5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Jantung Bawaan 2.1.1. Definisi Penyakit jantung bawaan adalah penyakit dengan kelainan pada stuktur atau fungsi sirkulasi jantung yang telah ada saat lahir. Kelainan ini terjadi karena gangguan atau kegagalan perkembangan stuktur jantung pada fase awal pertumbuhan janin. Sekitar sepertiga atau separuh dari seluruh kasus PJB memerlukan tindakan bedah atau intervensi (Harimurti, 2008). 2.1.2. Epidemiologi Insidens PJB berkisar 8-10 bayi per 1000 kelahiran hidup dan 30 % diantaranya memberikan gejala pada minggu pertama kehidupan. Lima puluh persen kematiannya akan terjadi pada bulan pertama kehidupan bila tidak terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik (Sastroasmoro, 1994). Asia dilaporkan memiliki prevalensi kelahiran dengan PJB tertinggi, yaitu 9,3 per 1000 kelahiran hidup (Linde et al, 2011). 2.1.3. Faktor Resiko Ada 2 kelompok besar dalam pembagian faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan : lingkungan dan genetik. Meskipun dalam kenyataan kedua faktor ini saling berinteraksi (Indriwanto, 2007). 1. Lingkungan Paparan dari lingkungan yang tidak baik dapat mempengaruhi perkembangan janin, misalnya, menghisap asap rokok (perokok pasif), menghirup cat atau udara di bengkel mobil yang mengerjakan perbaikan cat. a) Faktor dari ibu: Rubella. Infeksi rubella terutama bila mengenai pada kehamilan trimester pertama akan mengakibatkan insiden kelainan jantung Universitas Sumatera Utara 6 bawaan dan risiko untuk mendapat kelainan sekitar 35 % dengan jenis Patent Ductus Arteriosus, Pulmonary Valve Stenosis, Septal Deffect. Diabetes. Bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang menderita penyakit diabetes mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mendapat kelainan jantung bawaan terutama yang kadar gulanya tidak terkontrol dengan angka kejadian 3% - 5 %, kelainan jantung bawaan yang tersering pada ibu yang menderita kencing manis adalah Defek Septum Ventrikel, Koarktasio aorta, Transposisi komplit. Di negara maju pada ibu-ibu dengan penyakit kencing manis direkomendasikan untuk dilakukan fetal echocardiography. Alkohol. Disebut sebagai alkoholik adalah meminum alkohol sebanyak 45 ml per hari dan dikatakan tidak ada kadar yang aman untuk ibu hamil, ibu yang alkoholik mempunyai insiden 0,1 - 3,3 per 1000 kelahiran mendapatkan bayi yang tidak normal (fetal alcoholic syndrome) dan untuk insiden kelaianan jantung bawaan sekitar 25 - 30 % dengan jenis defek septum. Ectasy. Insiden kelainan jantung bawaan akan meningkat dan sekitar 15,4 % akan didapatkan bayi dengan kelainan jantung dan muskuloskletal. Obat-obatan lainnya. Obat-obatan yang lain seperti diazepam, kortikosteroid, fenotiazin, juga kokain dapat meningkatkan insiden terjadinya kelainan jantung bawaan. 2. Genetik Riwayat dalam keluarga yang menderita kelainan pada jantung atau bukan pada jantung menjadi suatu faktor risiko utama (mayor). Tetapi beberapa peneliti mengatakan bila ada anak yang menderita kelainan jantung bawaan maka saudara kandungnya mempunyai kemungkinan mendapat kelainan jantng bawaan 1 - 3%, juga bila dalam silsilah keluarga ada yang mendapat kelainan jantung bawaan maka kemungkinan mendapat kelainan sekitar 2 - 4%. Universitas Sumatera Utara 7 Kelainan kromosom. Sekitar 6 - 10 % penderita kelainan jantung bawaan mempunyai kelainan kromosom, atau dengan kata lain sekitar 30% bayi yang mempunyai penyimpangan kromosom menderita kelainan jantung bawaan. Misalnya pada anak dengan Down syndrom maka sekitar 40 % mempunyai kelainan jantung bawaan (Indriwanto, 2007). 2.1.4. Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan Defek jantung kongenital dapat dibagi menjadi dua kelompok besar didasarkan pada ada atau tidak adanya sianosis, yang dapat ditentukan dengan pemeriksaan fisik, dibantu dengan oksimetri transkutan (Bernstein, 2000). 