TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun yang juga merupakan makanan pokok utama bagi lebih dari sepertiga penduduk dunia. Dari semua padi yang diproduksi dan dikonsumsi lebih dari 90% terpusat di Asia. Sebagai sumber pemberi tenaga, beras merupakan bahan makanan utama untuk ratusan juta umat manusia, terutama bagi umat manusia yang menduduki belahan timur dari benua ini. Oleh karenanya tidaklah mengherankan bahwa tanaman padi yang terluas terdapat di negara-negara Asia yang seluruh penduduknya sebagian besar memperoleh tenaganya dari beras sebagai sumbernya (Siregar 1980). Tanaman padi diduga berasal dari negara India dan Cina kemudian menyebar ke negara-negara lain. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang, Cina sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur, Uttar Pradesh, India sekitar 100-800 SM. Tanaman padi di Indonesia berasal dari perantau-perantau Malaysia yang membawa tanaman padi sekitar tahun 1.500 SM (Siregar 1980). Botani dan Morfologi Padi Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk golongan tumbuhan Gramineae yaitu tumbuhan yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman ini juga termasuk golongan tanaman setahun/semusim (Affandi 1997). Bentuk batangnya bulat dan berongga, daunnya memanjang seperti pita yang berdiri pada ruas-ruas batang dan mempunyai sebuah malai yang terdapat pada ujung batang (Siregar 1980). Batang tanaman padi tersusun atas beberapa ruas. Ruas-ruas itu merupakan bubung kosong yang pada kedua ujung bubung ditutupi oleh buku. Panjang ruas tidak sama, ruas terpendek terdapat pada pangkal batang. Ruas kedua, ketiga dan seterusnya lebih panjang daripada ruas yang didahuluinya. Pada buku bagian bawah dari ruas tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai buku bagian atas. Tepat pada buku bagian atas ujung dari daun pelepah memper 4 lihatkan percabangan dimana cabang yang terpendek menjadi lidah daun (ligula), dan bagian yang terpanjang dan terbesar menjadi kelopak. Di dekat lidah daun dan daun kelopak terdapat dua embel sebelah kiri dan kanan yang disebut auricle. Daun kelopak yang membalut ruas yang paling atas dari batang umumnya disebut daun bendera (flag-leaf). Tepat dimana daun pelepah teratas muncul ruas yang disebut bulir padi. Bulir terdiri dari ruas-ruas pendek. Tiap-tiap ruas sebelah kiri dan kanannya timbul cabang-cabang bulir, dan pada ujung tiap-tiap cabang bulir terdapat bunga padi. Bunga padi terdiri dari tangkai bunga, perhiasan bunga dan daun mahkota yang terdiri dari dua belahan yang tidak sama besarnya (Siregar 1980). Taksonomi Padi Padi (Oryza sativa L.) merupakan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil), dengan urutan taksonomi (Siregar 1980): Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Class : Liliopsida (Monocotyledons) Subclass : Commelinidae Family : Poaceae Genus : Oryza Spesies : Oryza sativa L. Varietas Padi Varietas padi adalah segolongan tanaman yang satu sama lain memiliki sifat-sifat yang sama. Sifat-sifat tersebut diwariskan oleh tanaman tersebut kepada keturunannya. Suatu varietas dikatakan unggul jika varietas padi tersebut mempunyai sifat-sifat yang lebih daripada sifat yang dimiliki varietas padi lainnya. Sifat-sifat unggul tersebut antara lain adalah daya hasil yang lebih tinggi, umur yang lebih pendek, tahan terhadap gangguan hama atau penyakit, lebih 5 tahan terhadap tumbangnya pertanaman, mutu beras, dan rasa nasi yang lebih enak (Siregar 1980). Keunggulan dari varietas tersebut tidak bersifat kekal atau abadi. Predikat unggul yang diberikan pada suatu varietas yang tertentu hanya berlaku sebelum ditemukannya varietas baru yang dapat menandingi varietas terdahuluya dalam sifat-sifatnya (Siregar 1980). Selain varietas unggul tersebut, padi