Efikasi Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Koi Herpesvirus pada Ikan Mas Stadia Benih melalui Perendaman SOKO NUSWANTORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i Efikasi Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Koi Herpesvirus pada Ikan Mas Stadia Benih melalui Perendaman SOKO NUSWANTORO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ii Judul Tesis : Efikasi Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Koi Herpesvirus pada Ikan Mas Stadia Benih melalui Perendaman Nama : Soko Nuswantoro NIM : C151080321 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Alimuddin, S.Pi. M.Sc. Ketua Dr. Munti Yuhana, S.Pi. M.Si. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 12 Juli 2012 Tanggal Lulus: iii © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyampaikan bahwa tesis yang berjudul: EFIKASI VAKSIN DNA PENYANDI GLIKOPROTEIN KOI HERPESVIRUS PADA IKAN MAS STADIA BENIH MELALUI PERENDAMAN adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2012 SOKO NUSWANTORO iii SOKO NUSWANTORO. Efficacy of DNA Vaccine Encoding Koi Herpesvirus Glycoprotein on Common Carp Fingerling by Immersion. Under direction of Dr. Alimuddin and Dr. Munti Yuhana. Abstract Koi herpesvirus (KHV) is a herpesvirus which especially infects and causes mass mortality to koi and common carp. Therefore the protection of carp from KHV infection is urgently needed. In this study, we developed an application of DNA vaccine containing gene encoding KHV glycoprotein by immersion method to increase survival of common carp against KHV infection. As many as 400 of 30-day-old common carp juveniles were immersed in the water containing 1.3 x 108 CFU/ml of the killed Escherichia coli cells carrying DNA vaccine. Treatments performed were variation of duration and frequency of DNA vaccine immersion; as follows: 1x 30 minutes, 1x 60 minutes, 1x 90 minutes, 2x 90 minutes, and 3x 90 minutes of immersion treatments. Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) analysis showed that DNA vaccine was successfully expressed among the vaccinated fish. Twenty eight days post vaccination, the fish were challenged by injecting 10-4 ml/fish of KHV. The result demonstrated that vaccination by 30 minutes immersion; allowed the 61% of fish survived, this was significantly different (P<0.05) compared to control (without vaccination), but insignificantly different (P>0.05) compared to those of other treatments. The relative percent survival of vaccinated fish were also similar among different treatments (P>0.05). Vaccination by immersion have increased the survival rate about 2 fold compared to unvaccinated fish control (26.67%). Thus, DNA vaccine was effective delivered by immersion for 1x 30 minutes, and this technique can be useful to level up the resistance to KHV infection in common carp juveniles. Key words: DNA vaccine, KHV, glycoprotein, immersion, common carp i RINGKASAN SOKO NUSWANTORO. Efikasi Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Koi Herpesvirus pada Ikan Mas Stadia Benih melalui Perendaman. Di bawah bimbingan Dr. Alimuddin dan Dr. Munti Yuhana. Penyakit KHV sangat menular, dapat menyebabkan serangan massal, dan kematian mencapai 85-100% (Sunarto dan Cameron, 2006). Beberapa metode pernah dicoba untuk menanggulangi serangan dari KHV ini, antara lain: dengan menjaga suhu agar tetap hangat di atas 86°F (30°C) (Ronen et al., 2003), karena pada umumnya serangan KHV terjadi pada saat suhu perairan berkisar antara 72°81°F (22°-27°C) (Gilad et al., 2003). Cara ini dinilai kurang efektif dan efisien, karena sulit menjaga suhu perairan untuk tetap hangat bila budidaya di perairan terbuka, dan juga hanya bersifat sementara, sehingga KHV kembali menyerang bila suhu menjadi hangat (Hartman et al., 2008). Dengan vaksinasi, ikan dirangsang untuk memproduksi antibodi yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh ikan. Hanya saja penggunaan vaksin dari virus yang diinaktivasi selama ini selalu menemui kegagalan (Illouze et al., 2006). Jenis vaksin lainnya adalah vaksin DNA. Vaksin DNA bersifat sederhana, aman, dapat mengaktifkan sistem kekebalan sesaat ataupun yang bersifat seluler, dapat mengkombinasikan beberapa gen penyandi untuk menanggulangi beberapa patogen, dapat diberikan pada stadia awal (Lorenzen dan LaPatra, 2005). Dalam penelitian ini, kami mengembangkan suatu aplikasi dari vaksin DNA mengandung gen penyandi glikoprotein KHV melalui metode perendaman untuk meningkatkan kelangsungan hidup ikan mas terhadap infeksi KHV. Sebanyak 400 ekor benih ikan mas berusia 30 hari direndam dalam air yang mengandung 1,3 x 108 CFU/ml sel bakteri Eschericia coli mati membawa vaksin DNA. Perlakuan yang diberikan merupakan variasi dari durasi dan frekuensi perendaman vaksin DNA; yaitu: perlakuan perendaman selama 1x 30 menit, 1x 60 menit, 1x 90 menit, 2x 90 menit, dan 3x 90 menit. Analisis reverse transcription polimerase chain reaction (RT-PCR) menunjukkan bahwa vaksin DNA berhasil terekspresi pada ikan yang divaksin. Setelah 28 hari vaksinasi, ikan diuji tantang dengan menginjeksikan KHV 10-4 ml/ikan. Hasilnya menunjukkan bahwa Vaksinasi benih ikan mas usia 30 hari melalui perendaman bakteri E. coli mengandung vaksin DNA GP-25 yang telah diinaktivasi terbukti dapat memberikan kekebalan terhadap infeksi virus KHV. Hal ini dibuktikan dengan nilai kelangsungan hidup berkisar 59-63%; 2,2-2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol tanpa divaksin (26,67%). Kelangsungan hidup ikan divaksin melalui perendaman 30 menit tidak berbeda (P>0,05) dengan 60 dan 90 menit. Dengan demikian vaksinasi DNA melalui perendaman untuk meningkatkan daya tahan ikan mas terhadap infeksi KHV cukup dilakukan selama 30 menit. Nilai kelangsungan hidup ikan yang divaksin 2 dan 3 kali adalah sama dengan yang divaksin sekali. Hasil verifikasi vaksin DNA dan hasil uji ekspresi di dalam tubuh ikan, membuktikan bahwa pemberian vaksin DNA melalui perendaman ikan dalam air mengandung bakteri utuh inaktif dapat terekspresi hingga hari ke-28. Ini berarti bahwa protein GP-25 secara terus-menerus diproduksi hingga hari ke-28. Protein ii imunogenik ini akan direspons oleh ikan mas untuk menghasilkan antibodi untuk meningkatkan daya tahannya terhadap infeksi KHV. Dengan demikian, vaksinasi DNA besar kemungkinannya tidak memerlukan booster seperti halnya vaksinasi konvensional. Hal ini menjadi kelebihan praktis dari vaksin DNA. Dari hasil histologi jaringan insang pada saat puncak masa inkubasi KHV, menunjukkan bahwa perlakuan pemberian vaksin DNA memberikan kekebalan terhadap tubuh ikan yang terserang KHV. Pada ikan kontrol tanpa vaksinasi terdapat banyak kerusakan struktur jaringan organ bila dibandingkan dengan ikan dengan perlakuan vaksinasi. Seperti adanya tanda hiperplasia yang lebih banyak pada ikan kontrol bila dibandingkan dengan ikan dengan perlakuan vaksinasi, lamela yang menyatu hingga dari pangkal hingga ke ujung lamela pada ikan kontrol sedangkan pada ikan perlakuan vaksinasi belum terlihat adanya lamela yang menyatu, dan juga adanya badan inklusi pada jaringan insang ikan kontrol. Kata kunci: vaksin DNA, KHV, glikoprotein, perendaman, ikan mas iii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya penelitian ini dapat diselesaikan. Penelitian ini mengangkat tema genetika penyakit, dengan judul: Efikasi vaksin DNA penyandi glikoprotein KHV (koi herpesvirus) pada ikan mas stadia benih melalui perendaman. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan (Februari 2011-Januari 2012) di Laboratorium Karantina Ikan dan Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi Jawa Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Alimuddin S.Pi. M.Sc. dan Ibu Dr. Munti Yuhana S.Pi. M.Si. selaku pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur, yang telah banyak memberi saran. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Moh. Abduh Nurhidajat M.Si. selaku Direktur Produksi Kementrian Kelautan dan Perikanan (sebelumnya Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Ikan Tawar Sukabumi) dan Bapak Ir. Maskur M.Si. selaku Direktur Kesehatan Ikan dan Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (sebelumnya Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi) yang telah memberikan ijin penggunaan fasilitas untuk penelitian. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Ayi Santika S.Pi. M.Si., Bapak Ade Sunarma S.Pi. M.Si., Bapak Adi Sucipto S.Pi. M.Si., Ibu Zakki Zainun A.Md. PP., Ibu Mira Mawardi S.Pi., Bapak Dasep Hasbulloh M.Si. dan Ibu Dr. Sri Nuryati S.Pi. M.Si. yang banyak memberi saran dan membantu dalam kelancaran penelitian; Anna Octavera S.Pi. atas bantuannya dalam persiapan primer untuk PCR. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh. Agus Tjatur Rachmandono, drh. Kusmiyati, M. Irfan Rahmanda, Rifqi Ramadhan, Mas Bayu Syamsunarno S.Pi. M.Si., Bapak Dr. Ir. H. Mas Tri Djoko Sunarno M.S., Bapak Asep Suhendra S.Pi., Bapak Suroso, Bapak Jaelani, Ibu Deri Deriyanti Amd. PP., M. Iqbal, M. Pratidina S.Pi., Bapak Takiyudin, Bapak Sumantri, Bapak Ucu iv Cahyadi S.Pi., dan beberapa sahabat lain yang terus memotivasi hingga selesainya karya tulis ini. Terima kasih teristimewa saya persembahkan untuk ibunda tercinta Dr. dr. Hj. Asih Tri Rachmi Nuswantari M.M., juga istri tercinta Nurry Setyowati S.Pi., kedua mertuaku Bapak H. Soeradji dan Ibu Hj. Soeratmi, kakekku Drs. H. Widomoko ST. MSi., kedua nenekku Soewarti dan Noerwati, dan juga ananda Mudzafar Khalifah Setyonuswantoro yang dengan sabar menanti bagian akhir dari karya tulis ini. Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Juli 2012 Soko Nuswantoro v DAFTAR ISI halaman DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... viii PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... Rumusan Masalah .................................................................................. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. Hipotesis ................................................................................................ 1 2 2 2 TINJUAN PUSTAKA KHV (Koi Herpesvirus) ......................................................................... Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein ..................................................... PCR/RT-PCR ......................................................................................... 3 6 8 BAHAN DAN METODE Perbanyakan Vaksin DNA ..................................................................... Pengadaan Ikan Uji ................................................................................ Ekspresi mRNA ..................................................................................... Pemeliharaan Ikan Uji ............................................................................ Pengadaan Isolat KHV (Koi Herpesvirus) ............................................. Uji Tantang ......................................................................................... Parameter Uji ......................................................................................... Analisis Data ......................................................................................... 11 11 12 14 14 14 15 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup ............................................................................. Verifikasi DNA dan Ekspresi mRNA .................................................... Histologi ................................................................................................ Pembahasan ........................................................................................... 17 18 19 20 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................ Saran ...................................................................................................... 25 25 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27 LAMPIRAN .................................................................................................... 35 vi DAFTAR GAMBAR halaman 1. Virion dari koi herpesvirus (KHV) yang tumbuh di sel KF-1 terinfeksi. Bar = 500 nm. Gambar insersi adalah virion KHV komplit dengan jaringan virus. Bar = 100 nm (Hedrick et al., 2005) ...................................................................................................... 4 2. Kerusakan insang akibat infeksi KHV (Choi et al., 2004) .................... 4 3. Bercak pendarahan pada kulit ataupun pangkal sirip (Grimmett et al., 2006) ............................................................................................ 5 (A, B, C) histologi dari penapis insang ikan terinfeksi; (D, E, F) histologi dari gill arch ikan terinfeksi (Illouze et al., 2006) .................. 5 Konstruksi vaksin DNA. (a) Bagian dari DNA glikoprotein yang digunakan dalam vaksin DNA. (b) Hasil konstruksi vaksin DNA yang mampu berekspresi di dalam tubuh inang (Lorenzen dan LaPatra, 2005) ........................................................................................ 6 Mekanisme vaksin DNA menginduksi kekebalan tubuh. (a) Penyerapan selular vaksin DNA. (b) Penginduksian respons humoral. (c) Penginduksian respons kuat selular (Rawat et al., 2007) ...................................................................................................... 7 7. Proses PCR (Vierstraete, 1999) ............................................................. 9 8. Proses RT-PCR (Degen et al., 2006) ..................................................... 10 9. Kelangsungan hidup ikan yang diberi vaksin DNA melalui perendaman dengan lama waktu berbeda. K (kontrol), A (30 menit), B (60 menit), C (90 menit), D (90 menit 2 kali), E (90 menit 3 kali). Huruf superskrip di belakang nilai kelangsungan hidup yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) ................................................................................................. 17 Kelangsungan hidup relatif ikan yang divaksin dengan lama dan frekuensi berbeda terhadap kontrol, A (30 menit 1 kali), B (60 menit 1 kali), C (90 menit 1 kali), D (90 menit 2 kali), E (90 menit 3 kali). Huruf superskrip di belakang nilai kelangsungan hidup yang sama menunjukkan tidak ada pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) ....................................................................................... 18 4. 5. 6. 10. 11. Deteksi DNA GP25 menggunakan metode PCR dengan cetakan DNA dari insang ikan mas dan primer spesifik GP25 (A), verifikasi status ikan mas terhadap infeksi virus KHV menggunakan primer spesifik KHV (B), produk PCR menggunakan primer β-aktin ikan mas (C), dan ekspresi mRNA GP25 pada ikan mas yang telah divaksin dengan lama waktu, dan frekuensi berbeda (D). DNA dan RNA total diekstraksi dari insang ikan mas pada hari ke-28 pasca vaksinasi. M: marker vii 12. 13. DNA, vaksinasi 1x 30 menit (1), vaksinasi 1x 60 menit (2), vaksinasi 1x 90 menit (3), vaksinasi 2x 90 menit (4), vaksinasi 3x 90 menit (5), ikan kontrol tanpa perlakuan vaksinasi (K), kontrol positif PCR (K+), kontrol negatif PCR tanpa cetakan DNA (K-). Angka di sebelah kiri gambar adalah ukuran fragmen DNA marker. Tanda kepala panah di sebelah kanan gambar adalah target produk amplifikasi PCR ................................................... 19 Gambaran histopatologi insang ikan kontrol terinfeksi KHV hari ke-14 (kiri). Terdapat beberapa gejala insang ikan terserang KHV, antara lain: hiperplasia (a); fusi lamella (b); badan inklusi (c). Gambaran histologi insang ikan sehat tanpa infeksi KHV (kanan); bar = 8,33μm ........................................................................... 20 Gambaran histopatologi insang ikan perlakuan terinfeksi KHV ringan hari ke-14 (kiri). Terdapat beberapa gejala insang ikan terserang KHV ringan, yaitu hiperplasia ringan (a). Gambaran histologi insang ikan sehat tanpa infeksi KHV (kanan); bar = 8,33μm ................................................................................................... 20 viii DAFTAR LAMPIRAN halaman 1. Konstruksi plasmid pAct-GP25 (Nuryati, 2010) ................................... 35 2. Denah posisi akuarium uji tantang ........................................................ 36 3. Prosedur pembuatan preparat histologi ................................................. 37 4. Data kematian harian ikan mas .............................................................. 39 5. Data suhu air harian ............................................................................... 40 6. Hasil uji statistik lama perendaman ........................................................ 41 7. Hasil uji statistik kelangsungan hidup relatif ......................................... 42 ix PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio) adalah ikan yang banyak dibudidayakan untuk konsumsi terutama di negara-negara Asia dan Eropa (Bercovier et al., 2005). Semenjak 1998, kematian masal ikan mas meluas hampir di seluruh dunia (Bercovier et al., 2005), seperti di Amerika, Israel (Hedrick et al., 2000), Jerman (Bretzinger et al., 1999), Inggris, Italia, Belanda, Korea (Choi et al., 2004), Indonesia (Rukyani, 2002), Jepang (Sano et al., 2004; Haramoto et al., 2007) dan Thailand (Pikulkaew et al., 2009). Wabah ini dikarenakan infeksi dari koi herpesvirus (KHV). Budidaya ikan intensif, perdagangan ikan domestik, dan internasional tanpa pengawasan ketat menyebabkan penyebaran virus ini secara global, dan cepat. Penyakit KHV sangat menular, dapat menyebabkan serangan massal, dan kematian mencapai 85-100% (Sunarto dan Cameron, 2006). Beberapa metode pernah dicoba untuk menanggulangi serangan dari KHV ini, antara lain: dengan menjaga suhu agar tetap hangat di atas 86°F (30°C) (Ronen et al., 2003), karena pada umumnya serangan KHV terjadi pada saat suhu perairan berkisar antara 72°-81°F (22°-27°C) (Gilad et al., 2003). Cara ini dinilai kurang efektif dan efisien, karena sulit menjaga suhu perairan untuk tetap hangat bila budidaya di perairan terbuka, dan juga hanya bersifat sementara, sehingga KHV kembali menyerang bila suhu menjadi hangat (Hartman et al., 2008). Salah satu teknik yang dapat digunakan yakni vaksinasi. Vaksinasi adalah metode yang paling menjanjikan untuk mengendalikan penyakit ikan dengan memacu respons kebal spesifik dari ikan (Press dan Lillehaug, 1995; Ardo et al., 2008). Dengan vaksinasi, ikan dirangsang untuk memproduksi antibodi yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh ikan. Hanya