tinjauan pustaka

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi, Botani, Daerah Asal dan Penyebaran Manggis
Dalam sistematika tumbuhan tanaman manggis diklasifikasikan kedalam
Domain: Eukaryota, Kingdom: Plantae, Subkingdom: Viridaeplantae, Phylum:
Tracheophyta, Subphylum: Euphyllophytina, Kelas: Magnoliopsida, Subkelas:
Dilleniidae, Superordo: Theanae Ordo: Hypericales, Famili: Clusiaceae,
Subfamili: Clusioideae, Tribe: Garcinieae, Genus: Garcinia, Spesies: Garcinia
mangostana L. (ZippcodeZoo.com 2009). Genus Garcinia memiliki sekitar 800
species (Osman & Milan 2006). Data Herbarium Bogoriense mencatat terdapat
100 jenis Garcinia di Indonesia (Sari 1996). Whitmore (1973) mencatat lebih
kurang terdapat 39 spesies Garcinia dan diantaranya hanya beberapa yang
diketahui dan digunakan untuk keperluan medis di Thailand, diantaranya G.
atroviridis Griff, G. speciosa Wall., G. cowa Roxb. dan G. dulcis
Manggis berasal dari Indonesia dan kawasan Asia Tenggara (Almeyda &
Martin 1976), India Timur, dan Asia Tenggara (Campbell 1966), dan Peninsular
Malaysia (Verheij 1991; ICUC 2003). Morton (1987) menyatakan bahwa manggis
dipercaya berasal dari Kepulauan Sunda dan Maluku walaupun terdapat bukti
yang menyatakan berasal dari Semenanjung Malaya (Verheij 1991). Sebagian
besar produksi komersial manggis berada di Indonesia, Papua New Guinea,
Philippina, Malaysia, Thailand, Burma (Myanmar), Vietnam, dan Cambodia.
Sejak dua abad yang lalu, tanaman ini telah menyebar sampai ke Madagaskar,
Sri Lanka, India, Honduras, Brazil, dan Australia. Saat ini, manggis dapat
dijumpai di pekarangan dan kebun pada beberapa negara dengan iklim hangat dan
bebas salju (ICUC 2003). Di Australia sekitar 50 hektar manggis telah ditanam di
Queensland Utara (Downtown & Chacko 1998).
Manggis
membutuhkan
iklimnya
spesifik
dengan
temperatur
dan
kelembaban tinggi sehingga daerah penyebarannya terbatas disekitar khatulistiwa
yaitu antara 10° Lintang Utara dan 10° Lintang Selatan (Verheij 1991). Manggis
berhasil diintroduksi dan dibudidayakan sampai 18° dari khatulistiwa pada daerah
6
bebas salju di Honduras, Madagaskar dan Australia Utara. Di India manggis
ditanam pada daerah dataran tinggi (Osman & Milan 2006).
Manggis tumbuh subur pada daerah dengan temperatur antara 25-35°C dan
RH diatas 80%. Daerah dengan suhu 20-25°C juga cukup sesuai untuk budidaya
manggis. Naungan sangat penting selama 2-4 tahun pertama baik dipembibitan
maupun selama awal penanaman di lapang. Tanah terbaik untuk budidaya
manggis adalah porous, dalam, lembab dengan irigasi yang baik, sedikit masam,
dan kaya bahan organik (Campbell 1967; Almeyda & Martin 1978). Curah hujan
diatas 1270 mm/tahun sangat baik untuk pertumbuhan tanaman (Yaacob &
Tindall 1995).
Di Indonesia manggis tumbuh dalam kawasan geografi yang luas meliputi
hampir semua kepulauan. Tanaman ini dapat tumbuh sampai mendekati
ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut dengan lingkungan tumbuh yang
bervariasi mulai dari lahan kering sampai lahan rawa pasang surut (Mansyah et al.
2005). Daerah dengan luas panen tertinggi adalah Jawa Barat (1.471 ha), disusul
oleh Sumatera Barat (1.420 ha), Jawa Timur (752 ha), Bengkulu (728 ha), Banten
(706 ha), Sumatera Utara (669 ha), Riau (512 ha), Sulawesi Selatan (449 ha) serta
daerah lainnya dengan luas panen yang lebih kecil (BPS 2009).
