ppds stase faal maret – april 2013

advertisement
RINGKASAN BUKU
PULMONARY PATOPHYSIOLOGY
J.B WEST
Dr. Ahmad Arfan
Dr. Aulia Pranandrari
Dr. Dian Prastiti Utami
Dr. Ririen Razika Rhamdani
Dr. Rizky Andriani
Dr. Syarifuddin
PPDS STASE FAAL MARET – APRIL 2013
DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT PERSAHABATAN
JAKARTA
BAB SATU
VENTILASI
Tes fungsi paru yang paling sederhana adalah ekspirasi paksa. Tes ekspirasi paksa ini juga
merupakan salah satu tes yang paling informatif dan memerlukan peralatan minimal dan perhitungan
sederhana. Kebanyakan pasien penyakit paru memiliki volume ekspirasi paksa yang abnormal, dan ,
terkadang, informasi yang didapat dari tes ini berguna dalam penanganan kasusnya. Meskipun begitu,
uji ini tidak dilakukan sesering yang seharusnya. Contohnya, uji ini penting dalam mendeteksi
penyakit jalan napas dini, suatu kondisi yang penting dan ekstrim. Bab ini juga membahas uji
sederhana mengenai ventilasi yang tidak setara.
UJI KAPASITAS VENTILASI
Volume Ekspirasi Paksa
Volume Ekspirasi Paksa adalah volume gas yang dikeluarkan dalam 1 detik dengan cara
ekspirasi yang dipaksakan, setelah sebelumnya inspirasi penuh. Kapasitas vital adalah volume gas
total yang dapat dikeluarkan setelah sebelumnya inspirasi penuh.
Cara sederhana dalam melakukan pengukuran ini ditunjukkan pada gambar 1-1. Pasien duduk
nyaman di depan spirometer dengan resistensi yang rendah. Dia menarik napas maksimal, dan
mengeluarkan napas secepat dan sekuat yang pasien bisa. Saat bel spirometer naik ke atas, pena
kymograph bergerak turun, jadi mengindikasikan volume yang terekspirasi.
Gambar 1-1 Pengukuran VEP1 dan KVP
Gambar 1-2 Pola Ekspirasi normal, obstruksi, dan restriksi
Gambar 1-2A menunjukkan pencatatan normal. Volume yang diekspirasi dalam 1 detik
adalah 4 liter dan volume total yang dikeluarkan adalah 5 liter. Kedua volume ini disebut sebagai
volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1) dan kapasitas vital. Kapasitas vital diukur dari ekspirasi
paksa dapat kurang daripada yang diukur dengan ekshalasi lambat, jadi istilah kapasitas vital paksa
(KVP) umumnya digunakan. Perhatikan bahwa rasio normal VEP1 terhadap KVP sekitar 80%, tapi
menurun sesuai usia (lihat Appendix A untuk nilai normalnya).
VEP dapat diukur pada kelompok waktu yang lain, seperti detik ke 2 atau ke 3, tapi nilai pada
detik pertama adalah yang paling informatif. Ketika angka kecil di bawah tulisan VEP dihilangkan,
berarti maksudnya adalah 1 detik.
Gambar 1-2B menunjukkan tipe pencatatan yang didapat dari seorang pasien PPOK.
Perhatikan bahwa laju saat udara dihembuskan, lebih pelan,jadi hanya 1.3 liter udara yang
dikeluarkan saat detik pertama. Sebagai tambahan, volume total yang dikeluarkan hanya 3.1 liter.
VEP1/KVP berkurang sebesar 42%. Gambar ini khas untuk penyakit obstruksi.
Berlawanan dengan pola pada gambar 1-2C, yang menunjukkan tipe pencatatan pada pasien
fibrosis paru. Di gambar ini, kapasitas vital berkurang menjadi 3.1 liter, tapi persentase besar (90%)
dikeluarkan pada detik pertama. Gambar ini khas untuk penyakit restriktif.
Spirometer sederhana yang terisi air, ditunjukkan pada gambar 1-1, sekarang jarang
digunakan dan sudah digantikan dengan spirometer elektronik, yang sering menghasilkan grafik yang
akan disimpan pada arsip pasien.
Pasien harus melonggarkan pakaiannya, bila memakai pakaian ketat. Mouthpiece harus pada
posisi nyaman. Salah satu prosedur yang diterima adalah melakukan dua tiupan latihan, dan merekam
tiga kali pengujian napas. VEP1 dan KVP tertinggi dari ketiga pernapasan ini dicatat. Volume-volume
ini harus diubah sesuai dengan suhu badan dan tekanan (lihat Appendix A).
Uji ini bermakna dalam menilai efektivitas obat bronkodilator. Bila dicurigai obstruksi jalan
napas yang reversibel, uji ini harus dilakukan sebelum dan sesudah pemberian obat (contohnya 0.5 %
albuterol dengan nebulizer selama 3 menit). Baik VEP1 dan KVP biasanya meningkat pada pasien
dengan bronkospasme.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------VEP1 dan KVP
Volume ekspirasi detik pertama, bersama dengan kapasitas vital paksa adalah :
-
Tes yang sederhana
Informatif
Abnormal pada pasien penyakit paru
Penting untuk menilai perkembangan penyakit
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Arus Ekspirasi Paksa
Index ini dihitung dari ekspirasi paksa, seperti pada gambar 1-3. Paruh tengah (volume)
ekspirasi total ditandai dan durasinya diukur. FEF25-75% adalah volume dalam liter dibagi dengan
waktu dalam detik.
Rentang antara FEF25-75% dan VEP1 biasanya dekat, pada pasien penyakit paru obstruktif.
Perubahan FEF25-75% lebih menyolok, tapi rentang nilai normalnya menjadi lebih luas.
Gambar 1-3. Penghitungan FEF25-75% pada ekspirasi paksa
Interpretasi uji ekspirasi paksa
Paru dan toraks dapat dinilai sebagai suatu pompa air sederhana (gambar 1-4). Keluaran dari
pompa seperti ini bergantung pada stroke volume, tahanan jalan napas, dan gaya yang bekerja pada
piston. Faktor terakhir relatif kurang penting adalah ekspirasi paksa, seperti yang akan kita lihat nanti.
Kapasitas vital (atau kapasitas vital paksa) adalah pengukuran stroke volume, dan
pengurangan stroke volume dalam jumlah apapun mempengaruhi kapasitas ventilasinya. Penyebab
penurunan volume stroke meliputi penyakit rangka dada, seperti kifoskoliosis, ankylosing spondylitis,
dan penyakit2 akut; penyakit-penyakit mengenai saraf otot pernapasan atau ke otot, seperti
poliomyelitis dan distrofi muskuler; abnormalitas rongga pleura, seperti pneumothorax dan penebalan
pleural; penyakit paru seperti fibrosis, yang mengurangi pengembangannya; space-occupying lesion,
seperti kista, atau peningkatan volume darah di paru, seperti pada gagal jantung kanan. Sebagai
tambahan, ada penyakit yang dapat menyebabkan jalan napas menutup lebih dini saat ekspirasi, jadi
membatasi volume udara yang diekspirasi. Hal ini terjadi pada asma dan bronkitis.
Volume ekspirasi paksa (dan indeks terkait seperti FEF25-75%) dipengaruhi tahanan jalan napas
selama ekspirasi paksa. Peningkatan tahanan akan mengurangi kapasitas ventilasi. Penyebabnya
meliputi bronkokonstriksi, seperti pada asma atau sesudah inhalasi iritan seperti asap rokok;
perubahan struktural jalan napas, seperti pada bronkitis kronik; obstruksi di dalam jalan napas, seperti
pada inhalasi benda asing atau sekret bronkus yang berlebih; dan proses destruktif parenkim paru,
yang melibatkan traksi radial yang biasanya menjaga jaolan napas tetap terbuka.
Model sederhana gambar 1-4 menjelaskan faktor yang membatasi kapasitas ventilasi paru
yang terganggu, tapi kita perlu mencari model yang dapat menjelaskan lebih baik. Contohnya, jalan
napas sebenarya di dalam, bukan di luar pompa, seperti yang tergambar di gambar 1-4. Informasi
tambahan yang lebih baik didapat dari kurva flow-volume.
Gambar 1-4. Model sederhana, faktor-faktor yang dapat mengurangi kapasitas ventilasi. Volume sekuncup dapat
berkurang karena penyakit dinding dada, parenkim paru, otot pernapasan, dan pleura.Tahanan jalan napas meningkat
pada asma dan bronkitis
Gambar 1-5. Kurva arus-volume ekspirasi. A. Normal B. Pola obstruktif dan restriktif
Kurva Arus-Volume Ekspirasi
Bila kita merekam laju arus dan voume selama ekspirasi paksa maksimal, kita mendapatkan
suatu pola seperti pada gambar 1-5A. Ciri kurva arus-volume yang ganjil adalah hampir tidak
mungkin untuk mendapatkan hasil diluar kurva tersebut. Conthnya, bila kita mulai menghembuskan
napas pelan-pelan, lalu menyembur, laju arus meningkat hingga tepi kurva, tapi tidak melewatinya.
Jelaslah, sesuatu yang sangat kuat membatasi laju arus maksimum hanya pada volume tertentu. Faktor
ini adalah kompresi jalan napas yang dinamik.
Gambar 1-5 B menunjukkan pola tipikal yang ada pada penyakit paru obstruktif dan restriktif.
Pada penyakit obstruktif, seperti bronkitis kronik dan emfisema, ekspirasi maksimal biasanya bermula
dan berakhir pada volume paru yang besar dan abnormal, dan laju Arus lebih lambat daripada normal.
Sebagai tambahan, kurvanya dapat menunjukkan gambaran berlekuk ke luar seperti sendok. Hal yang
sebalknya, pasien penyakit restriktif, seperti fibrosis interstitial, bekerja pada volume paru yang
rendah. Bagian terluar kurva Arusnya menjadi lebih rata, dibandingkan dengan kurva normalnya, tapi
jika laju Arusnya dikaitkan dengan volume paru, Arusnya menjadi lebih cepat daripada normal
(Gambar 1-5B). Perhatikan bahwa gambar itu menunjukkan volume volume paru absolut, meski hal
ini tidak bisa didapat dari ekspirasi paksa. Untuk volume residu, perlu pengukuran tambahan.
Untuk mengenali pola-pola ini, pertimbangkan tekanan-tekanan didalam dan diluar jalan
napas (gambar 1-6) (lihat Respiratory Physiology: The Essentials, 9th ed., p. 121). Sebelum inspirasi
(A), tekanan di dalam mulut, jalan napas, dan alveoli sama dengan atmosfer karena tidak ada Arus.
Tekanan intrapleura, katakanlah, 5 cmH2O dibawah tekanan atmosfer, dan kita berasumsi bahwa
tekanan yang sama terjadi diluar jalan napas (meski pada kenyataannya tidak mungkin). Jadi,
perbedaan tekanan yang mengembangkan jalan napas adalah 5 cmH2O. Pada awal inspirasi (B),
semua tekanan ini berkurang, dan perbedaan tekanan yang menjaga jalan napas tetap terbuka adalah
sebesar 6 cmH2O. Pada akhir inspirasi (C), tekanan ini sebesar 8 cmH2O.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Kompresi Jalan Napas yang Dinamik
Membatasi arus napas selama ekspirasi paksa
Menyebabkan arus tidak tergantung dari upaya
Dapat membatasi arus napas selama ekspirasi normal pada beberapa pasien PPOK
Adalah faktor utama yang membatasi aktivitas pada PPOK
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gambar 1-6. Diagram menjelaskan kompresi jalan napas dinamik selama ekspirasi paksa
Pada awal ekspirasi paksa (D), tekanan intrapleura dan alveolus meningkat pesat. Tekanan
pada beberapa titik di jalan napas, meningkat juga, tapi tidak sebanyak pada tekanan alveolus karena
penurunan tekanan akibat Arusnya. Pada beberapa keadaan ini, terdapat perbedaan tekanan sebesar 11
cmH2O, yang cenderung menutup jalan napas. Terjadi kompresi jalan napas, dan Arusnya ditentukan
oleh perbedaan antara tekanan alveolus dan tekanan diluar jalan napas pada titik penutupan (efek
pelawan dari Starling). Perbedaan tekanan ini (8 cmH2O pada gambar D), adalah tekanan recoil statik
paru, dan bergantung hanya pada volume dan compliance paru. Tekanan recoil statik paru ini tidak
dipengaruhi oleh usaha ekspirasi.
Bagaimana kemudian kita dapat menjelaskan pola abnormal pada gambar 1-5B? Pada pasien
bronkitis kronik dan emfisema, Arus napas yang rendah, terkait dengan volume paru, disebabkan oleh
beberapa faktor. Mungkin terdapat penebalan dinding jalan napas, dan sekret berlebihan di lumen
karena bronkitis; keduanya meningkatkan tahanan Arus. Jumlah jalan napas kecil dapat berkurang
karena hancurnya jaringan paru. Juga, pasien mungkin mengalami penuruann tekanan recoil statik
(meskipun volume paru meningkat sangat pesat) karena terurainya dinding alveolus yang elastis.
Akhirnya, topangan yang normal pada jalan napas karena traksi parenkim sekitarnya mungkin
terganggu karena hilangnya dinding alveolus, dan jalan napas akhirnya kolaps lebih mudah daripada
yang seharusnya. Faktor-faktor ini dipertimbangkan lebih detail pada bab 4.
Pada pasien fibrosis interstitial, Arusnya normal (atau tinggi) dibandingkan volume parunya,
karena tekanan recoil statik paru tinggi, dan kaliver jalan napas dapat normal (atau bahkan meningkat)
pada volume paru tertentu. Meskipun begitu, karena compliance paru yang sangat berkurang,
volumenya sangat kecil, dan laju Arus absolut menjadi berkurang. Perubahan-perubahan ini
didiskusikan lebih lanjut pada bab 5.
Analisis ini menunjukkan, gambar 1-4 adalah sebuah penyederhanaan, dan volume ekspirasi
paksa, yang awalnya lurus, dipengaruhi oleh jalan napas dan parenkim paru. Jadi, istilah obstrukstif
dan restriktif, mengandung makna patofisiologi.
Pemisahan Tahanan Arus dari Kurva Arus-Volume
Ketika jalan napas menguncup selama ekspirasi paksa, Arus ditentukan oleh tahanan jalan
napas sampai pada titik kuncupnya (gambar 1-7). Diluar titik ini, tahanan jalan napas bersifat
immaterial (tidak bisa diukur). Penguncupan terjadi pada (atau dekat) suatu titik dimana tekanan
dalam jalan napas sama dengan tekanan intrapleura (equal pressure point/titik tekanan seimbang).
Gambar 1-7. Kompresi jalan napas dinamik. Ketika ini terjadi selama ekspirasi paksa, hanya tahanan jalan
napas distal dari titik kolaps (segmen hulu) menentukan laju arusnya. Pada tahap akhir uji kapasitas vital
paksa, hanya jalan napas perifer yang distal dari titik kolaps, menentukan arusnya.
Penguncupan ini dipercaya terjadi di sekitar bronkus lobaris awal ekspirasi paksa. Meskipun
begitu, seiring berkurangnya volume paru dan penyempitan jalan napas, tahanan jalan napas
meningkat. Sehingga, tekanan menjadi turun dengan sangat cepat dan titik penguncupan berpindah ke
jalan napas yang lebih distal. Jadi, di akhir ekspirasi paksa, Arus napas lebih ditentukan oleh sifat
jalan napas kecil di perifer.
Jalan napas perifer ini (katakanlah, diameternya kurang dari 2 mm) normalnya
menyumbangkan 20% dari tahanan jalan napas total. Sehingga, perubahan pada jalan napas perifer ini
susah dideteksi dan disebut sebagai zone senyap / silent zone. Tetapi, mungkin saja beberapa
perubahan awal pada PPOK terjadi pada jalan napas kecil ini, sehingga Arus maksimum pada akhir
ekspirasi paksa menggambarkan tahanan jalan napas.
Arus Maksimum dari Kurva Arus-Volume
Arus maksimum (Vmax) sering diukur setelah 50% (Vmax50%) atau 75% (Vmax75%) kapasitas
vital telah dihembuskan. Gambar 1-8 menunjukkan pola Arus abnormal yang lazim terlihat pada
pengujian pasien PPOK. Makin jauh posisi pengukuran Arus pada ekspirasi, makin mencerminkan
tahanan jalan napas. Beberapa penelitian menunjukkan abnormalitas Vmax75% ketika index ekspirasi
paksa lainnya, seperti VEP1 atau FEF25-75% menunjukkan hasil normal.
Arus Puncak Ekspirasi
Arus puncak ekspirasi adalah Arus maksimum selama ekspirasi paksa, dimulai dari kapasitas
paru total. Arus puncak ini dapat dengan mudah diperkirakan dengan peak flow meter, yang murah
dan portabel. Pengukurannya tidak akurat, dan bergantung dari usaha pasien. Meski begitu, peak flow
meter adalah perangkat penting pada berbagai penyakit, khususnya asma, dan pasien dapat dengan
mudah membuat pengukuran berulang di rumah atau di tempat kerja dan dapat menyimpan catatan
untuk ditunjukkan ke dokter.
Kurva Arus-Volume Inspirasi
Kurva arus-volume sering diukur selama inspirasi. Kurva ini tidak dipengaruhi kompresi jalan
napas dinamik, karena tekanan selama inspirasi selalu mengembangkan bronkus (gambar 1-6). Tetapi,
kurva ini berguna untuk mendeteksi obstruksi jalan napas atas, yang akan memipihkan kurvanya
karena arus maksimum yang dibatasi (gambar 1-9). Penyebabnya meliputi stenosis trakea dan glotis,
dan penyempitan trakea akibat penekanan tumor. Kurva arus-volume ekspirasi juga memipih oleh
obstruksi jalan napas atas yang terfiksasi (nonvariabel).
Pengujian Ventilasi yang Tidak Merata
Single Breath Nitrogen Test
Pengujian yang dijelaskan hingga baris ini, mengukur kapasitas ventilasi. Uji nitrogen napastunggal mengukur ketidakmerataan ventilasi. Topik ini agak berbeda, tapi lebih baik dijelaskan di
sini.
Gambar 1-9. Kurva arus-volume inspirasi dan ekspirasi. Pada subyek normal dan pasien PPOK,
laju arus inspirasi normal (atau hampir). Pada obstruksi jalan napas atas yang terfiksasi, arus
ekspirasi dan inspirasi berkurang
Gambar 1-10. Single-Breath Nitrogen Test untuk ventilasi yang tidak merata. Perhatikan 4 fase pencatatan
ekspirasi. TLC = kapasitas paru total. CV = volume penutupan. RV = volume residu
Misalkan pasien mengambil kapasitas vital inspirasi oksigen, yaitu, total kapasitas paru-paru,
dan kemudian hembuskan perlahan sejauh yang ia bisa, yaitu untuk volume residu. Bila kita
mengukur konsentrasi nitrogen di mouthpiece dengan penganalisa nitrogen cepat, kita merekam suatu
pola seperti yang ditunjuk pada gambar 1-10. Terdapat 4 fase. Fase pertama, yang berlangsung sangat
singkat, oksigen murni dihembuskan dari jalan napas atas, dan konsentrasi nitrogen adalah nol. Pada
fase kedua, konsentrasi nitrogen meningkat cepat karena ruang rugi anatomik dibilas oleh gas
alveolus. Fase ini juga berlangsung singkat.
Fase ketiga mengandung gas alveolus, dan pada pencatatannya hampir rata dengan sedikit
kemiringan kecil yang mengarah ke atas, pada pasien normal. Bagian ini sering dikenal sebagai plateu
alveolus. Pada pasien yang ventilasinya tidak sama, fase ketiga lebih curam, dan kemiringannya
adalah pengukuran ketidakmerataan ventilasi. Hal ini dinilai sebagai peningkatan persentasi
konsentrasi nitrogen per liter volume udara yang diekspirasi. Dalam melakukan tes ini, arus ekspirasi
harus tidak lebih dari 0.5 L/detik agar mengurangi variabilitas hasil.
Alasan kenapa terjadi peningkatan konsentrasi nitrogen pada fase 4 adalah beberapa area di
paru mengalami ventilasi yang buruk, dan menerima sedikit oksigen. Area-area ini memiliki
konsentrasi nitrogen karena kurangnya oksigen untuk mengencerkan gas nitrogen ini. Juga karena
area yang berventilasi buruk ini cenderung paling akhir untuk mengalami pengosongan.
Gambar 1-11. Tiga mekanisme ventilasi yang tidak merata. Pada ketidakseimbangan paralel (A) berkurangnya arus ke area yang
konstan lama. Pada ketidakseimbangan serial (B), dilatasi jalan napas kecil mengakibatkan difusi inkomplit sepanjang unit paru
terminal. Ventilasi kolateral (C) juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan serial
Gambar 1-11 menunjukkan tiga mekanisme yang mungkin menjelaskan ventilasi yang tidak
merata. Pada A, area ini kurang terventilasi karena ada obstruksi jalan napas parsial, dan karena
tahanan jalan napas ini, area ini terakhir dikosongkan. Bahkan, kecepatan pengosongan area ini
ditentukan oleh konstanta waktunya, yang merupakan produk dari tahanan jalan napas (R) dan
compliance (C). Semakin besar konstanta waktunya (RC), semakin lama pengosongan alveolusnya.
Mekanisme ini dikenal sebagai ketidakmerataan ventilasi yang paralel.
Gambar 1-11B menunjukkan mekanisme yang dikenal sebagai ketidakmerataan
serial/berlanjut. Ada dilasi jalan napas perifer, yang menyebabkan perbedaan ventilasi sepanjang jalan
napas suatu unit paru. Pada konteks ini, kita harus ingat bahwa gas yang terinspirasi mencapai
bronkiolus terminalis melalui arus konvektif, seperti air yang mengalir melalui suatu selang, tapi
pergerakan berikutnya ke alveolus lebih disebabkan difusi sepanjang jalan napas. Normalnya,
jaraknya begitu pendek sehingga cepat tercapai penyeimbangan konsentrasi gas yang hampir
sempurna. Tetapi, bila jalan napas-jalan napas kecil ini membesar, seperti pada emfisema sentriasinar
(lihat gambar 4-4), konsentrasi gas yang terinspirasi pada jalan napas yang paling distal tetaplah
rendah. Lagi-lagi, area yang ventilasinya jelek seperti ini, mengalami pengosongan paling akhir.
Gambar 1-11C menunjukkan bentuk ketidakmerataan serial lainnya, yang terjadi bila
beberapa unit paru menerima gas terinspirasi dari unit tetangganya, daripada jalan napas yang besar.
Hal ini dikenal sebagai ventilasi kolateral dan tampaknya merupakan proses yang penting pada PPOK
dan asma.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Ventilasi Tidak Merata
Terjadi pada pasien penyakit paru
Merupakan faktor penting yang berperan pada gangguan pertukaran gas
Lebih mudah diukur dengan single-breath nitrogen test
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Masih ada ketidakpastian mengenai pentingnya ketidakmerataan paralel dan serial. Mungkin
karena keduanya terjadi pada taraf kecil, pada pasien dengan ventilasi normal, dan pada taraf besar
pada pasien penyakit paru obstruktif. Apapun mekanisme yang berlangsung, single-breath nitrogen
test adalah cara yang sederhana, cepat, dan dapat dipercaya untuk mengukur derajat ventilasi paru
yang tidak merata. Ventilasi yang tidak merata ini meningkat pada banyak penyakit paru restriktif dan
obstruktif.
Volume Penutup
Menjelang akhir ekspirasi kapasitas vital, seperti pada gambar 1-10, konsentrasi nitrogen
meningkat cepat, menandakan awal penutupan jalan napas, atau fase 4. Volume paru saat fase 4 ini
bermula disebut sebagai volume penutup, dan volume penutup ditambah volume residu disebut
sebagai kapasitas penutup. Pada kenyataannya, awal fase 4 diketahui dengan menggambar garis lurus
melalui plateu alveolus (fase 3) dan melihat titik terakhir garis pencatatan nitrogen pada garis ini.
