studi kasus mengenai subjective well-being pada

advertisement
Psikologia 2015, Vol. 10, No. 1, hal. 10-17
10
STUDI KASUS MENGENAI SUBJECTIVE WELL-BEING PADA
REMAJA DALAM MASA EMERGING ADULTHOOD YANG
ORANG TUANYA BERCERAI
Elia Lady Hioeliani, Carolina Nitimihardjo dan Tery Setiawan
Universitas Kristen Maranatha
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran dinamika subjective well-being pada remaja
dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai. Rancangan yang digunakan adalah studi
kasus. Penelitian ini menggunakan dua kasus, dengan karakteristik bahwa perceraian orang tua terjadi
ketika remaja berada pada rentang usia sekolah dasar. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
metode wawancara secara mendalam. Kerangka wawancara dibuat oleh peneliti berdasarkan teori
subjective well-being dari Ed Diener dan Robert Biswas-Diener (2008). Kredibilitas dari penelitian ini
ditingkatkan dengan menggunakan triangulasi data. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan
menggunakan mixed methods content analysis, diperoleh gambaran dinamika subjective well-being
dilihat dari aspek dan faktor yang memengaruhinya. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah
bahwa saat ini remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai dapat dikatakan
cenderung bahagia (subjective well-being). Agama, pendapatan, relasi sosial, dan tujuan hidup
merupakan faktor penting yang memengaruhi tercapainya subjective well-being. Peneliti mengajukan
saran agar peneliti selanjutnya melakukan penelitian kepada subjek dengan jenis kelamin yang berbeda.
Kata-kata kunci: Subjective well-being, remaja emerging adulthood, orang tuanya bercerai
CASE STUDY OF SUBJECTIVE WELL-BEING IN ADOLESCENTS
IN THE EMERGING ADULTHOOD WITH DIVORCED PARENTS
ABSTRACTS
This research is a case study concerning subjective well-being in adolescents in the period of emerging
adulthood whose parents were divorced. The purpose of this research is to obtain the dynamic of
subjective well-being in adolescents in the period of emerging adulthood whose parents were divorced.
This research used two cases, with characteristic that parental divorce occurred when adolescents were
in primary school. The data is obtained by using in-depth interview. Framework interview is made by
researcher using subjective well -being theory by Ed Diener and Robert Biswas-Diener (2008).
Credibility of this research is improved by using data triangulation. Based on data analysis using mixed
methods content analysis, researcher obtains the picture of the dynamic of subjective well-being from the
aspects and influencial factors. Conclusion from this research is adolescents in the period of emerging
adulthood whose parents were divorced tend to be happy (subjective well-being). Religion, income, social
relations, and the purpose of life are important factors that influence the achievement of subjective wellbeing. Suggestion for the next researcher is to use a different gender as their subject of research.
Keywords: Subjective well-being, adolescents in emerging adulthood, divorced parents
Fenomena perceraian merupakan hal
yang sudah umum terjadi di masyarakat.
Perceraian adalah puncak dari penyesuaian
perkawinan yang buruk, yang terjadi
apabila antara suami dan istri sudah tidak
mampu lagi mencari cara penyelesaian
masalah yang dapat memuaskan kedua
belah pihak (Hurlock, 1980). Di Indonesia,
Korespondensi mengenai penelitian ini dapat
dilayangkan ke [email protected]
Rekomendasi mensitasi:
Hioeliani, E, R. , Nitimihardjo, C.,& Setiawan, T.
(2015).Studi Kasus Mengenai Subjective Well-Being
Pada Remaja Dalam Masa Emerging Adulthood
Yang Orang Tuanya Bercerai. Psikologia, 10(1), 1017
11
perceraian menjadi legal secara hukum
sejak
disahkannya
Undang-Undang
Perkawinan, UU No.1 tahun 1974. Saat ini,
angka perceraian di Indonesia semakin
meningkat. Menurut Direktorat Jendral
Badan Peradilan Agama (BPA) Mahkamah
Agung RI, H Wahyu Widiana, berdasarkan
hasil rekapitulasi dari 33 Pengadilan Tinggi
Agama (PTA) se-Indonesia sejak tahun
2005-2011, angka perceraian di Indonesia
naik drastis hingga 70 persen per tahun.
Jika pada tahun 2005 angka perceraian
hanya 55.509 perkara, maka pada tahun
2011 menjadi 333.844 perkara (Dirjen
Badan Peradilan Agama, 2012. Angka
Perceraian di Indonesia Memprihatinkan.
