Sanksi Bagi Koruptor

advertisement
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA
24
KAMIS, 17 NOVEMBER 2011
Korupsi dan Kebahagiaan
P
Dr Adian Husaini
Dosen Pascasarjana
Universitas Ibn Khaldun Bogor
ada 2006, BBC pernah
mempublikasikan sebuah
hasil survei bertajuk A
Global Projection of
Subjective Well-Being.
Berdasarkan survei tersebut, 81 persen rakyat Inggris setuju bahwa
tujuan utama pemerintahan adalah mewujudkan kebahagiaan rakyat, bukan kekayaan. Maka, PM Inggris David Cameron—
yang saat itu masih mejadi pimpinan
oposisi—meletakkan kebahagiaan sebagai
agenda politik utama. Ia katakan, ”It’s
time we admitted that there is more to life
than money, and it’s time we focus not just
on GDP, but GWB—General Well Being.”
Sejumlah sarjana di Inggris kemudian
meluncurkan hasil survei berupa Peta
Kebahagiaan Global (A Map of Global
Happiness 2006). Dalam peta itu,
Indonesia menduduki peringkat ke-64.
Berturut-turut menempati urutan teratas
adalah Denmark, Swiss, Austria, Iceland,
Bahamas, Finlandia, Swedia, Bhutan,
Brunei, Kanada, dan seterusnya. Jepang
menduduki peringkat ke-89 dan India
peringkat ke-125. (Dikutip dari buku
Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia,
karya Prof Wan Mohd Nor Wan Daud,
(Kuala Lumpur: BTN, 2011).
Tentu, bisa diperdebatkan kriteria yang
digunakan dalam survei semacam itu.
Namun, setidaknya hasil survei itu bisa
dijadikan sebuah perbandingan. Apalagi,
dalam perspektif Islam. Kebahagiaan
(sa’adah/happiness) oleh banyak cendekiawan dan ulama didefinisikan sebagai
kondisi batiniah saat manusia berada di
maqam takwa. Imam al-Ghazali, seperti
dikutip Buya Hamka dalam bukunya, Tasauf Modern, mengungkapkan, ”Bahagia
dan kelezatan yang sejati ialah bilamana
dapat mengingat Allah.” Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair,
wa-lastu araa al-sa’adata jam’u maalin—
wa-laakin al-tuqaa lahiya al-sa’iidu
(Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda,
tetapi takwa akan Allah itulah bahagia).
Prof SM Naquib al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness)
sebagai, ”Kesejahteraan dan kebahagiaan
itu bukan dianya merujuk kepada sifat
badani dan jasmani insan, bukan kepada
diri hayawani sifat basyari; dan bukan
pula dia suatu keadaan akal-fikri insan
yang hanya dapat dinikmati dalam alam
fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk
kepada keyakinan diri akan Hakikat
Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari
itu—yakni: keadaan diri yang yakin akan
Hak Ta’ala—dan penuaian amalan yang
dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.”
(SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan
Pengalamannya dalam Islam, (Kuala
Lumpur:ISTAC:2002, pengantar Prof
Zainy Uthman, hal xxxv).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati
yang dipenuhi dengan keyakinan (iman)
dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia
dapat mempertahankan keimanannya
meskipun dalam kondisi disiksa. Imam
Abu Hanifah merasa bahagia meskipun
harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari karena menolak diangkat
menjadi hakim negara.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil
mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal
Allah SWT. Selanjutnya al-Ghazali
menyatakan, ”Ketahuilah bahagia tiaptiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat
kesenangan dan kelezatannya dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian
masing-masing. Maka, kelezatan (mata)
ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu,
demikian pula segala anggota yang lain
dari tubuh manusia. Ada
pun kelezatan hati
ialah teguh
ma’rifat kepada Allah karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan ....
Seorang hamba rakyat akan sangat
gembira kalau dia dapat berkenalan
dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan
pula dengan raja. Tentu saja berkenalan
dengan Allah adalah puncak dari segala
macam kegembiraan lebih dari apa yang
dapat dikira-kirakan oleh manusia sebab
tidak ada yang maujud ini yang lebih dari
kemuliaan Allah .... Oleh sebab itu, tidak
ada ma’rifat yang lebih lezat daripada
ma’rifatullah.”
Allah SWT sudah mengingatkan,
“Andaikan penduduk suatu wilayah mau
beriman dan bertakwa, maka pasti akan
Kami buka pintu-pintu berkah dari langit
dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan
(ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab
mereka karena perbuatan mereka sendiri.”
(QS al-A’raf [7]: 96).
“Dan, Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang
kepadanya melimpah ruah dari segenap
tempat, tetapi penduduknya mengingkari
nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan
dan ketakutan disebabkan apa yang selalu
mereka perbuat.” (QS an-Nahl [16]: 112).