Sayangnya, jeda antara fase 3 dan 4 jarang yang sejelas gambar 1-10, dan terdapat variasi
volume2 tersebut, ketika uji dilakukan berulang oleh pasiennya. Uji ini sangat berguna pada keadan
terdapat penyakit dalam jumlah kecil, karena penyakit parah mengganggu pencatatannya sedemikian
rupa sehingga volume penutupnya tidak bisa diidentifikasi.
Mekanisme mulainya fase 4 masih tidak jelas, tapi dipercaya karena penutupan jalan napas
kecil pada bagian terbawah paru. Pada volume residu tepat sebelum hirupan oksigen napas tunggal
(single breath), konsentrasi nitrogen pada hakekatnya sama sepanjang paru, tapi di alveoli basal,
konsentrasinya lebih kecil daripada alveoli apex pada pasien yang duduk/berdiri karena distorsi paru
akibat beratnya. Tentu saja, bagian terbawah paru begitu terkompresinya sehingga jalan napas kecil di
area bronkiolus respiratori menjadi tertutup. Meski begitu, di akhir kapasitas inspirasi vital, seluruh
alveoli berukuran kurang lebih sama. Jadi nitrogen di basal terdilusi lebih besar daripada yang trejadi
di apex, karena hirupan oksigen.
Selama ekspirasi yang mengikutinya, zona atas dan bawah mengosongkan isinya secara
bersamaan dan konsentrasi nitrogen terekspiasi hampir konstan (gambar 1-10). Segera sesudah jalan
napas yang berhubungan mulai menutup, konsentrasi nitrogen yang tinggi di zona atas paru lebih
mempengaruhi konsentrasi yang diekspirasikan, menghasilkan lonjakan. Terlebih lagi, ketika
penutupan jalan napas merambat ke paru, nitrogen yang diekspirasikan, meningkat secara progresif.
Beberapa penelitian menunjukkan pada beberapa pasien, volume penutupannya sama seperti
pada keadaan tidak ada berat, seperti pada gravitasi normal. Temuan ini mengesankan bahwa
kompresi paru yang dependen tidak selalu menjadi mekanismenya.
Volume saat jalan napas menutup, terkait dengan usia, dapat serendah 10 % kapasitas vital
pada orang normal berusia muda, tapi meningkat hingga 40 % (contohnya pada kapasitas residu
fungsional) pada usia 65 tahun. Ada beberapa bukt bawa tes ini sensitif untuk beberapa penyakit.
Contohnya, perokok yang tampaknya terlihat sehat, mengalami peningkatan volume penutupan ketika
kapasitas ventilasinya normal.
Uji Ketidakmerataan Ventilasi Lainnya
Ketidakmerataan ventilasi juga dapat diukur dengan multibreath nitrogen washout selama
bernapas dengan oksigen. Ketidakmerataan ventilasi secara topografik dapat ditentukan menggunakan
zat radioaktif xenon. Bab ini terbatas membahas single-breath test; pengukuran lainnya dapat dilihat
pada bab 3.
Uji Penyakit Jalan Napas Dini
Terdapat peningkatan minat untuk menggunakan beberapa uji untuk mengidentifikasi pasien
dengan penyakit jalan napas dini, yang dijelaskan pada bab ini. Saat seorang pasien menunjukkan
gejala khas PPOK, hasil pengobatan biasanya mengecewakan. Harapannya adalah dengan mengenali
penyakit ini lebih dini, progresinya dapat dihambat, contohnya, dengan menyuruh pasien tidak
merokok lagi.
Diantara tes yang sudah diuji pada konteks ini adalah VEP1, FEF25-75%, Vmax50% dan
Vmax75%, dan volume penutupan. Penilaian uji-uji ini susah, karena tergantung penelitan prospektif
dan grup kontrol yang besar. Sekarang sudah jelas bahwa uji VEP1 tetap menjadi uji yang paling
dipercaya dan berguna. Sementara banyak uji lain yang canggih masih harus diteliti, pengukuran
VEP1 dan KVP tetap wajib dilakukan.
Konsep penting
1. Volume ekspirasi paksa detik pertama dan kapasitas vital paksa adalah uji penting yang
mudah dilakukan, memerlukan peralatan yang sedikit, dan sering informatif.
2. Kompresi jalan napas dinamik, sering ditemukan pada PPOK dan penyebab utama disabilitas
3. Jalan napas kecil (diameter kurang dari 2 mm) sering menjadi tempat mula penyakit jalan
napas, tapi perubahannya sulit terdeteksi
4. Ventilasi yang tidak merata, sering terjadi pada penyakit jalan napas, dan bisa diukur dengan
single- breath N2 test.
5. Volume penutupan sering meningkat pada penyakit jalan napas yang ringan, dan volume ini
meningkat seiring usia.
BAB 2
UJI FUNGSI PARU DAN MAKNANYA
PO2 Arteri
Pengukuran
Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien sakit akut sering kali penting untuk
diketahui. Dengan lektrode gas darah pengukuran PO2 aretri relative mudah. Darah arteri biasanya
diambil dengan mmenusuk arteri radialis atau dari kateter arteri radialis yang sudah terpasang PO2
diukur dengan hukum polarografik yaitu aurs yng mengalir ketika voltase kecil diberi pada elektrode.
Nilai Normal
Nilai normal PO2 pada roang dewasa muda adalah sekitar 95 mmHg, dengan kisaran 85-100
mmHg. Nilai normal akan terus menurun seiring dengan usia dan rata-rata sekitar 85mmHg pada usia
60 tahun. Penyebab penurunan PO2 seiring usia mungkin karena peningkatan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi.
Gambar 2.1 menggambarkan tentang dua titik jangkar pada kurva normal. Satu adalah darah
arteri (PO2 100, saturasi O2 97%) dan yang lain darah vena campuran (PO2 40, saturasi O2 75%).
Kita harus mengingat bahwa diatas 60mmHg, kurva menjadi cukup mendatar dan sianosis mungkin
tidak dapat terdeteksi. Kurva bergeser ke kanan oleh peningkatan suhu, PCO2 dan konsentrasi H+
(hal ini terjadi pda otot yang sedang bekerja ketika pelepasan O2 yang bertambah dapat
menguntungkan). Kurva juga bergeser ke kanan oleh peningkatan 2,3-difosfogliserat (DPG) di dalam
sel darah merah. 2,3 DPG menurun dalam darah yang disimpan, tapi meningkat pada hipoksia yang
lama.
PO2 alv
SaO2
PCO2 alv
Nilai Normal
Ventilasi alveolar (l/m)
Gambar 2.1 Pertukaran gas selama hipoventilasi
Penyebab Hipoksemia
Ada empat penyebab utama penurunan PO2 dalam darah arteri:
1. Hipoventilasi
2. Gangguan difusi
3. Pirau
4. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
Penyebab kelima, penurunan PO2 inspirasi seperti saat berada di daerah tinggi atau menghirup udara
campuran dengan konsentrasi oksigen rendah, hanya tampak pada keadaan khusus.
Hipoventilasi
Volume udara bersih yang masuk ke dalam alveoli per satuan waktu (ventilasi alveolar)
menurun. Jika konsumsi oksigen saat istirahat idak ikut menurun, pasti terjadi hipoksemia.
Hipoventilasi sering disebabkan oleh penyakit paru. Bahkan sering kali paru dalam kondisi normal.
Perlu ditekankan dua gambaran fisiologis utama pada hipoventilasi. Pertama, gambaran ini
selalu menunjukkan peningkatan PCO2 dan ini merupakan gambaran diagnostic yang bernilai.
Perbandingan antara PCO2 arteri dan tingkat ventilasi alveolar pada paru normal sangat sederhana:
PCO2 = VCO2 x K
VA
VCO2: curah CO2
VA : ventilasi alveolar
K: konstanta
Hal ini berarti bila ventilasi alveolar menjadi setengah, PCO2 menjadi dua kali lipat. Jika
pasien tidak mengalami peningkatan PCO2 arteri< artinya ia tidak mengalami hipoventilasi.
Kedua, hipoksemia dapat dengan mudah dihilangkan dengan meningkatkan PO2 inspirasi
melalui pemberian oksigen via sungkup muka. Hal ini dapat dilihat dari persamaan gas alveolar:
PAO2 = PIO2 – PACO2 + F
F : faktor koreksi kecil
R
Dengan menganggap nilai PCO2 alveolar dan arteri adalah sama. Persamaan ini menyatakan
bahwa jika PCO2 arteri (PACO2)dan rasio pertukaran respiratorik tetap konstan, setiap mmHg
peningkatan PO2 insprasi (PIO2) menghasilkan peningkatan yang sebandingpada PO2 alveolar.
Karena PO2 inspirasi mudah ditingkatan sampai beberapa ratus mmHg, hipoksemia akibat
hipoventiasi murni dapat mudah dihilangkan.
Kemampuan PO2 untuk turun ke kadar yang sangat rendah akibat hipoventilasi murni. Perlu
diperhatikan sekali lagi berdasarkan persamaan 2.2 kita dapat meliha bahwa jika R=1, Po2 alveolar
turun 1 mmHg untuk setiap peningkatan PCO2 sebesar 1 mmHg. Ini berarti bahwa hipoventilasi berat
mampu menggandakan PCO2 dari 40 mmHg ke 80mmHg hanya dengan menurunkan PO2 alveolar
dari 100 ke 60mmHg. Jika R=0,8 penurunannya sedikit lebih besar, sekitar 50 mmHg. Selain itu PO2
arteri biasanya lebih renda beberapa mmHg di bawha nilai alveolar. Walaupu demikian, saturasi Oo2
akan mendekati 80% dan sianosis mungkain terdeteksi. Namun retensi CO2 derajat beratlah yang
dapat menyebabkan asidosis respiartorik berat, dengan pH sekitar 7,2 dan pasien yang sangat sakit.
Oleh karena itu hipoksemia bukanlah gambaran utama hipoventilasi.
Penyebab hipoventilasi ditunjukkan dalam gambar 2.3 dan table 2.1. selain itu, hipoventilasi
terlihat pada beberapa pasien yang sangat obesitas yang juga mengalami somnolen,polisitemia dan
nafsu makan berlebihan. Ini dinamakan sebagai “sindrom pickwick” diambil dari anak gemuk, Joe,
dalam karya Charles Dickens “Pickwick Papers”.
Apnea tidur dapat dibagi menjadi Pusat, yaitu tanpa upaya pernafasan dan obstruktif, yaitu
tanpa aliran udara meskipun terdapat aktivitas otot pernafasan.
Apnea tidur pusat sering terjadi pada psien dengan hipoventilasi karena gerkan nafas
terdepresi saat tidur. Selama idur REM, pernafasan sering tidak teratur dan tidak responsif terhadap
rangsangan kimia dan vagal, kevuali pada hipoksemia yang biasanya tetap menghasilkan rangsangan
kuat untuk bernafas.
Apnea tidur obstruktif pertama kali dilaporakna pada pasien obesitas, tetapi kini diketahui
bahwa keadaan ini tidak hanya terbatas pada obesitas saja. Obstruksi jalan dapat disebabkan oeh
gerakan lidah ke belakang, kolaps dinding faring, tonsil atau adenoid yang sangat membesar dan
penyempitan faring karena penyebab anatomic lain. Sering terjadi dengkuran keras dan pasien dapat
bangun secara mendadak seteah sebuah episode apnea. Terkadang terjadi gangguan tidur kronis dan
pasien dapat mengalami kantuk pada siang hari, gangguan fungsi kognitiif, kelelahan kronis dan
gangguan kepribadian seperti paranoid, sikap bermusuhan dan depresi agitasi. Pengobatan dengan
tekanan jalan nafas positf kontinu (CPAP) menggunakan masker wajah selama tidur sering kali
efektif.
Gambar 2. Regio anatomi penyebab hipoventilasi
Gangguan Difusi
Ini berarti tidak terjadi keseimbangan antara PO2 dalam darah kapiler paru dan gas alveolar.
Gambar 2.4 menjelaskan kita mengenai waktu perjalanan PO2 sepanjang kapiler paru. Di bawah
keadaan istirahat normal PO2 darah kapiler hampir mencapai kadar PO2 gas alveolar sekitar 1/3
waktu kontak total dari ¾ detik yang tersediadi dalam kapiler. Oleh karena itu terdapat banyak waktu
cadangan. Bahkan ketika waktu kontak mungkin berkurang sampai ¼ detik saat latihan berat,
keseimbangan hampir selalu terjadi.
Namun, pada beberapa penyakit, sawar darah gas meneba dan difusi menjadi sedemikian
lambat sehingga keseimbangan mungkin tidak sempurna. Gambar 2.5 menunjukkan bagian histologik
paru pasien dengan fibrosis interstitial. Pada paru demikian kita memperkkirakan waktu perjalannan
lebih lambat. Setiap hipoksemia yang terjadi saat istirahat akan memberat saat olahraga karena
penurunan waktu kontak antara darah dan gas.
Penyakit dengan hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh gangguan difusi, ketika
berolahraga, meliputi asbestosis, sarkoidosis, fibrosis interstitial difus, termasuk fibrosis paru
idiopatik, dan pneumonia interstitial, penyakit jaringan ikat yang mengenai paru termasuk
scleroderma, paru rheumatoid, lupus eritematosus, granulomatosis Wagener, sindrom Goodpasture,
dan karsinome sel alveolar. Pada semua keadaan tersebut jalur difusi dari gas alveolar ke sel darah
merah mungkin meningkat, paling tidak di beberapa daerah paru dan perjalanan waktu oksigenasi
dapat terpengaruhi.
Dalam keadaan normal unit alveolar kapiler membutuhkan waktu 0.25 detik dari 0.75 detik
waktu yang tersedia di kapiler untuk terjadi difusi. Pada gangguan difusi (gambar 3) terjadi
perlambatan waktu lebih dari 0.75 detik untuk tercapainya keseimbangan tersebut. Pada saat latihan
fisis oksigen diperlukan
lebih banyak untuk metabolisme, curah jantung meningkat dan waktu
pertukaran gas menurun menjadi ¼ total waktu yang dibutuhkan. Hipoksemia karena gangguan difusi
juga dapat disebabkan oleh emboli paru yang luas sehingga waktu untuk oksigenasi di kapiler
berkurang menjadi 1/10 dari normal. Hipoksemia yang disebabkan oleh gangguan difusi dapat
dikoreksi dengan pemberian oksigen 100% tanpa peningkatan PCO2. Nilai PCO2 sedikit dibawah
normal karena ventilasi di stimulasi sangat baik oleh hipoksemia atau reseptor intra pulmoner.
PO2 alv
Waktu kontak
Penebalan sawar darah
alveoli
PO2 vena
Latihan fisis
Gambar 3. Perjalanan waktu oksigen dalam kapiler pulmoner pada saat difusi normal dan abnormal.
Pirau
Tekanan parsial oksigen di arteri seharusnya sama dengan tekanan oksigen di alveoli. Pada
kondisi normal perbedaan PaO2 antara alveoli dengan end-capillary yang merupakan hasil dari difusi
yang tidak lengkap sulit diukur. Pirau disini berarti darah yang memasuki sistem arteri tanpa melewati
area ventilasi di paru. Pada pasien dengan penyakit jantung dapat terjadi tambahan darah vena ke
darah arteri melewati defek antara jantung bagian kiri dan kanan. Total jumlah O2 yang meninggalkan
sistem adalah aliran darah total dikalikan dengan konsentrasi O2 darah arteri. Hasil tersebut sama
dengan jumlah O2 pada pirau darah dan end capillary blood. Gambaran yang penting dari pirau adalah
hipoksemia yang terjadi tidak dapat dihilangkan dengan pemberian O2 100% karena darah yang
terpirau tidak pernah melewati alveoli yang mempunyai PO2 tinggi.
Pirau berarti darah mencapai sistem arteri pulmonalis tanpa melewati regio ventilasi. Pirau
didalam paru dapat disebabkan oleh fistula arteri vena tetapi ini jarang ditemukan. Sebagai contoh
daerah yang memiliki perfusi tetapi tidak terjadi ventilasi sama sekali yaitu pneumonia lobaris. Pirau
yang besar mungkin terjadi pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Pemberian O2 murni
tidak akan menaikkan PaO2.
Ketidaksesuaian Ventilasi Perfusi
Ventilasi adalah proses masuknya O2 dari udara luar ke alveoli dan keluarnya CO2 dari alveoli
ke udara luar. Perfusi adalah distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk dialirkan
ke seluruh tubuh. Pada ventilasi tidak semua udara sampai ke alveoli karena sebagian mengisi saluran
nafas yang ikut dalam pertukaran udara. Daerah yang diisi udara ini disebut ruang rugi (zona
konduksi). Volume udara yang memasuki alveoli pada setiap pernafasan sama dengan volume tidal
dikurangi dengan ruang rugi. Ventilasi alveolar adalah udara yang memasuki alveoli di kali dengan
frekuensi pernafasan tiap menit. Jumlah udara ventilasi alveolar ini merupakan salah satu faktor yang
menentukan konsentrasi O2 dan CO2 dalam alveoli.
Pada orang normal dikatakan ventilasi dan perfusi hampir seimbang, kecuali pada puncak
paru. Dengan menggunakan Xenon terbukti bahwa ventilasi terbesar pada dasar paru dan bertambah
kecil menuju puncak paru. Hal ini disebabkan karena gaya gravitasi bumi. Ketidaksesuaian ventilasi
perfusi adalah suatu keadaan terjadinya ketidaksesuaian antara ventilasi dan aliran darah di paru
sehingga pertukaran gas menjadi tidak efisien. Tekanan oksigen (PO2) dan PCO2 di alveoli ditentukan
oleh hubungan antara ventilasi dan perfusi (rasio V/Q) yang berperan penting dalam pertukaran gas.
Pada keadaan normal ventilasi alveolar 4-6 liter/menit, aliran darah pulmoner setara dengan jumlah
curah jantung berkisar 5 liter sehingga rasio ventilasi perfusi sekitar 0.8-1.2.
Gangguan proses ventilasi ataupun perfusi akan mengubah nilai ini dan artinya akan
mengubah PO2 dan PCO2. Ketidaksesuaian ventilasi perfusi dapat terjadi akibat gangguan ventilasi
perfusi atau keduanya. Keadaan rasio V/Q yang rendah disebabkan oleh penurunan ventilasi akibat
dari struktur yang tidak normal atau gangguan fungsi sistem pernafasan seperti pada penyakit paru
obstruktif atau restriktif serta dapat pula disebabkan oleh perfusi yang berlebihan dari ventilasi yang
normal, seperti pada emboli paru. Rasio V/Q yang tinggi akibat dari ventilasi yang berlebihan atau
perfusi yang rendah dapat dijumpai pada emfisema. Pertambahan usia juga menyebabkan peningkatan
ketidaksesuaian V/Q. Ketidaksesuaian V/Q paling sering menyebabkan hipoksemia terutama pada
pasien perawatan intensif. Perfusi saja yang menurun atau tidak terdapatnya ventilasi menunjukkan
hipoksemia. Ventilasi tanpa perfusi tidak menunjukkan hipoksemia. Pada keadaan yang lebih berat
ventilasi tanpa perfusi dapat menyebabkan retensi CO2.
Penyebab Campuran Hipoksemia
Ini sering terjadi karena kemungkinan terdapat pirau besar melewati paru pasien. Tidak
berventilasi,selain mengalami ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang berat,pasien dengan penyakit
paru interstitial mungkin memiliki sedikit gangguan difusi, tetapi ini pasti disertai ketidak seimbangan
ventilasi perfusi dan mungkin juga pirau.
Penghantaran Oksigen Ke Jaringan
Walaupun PO2 darah arteri sangat penting, faktor lain juga berperan dalam dalam
penghantaran oksigen ke jaringan.Penghantaran oksigen ke jaringan tergantung kapasitas oksigen
darah, curah jantung,dan distribusi aliran darah ke perifer.
PCO2 ARTERI

Pengukuran
-
Elektrode PCO2 pada dasarkan merupakan elektrode pH kaca yang dikelilingi oleh dapar
bikarbonat. CO2 mengubah pH dapar, dan ini diukur oleh elektrode, yang membaca PCO2
secara langsung.

Nilai normal
-

PCO2 arteri normal adalah 37-43 mmHg dan hampir tidak dipengaruhi oleh usia.
Penyebab peningkatan PCO2 arteri
-
Hipoventilasi
-
Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
pH ARTERI

Pengukuran

Pengukuran

pH arteri biasanya diukur denga sebuah elektroda kaca bersamaan PO2 dan PCO2 arteri
melalui persamaan Handerson-Hasselbach :
pH = pK + log (HCO3)/ 0.03 PCO2


Dengan pK= 6.1 dan HCO3- adalah konsentrasi bicarbonat plasma dalam milimol per liter.
Asidosis
-
asidosis berarti penurunan pH arteri. Asidosis dapat disebabkan karena kelainan respiratorik
dan metabolik atau keduanya.
1. asidosis respiratorik
2. asidosis metabolik

Alkalosis
-
alkalosis berarti peningkatan pH arteri. Alkalosis dapat disebabkan karena kelainan
respiratorik dan metabolik atau keduanya.
KAPASITAS DIFUSI

Pengukuran Kapasitas Difusi
-
metode paling popular untuk mengukur kapasitas difusi (DLCO) adalah metode napas
tunggal.

Penyebab penurunan kapasitas difusi
-
Ambilan CO ditentukan oleh sifat difusi sawar darah ga dan kecepatan kombinasi CO dengan
darah
-
Sifat difusi membran alveolar bergantung pada ketebalan dan daearahnya. Kapasitas difusi
berkurang pada penyakit yang ketebalan membrannya bertambah, meliputi: (fibrosis
interstisial difus, sarkoidosis); berkurangnya daerah permukaan sawar darah, misalnya pada
pneumonektomi.
-
Kecepatan kombinasi CO dengan darah berkurang jika jumlah sel darah merah dalam kapiler
berkurang. Hal ini terjadi pada anemia dan juga penyakit yang mengurangi volume darah
kapiler.

Interpretasi Kapasitas Difusi
-
Pada banyak pasien dengan kapasitas difusi terukur rendah, interpretasinya tidak pasti.
Alasannya adalah ketidaksamaan ventilasi, aliran darah, dan sifat difusi disepanjang paru
yang sakit.
-
Kapasitas difusi kadang kala dinyatakan sebagai faktor transfer untuk menekankan bahwa hal
ini lebih merupakan pengukuran kemapuan keseluruhan paru untuk memindahkan gas ke
dalam darah, bukannya uji spesifik untuk sifat difusi.
BAB 3
UJI LAIN
VOLUME PARU STATIK
Pengukuran
Volume residu, kapasitas residu fungsional, dan kapasitas paru total memerlukan pengukuran
tambahan. Kapasitas residu fungsional (KRF) dapat diukur dengan body pletysmograph. Alat ini
merupakan sebuah kotak kedap udara besar yang dapat diduduki oleh pasien. Mouthpiece ditutup, dan
pasien diminta untuk melakukan inspirasi cepat. Ketika pasien menambah volume gas dalam paru,
udara dalam pletismograf dikompresi dan tekanannya meningkat. Dengan mengikuti hukum Boyle,
kita dapat mendapatkan volume paru. Cara lainnya dengan menggunakan teknik dilusi helium, yaitu
menghubungkan spirometer yang diketahui volume dan konsentrasi heliumnya dengan pasien dalam
sirkuit tertutup. Dari derajat dilusi helium, volume paru yang tidak diketahui dapat dihitung. Volume
residu dapat diketahui dari KRF dengan mengurangi volume sisa ekspirasi.
Interpretasi
KRF dan RV biasanya meningkat pada penyakit dengan peningkatan resistensi jalan napas, misalnya,
emfisema, bronkitis kronis, dan asma. RV meningkat pada keadaan tersebut karena penutupan jalan
napas terjadi pada volume paru yang abnormal tinggi.
Penurunan KRF dan RV sering terlihat pada pasien dengan penurunan regangan paru,
contohnya pada fibrosis interstisial difus. Pada keadaan tersebut, paru menjadi kaku dan cenderung
rekoil menjadi volume istirahat yang lebih kecil.