2.1.4.1. Penyakit jantung bawaan non sianotik Penyakit jantung bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis. Terdapat 2 kelompok besar PJB non sianotik; yaitu PJB non sianotik dengan lesi atau lubang di jantung sehingga terdapat aliran pirau dari kiri ke kanan dan PJB non sianotik dengan lesi obstruktif di jantung bagian kiri atau kanan tanpa aliran pirau melalui sekat di jantung (Roebiono, 2003). Kelompok PJB non sianotik yang terdapat aliran pirau dari kiri dan kanan: A. Defek Septum Atrium Defek septum atrium ditandai dengan adanya cacat di septum intra atrial yang memungkinkan aliran balik vena pulmonalis dari atrium kiri ke atrium kanan (Markham, 2014). Defek septum atrial pada bayi dan anak merupakan kelainan jantung bawaan dengan angka kejadian 1 dari 1500 kelahiran hidup dan merupakan 5-10% dari semua penyakit jantung bawaan. Ada 4 tipe DSA, yaitu DSA primum, DSA sekundum, DSA sinus venosus serta DSA sinus koronarius (Noormanto, 2010). Klasifikasi DSA dibagi menurut letak defek pada septum atrium, yaitu: Ostium Primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium primum dengan bantalan endokardial dan meninggalkan defek di dasar septum. Universitas Sumatera Utara 8 Kejadian DSA Ostium primum pada wanita sama dengan pria dan terhitung sekitar 20% dari seluruh kasus PJB. Ostium Sekundum, defek ini terdapat pada daerah fosa ovalis. Ini adalah bentuk defek sekat atrium yang paling sering dan bersama dengan katup atrioventrikular normal. Defek ini mungkin tunggal atau multiple. Wanita beresiko 3 kali lebih banyak dari pada pria. Sinus Venosus, defek terletak pada bagian atas sekat atrium berhubungan dekat dengan masuknya vena cava superior. Seringkali, satu atau lebih vena pulmonalis (biasanya dari paru kanan) secara anomali mengalirkan kedalam vena cava superior (Bernstein, 2000). Sinus koronarius, defek ini terletak di bagian septum atrium yang mencakup lubang sinus koroner dan ditandai oleh tidak adanya setidaknya sebagian dari dinding yang biasa memisahkan sinus koroner dengan atrium kiri (Bezold, 2013). B. Defek Septum Ventrikel Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah lesi kongenital pada jantung berupa lubang pada septum yang memisahkan ventrikel sehinggal terdapat hubungan antara antar rongga ventrikel (Ramaswamy, 2013). Defek septum ventrikel merupakan bentuk malformasi jantung paling sering, meliputi 25% penyakit jantung kongenital( Bernstein, 2000). Menurut Soto dkk. dalam Djer (2010), DSV dapat diklasifikasikan menjadi 4: DSV perimembranosa Pada jenis ini, sebagian besar defek terdapat pada septum ventrikel pars membranosa, akan tetapi hampir selalu mencakup juga septum pars muskularis yang berdekatan. Oleh karena itu, DSV ini lebih sering disebut sebagai DSV perimembranosa atau infrakirista atau subaorta. DSV perimembranosa merupakan DSV yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 70%. DSV outlet Universitas Sumatera Utara 9 Sekitar 5-7% DSV di Negara barat merupakan DSV outlet/infundibular/konal dan di Negara timur jenis ini dilaporkan sekitar 30%. DSV jenis ini terletak di septum outlet/konal dan pinggirnya dibentuk oleh annulus katup aorta dan pulmonalis. Jenis ini dulu disebut juga dengan DSV suprakrista, konal, subpulmonalis atau subarterial. DSV yang terletak tepat di bawah katup aorta dan pulmonalis disebut juga dengan DSV subarterial atau doubly commited subarterial defect atau DSV tipe oriental. DSV intlet DSV intlet berkisar antara 5-8%. DSV terletak di posterior dan inferior dari septum ventrikel pars membranosa, di bawah daun katup trikuspid pars septalis katup dan di inferior dari mukulus papilaris konus. DSV muskularis DSV jenis ini merupakan 5-20% DSV. Defek sering multiple. Berdasarkan lokasinya DSV muskularis dibagi lagi menjadi 4 (Djer, 2010) : a. Apikalis, DSV terletak di bagian apeks jantung