BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab VI akan dijabarkan kesimpulan dan saran penelitian. Saran penelitian dibagi menjadi saran praktis dan saran akademis yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya. 1.1.Kesimpulan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses pelaksanaan pelatihan literasi informasi di perpustakaan perguruan tinggi, khususnya di perpustakaan UAJY. Proses pelaksanaan pelatihan ditentukan sebagai kunci penelitian untuk memperoleh gambaran lebih dalam. Proses pelaksanaan pelatihan ditetapkan berdasarkan fakta yang ada, bahwa hanya sebagian kecil perpustakaan perguruan tinggi yang melaksanakan pelatihan literasi informasi secara terintegrasi, dengan gambaran pelatihan yang masih minim. Proses pelatihan dilihat dari sudut pandang pendesainan pelatihan, yang terdiri dari tujuan pelatihan, materi pelatihan, pelatih dan ahli konten, metode pelatihan dan logistik pelatihan. Gambaran proses pelatihan dalam penelitian ini diperdalam dengan respon peserta yang secara langsung mengikuti pelaksanaan pelatihan, sebagai hasil dari pendesainan pelatihan oleh team pelatihan. Tujuan pelatihan Tujuan pelatihan literasi informasi di perpustakaan UAJY diasumsikan berbeda antara penyelenggara pelatihan dengan peserta pelatihan. Perbedaan tujuan pelatihan terletak pada tujuan pelatihan pertama yang merupakan inti dari pelatihan literasi informasi, yakni pembelajaran sepanjang hayat. Perbedaan pemahaman tujuan pelatihan mengindikasikan bahwa capaian pelatihan belum terpenuhi secara utuh. Capaian pelatihan yang dimaksud terdiri dari 3 aspek utama, yakni hasil yang ingin diselesaikan; perilaku yang dibutuhkan untuk menyelesaikan hasil; pengetahuan, kemampuan dan sikap. Perbedaan pemahaman berdampak pada perbedaan capaian pengetahuan, kemampuan dan sikap mahasiswa UAJY. Hal tersebut berakibat pada belum terbentuknya perilaku informasi yang diharapkan. Perilaku informasi dapat diartikan sebagai gambaran berbagai cara manusia dalam berinteraksi dengan informasi, khususnya cara mencari informasi dan memanfaatkan informasi (Bates & Maack, 2010), atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai keseluruhan proses perilaku manusia yang berkaitan dengan informasi, baik dalam bentuk pencaraian informasi dan penggunaan informasi secara pasif maupun aktif. Perilaku informasi yang belum dapat terbentuk, berhubungan dengan berhasil atau tidaknya pustakawan dalam menjembatani gap kemampuan informasi mahasiswa dengan lingkungan informasi, yakni sebagai hasil dan permasalahan yang ingin diselesaikan. Perbedaan pemahaman tujuan pelatihan literasi informasi di perpustakaan UAJY secara garis besar diindikasikan karena 2 hal, yakni: 1. Pengantar pelatihan Pengantar pelatihan memberikan pengaruh pada peserta dalam memahami dan membayangkan gambaran pelatihan yang diikuti. Pengaruh pengantar pelatihan nampak kuat saat peserta menggambarkan tentang literasi informasi, selanjutnya dibandingkan dengan materi yang diperoleh. Pengaruh yang kuat dari pengantar pelatihan menyebabkan bagian ini menjadi bagian yang sulit bagi pelatih, sehingga banyak pelatihan yang tidak berani memberikan sesi pengantar. Kesulitan memberikan sesi pengantar bukan hanya karena pengaruhnya dalam memberikan gambaran besar pelatihan, tetapi kondisi dari pelatih secara personal masih kesulitan dalam menemukan metode penyampaian materi. 