6 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Karakterisasi Tanaman Cabai Tanaman cabai tergolong divisi Magnoliophyta, kelas Magnolipsida, ordo Solanales, Famili Solanaceae, genus Capsicum. C. annuum merupakan salah satu spesies dalam genus Capsicum yang telah dibudidayakan. Selain C. annuum, spesies lain yang telah dibudidayakan adalah C. frutescens, C. baccatum, C. pubescens, dan C. chinense (Berke 2000). C. baccatum dan C. pubescens mudah diidentifikasi dan dibedakan satu dengan lainnya, karena terdapat perbedaan yang jelas pada kedua spesies tersebut. C. annuum, C. chinense dan C. frutescens mempunyai banyak sifat yang sama, sehingga untuk membedakannya harus diamati bunga dan buah dari masing-masing spesies (Kusandriani 1996). C. annuum L. adalah spesies yang paling banyak dibudidayakan dan memiliki arti penting secara ekonomis. Spesies ini mempunyai berbagai bentuk dan ukuran buah meliputi buah besar dan keriting. C. annuum dikelompokkan dalam var. longum, var. abbreviatum, var. grossum, dan var. minimum. Spesies ini diperkirakan mempunyai pusat asal (penyebaran primer) di Meksiko, kemudian menyebar ke daerah Amerika Selatan dan Tengah, ke Eropa dan tersebar luas di daerah tropik dan subtropik (Tindall 1983). Pusat penyebaran sekunder C. annuum adalah Guatemala (Greenleaf 1986). Capsicum frutescens atau dikenal dengan nama cabai rawit adalah spesies semidomestikasi yang ditemukan di dataran rendah tropika Amerika. Selain itu, Asia Tenggara dikenal sebagai daerah pusat keragaman sekunder. Beberapa varietas ditanam luas di wilayah panas di daerah beriklim sedang maupun wilayah tropika (Greenleaf 1986). Domestikasi C. chinense tersebar luas di wilayah tropika Amerika, dan spesies ini sering ditanam di sekitar wilayah Amazon. Evolusi C. baccatum sebagian besar terbatas di wilayah tengah Amerika Selatan (Bolivia). Bentuk yang didomestikasi diidentifikasi sebagai C. baccatum var pendulum; bentuk liarnya sebagai C. baccatum dan var. microcarpum (Greenleaf 1986). C. pubescens ditanam di Amerika Tengah dan dataran tinggi pegunungan Andes. Bunga memiliki lembar mahkota dan kepala sari berwarna ungu, biji keriput dan berwarna hitam. 7 Daun berbulu dan keriting (rugulose) dan jaringan dinding buah tebal. Tanaman ini beradaptasi pada suhu rendah pada ketinggian 2.000-3.000 m di daerah tropika. Klasifikasi cabai dan pusat penyebarannya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi cabai yang telah dibudidayakan dan tipe liarnya serta daerah penyebarannya (Greenleaf 1986) Spesies Status Daerah asal A. Kelompok berbunga putih 1. C. annuum L. Dibudidayakan Amerika Selatan hingga Colombia tropik, subtropik, dan beriklim sedang 2. C. chinense Jacq. Dibudidayakan Dataran rendah Amerika Selatan bagian timur 3. C. frutescens L. Dibudidayakan Amerika tropik 4. C. baccatum L. Dibudidayakan Peru, Bolivia, Paraguay, Brazil, Argentina 5. C. praetermisum Liar Brazil Selatan Heiser & Smith 6. C. chacoense Liar Argentina Utara, Bolivia, Paraguay A.T. Hunz 7. C. galapagoense Liar Pulau Galapagos A.T. Hunz B. Kelompok berbunga ungu 1. C. pubescens Dibudidayakan Daerah Andes, dataran tinggi Amerika R&P Tengah bagian utara hingga Meksiko 2. C. cardenasii Liar Bolivia Heiser & Smith 3. C. eximium A.T. Liar Bolivia, Argentina Utara Hunz 4. C. tovarii Liar Andes, Peru Tengah Eshbaugh, Smith, Nickrent C. annuum L. adalah tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-100 cm dan biasanya berumur semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian setiap percabangan, posisinya menggantung; mahkota bunga berwarna putih, berbentuk seperti bintang. Kelopak bunga seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, memiliki bentuk, ukuran, warna, dan tingkat kepedasan yang bervariasi; bentuk buah seperti garis, menyerupai kerucut, seperti tabung memanjang, seperti lonceng atau berbentuk bulat; warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning 8 atau keunguan; posisi buah menggantung. Biji berwarna kuning pucat. (Heiser & Smith 1953; Heiser & Smith 1957; Heiser 1969a, b; Heiser & Pickersgill 1969). C. frutescens L. merupakan spesies Capsicum dengan tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi 50-150 cm, hidup mencapai 2 atau 3 tahunan. Bunga muncul berpasangan atau bahkan lebih di bagian ujung ranting, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang. Kelopak bunga rompang. Buah muncul berpasangan atau bahkan lebih pada setiap ruas, rasa cenderung sangat pedas; bentuk dan warna buah bervariasi; bulat memanjang atau berbentuk setengah kerucut; warna buah setelah masak biasanya merah; posisi buah tegak. Biji berwarna kuning pucat. Spesies ini kadang-kadang disebut cabai burung (Heiser & Smith 1953; Heiser & Smith 1957; Heiser 1969a, b; Heiser dan Pickersgill 1969). C. pubescens R. & P. adalah Capsicum yang memiliki tumbuhan berupa perdu, tinggi 45-113 cm, berbulu lebat, biasanya berumur hanya semusim. Bunga dan buah tunggal atau bergerombol berjumlah 2-3 pada tiap ruas, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna ungu, berbulu, berbentuk seperti bintang. Kelopak berwarna hijau, berbulu. Buah rasanya pedas; berbentuk bulat telur; warna setelah masak bervariasi ada yang merah, jingga atau cokelat; posisi buah menggantung. Biji berwarna hitam (Heiser & Smith 1957; Heiser 1969a, b; Heiser & Pickersgill 1969). Spesies ini hanya ditemukan tumbuh di dataran tinggi antara 1500-3300 m dan mudah dibedakan dengan spesies Capsicum lainnya dari ciri bijinya yang hitam serta perawakannya yang berbulu lebat. Di Indonesia baru diketahui ditanam di Jawa (Ciwidey, Sindanglaya, Cibodas dan dataran tinggi Dieng) (Djarwaningsih 1986). C. baccatum L. merupakan Capsicum berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-75 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya tegak atau menggantung; mahkota bunga berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, berbentuk seperti bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas; bentuk buah bulat memanjang; warna buah intermediet dan buah masak bervariasi terdiri atas merah, jingga, kuning, hijau atau coklat. Posisi buah tegak atau menggantung. Biji 9 kuning pucat (Heiser & Smith 1953). C. baccatum var. baccatum tersebut diduga merupakan nenek moyang liar dari C. baccatum var. pendulum karena apabila disilangkan keduanya dapat menghasilkan biji yang fertil (Eshbaugh 1970). C. chinense Jacq. ialah spesies Capsicum berupa terna atau setengah perdu, tinggi 45-90 cm. Bunga menggerombol berjumlah 3-5 pada tiap ruas, posisinya tegak atau merunduk; mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang. Buah muncul bergerombol berjumlah 3-5 pada setiap ruas, panjangnya dapat mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas; mempunyai bentuk buah yang bervariasi dari bulat dengan ujung berpapila, berbentuk seperti lonceng dengan sisi-sisi yang beralur, berbentuk kerucut dengan sisi-sisi beralur sampai bulat memanjang; kulit berkeriput atau licin; warna buah masak bervariasi ada yang merah, merah jambu, jingga, kuning atau coklat. Biji kuning pucat. Di Indonesia, dikenal dengan nama daerah yang berbeda-beda antara lain cabai tomat, cabai belimbing, cabai tawau dan cabai cermai; baru diketahui keberadaannya di Jawa Barat (Jakarta dan Bogor) serta