saja penggunaan vaksin dari virus yang diinaktivasi selama ini selalu menemui kegagalan (Illouze et al., 2006). Jenis vaksin lainnya adalah vaksin DNA. Vaksin DNA bersifat sederhana, aman, dapat mengaktifkan sistem kekebalan sesaat ataupun yang bersifat seluler, dapat mengkombinasikan beberapa gen penyandi untuk menanggulangi beberapa patogen, dapat diberikan pada stadia awal (Lorenzen dan LaPatra, 2005). Pada 1 penelitian ini digunakan vaksin DNA penyandi glikoprotein dari KHV (GP-25) melalui perendaman. Perendaman sering kali digunakan dalam kegiatan vaksinasi (Corbeil et al., 2000a; Arijo et al., 2005; Osman et al., 2009; Costa et al., 2011), teknik perendaman dipilih karena memungkinkan untuk ikan berukuran kecil; jumlah banyak; dan tidak menyebabkan stres pada ikan (Ellis, 1989). Seperti yang dilakukan oleh Corbeil et al. (2000a) dalam menguji vaksin DNA infectious hematopoieticnecrosis virus ( IHNV) salah satunya melalui teknik perendaman. Karena yang digunakan hanya gen penyandinya saja, vaksin ini tidak membahayakan organisme yang divaksinasi (Toranzo et al., 2009; Nuryati, 2010). Rumusan Masalah Serangan penyakit KHV dapat menyebabkan kematian masal. Salah satu cara untuk mencegah serangan penyakit adalah dengan meningkatkan ketahanan organisme. Ketahanan tersebut dapat ditingkatkan dengan cara memasukkan DNA imunogenik dari virus ke dalam tubuh organisme tersebut, sehingga tubuh organisme dapat mengenali DNA asing tersebut sebagai bagian dari virus dan merangsang tubuh untuk meningkatkan ketahanan tubuh organisme untuk melawan serangan KHV. Terdapat beberapa teknik yang biasa digunakan dalam vaksinasi, yaitu: penyuntikan ke dalam otot daging, melalui oral dan perendaman. Perendaman dipilih karena sangat cocok untuk benih dalam jumlah banyak dan tidak terlalu menimbulkan stres pada ikan. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas lama perendaman dan frekuensi pemberian vaksin DNA GP-25 melalui perendaman benih ikan mas terhadap infeksi KHV. Manfaat penelitian ini dalam kegiatan budidaya ikan mas dapat meningkatkan kelangsungan hidup terhadap infeksi KHV. Hipotesis Ikan mas yang telah divaksin vaksin GP-25 melalui perendaman pada stadia benih memiliki kelangsungan hidup lebih tinggi. 2 TINJAUAN PUSTAKA KHV (Koi Herpesvirus) KHV adalah penyakit virus berbahaya yang dapat menyebabkan ikan sakit dan mati secara mendadak pada ikan mas (Grimmett et al., 2006; Siwicki et al., 2006). Penyakit KHV ini hanya ditemukan pada ikan koi dan ikan mas (Crane et al., 2004; Pikarsky et al., 2004; Illouze et al., 2006). Penyakit KHV ini dapat menyebabkan kematian 85-100% dari total populasi (Gunimaladevi et al., 2004; Pikarsky et al., 2004), penyakit ini biasanya timbul ketika suhu air berkisar antara 72°-81°F (22°-27 °C) (Gilad et al., 2003). Dengan masa inkubasi 7-21 hari (Gunimaladevi et al., 2004; Pikarsky et al., 2004; Dishon et al., 2005). Penyakit virus ini menjangkiti ikan di berbagai usia, tapi studi kohabitasi menunjukkan bahwa benih lebih memiliki kerentanan dibandingkan ikan dewasa (Perelberg et al., 2003). Kasus pertama yang mencuat adalah di Inggris pada tahun 1996 (Hartman et al., 2008). Semenjak itu kasus lain dipastikan hampir di seluruh negara yang membudidayakan ikan koi ataupun ikan mas dengan pengecualian Australia (Pokorova et al., 2005), dan Republik Ceko (Pokorova et al., 2007) KHV (yang juga dikenal sebagai cyprinid herpes virus-3 atau CyHV-3) digolongkan sebagai virus DNA dalam keluarga virus Herpesviridae (Ronen et al., 2003). KHV adalah virus herpes, berdasarkan morfologi dan genetik, dan sangat erat kekerabatannya terhadap carp pox virus (cyprinid herpesvirus-1 atau CyHV-1) and hematopoietic necrosis herpesvirus of goldfish (cyprinid herpesvirus-2 atau CyHV-2) (Waltzek et al., 2005). KHV ini adalah sebuah virus yang terbungkus dengan inti elektron tebal icosahedral sebesar 100-110 nm dikelilingi oleh struktur seperti kulit pembungkus, menyerupai sebuah virus herpes (Hedrick et al., 2005; Hutoran et al., 2005) seperti pada Gambar 1. Genom dari virus yang diisolasi terdiri dari utas ganda DNA (dsDNA) sekitar 277-295 kbp (Hutoran et al., 2005; Ilouze et al., 2006), serupa dengan Cyprinid herpes virus-1 (CyHV-1) (Waltzek et al., 2005). 3 Gambar 1. Virion dari koi herpesvirus (KHV) yang tumbuh di sel KF-1 terinfeksi. Bar = 500 nm. Gambar insersi adalah virion KHV komplit dengan jaringan virus. Bar = 100 nm (Hedrick et al., 2005). Infeksi KHV mungkin menyebabkan terjadinya luka pada insang, terlihat bercak-bercak merah dan putih. Bercak putih (Gambar 2) menunjukkan adanya nekrosis pada jaringan insang (Choi et al., 2004). Kerusakan insang yang disebabkan penyakit KHV adalah gejala klinis yang paling sering terjadi. Gejala luar lain dari KHV dapat juga seperti pendarahan pada insang, mata cekung, bercak pucat pada kulit (Perelberg et al., 2003; Sunarto dan Cameron, 2006; Hartman et al., 2008) seperti pada Gambar 3, dan juga produksi lendir yang berlebihan (Grimmett et al., 2006). Gambar 2. Kerusakan insang akibat infeksi KHV (ditunjukan oleh anak panah) (Choi et al., 2004). 4 Gambar 3. Bercak pendarahan pada kulit ataupun pangkal sirip (ditunjukan oleh anak panah) (Grimmett et al., 2006). Perubahan patologi terlihat pada insang paling cepat 2 hari setelah infeksi, terbukti dengan hilangnya lamela yang diikuti dengan bercampurnya infiltrasi sel inflamatori (Gambar 4). Dari hari keenam hingga hari selanjutnya, perubahan pada insang menjadi semakin jelas, dengan makin terhapusnya gambaran insang yang diikuti beberapa inflamasi di dekat semua filamen. Kongesti pada saluran pembuluh vena pusat pada insang juga terjadi pada tahapan ini. Perubahan yang sama juga terjadi pada hari kedelapan dan seterusnya (Illouze et al., 2006). Hari ke-0 Hari ke-2 Hari ke-6 Hari ke-0 Hari ke-2 Hari ke-6 Gambar 4. (A, B, C) histologi dari penapis insang ikan terinfeksi; (D, E, F) histologi dari gill arch ikan terinfeksi (Illouze et al., 2006). 5 Metode penyebaran dari KHV salah satunya adalah kontak langsung dengan ikan terinfeksi, cairan dari ikan terinfeksi dan air, lumpur atau pembawa lain yang telah terkontaminasi oleh KHV. Virus yang menginfeksi masuk ke ikan melalui insang dan mungkin juga melalui usus (Dishon et al., 2005). Penelitian terbaru menyebutkan kulit yang melapisi sirip dan tubuh juga menjadi pintu masuk utama bagi KHV (Costes et al., 2009). Selanjutnya menyebar dari kulit dan insang menuju organ dalam (Pikarsky et al., 2004; Dishon et al., 2005). Hingga saat ini belum ada laporan kejadian zoonosis untuk KHV terhadap manusia. Akibat serangan virus herpes pada ikan tidak akan menyebabkan penyakit pada manusia (Hartman et al., 2008). Vaksin DNA Penyandi Glikoprotein Vaksin DNA adalah vaksin yang dihasilkan dari proses pengkonstruksian sebuah vektor yang disisipi gen penyandi protein tertentu untuk menjadi suatu protein antigen protektif dari patogen yang diinginkan (Gambar 5). Plasmid mengandung elemen yang mampu teramplifikasi ke dalam jumlah besar dalam sel bakteri, dan gen patogen tersebut diapit oleh elemen promoter, dan elemen terminasi yang memfasilitasi ekspresinya dalam sel eukariot (Kurath, 2008). Gambar 5. Konstruksi vaksin DNA. (a) Bagian dari DNA glikoprotein yang digunakan dalam vaksin DNA. (b) Hasil konstruksi vaksin DNA yang mampu berekspresi di dalam tubuh inang (Lorenzen dan LaPatra, 2005). 6 Sitolisis kekebalan yang dimediasi oleh antibodi dan komplemennya dapat langsung menyerang komponen dari sebagian besar glikoprotein herpes simplex virus (HSV), di antaranya gA, gB, dan gC, dan menyerang glikoprotein gD yang terdapat pada permukaan sel terinfeksi (Machtiger et al., 1980). Glikoprotein virus telah terbukti sebagai antigen yang menstimulasi respons kekebalan sesaat dalam inang yang terinfeksi (Carter et al., 1973). Vaksin DNA memasuki sel dan menuju nukleus (Gambar 6). Kemudian ditranskripsikan dan ditranslasikan untuk diekspresikan sebagai produk gen yang di dalam sitoplasma, yang menyebabkan timbulnya respons imun humoral dan mediasi sel. Aktivasi ini menyebabkan produksi sel T dan sel B dalam jumlah banyak, selanjutnya sel B menghasilkan antibodi. Sel T dan antibodi kemudian dilepaskan melalui peredaran darah. Sel T yang beredar di seluruh tubuh memiliki dua fungsi, yaitu sebagai sel T yang menyimpan memori dari infeksi dan sel T yang secara langsung membunuh penyebab infeksi (Rawat et al., 2007). Gambar 6. Mekanisme vaksin DNA menginduksi kekebalan di dalam tubuh. (a) Penyerapan selular vaksin DNA. (b) Penginduksian respons humoral. (c) Penginduksian respons kuat selular (Rawat et al., 2007). 