2. Materi pelatihan Materi pelatihan diindikasikan menjadi salah satu hal yang menyebabkan perbedaan pemahaman tujuan pelatihan literasi informasi dilihat dari gambaran peserta pelatihan. Materi yang disampaikan cenderung pada teknis penggunaan teknologi informasi, sedangkan etika dan bagaimana menggunakan informasi masih sangat minim. Maka dimungkinkan peserta membentuk pemahaman tujuan pelatihan dengan membandingkan antara materi yang diperoleh dengan pengantar pelatihan. Gap pemahaman tujuan pelatihan antara penyelenggara pelatihan dan peserta pelatihan diindikasikan terletak pada bagaimanakah penyampaian tujuan yang sesuai untuk menyamakan pemahaman tujuan pelatihan. Kesesuaian cara penyampaian inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pelatihan, mengingat tidak semua pelatih berani memberikan pengantar pelatihan meskipun kesempatan diberikan sama besarnya bagi setiap pelatih. Sesi pengantar menjadi bagian yang seringkali dihindari oleh pelatih karena besarnya pengaruh dari pengantar, dimana gaya komunikasi dan pemilihan kata atau istilah khusus berkontribusi dalam penyamaan pemahaman. Hal tersebut masih diupayakan agar maksimal, bukan hanya kesediaan pelatih memberikan pengantar tetapi juga menemukan cara yang tepat dalam menyampaikan pengantar agar terjadi kesamaan pemahaman. Penyampaian tujuan tidak hanya terjadi antara peserta dan team pelatihan, tetapi dilakukan juga antara penyelenggara pelatihan dengan pihak universitas sebagai lembaga induk, dan seluruh bagian manajemen di dalamnya (fakultas, prodi, dosen dan staf). Pengintegrasian tujuan untuk pengintegrasian pelatihan LI di tingkat yang lebih tinggi, yakni penyampaian pandangan yang sama ke seluruh stakeholder. Pandangan yang sama di seluruh pihak mempermudah dalam integrasi desain pelatihan dengan kepentingan seluruh pihak yang terkait dalam upaya mensukseskan pelatihan. Materi Pelatihan Materi pelatihan disusun secara bertahap dan terus dikembangkan dengan berbagai bahan, baik dari pelatihan yang diikuti oleh pelatih, studi banding dengan perpustakaan lain, maupun pengembangan dari evaluasi di lapangan. Materi yang diterapkan cenderung ke teknis penggunaan teknologi informasi. Kesulitan dalam penyusunan materi berkaitan dengan penyesuaian konsep materi dengan kebutuhan dan keinginan dari pihak prodi atau fakultas. Kesulitan dan kecenderungan materi kearah teknis menyebabkan materi belum sepenuhnya memiliki model yang mapan. Materi telah dibagi permodul untuk setiap tahapan pelatihan/setiap sesi pelatihan, namun dalam prakteknya masih terdapat penggabungan modul karena terdapat gap kuantitas dan bobot modul. Penggabungan materi dilakukan untuk memenuhi durasi pelatihan yang telah ditetapkan. Materi yang belum sepenuhnya mapan inilah yang memungkinkan terus dilakukan pengembangan dan penyesuaian oleh pihak penyelenggara, dengan tujuan penyempurnaan materi maupun penyesuaian dengan kebutuhan peserta. Materi yang dihasilkan dengan berbagai pengembangan, dalam penerapannya mendapatkan respon positif dari peserta pelatihan. Peserta merasakan kontribusi pelatihan dalam penyelesaian masalah informasi bagi kebutuhan akademis. Hal ini menunjukkan terdapat kesesuaian, korelasi dan relevansi pelatihan pada peran mahasiswa. Hal penting dalam pencapaian hasil pelatihan, bahwa peserta merasa puas dengan apa yang diperoleh bahkan melebihi dari harapan peserta. Kesesuaian ini memberikan gambaran pelatih, bahwa mengarahkan dan menjelaskan materi yang seharusnya dipahami, materi yang dibutuhkan dan materi yang ingin diketahui, menjadikan peran pustakawan penting dan dibutuhkan secara penuh. Pelatih dan Ahli Konten Proses penentuan pelatih yang cukup lama dengan berbagai kriteria pada dasarnya dilakukan dengan memberikan kesempatan seluas