Rasulullah SAW juga bersabda bahwa
“Allah melaknat penyuap dan penerima
suap” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah
untuk pejabat pemerintah, Nabi bersabda,
“Hadiah yang diberikan kepada para pejabat adalah haram dan hakim yang menerima suap adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Nabi SAW pun sangat konsisten dalam penerapan hukum. Beliau tidak membeda-bedakan anggota keluarga beliau dengan masyarakat lainnya sehingga terkenallah ucapan
beliau, “Demi
Allah jika
Fatimah, putriku, mencuri, pasti aku
potong tangannya.”
Dalam kasus kecurangan harta negara,
Nabi Muhammad SAW bersikap tegas,
sampai-sampai beliau menerapkan sanksi
tasyhir terhadap orang yang curang,
meskipun dia sudah gugur di medan jihad.
Imam Malik, dalam al-Muwaththa’, meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah
mengumumkan kecurangan seorang
tentara Islam yang diketahui menyembunyikan beberapa buah permata milik
orang Yahudi. Sanksi tasyhir ini berupa
pengumuman “aib” orang tersebut.
Umar bin Khatab juga menerapkan
sanksi tasyhir terhadap saksi palsu. Qadhi
Syuraikh, hakim pada zaman Umar dan
Ali RA menerapkan sanksi tasyhir dengan
cara membawa pelaku kejahatan ke
tengah-tengah pasar dan dimumkan kejahatannya kepada masyarakat.
Sanksi lain yang terkenal adalah
berupa penyitaan harta hasil korupsi.
Umar bin Khatab dikenal sangat tegas jika
mendapatkan laporan ada pejabat yang
memiliki kekayaan tidak wajar. Jika terbukti harta itu diperoleh dengan cara
tidak sah, maka segera disita. Bahkan,
Umar pernah menyita unta milik anaknya
sendiri yang dia dapati tumbuh besar
karena memakan rumput milik Baitul Mal.
Dia perintahkan agar unta itu dijual dan
keuntungannya diserahkan ke Baitul Mal.
Pemberantasan korupsi yang begitu
nyaring diteriakkan di negeri kita hanya
akan berhasil jika para elite—khususnya
ulama dan penguasa—memberikan keteladanan hidup dan tidak salah dalam memaknai kebahagiaan. Imam al-Ghazali
mengingatkan, “Sesungguhnya rusaknya
rakyat terjadi karena rusaknya penguasa
dan rusaknya penguasa terjadi karena
rusaknya ulama.”
Maka, renungkan, jika penguasa saat
ini rusak, jangan-jangan memang
bermula dari kerusakan yang
terjadi di dunia pendidikan,
diawali oleh kerusakan
ulama dan cendekiawan! Wallahu a’lam
bish shawab. ■
NOSPINTV.NET
Sanksi Bagi Koruptor
slam sebagai agama wahyu mengemban
amanah untuk menjaga kemaslahatan manusia dan sekaligus sebagai rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil alamin) yang
relevan untuk setiap zaman dan tempat (shalih
li kulli zaman wa makan). Dalam rangka mewujudkan hal itu, Islam menetapkan aturan hukum (syari’ah), di mana aturan ini dibuat dengan tujuan utama untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok atau populer dengan istilah al-maqashid al-syar’iyyah, yaitu: 1)
memelihara agama (hifdz al-din), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz
al-aql), 4) memelihara kehormatan atau keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta
(hifdz al-mal).
Kelima maqashid syar’iyyah tersebut jika
terlaksana dengan baik, maka akan tercapailah
apa yang disebut dengan kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat (fii al-dunya hasanah,
wa fii al-akhirah hasanah). Sebaliknya, segala
tindakan yang bisa mengancam keselamatan
salah satu dari kelima hal pokok tersebut, maka Islam menganggapnya sebagai tindak kejahatan (jarimah) yang terlarang. Oleh karenanya,
pelakunya dikenakan hukuman atau sanksi,
baik yang bersifat duniawi dan/atau ukhrawi.
Hukuman ukhrawi berupa siksa neraka yang
disesuaikan dengan kejahatannya. Hukuman
duniawi adalah hukuman yang diputuskan dan
dilaksanakan hukumannya di dunia. Dalam hal
ini ada dua kemungkinan, jika secara jelas
(sharih) ditegaskan oleh nash, maka disebut
kisas, diat, dan had. Jika tidak secara tegas
(ghair sharih) disebutkan dalam nash, maka
disebut ta’zir, sanksi hukumannya diserahkan
I
Ahmad Alim
Kandidat Doktor
di Universitas Ibn Khaldun
Bogor
kepada pertimbangan hakim.
Korupsi (al-ikhtilas) merupakan salah satu
tindak kejahatan harta, yaitu memakan harta
manusia dengan cara yang batil (QS al-Maidah
[2]:188) atau lebih spesifik lagi, korupsi termasuk dalam kategori ghulul (pengkhianatan wewenang) (QS Ali Iimran [3]:161), di mana pelakunya
menyalahgunaan harta negara, perusahaan,
atau masyarakat demi kepentingan pribadinya.
Meskipun nash tidak secara langsung menjelaskan had atau kifaratnya, bukan berarti pelaku
korupsi bebas dari hukuman. Akan tetapi, had
tersebut berpindah menjadi ta’zir yang kebijakannya diserahkan kepada hakim (ulil amri).