b. Midmuskularis, DSV terletak posterior dari trabekula septomarginalis. c. Anterior/marginalis, DSV ini biasanya multiple, kecil dan berlikuliku, terletak sepanjang septal junction ventrikel kanan. d. Sweet cheese, DSV multiple, mencakup semua komponen septum ventrikel. C. Duktus Arteriosus Paten Merupakan suatu kelainan dimana vascular yang menghubungkan arteri pulmonal dan aorta pada fase fetal tetap paten sampai lahir. (Ghanie, 2009). Penutupan fungsional duktus normalnya terjadi segera setelah lahir, tetapi jika duktus tetap terbuka ketika tahanan vascular pulmonal turun, darah aorta darah aorta dialirkan ke dalam arteri pulmonalis. PDA merupakan salah satu anomali kardiovaskuler Universitas Sumatera Utara 10 kongenital yang paling sering akibat infeksi rubela ibu selama awal kehamilan (Bernstein, 2000). D. Defek Septum Atrioventrikular Defek Septum Atrioventrikularis (DSAV) ditandai dengan penyatuan DSA dan DSV disertai abnormalitas katup atrioventrikular (Bernstein, 2007). Defek septum atrioventrikular mewakili sekitar 4% dari anomali jantung bawaan dan sering dikaitkan dengan kelainan jantung lainnya. Menurut Spicer, defek septum atrioventrikular mencakup 30-40% dari kelainan jantung pada pasien dengan sindrom Down yang telah diamati (Ohye, 2013). Kelompok PJB non sianotik yang tidak terdapat pirau antara lain: A. Stenosis Aorta Stenosis aorta derajat ringan atau sedang umumnya asimptomatik sehingga sering terdiagnosis secara kebetulan karena saat pemeriksaan rutin terdengar bising sistolik ejeksi dengan atau tanpa klik ejeksi di area aorta; parasternal sela iga 2 kiri sampai ke apeks dan leher. Pada stenosis aorta yang ringan dengan gradien tekanan sistolik kurang dari 50 mmHg tidak perlu dilakukan intervensi. Intervensi bedah valvotomi atau non bedah Balloon Aortic Valvuloplasty harus segera dilakukan pada neonatus dan bayi dengan stenosis aorta valvular yang kritis serta pada anak dengan stenosis aorta valvular yang berat atau gradien tekanan sistolik 90 – 100 mmHg (Roebiono, 2003). Prognosisnya baik pada kebanyakan anak dengan stenosis aorta ringan sampai sedang. Pada sejumlah kecil penderita yang menderita obstruksi berat, kematian mendadak pernah terjadi. Pada keadaan tersebut biasanya ada bukti hipertrofi ventrikel kiri menyeluruh. Bayi yang datang sesudah umur satu atau dua minggu pertama berespons baik terhadap pengurangan stenosis, dan fungsi ventrikel kiri membaik (Bernstein, 2000). Universitas Sumatera Utara 11 B. Stenosis Pulmonal Stenosis pulmonal adalah kelainan jantung bawaan yang umum, ditandai dengan obstruksi aliran dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis. Stenosis pulmonal dapat terjadi sendiri atau dihubungkan dengan jenis lain kelainan jantung bawaan (Peng and Perry, 2013). Status gizi penderita dengan Stenosis pulmonal umumnya baik dengan pertambahan berat badan yang memuaskan. Bayi dan anak dengan stenosis pulmonal ringan umumnya asimptomatik dan tidak sianosis sedangkan neonatus dengan stenosis pulmonal berat atau kritis akan terlihat takipnoe dan sianosis (Roebiono, 2003). C. Koarktasio Aorta Koarktasio aorta adalah penyempitan terlokalisasi pada aorta yang umumnya terjadi pada daerah duktus arteriosus. Koarktasio aorta dapat pula terjadi praduktal atau pascaduktal. Gejala dapat timbul mendadak. Tanda klasik koarktasio aorta adalah nadi brakialis yang teraba normal atau kuat, sedangkan nadi femoralis serta dorsalis pedis tidak teraba atau teraba kecil (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Kelainan ini memiliki kejadian 1 dari 6000 kelahiran hidup. Koarktasio aorta sering terjadi pada pasien dengan Sindrom Turner (45, XO) (Berg and Brown, 2011). 2.1.4.2. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik. Terdapat aliran pirau dari kanan ke kiri atau terdapat percampuran darah balik vena sistemik dan vena pulmonalis. Sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari tangan–kaki dalah penampilan utama pada golongan PJB ini dan akan terlihat bila reduce haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5 gram %. (Roebiono, 2003) Universitas Sumatera Utara 12 1. Tetralogi Fallot Tetralogi fallot secara klasik terdiri atas kombinasi dari penyumbatan aliran keluar ventrikel kanan (stenosis pulmonal), defek sekat ventrikel (DSV), dekstroposisi aorta dengan menumpangi sekat, dan hipertrofi ventrikel kanan (Bernstein, 2000). Tetralogi Fallot (TF) menggambarkan sekitar 10% dari kasus penyakit jantung bawaan (PJB), terjadi pada 3-6 bayi untuk setiap 10.000 kelahiran dan merupakan penyebab paling umum dari penyakit jantung jantung bawaan sianosis. Kelainan ini mencakup sepertiga dari semua PJB pada pasien yang lebih muda dari 15 tahun (Bhimji, 2014). Perubahan fisiologis yang terjadi pada pasien TF tergantung dua variable, derajat obstruksi pulmonal dan resistensi vascular sistemik. Sebagian besar pasien dengan TF akan mengalami gangguan pertumbuhan, kadang terjadi sirkulasi kolateral ke paru sehingga dapat mempertahankan pertumbuhan. Hipertrofi ventrikel kanan biasanya tidak terlalu berat, tidak sampai terjadi obliterasi rongga ventrikel kanan, sehingga masih dimungkinkan tindakan reparasi. Bila obstruksi pulmonal tidak terlau berat maka derajat sianosis ringan, dikenal sebagai acyanotic fallot atau pink tetralogy, terkadang dapat ditemui pada dewasa muda (Ghanie, 2009). 2. Transposisi Arteri Besar Pada transposisi arteri besar ini, setiap pembuluh darah besar keluar secara tidak tepat dari ventrikel yang berlawanan, yaitu aorta berasal dari ventrikel kanan sedangkan arteri pulmonal berasal dari ventrikel kiri (Berg and Brown, 2011). Kelainan ini mencapai 5-7% dari semua pasien dengan penyakit jantung bawaan di Amerika Serikat. Kejadian pertahun secara keseluruhan adalah 20-30 per 100.000 kelahiran hidup. Transposisi arteri besar terjadi tersendiripada 90% pasien dan jarang berhubungan dengan sindrom atau malformasi ekstrakardiak. Kelainan jantung Universitas Sumatera Utara 13 bawaan ini lebih sering terjadi pada bayi dari ibu yang terkena diabetes (Charpie, 2013). 3. Atresia Pulmonal dengan Defek Sekat Ventrikel Atresia pulmonal dengan defek sekat ventrikel adalah penyakit jantung bawaan sianotik ditandai dengan tidak berkembangnya saluran keluar ventrikel kanan dengan atresia katup pulmonal dan defek septum ventrikel besar (VSD). Perkiraan terbaik dari frekuensi relatif dari atresia paru dengan defek septum ventrikel adalah 2,5-3,4% dari semua cacat jantung bawaan. Atresia paru dengan defek septum ventrikel sedikit lebih umum pada laki-laki daripada perempuan (Cruz, 2012). 4. Atresia Pulmonal dengan Sekat Ventrikel Utuh Pada kelainan ini daun katup pulmonal berfusi sempurna membentuk membrane, dan saluran aliran keluar ventrikel kanan atresia. Karena tidak ada defek sekat ventrikel, tidak ada jalan keluar darah dari ventrikel kanan. Karena duktus arteriosus menutup pada umur beberapa jam atau beberapa hari pertama, bayi dengan atresia pulmonal dan sekat ventrikel utuh menjadi sangat sianotik (Bernstein, 2000). Di Amerika Serikat atresia pulmonal dengan sekat ventrikel utuh terjadi pada 7 -8 per 100.000 kelahiran hidup dan 0,7-3,1% pada pasien dengan penyakit jantung bawaan (Charpie, 2014). 