Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Penokohan Salah satu hal yang paling menjadi daya tarik bagi pembaca untuk membaca sebuah novel adalah tokoh atau karakter-karakter yang berperan di dalamnya. Tokoh-tokoh yang menjadi pemeran utama dalam sebuah novel digambarkan dengan sangat menarik oleh penulisnya agar mendukung pesan atau inti cerita yang ingin disampaikan oleh penulis. Penulis akan membedakan watak atau kepribadian satu tokoh dengan tokoh lainnya untuk membuat ceritanya semakin menarik. Untuk memahami tokoh atau penokohan dalam sebuah novel, perlu diketahui oleh penulis apa yang membedakan karakter, watak, dan tokoh dalam sebuah novel. Nugriyantoro, dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi menyatakan: Istilah “tokoh” adalah menunjuk pada orangnya atau pelaku ceritanya dan istilah tokoh cerita. Dapat juga dikatakan sebagai orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan pada dasarnya berasal dari watak atau karakter seseorang. Watak atau karakter mengarah pada kualitas pribadi yang ditunjukkan melalui sikap dan sifat seorang tokoh. (Nugriyantoro, 2002, hal 165). Sifat dan sikap para tokoh merupakan unsur yang terkandung dalam kepribadian seseorang. Menurut Oltmanns dan Emery (2010) kepribadian adalah : Personality refers to enduring patterns of thinking and behavior that define the person and distinguish him or her from other people. (hal 256). 8 Terjemahan: Kepribadian mengacu pada pola yang tetap pada pikiran dan tingkah laku yang mendefinisikan pribadi seseorang dan yang membedakan orang yang satu dengan orang yang lainnya. Kepribadian seseorang ada yang normal dan abnormal. Dua hal inilah yang akan semakin menonjolkan perbedaan antara masing-masing tokoh. 2.2. Teori Gangguan Kepribadian Seseorang dikatakan memiliki kepribadian yang abnormal, mengacu pada gangguan kepribadian yang dialami oleh orang tersebut. Pengertian gangguan kepribadian menurut Larsen (2005) adalah : Personality disorder is an enduring pattern of experience and behavior that differs greatly from the expectations of the individual’s culture. Traits are patterns of experiencing , thinking about, and interacting with oneself and the world. Traits are observed in a wide range of social and personal situations. A personality disordered is usually manifest in more than one of the following areas : in how people think ,in how they feel, in how they get along with others, or in their ability to control their own behavior. The pattern is rigid and is displayed across a variety of situations, leading to distress or problems in important areas in life, such as at work or in relationships. (hal 173). Terjemahan: Gangguan kepribadian adalah suatu bentuk perilaku kebiasaan yang sangat jauh berbeda dengan kebiasaan seseorang pada umumnya. Perbedaan bentuk karakter penderita gangguan kepribadian dapat dilihat dari cara mereka memandang sesuatu, cara mereka berpikir , dan cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Karakter penderita gangguan kepribadian tercermin dalam banyak aspek dikehidupan sosial maupun kehidupan kepribadian penderitanya. Gangguan kepribadian biasanya muncul dalam salah satu aspek berikut: dalam bagaimana mereka berpikir, dalam bagaimana mereka merasakan sesuatu, dalam bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain dan dalam kemampuan mereka mengendalikan kebiasaan mereka. Bentuknya jelas dan terlihat di sepanjang situasi yang berbeda-beda, yang menyebabkan stres dan banyak permasalahan dalam aspek penting kehidupan, seperti dalam pekerjaan dan hubungan antar