memiliki beberapa varietas yang resisten, moderat (intermediet), dan rentan terhadap hama dan penyakit. Varietas resisten dan moderat terhadap penyakit tungro diklasifikasikan tahan terhadap wereng hijau sebagai penular (vektor) patogen dan tahan terhadap virus yang merupakan penyebab penyakit tungro. Varietas tahan wereng hijau dikelompokkan berdasarkan sumber gen tetua tahannya menjadi golongan T1, T2, T3, dan T4 (Tabel 1). Anjuran penggunaan varietas tahan wereng hijau adalah (1) di Jawa Barat dapat ditanam varietas tahan golongan T1, T2, dan T4, (2) Jawa Tengah dapat menanam semua golongan varietas tahan, (3) Yogyakarta dianjurkan menanam varietas tahan dari golongan T2 dan T4, (4) Jawa Timur dan Bali hanya dianjurkan menanam varietas tahan golongan T4, dan (5) NTB dianjurkan menanam varietas tahan virus (Widiarta dan Said 2007). Tabel 1 Varietas tahan wereng hijau untuk mengendalikan penyakit tungro Golongan Varietas Gen Tahan To IR5, Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung, dan Lusi - T1 IR20, IR30, IR26, IR46, Citarum, dan Serayu T2 IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Ciliwung, Krueng Aceh dan Bengawan Solo Glh1 Glh 6 T3 IR50, IR48, IR54, IR52 dan IR64 Glh 5 T4 IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun, dan Klara. Glh 4 Sumber: Widiarta dan Said 2007 (-) Tidak Ada. 6 Varietas tahan virus tungro yang telah dilepas antara lain Tukad Petanu, Tukad Unda, Tukad Balian, Kalimas, dan Bondoyudo yang sesuai di setiap daerah (Tabel 2). Varietas Tukad Petanu dapat dianjurkan untuk ditanam di seluruh daerah endemis, sedangkan Tukad Unda dianjurkan ditanam di NTB dan di Sulawesi Selatan. Petani di derah Bali dan Sulawesi Selatan dianjurkan menanam varietas Tukad Balian dan Bondoyudo. Varietas Kalimas dan Bondoyudo diketahui tahan terhadap penyakit tungro di Jawa Timur (Widiarta dan Said 2007). Tabel 2 Pewilayahan kesesuaian varietas tahan virus tungro Varietas Kesesuaian Daerah Jabar Jateng Jatim Bali Mataram Sulsel Tukad Petanu + + + + + + Tukad Unda - - - - + + Tukad Balian - - + + - + Bondoyudo - - + + - + Kalimas - - + - - - Sumber: Widiarta dan Said 2007 (+): Sesuai (tungro < 50%) (-): Tidak (tungro > 50%) Varietas yang disukai petani sekarang ini umumnya berpotensi hasil tinggi namun disisi lain berpeluang terinfeksi oleh penyakit tungro. Ciherang dan IR64 merupakan salah satu varietas yang sering ditanam petani karena mempunyai rasa nasi enak (Puslitbangtan 2007). Ciherang adalah varietas padi yang termasuk golongan padi sawah yang dilepas pada tahun 2000, tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3 (Syam 2007). IR64 merupakan varietas padi tipe indica yang dikeluarkan IRRI (1985-1989). Meskipun varietas padi ini resisten wereng hijau namun memiliki kerentanan terhadap virus tungro (Hibino 1987). Taichung Native 1 (TN1) adalah varietas padi hasil persilangan dari padi varietas Dee-Geo- 7 Woo-Gen dan Tsai-Yuan-Chung yang dirakit pada tahun 1949 oleh pemulia tanaman di Taichung District Agricultural Improvement Station, Taiwan. TN1 adalah varietas padi yang rentan terhadap virus tungro dan wereng hijau (Cabautan et al. 1995). Penyakit Tungro Arti Penting Penyakit Tungro Tungro yang berarti ‘pertumbuhan terhambat’, untuk pertama kali ditemukan di Philiphina pada tahun 1963 dan merupakan penyakit yang sangat merugikan. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang ditularkan wereng daun, terutama Nephotettix virescens Distant (Semangun 1991). Di Indonesia, penyakit tungro mula-mula hanya terbatas penyebarannya di daerah tertentu seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi Utara. Penyakit ini kemudian menyebar ke Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Selanjutnya pada awal tahun 1970-an ledakan penyakit tungro dilaporkan terjadi di beberapa daerah sentra produksi padi di Indonesia. Ledakan penyakit tungro terjadi di Bali pada tahun 1980, yang meliputi Kabupaten Badung, Tabanan, dan Gianyar (Rachim 2000). Daerah endemis penyakit tungro di Indonesia terpusat di daerah sentra produksi padi seperti Sulawesi Selatan, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat (Hasanuddin et al. 1995), serta propinsi Sulawesi Tenggara, Papua, dan Sulawesi Tengah terutama di daerah Parigi Moutong (Burhanuddin 2004). Menurut data Balai Informasi Pertanian Palu, luas serangan penyakit tungro di Sulawesi Tengah pada tahun 2004 mencapai 217 ha terjadi di Donggala, Parigi, Banggai dan Tolitoli. Sebelumnya, pada musim tanam 2002 serangan virus tungro terjadi di Kabupaten Donggala, Tolitoli dan Parigi Moutong (Negara et al. 2004). Secara ekonomi, penyakit tungro merupakan penyakit yang sangat penting di Asia Selatan dan Asia Tenggara, karena kerugian yang ditimbulkannya sangat besar. Begitu pula di Indonesia penyakit ini merupakan masalah bagi pemerintah dalam rangka meningkatan stabilitas produksi padi nasional dan juga merupakan ancaman bagi ketahanan pangan nasional (Widiarta et al. 2003 di 8 dalam Agustina 2007). Di Indonesia, kerugian yang dirasakan oleh petani akibat serangan virus tungro pernah terjadi di Sulawesi Selatan tahun 1972, di Bali tahun 1980, dan di Surakarta tahun 1995, dengan kerugian ditaksir milyaran rupiah (Talanca et al. 2007). Pada musim tanam 2005/2006 lalu, virus tungro telah menyerang tanaman padi di NTB dan Manokwari dengan tingkat serangan sedang sampai berat. Bahkan pada musim tanam tahun ini pun produksi padi menurun hingga lebih dari 10% di Bengkulu (Bengkulu Express 2010). Diperkirakan kehilangan hasil akibat serangan virus tungro di seluruh Indonesia rata-rata 12.000 ha/tahun atau kerugiannya senilai Rp 48 miliar/tahun (asumsi harga gabah Rp 1.000/kg). Karenanya penyakit ini perlu diantisipasi, terutama di daerah endemis seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB, Papua, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali (Puslitbangtan 2007). Gejala Penyakit Tungro Penyakit tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro spherical waikavirus (RTSV). Tanaman padi yang terinfeksi kedua virus tersebut menjadi kerdil dan kelihatan belang serta perubahan warna kuning sampai oranye pada daun. Gejala tungro yang khas dapat disebabkan oleh RTBV dan gejala dapat diperkuat dengan kehadiran RTSV (Agrios 1997). Secara umum gejala serangan virus tungro pada tanaman padi tergantung pada ketahanan tanaman dan umur tanaman sewaktu terinfeksi. Daun-daun dari rumpun tanaman padi yang sakit menjadi berwarna kuning oranye atau jingga dan daun-daun muda yang baru keluar menggulung dan memendek. Perubahan warna daun bermula dari ujung daun, meluas ke bagian pangkal daun (Gambar 1). Pada daun tersebut terlihat bercak-bercak berwarna coklat seperti karat. Kadang-kadang gejala kuning pada tanaman yang masih muda dapat hilang karena bertambahnya umur tanaman sehingga seolah-olah tanaman menjadi sembuh. Apabila diteliti tanaman tersebut masih banyak mengandung virus. Gejala perubahan warna daun tergantung kepada varietas tanaman, umur tanaman pada saat terinfeksi, dan keadaan lingkungan pertumbuhan. 