5. Atresia Trikuspidal Pada atresia trikuspidal tidak ada jalan keluar dari atrium kanan ke ventrikel kanan dam seluruh vena sistemik kembali masuk ke jantung kiri dengan melalui foramen ovale atau defek sekat atrium (DSA) yang menyertai. (Bernstein, 2000) Bergantung pada derajat obstruksi dan kelainan yang terjadi, atresia trikuspid mungkin dapat menyebabkan kematian saat lahir. Tanpa operasi, pasien jarang bertahan sampai dewasa. (Mancini, 2013) Universitas Sumatera Utara 14 2.1.5. Diagnosis Penyakit Jantung Bawaan Menurut Roebiono (2007) keberhasilan tatalaksana pada penyakit jantung bawaan bergantung pada ketepatan diagnosisnya. Diantaranya: a. Anamnesis Pasien Anamnesis mengenai riwayat penyakit yang diajukan kepada orang tua pasien harus dilakukan secara sistematis dan terarah untuk mendapatkan informasi yang lengkap. Dimulai dari riwayat keluarga dan riwayat selama masa kehamilan yang berkaitan dengan kejadian yang diduga sebagai faktor penyebab. Gejala yang dapat ditemukan diantaranya bayi cepat lelah saat diberikan ASI, pernafasan yang cepat dan memburu serta banyak berkeringat. b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik kardivaskular yang penting untuk dilakukan adalah pemeriksaan nadi dan tekanan darah yang dilakukan pada keempat anggota gerak, dilakukannya auskultasi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada dinding dada, dan pemeriksaan organ tubuh lainnya seperti hati, paru-paru, dan limpa. c. Pemeriksaan elekrokardiografi Dari pemeriksaan EKG ini dapat diketahui irama jantung yang normal, adanya aritmia, frekwensi denyut jantung, adanya gangguan atau hambatan hantaran listrik, hipertrofi otot atrium dan ventrikel dan tanda-tanda adanya hipoksia. Kelainan anatomi atau adanya beban tekanan atau volume yang berlebihan di dalam ventrikel atau atrium akan menyebabkan kelainan aktivitas listrik, sehingga beberapa jenis PJB mempunyai gambaran EKG yang spesifik. d. Pemeriksaan Foto Toraks Dari pemeriksaan foto toraks dapat diketahui kondisi paru-paru, ukuran dan bentuk jantung, adanya hipertrofi atrium dan ventrikel, pembuluh darah utama yang keluar dari jantung ataupun pembuluh darah di paru-paru akibat PJB dapat terdeteksi. e. Pemeriksaan Ekokardiografi dan Doppler Universitas Sumatera Utara 15 Pemeriksaan dilakukan dengan meletakkan alat transduser di dinding dada yang akan mengirimkan gelombang suara frekuensi tinggi (ultra sound) dan menerima kembali suara tersebut yang dipantulkan oleh segmen-segmen jantung dengan kepadatan yang berbeda. Dengan mengubah posisi dan arah transduser sesuai dengan lokasi segmen potongan jantung akan tampak spektrum eko dari objek yang diamati seperti ruang-ruang, katup, sekat dan dinding jantung serta pembuluh darah utama secara lebih jelas dan spesifik. Dengan alat Doppler dapat diukur aliran darah di dalam jantung dan pembuluh darah. Perubahan arah, kecepatan dan turbulensi aliran darah akibat beratnya kelainan anatomi jantung akan terdeteksi. Kombinasi pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dengan Doppler berwarna akan memperlihatkan anatomi dan profil aliran didalam jantung yang akan meningkatkan akurasi diagnosis. Diagnosis PJB dapat ditegakkan secara lengkap dengan melakukan pemeriksaan ekokardiografi secara sistimatis analisis segmental anatomi jantung mulai dari penentuan letak (situs), pembuluh darah balik yang masuk ke jantung, hubungan antara ventrikel dan atrium jantung, serta struktur anatomi setiap ruang-ruang, dinding, sekat serta katup-katup jantung. Dengan pemeriksaan Doppler dapat diketahui ada tidaknya dan arah aliran pirau melalui lubang sekat, menilai beratnya penyempitan katup jantung, kebocoran katup serta mengukur tekanan dalam ruang-ruang jantung dan curah jantung. 2.2. Status Gizi 2.2.1. Definisi Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh (Almatsier, 2005). Universitas Sumatera Utara 16 2.2.2. Penilaian Status Gizi Pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung (Supariasa, 2001). 1. Penilaian Gizi Secara Langsung Penilaian gizi secara langsung dapat dibagi menjadi 4 penilaian a) Antropometri Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penggunaan antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energy.. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Dalam program gizi masyarakat, pemantauan status gizi anak balita menggunakan metode antropometri. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengan, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa, 2001). Dalam beberapa kasus, antropometri dapat mendeteksi derajat sedang dan berat dari malnutrisi, tetapi metode ini tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi defisiensi nutrisi secara spesifik (Gibson, 2005). b) Klinis Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya digunakan untuk survey Universitas Sumatera Utara 17 klinis secara cepat (rapid clinical surveys (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). c) Biokimia Penilaian status gizi secara biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa, 2001). d) Biofisik Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Pemeriksaan dengan memperhatikan rambut, mata, lidah, tegangan otot dan bagian tubuh lainnya (Supariasa, 2001). 2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung Penilaian status gizi secara tidak langsung terbagi 3 yaitu, survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, 2001). a) Survey konsumsi Makanan Merupakan metode yang digunakan dengan melihat jenis dan jumlah zat gizi yang dikonsumsi. Survey ini dapat mengidentifikasi kekurangan atau kelebihan gizi. b) Statistik vital Pengukuran ini dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. c) Faktor Ekologi Metode penilaian gizi sering termasuk pengumpulan informasi pada berbagai faktor lain yang diketahui mempengaruhi status gizi individu atau populasi, termasuk data sosial ekonomi dan demografi yang Universitas Sumatera Utara 18 relevan. Variabel yang termasuk diantaranya adalah komposisi rumah tangga, pendidikan, keadaan buta huruf, suku, agama, pendapatan, pekerjaan, sumber daya material, penyediaan air dan sanitasi rumah tangga, akses ke layanan kesehatan dan pertanian, serta kepemilikan tanah dan informasi lainnya (Gibson, 2005). 2.2.3. Istilah dan Pengertian 1. Umur Dihitung dalam bulan penuh. Contoh: 2 bulan 29 hari dihitung sebagai umur 2 bulan. 2. Panjang Badan (PB) Digunakan untuk anak umur 0 sampai 24 bulan yang diukur telentang. Bila anak umur 0 sampai 24 bulan diukur berdiri, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm. 3. Tinggi Badan (TB) Digunakan untuk anak umur diatas 24 bulan yang diukur berdiri. Bila anak umur diatas 24 bulan diukur telentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm. 4. Gizi Kurang dan Gizi Buruk Status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk). 5. Pendek dan Sangat Pendek Status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang badan menurut umur (PB/U) atau Tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek) 6. Kurus dan Sangat Kurus Status gizi yang didasarkan pada indeks Berat badan menurut Panjang badan(BB/PB) atau Berat badan menurut Tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted (kurus) dan severely wasted (sangat kurus). Universitas Sumatera Utara 19 Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Indeks Kategori Status Ambang Batas (Z-Score) Gizi Berat Badan menurut Gizi Buruk <-3 SD Umur (BB/U) Gizi kurang -3 SD sampai dengan <-2 Anak umur 0-60 bulan SD Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD Gizi Lebih >2 SD Panjang Badan menurut Sangat Pendek <-3 SD Umur (PB/U) atau Tinggi Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Tinggi >2 SD Badan menurut Umur Sangat kurus <-3 SD (TB/U) Anak Umur 0-60 Kurus -3 SD sampai dengan <-2 bulan SD Panjang badan menurut Normal -2 SD sampai dengan 2 SD umur Gemuk >2 SD Berat Badan menurut Sangat kurus <-3 SD Panjang Badan (BB/PB) Kurus -3 SD sampai dengan <-2 atau Berat Badan SD menurut Tinggi Badan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD (BB/TB) Anak umur 0- Gemuk >2 SD Indeks Massa Tubuh Sangat kurus <-3 SD menurt Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan <-2 60 bulan Universitas Sumatera Utara 20 Anak Umur 0-60 bulan SD Normal -2 SD