sesama. Gangguan kepribadian membuat seseorang melakukan perilaku-perilaku yang abnormal atau menyimpang. Hal-hal yang menyimpang mengacu pada hal-hal yang tidak wajar dilakukan oleh seseorang dengan kepribadian yang sehat. Diantara sekian 9 banyak kasus gangguan kepribadian, gangguan kepribadian ambang merupakan salah satu gangguan kepribadian yang paling banyak ditemukan dalam kepribadian manusia. Definisi Gangguan Kepribadian Ambang menurut DSM IV-TR (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder IV- Text Revised) adalah A pervasive patterns of instability of interpersonal relationships, self-image, and affects, and marked impulsivity beginning by early adulthood and present in a variety of contexts, as indicated by five (or more) of the following. (Millon, 2000, hal. 414) Terjemahan: suatu pola yang menetap dari ketidakstabilan hubungan interpersonal, citra diri dan afek dan impulsivitas yang nyata dimulai pada masa dewasa awal dan bermanifestasi dalam berbagai konteks seperti diindikasikan pada 5 atau lebih dari hal-hal yang tercantum dalam table 1 Tabel 1 Kriteria Gangguan Kepribadian Ambang menurut DSM IV-TR dalam Oltmanns dan Emery (1998, hal 279) No. 1. KRITERIA GANGGUAN KEPRIBADIAN AMBANG Usaha yang dilakukan dengan ketakutan untuk mengindari penolakan yang nyata atau imajiner. 2. Sebuah pola hubungan interpersonal yang tidak stabil dan terus-menerus yang ditandai dengan pertukaran antara idealisasi dan devaluasi yang ekstrim 3. Gangguan identitas: ketidakstabilan citra diri atau pemahaman diri yang nyata dan terus-menerus 4. Impulsivitas pada setidaknya dua area yang mempunyai efek potensial dalam perusakan diri (contoh: belanja, sex, penyalahgunaan zat, berkendaraan 10 ceroboh, makan dan minum berlebihan) Catatan: tidak termasuk perilaku bunuh diri yang sering atau perilaku melukai diri yang terdapat pada kriteria ke-5) 5. Perilaku, isyarat atau ancaman bunuh diri yang sering atau perilaku melukai diri 6. Afek yang tidak stabil yang ditandai mood yang reaktif (contoh: episode disforia yang sering, iritabel atau kecemasan yang berlangsung beberapa jam dan jarang lebih dari 2 hari) 7. Perasaan kosong yang kronis 8. Kemarahan yang tidak tepat, sering atau kesulitan dalam mengendalikan amarah (contoh: sering menunjukkan kemarahan, marah yang terus-menerus, sering berkelahi) 9. Ide paranoid yang berhubungan dengan stress yang berlangsung sementara atau gejala disosiatif yang parah Gambar 2.1 Borderline Personality Disorder DSM-IV Criteria (Sumber : APA,1994) Selain kriteria-kriteria utama yang ada pada tabel 1, ahli-ahli lain juga mendeskripsikan beberapa ciri yang dimiliki oleh pasien BPD (Borderline Personality Disorder). Penderita gangguan kepribadian ambang sangat sulit saat merasakan kesendirian. Akibatnya para penderita BPD menjadi seseorang yang sangat membutuhkan sebuah hubungan. Keinginan kuat untuk memiliki hubungan dengan orang lain ini membuat penderita BPD selalu merasakan ketakutan yang kronis dan berkepanjangan mengenai pengabaian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi tempatnya bergantung. Ketakutan ini berhubungan dengan kepanikan ektrim yang dialami saat 11 merasakan kesendirian. (Sarason, 1999, hal.285). Tidak sanggup menghadapi kesendirian disebabkan karena penderita sangat membutuhkan tempat untuk bergantung. Penderita BPD sangat bergantung pada pandangan dan perlakuan orang lain terhadapnya. Komunitas sosial yang paling berpengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang adalah keluarga, terutama orang tua. Banyak orang yang mengubah dirinya agar menjadi