Manggis mempunyai nilai gizi yang cukup baik. Dalam 100 g daging buah
terkandung 79.2 g air, 0.5 g protein, 19.8 g karbohidrat, 0.63 g asam sitrat, 0.3 g
serat, 11.0 mg kalsium, 17.0 mg fosfor, 0.9 mg zat besi, 14.0 IU vitamin A,
0.09 mg vitamin B (thiamin), 0.06 mg vitamin B2, 0.1 mg vitamin B5, dan 66 mg
vitamin C (Ming 1990 dalam Yaacob & Tindall 1995).
Pohon manggis terlihat selalu hijau dengan kanopi berbentuk piramid
dengan tinggi antara 8-10 meter. Daunnya berhadapan, tebal dan bergetah. Buah
berbentuk bulat dengan diameter 3.5-7 cm berat 75-150 g, kulit buah tebal (6-8
mm), berwarna hijau pucat ketika masih muda dan merah keunguan ketika matang
penuh. Didalam buah terdapat 4-8 segmen buah berwarna putih. Buah bisa tidak
berbiji atau 1-5 biji perbuah dan dapat mennghasilkan lebih dari satu tanaman per
biji (poliembrioni) (ICUC 2003).
Studi tentang biologi bunga manggis oleh Horn (1940) dan Krishnamurthi
dan Rao (1964) melaporkan bahwa tidak dijumpai adanya tepung sari, baik pada
7
stadia awal pembentukan bunga maupun setelah bunga membuka. Pengamatan
benang sari secara mikroskopik telah dilakukan oleh Lim (1984) yang melaporkan
bahwa anthesis terjadi antara pukul 4 sampai 6 pagi dan setelah 24 jam petal
terlepas dan sepal tetap ada sampai buah matang. Pada anther muda, sel induk
tepung sari terbentuk dengan baik. Setelah terjadi pembelahan meiosis juga terjadi
proses degenerasi inti dan sitoplasma yang menyebabkan sebagian besar di
antaranya berdegenerasi. Pada berbagai fase meiosis terjadi proses degenerasi
hingga hanya sedikit terbentuk tetrad dan sel tunggal normal yang akhirnya mati.
Yaacob & Tindall (1995) melaporkan bahwa manggis mempunyai bunga dengan
serbuk sari yang steril.
Manggis termasuk jenis buah yang lambat perkembangannya di antara buahbuahan tropika lainnya, sehingga ketersediaannya di pasaran untuk konsumen di
luar Asia Tenggara sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah,
antara lain pertumbuhan bibit yang sangat lambat, masa juvenil yang panjang,
sedikitnya ketersediaan materi tanaman, serta membutuhkan tenaga kerja intensif
dalam pemanenan (Chong 1992).
Metode Reproduksi Manggis
Tanaman manggis mempunyai mekanisme reproduksi secara apomiksis
(Wester 1926; Horn 1940; Cox 1976; Verheij 1991). Beberapa penulis juga
menyebutkan sebagai partenokarpi (Corner 1952; Whitmore 1972). Richards
(1990a) menyatakan bahwa sebagian besar genus Garcinia adalah agamospermy
fakultatif. Tanaman jantan dijumpai pada semua spesies kecuali G. schortechinii
King dan G. mangostana. Manggis merupakan agamospermy obligat dengan
reproduksi melalui sel adventif dari jaringan ovular. Reproduksi aseksual yang
demikoan mengakibatkan keseragaman buah manggis di manapun ditanam dan
kelihatannya hanya satu varietas (Horn 1940).
Apomiksis digunakan sebagai istilah umum untuk reproduksi aseksual pada
tanaman, termasuk perbanyakan vegetatif.
Untuk pemulia apomiksis hanya
meliputi reproduksi aseksual melalui biji. Lebih spesifik lagi Asker & Jerling
(1992) mendefinisikan apomiksis sebagai proses reproduksi aseksual yang terjadi
8
pada ovul tanaman berbunga. Pada apomiksis, sel dengan jumlah kromosom
unreduksi yang berasal dari sel somatik atau sel germinal dalam ovul berkembang
menjadi embrio tanpa penggabungan inti telur dan sperma (Ramulu et al. 1995).
Beberapa penulis menyebutkan sebagai agamospermy (‘seeds without sex’)
(Rhichards 1990a; Ramachandran & Raghavan 1992).
Apomixis merupakan kejadian yang umum pada tanaman. Sekitar 60%
tanaman mengalami mekanisme ini namun sering diabaikan oleh ahli teori
reproduktif
(Rhichards
2003).