Elastisitas Paru
Kurva tekanan volume paru membutuhkan pengetahuan mengenai tekanan, baik dalam jalan
napas maupun disekitar paru. Perkiraan yang baik untuk tekanan di sekitar didapat dari tekanan
esofageal. Sebuah balon kecil diujung kateter dimasukkan melewati hidung atau mulut, lalu
perbedaan antara tekanan mulut dan esofagus direkam ketika pasien melakukan ekshalasi secara
bertahap 1 liter dari kapasitas paru total (TLC) sampai RV.
Interpretasi
Rekoil elastik berkurang pada pasien dengan emfisema. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa
kurva tekanan volume berpindah ke kiri dan memiliki lereng yang lebih curam pada keadaan ini
akibat kerusakan dinding alveolar dan mengakibatkan kekacauan jaringan elastik. Perubahan
regangan tidak reversibel. Kurva tekanan volume juga secara khas bergeser ke kiri pada pasien asma
selama serangan, tetapi perubahan tersebut reversibel pada beberapa pasien.
Gambar 3.1 Kurva tekanan volume paru. Perhatikan bahwa kurva emfisema dan asma (sewaktu
bronkospasme) bergeser ke atas dan ke kiri, sementara kurva penyakit katup reumatik dan fibrosis
interstisial mendatar. (dari Bates DV, Macklem PT, Christie RV, Respiratory Function in disease, 2nd
ed. Philadelpia ; WB Saunders, 1971)
RESISTENSI JALAN NAPAS
Pengukuran
Resistensi jalan napas didefinisikan sebagai perbedaan tekanan antara alveoli dan mulut
dibagi dengan kecepatan aliran. Tekanan alveolar hanya dapat diukur secara tidak langsung; satu cara
untuk melakukan ini adalah dengan body pletysmograph. Pasien duduk didalam sebuah kotak kedap
udara bernafas pendek melalui flowmeter. Tekanan alveolar dapat diambil dari perubahan tekanan
dalam pletismograf karena ketika gas alveolar dikompresi, volume gas pletismograf agak meningkat,
menyebabkan penurunan tekanan. Metode ini memiliki keuntungan yang dapat mengukur volume
paru secara mudah dan hampir bersamaan.
Interpretasi
Resistensi jalan napas berbanding terbalik dengan volume paru karena pembesaran parenkim
menyebabkan traksi dinding jalan napas. Jadi, setiap pengukuran resistensi jalan napas pasti
berhubungan dengan volume paru.
Resistensi jalan napas bertambah pada bronkitis kronik dan emfisema. Pada bronkitis kronik,
lumen jalan napas berisi sekresi berlebihan dan dindingnya menebal karena hiperplasia kelenjar
mukosa dan edema. Resistensi jalan napas juga meningkat pada pasien dengan asma bronkialis. Hal
ini disebabkan oleh kontraksi otot polos bronkial yang menghasilkan bronkokonstriksi sumbatan
mukus yang menyumbat pada jalan napas dan edema dinding jalan napas. Resistensi tinggi selama
serangan terutama berhubungan dengan volume paru yang sering kali sangat meningkat. Resistensi
dapat dikurangi dengan obat bronkodilator.
PENGENDALIAN VENTILASI
Pengukuran
Respon ventilasi terhadap karbondioksida dapat diteliti dengan tehnik rebreathing. Sebuah
kantong kecil diisi dengan campuran 6-7% CO2 dalam oksigen, dan pasien bernapas darinya selama
beberapa menit. PCO2 dalam kantong meningkat pada kecepatan 4-6 mm Hg/mnt sehingga perubahan
ventilasi per mm Hg peningkatan PCO2 dapat ditentukan dengan mudah. Respon ventilasi terhadap
hipoksia dapat diukur dengan cara yang sama.
Interpretasi
Respon ventilasi terhadap CO2 ditekan oleh tidur, obat narkotik dan faktor genetik, ras dan
kepribadian. Respons tersebut dapat berkurang pada orang yang mengalami hipoksemia sejak lahir,
seperti mereka yang lahir di dataran tinggi atau dengan penyakit jantung kongenital sianotik. Respons
ventilasi hipoksik cenderung dipertahankan selama tidur. Akan tetapi, beberapa pasien dapat
mengalami sindrom apnea tidur.
UJI LATIHAN
Pengukuran
Paru normal memiliki fungsi cadangan yang sangat besar saat istirahat. Contohnya, ambilan
O2 dan keluaran CO2 dapat meningkat 10 kali lipat ketika normal berolahraga, dan peningkatan
tersebut terjadi tanpa penurunan PO2 arteri atau peningkatan PCO2. Oleh karena itu, berguna
mengungkapkan disfungsi minor, pembebanan latihan sering berguna.
Uji latihan yang kurang formal (disebut uji latihan lapangan) juga informatif. Salah satunya
adalah uji jalan 6 menit (6 minute walk test), dengan menyuruh pasien berjalan sejauh mungkin
sepanjang koridor atau lantai lainnya selama 6 menit. Hasilnya dinyatakan dalam meter yang dilalui.
Uji ini memiliki keuntungan karena menyerupai keadaan nyata. Hasilnya sering membaik dengan
berlatih. Uji yang lain, yaitu uji jalan kumparan (shuttle walk test), yaitu pasien berjalan mengitari dua
kerucut yang ditempatkan 10 meter berjauhan. Kecepatan berjalan diatur oleh kaset audio yang
berbunyi ”bip” dan kecepatan berjalan dinaikkan bertahap.
Intrepretasi
Pada kebanyakan kasus, interpretasi uji latihan mirip dengan saat istirahat, kecuali bahwa
latihan memperbesar nilai abnormalitasnya. Contohnya, pasien dengan penyakit paru interstisial yang
memiliki penurunan kapasitas difusi terbatas saat istirahat mungkin tidak menampakkan peningkatan
selama latihan (hasil yang abnormal), dengan PO2, arteri yang sangat turun, peningkatan curah
jantung yang relatif kecil, dan mungkin dispnea yang jelas.
Beberapa peneliti memberikan perhatian khusus pada rasio pertukaran napas (R) ketika
tingkat latihan ditingkatkan.
Dispnea
Bagian ini adalah tempat yang baik untuk secara singkat membahas salah satu gejala penyakit
paru yang paling penting. Dispnea merujuk kepada perasaan sulit bernapas, dan harus dibedakan dari
takipnea (bernapas cepat) sederhana atau hiperpnea (peningkatan ventilasi). Dispnea adalah satu
fenomena yang subjektif sehingga sulit diukur, dan faktor penyebabnya tidak dipahami betul. Secara
garis besar, dispnea terjadi ketika kebutuhan ventilasi melebihi proporsi kemampuan berespons sang
pasien terhadap kebutuhan tersebut. Akibatnya, bernapas menjadi sulit, tidak nyaman, atau berat.
Peningkatan kebutuhan ventilasi sering disebabkan oleh perubahan gas darah dan pH.
Ventilasi tinggi saat latihan sering terlihat pada pasien dengan pertukaran gas paru yang tidak efisien,
terutama yang memilki ruang mati fisiologis yang besar, yang cenderung mengalami retensi CO 2 dan
asidosis, kecuali jika memperoleh ventilasi tinggi.
Penurunan kemampuan untuk berespons terhadap kebutuhan ventilasi umumnya disebabkan
oleh mekanisme abnormal paru atau dinding dada. Peningkatan resistensi jalan napas sering menjadi
masalahnya, seperti pada asma. Penyebab lain dapat meliputi dinding dada yang kaku, seperti pada
kifoskoliosis.
PERBEDAAN TOPOGRAFIK FUNGSI PARU
Pengukuran
Distribusi regional aliran darah dan ventilasi dalam paru dapat diukur dengan bahan
radioaktif. Sebuah metode umum untuk mendeteksi daerah yang tidak punya aliran darah adalah
dengan menyuntikkan agregat albumin berlabel radioaktif teknetium. Kemudian dibuat pencitraan
radioaktifitas dengan kamera gamma, akan tampak daerah “dingin” yang tidak berisi aktifitas.
Penerapan utama metode ini dalam praktik adalah untuk diagnosis emboli paru.
Distribusi aliran darah juga dapat diketahui dari penyuntikan intravena radioaktif xenon atau
gas radioaktif lain yang diencerkan dalam salin. Ketika gas mencapai kapiler baru, gas tersebut
berkembang dalam gas alveolar, dan radiasinya dapat dideteksi oleh kamera gamma. Kelebihan
metode ini adalah menunjukkan aliran darah per unit volume paru.
Distribusi ventilasi dapat diukur dengan cara serupa, kecuali bahwa gas diinhalasi ke dalam
alveoli dari spirometer. Baik inspirasi tunggal maupun napas serial dapat direkam.
Interpretasi
Distribusi aliran darah pada paru ketika tegak tidak sama, jauh lebih banyak di basal daripada
di apeks. Perbedaan tersebut disebabkan oleh gravitasi dan dapat dijelaskan melalui hubungan antara
tekanan arteri, vena dan alveolar paru. Latihan menghasilkan distribusi yang lebih merata karena
peningkatan tekanan arteri paru, dan hasil yang sama ditemukan pada keadaan penyakit, seperti
hipertensi pulmonal dan pirai jantung kiri ke kanan. Penyakit paru terlokalisasi, contohnya kista, atau
daerah fibrosis, sering menurunkan aliran darah regional.
Perbedaan struktur dan fungsi daerah lain juga terjadi. Distorsi pada paru tegak yang
disebabkan oleh gravitasi menyebabkan alveoli di apeks lebih besar daripada di basal. Alveoli yang
lebih besar ini juga berkaitan dengan stres mekanik lebih besar yang mungkin berperan dalam
perkembangan beberapa penyakit, seperti emfisema sentraasinar dan pneumotoraks spontan.
BAB IV
PENYAKIT OBSTRUKTIF
OBSTRUKSI JALAN NAPAS
Peningkatan resistensi aliran udara disebabkan oleh kelainan di dalam lumen, di dalam dinding
saluran napas, dan dalam daerah peribronkial. Peningkatan tersebut dapat disebabkan:
1. Lumen dapat tersumbat sebagian oleh sekresi yang banyak seperti pada bronkitis kronik.
Obstruksi parsial dapat terjadi akut pada edema paru atau aspirasi benda asing atau sekret
postoperasi. Benda asing yang terhirup dapat menyebabkan obstruksi parsial atau lengkap.
2. Penyebab obstruksi pada dinding saluran napas yaitu kontraksi otot polos bronkus, seperti
pada asma, hipertrofi kelenjar mukus seperti pada bronkitis kronik dan peradangan serta
edema dinding, seperti pada bronkitis dan asma.
3. Penyebab sumbatan dari saluran napas termasuk kerusakan parenkim dapat mengakibatkan
kehilangan tarikan radial dan penyempitan saluran napas seperti pada emfisema. Bronkus
juga dapat terkompresi lokal yang disebabkan oleh pembesaran kelenjar getah bening atau
neoplasma. Penyempitan juga dapat disebabkan oleh edema peribronkial.
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah terminologi yang sering diberikan pada pasien dengan
emfisema, bronkitis kronik atau gabungan keduanya. Pasien yang mengeluhkan napas terasa pendek
selama bertahun-tahun ternyata mengalami batuk kronik, toleransi olahraga yang buruk, tanda
obstruksi saluran napas, paru hiperinflasi dan gangguan pertukaran gas.
Emfisema
Emfisema adalah definisi anatomi, berupa pembesaran rongga udara distal dari bronkiolus terminal,
dengan kerusakan pada dindingnya.
Patologi
Gambaran histologi yang khas dapat terlihat pada gambar 4-2B. Paru emfisema kehilangan dinding
alveolus dengan kerusakan pada capillary bed. Parenkim yang mengandung pembuluh darah dapat
terlihat sepanjang rongga udara yang terdilatasi. Saluran napas kecil (lebar < 2 mm) menyempit dan
berkurang jumlahnya. Dinding saluran napas juga menjadi atrofi dan menipis serta terjadi lehilangan
pada saluran napas yang lebih besar.
Gambar 4-1. Mekanisme Obstruksi Saluran Napas. A. Lumen tertutup sebagian, misalnya karena
sekret berlebih. B. Penebalan dinding saluran napas, misalnya karena edema atau hipertrofi otot polos.
C. Abnormalitas di luar saluran napas, pada gambar ini tampak parenkim paru rusak sebagian dan
saluran napas menyempit karena kehilangan tarikan radial.
Gambar 4-2. Gambaran Mikroskopik Paru Emfisema.
A. Paru normal. B. Kerusakan dinding alveolus dan pembesaran rongga udara
Gambar 4-3. Gambaran Potongan Paru Normal dan Emfisema. A. Normal. B. Emfisema
panasinar
Tipe
Pada emfisema sentriasinar, kerusakan terbatas pada bagian tegah lobules dan duktus perifier serta
alveolus dapat tidak mengalami gangguan (Gambar 4-4)
Gambar 4-4. Emfisema Sentriasinar dan Panasinar. Pada emfisema sentriasinar, kerusakan
terbatas pada bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius (TB dan RB). Pada emfisema
panasinar, alveolus perifer (A) juga mengalami gangguan
Emfisema panasinar menampakkan peregangan dan kerusakan seluruh lobules. Kadang-kadang
kerusakan paling terlihat pada paru di bagian yang dekat dengan septum interlobular (emfisema
paraseptal). Dapat juga terbentuk area kisik besar atau bullae (emfisema bullosa).
Emfisema sentriasinar umumnya terdapat pada apeks lobus atas namun menyebar ke area yang lebih
bawah sejalan dengan perjalanan penyakitnya (Gambar 4-5A). Predileksi pada apeks menunjukkan
beban mekanis yang lebih besar, yang merupakan predisposisi kegagalan struktural dinding alveolus.
Emfisema panasinar tidak memiliki preferensi lokasi namun lebih sering terjadi pada lobus bawah.
Pada emfisema berat, sulit untuk membedakan keduanya, bahkan dapat terjadi keduanya dalam satu
paru. Bentuk sentriasinar lebih sering terjadi dan bentuk ringan umumnya tidak menyebabkan
gangguan.
Salah satu bentuk emfisema lain berhubungan dengan defisiensi α1-antitripsin, yaitu emfisema
panasinar berat pada pasien homozigot gen Z. Bentuk ini umumnya dimulai di lobus bawah, onset
pada usian 40 tahun dan sering tanpa didahului riwayat batuk atau merokok. Bentuk lain emfisema
yaitu emfisema unilateral (sindrom MacLeod’s atau Swyer-James) yang dapat menyebabkan
gambaran foto toraks hiperlusen unilateral.
Patogenesis
Hipotesis patogenesis emfisema yaitu hipersekresi enzim elastase lisosomal yang dilepaskan oleh
neutrofil paru. Jumlah enzim yang banyak menyebabkan kerusakan elastin, suatu protein struktural
yang penting pada paru. Elastase neutrofil juga memecah kolagen tipe IV yang penting untuk
mempertahankan kekuatan sisi tipis kapiler paru dan integritas dinding alveolus.
Faktor penyebab yang terpenting adalah merokok, yang dapat merangsang makrofag untuk
melepaskan zat penarik neutrofil seperti C5a atau dengan menurunkan aktivitas inhibitor elastase.
Merokok juga akan mengaktifkan leukosit-leukosit yang berada di dalam paru.
Pada defisiensi α1-antitripsin, terjadi kekurangan antiprotease yang harusnya menginhibisi elastase.
Polusi udara, faktor genetik juga berperan.
Gambar 4-5. Distribusi Topografik Emfisema. A. Gambaran zona atas pada emfisema sentriasinar.
B. Gambaran zona bawah pada emfisema yang disebabkan oleh defisiensi α1-antitripsin.
Bronkitis Kronik
Penyakit ini ditandai dengan produksi mukus yang berlebihan pada cabang bronkial yang cukup
banyak sampai dapat diekspektorasikan. Bronkitis kronik adalah suatu definisi klinis. Kriteria
ekspektorasi berat yang dipakai adalah batuk berdahak terus menerus pada 3 bulan pertahun
sedikitnya terjadi dalam 2 tahun.
Patologi
Patologi bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa pada bronkus (Gambar 4-6) dan
perubahan inflamasi kronik pada saluran napas kecil. Pembesaran kelenjar mukosa dinilai dengan
“Indeks Reid” yaitu rasio kelenjar-dinding. Rasio ini dapat melebihi 0,7 (normal < 0,4) pada bronkitis
kronik berat. Selain itu dapat ditemukan juga mukus dalam jumlah banyak dan sumbatan mukus.
Saluran napas menyempit dan menampakkan perubahan peradangan, termasuk infiltrasi dan edema
dinding saluran napas. Terdapat juga jaringan granulasi, fibrosis peribronkial, dan peningkatan otot
polos bronkus.
Gambar 4-6. Perubahan Histologik pada Bronkitis Kronik. A. Dinding bronkus normal. B.
Dinding bronkus pasien dengan bronkitis kronik.
Gambar 4-7. Struktur dinding bronkus normal. Pada bronkitis kronik ketebalan kelenjar mukosa
meningkat dan dapat dinilai dengan Indeks Reid dengan (b-c)/(a-d).
Patogenesis
Pajanan rokok menyebabkan inflamasi kronik. Faktor penting lainnya adalah polusi udara.
Gambaran Klinis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Pada PPOK, terdapat dua gambaran klinis, yaitu tipe A dan tipe B.
Tipe A
Tipe ini umumnya ditemukan pada pasien berusia pertengahan 50 tahun dengan sesak napas yang
semakin memberat sejak 3-4 tahun terakhir. Dapat ditemukan juga batuk dengan dahak putih. Dari
pemeriksaan fisis pasien tampak astenikus dengan tanda penurunan berat badan. Sianosis tidak ada.
Paru sangat mengembang dengan suara napas melemah tanpa bunyi napas tambahan. Foto toraks
menampakkan hiperinflasi dengan difragma mendatar, mediastinum sempit dan peningkatan
translusensi retrosternal. Dapat ditemukan pula penyempitan pembuluh darah paru perifer. Pada CTscan dapat dtemukan lubang-lubang yang tersebar di seluruh paru. Pasien ini dikelompokkan sebagai
“pink puffers.”
Gambar 4-8. Gambaran radiologi pada paru normal dan pada emfisema. A. Normal. B. Pola
hiperinflasi dengan diafragma rendah, mediastinum sempit, dan peningkatan translusensi yang umum
ditemukan pada emfisema. Emfisema tampak jelas pada regio bawah pada paru.
Tipe B
Gambaran klinis yang umum pada tipe ini yaitu laki-laki usia 50 tahun dengan riwayat batuk berdahak
kronik selama bertahun-tahun dan pengeluaran dahak yang semakin parah. Sering terjadi eksaserbasi
akut dengan sputum purulen. Sesak napas terasa memberat dengan perburukan toleransi olahraga.
Pasien juga mempunyai riwayat merokok selama bertahun-tahun. Lama merokok dapat dinilai dengan
mengalikan jumlah rokok perhari dengan tahun merokok.
Pada pemeriksaan, pasien tampak gemuk dengan sianosis. Dari pemeriksaan auskultasi dapat
terdengar rales dan ronki. Dapat ditemukan pula tanda retensi cairan dengan peningkatan tekanan
vena jugularis dan edema tungkai. Foto toraks dapat memperlihatkan pembesaran jantung, kongesti
lapangan paru dan peningkatan corakan akibat infeksi lama. Dapat terlihat pula garis paralel (tram
lines) yang disebabkan oleh penebalan dinding bronkus yang mengalami inflamasi. Pada autopsi
perubahan inflamasi kronik pada bronkus merupakan tanda pasien mengalami bronkitis berat, namun
dapat juga mengalami emfisema berat. Pasien ini sering dinamakan “blue bloaters”.
Gambar 4-9. A. Gambaran paru normal dengan menggunakan teknik digital. B. Potongan aksial paru
pada pasien emfisema. Lubang-lubang dapat terlihat menyebar di seluruh paru.
Tabel 1. Gambaran tipe A dan tipe B pada PPOK
Tipe A – ‘Pink Puffer’
Tipe B – ‘Blue Bloaters’
Sesak napas bertahun-tahun yang semakin sesak bertamah dalam beberapa tahun
memberat
Sedikit atau tanpa batuk
Batuk berdahak dan sering
Ekspansi dada berlebihan yang jelas terlihat
Penambahan volume dada yang sedang atau tidak
bertambah
Tidak ada sianosis
Seringkali ada sianosis
Suara napas bersih
Mungkin ada rales, ronki
Tekanan vena jugularis normal
Mungkin ada peningkatan tekanan vena jugularis
Tidak ada edema perifer
PO2 arteri hanya berkurang sedikit
PCO2 arteri normal
Mungkin ada edema perifer
PCO2 biasanya sangat rendah
PCO2 seringkali meningkat
Hipoksemia yang lebih berat dan dampak insiden kor pulmonale yang lebih tinggi pada pasien tipe B
disebabkan oleh dorongan ventilasi yang berkurang, terutama saat tidur.
Fungsi Paru
Kapasitas dan Mekanisme Ventilasi
Pada PPOK, Volume Ekspirasi Paksa 1 detik pertama (VEP1), Kapasitas Vital Paksa (KVP), VEP
sebagai persentase KVP (VEP/KVP%), aliran ekspirasi paksa (APE25-75) dan aliranekspirasi
maksimum pada 50% dan 75% kapasitas vital ekshalasi (Vmax50% dan Vmax75%) semuanya menurun.
Semua pengukuran ini menunjukkan obstruksi saluran napas, baik karena mukus berlebihan maupun
penebalan dinding karena inflamasi atau hilangnya traksi radial. KVP berkurang karena saluran napas
terlalu cepat menutup pada volume paru yang abnormal tinggi sehingga terjadi peningkatan volume
residu (VR).
Pemeriksaan spirometri menunjukkan kecepatan aliran pada ekspirasi paksa sangat menurun dan
waktu ekspirasi sangat meningkat. Kadang, manuver terhenti karena sesak napas saat pasien masih
ekspirasi. VEP1 menurun hingga kurang dari 0,8 liter pada penyakit berat. Pada beberapa pasien,
persentase VEP1, KVP dan VEP/KVP dapat meningkat secara signifikan setelah pemberikan
bronkodilator aerosol.
Kapasitas paru total (KPT), kapasitas residu fungsional (KRF) dan volume residu (VR) semua
meningkat pada emfisema. Volume paru statik ini juga sering abnormal pada bronkitis kronik. Rekoil
elastik paru menurun pada emfisema. Tekanan transpulmonal pada KPTrendah. Pada bronkitis kronik
tanpa komplikasi dan tanpa emfisema, kurva tekanan-volumenya mungkin nornalkarena parenkim
hanya sedikit terkena.
Resistensi saluran napas meningkat pada PPOK, yang disebabkan oleh penyempitan intrinsik atau
debris dalam lumen atau hilangnya rekoil elastik dan traksi radial.
Gambar 4-10 menunjukkan penurunan kapasitas ventilasi hampir seluruhnya berasal dari efek tekanan
rekoil elastik yang lebih kecil dalam paru sehingga terjadi penurunkan tekanan pendorong efektif
selama ekspirasi paksa dan saluran napas lebih mudah kolaps karena hilangnya traksi radial.
Pergeseran kecil garis emfisema kena anan mencerminkan distorsi saluran napas. Garis pada asma
menunjukkan bahwa konduktans saluran napas sangat menurun pada tekanan rekoil tertentu.
Resistensi yang lebih tinggi pada pasien ini disebabkan penyempitan intrinsik saluran napas oleh
kontraksi otot polos dan perubahan inflamasi saluran napas.
Gambar 4-10. Hubungan konduktansi dan tekanan rekoil elakstik pada pasien PPOK.
Pertukaran Gas
Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi pada PPOK menyebabkan hipoksemia dengan atau tanpa retensi
CO2. Pasien tipe B lebih sering mengalami hipoksemia berat.