Pikiran Rakyat Online Jumat, 10 Februari
2012. http://www.pikiran-rakyat.com).
Bercerai
dengan
orang
yang
sebelumnya atau masih dicintai merupakan
suatu peristiwa yang tidak menyenangkan.
Setelah bercerai, kebanyakan orang tua
memiliki dua masalah, yaitu penyesuaian
terhadap konflik-konflik intrapsikis dan
terhadap peran mereka sebagai orang tua
yang bercerai. Penelitian menunjukkan
bahwa perceraian dapat menimbulkan
perasaan-perasaan
yang
dapat
memengaruhi cara orang tua dalam
mengasuh anaknya, seperti perasaan
khawatir, kelelahan dan stres (Strohschein,
2007 dalam Fagan & Churchill, 2012).
Perceraian
menyebabkan
anak
mengalami reaksi emosional yang
menyakitkan (Amato dan Keith, 1991
dalam Amato, 1994). Namun, intensitas
dan cara mereka menyampaikan perasaan
bervariasi sesuai dengan jenis kelamin,
temperamen, dan usia anak. Anak laki-laki
lebih
mengalami
kesulitan
dalam
menyesuaikan diri secara sosial. Anakanak yang memiliki difficult temperament
kurang mampu bertahan terhadap stres dan
menunjukkan beragam kesulitan dalam
jangka waktu yang lama. Anak usia sekolah
dasar memiliki kematangan kognisi yang
lebih baik daripada anak usia pra sekolah,
sehingga mereka dapat lebih memahami
arti dari perceraian (Amato, 1994).
Menurut Amato (1994), pemahaman
anak usia sekolah dasar mengenai
perceraian dapat menimbulkan rasa
kehilangan, perasaan sedih, dan depresi.
Beberapa anak menganggap perceraian
sebagai suatu penolakan atas diri mereka.
Anak cenderung akan menyalahkan orang
tua atas terjadinya perceraian dan
merasakan amarah yang sangat besar
terhadap satu atau kedua orang tuanya.
Anak yang berasal dari keluarga yang
bercerai rata-rata mengalami lebih banyak
masalah
dan
memiliki
tingkat
kesejahteraan (well-being) yang lebih
rendah daripada anak yang berasal dari
keluarga yang lengkap (Amato & Keith,
1991 dalam Amato,1994). Masalahmasalah tersebut mencakup prestasi
akademis yang lebih rendah, gangguan
perilaku,
penyesuaian
(adjustment)
psikologis yang lebih buruk, self concept
yang lebih negatif, dan mengalami
kesulitan secara sosial. Dampak perceraian
orang tua yang dialami anak usia sekolah
dasar dapat menghambat anak untuk
memenuhi tugas perkembangan pada masa
emerging adulthood.
Masa emerging adulthood adalah
suatu masa transisi antara remaja dan
dewasa, yang berkisar antara usia 18-25
tahun (Arnett, 2007). Emerging adulthood
adalah
masa
di
mana
remaja
mengeksplorasi berbagai kemungkinan
dalam hal percintaan dan pekerjaan,
sebelum akhirnya mereka memutuskan
untuk berkomitmen pada kedua hal
tersebut. Selain itu, remaja juga
12
memfokuskan
dirinya
untuk
mengembangkan pengetahuan, keahlian,
dan pemahaman diri (self-understanding)
yang dibutuhkan saat mereka dewasa.
Berdasarkan hasil survey awal kepada
dua orang remaja dalam masa emerging
adulthood yang berinisial S dan F,
diketahui bahwa perceraian orang tua
membuat subjek merasakan iri hati,
kebencian, kesepian, dan kemarahan.
Bahkan, salah satu subjek masih merasakan
dampak dari perceraian orang tuanya.
Salah satu subjek lebih menutup diri dan
membatasi relasinya, terutama dengan
lawan jenis. Kurangnya pemahaman diri
dan eksplorasi dalam membina hubungan
dengan lawan jenis dapat menghambat
subjek penelitian ini untuk memenuhi tugas
perkembangan dalam masa emerging
adulthood. Kegagalan dalam memenuhi
tugas perkembangan dapat menimbulkan
kesulitan dalam menghadapi tugas di tahap
berikutnya dan dapat menimbulkan
ketidakbahagiaan (Hurlock, 1980).