Kejadian
apomiksis
merupakan
proses
pembentukan populasi yang seragam secara genetik dan merupakan pola unik dari
spesiasi tanaman. Lebih kurang 400 taksa dari 35 famili tanaman berbunga
tercatat sebagai apomiktik. Sebagian besar diantaranya adalah spesies pohon
pohonan tropika seperti jeruk, mangga, dan rumputan tropik seperti Brachiaria
dan Paspalum (Carman 2001).
Apomiksis telah diduga terjadi pada manggis sejak lama dan diyakini
sebagai apomiksis obligat karena hanya dijumpai sebagai tanaman betina dan
dapat menghasilkan biji fertil (Richards 1997). Dengan demikian, semua pohon
manggis secara praktis termasuk varietas klonal karena karakter apomiktiknya.
Beberapa peneliti lain memperkuat bahwa mekanisme reproduksi apomiksis pada
manggis termasuk ke dalam embryony adventitious (Lim 1984; Richards 1990b;
Asker & Jerling 1992). Spesies dengan embyony adventitious biasanya
mempunyai meiosis yang teratur. Hal ini berdasarkan fakta bahwa sebagian besar
di antaranya merupakan pseudogamous dan membutuhkan serbuk sari fungsional
untuk fertilisasi dan pembentukan biji. Pada beberapa spesies mempunyai
pembentukan endosperm secara autonomous seperti pada Alchornea ilicifolia dan
Euphorbia dulcis, di mana serbuk sari tidak berfungsi dan meiosis jantan
terganggu (Asker & Jerling 1992).
Informasi lain menyebutkan bahwa manggis adalah partenokarpi dengan
tabung sari yang berkembang dalam waktu singkat pada stigma tetapi tidak
mencapai ovul (Corner 1952; Whitmore 1972). Lim (1984) menyatakan bahwa
manggis mempunyai perkembangan embryo sac (kantong embrio), dan hal ini
memungkinkan terjadinya partenogenetik. Richards (1997) menambahkan bahwa
haploid partenogenesis juga dijumpai pada manggis, dan mekanisme ini mungkin
dapat terjadi pada spesies dengan apomiksis sporofitik.
9
Apomiksis merupakan proses yang secara random distimulasi oleh
lingkungan dan faktor nutrisi. Analisis keturunan pada persilangan antara
apomiksis dengan bentuk seksual menunjukkan bahwa kemampuan untuk
reproduksi apomiksis ditentukan secara genetik. Sebagai contoh perkembangan
embrio nuselar pada jeruk dikontrol oleh lokus dominan tunggal (Parlevliet &
Cameron, 1959 dalam Koltunow 1993).
Apomiksis dikendalikan oleh sedikit gen tetapi pengaruhnya sangat besar
yaitu memerintahkan sel nuselar somatik untuk membentuk kantong embrio
(embryo sac) tanpa meiosis, menjadi embrio dan endosperm tanpa fertilisasi.
Perbedaan penting apomiksis dari reproduksi seksual adalah bahwa embrio
apomiktik berasal semata-mata dari sel jaringan ovul maternal tanpa fusi gamet
jantan dan betina. Biji fertil yang dihasilkan dari reproduksi apomiktik apabila
tidak mengalami mutasi mengandung embrio yang mempunyai konstitusi genetik
yang sama dengan tetua betina. Pada reproduksi seksual gen apomiksis tidak ada
atau tidak berekspresi (Koltunow 1993). Perbedaan mekanisme apomiksis dan
seksual pada angiosperm dijelaskan melalui Gambar 2.
Gambar 2 membedakan mekanisme reproduksi apomiksis atas diplospory,
apospory, dan adventitious embriony. Diplospory adalah pembentukan kantong
embrio unreduksi dari sel induk megaspora (megaspore mother cell) melalui
pencegahan meiosis; sel telur berkembang secara partenogenetik menjadi
embrio, atau sel lain dari kantong embrio dipecah dan berkembang menjadi
embrio (apogamety). Apospory adalah mekanisme di mana kantong embrio
unreduksi muncul dari sel somatik pada nuselus atau
integumen
di samping
sel induk kantong embrio (embryo sac mother cell) dalam ovul. Pada apomik
diplosporous dan aposporous obligat, baik meiosis maupun fertilisasi tidak terjadi
untuk menjamin berfungsinya apomiksis. Diplospory dapat dibedakan lagi atas
diplospory meiotik dan mitotik. Pada diplospory meiotik sel induk megaspora
berdifferensiasi dari nuselus dan memulai meiosis, tetapi kemudian meiosis
dihambat oleh mekanisme yang belum diketahui dan nukleus dikembalikan ke
dalam bentuk yang memungkinkan terjadinya mitosis. Pada mitotik diplospory
yang umum terjadi adalah sel induk megaspora dihambat untuk mengalami
meiosis (Asker & Jerling 1992; den Nijs & van Dijk 1993).