7 Vaksin DNA antivirus untuk ikan kini terus dalam pengembangan lebih lanjut karena beberapa alasan; vaksin DNA dapat menginduksi sel B dan respons kuat sel T; DNA lebih stabil terhadap perubahan suhu dibanding dengan protein; vaksin DNA dapat diproduksi dengan murah dan menghindari resiko yang tidak diinginkan seperti pada vaksin tradisional (Kanellos et al., 2006). Vaksin DNA penyandi glikoprotein telah beberapa kali terbukti dapat berhasil dan aman digunakan untuk menanggulangi beberapa penyakit, seperti penggunaan DNA penyandi glikoprotein dari virus Infectious Hematopoietic Necrosis (IHNV) untuk ikan Oncorhynchus mykiss (Corbeil et al., 2000a; Kim et al., 2000; LaPatra et al., 2001); penggunaan DNA penyandi glikoprotein dari virus Lymphocystis Disease (LCDV) untuk ikan Paralichthys olivaceus (Zheng et al., 2006); penggunaan DNA penyandi glikoprotein dari virus Hirame Rhabdovirus (HIRRV) untuk ikan Paralichthys olivaceus (Takano et al., 2004; Seo et al., 2006); penggunaan DNA penyandi glikoprotein dari virus Spring Viremia of Carp (SVCV) untuk ikan Cyprinus carpio (Kanellos et al., 2006) dan Cyprinus carpio koi (Emmenegger dan Kurath, 2008); bahkan Boudinot et al. (1998) menggabungkan dua DNA penyandi glikoprotein virus Infectious Hematopoietic Necrosis (IHNV) dan virus Viral Hemorrhagic Septicemia (VHSV) untuk ikan Oncorhynchus mykiss; penggunaan DNA penyandi glikoprotein dari koi herpesvirus (KHV) untuk ikan Cyprinus carpio (Nuryati, 2010); penggunaan DNA penyandi glikoprotein dari bakteri Cryptobia salmositica untuk ikan Oncorhynchus mykiss (Woo, 2010). PCR/RT-PCR Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan teknik untuk melakukan amplifikasi DNA secara in vitro (Mullis et al., 1986) yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Dengan teknik ini, bagian DNA yang spesifik diamplifikasi menjadi lebih dari jutaan kopi. Amplifikasi ini bisa berhasil karena adanya dua primer yang menghibridisasi potongan DNA pada untai yang berlawanan dan memiliki 3’ hidroksil pada ujungnya menghadap satu sama lain. Primer mengikat sekuen target. Prosesnya membutuhkan 30 atau lebih siklus yang berturut-turut terdiri dari denaturasi, renaturasi, dan sintesis DNA in vitro. Selama 8 tahap renaturasi DNA, sekuen primer yang disediakan berlebih untuk menghibridisasi sampel DNA pada siklus pertama dan melengkapi sekuen primer dari molekul DNA yang telah teramplifikasi pada siklus selanjutnya. Pada tahap sintesis DNA, utas DNA baru yang melengkapi untai pasangannya bertambah dari ujung 3’ dari primer. Setelah siklus ketiga puluh, amplifikasi molekul DNA memiliki sekuen primer pada satu ujung dan sekuen yang melengkapi primer kedua pada ujung yang lain (Glick dan Pasternak, 2003). Gambar 7. Proses PCR (Vierstraete, 1999). Teknik RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain reaction) merupakan teknik yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan menganalisa transkripsi mRNA atau RNA lainnya yang tersedia dalam jumlah sedikit dan pada umumnya menjadi hambatan pada banyak penelitian. Pada 1987, Powell et al. (dalam Degen et al., 2006) menjelaskan sebuah teknik, yang dikembangkan dari PCR, untuk mengamplifikasi RNA hingga level yang mampu dideteksi. RNA 9 tidak dapat dijadikan sebagai cetakan untuk PCR, sehingga harus dirubah menjadi cDNA melalui reverse transcriptase. Kemudian cDNA dapat diamplifikasi hingga level yang dapat dideteksi. Rangkaian dari RT ini dengan PCR menjadi prosedur standar dari suatu laboratorium. Gambar 8. Proses RT-PCR (Degen et al., 2006). 10 BAHAN DAN METODE Perbanyakan Vaksin DNA Escherichia coli yang telah disisipi plasmid gen pAct-GP25 (Nuryati, 2010; Lampiran 1) diperbanyak di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Isolat murni E. coli dipindahkan ke dalam media 2xYT padat dan diinkubasi pada suhu 37oC selama sekitar 20 jam. E. coli yang tumbuh dipindahkan ke dalam 1000 ml media 2xYT cair dan diinkubasi pada inkubator shaker (Heidolph unimax 1010 dan inkubator 1000, Germany) dengan suhu 37oC selama 16-20 jam dengan kecepatan 240 rpm. Sel E. coli dipanen dengan cara dibagi ke dalam beberapa tabung 50 ml, disentrifugasi 5000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, sedangkan pelet bakteri disimpan pada suhu -20oC. E. coli sebelum digunakan dalam vaksinasi terlebih dahulu diinaktivasi. Inaktivasi dilakukan dengan memasukkan tabung berisi bakteri ke dalam air bersuhu 85oC selama 15 menit, kemudian didinginkan kembali pada suhu ruang. Kepadatan E. coli diukur menggunakan spektrofotometer dengan absorbansi 1-1,5 pada 600 nm (A600) untuk mendapatkan E. coli dengan kepadatan 109 sel/ml (Anonymous, 2007). E. coli kemudian digunakan sebagai vaksin melalui perendaman dengan kepadatan 108 sel/ml. Pengadaan Ikan Uji Ikan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Sub Unit Kolam Air Deras (SUKAD) Cisaat, BBPBAT Sukabumi yang berumur 5 hari, dipindahkan ke Laboratorium Karantina Ikan BBPBAT Sukabumi. Ikan dipelihara selama 25 hari. Benih ikan berumur 30 hari sebanyak 400 ekor untuk masing-masing perlakuan direndam ke dalam wadah berisi air 1 liter dengan kepadatan bakteri 1,3 x 108 sel/ml dengan perlakuan vaksinasi selama 1x 30 menit, 1x 60 menit, 1x 90 menit, 2x 90 menit dan 3x 90 menit dengan aerasi kuat. Hal ini untuk membandingkan lama perendaman vaksinasi dan frekuensi perendaman vaksin. Setelah 24 jam, sampel diambil untuk dilakukan verifikasi DNA. DNA diekstraksi menggunakan reagen DNAzol (Invitrogen, USA). Sampel untuk 11 ekstraksi diambil sebanyak 25-50 mg, ditambahkan DNAzol sebanyak 1 ml, dihomogenisasi menggunakan pestle, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 5-10 menit. Tabung disentrifugasi menggunakan Micromax RF (Thermo IEC, USA) pada 10.000 rpm selama 10 menit suhu ruang. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung baru, ditambahkan 0,5 ml etanol absolut, dihomogenisasi dengan dibolak-balik. Tabung disimpan secara vertikal selama 1 menit, agar DNA mengendap di dasar tabung, tabung disentrifugasi lagi pada 10.000 rpm selama 1-2 menit suhu ruang. Pelet DNA dicuci sebanyak 2 kali dengan menambahkan 1 ml ethanol 75%, dibolak-balik, disimpan secara vertikal selama 1 menit, disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 1-2 menit suhu ruang. Etanol dibuang, kemudian tabung dikering-udarakan selama 1 menit. Amplifikasi DNA hasil ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan PCR. Primer yang digunakan merupakan primer yang konstruksinya didesain oleh Octavera (komunikasi pribadi) dengan forward F-GP25 5’-TTGTCGACATGACGGGTTGTGGGGTTTG-3’ dan reverse R-GP25 5’-CCTCAGCAAGGCGGCCTTCAC-3’. Reaksi PCR yang digunakan, yaitu dengan tabung Pure Taq Ready-To-Go-PCR Beads (GE Healthcare, UK) berisi PCR Beads ditambahkan 1 µl primer forward; 1 µl primer reverse; 1 µl DNA genomik dan sisanya adalah air steril hasil destilasi (SDW) hingga volume akhir menjadi 25 µl. Amplifikasi PCR dilakukan dengan program: pre-denaturasi pada suhu 94oC selama 7 menit; 45 siklus pada suhu 94oC selama 30 detik, 64oC selama 30 detik dan 72oC selama 30 detik; serta suhu 72oC selama 7 menit. Pengecekan hasil amplifikasi PCR dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 0,7%. Sebagai kontrol internal digunakan primer KHV (Yuasa et al., 2005) dan β-aktin ikan mas (Liu et al., 1990). Pengambilan sampel untuk verifikasi DNA dilakukan kembali setelah 14 hari dan 28 hari pasca vaksinasi. Ekspresi mRNA Analisis ekspresi mRNA dilakukan 24 jam setelah vaksinasi. Isolasi RNA menggunakan reagen RNeasy Mini Kit (Qiagen, USA). Sampel untuk ekstraksi diambil sekitar 30 mg, ditambahkan 600 μl bufer RLT yang sebelumnya telah ditambahkan β-mercaptoethanol, dihomogenisasi dengan menggunakan pestle, 12 dilakukan di atas es. Tabung disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan penuh. Dengan hati-hati supernatan dipindahkan dengan pipeting ke dalam tabung mikrosetrifugasi baru. Etanol ditambahkan 600 μl 70% untuk membersihkan larutan, dan dihomogenkan secepatnya menggunakan pipeting. Larutan dipindahkan sebanyak 700 μl ke dalam RNeasy spin column, tabung koleksi 2 ml dipasang untuk menampung larutan yang terbuang. Tabung ditutup rapat dan disentrifugasi selama 15 detik pada 10.000 rpm. Larutan yang menembus filter spin column dibuang. Buffer RW1 ditambahkan sebanyak 700 μl. Tabung ditutup rapat dan disentrifugasi selama 15 detik pada 10.000 rpm. Larutan yang menembus filter spin column dibuang kembali. Bufer RPE ditambahkan sebanyak 500 μl. Tabung ditutup rapat dan disentrifugasi selama 15 detik pada 10.000 rpm. Larutan yang menembus filter spin column dibuang kembali. Buffer RPE ditambahkan sebanyak 500 μl. Tabung ditutup rapat dan disentrifugasi selama 2 menit pada 10.000 rpm. Larutan yang menembus filter spin column dibuang kembali. RNeasy spin column dipindahkan ke dalam tabung koleksi baru, ditambahkan 50 μl air bebas RNase. Tabung ditutup rapat, dan disentrifugasi selama 1 menit pada 10.000 rpm untuk melarutkan RNA. Sintesis cDNA dilakukan dengan menggunakan RT-PCR. Primer yang digunakan merupakan primer GP25 sama dengan yang digunakan untuk proses PCR. Reaksi PCR yang digunakan, yaitu dengan tabung One Step RT-PCR (Qiagen, USA). Template RNA, primer, dNTP mix, bufer 5x Qiagen OneStep RTPCR dan air bebas RNase dicairkan dengan diletakkan di atas es. Buffer 5x Qiagen OneStep RT-PCR disiapkan 10 μl, dNTP mix 2 μl, primer forward dan reverse masing-masing 1 μl, enzim mix Qiagen OneStep RT-PCR 1 μl, template RNA 2 μl dan ditambahkan air bebas RNase hingga volume akhir 50 μl. Amplifikasi RT-PCR dilakukan dengan program: reverse transcriptase pada suhu 50oC selama 30 menit; pre-denaturasi pada suhu 94oC selama 15 menit; 35 siklus pada suhu 94oC selama 30 detik, 64oC selama 30 detik dan 72oC selama 1 menit; serta suhu 72oC selama 10 menit. Sampel PCR