ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk membahas mengenai kebijakan tindak pidana penghinaan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden dan Latar belakang yang digunakan dalam pengaturan pasal tersebut dalam KUHP maupun di dalam Draft Rancangan KUHP serta membahas mengenai dasar pertimbangan pencantuman kembali pasal tersebut ke dalam Draft Rancangan KUHP terkait dengan pencabutan pasal tersebut oleh Mahkamah Konstitusi. Dan bagaimanakah pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang digunakan untuk mencabut pasal penghinaan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden apakah sudah tepat dan cukup beralasan atau sebaliknya sehingga pasal ini masih tetap diperlukan?. Tentunya dengan pencabutan pasal tersebut, secara tidak langsung akan memberikan dampak juridis bagi perlindungan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden karena akan menunjukan bahwa perbuatan penghinaan tehadap martabat Presiden dan Wakil Presiden bukan merupakan tindak pidana maupun dalam tata hukum yang berlaku di Indonesia terkait pencantuman kembali pasal tersebut ke dalam Draft Rancangan KUHP bahwasannya pasal yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi tidak boleh lagi dihidupkan kembali. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang didukung dengan penggunaan metode pendekatan yuridis-fiosofis, yuridis-normatif, yuridis-historis dan yuridiskomparatif. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan, studi dokumen dan wawancara. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deksriptif kualitatif untuk data kulitatif atau narasi dan deksriptif kuantitatif untuk data dalam bentuk tabel-tabel. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan delik atau dasar pemikiran yang melatarbelakangi dicantumkannya kembali pasal tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ke dalam Draft Rancangan KUHP yang sebelumnya telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi sejatinya sama dengan pengaturan atau latar belakang yang terdapat dalam pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP yang merupakan produk kolonial yang masih tetap dipertahankan meskipun Indonesia telah merdeka yakni untuk memberikan perlindungan khusus terhadap perlindungan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Dan pertimbangan hukum pencabutan pasal penghinaan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi tidak cukup beralasan karena alasan-alasan yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi tidak melihat secara substansial karena sesungguhnya kesalahan atau penyelewengan yang terdapat dalam pasal tersebut terletak pada pemberlakuam pasalnya bukan substansinya. Pencabutan pasal penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden memberikan dampak yuridis karena seolah-olah perbuatan tersebut bukan lagi merupakan tindak pidana, selain itu masih terdapatnya pengaturan pasal penghinaan terhadap masyarakat biasa, bendera dan lambang negara serta pasal penghinaan terhadap raja, kepala negara dan perwakilan negara lain. Dan juga sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final and binding sehingga tidak ada upaya peninjauan kembali putusan tersebut.