Kalimantan Timur (Tarakan) (Djarwaningsih 1986). Karakteristik Begomovirus Begomovirus mempunyai genom berupa DNA utas tunggal (single stranded/ss DNA), berbentuk lingkaran dan terselubung protein dalam virion ikosahedral kembar (gemini) dengan ukuran 18~30 nm. Virus ini diklasifikasikan dalam famili Geminiviridae yang terbagi dalam 4 genus (Mastrevirus, Curtovirus, Topovirus, dan Begomovirus) berdasarkan struktur genom, serangga vektor dan tanaman inang. Genus Mastrevirus mempunyai genom berukuran 2.6~2.8 kb, ditularkan oleh wereng hijau (leafhopper) ke tanaman monokotil. Genus Curtovirus merupakan virus dengan genom berukuran 2.9~3.0 kb., ditularkan juga oleh wereng hijau (leafhopper) ke tanaman dikotil. Genus Topovirus mempunyai ukuran genom yang sama dengan Curtovirus, namun virus ini ditularkan oleh wereng pohon (treehopper) ke tanaman dikotil, sedangkan genus Begomovirus mempunyai genom berukuran 2.5~2.9 kb., yang menyerang tanaman dikotil dan ditularkan oleh kutukebul (whitefly, B. tabaci Genn.) (Bock 1999). Begomovirus mempunyai spesies 10 yang paling banyak dan menginfeksi banyak tanaman dibandingkan 3 genus yang lainnya. Begomovirus banyak menimbulkan kerusakan pada berbagai tanaman yang dibudidayakan di daerah tropik maupun subtropik (Yang et al. 2004). Berbagai Begomovirus telah dilaporkan misalnya African cassava (ACMV) menginfeksi ubi kayu di Afrika, Cotton mosaic Begomovirus leaf curl Begomovirus (CLCV) menginfeksi tanaman kapas di India (Harrison 1985), Mung bean yellow mosaic Begomovirus (MYMV) menginfeksi tanaman kacang hijau di Thailand (Honda et al. 1983), Bean golden yellow mosaic Begomovirus (BGYMV) menginfeksi tanaman kacang buncis di Brazil (Abouzid et al. 2002) dan Pumpkin yellow vein mosaic Begomovirus (PYVMV) menginfeksi labu-labuan di India (Muniyappa et al. 2003). Interaksi Begomovirus dan Tanaman Cabai Intensitas serangan penyakit daun keriting kuning di Lampung dan di Yogyakarta pada cabai besar mencapai 20-100% dan 70-100% (Indriatmoko 2004; Sulandari 2004), sementara di Sumatera Barat dilaporkan 1.4 hektar tanaman cabai besar mengalami puso (Daryanto 2005). Epidemi penyakit tersebut sangat dipengaruhi oleh peran aktif serangga vektor (B. tabaci) dalam menularkan penyakit (Rojas et al. 2000). Satu ekor B. tabaci viruliferous sudah mampu menularkan virus dan menyebabkan infeksi (Brown & Nelson 1988; Mehta et al. 1994; Sulandari 2004). Penyakit diketahui sebagai hasil interaksi antara patogen, inang, dan lingkungan yang sering dinyatakan dalam bentuk hubungan segitiga. Baik patogen maupun inang bersifat variabel dari segi genetik, aksi dan reaksi mereka dimodifikasi oleh lingkungan. Pengaruh keadaan lingkungan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus terutama adalah terhadap inang, mengingat virus tidak dapat mengadakan metabolisme sendiri (Bos 1994). Di alam tidak semua jenis tumbuhan dapat diinfeksi oleh virus tertentu, karena tumbuhan tersebut bukan inangnya (nonhost), dan interaksinya dengan tumbuhan tersebut adalah tidak serasi (inkompatibel). Reaksi 11 inkompatibel ini terjadi pada tumbuhan tahan dengan seluruh bagian tumbuhan akan memberikan reaksi ketahanan yang bersifat sistemik bila diserang patogen (Wahyuni 2005). Apabila interaksi inang patogen bersifat kompatibel, maka virus dapat menginfeksi tumbuhan inang. Tumbuhan yang bersifat hipersensitif sebenarnya termasuk tipe tahan tetapi masih dapat diserang. Begitu terserang, tumbuhan segera memberikan perlawanan dengan cara mematikan sel yang pertama kali terinfeksi, atau kadang-kadang diikuti oleh sel-sel di sekitarnya, agar virus tidak dapat menyebar ke sel