disimpan terlebih dahulu di atas es, kemudian dimasukkan ke dalam mesin setelah mesin PCR mencapai suhu 50oC. Pengecekan hasil amplifikasi PCR dilakukan dengan elektroforesis 13 menggunakan gel agarosa 1%. Pengambilan sampel untuk uji ekspresi mRNA dilakukan kembali setelah 14 hari dan 28 hari setelah vaksinasi. Pemeliharaan Ikan Uji Ikan mas yang telah divaksin dipelihara di dalam akuarium (60x50x40 cm) dengan suhu air 29 ± 1oC, dilengkapi dengan aerasi dan air diganti sebanyak ¾ bagian dilakukan tiga kali seminggu. Pemberian pakan pada ikan dilakukan tiga kali sehari hingga ikan kenyang dengan menggunakan cacing sutra hingga berumur 30 hari, kemudian dilanjutkan menggunakan pakan komersial hingga ikan berumur 60 hari. Pengadaan Isolat KHV (Koi Herpesvirus) Filtrat virus diperoleh dari isolasi pada beberapa ikan mas yang berasal dari Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur, yang terserang KHV. Sampel isolat diambil dari insang ikan yang positif terserang KHV. Sebelum insang digunakan, terlebih dahulu ikan diverifikasi positif terserang KHV. Metode verifikasi seperti yang sudah ditulis sebelumnya dengan perbedaan pada penggunaan primer (Yuasa et al., 2005) dan program PCR yang disesuaikan dengan panjang dan komposisi primernya. Insang sebanyak 1 g digerus menggunakan mortar, diencerkan dengan PBS hingga 10 ml, disentrifugasi pada 5000 rpm selama 15 menit suhu 5oC. Hasil gerusan disaring dengan milipore filter 0,4 µm. Hasil dari penyaringan ini yang dijadikan stok (10-1), untuk penggunaan infeksi ke ikan filtrat diencerkan hingga 10-3. Uji Tantang Dalam uji tantang digunakan ikan sebanyak 30 ekor untuk masing-masing perlakuan dengan tiga ulangan, yaitu perlakuan ikan dengan lama perendaman selama 1x 30 menit, 1x 60 menit, 1x 90 menit, 2 x90 menit, 3x 90 menit, ikan kontrol perlakuan tanpa diberikan vaksin. Ikan diuji tantang dengan menginjeksikan filtrat KHV sebanyak 0,1 ml dari stok filtrat 10-3. Ikan uji dipelihara selama 21 hari di dalam akuarium (60x50x40 cm) yang diberi aerasi. Suhu air berkisar 23,5 + 1 oC. Penggantian air sebanyak ¾ bagian 14 dilakukan setiap 2 hari sekali. Ikan uji diberi pakan komersial sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Ikan mati setiap hari disisihkan dan dicatat untuk membandingkan kelangsungan hidupnya. Denah posisi akuarium uji tantang tersaji pada Lampiran 2. Pada akhir periode pemeliharaan uji tantang, sampel ikan diambil untuk memastikan terserang KHV. Metode ekstraksi DNA seperti dijelaskan sebelumnya. Sebagai data pendukung, dilakukan juga pembuatan preparat histologi dari ikan yang diuji tantang dengan prosedur pembuatan preparat histologi modifikasi dari Mumford (2004). Sebagai sampel histologi organ insang diambil dari ikan yang mati selama uji tantang dan dibandingkan dengan kontrol. Parameter Uji Parameter yang diuji pada penelitian ini adalah kelangsungan hidup dan tingkat kelangsungan hidup relatif. Tingkat kelangsungan hidup dihitung berdasarkan persamaan (Zonneveld et al., 1991): SR Nt x 100% No keterangan : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (ekor) N0 = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor) Tingkat kelangsungan hidup relatif dihitung berdasarkan persamaan (Ellis, 1988): 𝑅𝑃𝑆 = 1 − 𝑀𝑣 × 100% 𝑀𝑐 keterangan : RPS = Tingkat kelangsungan hidup relatif (%) Mv = Mortalitas ikan uji (%) Mc = Mortalitas ikan kontrol (%) Analisis Data Parameter tingkat kelangsungan hidup dan tingkat kelangsungan hidup relatif dianalisis menggunakan ANOVA yang diikuti dengan uji Duncan (SPPS ver 19.0). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Data histologi organ insang ikan uji, verifikasi dan ekspresi mRNA dianalisis secara deskriptif. 15 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup benih ikan mas yang diberi vaksin DNA berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol yang tidak diberi vaksin (Gambar 9). Sementara itu, kelangsungan hidup ikan yang diberi vaksin dengan lama perendaman berbeda adalah tidak berbeda nyata (P>0,05). Kelangsungan hidup ikan mas yang divaksin berkisar antara 59-63%, sedangkan kontrol adalah 26,67%. Kelangsungan hidup benih ikan mas yang divaksin dengan frekuensi berbeda (1, 2, dan 3 kali) adalah tidak berbeda nyata (P>0,05), berkisar antara 60,00-63,33% (Gambar 9), dan lebih tinggi daripada kontrol. Selanjutnya, nilai RPS (Gambar 10) ikan yang diberi vaksin adalah sama (P>0,05). 70.00 Kelangsungan Hidup (%) 60.00 50.00 40.00 30.00 61.00b 59.00b A B 63.00b 63.33b C D 60.00b 20.00 26.67a 10.00 0.00 K E Gambar 9. Kelangsungan hidup ikan yang diberi vaksin DNA melalui perendaman dengan lama waktu berbeda. K (kontrol), A (30 menit), B (60 menit), C (90 menit), D (90 menit 2 kali), E (90 menit 3 kali). Huruf superskrip di belakang nilai kelangsungan hidup yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05). 17 Kelangsunan Hidup Relatif (%) 60.00 50.00 40.00 30.00 46.82a 44.10a A B 20.00 49.55a 50.00a C D 45.46a 10.00 0.00 E Gambar 10. Kelangsungan hidup relatif ikan yang divaksin dengan lama dan frekuensi berbeda terhadap kontrol, A (30 menit 1 kali), B (60 menit 1 kali), C (90 menit 1 kali), D (90 menit 2 kali), E (90 menit 3 kali). Huruf superskrip di belakang nilai kelangsungan hidup yang sama menunjukkan tidak ada pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05). Verifikasi DNA dan Uji Ekspresi mRNA Verifikasi DNA GP25 dilakukan untuk memastikan bahwa vaksin DNA masuk dan diserap oleh organ target. Seperti ditunjukkan pada Gambar 11A, semua sampel dari perlakuan yang berbeda (A-E) hingga hari ke-28 mempunyai produk PCR yang sama ukurannya dengan kontrol positif (K+), sedangkan ikan kontrol tanpa vaksinasi (K) tidak menunjukkan adanya pita DNA produk PCR. DNA templat dari ikan yang divaksin dan kontrol dalam proses PCR ada pada semua perlakuan (Gambar 11C). PCR menggunakan primer deteksi virus KHV tidak memerlihatkan produk PCR pada ikan yang divaksin dan kontrol (K) (Gambar 11B), hanya terdapat pada kontrol positif (K+). Hal ini menunjukkan bahwa pita DNA produk PCR pada Gambar 11A adalah benar DNA vaksin, bukan karena ikan mas terinfeksi oleh KHV. Uji ekspresi mRNA GP25 dilakukan untuk memastikan bahwa GP25 diekspresikan di dalam tubuh ikan mas. Ekspresi mRNA GP25 terdeteksi pada semua perlakuan vaksinasi hingga hari ke-28 (Gambar 11D). 18 Gambar 11. Deteksi DNA GP25 menggunakan metode PCR dengan cetakan DNA dari insang ikan mas dan primer spesifik GP25 (A), verifikasi status ikan mas terhadap infeksi virus KHV menggunakan primer spesifik KHV (B), produk PCR menggunakan primer β-aktin ikan mas (C), dan ekspresi mRNA GP25 pada ikan mas yang telah divaksin dengan lama waktu, dan frekuensi berbeda (D). DNA dan RNA total diekstraksi dari insang ikan mas pada hari ke-28 pasca vaksinasi. M: marker DNA, vaksinasi 1x 30 menit (1), vaksinasi 1x 60 menit (2), vaksinasi 1x 90 menit (3), vaksinasi 2x 90 menit (4), vaksinasi 3x 90 menit (5), ikan kontrol tanpa perlakuan vaksinasi (K), kontrol positif PCR (K+), kontrol negatif PCR tanpa cetakan DNA (K-). Angka di sebelah kiri gambar adalah ukuran fragmen DNA marker. Tanda kepala panah di sebelah kanan gambar adalah target produk amplifikasi PCR. Histologi Histologi merupakan salah satu teknik untuk mengidentifikasi kerusakan terhadap jaringan organ atau tubuh yang diakibatkan oleh bakteri, parasit maupun serangan virus. Jenis kerusakan pun tergantung dari seberapa parah serangan dari penyakit tersebut. Gejala yang umum terjadi pada serangan virus terhadap insang, beberapa di antaranya adalah hiperplasia, fusi lamella, dan badan inklusi. Pengamatan pada preparat histologi menunjukkan bahwa pada ikan kontrol tanpa vaksin mengalami kerusakan yang lebih parah bila dibandingkan dengan ikan yang divaksin, ditandai dengan banyak sel yang mengalami hiperplasia, fusi lamela dari pangkal lamela hingga hampir menyeluruh ke ujung 19 lamela, dan terdapat beberapa badan inklusi sebagai ciri khas kerusakan jaringan yang disebabkan oleh serangan virus (Gambar 12). Sedangkan pada ikan yang divaksin memiliki kerusakan yang relatif lebih ringan, hanya mengalami hiperplasia ringan (Gambar 13). Pada ikan sehat tidak terlihat adanya kerusakankerusakan yang disebabkan oleh serangan dari KHV. a b c Gambar 12. Gambaran histopatologi insang ikan kontrol terinfeksi KHV hari ke14 (kiri). Terdapat beberapa gejala insang ikan terserang KHV, antara lain: hiperplasia (a); fusi lamella (b); badan inklusi (c). Gambaran histologi insang ikan sehat tanpa infeksi KHV (kanan); bar = 8,33 μm. a Gambar 13. Gambaran histopatologi insang ikan perlakuan terinfeksi KHV ringan hari ke-14 (kiri). Terdapat beberapa gejala insang ikan terserang KHV ringan, yaitu hiperplasia ringan (a). Gambaran histologi insang ikan sehat tanpa infeksi KHV (kanan); bar = 8,33 μm. Pembahasan Vaksinasi benih ikan mas usia 30 hari melalui perendaman bakteri E. coli mengandung vaksin DNA GP-25 yang telah diinaktivasi terbukti dapat memberikan kekebalan terhadap infeksi virus KHV. Hal ini dibuktikan dengan 20 nilai kelangsungan hidup berkisar 59-63%; 2,2-2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol tanpa divaksin (26,67%). Kelangsungan hidup ikan divaksin melalui perendaman 30 menit tidak berbeda (P>0,05) dengan 60 dan 90 menit. Dengan demikian vaksinasi DNA melalui perendaman untuk meningkatkan daya tahan ikan mas terhadap infeksi KHV cukup dilakukan selama 30 menit. Nilai kelangsungan hidup ikan yang divaksin 2 dan 3 kali adalah sama dengan yang divaksin sekali. Hal ini menunjukkan bahwa vaksinasi DNA cukup dilakukan sekali saja dengan perendaman selama 30 menit. Lama perendaman selama 30 menit relatif sama dengan vaksinasi benih ikan salmon selama 40 menit perendaman (Corbeil et al., 2000a). Jumlah bakteri yang mengandung vaksin pada penelitian ini adalah 1,3 x108 CFU/mL. Dosis ini lebih besar bila dibandingkan dengan dosis yang digunakan oleh Corbeil et al. (2000a) yang menggunakan dosis bakteri sebesar 3,4 x106 CFU/mL. Penurunan dosis vaksin DNA KHV memungkinkan untuk dilakukan, seperti yang digunakan oleh Corbeil et al. (2000b) yang menggunakan vaksin DNA ipIHNw-G dengan dosis rendah sebesar 1-10 ng/ikan mampu memberikan perlindungan pada benih ikan trout terhadap IHNV WRAC strain heterolog. Hasil perhitungan perbandingan kelangsungan hidup relatif (RPS) antar kelompok dengan ikan kontrol menunjukkan hanya satu perlakuan yang nilai RPS-nya mencapai 50% (2x 90 menit), akan tetapi hasil RPS antar perlakuan tidak berbeda nyata (P> 0,05). Walaupun tidak mencapai kisaran RPS lebih dari 60% seperti yang disarankan oleh Armend (1981) untuk proteksi yang efektif, akan tetapi hasil dari penelitian ini menunjukkan peningkatan kekebalan yang berbeda nyata. Karena hasil perhitungan secara statistik membuktikan bahwa adanya pengaruh nyata antara ikan yang divaksin dengan ikan yang tidak divaksin, maka hasil RPS ini bisa diterima seperti yang dikemukakan oleh Costa et al. (2011). Nilai RPS yang didapat oleh Nuryati (2010) dan Khodijah (2012) juga lebih besar dibandingkan dengan penelitian ini. Ikan mas yang digunakan oleh Nuryati (2010) dan Khodijah (2012) adalah sekitar 10 g/ekor, sedangkan pada penelitian ini menggunakan benih ikan mas 0,1 g/ekor. Perbedaan nilai RPS tersebut diduga berkaitan dengan perkembangan kemampuan ikan dalam 21 merespons serangan penyakit dan memproduksi antibodi. Semakin besar ukuran ikan, maka akan semakin besar kemampuan ikan tersebut dalam melawan serangan penyakit, walaupun ikan tersebut memiliki umur yang sama. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ellis (1989) bahwa respons imun dari ikan dapat lebih dipengaruhi oleh ukuran ikan, bukan umur. Pada spesies salmonid tingkat kekebalan tinggi hanya diperoleh pada larva dengan berat minimal 1 gram. Selanjutnya, perbedaan metode vaksinasi diduga juga mempengaruhi efikasi vaksin. Nuryati (2010) menggunakan metode injeksi, sementara Khodijah (2012) menggunakan metode oral melalui pakan. Hasil verifikasi vaksin DNA dan hasil uji ekspresi (Gambar 11) di dalam tubuh ikan, membuktikan bahwa pemberian vaksin DNA melalui perendaman ikan dalam air mengandung bakteri utuh inaktif dapat terekspresi hingga hari ke28. Ini berarti bahwa protein GP-25 secara terus-menerus diproduksi hingga hari ke-28 (Kanellos et al., 1999). Protein imunogenik ini akan direspons oleh ikan mas untuk menghasilkan antibodi untuk meningkatkan daya tahannya terhadap infeksi KHV. Sejalan dengan hasil yang didapat oleh Boudinot et al. (1998) yang mengkombinasikan vaksin DNA gen glikoprotein viral hemorrhagic septicemia virus (VHSV) dan infectious hematopoietic necrosis virus (IHNV) terhadap ikan Onchorhynchus mykiss yang dapat mendeteksi ekspresi vaksin DNA hingga hari ke-45. Bahkan Garver et al. (2005) masih mendeteksi ekspresi vaksin DNA pIHNw-G yang diinjeksikan ke ikan Onchorhynchus mykiss pada hari ke-90. Dalam vaksinasi konvensional dan vaksinasi protein, booster biasa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan perlindungan oleh vaksin ataupun menambah periode perlindungan vaksin terhadap penyakit (Soltani dan Kalbassi, 2001). Rentang waktu pemberian booster bergantung pada spesifikasi masingmasing vaksin, Ispir dan Dorucu (2010) melakukan booster vaksinasi pada ikan Onchorhynchus mykiss 20 hari setelah vaksinasi pertama melalui perendaman. Begitu pula Jeney et al. (2009) melakukan booster vaksinasi gabungan Aeromonas samonicida dan Aeromonas hydrophila untuk ikan mas pada minggu keempat dan juga Shoemaker et al. (2006) yang melakukan booster vaksinasi pada hari ke-34 untuk ikan Ictalurus punctatus menggunakan vaksin monovalen Flavobacterium columnare, dan vaksin bivalen Flavobacterium columnare 22 dengan Edwardsiella ictaluri. Sedangkan Altun et al. (2010) melakukan booster vaksinasi melalui oral pada ikan Onchorhynchus mykiss 60 hari setelah vaksinasi pertama melalui injeksi peritonial. Dengan demikian, vaksinasi DNA besar kemungkinannya tidak memerlukan booster seperti halnya vaksinasi konvensional. Hal ini menjadi kelebihan praktis dari vaksin DNA. Dari hasil histologi jaringan insang pada saat puncak masa inkubasi KHV, menunjukkan bahwa perlakuan pemberian vaksin DNA memberikan kekebalan terhadap tubuh ikan yang terserang KHV. Seperti yang terlihat pada Gambar 12 dan Gambar 13 di atas, terdapat perbedaan yang cukup nyata. Pada ikan kontrol tanpa vaksinasi terdapat banyak kerusakan struktur jaringan organ bila dibandingkan dengan ikan dengan perlakuan vaksinasi. Seperti adanya tanda hiperplasia yang lebih banyak pada ikan kontrol bila dibandingkan dengan ikan dengan perlakuan vaksinasi, lamela yang menyatu hingga dari pangkal hingga ke ujung lamela pada ikan kontrol sedangkan pada ikan perlakuan vaksinasi belum terlihat adanya lamela yang menyatu, dan juga adanya badan inklusi pada jaringan insang ikan kontrol. Menurut Sano et al. (2004) lamela sekunder menyatu dengan adanya hiperlasia pada branchial epithelium dan nekrosis sel terjadi cukup jelas. Kerusakan-kerusakan tersebut sudah mulai terjadi paling cepat 2 hari setelah penginfeksian, yang terlihat jelas dengan mulai hilangnya beberapa bagian lamela (Ilouze et al., 2006). Kerusakan akan semakin parah terjadi ketika memasuki hari keenam hingga hari kesebelas setelah penginfeksian, dimana biasanya kerusakan pada lamela terjadi menyeluruh (El-Din, 2011). Proses terserapnya vaksin DNA sel utuh diperkirakan masuk melalui organ pencernaan dan terserap di usus, kemudian terdistribusikan di dalam peredaran darah. Mekanisme kerja vaksin DNA GP-25 pada ikan mas diduga sama dengan vaksin DNA pada ikan lain yang telah diteliti sebelumnya. DNA diserap oleh sel inang masuk ke dalam nukleus dan ditranskripsikan sebagai mRNA, kemudian ditranslasikan menjadi protein imunogenik GP-25. Ekspresi protein yang dikenali sebagai benda asing oleh sistem imun inang, dan membangkitkan respons imun, yang memiliki pengaruh terhadap proses sel mediasi maupun komponen humoralnya (RUMA, 2006). Selanjutnya, protein imunogenik ini menyebabkan respon imun yaitu produksi sel T yang akan mengeliminasi virus KHV dan sel B 23 yang menghasilkan antibodi. Menurut Tonheim (2008) respons imun setelah vaksinasi vaksin DNA dimulai oleh antigen presenting cells (APC). APC mengandung sitosolik penyandi pDNA dapat mentranskripsi dan mentranslasikan transgen dan memproduksi protein imunogenik, menyerupai infeksi suatu patogen intraseluler dan menyebabkan timbulnya peptida antigen asing oleh major histocompability complex (MHC) kelas I pada permukaan APC. Reseptor sel T dapat mengenali peptida yang ada pada MHC kelas I dan MHC kelas II, yang menstimulasi respons sel T CD 8+ (sel T sitotoksik) yang memiliki fungsi secara langsung untuk menyerang benda asing yang masuk ke tubuh dan sel T CD 4+ (sel T penolong) yang memiliki fungsi sebagai pengingat atau penyimpan memori. Kedua sel T tersebut baik CD 8+ maupun CD 4+ bersama sel Natural Killer yang telah teraktivasi kemudian memproduksi interferon tipe II (IFN-γ) (Kresno, 2001). 24 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Vaksinasi benih ikan mas usia 30 hari melalui perendaman bakteri E. coli mengandung vaksin GP-25 efektif memberikan kekebalan terhadap infeksi virus KHV. Perendaman dapat dilakukan selama 30 menit dengan frekuensi sekali. Vaksinasi DNA melalui bakteri inaktif dapat diserap oleh tubuh ikan dan mRNA terekspresi hingga hari ke-28. Saran Vaksinasi ikan mas dan ikan koi untuk meningkatkan daya tahan terhadap infeksi KHV dilakukan melalui peredaman benih umur 30 hari dalam air mengandung vaksin DNA selama 30 menit. 25 26 DAFTAR PUSTAKA Altun S, Kubilay A, Ekici S, Didinen B, Diler O. 2010. Oral vaccination lactococcosis in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) using sodium alginate and poly (lactide-co-glycolide) carrier. Kafkas Univ. Vet. Fak. Derg. 16 (Suppl-B): S211-S217. Amend DF. 1981. Potency testing of fish vaccines. Dev. Biol.Stand. 49: 447-454. Anonymous. 2007. PurelinkTM hipure plasmid filter purification kits; for midi and maxi preparation of plasmid DNA. USA. Invitrogen: hlm 6. Ardo L, Yin G, Xu P, Varadi L, Szigeti G, Jeney Z, Jeney G. 2008. Chinese herbs (Astragalus membranaceus and Lonicera japonica) and boron enhance the non-specific immune response of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) and resistance against Aeromonas hydrophila. Aquaculture 275: 26-33. Arijo S, Rico R, Chabrillon M, Diaz-Rosales P, Martinez-Manzanares E, Balebona MC, Magarinos B, Toranzo AE, Morinigo MA. 2005. Effectiveness of a divalent vaccine for sole Solea senegalensis (Kaup), against Vibrio harveyi and Photobacterium damselae subsp. Piscida. J. Fish Dis. 28: 33-38. Bercovier H, Fishman Y, Nahary R, Sinai S, Zlotkin A, Eyngor M, Gilad O, Eldar A, Hedrick RP. 2005. Cloning of the koi herpesvirus (KHV) gene encoding thymidine kinase dan its use for a highly sensitive PCR based diagnosis. BMC Microbiol. 