Gambar 4-11. Distribusi rasio ventilasi perfusi pada pasien PPOK tipe A
Gambar 4-11 menunjukkan distribusi rasio ventilasi perfusi pada pasien PPOK. Distribusi
menunjukkan sejumlah besar ventilasi masuk ke unit-unit paru dengan rasio ventilasi-perfusi (VA/Q)
yang tinggi. Derajat hipoksema relatif ringan dan pirau fisiologis hanya sedikit meningkat.
Gambar 4-12. Distribusi rasio ventilasi-perfusi pada pasien PPOK tipe B.
Berbeda dengan gambar 4-12, gambar ini menunjukkan sejumlah besar aliran darah ke unit dengan
VA/Q rendah (pirau fisiologis) yang menyebabkan hipoksemia erat. Tidak ada aliran darah ke alveolus
tanpa ventilasi (pirau murni).
Pasien dengan retensi CO2 sering menunjukkan nilai PCO2 yang lebih tinggi saat latihan karena
keterbatasan respons ventilasinya.
Faktor lain yang menurunkan besarnya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi adalah vasokonstriksi
hipoksik.
PCO2 arteri sering normal pada pasien dengan PPOK ringan sampai sedang walaupun ada
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Setiap peningkatan PCO2 arteri akan merangsang kemoreseptor
sehingga meingkatkan ventilasi ke alveolus.
Pada keadaan peningkatan PCO2, pH cenderung turun dan terjadi asidosis respiratorik.
Sirkulasi Pulmonal
Tekanan arteri pulmonal seringkali meningkat pada penderita PPOK seiring memburuknya penyakit.
Pada emfisemia terjadi kerusakan anyaman kapiler sehingga resistensi vaskular akan meningkat.
Vasokonstriksi hipoksik juga meningkatkan tekanan arteri pulmonal. Asidosis dapat memperberat
vasokonstriksi hipoksik. Retensi cairan dengan edema dependen dan pembengkakan vena leher dapat
terjadi, terutama pada tipe B. Dapat terjadi pula kor pulmonale.
Pengendalian Ventilasi
Ventilasi ke dalam alveolus sering tidak meningkat, hal ini disebabkan peningkatan kerja napas akibat
resistensi saluran napas yang tinggi sehingga kebutuhkan oksigen pernapasan mungkin saat besar.
Pasien dengan konsumsi oksigen yang sangat terbatas mungkin ingin melepaskan PCO2 arteri untuk
mendapatkan pengurangan kerja pernapasan dan penurunan kebutuhan oksigen. Peningkatan respons
ventilasi terhadap CO2 yang diinhalasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara
orang normal yang disebabkan oleh faktor genetik.
Gambar 4-13. Ambilan oksigen selama hiperventilasi voluntar pada pasien PPOK.
Perubahan pada Awal Penyakit
Deteksi dini dapat bermanfaat untuk mengenali pasien dan dinasehati untuk berhenti merokok.
Perubahan pada PPOK paling awal dapat terjadi pada saluran napas kecil. Uji napas yang sedang
dikaji yaitu VEP1, APE25-75%, Vmax50% dan Vmax75% dan volume penutup.
Penatalaksanaan Penderita PPOK
Penatalaksanaan utama meliputi penghentian merokok, penghindaran terhadap polusi kerja dan
atmosfer. Bronkitis kronik diterapi dengan antibiotik dan bronkodilator jika ada unsur reversibel.
Operasi Reduksi Volume Paru
Pembedahan untuk mengurangi volume paru yang mengembang berlebihan dapat berguna pada kasus
tertentu. Pengurangan volume dapat mningkatkan traksi radial pada saluran napas dan membantu
membatasi kompresi dinamik. Kriteria operasi umumnya VEP1 kurang dari seperti yang diharapkan,
heterogenitas emfisema, VR, KRF dan KPT.
ASMA
Asma ditandai dengan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai stimulus dan ditandai
dengan peradangan dan penyempitan saluran napas luas yang berubah beratnya, baik secara spontan
maupun akibat pengobatan.
Patologi
Saat serangan asma, terjadi kontraksi otot polos yang hipertrofi sehingga menyebabkan
bronkokonstriksi. Terjadi pula hipertrofi kelenjar mukus, edema dinding bronkus dan infiltrasi
berlebihan dari eosinofil dan limfosit. Jumlah mukus bertambah secara abnormal, menjadi kental,
kenyal dan bergerak lambat. Banyak saluran napas yang dapat tersumbat oleh mukus dan sebagian
dapat dibatukkan dalam sputum. Sputum pada asma khas yaitu putih dan sedikit. Terjadi proses
remodeling dengan fibrosis subepitel.
Gambar 4-14. Dinding bronkial pada asma. Tampak otot polos hipertrofi yang berkontraksi,
edema, hipertrofi kelenjar mukosa dan sekresi dalam lumen.
Patogenesis
Dua gambaran lazim pada semua penderita asma adalah hiperesponsitas saluran napas dan inflamasi
saluran napas. Terjadi pula edema saluran napas, hipersekresi mukus dan infiltrasi sel inflamasi.
Asma dimulai sejak masa kanak-kanak pada sebagian besar kasus dan diastesis alergi berperan
penting. Faktor lingkungan pun tampaknya penting dan bertanggung jawab pada peningkatan
prevalensi dan keparahan asma pada tahun-tahun terakhir. Salah satu hipotesis yang sedang
berkembang adalah ‘hipotesis higiene’ yang menyatakan bahwa anak pada stadium kritis
perkembangan respons imun mungkin sering mengalami diatesis alergi dan asma. Pada beberapa
kasus pemicu dapat dikenal baik seperti antigen pada penderita asma alergika. Namun pada asma
yang diinduksi latihan atau asma setelah infeksi viral saluran napas, pemicu tidak dikenal. Polusi
atmosferik terutama partikel submikronik dalam asap knalpot mungkin berperan.
Eosinofil, sel mast, neutrofil, makrofag dan basofil semua berperan pada asma. Terdapat bukti bahwa
sel noninflamasi termasuk sel epitel saluran napas dan sel neural dari saraf peptidergik berperan pada
inflamasi asma. Limfosit terutama sel T ikut terlibat, karena sel T berespons terhadap antigen spesifik
dan sebagai modulator sel inflamasi.
Gambar 4-15. Perubahan patogenik pada asma alergi
Sitokin pun diduga berperan pada asma, khususnya Th-2, pengaktifan sel T helper. Sitokin ini
meliputi IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13. Sitokin berperan membantu inflamasi dan fungsi sel imun serta
menyokong respons inflamasi saluran napas.Metabolit asam arakidonat seperti leukotrien dan
prostaglandin, faktor pengatif-trombosit (PAF), neuropeptida, jenis oksigen reaktif, kinin, histamin
dan adenosin pun berperan, terutama pada bronkokonstriksi akut. Genetik juga berperan pada asma.
Asma adalah gangguan genetik kompleks dengan komponen lingkungan dan genetik. Komponen
genetik tersebut berupa gen poligenik dan terdapat hubungan asma dengan berbagai lokus kromosom
melalui analisis linkage.
Gambaran Klinis
Asma dapat terjadi pada usia berapapun namun lebih umum dimulai pada masa kanak-kanak.
Terdapat riwayat atopi termasuk rinitis alergi, eksema, atau urtikaria dan terdapat allergen spesifik
seperti rumput-rumputan atau kucing. Pasien seperti demikian (asma alergika) mengalami
peningkatan IgE serum total, peningkatan IgE spesifik dan eosinfilia darah tepi. Jika tidak ada riwayat
alergi atau alergen eksternal, dinamakan asma nonalergika.
Hipereaktivitas dapat diuji dengan memajankan pasien dengan inhalasi metakolin atau histamin yang
semakin ditambah konsentrasinya dan mengukur FEV1 (atau resistensi saluran napas). Konsentrasi
yang menghasilan penurunkan FEV1 sebesar 20% dikenal sebagai PC20 (konsentrasi provokatif 20).
Serangan dapat terjadi setelah olahraga, hawa dingin, konsumsi aspirin dan faktor psikologis. Selama
serangan pasien dapat mengalami sesak napas, ortopnea dan ansietas berat. Terjadi aktivasi otot bantu
napas. Paru mengalami hiperinflasi, dan dapat terdengar ronki nyaring di semua lapang paru. Nadi
menjadi cepat dan dapat ditemukan pulsus paradoksikus. Sputum sedikit dan kental. Foto toraks
tampak hiperinflasi, namun lain-lain normal.
Status asmatikus menunjukkan serangan yang terus-menerus selama berjam-jam atau berhari-hari
tanpa remisi walaupun dengan bronkodilator. Sering tampak tanda kelelahan, dehidrasi, takikardia.
Suara napas dapat tidak terdengar dan napa membahayakan.
Obat Bronkoaktif
Obat yang dapat menghilangkan atau mencegah bronkokonstriksi berperan penting dalam tata laksana
asma. Obat ini juga bermanfaat pada penderita bronkitis kronik dengan obstruksi saluran napas yang
reversibel.
Agonis β-Adrenergik
Reseptor β-Adrenergik terbagi menjadi dua tipe. Tipe yang berperan pada asma adalah β2. Stimulasi
pada reseptor β2 merelaksasi otot polos bronkus, pembuluh darah dan uterus. Obat ini termasuk
metaproterenol, albuterol terbutalin dan pirbuterol dengan masa kerja sedang. Agen kerja lama seperti
formoterol dan salmeterol juga tersedia Semua obat ini berikatan dengan reseptor β2 pada paru dan
langsung merelaksasi otot polos saluran napas dengan meningkatkan aktivitas adenil siklase sehingga
meningkatkan cAMP intraselular. Obat ini juga berperan dalam edema saluran napas dan inflamasi
saluran napas. Efek anti inlflamasi dengan inhibisi langsung fungsi sel inflamasi.
Obat ini diberikan secara aerosol, dengan inhaler dosis terukur atau nebulizer.
Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja dengan menghambat respons inflamasi dan menambah ekspresi atau fungsi
reseptor β.. Pasien dengan gejala minimal tidak memerlukan kortikosteroid. Kortikosteroid inhalasi
(ICS) dapat menghasilkan absorsi sistemik yang minimal tanpa efek samping serius.
Antileukotrien
Obat oral ini memberikan perbaikan jangka panjang yang cukup baik pada spirometri, responsivitas
saluran napas, dan kualitas hidup.Namun hanya 50% yang memberi respons yang menguntungkan.
Obat ini efektif pada asma yang sensitive terhadap aspirin dengan leukotrien.
Metylxanthine
Mekanisme obat ini belum diketahui pasti. Obat ini memiliki sifat anti inflamasi sedang dan
merupakan bronkodilator. Aminofilin kadang diberikan secara intravena pada serangan asmaberat
walaupun kegunaannya masih dipertanyakan.
Antikolinergik
Terdapat bukti keterlibatan peran sistem saraf parasimpatis dalam asma. Antikolinergik hanya
memilliki efek bronkodilator sedang dan hanya pada sebagian besar penderita asma. Ipratropium
bromide adalah satu-satunya obat yang tersedia dan harus diberikan secara aerosol.
Cromolin dan Nedocromil
Obat ini diperkirakan bekerja dengan menyekat inflamasi saluran napas.
Terapi Baru
Antibodi terhadap IgE sedang dikembangkan dan tampaknya cukup menguntungkan. Antagonis
sitokin, antibodi sitokin, inhibitor 4 fosfodiesterasi dan inhibitor fosfolipase juga sedang
dikembangkan.
Fungsi Paru
Kapasitas dan Mekanisme Ventilasi
Selama serangan asma, semua nilai kecepatan aliran ekspirasi menurun secara signifikan, termasuk
VEP1, VEP/KVP%, APE25-75, Vmax50%, dan Vmax75%. KVP juga umumnya menurun karena saluran
napas menutup lebih cepat dibanding saat akhir ekspirasi penuh. Respons nilai ini terhadap obat
bronkodilator sangat penting pada asma. Respons ini dapat diuji dengan pemberikan albuterol 0,5%
secara aerosol selama 2 menit. Semua nilai akan meningkat ketika bronkodilator diberikan pada
pasien selama serangan dan dapat digunkaan untuk menilai responsivitas saluran napas. Besar
peningkatan bervariasi sesuai keparahan penyakit. Pada satus asmatikus, mungkin hanya terlihat
sedikit perubahan karena bronkus telah menjadi tidak reaktif.
Gambar 4-16. Gambaran ekspirasi paksa sebelum dan setelah terapi bronkodilator pada pasien
dengan asma bronkial. Pada grafik ini terlihat peningkatan kecepatan aliran dan kapasitas vital.
Selama serangan asma, VEP1 dan KVP cenderung meningkat oleh fraksi yang sama, presentasi
VEP/KVP tetap rendah dan hampir konstan. Namun ketika tonus otot saluran napas mendekati
normal, VEP1 berespons lebih daripada KVP dan presentase VEP/KVP mendekati nilai normal
sebesar kira-kira 75%.
Kurva aliran-volume pada asma akan menunjukkan pola obstruktif yang khas. Setelah terapi
bronkodilator, aliran lebih tinggi pada seluruh volume paru dan seluruh kurva dapat bergeser ketika
TLC dan RV berkurang. Pada serangan asma dapat terjadi peningkatan nilai FRC dan TLC.
Peningkatan VR disebabkan oleh penutupan saluran napas prematur selama ekspirasi penuh akibat
peningkatan tonus otot polos, edema dan inflamasi dinding saluran naas serta sekresi yang abnormal.
Terdapat pula kehilangan rekoil elastik dan kurva tekanan-volume bergeser ke atas dan ke kiri. Hal ini
cenderung normal setelah pemberian bronkodilator. Peningkatan veolume paru akan menurunkan
resistensi saluran napas dengan meningkatkan traksi radial. Resistensi saluran napas yang terukur dari
pletismograf tubuh meningkat dan menurun setelah pemberian bronkodilator.
Pertukaran Gas
Hipoksemia arterial sering terjadi pada asma dan disebabkan oleh ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(VA/Q). Ruang mati fisiologis dan pirau fisiologis juga umumnya abnormal tinggi. Pada gambar 4-17
berikut menunjukkan distribusi bimodal dengan aliran darah total yang cukup besar (sekitar 25%)
masuk ke unit dengan VA/Q rendah (sekitar 0,1). Hal ini menyebabkan hipoksemia ringan, PO 2 arteri
81 mmHg.
Gambar 4-17. Distribusi rasio ventilasi-perfusi pada pasien dengan asma.
Ketika diberikan bronkodilator isoproterenol aerosol terjadi peningkatan VEP25-75% dari 3,4
menjadi 4,2 liter/detik dan ada perbaikan pada bronkospasmenya. Perubahan tersebut tampak pada
gambar 4-18.
Gambar 4-18. Pasien yang sama setelah pemberian bronkodilator. Dapat terlihat peningkatan
aliran darah ke unit dengan rasio ventilasi-perfusi rendah dengan penurunan PO2 arteri.
Banyak bronkodilator termasuk isoproterenol, aminophylline dan terbutalin menurunkan PO2 arteri
pada penderita asma. Hipoksemia terjadi karena berkurangnya vasokonstriksi pada daerah berventilasi
buruk dan disebabkan oleh pelepasan mediator. Penurunan PO2 diikuti peningkatan pirau dan ruang
mati fisiologis.
PCO2 arteri pada penderita asma umumnya normal atau rendah. PCO2 dihambat peningkatannya
dengan meningkatkan ventilasi ke alveolus pada ketidakseimbangan vetilasi-perfusi. Pada status
asmatikus, PO2 arteri mungkin mulai meningkat dan pH mulai turun dan merupakan perkembangan
membahayakan yang menunjukkan ancaman gagal napas dan memerlukan terapi cepat dan intensif.
Kematian akibat asma meningkat pada tahun-tahun terakhir yang disebabkan oleh gagal napas.
Penyebab lain mungkin penggunakan obat adrenergik β melalui inhaler yang berlebihan. Kapasitas
difusi karbon monoksida khasnya normal atau tinggi pada asma tanpa komplikasi.
OBSTRUKSI JALAN NAPAS LOKAL
Obstruksi lokal jarang dan umumnya lebih sedikit menyebabkan gangguan fungsional. Obstruksi
dapat terjadi di dalam lumen saluran napas, di dalam dinding atau akibat kompresi dari luar dinding.
Obstruksi Trakea
Obstruksi trakea dapat disebabkan oleh inhalasi benda asing, stensis setelah penggunaan selang
trakeostomi jangka panjang atau kompresi massa seperti pembesaran tiroid. Pada obstruksi trakea
dapat terjadi stridor inspirasi dan ekspirasi kurva aliran-volume inspirasi dan ekspirasi yang abnormal.
Hipoventilasi mungkin dapat terjadi pada hiperkapnia dan hipoksemia
Obstruksi Bronkial
Obstruksi bronkial sering disebabkan oleh benda asing, contohnya kacang yang terhirup. Paru kanan
lebih sering terkena daripada paru kiri karena bronkus utama kiri memiliki sudut dengan trakea yang
lebih tajam daripada bronkus utama kanan. Penyebab lain yang sering adalah tumor bronkial, baik
ganas atau jinak, dan kompresi bronkus oleh kelenjar getah bening yang membesar (khususnya
mengenai bronkus lobus tengah kanan karena hubungan anatominya).
Jika terjadi obstruksi total, terjadi ateletaksis absorbsi karena jumlah tekanan parsial dalam
darah vena campuran lebih sedikit daripada di dalam gas alveolar. Lobus yang kolaps sering terlihat
pada radiograf, dan kompensas indlasi berlebih pada paru di dekatnya sesrta pergeseran fisura jua
dapat terlihat. Perfusi pada paru yang tidak berventilasi akan berkurang karena vasokonstriksi hipoksi
dan juga peningkatan resistensi vaskular yang disebabkan oleh efek mekanik penurunan volume pada
pembuluh darah ekstra-alveolar dan kapiler.Namun, aliran darah residu berperan dalam hipoksemia.
Uji yang paling sensitif adalah perbedaan PO2 alveolar-arterial, dengan pernapasan oksigen 100%.
Obstruksi lokal dapat pula menyebabkan infeksi dan abses paru. Jika obstruksi terjadi pada bronkus
segmental atau yang lebih kecil, ateletaksis mungkin tidak terjadi karena ada ventilasi kolateral.
BAB 5
PENYAKIT-PENYAKIT RESTRIKTIF
Penyakit restriksi adalah gangguan pengembangan paru yang disebabkan karena retriksi
perubahan dalam jaringan paru atau karena penyakit pleura, dinding thorak atau neuromuskuler.
Penyakit restriksi ditandai dengan penurunan kapasitas vital dan volume paru sisa yang kecil, tetapi
tekanan jalan nafas (berhubungan dengan volume paru) tidak meningkat. Penyakit restriksi ini sangat
berbeda dari penyakit obstruksi. Walaupun demikian, gabungan penyakit restriksi dan obstruksi dapat
terjadi bersamaan.
I. PENYAKIT PADA PARENKIM PARU
Penyakit pada parenkim paru ini berhubungan dengan jaringan alveolar.
Struktur dinding alveoli
Udara alveoli membawa hemoglobin dari sel darah merah dengan Oksigen melewati struktur
yang bervariasi yaitu lapisan surfaktan paru, epitel alveoli, interstisial, endotel kapiler, plasma dan
eritrosit.
Tipe sel
Sel yang berbeda memiliki fungsi dan respon yang berbeda terhadap luka.
1. Sel epitel tipe 1
Merupakan struktur sel utama dari dinding alveoli. Protoplasmanya panjang merata hampir diseluruh
permukaan alveoli (gambar 5.1). Fungsi utama sel ini adalah dukungan mekanik. Tipe sel ini jarang
membelah dan tidak aktif secara metabolik. Bila sel tipe I ini terluka, maka akan digantikan oleh sel
tipe 2 yang kemudian berubah menjadi sel tipe 1.
2. Sel epitel tipe 2
Merupakan sel globular, yang mendukung struktur dinding alveoli dan sangat aktif secara
metabolik. Gambaran mikro elektron menunjukkan lamellated bodies yang terdiri dari fosfolipid
yang dibentuk dalam retikulum endoplasma, melalui aparatus golgi yang menembus ke dalam ruang
alveoli untuk membentuk surfaktan. Jika terjadi luka pada dinding alveoli, dengan cepat sel ini akan
membentuk barisan pada permukaan sel dan kemudian berubah menjadi bentuk sel tipe 1.
3. Sel epitel tipe 3
Tipe sel ini jarang ada dan fungsinya belum diketahui.
4. Makrofag alveoli
Sel pemakan sisa-sisa zat (scavenger cell) ini beredar di dinding alveoli dan memakan benda
asing dan bakteri. Sel ini terdiri dari lisozim yang memakan dan mencerna benda asing.
5. Fibroblast
Sel ini mensintesis kolagen dan elastin, yang merupakan komponen dari interstisial dinding
alveol. Kerusakan dari komponen ini akan menyebabkan penyakit fibrosis interstisial.
Gambar 5.1 Gambaran Mikrograf Elektron dari sebagian dinding alveolus. A, ruang alveolus ; EP ,
nukleus dan sitoplasma sel epitel alveolus tipe I ; C, lumen kapiler ; EN, nukleus sel endotel ; FB, fibroblas ; F,
serat kolagen ; 1, area tipis sawar darah – udara ; 2, area tebal sawar darah – udara
Interstisial
Merupakan rongga antara epitel alveoli dan endotel kapiler. Bentuknya sangat tipis di satu sisi
kapiler yang terdiri dari membran dasar yang berfungsi menyatukan epitel dan endotel membran
basal. Pada sisi lain dari kapiler, interstisial biasanya lebih luas dan meliputi fibril kolagen tipe I.
Bagian sisi tebal terutama merupakan tempat pertukaran utama cairan melewati endotel, dan bagian
sisi tipis berperan lebih banyak untuk pertukaran gas.
Jaringan interstisial dijumpai di bagian lain paru, khususnya di rongga perivaskuler dan
peribronkial yang dikelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang lebih besar dan jalan nafas, serta di
septa interlobuler. Interstisial pada dinding alveol berlanjut ke rongga perivaskuler, yang merupakan
saluran cairan dari kapiler ke limfatik.
FIBROSIS PULMONER INTERSTISIAL DIFUS
Sinonim dengan fibrotik paru idiopatik, pneumonia interstitial, dan alvolitik fibrosis
kriptogenik. Beberapa dokter menyimpan istilah fibrosis untuk stadium lanjut dari penyakit ini.
Patologi
Prinsipnya menggambarkan penebalan interstitial pada dinding alveoli. Awalnya terdapat
infiltrat dengan limfosit dan sel plasma. Kemudian fibrosis akan timbul dengan ikatan kolagen yang
tebal. Penebalan ini mungkin menyebar secara irreguler di dalam paru. Pada beberapa pasien dengan
stadium awal penyakit, di dalam alveoli dapat dilihat sel eksudat yang terdiri dari mikrofag dan sel-sel
mononuklear, gambaran ini dinamakan deskuamasi. Pada akhirnya, susunan alveoli dihancurkan dan
jaringan parut membentuk ruang kistik multiple berisi udara yang
respiratorius dan terminalis yang berdilatasi, disebut honeycomb lung.
dibentuk oleh bronkiolus
Patogenesis
Patogenesis belum diketahui dengan jelas, meskipun dalam beberapa kasus disebabkan oleh
reaksi imunologi.
Gejala Klinis
Penyakit ini jarang dijumpai dan cenderung pada orang dewasa dengan usia lanjut. Pasien
sering mengeluh sesak napas atau dispneu dengan pernafasan cepat dan dangkal. Sesak nafasnya
secara khas akan bertambah berat dengan latihan, dan sering bersamaan dengan batuk tidak produktif.
Pada pemeriksaan, sianosis ringan dapat dilihat saat istirahat pada kasus berat, dan secara
khas kan bertambah berat dengan latihan. Krepitasi jelas terdengar keras terutama biasanya pada akhir
inspirasi. Clubbing finger biasanya juga ditemukan .
Foto toraks menunjukkan pola retikuler atau retikulonoduler terutama pada daerah basal.
Bayangan tidak sempurna (patchy) di dekat diafragma kemungkinan disebabkan oleh kolaps daerah
basal. Gambaran honeycombs sering terlihat pada stadium lanjut dari penyakit ini, disebabkan oleh
kista udara multipel dikelilingi oleh penebalan jaringan.