mungkin bagi seluruh pustakawan untuk mengembangkan diri melalui pelatihan literasi informasi. Kesempatan yang sama bagi pustakawan merupakan salah satu upaya agar dapat dilakukan regenerasi pelatih, namun hal ini sulit dilakukan mengingat banyaknya tuntutan untuk menjadi seorang pelatih. Tuntutan inilah yang menjadi hambatan utama dalam penetapan pelatih, bahwa tidak semua pustakawan memiliki kompetensi yang diharapkan. Tuntutan pelatih yang masih sulit dipenuhi lebih pada kemampuan dan kondisi personal pelatih, yakni terkait dengan rasa percaya diri dan kepekaan pelatih dalam menangkap situasi. Permasalahan pada pelatih adalah bagaimana pelatih mampu mengeksplore kemampuan; pengetahuan; dan pengalaman yang diperoleh sebagai pengelola informasi, lalu dikolaborasikan dengan materi yang telah ditetapkan untuk dituangkan dalam sebuah pelatihan. Kesulitan pelatih sebagai dampak kurangnya rasa percaya diri antara lain kemampuan berbicara atau berkomunikasi dengan peserta. Hal ini terus berulang pada hampir seluruh pelatih, bahwa menyatakan kemampuan sebagai pelatih yang mengkomunikasikan materi dengan baik, dan sesuai dengan kondisi lapangan masih menjadi pembahasan baik di tingkat pelatih maupun manajemen pelatihan. Permasalahan pelatih yang juga menonjol adalah bagaimanakah pelatih memposisikan diri sebagai pelatih yang peka pada situasi peserta. Kemampuan pelatih untuk memahami situasi peserta tidak sepenuhnya dimiliki oleh seluruh pelatih, dampaknya pelatih yang belum peka kebingungan dalam menentukan langkah yang tepat untuk menguasai dan mengatur kelas. Dengan demikian, secara garis besar pelatih masih berusaha memposisikan diri dan menentukan langkah yang tepat dalam berbagai kasus dalam proses pelatihan. Metode Pelatihan Metode pelatihan menjadi sorotan manajemen pelatihan, karena belum tersedia pakem metode yang dapat digunakan sebagai contoh maupun pedoman oleh pelatih, untuk memudahkan dalam menemukan gambaran langkah yang tepat apabila terdapat kasus khusus. Proses penentuan atau pemilihan metode dimasingmasing pelatih dilakukan dengan proses yang berbeda, terutama dengan adanya perbedaan background pendidikan dan pengalaman mengajar. Penentuan metode pelatihan dan penerapannya ditentukan berdasarkan kemampuan pelatih dan kenyamanan pelatih. Metode yang digunakan terus mengalami penyesuaian, khususnya pelatih yang memerlukan pengembangan, memahami bahwa mahasiswa memerlukan lebih dari sekedar penjelasan biasa agar semakin memahami kompleksitas literasi informasi (seperti penggunaan gambar, bukan tulisan). Logistik Pelatihan Logistik pelatihan merupakan penunjang yang berkontribusi besar dalam kelancaran pelaksanaan pelatihan. Setiap bagian dalam logistik memberikan kontribusi satu sama lain, sehingga pemenuhan seluruh bagian logistik mendorong pelaksanaan pelatihan semakin maksimal. Permasalahan dalam logistik pertama kali adalah peserta dan promosi. Peserta minim meskipun dilakukan berbagai promosi, sehingga merubah bentuk promosi kearah promosi aktif secara perseorangan (baik dosen maupun pimpinan) dan dilakukan kerjasama dengan berbagai pihak dalam universitas, dengan tujuan meningkatkan keikutsertaan mahasiswa dalam pelatihan literasi informasi dan optimalisasi pelatihan. Bentuk promosi mempengaruhi bentuk kepesertaan dan jadwal pelatihan. Kepesertaan (baik bentuk dan kuantitas peserta) berkontribusi pada penentuan jadwal pelatihan, yang berdampak pula pada fasilitas pelatihan. Sebaliknya ketersediaan fasilitas mempengaruhi jadwal pelatihan. Kondisi logistik pelatihan tersebut pada dasarnya terletak pada