sama dan dapat diterima oleh komunitas sosial di sekitarnya. Baik itu dalam penampilan maupun dalam perilaku. Menurut Gunarsa (2010, hal. 47), penampilan fisik banyak pengaruhnya pada penilaian diri sendiri, bahkan seringkali lebih berperan daripada kemampuan intelek. Remaja wanita yang cantik atau remaja pria yang tampan biasanya akan disenangi teman-teman. Daya tarik penampilan fisik lebih diutamakan daripada prestasi di sekolah. Penderita BPD sangat sensitif mengenai pengabaian dan sering menyalahartikan tindakan yang orang lain lakukan tanpa maksud apapun sebagai aksi pengabaian atau penolakan terhadap dirinya. (Nolen, 1998, hal. 441). Sikap atau perilaku orang tua sangat mempengaruhi ketidakstabilan identitas seorang anak atau dapat dikatakan sebagai pencerminan. Hal ini didukung oleh Allen (2003) yang menyatakan bahwa seorang penderita BPD akan mengalami proses yang disebut dengan mirror. Mirroring is a process of validation of an invidual’s sense of self by parental figures. (hal 24). Terjemahan: 12 Pencerminan merupakan proses pengesahan rasa harga diri seseorang berdasarkan figur orang tua. Peranan orang tua sangat berpengaruh pada keberhargaan diri seseorang. Definisi identitas menurut Ishihara et al.,(1991) adalah: はラテン語の Identitas に由来し、「同一性」の意味だが、「自己 の存在証明」や「真の自分」、「固有」な生き方や価値観、さらには 「主体性」といった意味で使われているようだ.(hal 38). Identity Terjemahan: Identitas adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu identitas. Dalam bahasa Jepang, kata ini bukan hanya memiliki arti “identitas”, tetapi juga “bukti dari keberadaan diri”, “kenyataan diri sendiri”, “karakteristik” dari cara hidup, “penilaian terhadap diri”, dan juga “individualitas. Dalam definisi identitas di atas dijelaskan bahwa penilaian diri atau bisa dikatakan penghargaan terhadap diri merupakan bagian dari identitas seseorang. Para penderita BPD mengalami gangguan pada identitasnya, seperti ketidakpastian terhadap citra diri, identitas gender, harga diri, kesetiaan dan tujuan. (Sarason, 1998, hal. 286). Citra diri menurut Kartikawangi (2002, hal. 1), memiliki arti yang sama dengan konsep diri. Konsep diri meliputi perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran tentang kelebihan dan kekuatan, kemampuan dan keterbatasan seseorang atas dirinya. Citra diri, harga diri, konsep diri merupakan bagian dalam konsep identitas seseorang. Konsep identitas bagi penderita BPD diukur dari bagaimana arti diri menurut pandangan orang lain serta perasaan nyata mengenai keberadaan diri. Hal ini dijelaskan oleh Sugino (2011, hal. 123) この私で良いという肯定感と、これからもこの私でやっていけるという 自信があること。この私はまわりから受けいれられているし、この私は 社会にとっても意味のある人間であるという自己の存在感や有能間をも っていること。さらには健康な自己愛の感覚として、この私が好きであ ると受容でき、私らしさがあるという実感をもっていることなどが、 “同一性”の感覚なのである。したがって臨床的には、この逆の「本当 13 の私がわからない」などが訴えられたときに、“同一性”の病理として理 解される。 Terjemahan : Penegasan tentang konsep identitas diri yang baik yaitu ketika seseorang memiliki kepercayaan diri untuk melakukan sesuatu. Pengertian dari manusia yang memiliki keberadaan dan kemampuan adalah manusia yang diterima oleh sekitar, dan bagi masyarakat, keberadaan dirinya adalah sebagai manusia yang memiliki arti. Kemudian, sebagai rasa cinta terhadap diri yang normal, saya dapat menerima bahwa saya menyukai diri saya sendiri, serta memiliki perasaan nyata mengenai keberadaan mahkluk seperti saya. Kemudian secara klinis, jika seseorang tidak memahami dirinya sendiri maka hal ini dapat dipahami sebagai patologi identitas. Kebutuhan akan kejelasan konsep identitas diri melingkupi penilaian terhadap diri, serta penegasan terhadap keberadaan dan nilai diri menurut pandangan orang