lain. Biasanya sifat hipersensitif ini timbul hanya bila tumbuhan terserang virus, dan bila virus tidak ada, ketahanan tidak bekerja. Sifat ketahanan demikian sebagai ketahanan perolehan lokal (lokal acquired resistance, LAR) dan bila sifatnya sistemik disebut systemic acquired resistance, SAR) (Wahyuni 2005). Begomovirus ditularkan oleh aktifitas serangga vektor B. tabaci (Sulandari 2004; Delatte et al. 2005). Hasil penelitian Uzcategui & Lastra (1978) menunjukkan periode makan akuisisi (PMA) minimum B. tabaci untuk menularkan Begomovirus adalah 2 jam dengan periode laten 20 jam. Efisiensi penularan B. tabaci yang dipelihara pada suhu 30-34˚C adalah 93%, sedangkan yang dipelihara pada suhu 2030˚C hanya 75%. Besarnya kerusakan yang disebabkan oleh suatu serangga hama tergantung pada besarnya populasi serangga hama dan kemampuan tanaman untuk mempertahankan diri dari serangan tersebut (Smith 1989). Kemampuan tanaman untuk menghindar, toleran, atau terlindungi dari serangan suatu serangga hama merupakan ciri dari tanaman yang tahan (Smith 1989). Adanya respon yang berbeda pada masing-masing kultivar, terutama dipengaruhi oleh kerentanan kultivar tersebut terhadap virus maupun serangga vektornya. Populasi vektor pada pertanaman sangat dipengaruhi oleh jenis kultivar, umur tanaman, vigor tanaman, dan faktor musim (Sulandari 2004). Populasi kutukebul pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan musim penghujan (Shivanathan 1983). Sulandari (2004) menyebutkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap epidemi penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai adalah (1) terjadinya peningkatan areal pertanaman cabai pada beberapa tahun terakhir ini, khususnya di pulau Jawa; (2) introduksi kultivar baru; (3) terjadinya anomali musim 12 yang dapat meningkatkan populasi serangga vektor; dan (4) timbulnya strain Begomovirus yang akan memicu epidemi penyakit di lapangan. Mekanisme Ketahanan Struktural Pertahanan tanaman yang mempunyai nilai potensial dalam pemuliaan tanaman untuk tahan terhadap virus dapat dikelompokkan menjadi pertahanan berdasarkan biokimia dan pertahanan berdasarkan biofisika atau morfologi. Respon tanaman terhadap serangan patogen adalah dengan mengaktifkan berbagai mekanisme pertahanan alaminya, yang dapat diketahui dengan adanya perubahan fisik dan biokimia tertentu (Broglie et al. 1993). Pembentukan penghalang pada dinding sel dan kutikula dari permukaan daun merupakan suatu strategi pertahanan tanaman yang umum. Beberapa contoh struktur penghalang tersebut adalah lapisan lilin yang menutupi sel epidermis, ketebalan dinding sel palisade, dan kerapatan trikoma (Indiati 2004). Menurut Norris dan Kogan (1980), faktor-faktor ketahanan tanaman secara struktural antara lain ketebalan dinding sel, peningkatan kekerasan jaringan dinding sel, pemulihan jaringan-jaringan yang terluka, kekokohan dan sifat-sifat lain dari batang tanaman, rambut-rambut batang dan daun, akumulasi lilin pada permukaan tanaman, kandungan silika, dan adaptasi anatomi dari organ nonspesifik serta struktur pelindung tanaman terhadap serangan dan infeksi penyakit. Perubahan fisik berupa penebalan dinding sel (disebut juga callose) akibat akumulasi glikoprotein (Bradley et al. 1992), dan fenolik (Hunter 1974), serta terbentuk lignifikasi (Vance et al. 1980). Mekanisme ketahanan tanaman terhadap hama berhubungan dengan sifat-sifat struktural tanaman sebagai penghalang infeksi tanaman terhadap cekaman biotik atau abiotik. Menurut Indiati (2004), ketahanan galur kacang hijau MLG-716 terhadap hama trips disebabkan karena galur tersebut mempunyai trikoma yang rapat dan