sampai dengan 1 SD gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD Obesitas >2 SD Indeks Massa Tubuh Sangat kurus <-3 SD menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan <-2 Anak umur 5 – 18 tahun Normal SD gemuk -2 SD sampai dengan 1 SD Obesitas >1 SD sampai dengan 2 SD >2 SD Sumber: Depkes 2010 2.2.4. Pengukuran Antropometri Pengertian istilah Nutritional Anthropometry mula-mula muncul dalam Body Measurements and Human Nutrition yang ditulis oleh Brozek pada tahun 1966 yang telah didefinisikan oleh Jelliffe (1966) sebagai pengukuran pada variasi dimensi fisik dan komposisi besaran tubuh manusia pada tingkat usia dan derajat nutrisi yang berbeda. Pengukuran antropometri terdiri dari dua jenis, yaitu penilaian ukuran tubuh, dan menentukan komposisi tubuh. Pengukuran penentuan komposisi tubuh dapat dibagi lagi menjadi pengukuran lemak tubuh dan massa tubuh bebas lemak (Gibson, 2005). Pengukuran dengan cara-cara yang baku dilakukan beberapa kali secara berkala pada berat dan tinggi badan, lingkaran lengan atas, lingkaran kepala, tebal lipatan kulit (skinfold) diperlukan untuk penilaian pertumbuhan dan status gizi pada bayi dan anak (Narendra, 2006). 1. Berat dan Tinggi Badan terhadap umur : • Pengukuran antropometri sesuai dengan cara-cara yang baku, beberapa kali secara berkala misalnya berat badan anak diukur tanpa baju, mengukur panjang bayi dilakukan oleh 2 orang Universitas Sumatera Utara 21 pemeriksa pada papan pengukur (infantometer), tinggi badan anak diatas 2 tahun dengan berdiri diukur dengan stadiometer. • Baku yang dianjurkan adalah buku NCHS secara Internasional untuk anak usia 0-18 tahun yang dibedakan menurut jender laki-laki dan wanita. • Cara canggih yang lebih tepat untuk menetapkan obesitas pada anak dengan kalkulasi skor Z (atau standard deviasi) dengan mengurangi nilai berat badan yang dibagi dengan standard deviasi populasi referens. Skor Z =atau > +2 (misalnya 2SD diatas median) dipakai sebagai indikator obesitas. 2. Lingkar kepala, lingkar lengan, lingkaran dada diukur dengan pita pengukur yang tidak molor. Baku Nellhaus dipakai dalam menentukan lingkaran kepala (dikutip oleh Behrman, 1968). Sedangkan lingkaran lengan menggunakan baku dari Wolanski, 1961 yang berturut-turut diperbaiki pada tahun 1969. 3. Tebal kulit di ukur dengan alat Skinfold caliper pada kulit lengan, subskapula dan daerah pinggul., penting untuk menilai kegemukan. Memerlukan latihan karena sukar melakukannya dan alatnyapun mahal (Harpenden Caliper). Penggunaan dan interpretasinya yang terlebih penting. 4. Body Mass Index (BMI) adalah Quetelet’s index, yang telah dipakai secara luas, 2 yaitu berat badan(kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m ). Tabel 2.2. Kategori IMT berdasarkan WHO (2000) Kategori IMT (kg/m2) Underweight < 18,5 Normal 18,5 – 24,99 Overweight ≥ 25,00 Preobese 25,00 – 29,99 Obesitas tingkat 1 30,00 – 34,99 Obesitas tingkat 2 35,00 – 39,9 Universitas Sumatera Utara 22 ≥ 40,0 Obesitas tingkat 3 Sumber : WHO (2000) dalam Gibson (2005) 2.2.5. Penilaian Indeks Massa Tubuh Anak Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah jumlah yang dihitung dari berat dan tinggi badan anak. IMT dapat merupakan suatu indikator yang dapat menilai kegemukan tubuh bagi sebagian besar anak-anak dan remaja (CDC, 2011). Setelah IMT dihitung, hasil IMT diplot pada grafik CDC-IMT ataupun kurva WHO sesuai usia (baik anak perempuan atau anak laki-laki) untuk mendapatkan peringkat persentil. Persentil adalah indikator yang paling umum digunakan untuk menilai ukuran dan pertumbuhan pola masing-masing anak di Amerika Serikat. Persentil menunjukkan posisi relatif dari hasil IMT anak antara anak-anak dari jenis kelamin dan usia yang sama. Grafik pertumbuhan menunjukkan kategori status berat badan digunakan dengan anak-anak dan remaja (underweight, berat badan yang sehat, kelebihan