lain. Harga diri menurut Kartikawangi (2002, hal. 2) dapat direfleksikan dengan dua pertanyaan yaitu, sejauh mana seseorang menyukai dirinya? Sejauh mana seseorang merasa berharga dan kompeten? Harga diri seseorang sering mengalami penurunan pada masa-masa transisi kehidupan. Penurunan harga diri tersebut terjadi selama masa transisi dari sekolah lanjutan awal menuju sekolah lanjutan atas dan sekolah lanjutan atas keperguruan tinggi. (Santrock, 1998, hal. 174). Karena masa transisi ini merupakan saat awal-awal pembentukkan identitas dan citra diri, biasanya seseorang akan melakukan berbagai upaya untuk meninggikan harga dirinya di mata orang lain. Kebutuhan rasa harga diri ini di bagi menjadi dua tipe oleh Maslow yaitu : Kebutuhan rasa harga diri (need for self-esteem) adalah adanya rasa penghargaan, prestise dan harga diri. Menurut Maslow, kebutuhan ini terbagi menjadi dua, pertama, penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri yang mencakup: keinginan untuk memperoleh kompetensi, adanya rasa percaya diri, memiliki kebebasan, kemandirian, dan kepribadian yang kuat. Kedua, adanya penghargaan dari orang lain yang mencakup: kebutuhan untuk mencapai prestasi dalam kehidupan sehingga memperoleh penghargaan dari pihak lain. (Maslow dalam Minderop , 2010, hal.301). 14 Seseorang yang mengalami gangguan pada identitasnya tercermin melalui perasaan kosong dan kebosanan yang kronis, serta ketidaktoleranan pada rasa kesendirian. Orang-orang ini memiliki kebutuhan yang besar akan keterlibatan dengan orang lain dan kepercayaan pada dukungan dari luar dalam hal definisi diri. (Hurt dan Clarkin dalam Sarason, 1990, hal. 288). Tetapi apapun alasannya, yang menjadi permasalahan utama adalah anak-anak tidak mendapatkan pengasuh yang selalu konsisten, dapat diandalkan dan selalu ada saat dibutuhkan. Kegagalan orang tua dalam menyediakan perhatian yang cukup terhadap perasaan anak-anaknya, membuat anak-anak tidak pernah mengembangkan definisi diri dengan benar. (Sarason, 1999, hal. 286-287). Seringkali para penderita BPD mengekspresikan ketidaktentuan dalam permasalahan mengenai nilai diri, keinginan seksual, dan pilihan dalam karir. Dan juga perasaan kosong dan kebosanan yang kronis sering juga muncul. (Oltmanns dan Emery, 1998, hal. 265). Ketidaktentuan dalam permasalahan-permasalahan yang dihadapi ini membuat penderita BPD mengalami ketidakstabilan mood. Mood yang tidak stabil ditandai dengan serangan depresi yang cukup parah dan kecemasan atau kemarahan yang sering timbul tanpa alasan yang jelas. (Nolen, 1998, hal 441). Mood yang tidak stabil ditandai dengan episode disforia. Menurut DSM IV, disforia adalah perasaan yang tidak menyenangkan dan merupakan simtom depresi yang paling umum. Orang yang depresi sering merasa sangat sedih, murung, dan putus asa. Ia merasa bahwa hidupnya merupakan sesuatu yang tidak berarti atau merasa tidak memiliki harapan mengenai masa depannya. (Nilam, 2011, hal. 15). Mood yang tidak stabil ditunjukkan melalui ketidakstabilan emosi yang dialami seseorang. Penyebabnya adalah karena emosi sangat berkaitan erat dengan harga diri. Saat emosi yang negatif, seperti kesedihan contohnya, berhubungan dengan harga diri 15 yang rendah. Sementara emosi positif seperti senang, berhubungan dengan harga diri yang tinggi. Hal ini merupakan hal yang penting bagi orang dewasa untuk memahami bahwa mood yang berubah-ubah merupakan aspek normal pada masa awal remaja, dan sebagian besar dari remaja yang pada akhirnya berhasil mengatasi masa-masa ini akan menjadi seseorang yang kompeten saat dewasa. (Santrock, 