Tentunya kebijakan tersebut tidak serta mer ta
berdasarkan pada kepentingan hawa nafsunya,
akan tetapi harus memperhatikan ketentuan
yang berlaku dalam hukum Islam yang berasaskan atas keadilan, di mana berat-ringannya
hukuman tergantung pada besar-kecilnya nilai
nominal uang, material, dan bentuk lainnya yang
dikorupsi dan dampak yang ditimbulkannya.
Memasukkan hukuman korupsi dalam kategori ta’zir, hal itu diksebabkan harta yang dicuri
merupakan harta yang syubhat (harta
negara/baitul mal) dan merupakan harta milik
umum. Dalam hal ini Rasulallah SAW menegaskan, idzraul hudud bisyubuhat. Artinya,
tanggalkan hudud dengan adanya syubhat. (HR
Al-Baihaqi).
Hukuman ta’zir bagi koruptor sangat bervariasi, mulai dari pemberian teguran, tasyhir (diblow up lewat media massa), denda (gharamah
maliyah), cambuk (jilid), pemboikotan (hajr),
penjara (sijn), pengasingan (taghrib), bahkan hukuman mati (qatl) sekalipun. Menurut Ibn Abidin,
hukuman ta’zir tidak ada ketetapan khusus.
Dengan demikian, ta’zir diserahkan pada kebijakan hakim, sesuaikan dengan kejahatan yang
dilakukan oleh mujrim. (Ibn Abidin, Rad alMukhtar Ala al-Durar al-Mukhtar, hlm 119).
Pendapat yang sama juga sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Taimiyah bahwa batas minimal
hukuman ta’zir tidak dapat ditentukan. Tapi, intinya adalah semua hukuman menyakitkan bagi
manusia bisa berupa perkataan, tindakan atau
perbuatan, dan diasingkan. Kadang-kadang
seseorang dihukum ta’zir dengan memberinya
nasehat atau teguran, menjelekakannya, dan
menghinakannya. Kadang-kadang seseorang
dihukum ta’zir dengan mengusirnya dengan
meninggalkan negerinya sehingga ia bertaubat.
Sebagaimana Nabi pernah mengusir tiga
orang yang berpaling, mereka itu adalah Ka’ab
bin Malik, Maroroh bin Rabi’, dan Hilal bin
Umaiyyah. Mereka berpaling dari Rasulullah
pada perang Tabuk. Maka, Nabi memerintahkan untuk mengasingkan mereka kemudian
Nabi memaafkan mereka setelah turun ayatayat Alquran tentang diterimanya taubat
mereka. Dan, kadang-kadang hukuman ta’zir
berbentuk pemecatan dari dinas militer bagi
prajurit yang melarikan diri dari medan perang.
Karena, melarikan diri dari medan perang
merupakan dosa besar. Begitu pula pejabat,
apabila melakukan penyimpangan, maka ia
diasingkan. (lihat Ahmad Fathi Bahansi, alMas’uliyah al-Jinaiyyah al-Islamy, hlm 23).
Sanksi ta’zir tersebut dimaksudkan untuk
menghapuskan dosa (jawabir) bagi pelakunya
(mujrim) dan menyadarkannya dari perbuatan
maksiat yang telah dilakukannya (ta’dib). Di
samping itu ta’zir juga sebagai pencegah
(zawajir) agar masyarakat tidak melakukan hal
yang sama. Tentunya pelaksanaan ta’zir ini
dibarengi dengan pengembalian hak adami
yang pernah dirampasnya kepada pemiliknya
(baik individu, organisasi, perusahaan maupun
negara) atau jika telah rusak dan hilang, maka
dengan mengganti sesuai dengan nilainya.
Karena, hak adami tidak gugur dengan taubat
sebelum pelakunya mengembalikan hak tersebut atau meminta kehalalannya. (Nawawi,
Riyadhusshalihin, hlm 31).
Adapun jika para koruptor lolos dari pengadilan dunia, maka aa tidak akan pernah lolos dari
pengadilan Allah SWT di akhirat kelak (QS Gafir
[40]: 16-17) dan tentunya pelakunya tergolong
dalam kategori orang yang bangkrut (muflis).
Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam
hadis Nabi SAW yang terdapat dalam Shahih
Muslim dari Abu Hurairah Rasulullah SAW
bersabda, “Tahukah kalian siapa muflis itu?
Mereka menjawab, muflis dari kami adalah
orang yang tidak memiliki dirham dan barang.
Beliau bersabda, muflis dari umatku adalah
orang yang hadir di Hari Kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Sementara, dia telah mencela ini, menuduh ini, makan harta ini, membunuh ini, dan memukul ini,
maka kebaikannya diberikan kepada mereka
yang pernah dizalimi hak-haknya, jika kebaikannya telah habis sebelum dia menunaikan apa
yang wajib dia tunaikan, maka keburukan
mereka (orang-orang yang pernah dizalimi)
diambil dan ditimpakan kepadanya kemudian
dia dilemparkan ke dalam neraka”. Wallahu
a’lam bish shawab. ■
Download