Kebahagiaan, yang dalam bahasa
ilmiahnya disebut dengan subjective wellbeing, adalah semua jenis evaluasi, baik
kognitif maupun afektif, yang dibuat
individu atas hidupnya (Diener, 2008).
Subjective well-being memiliki empat
aspek, yaitu afek positif, afek negatif, life
satisfaction, dan flourishing. Afek positif
merupakan suasana hati dan emosi yang
menyenangkan, seperti kegembiraan dan
kasih sayang. Afek negatif meliputi
suasana hati dan emosi yang tidak
menyenangkan, serta mewakili respon
negatif yang individu alami terhadap
kehidupan, kesehatan, peristiwa, dan
lingkungannya.
Life
satisfication
menunjukkan
bagaimana
individu
mengevaluasi dan menilai hidupnya secara
keseluruhan. Life satisfaction bergantung
pada area-area kehidupan seperti, relasi
sosial, kesehatan, pekerjaan, pendapatan,
dan agama. Flourishing adalah evaluasi
positif atas aspek kehidupan lainnya.
Flourishing berhubungan dengan apakah
individu memiliki tujuan hidup, serta
merasa bahwa hidupnya berarti.
Perceraian orang tua memberikan
dampak yang berbeda pada masing-masing
individu. Berdasarkan hasil survey awal,
didapati bahwa perceraian orang tua dapat
menimbulkan afek negatif. Perceraian
orang tua juga memengaruhi area-area
kehidupan, seperti kondisi ekonomi dan
relasi sosial remaja dalam masa emerging
adulthood. Relasi sosial dan kondisi
ekonomi
merupakan
faktor
yang
memengaruhi kepuasan hidup (life
satisfaction). Afek negatif dan life
satisfaction merupakan aspek-aspek dari
subjective well-being. Berdasarkan uraian
di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Studi Kasus
Mengenai Subjective Well-Being Pada
Remaja dalam Masa Emerging Adulthood
yang Orang Tuanya Bercerai”. Penelitian
ini difokuskan pada sampel yang orang
tuanya bercerai ketika mereka berada pada
rentang usia sekolah dasar, karena
dianggap bahwa perceraian pada masa itu
berdampak besar pada remaja dalam masa
emerging adulthood.
Dari penelitian ini, ingin diketahui
bagaimana gambaran subjective well-being
pada remaja dalam masa emerging
adulthood yang orang tuanya bercerai.
Asumsi dari penelitian ini adalah: (1)
Subjective well-being pada remaja dalam
masa emerging adulthood yang orang
tuanya bercerai dapat dipahami melalui
aspek: afek positif, afek negatif, kepuasan
hidup (life satisfaction), dan flourishing;
(2) Subjective well-being pada remaja
13
dalam masa emerging adulthood yang
orang tuanya bercerai dapat dipengaruhi
oleh faktor tujuan hidup, relasi sosial,
pendapatan, dan agama.
METODE
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus yang
bertujuan untuk memperoleh gambaran
dinamika subjective well-being pada
remaja dalam masa emerging adulthood
yang orang tuanya bercerai. Metode studi
kasus adalah suatu pendekatan untuk
meneliti fenomena sosial melalui analisis
yang mendalam terhadap kasus yang
dialami
individu
(Kumar,
1999).
Karakteristik kasus dalam penelitian ini
sebagai berikut: 1. Remaja dalam masa
emerging adulthood, berusia antara 18-25
tahun; 2. Remaja yang orang tuanya
bercerai atau berpisah saat remaja berada
pada rentang usia sekolah dasar; dan 3.
Jumlah kasus dalam penelitian ini adalah
dua kasus.
Penelitian ini akan menggunakan
teknik triangulasi data yang bertujuan
untuk meningkatkan rigor. Triangulasi data
adalah penggunaan lebih dari satu sumber
data. Hasil wawancara mengenai subjective
well-being akan dianalisis menggunakan
teknik mixed methods content analysis.
Mixed methods research adalah sebuah
desain
penelitian
dimana
peneliti
mengumpulkan,
menganalisis,
dan
menggabungkan (mengintegrasi atau
menghubungkan) data kuantitatif dan
kualitatif dalam suatu penelitian (Creswell,
J., 2007 dalam Johnson, B & Anthony J,
2007). Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan qualitative dominant mixed
methods research (QUAL+quan research).