5: 13. Boudinot P, Bernard D, Boubekeur S, Thoulouze M, Bremont M, Benmansour A. 1998. The glycoprotein of a fish rhabdovirus profiles the virus-specific Tcell repertoire in rainbow trout. J. Gen. Virol. 85: 3099-3108. Bretzinger A, Fischer-Scheri T, Oumouna M, Hoffman R, Truyen U. 1999. Mass mortalities in koi carp, Cyprinus carpio, associated with gill and skin disease. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol. 19:182-185. Carter MF, Biswal N, Rawls WE. 1973. Characterization of nucleic acid of Pichinde virus. J. Virol. 11(1): 61-68. Choi DL, Sohn SG, Bang JD, Do JW, Park MS. 2004. Ultrastructural identification of a herpes-like virus infection in common carp Cyprinus carpio in Korea. Dis. Aquat. Org. 61: 165-168 Corbeil S, Kurath G, LaPatra SE. 2000a. Fish DNA vaccine against infectious hematopoietic necrosis virus: efficacy of various routes of immunisation. Fish Shellfish Immunol. 10(8): 711-723. 27 Corbeil S, LaPatra S.E, Anderson E.D, Kurath G. 2000b. Nanogram quantities of a DNA vaccine protect rainbow trout fry against heterologous strains of infectious hematopoietic necrosis virus. Vaccine 18: 2817-2824. Costa AA, Leef MJ, Bridle AR, Carson J, Novak BF. 2011. Effect of vaccination against yersiniosis on the relative percent survival, bactericidal and lysozyme response of Atlantic salmon, Salmo salar. Aquaculture 315: 201-206 Costes B, Raj VS, Michel B, Fournier G, Thirion M, Gillet L, Mast J, Lieffrig F, Bremont M, Vanderplasschen. 2009. The major portal of entry of koi herpesvirus in Cyprinus carpio is the skin. J. Virol. 83(7): 2819-2830. Crane M, Sano M, Komar C. 2004. Infection with koi herpes virus-disease carp. Developed to support the NACA/FAO/OIE regional quarterly aquatic animal disease (QAAD) reporting system in the Asia-Pacific. NACA, Bangkok. 11 hal. Degen H-J, Deufel A, Eisel D, Grunewald-Janho S, Keesey J. 2006. PCR Applications Manual. Edisi ke-3. Germany. www.roche-appliedscience.com. Dishon A. Perelberg A. Bishara-Shieban J. Ilouze M, Davidovich M, Werker S, Kotler M. 2005. Detection of carp interstitial nephritis and gill necrosis virus in fish droppings. Appl. Environ. Microbiol. 71: 7285-7291. El-Din MMM. 2011. Histopathological studies in experimentally infected koi carp (Cyprinus carpio koi) with koi herpesvirus in Japan. World J. Fish Sci. 3(3): 252-259. Ellis AE. 1988. Fish vaccination. England: Academic Press. hlm 17. Ellis AE. 1989. Fish vaccination. Aqua. Info. Series 4: 1-5 Emmenegger EJ, Kurath G. 2008. DNA vaccine protects ornamental koi (Cyprinus carpio koi) against North American spring viremia of carp virus. Vaccine 26: 6415-6421. Garver KA, Conway CM, Elliot DG, Kurath G. 2005. Analysis of DNAvaccinated fish reveals viral antigen in muscle, kidney and thymus, and transient histopathologic changes. Mar. Bio. 7: 540-553. Gilad O, Yun S, Adkison MA, Way K, Willits NH, Bercovier H, Hedrick RP. 2003. Molecular comparison of isolates of an emerging fish pathogen, koi herpesvirus, and the effect of water temperature on mortality of experimentally infected koi. J. Gen. Virol. 84: 2661-2668. 28 Glick BR, Pasternak JJ. 2003. Molecular biotechnology: principles and applications of recombinant DNA. Edisi ke-3. ASM Pr.. Washington. 110111. Grimmett SG, Warg JV, Getchell RG, Johnson DJ, Bowser PR. 2006. An unusual koi herpesvirus associated with a mortality event of common carp Cyprinus carpio in New York State, USA. J. Wildl. Dis. 42(3): 658-662. Gunimaladevi I, Kono T, Venugopal MN, Sakai M. 2004. Detection of koi herpesvirus in common carp, Cyprinus carpio L, by loop-mediated isothermal amplification. J. Fish Dis. 27: 583-589. Haramoto E, Kitajima M, Katayama H, Ohgaki S. 2007. Detection of koi herpesvirus DNA in river water in Japan. J. Fish Dis. 30: 59-61. Hartman KH, Yanong RPE, Pouder DB, Petty BD, Francis-Floyd R, Riggs AC. 2008. Koi herpesvirus (KHV) disease. Fact Sheet VM-149 The Institute of Food and Agricultural Sciences (IFAS) University of Florida (UF). Hedrick RP, Gilad O, Yun S, Spangenberg JV. 2000. A herpesvirus associated with mass mortality of juvenile and adult koi, a strain of common carp. J. Aquat. Animal Health 12: 44-57. Hedrick RP, Gilad O, Yun SC, McDowell TS, Waltzek TB, Kelley GO, Adkison A. 2005. Initial isolation and characterization of a herpes-like virus (KHV from koi and common carp. Bull. Fish. Res. Agen. 2: 1-7 Hutoran M, Ronen A, Perelberg A, Ilouze M, Dishon A, bejerano I, Chen N, Kotler M. 2005. Description of an as yet unclasified DNA virus from diseased Cyprinus carpio species. J. Virol. 79(4): 1983-1991. Illouze M, Dishon A, Kotler M. 2006. Characterization of a novel virus causing a lethal disease in carp and koi. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 70 (1): 147-156. Ispir U, Dorucu M. 2010. Effect of immersion booster vaccination with Yersinia ruckeri extracellular products (ECP) on rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Int. Aquat. Res. 2: 127-130. Jeney Z, Racz T, Thompson KD, Poobalane S, Ardo L, Adams A, Jeney G. 2009. Differences in the antibody response and survival of genetically diferent varieties of common carp (Cyprinus carpio L.) vaccinated with a commercial Aeromonas salmonicida/ Aeromonas hydrophila vaccine and challenged with Aeromonas hydrophila. Fish Physiol. Biochem. 35: 677682. Kanellos T, Sylvester ID, Ambali AG, Howard CR, Russel PH. 1999. The safety and longevity of DNA vaccines for fish. Immunology 96: 307-313. 29 Kanellos T, Sylvester ID, D’Mello F, Howard CR, Mackle A, Dixon PF, Chang K, Ramstad A, Midtlyng PJ, Russel PH. 2006. DNA vaccination can protect Cyprinus carpio against spring viraemia of carp virus. Vaccine 24: 4927-4933. Khodijah S. 2012. Efektifivitas frekuensi pemberian vaksin DNA melalui pakan terhadap kelangsungan hidup relatif ikan mas yang diinfeksi koi herpesvirus. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kim CH, Johnson MC, Drennan JD, Simon BE, Thomann E, Leong CJ. 2000. DNA vaccines encoding viral glycoproteins induce nonspecific immunity and mx protein synthesis in fish. J. Virol. 74(15): 7048-7054. Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ke-4. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 81-83. Kurath G. 2008. Biotechnology and DNA vaccines for aquatic animals. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 27(1): 175-196. LaPatra SE, Serge C, Gerald RJ, William DS, Niels L, Eric DA, Gael K. 2001. Protection of rainbow trout against hematopoietic necrosis virus four days after specific or semi specific DNA vaccination. Vaccine 19: 4011-4019. Liu ZJ, Zhu ZY, Roberg K, Faras A, Guise K, Kapuscinski AR, Hackett PB. 1990. Isolation and characterization of beta-actin gene of carp (Cyprinus carpio). DNA Seq. 1(2): 125-36. Lorenzen N dan LaPatra SE. 2005. DNA vaccines for aquacultured fish. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 24(1): 201-213. Machtiger NA, Pancake BA, Eberle R, Courtney RJ, Tevethia SS, Schaffer PA. 1980. Herpes simplex virus glycoproteins: isolation of mutants resistant to immune cytolysis. J. Virol. 34(2): 336-346. Mullis KB, Faloona FA, Scharf SJ, Saiki RK, Horn GT, Erlich HA. 1986. Specific enzimatic amplification of DNA in vitro: the polymerase chain reaction. Cold Spring Harb. Symp. Quant. Biol. 51: 263-273. Mumford SL. 2004. National Wild Fish Health Survey-Laboratory Procedures Manual. Second Edition. U.S. Fish and Wildlife Service, Warm Spring, GA. Nuryati S. 2010. Pengembangan vaksin DNA penyandi Glikoprotein virus KHV (koi herpesvirus) menggunakan isolat lokal. Disertasi. Prodi Sains Veteriner. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 30 Osman KM, Mohamed LA, Rahman EHA, Soliman WS. 2009. Trials for vaccination of Tilapia fish against Aeromonas and Pseudomonas infections using monovalent, bivalent dan polyvalent vaccines. World J. Fish Mar. Sci. 1(4): 297-304. Perelberg A, Smirnov M, Hutoran M, Diaman A, Bejerano Y, Kotler M. 2003. Epidemiological description of a new viral disease afflicting cultured Cyprinus carpio in Israel. IJA-Bamidgeh 55(1): 5-12. Pikarsky E, Ronen A, Abramowitz J, Levavi-Sivan B, Hutoran M, Shapira Y, Steinitz M, Perelberg A, Soffer D, Kotler M. 2004. Pathogenesis of acute viral disease induced in fish by carp interstitial nephritis and gill necrosis virus. J. Virol. 78: 9544-9551. Pikulkaew S, Meeyam T, Banlunara W. 2009. The outbreak of koi herpesvirus (KHV) in koi (Cyprinus carpio koi) from Chiang Mai Province, Thailand. Thai. J. Vet. Med. 39(1): 53-58. Pokorova D, Vesely T, Piackova V, Reschova S , Hulova J. 2005. Current knowledge on koi herpesvirus (KHV): A review. Vet. Med. Czech 50: 139147. Pokorova D, Piackova V, Cizek A, Reschova S, Hulova J, Vicenova M, Vesely T. 2007. Tests for the presence of koi herpesvirus (KHV) in common carp (Cyprinus carpio carpio) and koi carp (Cyprinus carpio koi) in the Czech Republic. Vet. Med. 52(12): 562-568. Press CM, Lillehaug A. 1995. Vaccination in European salmonid aquaculture: A review of practices and prospects. Br. Vet. J. 151: 45-69. Rawat M, Singh S, Saraf S, Saraf S. 2007. An overview of biochemical aspects of DNA vaccines. Asian J. Biochem. 