10
Megasporangium
(ovule muda)
Nuselus
Megasporosit
(2n)
Apomiksis Gametofitik
(Embryo sac 2n)
Apomiksis sporofitik
Embryoni
Adventif (2n)
Meiosis
Apospory
(2n)
EA
Mitotik
diplospory
(2n)
Embryo sac
Megagametofit
(n)
Mitosis
Meiotik
Diplospory
(2n)
Embryosac (2n)
Embryosac (n)
Sexual)
Partenogenesis
Embryo (2n)
(2n)
Gambar 2 Mekanisme berbagai tipe apomiksis (Dimodifikasi dari Carneiro et al.
2006, Koltunow dan Grossniklaus 2003) . EA =Embrio Adventif.
11
Apomiksis juga termasuk pembentukan embrio dari sel telur yang tidak
dibuahi (haploid partenogenesis), atau sel lain dari gametofit (haploid apogamy),
tetapi sebagai hasil sporofit haploid biasanya steril dan proses tersebut tidak
dapat berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya yang disebut sebagai
non-recurrent apomixis. Pada recurrent apomixis inti kantong embrio biasanya
diploid. Dapat juga dihasilkan diploid partenogenesis (dari ovum diploid) atau
diploid apogamy (dari beberapa sel diploid gametofit) (Wardlaw 1955).
Gametofitik apomiksis dan embryo adventif terjadi baik pada spesies
herbaceous dan spesies tanaman berkayu. Penelitian secara embriologi masih
sedikit diantaranya telah dilakukan oleh Lim (1984) pada G, mangostana dan Ha
et al. (1988) pada G. malaccensis, G. forbesii King dan G. Scortechinii King.
Pada Malus apomiksis dilaporkan merupakan karakter dominan (Sax 1959,
dalam Asker & Jerling 1992).
Perbedaan antara apomiksis fakultatif dan obligat penting untuk
pemuliaan. Apomiksis fakultatif (sebagian) adalah bentuk apomiksis dimana
beberapa kejadian seksual juga dijumpai. Misalnya pada spesies jeruk, proses
seksual dan apomiktik terjadi secara bersamaan dalam ovul yang sama (Koltunow
1993). Apomiksis fakultatif yang mempunyai tendensi seksualitas rendah
termasuk apomiksis obligat (den Nijs & van Dijk 1993). Sebagian besar apomik
adalah fakultatif dan hanya sedikit yang 100% obligat. Tingkat reproduksi seksual
sering masih ada, sehingga terjadi beberapa penyimpangan (Asker & Jerling
1992).
Apomiksis dan Poliploidi
Asker & Jerling (1992) menyatakan bahwa asosiasi antara apomiksis,
poliploid dan poliembrioni dijumpai pada beberapa spesies. Apomiksis umumnya
adalah poliploid, dan teraploid merupakan tingkat yang umum dan sangat sedikit
yang diploid secara alami. Manggis adalah tanaman poliploid dengan jumlah
kromosom 2n = 96 (Tixier 1955). Rhichards (1990c) menyatakan bahwa
morfologi manggis adalah intermediet antara dua kerabat dekatnya yaitu G.
hombroniana ( 2n = 48) dan G. malaccensis
(2n = 42) yang merupakan
12
agamospermy fakultatif. Studi sitologi menunjukkan bahwa manggis mungkin
merupakan derivat allotetraploid dari ke dua spesies tersebut dengan. G.
hombroniana sebagai tetua betina dan G. malaccensis sebagai tetua jantan.
Mackanzie (2005) menyatakan bahwa allotetraploid dapat terjadi melalui
beberapa cara yaitu ‘one-step’ dan ‘two-step’ pathways.