Qualitative dominant mixed methods
research adalah salah satu tipe mixed
research yang mengutamakan data
kualitatif, namun menyadari bahwa
penambahan data kuantitatif dapat
meningkatkan hasil penelitian (Johnson, B
& Anthony J., 2007).
Content analysis adalah suatu metode
yang digunakan untuk menganalisis hasil
komunikasi tertulis, verbal, atau visual
(Cole, 1988 dalam Elo & Kyngas, 2007).
Dalam proses analisis data, peneliti
menggunakan metode deductive content
analysis. Deductive content analysis
digunakan ketika struktur analisis
dioperasionalkan berdasarkan teori yang
sudah ada (Elo & Kyngas, 2007).
Hasil dari content analysis berupa data
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif
diperoleh dengan menelusuri teks untuk
memperoleh deskripsi analisis frekuensi,
sehingga diperoleh tren dari teks tersebut
(Creswell, 2007 dalam Camp, S.,
2007). Data kualitatif berupa teks, kutipan,
hasil percakapan dengan responden.
Peneliti menginterpretasi data dengan
mengidentifikasi dan mendeskripsikan
pola hubungan ke dalam suatu uraian.
Uraian tersebut tidak hanya berupa
deskripsi atau ringkasan dari data, namun
juga menjelaskan variabel dan faktor yang
memengaruhinya.
14
HASIL
Berikut akan dipaparkan dalam bentuk
bagan mengenai hasil penelitian.
menyebabkan F lebih merasakan dampak
dari perceraian. Besarnya dampak
perceraian yang mereka alami dipengaruhi
oleh faktor konflik antar orang tua,
Bagan2Content analysis F
Bagan 1Content analysis S
ketidakhadiran orang tua, penyesuaian diri
orang tua dan kemampuan dalam
mengasuh anak, serta kesulitan ekonomi.
F dan S berada pada rentang usia
sekolah dasar ketika orang tuanya bercerai.
Anak usia sekolah dasar memiliki
kematangan kognisi yang lebih baik dan
lebih dapat memahami arti dari perceraian
(Amato, 1994). Pemahaman tersebut
Setelah perceraian terjadi, baik F
maupun S mengalami beberapa afek
negatif.
Maka
dari
itu,
mereka
menggunakan strategi coping, seperti
berdoa. Strategi coping ini membantu
mereka untuk beradaptasi terhadap
15
peristiwa buruk yang dialaminya. Adaptasi
merupakan suatu mekanisme psikologis
yang berperan dalam mengatur dasar emosi
manusia. Adaptasi melindungi manusia
dari peristiwa buruk yang menimpanya dan
mencegahnya agar tidak terjerumus ke
dalam hal negatif (Diener & Robert B.D.,
2008). Strategi coping ini membantu
mereka, sehingga ia tidak terlibat dalam
perilaku delinquent dan tidak mengalami
masalah secara akademis.
Setelah menggunakan strategi coping,
afek negatif S tidak sedominan
sebelumnya. Namun, berbeda dengan S,
afek negatif F masih dominan. Hal ini
terjadi karena adanya perbedaan mental
process. S memiliki mental process yang
positif, S percaya bahwa Tuhan akan
membantu tepat pada waktunya. Dengan
memiliki mental process yang positif, S
tidak berfokus pada hal buruk yang terjadi
akibat perceraian orang tuanya. S berfokus
dan mengingat kembali kenangankenangan yang menyenangkan saat ia
masih tinggal dengan ayahnya. Sebaliknya,
F memiliki mental process yang negatif, F
berfokus pada hal negatif yang muncul dari
perceraian orang tuanya, sehingga ia
mengalami kesulitan dalam mengingat
kembali hal-hal baik yang terjadi saat ia
masih bersama ayahnya.
Selain melalui ajaran agama, peran ibu
dan beasiswa yang diperolehnya membantu
S untuk merasakan afek positif. Sedangkan
pada F, peran ibu dan relasi sosial sangat
membantu F untuk merasakan afek positif
dan membantunya agar mau terbuka untuk
membina relasi dengan lawan jenisnya.
Relasi sosial merupakan salah satu faktor
yang memengaruhi subjective well-being.
Relasi sosial yang ditandai oleh rasa peduli
dan pengertian dari orang lain dapat
memberikan rasa aman pada individu
(Diener & Robert B.D., 2008). Hal ini
membantu
individu
untuk
saling
mendukung dan berbagi dengan orang lain.