Cor pulmonale atau pneumonia meupakan komplikasi dan dapat berkembang menjadi
kegagalan respirasi terminal. Menurut Hamman dan Rich penyakit ini sering berkembang tanpa
gambaran klinis yang jelas, meskipun bentuk akut dapat terjadi.
Fungsi Paru
Spirometri secara khas menggambarkan pola restriksi. Penurunan nilai KVP (FVC) terjadi,
namun udara diekspirasi cepat meskipun nilai VEP1 (FEV1) rendah, dan nilai KVP/VEP1
(FEV1/FVC%) dapat melebihi nilai normal. Gambaran spirogram ekspirasi paksa hampir berbentuk
bujur sangkar yang berbeda kontras dengan gambaran obstruksi.
FEF 25-75% adalah normal atau tinggi. Kurva aliran volume tidak menunjukkan bentuk
scooped out pada penyakit obstruksi dan nilai aliran sering lebih tinggi dari normal bila dihubungkan
dengan volume absolut paru. Kurva “ down slope” pada penyakit restriktif terletak diatas kurva
normal.
Semua volume paru mengalami penurunan termasuk TLF, FRC, dan RV namun proporsinya
lebih atau kurang dipertahankan. Jaringan fibrosis mengurangi pengembangan / distensi paru.
Sebagai akibatnya, volume paru bernilai kecil dan tekanan yang sangat besar diperlukan untuk
mengembangkan paru.
Gambar 5.5 Gambaran jalan napas pada emfisema dan fibrosis interstisial. Pada emfisema,
jalan napas cenderung kolas karena hilangnya traksi radial. Sebaliknya, pada fibrosis terjadi traksi
radial yang berlebihan yang mengakibatkan jalan napas besar dibandingkan dengan volume paru.











Jadi, karakteristik fungsi paru pada penyakit fibrosis interstisial difus adalah:
Sesak napas dengan pernapasan cepat dan dangkal
Penurunan semua volume paru
Rasio KVP/VEP1 (FEV1/FVC%) normal atau meningkat
Resistensi jalan napas normal atau rendah bila dihubungkan dengan volume paru
Lung compliance berkurang
Tekanan intrapleural yang sangat negatif pada TLC
Hipoksemia arteri terutama akibat ketidaksamaan VA/Q
Gangguan difusi kemungkinan berperan pada hipoksemia selama latihan
PCO2 arteri normal / rendah
Kapasitas difusi Karbon Monoksida berkurang
Resistensi vaskuler paru meningkat
PENYAKIT RESTRIKSI PARENKIM LAINNYA
1. Sarkoidosis
Karakteristik penyakit ini adalah ditemukannya jaringan granulomatosa secara histologi dan
sering terjadi pada beberapa organ.
Patologi
Karateristik lesinya adalah jaringan granuloma epiteloid non kaseosa yang terdiri dari sel
histiosit besar dengan giant cell dan limfosit. Lesi ini dapat terjadi pada kelenjar limfe nodul, paru,
kulit, mata, hati , limpa, dan lainnya. Pada penyakit paru stadium lanjut, perubahan fibrosis di dinding
alveoli dapat dilihat.
Patogenesis
Patogenesisnya tidak diketahui, meskipun dasarnya kemungkinan berhubungan dengan sistem
imunitas. Salah satu kemungkinannya adalah suatu antigen yang dikenali oleh makrofag alveolar yang
akhirnya akan mengaktifkan limfosit T dan memproduksi interleukin 2. Makrofag yang teraktivasi
juga melepaskan berbagai produk yang memicu fibroblast, sehingga menjelaskan deposisi jaringan
fibrosis di interstitium.
Gambaran klinis
Terdiri empat stage sarkoidosis:
Stage 0
: Gambaran CT Scans memperlihatkan pembesaran kelenjar limfe mediastinum
(limfadenopati). Namun tidak terlihat secara jelas gangguan intratorakal.
Stage 1
: Terdapat adenopati bilateral di hilus, sering dengan adenopati paratrakeal kanan.
Sering disertai dengan eritemanodosum pada kedua kaki. Dapat juga terjadi
arthritis, uveitis, dan pembesaran kelenjar parotis. Tidak terdapat gangguan fungsi
paru.
Stage 2
: Gambaran radiologi memperlihatkan bayangan bercak-bercak (mottled shadows)
yang luas, sering di bagian tengah dan atas paru. Gejalanya sesak dan batuk kering
yang tidak produktif.
Stage 3
: Infiltrat paru tanpa adenopati. Fibrosis lebih banyak pada lobus atas dan mungkin
terdapat kaviti dan bula.
Fungsi Paru
Tidak ada gangguan fungsi paru pada stage 0 dan 1. Pada stage 2 dan 3, perubahan tipikal
restriktif dapat dilihat, walaupun gambaran radiografi kadang memberikan kesan gangguan fungsi
paru. Pada akhirnya, fibrosis paru yang signifikan akan timbul dengan pola fungsi paru restriktif berat.
Semua volume paru bernilai kecil, namun rasio KVP/VEP1 (FEV1/FVC%) dipertahankan.
2. Pneumonia Hipersensitivitas
Dikenal juga sebagai alveolitis alergik ekstrinsik, merupakan reaksi hipersensitivitas yang
mempengaruhi parenkim paru, sebagai respon terhadap inhalasi debu organik. Contohnya pada paru
petani. Penyakit ini merupakan contoh hipersensitivitas tipe 3 (atau kombinasi hipersensitivitas tipe 3
dan 4), dan presipitat dapat dilihat di serum.
Patologi
Dinding alveolar menebal dan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, dan terkadang oleh
eosinofil dengan kumpulan histiosit yang pada beberapa area akan membentuk granuloma kecil.
Bronkiolus kecil umumnya terpengaruh dan mungkin terdapat eksudat di lumen. Perubahan fibrotik
terjadi pada kasus lanjut.
Gejala Klinis
Penyakit ini dapat terjadi pada keadaan akut ataupun kronik. Pada keadaan akut, gejala terdiri
dari sesak, demam, menggigil, dan batuk muncul 4-6 jam setelah terpajan dan berlanjut selama 24-48
jam. Pasien juga dapat mengeluh sesak saat istirahat, dengan krepitasi jelas terdengar pada kedua
paru. Penyakit juga dapat terjadi pada kondisi kronik tanpa periode akut sebelumnya, dengan gejala
sesak progresif, umumnya dalam periode bertahun-tahun. Pada bentuk akut, gambaran foto toraks
dapat normal, tapi sering terlihat sebagai infiltrat nodul milier. Pada bentuk kronik, umumnya fibrosis
terjadi pada lobus atas.
Fungsi Paru
Pada kasus lanjut, pola restriktif umum terlihat, termasuk penurunan volume paru,
compliance rendah, hipoksemia yang memberat saat latihan, PCO2 arteri normal atau rendah, dan
penurunan kapasitas difusi. Pada stage awal penyakit, berbagai variasi obstruksi jalan napas dapat
terjadi.
3. Penyakit Interstisial Karena Obat, Racun, Dan Radiasi
Berbagai jenis obat seperti busulfan (digunakan pada terapi leukemia mieloid kronik),
antibiotik nitrofurantoin, agen antiaritmia amiodarone, dan obat sitotoksik bleomisin dapat
menyebabkan reaksi paru akut dan menjadi fibrosis interstisial. Oksigen konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan perubahan toksik akut dengan fibrosis interstisial lanjut. Konsumsi racun pembunuh
serangga berakibat pada fibrosis interstisial mematikan yang berkembang cepat. Radiasi terapeutik
menyebabkan pneumonitis akut yang dikuti oleh fibrosis paru (jika melibatkan paru).
4. Penyakit Kolagen
Fibrosis interstisial dengan pola restriktif dapat terjadi pada pasien sklerosis sistemik
(skleroderma generalisata). Sering terjadi sesak napas berat dan berbeda dengan perubahan gambaran
radiologi atau fungsi paru. Penyakit jaringan ikat lain yang dapat menyebabkan fibrosis adalah SLE
dan rheumatoid arthritis.
5. Limfangitis Karsinomatosa
Berhubungan dengan penyebaran jaringan karsinoma melalui limfatik paru dan dapat memicu
komplikasi terutama pada abdomen atau payudara. Sesak napas menonjol dan dapat dilihat pola
fungsi paru restriktif.
II. PENYAKIT-PENYAKIT PLEURA
Pneumotoraks
Udara dapat masuk ke rongga pleura dari paru atau dinding dada akibat perlukaan pada
daerah tersebut. Tekanan normal rongga intrapleura adalah dibawah tekanan atmosfir karena tekanan
recoil elastik paru dan dinding dada. Saat udara masuk rongga pleura, paru akan kolaps dan tulang iga
akan menyempit. Perubahan ini dapat dilihat pada foto toraks, yang memperlihatkan kolaps sebagaian
atau total paru, ekspansi berlebih dari tulang iga dan penurunan diafragma pada sisi yang terganggu,
dan terkadang terdapat pemindahan mediastinum menjauhi pneumotoraks.
Pneumotoraks spontan
Pneumotoraks spontan ini paling umum terjadi dan disebabkan oleh ruptur dari bula
berukuran kecil di permukaan paru dekat apeks. Khas terjadi pada laki-laki muda tinggi dan mungkin
terkait dengan tingginya tekanan mekanis yang terjadi pada zona atas paru atas. Gejalanya ditandai
dengan nyeri mendadak pada salah satu sisi dan diikuti dengan sesak. Pada auskultasi, suara nafas
menurun pada sisi yang terkena dan diagnosis ditegakan melalui foto toraks.
Pneumotoraks secara bertahap dapat terabsorbsi karena jumlah tekanan parsial pembuluh
darah vena lebih rendah dari tekanan atmosfir. Serangan yang berulang membutuhkan tindakan
operasi untuk memicu perlengketan antara dua permukaan pleura.
PNEUMOTORAKS SPONTAN





Sering terjadi pada usia muda sekitar 20 an
Disertai sesak dan nyeri
Dapat terabsorbsi bertahap oleh darah
Serangan berulang mungkin memerlukan tindakan bedah
Tension pneumothoraks adalah suatu kegawatdaruratan medis
Tension pneumotoraks
Pada sebagian kecil kasus pneumotoraks spontan, kominikasi antara paru dan rongga pleura
berfungsi seperti mengecek katup. Sebagai akibatnya, udara yang masuk selama inspirasi tidak dapat
dikeluarkan selama ekspirasi. Sehingga terjadi pneumotoraks luas yang tekanannya melebihi tekanan
atmosfir dan mengganggu venous return pada toraks.
Kegawatdaruratan medis diketahui melalui peningkatan respiratory distress, takikardi, dan
tanda pergeseran dari medistinum seperti deviasi trakea dan perpindahan denyut apeks. Diagnostik
selalu dengan foto toraks. Penatalaksanaan terdiri dari mengurangi tekanan dengan pemasangan
selang di dinding dada. Selang tersebut terhubung dengan underwater seal, sehingga udara dibiarkan
keluar dari paru tapi tidak dapat masuk kembali.
Pneumotoraks akibat komplikasi penyakit paru
Kejadiannya bervariasi, termasuk ruptur akibat bula pada PPOK atau kista pada penyakit
fibrotik lanjut. Kadang terjadi selama pemakaian ventilasi mekanik dengan tekanan saluran nafas
yang tinggi.
Fungsi Paru
Pneumotoraks menurunkan VEP1 dan KVP. Sebagai latihan, tes fungsi paru jarang membantu
dalam mengobati pasien ini karena gambaran radiologi sangat membantu.
EFUSI PLEURA
Keadaan ini menggambarkan terdapatnya cairan (dibandingkan udara) dalam rongga pleura.
Ini bukanlah suatu penyakit dalam arti sebenarnya, tapi seringkali dikaitkan dengan penyakit yang
serius dan penanganannya harus selalu tepat.
Pasien sering mengeluh sesak jika efusinya luas, dan kemungkinan ada nyeri pleuritik dari
penyakit dasarnya. Gejala pada dada seringkali memberikan informasi termasuk diantaranya
penurunan pergerakan dada pada sisi yang sakit, hilangnya suara nafas, dan pada perkusi didapatkan
bunyi redup. Foto toraks digunakan sebagai diagnosis.
Efusi pleura terbagi menjadi transudat dan eksudat berdasarkan pada kadar protein yang
tinggi atau rendah. Sebagai tambahan, konsentrasi LDH (laktat dehidrogenosa) cenderung lebih tinggi
pada transudat. Eksudat secara signifikan terjadi pada kondisi keganasan dan infeksi, sedangkan
transudat merupakan komplikasi gagal jantung berat atau suatu keadaan dengan edema lainnya.
Seringkali diperlukan tindakan aspirasi dari efusi, tetapi penanganannya harus berdasarkan dari
penyebab dasarnya. Variasi dari efusi pleura meliputi empiema (pyothorax), hemotoraks dan
cylothorax , berdasarkan ditemukannya pus, darah dan cairan limfe, di rongga pleura.
PENEBALAN PLEURA
Efusi pleura yang berlangsung lama menimbulkan pleura fibrotik yang kaku dan terkontraksi
yang membagi paru dan menghambat pengembangan paru, menyebabkan gangguan fungsi tipe
restriktif (terutama pada gangguan paru bilateral). Operasi stripping mungkin diperlukan .
III. PENYAKIT–PENYAKIT PADA DINDING DADA
SKOLIOSIS
Deformitas tulang dada dapat menyebabkan restriksi. Skoliosis berdasarkan lekukan tulang ke
lateral dan kifosis lekukan ke belakang. Skoliosis berhubungan dengan penonjolan tulang iga ke arah
belakang, memberikan gambaran tambahan kifosis. Keluhan utama pasien adalah sesak pada
aktivitas berat, bernafas dalam dan dangkal. Tes fungsi paru menunjukan penurunan seluruh volume
paru. Resistensi jalan nafas hampir normal jika dikaitkan dengan volume paru. Akan tetapi terjadi
punurunan kualitas ventilasi, sebagian karena terjadi penutupan saluran nafas tergantung pada regio
tertentu. Sebagian dari paru terkompresi dan sering atelektasis pada beberapa tempat.
Hipoksemia terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi–perfusi. Pada penyakit yang lanjut,
terlihat penurunan respon ventilasi terhadap CO2 yang menggambarkan peningkatan usaha pernapasan
karena deformitas dinding dada .
ANKYLOSING SPONDYLITIS
Etiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara pasti. Terdapat penurunan FVC dan TLC,
namun persentase FEV / FVC dan resistensi jalan nafas normal. Terjadi kegagalan mekanisme
compliance paru, dan sering terjadi keadaan henti ventilasi, kemungkinan menjadi penyebab
tambahan dari penurunan volume paru. Gagal nafas tidak terjadi pada kondisi ini.
GANGGUAN NEUROMUSKULAR
Beberapa penyakit yang menyebabkan gangguan dari otot-otot pernafasan atau gangguan dari
suplai pembuluh darah adalah poliomielitis, Guillane–Barre’s syndrome, amyotrophic lateral
sclerosis, myastenia gravis dan distrofi otot. Semua penyakit tersebut menimbulkan sesak nafas dan
gagal nafas. Terjadi penurunan FVC, TLC, kapasitas inspirasi, dan FEV 1 yang disebabkan karena
ketidak mampuan pasien untuk menarik nafas dalam.
Perlu diperhatikan bahwa otot pernafasan yang utama adalah diafragma, pada pasien dengan
penyakit yang progresif sering tidak mengeluh sesak sampai terjadi keterlibatan otot diafragma.
Progresivitas dari penyakit ini dapat di pantau berdasarkan pengukuran FVC dan analisa gas darah.
Ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada kondisi ini.
KESIMPULAN
1. Diffuse Interstitial Pulmonary Fibrosis adalah salah satu contoh penyakit restriksi paru yang
ditandai dengan sesak nafas, penurunan toleransi excercise, paru menjadi kecil dan penurunan
compliance paru .
2. Dinding alveoli terlihat infiltrasi dari kolagen dan destruksi kapiler .
3. Resistensi jalan nafas tidak meningkat; pada Ekspirasi paksa dapat menghasilkan aliran udara
yang abnormal karena terjadi peningkatan traksi radial jalan nafas.
4. Difusi dan perpindahan oksigen melewati sawar gas-darah tergantung pada penebalan dan
menimbulkan hipoksemia terutama saat aktfitas. Akan tetapi tidak adekuatnya ventilasi–
perfusi adalah faktor utama yamng menyebabkan gangguan pertukaran gas.
5. Penyakit restriksi lainnya disebabkan oleh penyakit pada pleura atau dinding dada, atau
gangguan neuromuskular.
BAB 6
PENYAKIT VASKULER
EDEMA PARU
Edema paru adalah akumulasi abnormal cairan di ruang ekstravaskular dan jaringan paru
(komplikasi penyakit jantung dan paru yang mengancam nyawa).
PATOFISIOLOGI
Cairan keluar dari kapiler ke ruang interstisial dinding alveolar dan berjalan ke interstisium
perivaskular dan peribronkial, sebagian cairan dibawa dalam imfatik atau melewati jaringan
interstisial longgar, limfatik memompa limfe secara aktif menuju nodus bronkial dan hilar. Aliran
cairan yang bocor dari kapiler dibatasi oleh :
1. Penurunan tekanan osmotik koloid cairan interstisial ketika protein diencerkan akibat filtrasi
air yang lebih cepat dibandingkan protein (tidak terjadi saat permeabilitas kapiler sangat
meningkat)
2. Peningkatan tekanan hidrostatik di dalam ruang interstisial yang mengurangi total tekanan
filtrasi.
Dua tahapan yang terjadi pada edema paru :
1. Edema interstisial, ditandai dengan pembesaran jaringan interstisial perivaskular dan
peribronkial (cuffing). Terjadi pelebaran limfatik dan penurunan aliran limfe, terjadi
pelebaran interstisium dinding alveolar. Fungsi paru dapat sedikit terganggu, keadaan ini suit
dikenali, mungkin didapatkan perubahan radiologis.
2. Edema alveolar, cairan mengisi alveoli satu per satu sehingga menciut ukurannya akibat gaya
tegangan permukaan. Ventilasi dicegah, hingga alveoli tetap ada di perfusi, terjadi pirai darah
dan hipoksemia. Cairan edema dapat masuk saluran napas kecil dan besar, bila dibatukkan
tampak sputum merah muda dan berbusa banyak (ada sel darah merah). Adanya protein dan
sel darah merah dalam cairan alveolar akibat rusaknya epitel alveolar dan permeabilitas yang
meningkat.
PATOGENESIS
1. Edema interstisial :
a. Peningkatan aliran limfe dari paru
b. Cuffing perivaskular dan peribronkial
c. Garis septal pada foto toraks
d. Sedikit efek pada fungsi paru
2. Edema alveolar :
a. Seringkali dispnea berat dan ortopnea
b. Pasien mungkin batuk cairan merah muda berbusa
c. Opafikasi yang jelas pada radiograf
d. Seringkali hipoksemia berat
Penyebab edema paru :
Mekanisme
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
Peningkatan permeabilitas kapiler
Kejadian Pemicu
Infark miokard, stenois mitral, beban berlebih
cairan, penyakit venooklusif pulmonal
Racun yang terinhalasi atau bersirkulasi, sepsis,
Pengurangan drainase limfe
Penurunan tekanan interstisial
Penurunan tekanan osmotik koloid
Etiologi yag belum pasti
keracunan oksigen, radiasi, ARDS
Peningkatan tekanan vena sentral, limfangitis
karsinomatosa
Pengeluaran efusi pleura, pneumotoraks yang
cepat, hiperinflasi
Hipoalbuminemia transfusi berlebihan
Dataran tinggi, neurogenik, inflasi berlebihan,
heroin
GAMBARAN KLINIS
Gejala : dispnea, napas cepat dan dangkal, dispnea saat berolah raga, ortopnea, dispnea
nokturnal paroksismal. Batuk kering dan sering pada stadium awal, batuk dengan sputum merah
muda berbusa pada edema fulminan. Sianosis dapat terjadi. Pada auskultasi : krepitasi halus saat
inspirasi di basal paru pada awal edema, ronkhi nyaring pada kasus berat, suara jantung abnormal dan
murmur pada edema kardiogenik.
Foto toraks dapat menunjukkan jantung yang membesar dan pembuluh paru yang jelas,
terdapat garis septal pada edema interstisial, bayangan bercak menyebar dari daerah hilus seperti
sayap kelelawar atau kupu-kupu pada edema yang lebih berat (akibat cuffing perivaskular dan
peribronkial di sekitar pembuluh darah besar daerah hilar).
FUNGSI PARU
Uji fungsi paru jarang dilakukan kaena pasien merasa sangat sakit dan hasilnya tidak
diperlukan dalam terapi.
Mekanik
Edema paru mengurangi distensibilitas paru dan menggeser kurva tekanan volume ke bawah
dan ke kanan, akibat dibanjirinya alveoli yang menyebabkan penurunan volume unit paru yang
terkena akibat gaya tegangan permukaan dan mengurangi andil dalam kurva. Edema interstisial
mempengaruhi sifat elastis paru sehingga memperkaku paru. Resistensi jalan napas meningkat akibat
adanya cairan edema pada jalan napas besar. Resistensi jalan napas kecil meningkat pada edea
interstisial akibat cuff peribronkial.
Pertukaran Gas
Terjadi penurunan kapasitas difusi akibat penebalan sawar darah gas. Cuff edema interstisial
pada jalan napas kecil menyebabkan ventiasi intermiten pada daerah paru yag dependen yang
menyebabkan hipoksemia. Edema alveolar menyebabkan hipoksemia akibat aliran darah mengalir ke
unit yang tidak berventilasi. PCO2 alveolar sering normal atau rendah karena peningkatan ventiasi ke
alveoli non edematosa akibat hipoksemia arterial dan stimulasi reseptor paru. Pada edema paru
fulminan terjadi retensi karbondioksida dn asidosis respiratorik.
Pengendalian Ventilasi
Pasien bernapas cepat dan dangkal akibat stimulasi reseptor J di dinding alveolar dan aferen
vagal lain. Napas cepat mengurangi kerja elastik pernapasan yang abnormal tinggi. Hipokemia
arterial merupakan stimulus tambahan pada pernapasan.
Sirkulasi Paru
Terjadi peningkatan resistensi vaskular paru dan vasokonstriksi hipoksik pada daerah
berventilasi buruk. Cuff perivaskular meningkatkan resistensi pembuluh darah ekstra alveolar. Kolaps
parsial alveoli yang edema dan edema dinding alveolar menekan atau menggeser kapiler.
EMBOLI PARU
PATOGENESIS
Emboli paru berasal dari terlepasnya bagian trombus vena profunda ekstremitas bawah, sisi
kanan jantung dan daerah pelvis. Emboli non trombotik (lemak, udara dan cairan amnion) relatif
jarang terjadi. Faktor yang berperan dalam terbentuknya trombus vena :
1. Stasis darah disebabkan oleh imobilisasi setelah fraktur atau operasi, tekanan lokal atau
obstruksi vena, gagal jantung kongestif, syok hipovolemia, dehidrasi, varises, hipertrofi
atrium kanan yang mengalami fibrilasi.
2. Perubahan sistem koagulasi darah, meningkat pada keadaan polisitemia vera dan penyakit sel
sabit (viskositas darah meningkat sehingga menyebabkan aliran yang lambat di samping
pembuluh darah), penyakit keganasan, kehamilan, trauma baru, dan pemakaian kontrasepsi
oral.
3. Kelainan dinding pembuluh darah disebabkan oleh trauma lokal atau inflamasi.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis tergantung ukuran embolus dan kondisi kardiopulmonal pasien sebelumnya.
1. Emboli berukuran sedang : nyeri pleuritik disertai dispnea, demam ringan, batuk produktif
dangan blood-streaked sputum, takikardia, gesekan friksi pleura pada auskultasi, efusi pleura
minimal. Foto toraks biasanya normal (infark: bayangan perifer berbentuk baji). Pada scan
radioaktif menunjukkan daerah dengan penurunan perfusi.