One-step pathway
adalah pembentukan dari penggabungan dua gamet unreduksi spesies berbeda,
dan two-step pathways melalui jembatan triploid atau dari penggandaan
kromosom somatik secara spontan dari diploid interspesifik yang steril. Secara
alami allopoliploidi lebih umum dari pada autopoliploidi. Kebanyakan poliploidi
merupakan produk kejadian tunggal dan spesies tetuanya mempunyai variasi
genetik. Spesies poliploid terjadi dari hibridisasi secara terpisah pada lokasi
berbeda sehingga membentuk serangkaian populasi yang berbeda secara genetik.
Gene flow kemudian mungkin terjadi antara populasi poliploidi berbeda dan
menghasilkan variabilitas genetik yang dapat meningkat melalui penyusunan
kromosom kembali. Terdapat bukti bahwa allopoliploid mengalami perubahan
genomik yang ekstensif setelah pembentukannya (Soltis & Soltis 1999).
Percobaan pada allopoliploid Brassica menunjukkan bahwa perkembangan
diversitas genetik dan fenotipik terjadi setelah beberapa generasi (Song et al.
1995). Selanjutnya spesiasi hibrid poliploid menghasilkan bentuk dinamis yang
berevolusi (Mackanzie 2005). Poliploidi penting tidak hanya untuk spesiasi
tanaman, tetapi dapat memperkaya pemahaman tentang proses evolusi. Beberapa
observasi menunjukkan bukti sitogenetik bahwa poliploidi terjadi secara berulang
pada skala waktu evolusi dan tersebar luas pada angiospermae serta kelompok
tanaman lain. Bukti tambahan tentang frekuensi terjadinya spesiasi polyploid
berasal dari studi distribusi jumlah kromosom (Otto & Whitton 2000). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan spesies poliploid muncul secara
berulang, berlawananan dengan prinsip bahwa spesies secara biologi mempunyai
keunikan monophyletic origin (Soltis & Soltis 1999).
Studi molekuler pada tetraploid Tragopogon miscellus dan Tragopogon
mirus, menunjukkan bahwa penyebaran setiap spesies terjadi tidak melalui single
origin tetapi melalui pengulangan. Kedua spesies mungkin terbentuk melalui
allopoliploidi di Amerika Selatan sebelum abad ke 20 masing-masing sebanyak
13
20 dan 12 kali berturut-turut dalam 70 tahun. Spesies polyploid Draba dan
Saxifraga juga merupakan multiple origin dari diploid progenitornya (Brochmann
et al. 1998, dalam Mackanzie 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
genom poliploidi tidak statis karena merupakan gabungan dari dua genom berbeda
pada inti dan mungkin disertai dengan reorganisasi
(Wendel 2000;
Liu &
Wendel 2002).
Poliploidi berasosiasi dengan tingginya tingkat variasi epigenetik, yang
mempunyai efek pada fenotip dan berpotensi untuk seleksi. Contoh penting
epigenetik adalah variasi waktu berbunga pada allopoliploid sintetik Brassica
(Schranz & Osborn 2000, diacu dalam Wendel 2000). Satu dari beberapa
kemungkinan akibat duplikasi genom setelah pembentukan poliploid adalah gene
silencing. Proses ini terjadi pada permulaan pembentukan poliploidi dan
meningkat sejalan waktu (Wendel 2000).
Penggabungan
genom
pada
alloppoliploid
juga
berpotensi
untuk
menyebarkan transposable element antara dua genom. Transposable elements
terdapat dimana mana pada pada genom tanaman (Bennetzen 2000), yang
berkontribusi pada evolusi genom, diversitas genetik dan ekspresi gen. Sebagian
besar transposable element tidak aktif pada kondisi normal tetapi aktif pada
kondisi stress (Wessler 1996, dalam Mackanzie 2005). Mekanisme terjadinya
perubahan meliputi transposisi, translokasi, amplifikasi, dan delesi. Variasi yang
dihasilkan oleh aktifitas tranposable element kelihatannya tidak stabil. Stress
lingkungan eksternal dapat menginduksi mekanisme perubahan genomik secara
cepat. Jika perubahan terjadi dalam meristem dan ditransmisikan ke gamet, variasi
genomik dapat terjadi dalam satu generasi dan dapat diwariskan kepada generasi
berikut (Walbot & Cullis 1985).
Pengaruh penyisipan elemen tergantung pada lokasinya. Penyisipan pada
non coding region seperti intron dari gen dapat menghalangi ekspresi gen normal,
tetapi pengeluaran elemen dapat menyembunyikan fungsi gen normal. Penyisipan
pada coding region dapat menyebabkan frameshift mutation. Tranposable element
tidak hanya menciptakan dan memulai mutasi, tetapi merupakan fokus dalam
melanjutkan instabilitas (Walbot & Cullis 1985).