9 Gambar 1 Gejala serangan virus tungro pada daun tanaman padi. Warna daun yang menguning (orange), dimulai dari ujung daun dan berkembang kebagian lamina daun bawah ([email protected] ). Tanaman yang terinfeksi virus tungro tumbuh kerdil, jumlah anakan sedikit, helaian daun dan pelepah daun memendek. Pada bagian bawah helaian daun muda terjepit oleh pelepah daun sehingga daunnya terpuntir atau menggulung sedikit. Malai pendek, gabah tidak terisi sempurna atau kebanyakan hampa dan terdapat bercak-bercak coklat yang menutupi malai. Infeksi virus tungro pada tanaman tua (umur di atas 50 hari setelah tanam) kurang berpengaruh terhadap produksi dan tanaman tidak menampakkan gejala serangan sampai panen (Ling 1972). Penurunan jumlah anakan sangat tinggi bila infeksi terjadi pada stadium pertumbuhan sangat awal. Jumlah anakan tanaman padi dipengaruhi umur dan mungkin akan meningkat bila infeksi virus tungro setelah tanaman berumur lebih dari satu bulan. Namun jumlah anakan akan tetap sedikit jika selama infeksi terjadi, stadium petumbuhan terhambat (Ling 1972). Penularan Penyakit Tungro Virus tungro ditularkan secara semipersisten oleh wereng daun Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadelidae). Vektor tersebut menularkan RTSV secara bebas, sedangkan untuk menularkan RTBV vektor ini membutuhkan kehadiran dari RTSV (Hibino 1987). 10 Serangga penular virus tungro terutama adalah wereng hijau (N. virescens Distant, N. nigropictus (Stal), N. malayanus dan N. parvus). Serangga lain yang dapat juga sebagai penular virus tungro, namun kurang efisien adalah wereng loreng Recilia dorsalis (Motsch). Rentang efisiensi penularan virus oleh populasi N. virescens antara 35 - 83%, dibandingkan dengan N. nigropictus yang rentang efisiensinya antara 0 - 27%. Spesies wereng hijau lainnya seperti N. malayanus dan N. parvus memiliki kemampuan menularkan virus berturut-turut 40% dan 7% lebih rendah dari N. virescens (Deptan 1986). Nephotettix sp. dikenal sebagai wereng hijau. Serangga ini menyerang bagian daun tanaman padi. Serangga dewasa tersebut berukuran 4-6 mm. Telurnya berbentuk bulat panjang atau lonjong berwarna terang (kuning pucat), berukuran 1,3 x 0,30 mm. Telur ini diletakkan berderet sebanyak 5-25 butir. Wereng daun betina mampu bertelur 200-300 butir yang diletakkan di dalam jaringan pelepah daun. Telur tersebut menetas setelah 4-8 hari dan membentuk serangga muda (nimfa). Nimfa ini mengalami 5 kali ganti kulit selama 16-18 hari, kemudian menjadi dewasa setelah 2-3 hari. Terdapat dua jenis Nephotettix sp yang dominan yaitu N. virescens dan N. nigropictus. Spesies N. virescens berwarna hijau kekuningan dengan ujung kepala meruncing. N. virescens jantan mempunyai ukuran 4 mm dan N. virescens betina 6 mm, sedangkan nimfa N. virescens berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua. Spesies N. nigropictus berwarna hijau tua dengan ujung kepalanya agak tumpul dan dilengkapi dengan garis pita hitam yang jelas di atas bagian kepalanya. Serangga jantan N. nigropictus berukuran 3,6 mm, sedangkan nimfa N. nigropictus berwarna kuning coklat hingga gelap (Deptan 1986). RTBV dan RTSV tidak berkembang pada tubuh vektornya, tidak menular pada telur vektor virus tersebut dan menjadi hilang pada saat ganti kulit. Vektor ini hanya memerlukan waktu penghisapan dari tanaman sakit selama 3-5 menit, kemudian sudah mampu menularkan virus ke tanaman sehat yang rentan (Deptan 1986). Vektor ini akan menularkan virus tungro secara terus menerus sampai virus yang dikandung tersebut habis. Masa terlama vektor ini menularkan virus tungro secara terus menerus yang disebut masa retensi adalah 6 hari (Wathanakul dan Weerapat 1969 dalam Widiarta 2005). 11 Cabautan dan Hibino (1984) melaporkan bahwa wereng hijau dapat memindahkan RTSV dari tanaman padi yang hanya terinfeksi RTSV, tetapi tidak mampu memindahkan RTBV dari tanaman yang hanya terinfeksi RTBV. RTBV hanya dapat dipindahkan oleh wereng hijau dari tanaman yang telah terinfeksi RTSV. Dengan demikian RTBV merupakan virus dependent sedangkan RTSV berfungsi sebagai helper. Kedua partikel virus tersebut bersifat noncirculative, yaitu dalam tubuh vektor virus tidak dapat ditularkan dari imago ke telur maupun stadia perkembangan imago (Ling 1966). Disamping