2. Emboli masif : kolpas hemodinamik dengan syok, pucat, nyeri dada tengah, hipotensi dengan
nadi yang cepat dan lemah serta pembesaran vena leher, 30% terbukti fatal.
3. Emboli kecil : sering tidak dikenali, emboli ulangan dapat menyebabkan hipertensi pulmonal.
FUNGSI PARU
Sirkulasi Paru
Jika emboli besar dan tekanan arteri pulmonal sangat meningkat, terjadi gagal ventrikel
kanan (tekanan akhir diastolik meningkat, aritmia, inkompeten katp trikuspid), dapat terjadi edema
paru. Dalam beberapa hari, embolus berkurang, peningkatan tekanan arteri pulmonal secara bertahap
menghilang. Hal ini terjadi karena fibrinolisis dan pengaturan bekuan darah menjadi parut fibrosa
kecil yang menempel pada dinding pembuluh darah.
Mekanik
Emboli menyebabkan gangguan perfusi paru, penurunan aliran udara ke paru, penurunan
ventilasi sia-sia dan ruang mati fisiologis. Sifat elastik daerah tersebut dapat berubah, terjadi bercak
edema hemoragik, dan atelektasis pada paru yang terkena beberapa jam setelah kejadian. Hal ini
disebabkan hilangnya surfaktan paru.
Pertukaran Gas
Hipoksemia sedang tanpa retensi karbondioksida akibat gangguan difusi di daerah dengan
aliran tinggi yang menyebabkan kurangnya waktu transit. Pengukuran dengan teknik eliminasi gas
inert multipel menunjukkan ketidakseimbangan ventiasi perfusi. Terjadi pirau fisiologis dan ruang
mati yang bertambah akibat adanya aliran darah yang melewati daerah atelektasis hemoragik.
HIPERTENSI PULMONAL
Tekanan arteri pulmonal noral sekitar 15 mmHg, bila meningkat disebut hipertensi pulmonal.
Mekanisme utama :
1. Peningkatan tekanan atrium kiri (pada stenosis mitral atau gagal ventrikel kiri), disebut
hipertensi pulmonal pasif. Peningkatan tekanan atrium kiri yang terus-menerus menyebabkan
perubahan struktur dinding arteri pulmonal kecil (hipertrofi tunika media dan tunika intima),
secara klinis menyebabkan dispnea, hemoptisis dan edema paru.
2. Peningkatan aliran darah pulmonal (pada penyakit jantung kongenital : defek septal
ventrikel/atrium atau duktus arteriosus paten).
Aliran tinggi yang terus-menerus
menyebabkan perubahan struktural arteri kecil sehingga tekanan arteri pulmonal dapat
mencapai tingkat sistemik, terjadi suatu pirau kanan ke kiri dan hipoksemia arteri.
3. Peningkatan resistensi vaskular pulmonal (penyebab tersering), ada tiga kategori :
a. Vasokonstriktif karena hipoksia alveolar pada dataran tinggi (merupakan suatu komponen
dalam hipertensi pada bronkitis kronik dan emfisema). Serotonin menyebabkan
vasokonstriksi sepintas. Katekolamin merupakan faktor pada edema paru neurogenik.
b. Obstruktif (seperti pada tromboembolisme). Pembuluh darah tersumbat oleh lemak,
udara, cairan amnion, atau sel kanker yang bersirkulasi. Pada skistosomiasis, parasit yag
tersangkut di arteri kecil dapat menyebabkan reaksi yang jelas.
c. Obliteratif (seperti pada emfisema) dengan bantalan kapiler yang rusak sebagian, dapat
terjadi poliartritis nodosa atau penyakit vena oklusif pulmonal (bila vena kecil terlibat).
HIPERTENSI PULMONAR PRIMER
Penyebabnya dapat berupa komponen genetik, emboli kecil berulang yang tidak diketahui.
Penderita terbanyak wanta usia 20-40 tahun. Pemeriksaan histologik paru menunjukkan peningkatan
otot poos di dalam arteri pulmonal kecil. Gejala utama dispnea saat berolahraga, sinkop dapat terjadi.
Pada EKG dan foto toraks didapatkan tanda hipertrofi ventrikel kanan, uji ventilasi biasanya normal.
Bila penyebabnya adalah tromboembolisme berulang, pembedahan dapat bermanfaat.
COR PULMONALE
Adalah penyakit jantung kanan akibat penyakit primer pada paru. Faktor penyebab :
obliterasi anyaman kapiler oleh kerusakan dinding alveolar atau fibrosis interstisial, obstruksi oleh
tromboemboli, vasokontriksi hipoksik, hipertrofi otot polos dinding arteri kecil dan peningkata
viskositas darah karena polisitemia. Gambaran EKG menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan.
MALFORMASI ARTERIOVENOSUS PULMONAL
Ini ditandai dengan hubungan abnormal antara arteri dan vena pulmonal. Pasien memiliki
riwayat keluarga dengan telangiektasia. Separuh pasien memiliki telangiektasis pada kulit atau
membran mukosa. Lesi kecil tidak menyebabkan gangguan fungsional dan ditemukan pada foto
toraks rutin. Tandanya PO2 arterial turun jauh, kadang ada bruit di atas fistula dengan auskultasi, dan
jari tabuh.
BAB 7
PENYAKIT INFEKSI, LINGKUNGAN DAN NEOPLASTIK
PENYAKIT KARENA PARTIKEL TERHIRUP
Banyak penyakit akibat industri dan penyakit akibat kerja disebabkan karena debu terhirup.
Polutan atmosfir merupakan faktor penting sebagai etiologi beberapa penyakit seperti bronkitis
kronik, emfisema, asma dan karsinoma bronkial. Jadi mari kita lihat lingkungan tempat kita hidup.
POLUTAN ATMOSFER
Karbon monoksida
Di Amerika Serikat, karbon monoksida merupakan polutan yang molekulnya paling berat
(Gambar 7-1, kiri). Karbon monoksida dihasilkan oleh pembakaran karbon dalam bahan bakar, yang
tidak sempurna, terutama pada mesin mobil (gambar 7-1, kanan). Bahaya utama karbon monoksida
adalah kecenderungannya mengikat hemoglobin, karena karbon monoksida mempunyai afinitas 200
kali lebih besar daripada oksigen. Karbon monoksida juga dapat meningkatkan afinitas oksigen
terhadap sisa hemoglobin sehingga oksigen tidak cepat dilepaskan ke jaringan. Seorang komuter yang
berada di jalan tol dalam kota yang padat, mempunyai 5-10% hemoglobinn yang terikat karbon
monoksida terutama jika ia perokok. Hal ini dapat mengakibatkan cacat mental. Emisi karbon
monoksida dan polutan lain hasil pembakaran mesin mobil dapat dikurangi dengan pemasangan
pengubah katalitik (catalytic converter) yang memroses gas buangan.
Nitrogen oksida
Nitrogen oksida dihasilkan jika bahan bakar fosil seperti batubara atau bensin terbakar pada
suhu tinggi di pembangkit listrik atau mesin mobil. Gas ini menyebabkan inflamasi pada mata dan
saluran pernapasan atas selama kondisi berasap. Pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan trakeitis
akut, bronkitis akut dan edema pulmoner. Asap yang pekat dan kekuningan adalah karena ada N2O
ini.
Sulfur oksida
Gas beracun yang korosif ini, diproduksi jika bahan bakar yang mengandung sulfur terbakar
terutama pada pusat pembangkit energi. Gas ini menyebabkan inflamasi membran mukus mata,
saluran pernapasan atas dan mukosa bronkus. Jika terpapar dalam jangka waktu pendek dengan
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan edema paru. Jika terpapar dalam jangka waktu panjang dengan
konsentrasi rendah menyebabkan bronkitis kronik pada hewan percobaan. Cara terbaik untuk
mengurangi emisi sulfur oksida yaitu menggunakan bahan bakar rendah sulfur, tetapi harganya mahal.
Gambar 7-1. Polutan Udara (berdasarkan berat) di Amerka Serikat. Sumber
terbanyak dari transportasi khususnya mobil. Pembangkit listrik menyumbang 28%
Hidrokarbon
Hidrokarbon seperti karbon monoksida juga merupakan hasil buangan bahan bakar. Pada
konsentrasi normal di atmosfir, zat ini tidak toksik. Zat ini dapat berbahaya karena membentuk zat
oksidan fotokimiawi dibawah pengaruh cahaya matahari (dijelaskan nanti).
Bahan Partikulat
Jenis bahan partikulat adalah partikel yang ukurannya bervariasi, seperti asap sampai jelaga.
Sumber utamanya adalah pembangkit listrik dan pabrik. Gas emisi ini dapat dikurangi dengan proses
buangan arus udara dengan penyaringan atau penyikatan meskipun biayanya mahal.
Oksidan Fotokimiawi
Contoh oksidan fotokimiawi adalah ozon dan substansi lain seperti peroxyacyl nitrat, aldehyd
dan acrolein. Bahan ini bukan material emisi utama tapi diproduksi akibat efek matahari pada
hidrokarbon dan nitrogen oksida. Bahan ini dapat menyebabkan inflamasi mata, traktus pernapasan,
kerusakan tumbuhan dan bau menyengat. Dalam konsentrasi tinggi ozone menyebabkan edema
pulmoner. Oksidan ini menyebabkan kabut yang tebal.
Konsentrasi polutan atmosfir dapat sangat meningkat pada perubahan suhu. Hal ini membuat keluar
normal permukaan udara hangat dengan kandungan polutannya ke atas atmosfer. Efek buruk
perubahan suhu lebih terasa di daerah rendah yang dikelilingi perbukitan.
Asap rokok
Bahan ini sangat penting di lapangan karena terhirup oleh perokok dengan konsentrasi lebih
besar daripada polutan di atmosfer. Terdapat sekitar 4% karbon monoksida yang cukup untuk
meningkatkan kadar karboksihemoglobin dalam darah perokok sampai 10%. Persentase ini cukup
menyebabkan kegagalan beraktivitas dan mental. Asapnya juga mengandung alkaloid nikotin, yang
dapat menstimulasi sistem saraf otonom, menyebabkan hipertensi, takikardi dan berkeringat.
Hidrokarbon aromatik dan tar dapat menyebabkan karsinoma bronkus pada perokok. Laki-laki yang
merokok 35 batang per hari memiliki risiko 40 kali lipat terkena kanker daripada bukan perokok.
Peningkatan risiko bronkitis kronik, emfisema dan penyakit jantung koroner dapat juga terjadi.
Sebatang rokok menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas pada banyak perokok dan bukan
perokok (lihat gambar 3-2).
Deposit Aerosol di Paru
Istilah aerosol berarti kumpulan partikel yang berada di udara dalam waktu tertentu. Banyak
polutan ada dalam bentuk ini dan pola depositnya di paru tergantung ukuran. Ada tiga mekanisme
deposit yaitu impaksi, sedimentasi, dan difusi.
Impaksi
Impaksi yaitu kecenderungan sejumlah partikel berukuran besar untuk menabrak sudut-sudut
pada saluran pernapasan. Hasilnya banyak partikel terjebak di permukaan mukosa hidung, faring dan
juga bifurkasio jalan napas besar. Sekali partikel menempel pada permukaan basah, akan
terperangkap dan tidak dapat dilepaskan lagi. Hidung sangat efisien memindahkan partikel dengan
menggunakan mekanisme ini. Hampir semua partikel diameter lebih dari 20 um dan sekitar 95%
partikel ukuran 5 um tersaring di hidung selama bernapas. Gambar 7-3 menunjukkan kebanyakan
partikel diameter lebih dari 3 µm terkumpul di nasofaring selama napas lewat hidung
Sedimentasi
Sedimentasi merupakan pengendapan partikel secara bertahap karena bobotnya. Hal ini
terutama penting pada partikel ukuran sedang (1-5 um) karena partikel besar dipindahkan oleh
impaksi dan partikel kecil terlalu lambat mengendapnya. Deposisi secara sedimentasi terjadi secara
luas di jalan napas kecil seperti bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratori.Alasan utamanya
adalah karena dimensi jalan napas tersebut berukuran kecil sehingga jarak partikel agar jatuh, menjadi
pendek. Partikel, tidak seperti gas, tak dapat berdifusi dari bronkiolus respiratori ke dalam alveoli
karena laju difusinya kecil, hingga dapat diabaikan. Gambar 7-4 menunjukkan akumulasi debu sekitar
bronkiolu terminalis dan respiratorius pada seorang petambang batu bara dengan pneumokoniosis
dini. Meskipun retensi debu tergantung dari deposit dan pembersihannya, dan kemungkinan debu
seperti ini diangkut dari alveoli perifer, tampilannya adalah pengingat grafis mengenai kerentanan di
area paru ini. Perubahan awal pada bronkitis kronik dan emfisema sekunder dari deposisi polutan
atmosfir di dalam jalan napas kecil (termasuk partikel asap rokok).
Difusi
Difusi adalah pergerakan partikel yang acak karena bombardir terus menerus oleh molekul
gas. (gambar 7-2C). Hal ini terjadi secara signifikan hanya pada partikel terkecil (dengan diameter <
0,1 um. Deposisi dengan difusi utamanya mengambil tempat di jalan napas kecil dan alveoli, yang
jarak ke dindingnya terpendek. Deposisi oleh mekanisme ini juga terjadi di jalan napas besar.
Banyak partikel terhirup tidak didepositkan semuanya tapi diekspirasikan saat pernapasan
berikutnya. Kenyataannya hanya 30% partikel 0,5 um yang tertinggal di paru selama napas biasa
normal. Partikel-partikel seperti ini sangat kecil untuk mengalami impaksi atau sedimentasi. Terlalu
besar untuk berdifusi secara signifikan. Sebagai hasilnya partikel tidak bergerak dari bronkiolus
terminal dan bronkiolus respiratorius ke alveoli secara difusi, yang merupakan cara pergerakan gas
yang normal pada daerah ini. Partikel kecil dapat bertambah besar selama pernapasan karena agregasi
atau absorbsi air. Pola ventilasi mempengaruhi jumlah deposisi aerosol. Pernapasan yang dalam dan
pelan dapat meningkatkan penetrasi ke dalam paru sehingga meningkatkan deposit sejumlah debu
akibat proses sedimentasi dan difusi. Latihan dapat meningkatkan kecepatan arus udara meningkatkan
deposisi karena impaksi. Secara umum, deposisi debu sebanding dengan ventilasi selama latihan, hal
ini yang menjadi faktor penting selama bekerja berhadapan dengan batubara.
Pembersihan Deposit Partikel
Paru mempunyai kemampuan untuk memindahkan partikel yang terdeposit didalamnya. Dua
perbedaan mekanisme bersihan yaitu sistem mukosilier dan makrofag alveolar.
Sistem Mukosilier
Mukus diproduksi oleh 2 sumber yaitu :
1. Kelenjar seromukus bronkus di dalam dinding bronkus bagian dalam. Kedua tipe
sel yang memroduksi mukus dan produksi serous ada disana dan duktus
mengalirkan mukus ke permukaan jalan napas.
2. Sel goblet yang merupakan bagian dari epitel bronkus.
Tebal lapisan mukus normal 5-10 um dan mempunyai 2 lapisan. Lapisan jel yang superfisial
secara relatif liat dan kental. Sehingga cukup efisien untuk menangkap partikel yang terdeposisi.
Lapisan sol yang lebih dalam, kurang kental dan memungkinkan silia di dalamnya bergerak bebas.
Mungkin saja retensi sekret yang abnormal, yang terjadi pada beberapa penyakit adalah akibat
perubahan komposisi mukus, sehingga tidak bisa didorong keluar silia. Mukus mengandung
imunoglobin IgA yang dihasilkan dari sel plasma dan jaringan limfoid. Faktor humoral ini adalah
faktor pertahanan penting melawan protein asing, bakteri dan virus. Silia panjangnya 5-7 um, dan
bergerak serentak dan harmonis antara 1000-1500 kali per menit. Saat menyentak ke depan, ujung
silia berkontak dengan lapisan jel, dan mendorong fase lapisan jel. Tetapi selama fase rekoveri, silia
membengkok sedemikian rupa sehingga bergerak seluruhnya dalam lapisan sol yang resistensinya
kurang. Lapisan tebal mukus bergerak sekitar 1 mm/menit di jalan napas kecil tapi secepat 2
cm/menit dalam trakea dan terkadang partikel mencapai faring, dimana partikelnya akan tertelan.
Bersihan komplit mukosa bronkus normal kurang 24 jam. Di lingkungan yang sangat berdebu, sekresi
mukus dapat meningkat begitu banyak, dibantu oleh batuk dan ekspektorasi dalam pembersihannya.
Kerja sistem mukosilier normal dipengaruhi oleh polusi atau penyakit. Silia dapat dilumpuhkan oleh
inhalasi gas beracun seperti sulfur oksida, nitrogen dan asap rokok. Pada inflamasi akut saluran napas,
epitel bronkial dapat menjadi gundul. Perubahan karakter mukus dapat terjadi saat infeksi, sehingga
membuat silia lebih sulit untuk membersihkan jalan napas. Sumbatan mukus dalam bronkus terjadi
pada asma tapi mekanismenya belum diketahui. Akhirnya infeksi kronik seperti bronkiektasis atau
bronkitis kronik, volume sekresi dapat menjadi sangat banyak sehingga sistem transport silia
kewalahan.
Makrofag Alveolar
Sistem mukosilier berhenti pada alveoli dan partikel terdeposit di sana dimakan oleh
makrofag. Sel amuba menjelajah sekitar permukaan alveoli. Ketika memfagosit partikel asing, mereka
bermigrasi ke jalan napas kecil atau meninggalkan paru melalui limfe atau pembuluh darah. Ketika
debunya banyak atau toxik beberapa makrofag bermigrasi sepanjang dinding bronkiolus respiratori
dan membuang debunya disana. Makrofag tidak hanya mentransport bakteri keluar dari paru tapi juga
membunuhnya in situ oleh lisozim. Akibatnya alveoli secara cepat menjadi steril meskipun perlu
waktu untuk membunuh mikroorganisme mati bersih dari paru. Mekanisme imunologi juga penting
pada aksi antibakteri makrofag. Aktivitas makrofag normal dapat digagalkan oleh beberapa faktor
seperti asap rokok,gas oksidan seperti ozon, hipoxia alveolus, radiasi, pemberian kortikosteroid dan
alkohol yang tertelan. Makrofag yang menangkap partikel silika yang dapat dihancurkan oleh bahan
toxik ini.
Pneumokoniosis Pekerja Tambang
Istilah pneumokoniasis merujuk pada penyakit parenkim paru disebabkan oleh inhalasi debu
inorganik. Satu bentuk tampak pada pekerja tambang dan berhubungan langsung dengan sejumlah
debu batubara dimana pekerja tambang terpajan.
Patologi
Bentuk awal dan akhir penyakit harus dapat dibedakan. Pada pneumokoniasis sederhana,
agregasi partikel batu bara sekitar bronkiolus respiratorius dan terminal yang berdilatasi pada jalan
napas kecil. Bentuk lanjut dikenal dengan nama fibrosis massif progresif, kondensasi masa jaringan
fibrosa hitam infiltrasi dengan debu. Hanya fraksi kecil tambang yang terpajan dengan konsentrasi
berat debu berkembang menjadi fibrosis masif progresif.
Gejala Klinis
Pneumokoniasis sederhana dapat juga membuat sedikit kecacatan meskipun normal pada
radiografik. Sesak nafas dan batuk selalu ada pada penyakit yang berhubungan dengan riwayat
merokok pekerja tambang dan kemungkinan penyebab utama bronkitis kronik dan emfisema.
Sebaliknya fibrosis masif progresif menyebabkan peningkatan dispnu dan gagal nafas lanjut.
Foto roentgen dada pneumokoniasis sederhana menunjukkan mikronodular dan berbagai
stadium lanjut penyakit dilihat dari densitas bayangan. Fibrosis progresif masif berciri opasitas bentuk
besar dengan densitas opasitas ireguler yang mengelilingi bayangan radiolusen abnormal.
Fungsi Paru
Pneumokoniasis sederhana dapat menyebabkan sedikit kegagalan fungsi paru. Terkadang
terjadi sedikit pengurangan VEP1, peningkatan volume residual dan pengurangan PO2 arteri. Sulit
untuk mengetahui apakah perubahan ini dikarenakan bronkitis kronik atau emfisema. Fibrosis
progresif masif menyebabkan obstruksi campuran dengan
retriksi. Gangguan jalan napas
menghasilkan obstruksi ireversibel, dimana massa besar jaringan fibrosis mengurangi penggunaan
volume paru. Peningkatan hipoksemia, cor pulmonale dan gagal napas lanjut dapat terjadi.
Silikosis
Pneumokoniasis yang disebabkan karena inhalasi silica/SiO2 selama penggalian dan
pertambangan. Debu batu bara secara inert, partikel silika toksik dan mencetuskan reaksi fibrosis di
paru. Nodul silicosis mempunyai komposisi serat densitas kolagen yang ditemukan sekitar bronkiolus
respiratori, bagian dalam alveoli dan sepanjang limfatik. Silika partikel terlihat dalam nodul.
Gejala Klinis
Bentuk ringannya tidak memiliki gejala meskipun radiografis dada menunjukkan tanda
nodular halus. Bentuk lanjut menghasilkan batuk dan dispnu yang berat terutama saat latihan.
Radiografi jaringan fibrosis dan dapat berkembang menjadi fibrosa progresif massif. Progresifitas
penyakit dapat berlanjut setelah terpajan berhenti. Dan mempunyai risiko untuk terkena tuberculosis
lebih besar.
Fungsi Paru
Perubahannya hampir sama dengan pneumoconiasis pekerja tambang tapi lebih berat. Bentuk
lanjut, fibrosis interstitial dapat terjadi dengan tipe defek restriktif, dispnu berat dan hipoxemia saat
uji latih dan pengurangan kapasitas difusi.
Asbestosis
Asbestos adalah secara alamiah terdapat pada berbagai penggunaan industrial seperti insulasi
panas, pipa tertinggal, bahan atap dan brake linings. Serat asbestos panjang dan tipis dan
kemungkinan ciri aerodinamiknya memiliki kemampuan penetrasi ke paru. Jika berada dalam paru
dapat terbungkus dalam bahan protein. Jika mereka dibatukkan dalam sputum dalam bentuk asbestos
bodies. Tiga tanda bahaya yang harus dikenali :
1. Difus fibrosis interstitial/ asbestosis secara bertahap terjadi setelah pajanan berat. Dispnu
yang progresif terutama saat latihan,kelemahan umum dan clubbing jari. Auskultasi ada
krepitasi basal halus. Gambaran radiologi dada menunjukkan kesuraman atau bintik-bintik.
Tes fungsi paru pada bentuk lanjut menampakkan pola restriksi yang khas dengan
pengurangan kapasitas vital dan komplians paru. Pengurangan kapasitas difusi relatif terjadi
pada awal-awal penyakit.
2. Karcinoma bronkial komplikasi yang umum terjadi. Kebiasaan merokok merupakan faktor
perburukan.
3. Penyakit pleural terjadi setelah pajanan sepele seperti orang yang mencuci baju pekerja
asbestos. Penebalan pleura dan plak sering terjadi dan cukup berbahaya. Mesotelioma
maligna dapat berkembang setelah 40 tahun setelah pajanan ringan. Menyebabkan retriksi
progresif pergerakan dada, nyeri dada berat dan cepat menurun.
Pneumokoniasis lain
Variasi debu lain menyebabkan pneumokoniasis. Termasuk besi dan oksidanya menyebabkan
siderosis, striking dan penampakkan bintik-bintik. Pajanan berilium membuat lesi granulamatus baik
tipe akut atau kronik. Fibrosis interstisial dicirikan dengan pole disfungsi restriktif. Penyakit ini
sekarang tidak umum lagi saat ini dibandingkan dengan kejadian berilium di industri.
Bisinosis
Beberapa debu organik yang terhirup membuat reaksi jalan napas daripada reaksi alveolar.
