genom). Metode PCR mampu mengamplifikasi sebagian
fragmen DNA dengan ukuran sangat kecil dari keseluruhan genom organisme
hanya dalam waktu 2-3 jam. PCR-RFLP adalah analisis RFLP yang dilakukan
terhadap fragmen DNA hasil PCR. Dengan teknik PCR-RFLP analisis pola
restriksi dapat dilakukan pada banyak sampel dengan waktu yang relatif singkat
(Simsek 2001).
Download