panjang, daun cenderung tipis, serta kandungan N total daun rendah dan kandungan serat daunnya relatif tinggi. Galur tersebut dapat digunakan sebagai bahan dasar pembentukan varietas unggul kacang hijau tahan terhadap hama trips. Kusumo 13 (1996) menyebutkan karakter sel palisade genotipe kacang tanah kelompok tahan terhadap penyakit bercak daun hitam nyata lebih tebal dibanding karakter yang sama untuk tingkat ketahanan lainnya. Hemingway (1957) menyatakan ketebalan sel palisade berasosiasi dengan ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Selanjutnya Kusumo (1996) menyatakan bahwa pada kacang tanah ketebalan sel palisade bila diikuti kandungan kloroplas tinggi dan klorofil yang tinggi juga, diduga berperan sama dengan mekanisme ketahanan yang ditimbulkan oleh warna daun hijau tua. Imaningsih (2006) menyatakan terdapat perbedaan sifat-sifat ketahanan struktural terhadap kekeringan antara padi sawah dan padi gogo yang ditandai dengan perbedaan susunan anatomi daun, yaitu tebal daun, tebal kutikula, jumlah scabaia, dan jumlah sel motor setiap deret. Darmanti (2009) menyebutkan tebal helaian daun Acalypa indica L. mengalami penurunan yang disebabkan oleh penurunan tebal jaringan palisade dan jaringan bunga karang yang disebabkan oleh penurunan panjang sel palisade. Esau (1977) menyatakan kerapatan trikoma yang tinggi dapat mengurangi transpirasi dan melindungi palisade dan bunga karang dari suhu tinggi. Adjie et al. (2000) menambahkan selain berperan dalam mendukung aktifitas fisiologis tanaman, trikoma juga berfungsi sebagai parameter morfologis dan anatomis yang penting pada ketahanan tanaman. Mekanisme Ketahanan Biokimia Tanaman yang terinfeksi virus akan mempertahankan diri dengan mengaktifkan mekanisme ketahanan biokimia di dalam jaringan. Perubahan biokimia dapat terjadi antara lain melalui sintesis dan akumulasi asam salisilat (Wobbe and Klessig 1996) atau fitoaleksin (Beynon 1997), yaitu suatu senyawa hasil metabolit sekunder yang toksik bagi virus, bakteri maupun cendawan yang menyerupai asam lemak (fatty acid-like substances) (Lowton et al. 1992), dan dikeluarkannya elisitor berupa oligosakarida oleh tanaman (Nothnagel et al. 1983). Senyawa-senyawa ini dapat melindungi tanaman secara menyeluruh terhadap serangan patogen namun dapat juga hanya menekan perkembangan patogen sehingga tidak menurunkan produksi. Mekanisme pertahanan yang lain adalah tidak adanya faktor pengenal pada 14 tanaman yang dapat digunakan patogen untuk menentukan inang yang sesuai. Tanaman ini juga dapat mempertahankan diri dengan tidak memproduksi senyawa metabolit yang diperlukan oleh patogen sehingga patogen tidak berkembang. Deteksi dan pengenalan yang tepat dan cepat dari patogen yang potensial adalah langkah yang paling utama dalam usaha untuk melindungi tanaman dari serangan patogen. Tanaman memiliki suatu protein yang disebut protein reseptor (plant receptors proteins) yang dapat mengenali suatu senyawa yang dikeluarkan oleh patogen yang disebut elisitor. Elisitor di sini dapat berupa produk gen dari patogen, protein selubung virus, atau komponen dinding sel patogen lainnya. Interaksi inilah yang selanjutnya akan mendorong diaktifkannya mekanisme pertahanan tanaman. Kemungkinan mekanisme pertahanan konstitutif yang utama dari tanaman hanya untuk menghambat perkembangan patogen dan memberi kesempatan mekanisme pertahanan inducible (mekanisme pertahanan terinduksi) terekspresi. Pertahanan terinduksi ini termasuk pembentukan dinding sel tambahan dan menginduksi senyawa-senyawa toksik yang dapat mematikan sel tanaman dan patogen, sehingga perkembangan patogen dapat dilokalisir. Hasil