Individu dapat menghadapi masa-masa
sulit, apabila ia memeroleh dukungan
emosional dan kasih sayang dari orang di
sekitarnya. Akhirnya, afek negatif F pun
tidak sedominan sebelumnya.
Afek negatif yang tidak dominan dapat
membantu individu untuk memeroleh
kepuasan hidup (life satisfaction) atau
kepuasan pada aspek kehidupan lainnya
(flourishing) (Diener & Robert B.D.,
2008). F dan S merasa hidupnya berarti,
karena mampu membantu keluarga dan
temannya yang kesulitan. Mereka pun
merasa dihargai oleh teman-temannya,
karena mereka tidak pernah memeroleh
perlakuan buruk dari temannya. Keduanya
pun memiliki tujuan hidup dan mereka
sedang berusaha untuk mencapai tujuan
hidupnya. Usaha yang dilakukan individu
untuk
mencapai
tujuannya
akan
memberikan kepuasan, apabila tujuan
tersebut dibuat berdasarkan nilai-nilai yang
dianutnya (Diener & Robert B.D., 2008).
Usaha yang dilakukan F untuk mencapai
tujuan hidupnya, perasaan bahwa hidupnya
berarti, serta dihargai oleh orang lain
membantu F untuk memeroleh kepuasan
pada
aspek
kehidupan
lainnya
(flourishing).
F dan S telah memasuki masa
emerging adulthood. Pada masa ini,
individu diharapkan dapat mengeksplorasi
berbagai kemungkinan dalam percintaan
dan pekerjaan, serta membuat keputusan
berdasarkan kemungkinan tersebut (Arnett,
2007). Selain itu, remaja dalam masa
emerging adulthood juga memfokuskan
dirinya
untuk
mengembangkan
pengetahuan, keahlian, dan pemahaman
diri (self-understanding) yang dibutuhkan
16
saat mereka dewasa. Baik F maupun S
tidak mengalami masalah akademik,
mereka
telah
mengembangkan
pengetahuan dan keahliannya. Mereka pun
telah bereksplorasi dalam hal pekerjaan.
Pendapatan
yang
diperoleh
dapat
meningkatkan kepuasan hidupnya (life
satisfaction).
Pendapatan
dapat
memengaruhi subjective well-being, karena
dari pendapatan tersebut individu dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dan
membantu orang lain. Dengan pendapatan
tersebut, mereka mulai memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri.
Namun,
keduanya
belum
mengeksplorasi dalam hal percintaan.
Keduanya mengalami ketakutan dan lebih
berhati-hati untuk membina hubungan
romantis dengan lawan jenisnya. Mereka
takut apa yang dialami orang tuanya terjadi
pada mereka. Meskipun keduanya belum
memenuhi tugas perkembangan pada masa
emerging adulthood, namun mereka dapat
dikatakan cenderung bahagia. Afek negatif
mereka tidak sedominan sebelumnya.
Mereka cukup puas atas hidupnya (life
satisfaction), karena dengan penghasilan
yang diperoleh mereka bisa membantu ibu
mereka, meskipun keduanya belum
memeroleh hal penting dalam hidup dan
belum mendekati tipe hidup idealnya.
Mereka pun puas terhadap aspek kehidupan
lainnya (flourishing).
DISKUSI
Perceraian orang tua memberikan
dampak yang besar bagi anak dalam
rentang usia sekolah dasar. Anak usia
sekolah dasar mengalami afek negatif
akibat perceraian orang tuanya. Selain itu,
perceraian mengakibatkan anak usia
sekolah dasar mengalami kesulitan dalam
menjalin relasi dan membina hubungan
romantis dengan lawan jenisnya. Kondisi
setelah perceraian dapat menghambat
mereka, ketika memasuki masa emerging
adulthood. Pada masa ini, remaja
diharapkan dapat mengeksplorasi berbagai
kemungkinan dalam hal percintaan dan
pekerjaan. Kegagalan dalam memenuhi
tugas perkembangan ini dapat membuat
remaja tidak bahagia.
Berdasarkan
hasil
pengolahan
terhadap kedua kasus yang digunakan
dalam penelitian ini, dapat disimpulkan
bahwa saat ini remaja dalam masa
emerging adulthood yang orang tuanya
bercerai dapat dikatakan cenderung
bahagia (subjective well-being). Mental
process merupakan hal penting yang
memengaruhi
remaja
dalam
menginterpretasi perceraian orang tuanya.