14
Variasi Pada Tanaman Apomiksis
Keturunan bervariasi pada apomik obligat telah dilaporkan pada Taraxacum.
Studi menggunakan isozim esterase pada lima agamospesies Taraxacum
menunjukkan rata-rata variasi genetik sebesar 19%. Hal ini membuktikan bahwa
variasi yang muncul melalui apomik terjadi pada kecepatan yang lebih besar dari
pada mutasi. Variasi juga dijumpai pada dua dari tiga famili keturunan dengan
rata-rata 22%. Genus Taraxacum meliputi 200 spesies dan 90% diantaranya
adalah poliploid dan mengalami reproduksi secara aseksual melalui agamospermy
obligat. Empat dari sepuluh agamospesies tersebut telah diidentifikasi tidak
mempunyai serbuk sari (Hughes & Richards 1985; Ford & Richards 1985).
Diketahui bahwa genom tanaman berulangkali mengalami tantangan
keberadaan dan integritas genetiknya dalam waktu yang panjang. Ketersediaan
mekanisme genetik yang memungkinkan genom untuk membentuk variasi genetik
baru yang lebih adaptif terhadap lingkungan atau perubahan iklim di mana ia
berada akan dapat mengurangi bahaya kepunahan (Kindiger & Dewald 1996).
Variasi somaklonal dapat terjadi sebagai hasil dari mutasi point, autosegregasi,
‘’somatic crossing over’’, amplifikasi atau kehilangan material DNA, penyusunan
kromosom kembali, dan aktivitas perubahan gen oleh transposable element.
Kasus sederhana dari autosegregasi adalah ketika sel saudara yang satu menerima
terlalu banyak kromosom dan yang lain terlalu sedikit dalam pembelahan sel
induk kantong embrio (Walbot & Cullis 1985).
Variasi genetik pada manggis ditunjukkan oleh perbedaan pola pita DNA
melalui teknik RAPD pada 23 aksesi yang berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera
Barat. (Mansyah et al. 2003), antara tetua dan turunan (Mansyah et al. 2004,
Mansyah et al. 2008; Sinaga et al. 2008). Ramage et al. (2004) juga melaporkan
adanya diversitas genetik pada G. mangostana. Diantara 37 aksesi G. mangostana
diidentifikasi sembilan genotipe berbeda yang terdiri dari tiga kluster berbeda.
Selain variasi genetik sejumlah peneliti telah melaporkan perbedaan
morfologi pada manggis, diantaranya Wester (1926) menginformasikan bahwa
manggis Jolo (Filipina) mempunyai buah yang lebih besar dan lebih masam
daripada di Malaya dan Jawa. Burkill (1966) menyebutkan terdapat ras manggis
15
di Kepulauan Sulu dengan kulit buah yang tebal dan daging buah lebih masam.
Cox (1976) merangkum beberapa laporan dan menyatakan bahwa manggis di
Jawa mempunyai rasa superior dengan ukuran yang lebih besar daripada manggis
di Filipina. Di Nicaragua terdapat tanaman dengan daun yang besar dengan
ukuran buah yang bervariasi dan daun kecil dengan buah yang kecil.
Selanjutnya pengamatan pada individu manggis Sumatera Barat (Mansyah
et al. 1992) menunjukkan variasi bentuk kanopi, ukuran daun, bobot buah,
diameter buah, tebal kulit buah, dan jumlah buah per kluster. Melalui pengamatan
yang intensif data keragaman morfologi ini terus berkembang sehingga dijumpai
variasi morfologi yang lebih spesifik. Karakter morfologi tersebut diantaranya
bentuk buah (ellip, agak bulat, bulat dan agak lonjong). Selain itu dijumpai
perbedaan dalam bentuk cupat (bulat dan ellip), ukuran cupat (besar, sedang dan
kecil), dan jumlah segmen buah (Mansyah et al. 2005). Sobir dan Poerwanto
(2007) melaporkan adanya variasi warna sepal pada manggis Wanayasa Jawa
Barat.