berat badan, dan obesitas). Kurva CDC dan WHO terdapat pada lampiran. Berikut ini merupakan kategori IMT berdasarkan usia: a. Kurva CDC < 5th persentil 5th persentil : Underweight - < 85th persentil : Normal (Gizi Baik) 85th persentil - < 95th persentil : Overweight >= 95th persentil : Obesitas b. Kurva WHO < 5th persentil 5th persentil : Underweight - < 85th persentil : Normal (Gizi Baik) 85th persentil - < 95th persentil : Overweight >= 95th persentil : Obesitas Universitas Sumatera Utara 23 Nilai z-score untuk kurva WHO: < -3SD : Gizi buruk / Kurus sekali < -2SD s/d -3SD : Gizi kurang / Kurus -2SD s/d +2SD : Gizi baik / Normal > +2SD : Gizi lebih / Gemuk 2.2.6. Status Gizi Pada Anak PJB Dukungan nutrisi untuk bayi dan anak-anak dengan PJB mencakup berbagai topik dari perawatan akut pada masa bayi hingga perawatan kronis di masa kanakkanak. Besarnya pengaruh cacat jantung pada pertumbuhan, perkembangan, dan status gizi tergantung pada lesi tertentu dan beratnya. malnutrisi dan hambatan pertumbuhan yang umum di seluruh dunia pada bayi dan anak-anak dengan PJB (Wessel and Samour, 2005). Sudah menjadi pandangan umum bahwa anak-anak dengan penyakit jantung bawaan seringkali kecil dan kekurangan gizi. Kegagalan untuk berkembang tampaknya menjadi tampilan umum dari anak-anak dengan penyakit jantung bawaan. Ada tiga kemungkinan penjelasan untuk temuan ini (Mitchell, 1994) : 1. Tidak cukupnya pasokan makanan. Ini mungkin ini tidak akan memberikan pengaruh terhadap kegagalan pertumbuhan dalam masyarakat modern dengan ketersediannya pelayanan sosial. Kebanyakan orang tua yang menyadari perkembangan buruk dari anak mereka sangat termotivasi untuk membantu. 2. Malabsorbsi atau kesulitan makan, contohnya berasal dari rasa kelelahan dan sesak napas, dapat membatasi asupan makanannya. 3. Hipermetabolisme. Meskipun kemungkinan adanya hipoksia jaringan, anak dengan PJB relatif terjadi hipermetabolisme dan menunjukkan kegagalan pertumbuhan apabila asupan nutrisi tidak meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan (Mitchell, 1994). Universitas Sumatera Utara 24 Alasan lainnya, peningkatan metabolisme dapat disebabkan oleh kebutuhan jaringan spesifik seperti jaringan hematopoietik, otot jantung dan otot respirasi. Polisitemia dapat terjadi oleh karena mekanisme adaptasi pada hipoksia kronis dan asidosis. Peningkatan Respiratory Rate membutuhan pengeluaran energi yang ekstra untuk menyediakan kebutuhan energi. Hipertrofi otot jantung menggunakan 20-30% total konsumsi oksigen tubuh, yang biasanya hanya meggunakan sebesar 10% pada jantung yang normal (Forchielli et al, 1994 dikutip oleh Edwina 2012). Faktor yang dapat menyebabkan gagal tumbuh pada bayi dan anak dengan PJB (Wessel and Samour, 2005) : 1. Lesi di kardiak Sianotik : Dapat mengurangi berat badan dan tinggi badan Asianotik Obstruktif: pertumbuhan linier mempengaruhi lebih dari berat badan Left to right shunt : mengurangi berat badan lebih dari tinggi badan dalam tahap awal, berat badan kurang dari anak-anak sianotik, pirau yang besar mempengaruhi kompartemen cairan tubuh 2. Asupan energi yang tidak cukup: asupan energi mungkin rata-rata hanya 80-90% dari anak-anak tanpa PJB. Penurunan energi untuk makan : bersemangat pada saat akan makan tetapi cepat lelah dan tidak dapat menyelesaikan makan. Anoreksia, cepat kenyang terlihat pada anak : asupan makan sangat sedikit 3. Peningkatan metabolisme : meningkatkan pengeluaran energi untuk bayi dan peningkatan 36% pada tingkat metabolisme yang diamati pada anak dengan PJB. 4. Dismotilitas dan malabsorbsi Universitas Sumatera Utara 25 Perlambatan pengosongan lambung : Rasa cepat kenyang, peningkatan potensial refluks gastroesophageal. 5. Faktor prenatal Trisomy 21 (Sindrom Down) : keterlambatan pertumbuhan postnatal dapat merupakan karakteristik dari sindrom tersebut. Universitas Sumatera Utara