2 (4): 208-223. Ronen A, Perelberg A, Abramowitz J, Hutoran M, Tinman S, Bejerano I, Steinitz M, Kotler M. 2003. Efficient vaccine against the virus causing a lethal disease in cultured Cyprinus carpio. Vaccine 21: 4677-4684. (RUMA) Responsible Use of Medicine in Agriculture Alliance. 2006. Responsible use of vaccines and vaccination in fish production. RUMA Guidelines Rukyani, A. 2002. Koi herpesvirus in Indonesia: suspicion. Report of KHV epidemic to OIE. www.oie.int. Sano M, Ito T, Kurita J, Yanai T, Watanabe N, Miwa S, Iida T. 2004. First detection of koi herpesvirus in cultured common carp Cyprinus carpio in Japan. Fish Pathol. 39(3): 165-167. 31 Seo JY, Ki-Hong K, Sung-Gu K, Myung-Joo O, Soo-Wan N, Young-Tae K, TaeJin C. 2006. Protection of flounder against hirame rhabdovirus (HIRRV) with a DNA vaccine containing the glycoprotein gene. Vaccine 24(7): 1009-1015. Shoemaker CA, Klesius PH, Evans JJ. Immunization of eyed channel catfish Ictalurus punctatus eggs with monovalent Flavobacterium columnare vaccine and bivalent F. columnare and Edwardsiella ictaluri vaccine. Vaccine (25): 1126-1131. Siwicki AK, Lepa A, Mataczewska J, Kazun B, Kazun K, Terech-Majewska E. 2006. Isolation and identification of carp interstitial nephritis and gill necrosis virus (CNGV) in fingerling common carp (Cyprinus carpio L.). Arch. Pol. Fish. 14(2): 157-167. Soltani M, Kalbassi MR. 2001. Protection of Persian sturgeon (Acipenser persicus) fingerling aganst Aeromonas hydrophila septicemia using three different antigens. Bull. Eur. Ass. Fish Pathol. 21(6): 235-240. Sunarto A, Cameron A. 2006. Epidemiology and control of koi herpesvirus in Indonesia. Proceedings of the 11th International Symposium on Veterinary Epidemiology and Economics, 2006. Takano T, Iwahori A, Hirono I, Aoki T. 2004. Development of a DNA vaccine against hirame rhabdovirus and analysis of the expression of immunerelated genes after vaccination. Fish Shellfish Immunol. 17(4): 367-374. Tonheim TC, Jarl B, Roy AD. 2008. What happens to the DNA vaccine in fish? A review of current knowledge. Fish Shellfish Immunol. 25: 1-18. Toranzo AE, Romalde JL, Magarinos B, Barja JL. 2009. Present and future of aquaculture vaccines against fish bacterial diseases. Opt. Med. A(86): 155176. Vierstraete A. 1999. Principle of the PCR. http://users.ugent.be/~avierstr/ principles/pcr.html (17 Mei 2010). Waltzek TB, Kelley GO, Stone DM, Way K, Hanson L, Fukuda H, Hirono I, Aoki T, Davison AJ, Hedrick RP. 2005. Koi herpesvirus represents a third cyprinid herpesvirus (CyHV-3) in the family Herpesviridae. J. Gen. Virol. 86: 1659-1667. Woo PTK. 2010. Immunologigal and therapeutic strategies against Salmonid cryptobiosis. J. Biomed. Biotech. 2010: 1-9. Yuasa K, Sano M, Kurita J, Ito T, T. Iida, 2005. Improvement of a PCR method with the Sph 1-5 primer set for the detection of koi herpesvirus (KHV). Fish Pathol. 40(1): 37-39. 32 Zheng F, Sun X, Liu H, Zhang J. 2006. Study on the distribution and expression of DNA vaccine against lymphocytis disease virus in Japanese flounder (Paralichthys olivaceus). Aquaculture 261: 1128-1134. Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hlm 318. 33 34 Lampiran 1. Konstruksi plasmid pAct-GP25 (Nuryati, 2010) E E Act S S X GP25 X BGH pAct-GP25 (8,8 kb) Keterangan: Act GP25 BGH E S X : Promoter β-aktin ikan medaka : Glikoprotein ORF 25 : poly-A dari bovine growth hormone : Eco RI : Sal I : Xho I 35 Lampiran 2. Denah posisi akuarium uji tantang K3 A2 B1 C3 D2 E1 D1 E3 K2 A1 B3 C2 B2 C1 D3 E2 K1 A3 Keterangan: A : Perlakuan perendaman 30 menit 1 kali B : Perlakuan perendaman 60 menit 1 kali C : Perlakuan perendaman 90 menit 1 kali D : Perlakuan perendaman 90 menit 2 kali E : Perlakuan perendaman 90 menit 3 kali K : Kontrol tanpa perendaman 1,2,3 : Ulangan 36 Lampiran 3. Prosedur pembuatan preparat histologi (modifikasi Mumford, 2004) - Jaringan difiksasi dengan menggunakan formalin 5 %, Direndam dalam ethanol 70 % selama 24 jam sampai dengan tidak terbatas, Direndam dalam ethanol 80 % selama 1-12 jam, Direndam dalam ethanol 90 % selama 30 menit, Direndam dalam ethanol 95 % selama 30 menit, Direndam dalam ethanol absolut 1 selama 30 menit, Direndam dalam ethanol absolut 2 selama 30 menit, Direndam dalam ethanol absolut 3 selama 30 menit, Direndam dalam xylol 1 selama 30 menit, Direndam dalam xylol 2 selama 30 menit, - Direndam dalam xylol 3 (pada suhu 60oC) selama 30 menit, Direndam dalam parafin 1 selama 30 menit, Direndam dalam parafin 2 selama 30 menit, Direndam dalam parafin 3 selama 30 menit, - Blok jaringan dipotong melintang dengan menggunakan mikrotom (5 μm), - Diletakkan di atas permukaan air hangat, - Dilekatkan pada permukaan objek glass, - Direndam dalam xylol 1 selama 3 menit, - Direndam dalam xylol 2 selama 3 menit, - Direndam dalam xylol 3 selama 3 menit, - Direndam dalam ethanol absolut 1 selama 3 menit, Direndam dalam ethanol absolut 2 selama 3 menit, Direndam dalam ethanol absolut 3 selama 3 menit, Direndam dalam ethanol 95 % selama 3 menit, Direndam dalam ethanol 90 % selama 3 menit, Direndam dalam ethanol 80 % selama 3 menit, Direndam dalam ethanol 70 % selama 3 menit, Dibilas dengan air mengalir 37 Lampiran 3. Prosedur pembuatan preparat histologi (lanjutan) - Ditetesi hematoksilin selama 2-3 detik, Dibilas dengan menggunakan air mengalir, Dicelupkan ke dalam aquades, Ditetesi eosin selama 1 menit, Dibilas dengan menggunakan air mengalir, Dicelupkan ke dalam aquades, - Dicelupkan beberapa saat ke dalam ethanol 80 %, Dicelupkan beberapa saat ke dalam ethanol 90 %, Dicelupkan beberapa saat ke dalam ethanol 95 %, Dicelupkan beberapa saat ke dalam ethanol absolut 1, Dicelupkan beberapa saat ke dalam ethanol absolut 2, Dicelupkan beberapa saat ke dalam ethanol absolut 3, - Dicelupkan beberapa saat ke dalam xylol 1, Dicelupkan beberapa saat ke dalam xylol 2, Dicelupkan beberapa saat ke dalam xylol 3, Dikering udarakan. Preparat jaringan organ 38 3 C 1 1 1 2 1 3 1 1 2 2 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 2 2 1 2 2 1 1 2 1 1 3 1 1 1 2 1 1 1 1 2 3 2 1 1 2 1 2 4 1 1 1 2 1 1 2 3 2 1 1 2 1 2 1 13 43 17 57 1 11 37 19 63 11 37 19 63 1 13 43 17 57 1 13 43 17 57 11 37 19 63 11 37 19 63 11 37 19 63 11 37 19 63 8 27 22 73 12 40 18 60 13 43 17 57 1 12 40 18 60 1 12 40 18 60 2 12 40 18 60 21 70 9 30 1 1 1 1 1 4 1 1 2 3 2 3 2 2 2 1 2 1 1 2 1 2 2 1 1 3 3 1 1 1 2 4 2 3 1 1 3 (%) 1 ∑ ikan hidup 1 (%) 2 ∑ ikan mati 1 10/12/11 6 09/12/11 07/12/11 3 08/12/11 06/12/11 03/12/11 02/12/11 2 2 1 2 K 2 1 1 1 3 E 01/12/11 1 2 D 30/11/11 29/11/11 1 05/12/11 2 B 28/11/11 27/11/11 26/11/11 25/11/11 24/11/11 23/11/11 22/11/11 1 04/12/11 A 21/11/11 Tanggal 20/11/11 Lampiran 4. Data kematian harian ikan mas 1 1 1 2 2 1 1 1 1 2 3 1 2 2 1 1 4 1 2 1 3 2 1 3 1 1 2 1 24 80 6 20 1 3 1 1 1 2 2 1 3 2 1 2 1 21 70 9 30 Keterangan: A : Perlakuan perendaman 30 menit 1 kali B : Perlakuan perendaman 60 menit 1 kali C : Perlakuan perendaman 90 menit 1 kali D : Perlakuan perendaman 90 menit 2 kali E : Perlakuan perendaman 90 menit 3 kali K : Kontrol tanpa perendaman 1,2,3 : Ulangan 39 Lampiran 5. Data suhu air harian (oC) Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Tanggal 20/11/2011 21/11/2011 22/11/2011 23/11/2011 24/11/2011 25/11/2011 26/11/2011 27/11/2011 28/11/2011 29/11/2011 30/11/2011 01/12/2011 02/12/2011 03/12/2011 04/12/2011 05/12/2011 06/12/2011 07/12/2011 08/12/2011 09/12/2011 10/12/2011 rerata Min. 23,0 23,0 23,5 23,5 23,0 23, 23,5 23,0 22,5 23,0 23,0 23,0 22,5 23,0 23,0 23,0 22,5 23,0 23,0 23, 23,5 23,0 Maks. 24,5 24,0 24,5 25,0 25,0 25,0 24,5 24,5 25,0 24,0 24,5 25,0 24,0 24,5 24,0 24,5 24,0 24,0 24,5 24,5 25,0 24,5 40 Lampiran 6. Hasil uji statistik lama perendaman Test of Homogeneity of Variances Kelangsungan_Hidup Levene Statistic df1 6.944 df2 5 Sig. 12 .003 ANOVA Kelangsungan_Hidup Sum of Squares df Mean Square Between Groups Within Groups 3035.167 259.333 5 12 Total 3294.500 17 F 607.033 21.611 28.089 Sig. .000 Homogeneous Subsets Kelangsungan_Hidup Lama dan Frekuensi Perendaman a Duncan Subset for alpha = 0.05 N 1 2 kontrol 3 1x 60' 3 59.0000 3x 90' 3 60.0000 1x 30' 3 61.0000 1x 90' 3 63.0000 2x 90' 3 63.3333 Sig. 26.6667 1.000 .317 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. 41 Lampiran 7. Hasil uji statistik kelangsungan hidup relatif Test of Homogeneity of Variances Kelangsungan Hidup Relatif Levene Statistic df1 8.270 df2 4 Sig. 10 .003 ANOVA Kelangsungan Hidup Relatif Source of Variation Sum of Squares Between Groups Within Groups Total df 78.60 358.28 436.88 Mean Square 4 10 14 19.65 35.83 F Sig. .55 .70 Homogeneous Subsets Kelangsungan Hidup Relatif Lama dan Frekuensi Perendaman Duncana Subset for alpha = 0.05 N 1 60 menit (1) 3 44.10 90 menit (3) 3 45.46 30 menit (1) 3 46.82 90 menit (1) 3 49.55 90 menit (2) 3 50.01 Sig. .29 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. 42