itu virus tungro juga tidak dapat ditularkan melalui biji, tanah, air dan secara mekanis (misal pergesekan antara bagian tanaman yang sakit dengan yang sehat). Nimfa wereng hijau juga dapat menularkan virus tungro, tetapi menjadi tidak infektif setelah ganti kulit (Widiarta 2005). Fluktuasi kepadatan populasi vektor virus tungro sangat mempengaruhi keberadaan tanaman terinfeksi virus tungro bila sumber inokulum virus ini sudah ada di lapang. Persentase tanaman terinfeksi virus tungro yang tinggi pada musim hujan (Desember hingga April) bertepatan dengan kepadatan populasi wereng hijau yang tinggi pada periode yang sama. Sebaliknya pada musim kemarau (Mei sampai November), persentase tanaman terinfeksi virus tungro yang rendah bersamaan dengan kepadatan populasi wereng hijau yang lebih rendah daripada musim hujan (Widiarta 2005). Virus Tungro Penyakit tungro disebabkan oleh infeksi yang terjadi secara bersama-sama oleh dua virus, yaitu rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro spherical waikavirus (RTSV) (Hibino et al. 1978). Kedua virus tersebut tidak mempunyai hubungan kekerabatan karena secara morfologi dan genom keduanya tidak mempunyai kesamaan. Pada tanaman padi yang terinfeksi, kedua virus tersebut hidup secara bebas, RTBV terdapat dalam jaringan pembuluh (floem dan xylem) dan RTSV hanya terdapat dalam jaringan floem. Dalam sel-sel terinfeksi, kedua partikel RTBV dan RTSV tersebar atau terkumpul dalam sitoplasma. Partikel RTSV juga terdapat dalam vakuola (Dahal et al. 1997). 12 RTSV termasuk kedalam famili Sequiviridae genus Waikavirus. RTSV mempunyai genom poliadenil ssRNA, unipartit, terbungkus partikel isometrik dengan diameter 30 nm (Hibino et al. 1978). Genom RNA RTSV kira-kira 11 kb (kilo base) dan protein selubungnya terbentuk dari dua jenis molekul protein (Agrios 1997). RTBV termasuk famili Caulimoviridae dan genus Badnavirus. Bentuk partikel RTBV adalah bacilliform dengan diameter 30-35 nm dan panjang kirakira 100-300 nm yang bervariasi antar isolat (Hibino et al. 1978). Asam nukleat RTBV adalah DNA utas ganda dan bulat lebih kurang 8 kb. Asam nukleat tersebut mengandung dua daerah yang tidak bersambung yang merupakan hasil dari proses replikasi oleh reverse transcriptase dan empat open reading frames (ORFs) (Gambar 2). ORF1 mengkode protein pada 24 kDa (P1) dan ORF4 pada 46 kDa (P4), fungsi dari keduanya belum diketahui. ORF2 mengkode protein pada 12 kDa (P2) yang fungsinya juga belum diketahui secara pasti. ORF3 mengkode poliprotein P194 yang mempunyai fungsi berhubungan dengan coat protein virus (37 kDa), aspartic protease, reverse transcriptase, movement protein dan ribonuclease (Hull 1996). 13 Gambar 2 Gambaran skematik genom RTBV, polyprotein P3 dan gen protein selubung. (A) Organisasi genome RTBV. DNA RTBV digambarkan oleh dua garis tipis dengan dua daerah tidak bersambungan (putus) (∆1 dan ∆ 2). Anak panah tebal diluar menggambarkan DNA empat gen virus ini (I, II, III, dan IV). Pregenomic RNAditunjukkan sebagai suatu anak panah tipis di sebelah dalam DNA. (B) Polyprotein P3. Lokasi dari domain-domain tersebut berhubungan dengan movement protein (MP), coat protein (CP), aspartic protease (PR), reverse transcriptase (RT), dan RNase H (RH) dalam P3. Fungsi domain yang tidak diketahui ditandai dengan tanda tanya. Posisi daerah pemotongan dicirikan oleh garis vertikal dan anak panah. Dugaan daerah potongan yang lain disimbolkan oleh garis zigzag dan tanda tanya. Posisi ujung amino dan karboksi dari protein selubung (p37) dan RT (p55 and p62) telah ditandai. Lingkaran bulat menunjukkan posisi dari zinc finger motif dalam coat protein (Herzog et al. 2000). 