Contoh terbaik adalah bisinosis yang mengikuti pajanan debu kapas terutama di cardroom dimana
diawali fiber mengawali proses. Patogenesis tidak begitu dimengerti, tetapi tampaknya inhalasi
komponen aktif menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast di paru. Bronkokonstriksi
menyebabkan dispnu dan wheezing. Ciri penyakit adalah makin memburuknya gejala saat masuk ke
area pemintalan, setelah sebelumnya libur. Dikenal dengan istilah Monday fever. Gejalanya
dispnu,perasaan tertekan didada, wheezing dan batuk iritasi. Pekerja yang sudah ada bronkitis kronis
atau asma dapat rentan.
Tes fungsi paru menujukkan obstriksi dengan pengurangan VEP1, VEP/KVP% 25-75 dan KVP.
Tahanan jalan napas meningkat dan ketidakseimbangan ventilasi meningkat setelah pajanan.
Meningkat makin memburuk seiring berjalannya hari dengan penyembuhan sebagian atau seluruhnya
setiap malam atau akhir pekan. Tidak ada bukti parenkim paru terlibat dan foto dada normal. Bukti
penelitian membuktikan pajanan harian lebih dari 20 tahun dapat menyebabkan kecacatan permanen
fungsi paru COPD.
Asma Okupasional
Variasi okupasional melibatkan pajanan debu organik alergenik dan hipersensitivitas.
termasuk pekerja pabrik tepung yang sensitif pada tepung sari, printer terpajan gum akasia dan
pekerja atau bulu. Toluene diisocyanate/TDI dapat membuat sensitifitas yang tinggi bahan ini.
NEOPLASMA
Karsinoma Bronkus
Insidens penyakit ini menyebabkan kematian 30% kematian pada laki-laki dan 25 % pada
perempuan. Kebanyakan penyakit ini dapat dicegah. Faktor utama penyebab adalah merokok. Bukti
epidemiologi menunjukkan individu yang merokok 20 batang perhari mempunyai 20 kali kematian
dibandingkan dengan tidak perokok pada usia yang sama dan jenis kelamin. Risiko menurun
dramastis jika individu berhenti merokok. Agen spesifik dalam rokok masih belum pasti tapi hampir
semua bahan kardiogenik potensial ada termasuk aromati hidrokarbon, fenol dan radioisotop. Asap
rokok berukuran submikron dan penetrasi jauh kedalam paru. Asal karsinoma bronkogenik dari
bronkus besar yang terdeposit Bronkus besar yang terekspos konsentrasi tinggi asap tembakau bahan
ditranspotasikan dari perifer oleh sistem mukosilier.Perokok pasif risiko meningkat. Penghuni urban
lebih berisiko,polusi atmosfir memainkan peranan. Iritasi saluran napas kronik ditemukan pada udara
kota. Paparan terhadap kromat, nikel, arsenik, asbestos dan gas radioaktif.
Neoplasma terbagi karsinoma sel kecil dan bukan sel kecil:
A. Karsinoma sel kecil
Penampakan homogenitas. Hampir sepertiga kasus neoplasma adalah tipe ini. Tingkat malignansi
tinggi dengan diseminasi cepat. Jarang berada di perifer dan tidak berkavitas.
B. Karsinoma bukan sel kecil, ada 4 tipe :
1. Karsinoma skuamosa adalah yang paling banyak dan hampir separuh kasus. Secara
mikroskopik, jembatan interseluler masih tampak,ada keratin dan pola sarang.
Kadang ada kavitas. Respon awal adalah radiasi bukan kemoterapi.
2. Karsinoma Sel Besar tak berdiferensiasi. Mengandung sel yang hampir sama dengan
skuamosa tapi karakteristik sarang tak tampak, cenderung di perifer.
3. Adenokarsinoma. Karsinoma ini menunjukkan diferensiasi glandular dan
memproduksi mukus. Sering di perifer dan sering terjadi pada wanita.
4. Karsinoma bronkoalveolar. Jenis ini berasal dari tipe 2 alveolar dan jarang terjadi dan
tidak ada hubungannya dengan merokok. Merupakan subset dari adenokarsinoma.
Gejala Klinis
Batuk tak produktif atau hemoptisis terjadi pada awal penyakit.Suara serak terkadang gejala
pertama, disebabkan karena nervus laringeal reccurent kiri. Dispnu karena efusi pleura atau obstruksi
bronkial. Nyeri dada karena mengenai pleura dan merupakan gejala terakhir.Pemeriksaan paru sering
negatif meskipun tanda kolaps lobus atau konsolidasi sering terjadi. Foto rontgen penting dikerjakan
tapi karsinoma sel kecil kadang tak tampak. Bronkoskopi dan sputum sitologi dilakukan diawal
penyakit.
Fungsi Paru
Obyektivitas klinisi untuk mendiagnosis karsinoma bronkus sejak dini dapat menghindari
pembedahan. Tes fungsi paru menunjukkan kelemahan tingkat sedang akhir. Efusi pleura yang besar
menyebabkan retriksi dan bisa menyebabkan kolaps setelah obstruksi komplit bronkial. Obstruksi
parsial bronkus besar dapat menyebabkan pola obstruksi. Obstruksi dapat disebabkan tumor dinding
bronkus atau pembesaran kelenjar getah bening. Obstruksi cabang utama bronkus yang total
memberikan gambar pola pseudorestriktif karena setengah paru tidak berventilasi. Obstuksi bronkus
total atau sebagian, biasanya menyebabkan hipoksemia.
Penyakit Infeksi
Pneumonia
Artinya inflamasi parenkim paru. Parenkim paru terisi eksudat.
Patologi
Alveoli dijejali dengan sel sel PMN. Penyembuhan dapat terjadi, dengan kembalinya jaringan
ke morfologi normal. Mungkin terjadi supurasi dan nekrosis jaringan, menyebabkan abses paru.
Bentuk khusus pneumonia meliputi pneumonia yang terjadi setelah aspirasi cairan lambung atau
hewan atau minyak mineral (lipoid pneumonia). Psittacosis adalah satu bentuk yang ditularkan dari
burung nuri yang terinfeksi dengan rickettsia.
Gejala klinis
Gejalanya antara lain malaise, demam dan batuk. Nyeri pleuritik juga sering dikeluhkan, dan
makin memberat bila bernapas dalam. Pemeriksaan fisis ditemukan napas dangkal dan cepat,
takikardia, dan memburuk bila bernapas dalam. Terdapat tanda konsolidasi, dan ronsen thorax
menunjukkan opasifikasi, yang dapat mengenai suatu lobus (pneumonia lobar), tapi seringnya tersebar
(bronkopneumonia). Pemeriksaan dan kultur sputum dapat menemukan organisme penyebabnya.
Fungsi Paru
Karena area paru yang pneumonia tidak terventilasi, dapat terjadi shunting dan hipoksemia.
Keparahan kondisi ini tergantung pada aliran darah paru lokal, yang dapat berkurang banyak karena
proses penyakitnya ataupun karena vasokonstriksi hipoksik. Meskipun begitu, pasien dengan
pneumonia berat dapat mengalami sianosis. Retensi karbondioksia jarang terjadi. Pergerakan dada
dapat terhambat karena nyeri pleura atau karena efusi pleura
Tuberkulosis
Bentuk TB paru bermacam-macam. Lesi awal tidak memengaruhi fungsi paru, tapi pada
tahap akhir penyakit, dapat terjadi gangguan fungsional parah, berujung kepada kegagalan
pernapasan. Penyakit TB lanjut lebih jarang ditemukan sekarang karena terapi dengan obat
antituberkulosis.
Infeksi awal berakhir dengan pembentukan kompleks primer dan pembesaran KGB hilus.
Limfadenopati ini cepat menyembuh dan tidak terdeteksi. Infeksi pasca primer terjadi di apeks paru,
karena rasio ventilasi perfusi yang besar di daerah itu, sehingga PO2 nya tinggi. Keadaan lingkungan
ini bagus untuk pertumbuhan kuman TBC. Bila infeksinya menyembuh, sering tidak terjadi gangguan
fungsional.
Perluasan infeksi TB dapat menyebabkan pneumonia, infeksi miler, kavitas, atelektasis lobus,
atau efusi pleura. Pada akhirnya, terjadi fibrosis parah, mengakibatkan gangguan restriksi.
Infeksi Jamur
Infeksi jamur tersering di AS adalah histoplasmosis. Pada orang dewasa, tidak menyebabkan
gejala, tapi hanya kalsifikasi pada radiologis. Jamur candidiasis adalah penghuni normal pada rongga
mulut dan traktus gastrointestinal, penyakitnya umum ditemukan, dan jinak.
Penyakit paru pada AIDS
Infeksi paru tersering pada pasien AIDS adalah yang terbanyak Pneumocystis carinii, diikuti
Mycobacterium avium-intracellulare dan infeksi cytomegalovirus. Penyakit yang cukup sering
ditemukan adalah TBC dan Legionella. Dapat juga terjadi sarkoma Kaposi. Bila kita menemukan
penyakit paru seperti ini pada pasien risiko tinggi, kita harus mencurigai AIDS
Penyakit Supuratif
Bronkiektasis
Ciri penyakit ini adalah dilatasi bronkus dan supurasi lokal
Patologi
Permukaan mukosa bronkus yang mengalami bronkiektasis menunjukkan hilangnya epitel
bersilia, metaplasia skuamosa, dan infiltrasi dengan sel infamasi. Terdapat pus di lumen, selama
eksaserbasi. Bisa juga ada hemoptysis dan halitosis. Sering terdengar krepitasi dan clubbing finger
pada kasus parah. Gambaran foto toraks menunjukkan peningkatan corakan.
Gejala klinis
Penyakit ringan tidak menunjukkan fungsi. Pada kasus yang lebih lanjut, terdapat penurunan
VEP dan KVP karena perubahan inflamasi kronik, seperti fibrosis. Pengukuran isotop radioaktif
menunjukkan ventilasi dan aliran darah yang berkurang pada area yang terganggu. Dapat terjadi
hipoksemia karena aliran darah yang melalui paru yang tidak berventilasi.
Fibrosis Kistik
Merupakan penyakit kelenjar eksokrin karena gangguan genetik yang melibatkan transport
natrium dan klorida. Pada paru, bentuknya berupa bronkiektasis dan bronkiolitis
Patologi
Organ utama yang terganggu adalah pankreas, dimana terjadi atrofi dan duktusnya melebar
menjadi kista yang berdilatasi. Pada paru, terdapat sekresi kelenjar mukosa hipertrofi, yang
berlebihan. Aktivitas silia juga terganggu. Sumbatan mukus pada jalan napas kecil juga menyebabkan
infeksi kronik. Malnutrisi karena gagal pankreas menyebabkan ketahanan yang rendah terhadap
infeksi.
Gejala Klinis
Beberapa pasien meninggal karena ileus mekonium sesaat setelah lahir, dan beberapa tetap
kecil dan malnutrisi. Gejala pernapasan meliputi batuk produktif, infeksi paru berulang, dan toleransi
olahraga yang berkurang. Sering ditemukan finger clubbing. Pada auskultasi, terdapat ronki basah
kasar dan ronki kering. Gambaran ronsen abnormal pada awal penyakit, dan menunjukkan area
konsolidasi, fibrosis dan kistik. Pada anak-anak, diagnosis ditegakkan dengan didapatkannya
konsentrasi natrium yang tinggi di keringat. Pikirkan penyakit fibrosis kistik bila seorang remaja atau
dewasa muda mengalami bronkitis kronik.
Fungsi paru
Distribusi ventilasi yang abnormal, dan peningkatan AaDO2 merupakan temuan pada tahap
awal penyakit. Beberapa peneliti melaporkan uji fungsi jalan napas kecil, seperti pengukuran arus
pada volume paru rendah, dapat mendeteksi lesi minimal. Ada penurunan VEP1 dan FEF25-75% yang
tidak berespon dengan bronkodilator. Volumer residu dan KRF meningkat dan mungkin terjadi
hilangnya rekoil elastik. Toleransi olahraga menurun seiring berkembangnya penyakit.
BAB 8
GAGAL NAFAS
Gagal nafas terjadi ketika paru gagal mengoksigenasi darah arteri dengan adekuat dan atau
gagal mencegah retensi CO2.
Pertukaran Gas pada Gagal Nafas
Pola Gas Darah Arterial
Gambar 8.1 menunjukkan diagram O2-CO2 dengan garis untuk rasio pertukaran respirasi
sebesar 0.8. Hipoventilasi murni yang mengarah ke gagal nafas menggeser PO2 dan PCO2
arterial kea rah yang ditunjukan oleh panah A. Pola ini terjadi pada gagal nafas yang
disebabkan oleh penyakit neuromuscular, seperti poliomyelitis atau oleh over dosis obat
narkotik. Ketidakseimbangan rasio ventilasi-perfusi yang berat dengan ventilasi alveolar yang
tidak adekuat untuk mempertahankan PCO2 arteri, menyebabkan gerakan di sepanjang garis
B. Hipoksemia yang berhubungan denngan hiperkapnia lebih berat dibandingkan pada
hipoventilasi murni. Pola seperti itu sering terlihat pada gagal nafas penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK).
Gambar 8-1. Pola PO2 dan PCO2 pada berbagai tipe gagal napas. Perhatikan bahwa PCO2 dapat tinggi,
seperti hipoventilasi murni (garis A), atau rendah, seperti pada ARDS (garis D). Garis putus2 menunjukkan
efek pernapasan oksigen.
Penyakit interstitial berat kadang kala menyebabkan gerakan sepanjang garis C. Di sini terjadi
hipoksemia berat yang memberat, tetapi tanpa retensi CO2 karena peningkatan ventilasi. Pola ini
dapet terlihat pada penyakit paru interstitial difus atau sarkoidosis. Kadang terjadi peningkatan PCO2
arteri, tetapi biasanya kurang jelas dibandingkan pada penyakit obstruksi.
Pada gagal nafas yang disebabkan oleh sindrom distress pernafasan dewasa (ARDS), PCO2
arteri mungkin rendah, seperti yang ditunjukkan garis D, tetapi hipoksemianya mungkin ekstrim.
Pasien seperti ini biasanya diterapi dengan penambahan oksigen inspirasi, yang meningkatkan PO2
arteri, tetapi sering kali tidak mempengaruhi PCO2 (D ke E) walaupun pada beberapa kasus dapat
meningkat. Terapi oksigen pada pasien yang gagal nafasnya disebabkan oleh PPOK memperbaiki
PO2 arteri seringkali menyebabkan PCO2 yang meningkat karena depresi ventilasi (B ke F).
Hipoksemia pada Gagal Nafas
Penyebab
Satu dari empat mekanisme hipoksemia yaitu hipoventilasi, gangguan difusi, pirau dan
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Mekanisme ini sangat berperan pada PO2 arteri yang rendah
pada gagal nafas yang merupakan komplkasi penyakit obstruktif, penyakit restriktif dan ARDS.
Deteksi
Hipoksemia berat menyebabkan sianosis, tanda kardiovaskular seperti takhikardi dan efek
system saraf pusat seperti kebingungan mental. Pembahasan mengenai deteksi hipoksemia dari tanda
tersebut sering dilakukan sebab pengukuran PO2 dalam darah arteri penting untuk menentukan derajat
hipoksemia pada pasien yang dicurigai mengalami gagal nafas.
Hipoksia Jaringan
Hipoksemia berbahaya karena menyebabkan hipoksia jaringan. Akan tetapi PO2 arteri hanya
satu factor dalam pengiriman oksigen ke jaringan. Faktor lain meliputi kapasitas oksigen pada darah,
afinitas oksigen pada hemoglobin, curah jantung dan distribusi aliran darah.
Kerentanan jaringan terhadap hipoksia sangat bervariasi. Jaringan dengan resiko terbesar
adalah system saraf pusat dan miokardium. Terhentinya aliran darah ke korteks serebral menyebabkan
hilangnya fungsi dalam 4-6 detik, hilangnya kesadaran dalam 10-20 detik dan perubahan irreversible
dalam 3-5 menit.
Jika PO2 turun dibawah kadar kritis di dalam jaringan, oksidasi aerob terhenti dan glikolisis
anaerob mengambil alih dengan pembentukan dan pelepasan asam laktat yang makin bertambah. PO2
saat hal ini terjadi tidak diketahui secara akurat dan mungkin bervariasi antar jaringan. Namun
terdapat bukti bahwa PO2 intraseluler kritis adalah kelipatan 1 mmHG pada daerah mitokondria.
Glikolisis anaerob merupakan metode yang relatif tidak efisien untuk mendapatkan energy
dari glukosa. Walaupun demikian, ia memiliki peran penting untuk mempertahankan viabilitas
jaringan pada gagal nafas. Asam laktat dalam jumlah banyak yang terbentuk akan dilepas ke dalam
darah menyababkan asidosis metabolik. Jika oksigen jaringan setelahnya menjadi baik, asam laktat
dapat diubah kembali menjadi glukosa atau digunakan langsung sebagai energy. Sebagian besar
pengubahan ini terjadi di hepar.
Efek Hipoksemia Berat
Hipoksema ringan menghasilkan sedikit perubahan fisiologis. Perlu diingat bahwa saturasi
oksigen arteri sekitar 90% ketika PO2 hanya 60mmHg pada pH normal. Satu-satunya kelianan adalah
gangguan mental dan tajam penglihatan serta hiperventilasi ringan.
Jika PO2 cepat turun dibawah 40-50mmHg, efej membhayakan terlihat di beberapa system
organ. System saraf pusat biasnya rentab dan pasien sering mengalami sakit kepala , somnoen atau
kesadaran yang berkabut. Hipoksemia akut yang dalam dapat menyababkan konvulsi, perdarahan
retina dan kerusakan otak permanen. System kardiovaskular menunjukkan takhikardi dan hipertensi
ringan, sebagian disebabkan oleh pelepasan katekolamin, pada hipoksemia berat mungkin terjadi
bradikardi dan hipotensi. Tanda gagal jantung dapat terjadi jika disertai penyakit arteri koronaria.
Fungsi ginjal terganggu, dapat terlihat retensi natrium dan proteinuria. Hipertensi pulmonal lazim
terjadi karena disertai hipoksia alveolar.
Hiperkapnia pada Gagal Nafas
Penyebab
Kedua mekanisme retensi CO2 hipoventiasi dan ketidakseimbangan ventilasi perfusi dapat
menjadi factor yang penting dalam gagal nafas. Hipoventilasi adalah penyabab gagal nafas akibat
penyakit neuromuscular, seperti sindrom Guillain Barre, overdosis obat barbiturat atau kelainan
dinding dada seperti remuk dada. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi adalah penyebab PPOK berat
dan penyakit interstitial jangka lama.
Satu penyebab retensi CO2 pada gagal nafas yang penting adalah penggunaan terapi oksigen
yang tidak tepat. Banyak pasien dengan PPOK secara bertahap mengalami hipoksemia berat adan
sedikit demi sedikit retensi CO2 dalam waktu beberapa bulan. Biasanya keadaab seperti ini tidak
dinyatakan sebagai gagal nafas karena pasien demikian dapat melanjutkan keadaan seperti ini dalam
waktu yang lama. Akan tetapi, pasien tersebut biasanya memerlukan usaha yang ebih untuk bernafas
dan banyak dorongan ventilasi berasal dari stimulasi hipoksik kemoreseptor perifer. pH arteri ternyata
normal karena retensi bikarbonat di situ. Walaupun terjadi peningkatan PCO2 arteri, dorongan
ventilasi utama berasal dari hipoksemia.
Jika pasien mengalami infeksi pernafasan, penyulit prenafasan yang relative ringan dan
diterapi dengan konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi, dapat terjadi keadaan yang berpotensi
membahayakan dengan cepat. Dorongan ventilasi hipoksik mungkin menghilang saat kerja pernafasan
meningkat karena ekret yang tertahan atau bronkospasme. Akibatnya ventilasi menjadi sangat
terdepresi dan dapat terjadi kadar PCO2 yang tinggi. Selain itu, hipoksemia berat dapat terjadi jika
oksigen dihentikan. Ini karena walaupu ventilasi kembali ke tingkat sebelumnya, pasien
membutuhkan beberapa menit untuk melepaskan beban akumulai CO2 yang besar di dalam
jaringannya sebab cadangan gas ini di dalam tubuh besar.
Penyebab sekunder retensi CO2 pada pasien ini mungkin karena pelepasan vasokonstriksi
hipoksik di daerah paru berventilasi buruk akibat peningkatan PO2 alveolar. Akibatnya adalah
peningkatan aliran darah ke daerah Va/Q rendah dan perburukan ketidakseimbangan VA/Q yang
memperberat retensi CO2. Faktor ini mungkin kurang penting bila dibandingkan depresi ventilasi,
tetapi peningkatan PCO2 arteri yang cepat seperti yang terlihat ketika beberapa pasien ini diberi
oksigen menunjukkan bahwa mekanisme ini memiliki peranan.
Pasien demikian itu menimbulkan dilema terapeutik. Di satu sisi, pemberian oksigen
cenderung menyebabkan retensi CO2 berat dan asidosis respiratorik. Di sisi lain, jelas penting untuk
memberi sedikit oksigen guna mengurangi hipoksemia yang mengancam jiwa. Jawaban masalah ini
adalah memberi konsentrasi yang relative rendah dan sering memantau gas darah arteri untuk
menentukan apakah terjadi depresi ventilasi. Intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Penggunaan oksigen tambahan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya.
Efek
Peningkatan kadar PCO2 darah sangat meningkatkan aliran darah serebral meyebabkan sakit
kepala, peningkatan CCS dan terkadang papiledema. Dalam kenyataan, efek serebral hiperkapnia
mengalami tumpang tindih dengan efek hipoksemia. Kelainan yang dihasilkan meliputi gelisah,
tremor, bicara melantur, asteriksis (flapping tremor) dan fluktuasi mood. Kadar PCO2 yang tinggi
bias didapatkan pada pengguna narkotik dan menyebabkan kesadaran berkabut.
Asidosis pada Gagal Nafas
Retensi CO2 menyebabkan asidosis respiratorik yang mungkin berat, terutama setelah
pemberian oksigen yang kurang tepat. Namun pasien yang mengalami gagal nafas secara bertahap
mungkin menahan bikarbonat dalam jumlah yang banyak sehingga menjaga terjadinya penurunan pH.
Asidosis metabolik sering kali turut menyertai asidosis respiratorik dan menambah kelainan
asam basa. Ini disebabkan oleh pembebasan asam laktat dari jaringan hipoksik, ditambah factor ganda
hipoksemia serta sirkulasi perifer yang tidak adekuat penambahannya. Pada pasien yang diberikan
ventilasi secara mekanik, pningkatan intratoraks tersebut dapat mengganggu aliran balik vena dan
curah jantung sehingga menurunkan aliran darah perifer.
Peran Kelelahan Diafrgma
Kelelahan diafragma dapat berperan dalam hipoventilasi pada gagal nafas. Diafragma terdiri
dari otot rangka berstria yang dikendalikan oleh jaras saraf autonom dan volunteer melalui nervus
frenikus. Walaupun diafragma sebagian besar terdiri dari serat oksidatif berkontraksi lambat dan serat
glikolitik berkontraksi cepat, yng relative tahan terhadap kelelahan, kelelahan ini dapat terjadi jika
pernafasan sangat meningkat dalam waktu yang lama. Kelelahan dapat didefinisikan sebagai
hilangnya gaya kontraktil setelah kerja dan dapat diukur dari tekanan transdiafragmatik yan
disebabkan oleh kontraksi maksimum atau secara tidak langsungdari waktu relaksasi otot atau
elektromogram. Ada bukti bahwa beberapa pasien dengan PPOK secara terus menerus bernafas
mendekati tingkat terjadinya kelelahan. Hal ini kemudian menyebabkan hipoventilasi, retensi CO2dan
hpoksemia berat. Karena hiperkapnia mengganggu kontraktilitas diaframa dan hioksemia berat
mempercepat onset kelelahan, terbentuklah siklus lingkaran setan.