dari respon ini dapat berupa reaksi hipersensitif (hypersensitive response, HR) yaitu suatu respon yang menginduksi kematian sel secara cepat mengelilingi patogen sehingga terlokalisasi (apoptosis). Selama respon ini berlangsung, terjadi pengiriman signal ke bagian tanaman yang tidak terinfeksi untuk mengaktifkan mekanisme pertahanan inducible dan selanjutnya akan timbul resistensi yang sistemik (Systemic Acquired Resistance, SAR) untuk mengurangi tingkat keparahan serangan (Agrios 1997). Systemic Acquired Resistance (SAR) dalam pertahanan tanaman terletak pada sistem interaksi elisitor dan regulasi yang terjadi pada tanaman model Arabidopsis thaliana (Yan 2002). SAR tergantung pada tanaman dan elisitor patogen, ketahanan akan muncul pada periode tertentu dengan mengkorespondensikan waktu yang dibutuhkan untuk akumulasi PR-protein (dan transkripsi) dan produksi asam salisilat pada tanaman inang (Cameron et al. 1994; Uknes et al. 1992; Ward et al. 1991). SAR membutuhkan akumulasi asam salisilat atau PR-protein dalam sistem regulasi (Yan 2002). Hipersensitif adalah karakter yang dibentuk berupa lesio/nekrosis pada bagian 15 tanaman yang terinfeksi sehingga pertumbuhan patogen terhambat. Respon ketahanan lokal ini menyebabkan bagian yang terinfeksi mengembangkan ketahanan sekunder pada patogen yang sama atau lainnya. Secara umum, ketahanan ini disebut systemic acquired resistance (SAR) (Ryals et al. 1996; Wobbe and Klessig 1996). Asosiasi antara HR dan SAR merupakan ekspresi dari gen ketahanan yang mengkode pathogenesis-related protein (PR-protein). Sintesis PR-protein dapat digunakan sebagai indikator dalam aktivasi mekanisme ketahanan tanaman (De Hu & Klessig 1997). Pemicu timbulnya respon hipersensitif pada tanaman yang terserang virus diduga berupa produksi asam salisilat setelah terjadi infeksi virus. Asam salisilat ini diproduksi beberapa detik atau menit setelah terjadi kontak antara sel tanaman dengan elisitor yang disekresikan oleh virus. Dengan memproduksi asam salisilat, maka tanaman akan mengaktifkan jalur mekanisme pertahanan dengan gen-gen yang terlibat akan diekspresikan, salah satunya adalah PR-gene yang akan menghasilkan protein yang dikenal dengan sebutan pathogenesis-related protein (PR-protein) seperti yang dilaporkan van Loon (1985) dan Payne et al. (1990). PR-protein adalah kelompok protein yang terlibat dalam mekanisme pertahanan tanaman baik pada keadaan infeksi antara tanaman dan patogen yang sesuai (compatible) maupun yang tidak (Ashfield et al. 1994). Pathogenensis-related protein adalah kelompok protein karakteristik dari tanaman yang terakumulasi setelah adanya infeksi atau perlakuan elisitor. Pieterse et al. (1992) mengatakan bahwa ekspresi dari gen-gen yang mengkode PR-protein dan akumulasi dari protein-protein ini dapat dianggap sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tanaman. Naylor et al. (1998) menyebutkan asam salisilat dapat mencegah perkembangan PVX (Potato virus X) dengan dua cara, yaitu menghambat replikasi virus pada daerah terinfeksi dan menunda perpindahan virus PVX untuk keluar dari jaringan atau sel yang terinfeksi. SHAM (asam salisilhidroksamil) adalah signal pertahanan yang menginduksi tidak hanya pada replikasi penyakit yang disebabkan oleh virus, namun juga menginduksi perpindahan patogen virus. Lanjut Naylor at al. (1998), penghambatan tersebut terjadi dengan mengganggu translokasi fotosintat 16 (karbohidrat) tanaman inang yang dapat dilihat pada metabolisme karbohidrat yang terganggu di sekitar infeksi virus. Asam salisilat digunakan sebagai komponen jalur sinyal transduksi yang menyebabkan ketahanan