1998, hal 188-189). Ketidakstabilan perasaan yang dialami penderita BPD juga mencakup perasaan kosong yang kronis. Menurut Millon (2000, hal. 413) yaitu ketika seorang penderita BPD dalam kondisi sendiri, orang tersebut akan merasakan kesepian dan kekosongan yang kronis. Ketidaktoleranan saat mengalami kesendirian merupakan cerminan ketakutan seseorang akan rasa penolakan dari orang lain. Santrock menjelaskan, (1998, hal. 436) beberapa remaja yang mengalami kecemasan tingkat tinggi adalah akibat dari adanya harapan akan pencapaian prestasi dan tekanan yang tidak masuk akal dari orang tua mereka. Penderita BPD juga sering kali menampilkan kemarahan yang tidak tepat dan kesulitan dalam mengendalikan amarahnya. Mereka akan menampilkan sarkasme ekstrim, kepahitan yang membekas, semburan kata-kata. Kemarahan sering timbul ketika seseorang yang menjadi tempatnya bergantung atau kekasih dianggap lalai, menyembunyikan seseuatu, tidak peduli, atau mengabaikan dirinya. (Grohol, 2007). 2.3. Teori Psikologi Remaja Perubahan citra diri dan ketidakstabilan identitas seseorang akan terjadi saat masa-masa remaja. Dimasa-masa remaja, biasanya akan timbul banyak perubahan baik dalam fisik maupun psikis. Masa remaja merupakan masa-masa dimana seorang anak akan mencari identitas dirinya yang sesungguhnya, sebelum ia menjadi matang dan siap untuk menjalani hidup sebagai orang dewasa. Pada masa remaja, wajar jika 16 seorang anak memiliki banyak teman dari berbagai karakter dan latar belakang yang berbeda. Hal ini dikarenakan para remaja memiliki kebutuhan besar dalam penerimaan. Menurut Santrock (1998, hal. 351) para remaja memiliki kebutuhan yang besar untuk disukai dan diterima oleh teman-temannya dan juga oleh kelompok-kelompok sosial yang lebih besar, hal ini akan menimbulkan perasaan senang ketika diterima atau bahkan sebaliknya akan menimbulkan stres yang ekstrim dan kecemasan ketika tersisih dan diremehkan oleh teman-teman sepantarannya. Ketika seorang remaja tidak berhasil menarik simpati dari teman-temannya, maka ia akan menjadi anak yang tertindas. Dan seseorang yang dapat diterima dan disukai oleh temannya akan menjadi yang menindas. Kemampuan seorang anak bersosialisasi dengan lingkungannya ditentukan dari komunitas sosial terdekatnya yaitu keluarga. Menurut Oweus dalam Santrock (1998, hal. 408-409), orang tua dari para penggertak biasanya melakukan penolakan, otoriter, atau mengabaikan pemberontakkan anak-anak mereka, sedangkan orang tua dari korban penggertakkan lebih bersikap penuh kecemasan dan overprotektif terhadap anak-anak mereka. Ketakutan akan penolakan oleh lingkungan sosial atau dapat dikatakan sebagai tekanan dari lingkungan yang akhirnya menjadikan seseorang mengadopsi tingkah laku orang lain. Tekanan yang diterima dari temanteman sebaya menjadi sangat kuat selama usia remaja. (Santrock, 1998, hal. 354). Pada usia remaja, biasanya saat mereka mencari identitas diri mereka, mereka akan cenderung mencari panutan bagi hidup mereka. Menurut Gunarsa, identifikasi hampir dapat disamakan dengan peniruan, akan tetapi sifatnya lebih mendalam dan menetap. Dengan identifikasi dimaksud bahwa tingkah laku, pandangan, pendapat, nilai-nilai, norma, minat, dan aspek-aspek lain dari kepribadian seseorang akan diambilnya dan dijadikan bagian daripada kepribadian seseorang akan diambilnya 17 dan dijadikan bagian daripada kepribadiannya sendiri. Identifikasi ini dapat juga terjadi pada masa sebelumnya di mana anak mengidentifikasikan dirinya dengan orang tua, guru atau teman, secara tidak disengaja. (Gunarsa, 2010, hal. 88-89). 18