14 Keragaman Gen Protein Selubung RTBV Pendiagnosisan keragaman virus tungro dengan melihat gejala dan analisis RFLP telah dilakukan pada isolat dari Philippina (Azzam dan Chancellor 2002a) dan Indonesia (Suprihanto 2005). Dari diagnosis tersebut diperoleh pengetahuan bahwa virus tungro memiliki perbedaan pada setiap lokasi. Populasi virus tungro secara geografi dilaporkan hanya stabil pada periode waktu tertentu. Ini menunjukkan bahwa virus tungro memberikan respon yang berbeda terhadap perubahan lingkungan dan inang. Studi lingkungan menunjukkan bahwa pada satu lokasi virus tungro yang memiliki keragaman secara genetik dan biologi dapat hidup berdampingan (Azzam dan Chancellor 2002b). Cabautan et al. (1995) melaporkan bahwa ada keragaman pada empat strain RTBV (G1, G2, Ic dan L) dari Philippina berdasarkan gejala yang berbeda pada varietas padi FK135 dan TN1. Uji RFLP terhadap genom empat strain RTBV di atas menunjukkan pola RFLP yang beragam. Suprihanto (2005) juga melakukan uji penularan virus tungro pada tanaman diferensial FK 135 dan TN1, dan uji PCR-RFLP terhadap delapan isolat RTBV yang diambil dari daerah endemis tungro di Indonesia. Berdasarkan gejala yang diamati dan pola PCRRFLP diketahui bahwa delapan isolat RTBV berturut-turut menyebabkan gejala yang berbeda terutama pada warna daun dan keragaman pada gen protein selubungnya. Demikian juga Arfianis (2006) melakukan uji diferensiasi dengan PCR-RFLP empat isolat RTBV yang diambil dari daerah endemis tungro di Jawa Barat. Hasil yang diperoleh pun menunjukkan adanya keragaman pada gen protein selubung RTBV. Pengujian terhadap variasi genetik protein selubung RTBV pada tingkat luasan hamparan padi disuatu wilayah pada varietas juga dilaporkan oleh Agustina (2007). Hasil yang diperoleh yaitu terdapatnya keragaman pada gen protein selubung RTBV. Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism ( PCR-RFLP) Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary 15 B. Mullis, seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Metode PCR sangat sensitif karena dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu molekul DNA. Metode ini juga sering digunakan untuk memisahkan gen-gen kanopi tunggal dari sekelompok sekuen genom. PCR mensyaratkan bagian tertentu sekuen DNA yang dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses pelipatgandaan tersebut dilakukan. Sekuen yang diketahui tersebut penting untuk menyediakan primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polimerase (Yuwono 2006 ). Proses PCR pada dasarnya terdiri atas tiga tahap reaksi dengan kondisi suhu yang berbeda secara berulang dalam beberapa siklus tertentu yaitu denaturasi, annealing (penempelan primer) dan ekstensi primer (sintesis DNA). Dengan reaksi amplifikasi DNA secara simultan, maka jumlah sasaran akhir telah dilipatgandakan secara eksponensial (Mc Pherson et al. 1992 dalam Mutaqin 2000). Proses sintesis inilah yang membuat sensitifitas teknik PCR semakin tinggi, karena dari jumlah molekul DNA yang sedikit dapat dikopi menjadi berlipat ganda (Takahashi et al. 1993). Restriction fragment length polymorphism (RFLP) adalah salah satu teknik yang dapat membedakan suatu organisme dengan analisis pola pemotongan DNAnya. RFLP menggunakan enzim restriksi endonuklease yang dapat memotong molekul DNA pada urutan nukleotida yang spesifik tergantung enzim yang digunakan. Analisis RFLP dan ekstraksi DNA memakan waktu dan tenaga yang banyak. Dari ekstrak DNA biasanya molekul DNA masih berupa urutan DNA organisme yang utuh (genom). Metode PCR mampu mengamplifikasi sebagian fragmen DNA dengan ukuran sangat kecil dari keseluruhan genom organisme hanya dalam waktu 2-3 jam. PCR-RFLP adalah analisis RFLP yang dilakukan terhadap fragmen DNA hasil PCR. Dengan teknik PCR-RFLP analisis pola restriksi dapat dilakukan pada banyak sampel dengan waktu yang relatif singkat (Simsek 2001).