tanaman pada beberapa patogen (Ryals et al. 1996; Wobbe and Klessig 1996). Pada tembakau, asam salisilat meningkat setelah terjadi serangan patogen Tobacco mosaic virus (TMV), yang berkorelasi dengan ekspresi gen-gen pathogenesis-related (PR-genes). Menurut De Hu & Klessig (1997), produksi asam salisilat digunakan untuk mengaktifkan respon ketahanan tanaman jagung hasil persilangan antara SA-CAT#17 dan tanaman yang mengandung NahG. Resistensi terhadap penyakit tanaman berasosiasi dengan peningkatan aktivitas peroksidase dan ekpresi isoenzim yang spesifik (Ye et al. 1990); Goy et al. 1992). Aktivitas peroksidase sebagai penanda biokimia dapat digunakan untuk menduga ketahanan muskmelon terhadap Pseudoperonispora cubensis (Reuveni et al. 1991) dan ketahanan gray leaf pada jagung (Garraway & Beltran 1997). Menurut Souza et al. (2003), aktivitas peroksidase dapat digunakan untuk menduga ketahanan galur murni jagung yang resisten Maize dwarf mosaic virus (MDMV). Galur murni jagung yang tidak diinokulasi menunjukkan perbedaan aktivitas guaiacol peroksidase pada tanaman rentan dan tahan, namun tidak terjadi kualitas isoenzim pada tanaman tahan dan rentan yang diinokulasi MDMV. Lanjut Souza et al. (2003), aktivitas enzim peroksidase meningkat setelah terjadi inokulasi virus, kemudian diikuti peningkatan aktivitas anionik isoform spesifik pada beberapa galur murni tahan. Peningkatan aktivitas enzim peroksidase sangat penting dalam melindungi dinding sel dalam penyebaran virus MDMV. Deteksi PYLCV Suatu prosedur dibutuhkan untuk mendeteksi Begomovirus secara cepat dan spesifik di dalam tanaman. Teknik yang sering digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus di dalam tanaman adalah teknik PCR dan Hibridisasi Dot Blot. Metode PCR telah banyak digunakan untuk mendeteksi Begomovirus di dalam jaringan tanaman (Chatterjee et al. 1997), Briddon et al. 2008). Mesin PCR mampu 17 mengamplifikasi sekuen DNA secara in vitro dengan melibatkan penempelan primer tertentu yang dirancang untuk mendeteksi adanya Begomovirus di dalam jaringan tanaman cabai. Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) akhir-akhir ini banyak digunakan untuk mendeteksi Begomovirus secara cepat dan akurat dari berbagai sampel tanaman sakit dan serangga vektor di berbagai negara (Rojas et al. 1993; Navot et al. 1991). Metode PCR juga telah berhasil digunakan untuk mendeteksi Begomovirus asal tomat maupun cabai dari sampel yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia (Sudiono et al. 2005; Hidayat et al. 1999). Prinsip deteksi dengan hibridisasi adalah terjadinya hibridisasi antara pelacak dan genom DNA virus. Deteksi ini mempunyai spesifisitas yang tinggi karena ketepatan deteksi didasarkan atas kesamaan runutan nukleotida antara pelacak dan genom virus yang akan dideteksi. Teknik hibridisasi didasarkan pada perpaduan dua basa nukleotida dan rantai asam nukleat yang komplementer (DNA dengan DNA). Teknik hibridisasi meliputi dua proses, yaitu proses denaturasi atau pemisahan dua rantai asam nukleat yang komplementer dari proses renaturasi atau perpaduan kembali dua rantai asam nukleat. Proses denaturasi biasanya dilakukan dengan cara pemanasan DNA untuk memecah ikatan hidrogen yang terdapat di antara pasangan basa sehingga rantai asam nukleat akan terpisah. Proses ini kemudian diikuti dengan proses renaturasi dengan cara pendinginan. Teknik hibridisasi dot blot telah banyak digunakan dalam bidang mikrobiologi, farmasi (Mirawati 2006), kedokteran (Narmada 2008), dan virologi tanaman (Akin 2001; Saleh et al. 1991). Teknik ini lebih hemat biaya, cepat, sederhana dan akurat (Mesira 2009).