Analisis Morfologi dan Molekuler
Marka morfologi berdasarkan kepada pengamatan secara langsung karakter
fenotipik tanaman. Marka ini telah banyak digunakan sebagai dasar studi genetik
dan metode praktis untuk pemuliaan tanaman (Tanksley et al. 1983). Marka
morfologi mudah untuk diamati, tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Jumlahnya sangat terbatas dan beberapa diantaranya muncul diakhir pertumbuhan
misalnya warna bunga. Hal ini membuat marka morfologi tidak memungkinkan
untuk penilaian secara cepat. Selain itu suatu marka morfologi dapat
mempengaruhi marka morfologi lain atau sifat yang menjadi target dalam
program pemuliaan karena adanya pengaruh aksi gen pleiotropik (Poehlman &
Sleper 1995).
Perkembangan biologi molekuler telah menghasilkan alternatif prosedur
dasar analisis DNA untuk deteksi polimorfisme. Teknik berdasarkan polymerase
chain reaction (PCR) atau reaksi polimorfisme berantai telah banyak digunakan
untuk identifikasi kultivar, studi filogenetik, studi pedigri, pemetaan gen, dan
16
estimasi kecepatan outcrossing (Williams et al. 1990; Powell et al. 1996). Marka
molekuler merupakan alat tambahan untuk deskripsi varietas, dan marka DNA
mempunyai keuntungan karena tidak dipengaruhi oleh lingkungan serta
memberikan informasi langsung dari genom setiap individu (Lefebvre et al.
2001). Castillo et al. (1994) menyatakan bahwa PCR sangat potensial untuk
marka genetik tanaman yang berumur panjang.
Berbagai teknik analisis molekuler dapat digunakan seperti RAPD (Random
Amplified
Polymorphysm
DNA),
AFLP
(Amplified
Fragment
Length
Polymorphysm), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphysm), SSR
(Simple Sequence Repeat) dan ISSR (Inter Simple Sequence Repeat) yang
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode-metode tersebut
mendeteksi polimorfisme melalui variasi urutan DNA dalam genom (Powell et al
1996).
Teknik RAPD mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan metode lain,
di antaranya membutuhkan DNA yang lebih sedikit (10–25 ng), tidak
membutuhkan informasi
urutan primer,
tidak bersifat
radioaktif,
serta
pelaksanaanya relatif lebih mudah (Gupta et al. 1996; Powell et al. 1996).
Walaupun demikian teknik RAPD juga mempunyai beberapa keterbatasan, antara
lain tidak dapat membedakan individu homozigot dan heterozigot karena bersifat
sebagai penanda dominan (Williams et al. 1990). Perubahan kecil dalam kondisi
reaksi dengan nyata dapat merubah jumlah dan intensitas produk amplifikasi
sehingga keterulangan sulit untuk dipertahankan. Dilaporkan juga kesulitan untuk
memperoleh pita yang identik dari set primer dan material yang sama antar
laboratorium yang berbeda. Tipe thermocycler yang digunakan kelihatanya
merupakan kunci penentu reprodusibilitas pola pita (Hallden et al 1996).
Analisis RAPD telah banyak digunakan untuk determinasi spesies dan
genus tanaman buah-buahan, di antaranya plum (Shimada et al. 1999), pisang
(Pillay et al. 2001), Passiflora (Fajardo et al. 1998), dan anggur (Vidal et al.
1999). Hasil penelitian tersebut membagi tanaman plum ke dalam dua kelompok
berdasarkan daerah asalnya yaitu Japanese Group dan European Group pada
koefisien kemiripan 0.55. Anggur terbagi ke dalam dua kelompok geografi yang
terdiri dari varietas berkerabat dekat. Penelitian pada 31 klon pisang di Afrika
17
Timur dan genus Passiflora, pemisahan kelompok terjadi masing-masing pada
pada koefisien kemiripan 0.30 – 0.98 dan 0.64 –0.91.
Penggunaan analisis RAPD untuk studi variabilitas pada tanaman apomiksis
telah dilakukan pada ubi kayu. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
tanaman tersebut adalah apomiksis fakultatif dan terjadi pada frekuensi rendah
(Nassar et al. 1998). Selain itu juga telah digunakan pada studi apomiktik
Hypericum perforatum dan memungkinkan untuk identifikasi perbedaan
individual (Pilepic et al. 2008). Marka ISSR sangat baik untuk membedakan antar
individu berkerabat dekat dan dapat diaplikasikan untuk studi variasi didalam
populasi (Gonzales et al. 2005). Penggunaan ISSR pada studi populasi
Monimopetalum chinense menunjukkan bahwa 110 pita ISSR berbeda dihasilkan
menggunakan 10 primer.
Download