Surat Utang Kemahalan Pemerintah Terlalu Memaksakan Diri 14-01-08 Jakarta, Kompas - Surat utang berdenominasi dollar AS yang dijual pemerintah dinilai terlalu mahal jika dibandingkan dengan surat utang serupa dari negara lain. Akibat penerbitan obligasi seri Indo-18 dan seri Indo-38 itu, pemerintah harus menanggung beban pembayaran yang lebih besar dari semestinya. Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, di Jakarta, Jumat (11/1), memaparkan, tingkat imbal hasil (yield) obligasi Pemerintah RI, yang diterbitkan di New York, Amerika Serikat, pada 10 Januari 2008, jauh lebih tinggi daripada obligasi negara lain. Imbal hasil obligasi Pemerintah Filipina, misalnya, hanya 6,24 persen pada tenor 10 tahun. Sementara obligasi seri Indo-18 dengan tenor 10 tahun imbal hasilnya 6,95 persen, lebih mahal 71 basis poin daripada Filipina. "Padahal, Filipina dikenal dengan ketidakamanan dan ketidakstabilan politik. Kondisinya jauh di bawah keamanan dan kestabilan Indonesia saat ini," ujar Dradjad. Dibandingkan dengan obligasi serupa dari Korea Selatan, yield Indo-18 pun jauh lebih mahal. Obligasi valuta asing Korsel dilepas dengan yield 5,64 persen, sementara Hongkong melepas pada posisi 3,62 persen. Obligasi seri Indo-18 untuk masa jatuh tempo 10 tahun, sementara Indo-38 untuk tenor 30 tahun. Dari lelang kedua obligasi itu pemerintah menyerap dana 2 miliar dollar AS. Indo-18 dilepas pada yield 6,95 persen dengan kupon 6,875 persen. Sementara yield untuk seri Indo-38 ditetapkan 7,74 persen dengan kupon 7,75 persen. Menanggapi pendapat tersebut, saat dihubungi di New York, Minggu (13/1), Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto menegaskan, salah satu pertimbangan menerbitkan Indo-18 dan Indo-38 pada yield 6,95 persen dan 7,74 persen adalah kedalaman pasar. Pasar obligasi Indonesia dinilai belum terlalu mendalam. Padahal, semakin mendalam pasar sebuah obligasi akan semakin murah yield surat utang itu. "Pasar obligasi Indonesia belum sedalam negara berkembang lainnya, seperti Turki dan Filipina. Filipina rutin menerbitkan obligasi sejak lama. Indonesia baru masuk pasar obligasi internasional pada 2004," ujarnya. Imbal hasil obligasi Indonesia, kata Rahmat, masih harus dilepas di level tinggi karena persepsi pasar global bahwa obligasi pemerintah berisiko tinggi gagal bayar. Persepsi ini muncul karena pasar menilai tingkat harga obligasi yang diterbitkan pertama kali (premium) lebih mahal ketimbang Kolombia dan Brasil. "Secara fundamental perekonomian Indonesia kuat, tetapi jarak antara suku bunga obligasi Indonesia dan AS saat krisis masih sangat lebar dibandingkan dengan obligasi negara berkembang lain terhadap obligasi Pemerintah AS," ujar Rahmat. Mayoritas AS Dari total obligasi seri Indo-18 yang dilepas, 47 persen dibeli investor asal AS. Sementara sisanya, 24 persen tersebar di Asia dan 29 persen di Eropa. Investor AS juga memborong seri Indo-38, yaitu 52 persen dari total obligasi yang dilepas. Investor Eropa 38 persen dan investor Asia 10 persen. Dradjad berpendapat, dari distribusi kedua seri obligasi tampak bahwa kepemilikan seri Indo-18 dan Indo-38 dikuasai investor yang tidak akrab dengan risiko di Indonesia, yaitu investor dari AS. Mereka investor yang "melarikan diri" dari pasar AS pascakrisis subprime mortgage di negara itu. "Oleh sebab itu, mereka meminta yield yang lebih tinggi untuk mengompensasi ketidaktahuannya," ujar Drajad. Menurut Dradjad, pemerintah terlalu memaksakan diri menerbitkan obligasi itu hanya karena ingin memenuhi target APBN 2008. Sebab, risiko ekonomi yang bisa memengaruhi pos penerimaan di APBN 2008 sangat tinggi. "Dari sisi penerimaan terdapat risiko dana tunai pajak tidak mencapai target. Sementara sisi belanja, ada risiko pembengkakan belanja karena tambahan beban subsidi dan pembayaran utang. Akibatnya, pemerintah menerbitkan obligasi yang berbiaya mahal," tutur Dradjad. (OIN)