bagaimana penyelenggara pelatihan mempromosikan pelatihan, yang akhirnya berdampak diseluruh proses pelatihan. Pelaksanaan pelatihan literasi informasi oleh pustakawan di perpustakaan UAJY berdasarkan proses pelatihan dan dilihat dari pendesainan pelatihan, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa penyelenggara pelatihan masih mencari bentuk desain pelatihan yang sesuai dengan kondisi lapangan dalam upaya integrasi seluruh proses pelatihan dengan pihak universitas, mahasiswa dan pengajar. Hal ini terlihat dari: a. Bagaimana pelatih mencari cara yang tepat untuk menyampaikan tujuan pelatihan, sehingga seluruh tujuan dan gambaran pelatihan secara detail dapat dipahami peserta. b. Dilihat dari materi, materi masih disesuaikan dengan permintaan maupun kebutuhan perkelompok yang dikembangkan dari modul utama pelatihan, atau dengan penggabungan materi. c. Dilihat dari pelatih, regenerasi pelatih masih terus dilakukan dan dilakukan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kemampuan pelatih. Pencarian model yang sesuai cenderung pada pelatih secara personal, yakni bagaimana pelatih mampu menempatkan diri sebagai pelatih dan memfasilitasi pelatihan secara maksimal. Hal yang masih terus digali disetiap pelatih. d. Dilihat dari metode, metode yang digunakan pada setiap pelatih (khususnya yang tidak berlatarbelakang pendidikan pengajar) saat ini masih terus dikembangkan untuk menemukan kesesuaian. Kebingungan dan turunnya kepercayaan diri mengindikasikan pelatih model karena yang merasa digunakan tidak masih mampu belum menjadi menjawab permasalahan yang ditemui dalam pelatihan. e. Dilihat dari logistik pelatihan, khususnya di bagian promosi. Koordinator pelatihan sebagai penanggungjawab kebingungan dalam menentukan bentuk promosi yang paling efektif selain pendekatan dengan dosen. Promosi belum dapat berjalan lancar, bahkan ditemukan masih banyak mahasiswa yang menyatakan tidak mengetahui adanya promosi pelatihan literasi informasi. Promosi menjadi bagian utama pemasalahan logistik. Proses pelaksanaan pelatihan meskipun masih mencari model yang tepat untuk diaplikasikan, tetapi dilihat dari sudut mahasiswa menunjukkan bahwa pelatihan literasi informasi menjadi salah satu jawaban kebutuhan mahasiswa terkait dengan kompetensi informasi. Mahasiswa memerlukan pendampingan dalam menghadapi perkembangan lingkungan informasi yang kompleks. Kerjasama menjadi kunci keberhasilan pendampingan tersebut. Kerjasama selain meningkatkan keikutsertaan mahasiswa, juga meningkatkan upaya evaluasi hasil pelatihan untuk melihat hasil, optimalisasi pelatihan dan pentingnya pelatihan. Pelatihan literasi dari sudut kepustakawanan, menujukkan bahwa pelatihan ini menjadi salah satu wadah bagi pustakawan mengembangkan kemampuan informasi dan share pengetahuan dari pengalaman kerja. Pelatihan literasi informasi menjadikan pustakawan lebih aktif dalam melakukan pendampingan mahasiswa. Pustakawan dengan perannya sebagai pelatih menjadi awal perluasan eksistensinya sebagai penyokong kelancaran proses belajar mengajar di UAJY. Perubahan paradigma mulai terjadi didalamnya, bahwa pustakawan mulai dilihat oleh sub unit lain bukan lagi sekedar sebagai penata atau penjaga buku, tetapi sebagai profesi yang memiliki kemampuan untuk berkembang, meskipun bukan berarti posisi pustakawan akan dengan cepat sejajar dengan pengajar. Perubahan pandangan ini membuka jalan bagi pustakawan untuk memperoleh kepercayaan dari unit lain dan mengembangkan kerjasama dengan seluruh pihak dalam universitas, saat terdapat pengembangan program perpustakaan.