Mental process dapat membantu remaja
dalam masa emerging adulthood untuk
mengalami afek positif. Selain melalui
mental process, remaja dapat mengalami
afek positif dari ajaran agama dan relasi
sosialnya.
Ajaran agama membantu remaja untuk
memeroleh pengalaman akan emosi positif.
Melalui dukungan dan kasih sayang dari
relasi sosialnya, remaja dalam masa
emerging
adulthood
akan
dapat
menghadapi masa-masa sulitnya. Afek
positif membuat afek negatif yang dialami
remaja tidak sedominan sebelumnya.
Kondisi ini membantu remaja untuk
memeroleh
life
satisfaction
dan
flourishing. Tujuan hidup dapat membantu
remaja untuk memeroleh flourishing dan
pendapatan dapat membantu remaja untuk
memeroleh life satisfaction.
Berdasarkan hasil dari penelitian yang
telah dilakukan, berikut ini adalah beberapa
saran yang diharapkan dapat memberikan
17
manfaat
bagi
berkepentingan.
pihak-pihak
yang
Saran Teoritis
Bagi peneliti lain yang ingin meneliti
mengenai subjective well-being pada
remaja dalam masa emerging adulthood
yang orang tuanya bercerai, disarankan
untuk melakukan penelitian kepada subjek
dengan jenis kelamin yang berbeda, agar
dapat melihat perbandingan gambaran
subjective well-being pada jenis kelamin
yang berbeda.
Saran Praktis
Bagi remaja dalam masa emerging
adulthood yang orang tuanya bercerai, agar
hasil penelitian ini dapat menjadi
pertimbangan supaya mereka berusaha
untuk berpikir positif atas perceraian orang
tuanya, membangun relasi sosial yang
saling mendukung, dan berusaha untuk
mencapai tujuan hidup mereka. Saat ini
relasi sosial dan tujuan hidup merupakan
faktor yang paling memengaruhi mereka
untuk memeroleh subjective well-being.
Bagi orang tua dari remaja dalam masa
emerging adulthood yang orang tuanya
bercerai, agar hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi bahwa anak mereka
mengalami kesulitan dalam membina relasi
dengan lawan jenis akibat perceraian orang
tuanya. Diharapkan orang tua dapat
memberikan dukungan sehingga anak
mereka
dapat
memenuhi
tugas
perkembangan
di
masa
emerging
adulthood, yaitu untuk mengeksplorasi
kemungkinan dalam hal percintaan.
Bagi masyarakat, agar hasil dari
penelitian ini dapat dijadikan bahan
pertimbangan
untuk
memberikan
dukungan kepada remaja dalam masa
emerging adulthood yang orang tuanya
bercerai. Pemberian dukungan dapat
membantu remaja agar dapat membina
relasi sosial dengan sesama jenis dan lawan
jenis yang lebih baik.
REFERENSI
Amato, P. R. (1994). Life-span adjustment
of children to their parent's divorce. The
Future of Children, 4, 143-164.
Arnett, J. J. (2007). Adolescence and
emerging adulthood: A cultural
approach (3 ed.). USA: Pearson
Prentice Hall.
Camp, S. N. (2007). An explanatory mixed
methods content analysis of two state
level correctional institutions' prerelease handbook curriculum designs,
looking through the lenses of two
philosophical
orientations
of
education.
The
Florida
State
University.
Diener, E., & Robert, B. D. (2008).
Happiness: Unlocking the mysteries of
psychological wealth. John Wiley &
Sons.
Dirjen Badan Peradilan Agama. (2012,
Februari 10). Angka Perceraian di
Indonesia Memprihatinkan. Diambil
kembali dari Pikiran Rakyat ONLINE:
http://www.pikiranrakyat.com/node/176349
Elo, S., & Kyngas, H. (2007). The
qualitative content analysis process.
Journal of Advanced Nursing, 62 (1),
107-115.
Fagan, P., & Churchill, A. (2012). The
effects of divorce on children.
Marriage and Religion Research
Institute , 1-44.
18
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi
perkembangan: Suatu pendekatan
sepanjang rentang kehidupan. Jakarta:
Erlangga.
Johnson, R. B., Onwuegbuzie, A. J., &
Turner, L. A. (2007). Toward a
definition of mixed methods research.
Journal of Mixed Methods Research, 1
(2), 112-133.
Kumar, R. (1999). Research methodology:
A step-by-step guide for beginner.
London: Sage Publications.
Download