Bahaya kelelahan diafragma dapat dikurangi dengan mengurangi kerja pernafasan melalui
penanganan bronkospasme dan pengendalian infeksi, dan dengan member oksigen secara benar untu
mengurangi hipoksemia. Kekuatan kotraksi dapat diperbaiki melalui program pelatihan, misalnya
bernafas melewati resistensi inspiratorik. Di samping itu, pemberian metilxantin memperbaiki
kontraktilitas diafragma dan juga mengurangi bronkokonstriksi reversible. Namun, peran kelelahan
diafragma pada gagal nafas belum dipahami sepenuhnya.
TIPE GAGAL NAFAS
Dari sudut pandang fisiologis penatalaksaannya, gagal nafas dapat dibedakan menjadi lima
kelompok :
1.
2.
3.
4.
5.
Penyakit paru akut yang berat
Gangguan neuromuskuar
Keadaan akut penyakit paru kronis
Sindrom distres nafas dewasa (ARDS)
Sindrom distres nafas bayi ( infant respiratory distress syndrome)
Penyakit Paru Akut yang Berat
Banyak penyakit akut, jika cukup berat dapat menyebabkan gagal nafas. Ini meliputi infeksi
seperti pneumonia viral atau bacterial yang fulminan, penyakit vascular seperti emboli paru dan
pajanan terhadap bahan toksik yang diinhalasi seperti gas klorin atau oksida nitrogen. Gagal nafas
timbuk sebagai perkembangan penyakit yang primer dan hipoksemia berat dangan atau tanpa
terjadinya hiperkapnia. Pemberian oksigen diperlukan untuk hipoksemia dan ventilasi mekanik
mungkin penting untuk membawa pasien mengatasi stage terburuk. Beberapa pasien diterapi dengan
oksigenator membrane ekstrakorporea yang banyak mengambil alih fungsi pertukaran gas paru.
Terapi penyakit yang mendasari, misalnya antibiotic untuk pneumonia bakterial jelas penting.
Gangguan Neuromuskular
Gagal nafas mungkin terjadi ketika pusat pernafasan diteka oleh obat, seperti heroin dan
barbiturate. Keadaan lain meliputu penyakit system saraf pusat dan neuromuscular seperti ensefalitis,
poliomyelitis, sindrom Guillain Barre, miastenia gravis, keracunan antikolinesterase, sklerois
amiotrofik lateral dan distrofi muscular progresif.
Pada keadaan ini gambaran yang utama adalah hipoventilasi yang menyebabkan retensi CO2
dengan hipoksemia sedang. Asidosis respiratorik terjadi, tetapi besarnya penurunan pH tergantung
pada kecepatan peningkatan PCO2 dan luasnya kompensasi renal.
Ventilasi mekanik sering kali diperlukan pada keadaan ini dan kadang kala, seperti pada
poliomyelitis bulbar, mungkin diperlukan selama beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Walaupu
demikian, paru sebdiri biasanya normal dan jika demikian, tidak memerlukan oksigen tambahan untuk
mengatasi hipoksemia. Selain itu jika terdapat penyakit yang mendasari selalu diperlukan terapi
terhadap penyakit tersebut.
Keadaan Akut pada Penyakit Paru Kronis
Istilah ini merjuk kepada eksaserbasi akut penyakit mendasar yangn sudah lama pada pasien.
Ini merupakan kelompok yang penting dan umum yang meliputi pasien dengan bronchitis kronis dan
emfisema, asma dan fibrosis kistik. Banyak pasien dengan PPOK mengikuti perjalanan menurun yang
bertahap dengan hipoksemia dan retensi CO2 yang bertambah berat dalam bulan atau tahun. Pasien
demikian biasanya dapat melakukan aktvitias fisik yang terbatas walaupun PO2 dan PCO2 arteri
mungkin sebesar 50mmHg. Akibatnya keadaan ini tidak dinyatak sebagai gagal nafas.
Walaupun demikian jika pasien mengalami eksaserbasi infeksi dada yang ringan, keadaan
tersebut sering memburuk dengan cepat, dengan hipoksemia, retensi CO2 dan asidosis respiratorik
yang berat. Cadangan fungsi paru minimal dan setiap peningkatan kerja nafas atau pernurukan
hubungan ventilasi perfusi akibar=t retensi secret atau bronkospasme mendorong pasien melewati
batas terjadinya gagal nafas.
Penatalaksanaan pasien demikian memerlukan penanganan yang hati-hati. Sudah seharusnya
infeksi yang mendasar diterapi dengan antibiotic. Selain itu bronchodilator mungkin diindikasikan
untuk bronkospasme dan diuretic serta digiltalis mungkin diperlukan jika terbukti ada gagal jantung.
Suplemen oksigen diperlukan untuk mengurangi hipoksemia berat. Namun, pasien seperti ini sering
kali mengalami kehilangan dorongan ventilasi dan mengalami retensi CO2 berat serta asidosis jika
terlalu banyak diberikan oksigen. Untuk alasan ini, biasanya pemberian oksigen dimulai dari 24-28%
dan pemantauan gas darah arteri sering dilakukan.
Ventilasi mekanik mungkin diperlukan, tetapi kepurusan untuk menerapkannnya sulit. Pada
suatu sisis, hampir tidak mungkin mencegah peningkatan PCO2 arteri tanpa ventilasi buatan. Di lain
pihak pasien ini sering kali memiliki penyakit baru yang berat sehingga sekali mereka terpasang
ventilator, mungkin akan sulit atau bahkan tidak mungkin melepasnya. Setiap kasus perlu
dipertimbangkan kepentingannya.
Sindrom Distres Nafas Dewasa
Keadaan ini sering kali merujuk kepada gagal nafas akut. Ini merupakan hasil akhir dari
berbagai serangan, termamsuk trauma pada paru atau bagian tubuh lain, aspirasi, sepsis dan syok oleh
penyebab apapun. Terdapat bukti bahwa banyak organ lain yang juga terkena dan keadaan ini
mungkin seharusnya dinyatakan sebagai gagal multi organ.
Patologi
Perubahan awal terdiri dari edema interstitial dan alveolar. Perdarahan, debris seluler dan
cairan proteinaseus terdapat dalam alveoli, membrane hialin dapat terlihat dan terdapat atelektasis
berbecak. Kemudian, hyperplasia dan organisasi terjadi. Epitel alveolar yang rusak akan dilapisi oleh
alveolar tipe 2 dan terjadi infiltrasi seluler pada dinding alveolar. Pada akhirlnya dapat terjadi fibrosis
interstitial walaupun terdapat kemungkinan terjadi penyembuhan yang komplet.
Patogenesis
Hal ini masih belum jelas dan banyak factor yang mungkin berperan,. Endotel kapiler dan sel
epitel alveolar tipe 1 rusak saat awal, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
dibanjirinya alveoli dengan cairan proteinaseus. Neutrofil berakumulasi sebagian karena aktivasi
komplemen atau kinin. Neutrofil yang teraktivasi melepaskanmediator antara lain bradikinin,
histamine dan factor pengaktif trombosit. Selain itu radikal oksigen yang toksik dibentuk, bersamaan
dengan produk siklooksigenase seperti prostaglandin dan tromboksan serta lipooksigenase seperti
leukotrien. Trombosit yang diaktivasi oleh PAF melepaskan protease dan kalikrein.
Gejala Klinis
ARDS sering kali diakibatkan beberapa penyakit mendasar lain yang berat yang tidak
berhubungan dengan paru dan onset gagal nafas sering kali tertunda. Anamnesis yang tipikal adalah
pasien terpapar dengan trauma berat, misalnya kecelakaan kendaraan bermotor dengan fraktur
multiple. Terjadi syok perdarahan dengan hipotensi yang diterapi dengan penggunaan
Gambar 8-2. Perubahan histologis pada ARDS, dengan cara biopsi paru terbuka.
Ada atelektasis, edema, membran hyalin, dan debris seluler yang tersebar di alveoli.
cairan. Pasien tampak baik sampai mungkin 2 hari setelah trauma, kemudian terjadi sedikit
peningkatan kecepatan pernafasan, PO2 dan PCO2 arteri menurun dan foto toraks tampak berkabut
yang kemudian berkembang menjadi kepadatam opasitas yang tidak sama. Terjadi hipksemia berat.
Fungsi Paru
Paru menjadi sangat kaku dan terkadang diperlukan tekanan yang sangat tinggi untuk
ventilasi secara mekanik. Beserta dengan komplikasi yang menurun ini terjadi penurunan FRC yang
jelas. Penyebab peningkatan recoil diperkirakan adalah edema alveolar dan eksudat, yang
meningkatkan gaya tegangan permukaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, alveoli yang
mengalami edema berkurang volumenya. Edema interstitial mungkin juga berperan pada kekakuan
paru yang abnormal itu.
Seperti yang telah diperkirakan dari gambaran histologik paru, terjadi ketidakseimbangan
ventilasi perfusi yang jelas., dengan fraksi aliran darah total yang besar masuk ke dalam alveolitidak
berventilasi. Fraksi ini dapat mencapai 50% atau lebih. Gambar 8.3 menunjukkan beberapa hasil yang
didapat melalui metode gas inert multiple pada pasien 44 tahun yang mengalami gagal nafas setelah
mengalami kecelakaan kendaraan bermotordan diventilasi secara mekanik. Perhatikan aliran darah
menuju unit paru dengan rasio ventilasi perfusi yang abnormal rendah dan uga pirau 8%. Gambar ini
juga menunjukkan ventilasi dalamjumlah besar ke unit dengan rasio ventilasi perfusi tinggi. Satu
alasan untuk hal ini adalah tekanan jalan nafas abnormal tinggi yang dihasilkan oleh ventilator yang
mengurangi airan darah pada beberapa alveoli.
Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dan pirau menyebabkan hipoksemia berat. Pasien ini
biasanya harus diberi campuran yang diperkaya dengan oksigen karena pernafasan dengan udara,
bahkan dengan ventilator, menyebabkan PO2 arteri rendah yang membahayakan . konsentrasi oksigen
40-100% kadang diperlukan selama ventilasi mekanik untuk mempertahankan PO2 arteri diatas
60mmHg. Walaupun demikian kemungkinan keracunan oksigen perlu diwaspadai. Penambahan
tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) sering menyebabkan perbaikan yang nyata pada oksigenasi
pada pasien tersebut.
Sebaliknya PCO2 arteri sering kali rendah, bahkan ketika terjadi hipoksemia berat, nilai sekitar
20mmHg dapat terjadi. Alasasn peningkatan ventilasi masih belum diketahuiwalaupun mungkin
edema interstitial merangsang reseptor J intrapulmonal atau reseptor regangan. Factor lain yang
mungkin adalah stimulasi kemoreseptor perifer oleh hipoksemia walaupun perbaikan hal ini biasanya
tidak mempengaruhi tingkat ventilasi.
Sindrom Distres Nafas Bayi
Penyakit ini disebut juga sebagai penyakit membrane hialin neonates. Penyakit ini memilki
gambaran yang sama dengan ARDS. Secara patologis paru menunjukkan edema perdarahan,
atelektasis dan membrane hialin yang disebabkan oleh cairan proteinaseus dan debris selular dalam
alveoli. Secara fisiologis tampak hipoksemia berat dengan ketidakseimbangan ventilasi pefusi serta
aliran darah melewati paru tidak berventilasi. Selain itu pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale
yang paten dapat memperberat hipoksemia. Ventilasi mekanik dengan campuran yang diperkaya
oksigen sering kali perlu, dan penambhan PEEP atau tekanan jalan nafas positif kontinu juga sering
bermanfaat.
Penyebab utama keadaan ini adalah tidak terdapatnya surfaktan paru walaupun factor lain
mungkin juga terlibat. Surfaktan normalnya dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2 dan kemampuan paru
untuk mennsintesa bahan ini dalam jumlah yang menncukupi berkembang relative lambat pada
kehidupan janin. Oleh sebab itu, bayi yang lahir memiliki resiko. Kemampuan bayi untuk mensekresi
surfaktan dapat diperkirakan dengan mengukur rasio lesitin/sfingomielin dari cairan amnion dan
kematangan system sintesis surfaktan dapat dipercepat dengan pemberian kortikosteroid. Terapi
keadaan ini dengan memberikan surfaktan eksogen melalui trakea memberikan kebaikan.
Penatalaksanaan Gagal Nafas
Obstruksi Jalan Nafas
Gagal nafas sering kali dicetuskan oleh peningkatan resistensi jalan nafas. Banyak
pasien menderita PPOK selama bertahun-tahun dengan hipoksemia dan bahkan hiperkapnia
ringan. Walaupun demikian mereka mampu mempertahankan beberapa aktivitas fisik.
Namun jika mereka mengalami bronkospasme akibat pajanan terhadap kabur atau udara
dingin atau jika mereka menderita “salesma berdahak” dengan peningkatan sekresi, mereka
dapat mengalami gagal nafas dengan cepat. Kerja otot pernafasan tambahan menjadi
pencetusnya, dan mereka menglami hipksemia berat, retensi CO2 dan asidosis respiratorik.
Terapi harus diarahkan untuk mengurangi obstruksi jalan nafas. Sekresi yang tertahan paling
baik dikeluarkan dengan batuk jika ini efektif. Mendorong untuk batuk dan bantuan dari ahli terapi
pernafasan, perawat atau dokter sering kali membantu. Mengubah posisi pasien dari samping ke
samping untuk membantu drainase sekresi mungkin bermanfaat. Hidrasi yang adekuat penting untuk
mencegah secret menjadi terlalu kental. Memlembapkan semua gas yang diberikan melalui ventilator
harus dilakukan untuk mencegah secret mengental dan mongering. Obat seperti kalium iodide melalui
mulut atau acetylsistein melalui aerosol untuk mengencerkan secret sputum diragukan manfaatnya.
Fisioterapi dada dapat membantu membersihkan sekresi jalan nafas. Walaupun demikian aspirasi
secresi dengan bronkoskopi mungkin diperlukan. Kadang kala stimulant pernafasan diberikan pada
pasien yang mengantuk, tetapi yang penting pemberian depresan nafas harus dihindari karena obat ini
dapat mensupresi batuk.
Sering obstruksi jalan nafas reversible harus diterapi dengan bronchodilator, seperti albuterol
atau metapreterenol aerosol, aminofilin intravena atau mungkin juga kortikosteroid intravena. Obat
seperti isoproterenol yang juga merangsang reseptor β adrenergic di jantung perlu dihindari.
Infeksi Pernafasan
Eksaserbasi bronchitis yang sudah ada pada pasien dengan PPOK atau infeksi pernafasan
paru pada pasien dengan penyakit paru interstitial lanjut, sering mencetuskan gagal nafas. Paling
tidak ada dua mekanisme fisiologik untuk ini. Pertama penambahan sekresi dan mungkin
bronkospasme menigkatkan kerja pernafasan seperti yang dibahas sebelumnya. Kedua terjadi
perburukan hubungan ventilasi perfusi sehingga meskipun ventilasi alveoli tidak berubah, terjadi
peningkatan hipoksemia dan hiperkapnia. Terapi infeksi dengan antibiotic diindikasikan. Eksaserbasi
bronchitis meskipun ringan pada pasien dengan PPOK dapat mencetuskan gagal nafas. Lebih lanjut,
respons sistemik terhadap infeksi yang bias seperti pireksia dan leukosistosis, sering kali tidak ada.
Insufisiensi Jantung
Banyak pasien dengan gagal nafas insipient mengalami gangguan system kardiovaskular.
Tekanan arteri pulmonal sering kali menigkat akiat beberapa factor, termasuk kerusakan anyaman
kapiler paru oleh penyakit, vasokonstriksi hipoksik dan peningkatan viskositas darah yang disebabkan
oleh polisitemia. Selain itu, miokardium mengalami hipoksia kronis. Retensi cairan sering terjadi
akibat retensi ion bikarbonat dan natrium oleh ginjal yang hipoksik. Yang terkahir beberapa pasien
memiliki penyakit arteri koroner sebelumnya.
Pasien dengan PPOK sering mengalami edema perifer, hepatomegali, dan pembesaran vena
leher. Pasien seperti ini dan lainnya juga mungkin menunjukkan tanda gagal jantung kiri, dengan
ronkhi basal saat auskultasi dan pembesaran lapangan paru radiograf. Edema paru ringan nantinya
mengganggu pertukaran gas paru dengan menyebabkan ventilasi yang tidak seimbang. Terapi diuretic
dan digitalis diinndikasikan.
Hipoksemia
Hipoksemia dapat dikurangi tingkat tertentu dengan mengatasi obstruksi jalan nafas dan
infeksi dada. Walaupun demikian, pemberian oksigen jangka panjang sering kali diperlukan dan ini
merupakan topiK yang akan dibahas secara lebih rinci pada bab berikutnya.
Hiperkapnia
Hiperkapnia sering berespon terhadap tndakan umum yang ditujukan pada obstruksi jalan
nafas dan infeksi. Walaupun demikian., ventilasi mekanik sering kali dibutuhkan. Hal ini akan
dibahas terperinci pada bab selanjutnya.
BAB 9
TERAPI OKSIGEN
Pemberian oksigen berperan penting dalam manajemen hipoksemia, terutama pada keadaan
gagal napas. Respon pasien terhadap pemberian oksigen dapat bervariasi, dan beberapa potensi
berbahaya dapat terjadi pada pemberian oksigen tersebut.
PERBAIKAN OKSIGENASI SETELAH PEMBERIAN OKSIGEN
Kekuatan penambahan oksigen
Inhalasi oksigen 100% dapat meningkatkan PO2 arteri. Pada pasien dengan overdosis
narkotika, dapat terjadi hipoventilasi dengan tekanan PO2 arteri 50 mmHg dan PCO2 80 mmHg. Jika
pasien ini diberikan ventilasi mekanik dengan oksigen 100%, tekanan PO2 arteri dapat meningkat
hingga 600 mmHg, yaitu peningkatan hingga 10 kali lipat.
Respon pada Variasi Hipoksemia
Mekanisme hipoksemia berperan penting terhadap respon pemberian oksigen inhalasi.
Mekanisme hipoksemia, yaitu hipoventilasi, kerusakan difusi, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi,
dan shunt.
Hipoventilasi
Peningkatan tekanan PO2 alveolar dapat diprediksi dengan persamaan gas alveolar, jika laju
metabolik, laju ventilasi dan tekanan PCO2 alveolar dianggap tidak berubah.
𝑃𝐴𝑂2 = 𝑃𝐼𝑂2 −
𝑃𝐴𝐶𝑂2
+ 𝐹
𝑅
dimana F merupakan faktor koreksi yang kecil
Dengan asumsi tidak ada perubahan pada PCO2 alveolar dan rasio pertukaran respirasi, maka
persamaan menunjukkan bahwa peningkatan PO2 alveolar sebanding dengan peningkatan nilai
inspirasi. Peningkatan oksigen 30% dapat meningkatkan PO2 alveolar hingga 60 mmHg. Dalam
praktik, tekanan PO2 arteri selalu lebih rendah dibandingkan nilainya di alveolar karena sejumlah
percampuran yang kecil di vena. Dapat disimpulkan bahwa hipoksemia akibat hipoventilasi, yang
jarang menjadi keadaan yang berat, dengan mudah dapat diperbaiki keadaannya dengan pemberian
gas kaya oksigen.
Kerusakan Difusi
Keadaan hipoksemia akibat kerusakan difusi juga dapat diperbaiki dengan pemberian
oksigen. Laju perpindahan oksigen melewati barier gas-darah sebanding dengan perbedaan PO2 antara
alveolar dan kapiler. Perbedaan tekanannya sebesar 60 mmHg pada permulaan kapiler. Jika kita
meningkatkan konsentrasi oksigen yg diinspirasikan sebesar 30%, maka dapat terjadi peningkatan
PO2 alveolar menjadi 60 mmHg. Hal ini kemudian dapat memperbaiki oksigenasi hingga akhir dari
kapiler tersebut.
Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi
Pemberian oksigen biasanya cukup efektif untuk memperbaiki PO2 arteri pada keadaan
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Akan tetapi, peningkatan PO2 bergantung pada pola
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan konsentrasi oksigen inspirasi. Pemberian oksigen 100%
dapat meningkatkan nilai PO2 arteri karena setiap unit paru-paru yang mengalami ventilasi akan
mengeluarkan nitrogen. Ketika hal ini terjadi, nilai PO2 alveolar menjadi PO2 = PB – PH2O – PCO2.
Oleh karena tekanan PCO2 normal sekitar 50 mmHg, maka persamaan ini akan memprediksi PO2
alveolar sekitar 600 mmHg, bahkan dengan rasio ventilasi-perfusi yang rendah.
Namun, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, beberapa daerah paru-paru mungkin
begitu ventilasinya buruk sehingga memerlukan waktu beberapa menit untuk mengeluarkan nitrogen.
Selain itu, daerah ini dapat terus menerima nitrogen sambil mengeluarkan gas tersebut dari jaringan
perifer. Sebagai konsekuensinya, PO2 arteri memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai nilai
akhirnya, dan dalam prakteknya, hal ini tidak pernah tercapai. Kedua, pemberian oksigen dapat
menyebabkan pengembangan daerah yang tidak mengalami ventilasi. Jika ini terjadi, kenaikan PO2
arteri dapat terhenti.
Ketika konsentrasi oksigen dengan jumlah sedang diberikan, kenaikan PO2 arteri ditentukan
oleh ketidakseimbangan pola ventilasi-perfusi, dan khususnya oleh unit yang memiliki rasio ventilasiperfusi rendah serta aliran darah cukup. Gambar 9-2 menunjukkan respon dari PO2 arteri di paru-paru
dengan model distribusi rasio ventilasi-perfusi setelah inspirasi berbagai konsentrasi oksigen.
Perhatikan bahwa pada konsentrasi terinspirasi dari 60%, maka tekanan PO2 arteri mengalami variasi
kenaikan, dengan standar deviasi 2,0, yaitu dari 40 menjadi 90 mm Hg. Ini kenaikan moderat yang
dapat dikaitkan dengan pengaruh unit paru-paru dengan ventilasi-perfusi rasio kurang dari 0,01.
Sebagai contoh, sebuah alveolus dengan ventilasi-perfusi rasio 0,006 yang diberikan O2 inspirasi 60%
memiliki PO2 akhir-kapiler hanya 60 mm Hg pada contoh yang ditunjukkan.
Namun, perlu diketahui bahwa ketika konsentrasi oksigen terinspirasi meningkat menjadi
90%, maka PO2 arteri akan meningkat menjadi hampir 500 mm Hg.
Gambar 9-2 mengasumsikan bahwa pola ventilasi-perfusi ketidaksetaraan tetap konstan
walaupun oksigen inspirasi dinaikkan. Namun, bantuan dari hipoksia alveolar di berventilasi buruk
daerah paru-paru dapat meningkatkan aliran darah di sana karena penghapusan hipoksia
vasokonstriksi. Dalam hal ini, peningkatan PO2 arteri akan berkurang. Perlu diingatkan juga bahwa
rasio ventilasi-perfusi yang kolaps ketika bernapas dengan oksigen dalam jumlah besar, tekanan PO2
hanya sedikit meningkat.
Shunt
Ini adalah satu-satunya mekanisme hipoksemia yang tidak mengalami perbaikan dengan
pemberian oksigen 100%. Alasannya adalah bahwa darah yang melewati alveoli berventilasi (shunt)
tidak "melihat" oksigen yang ditambahkan dan tetap dengan konsentrasi oksigen yang rendah,
menekan PO2 arteri. Depresi ini ditandai dengan datarnya grafik disosiasi oksigen pada PO2 yang
tinggi.
Namun, harus ditekankan bahwa keuntungan berguna juga sering mengikuti pemberian O2
100% untuk pasien dengan shunts. Hal ini karena oksigen terlarut dapat meningkat. Misalnya,
peningkatan PO2 alveolar 100 menjadi 600 mm Hg dapat meningkatkan oksigen terlarut dalam darah
kapiler akhir dari 0,3 menjadi 1,8 ml O2/100 ml darah. Peningkatan 1,5 ml ini dapat dibandingkan
dengan perbedaan konsentrasi normal arteri dan vena sekitar 5 ml/100 ml.
Faktor Lainnya dalam Distribusi Oksigen
Faktor lainnya yang mempengaruhi distribusi oksigen ke jaringan, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PO2 arteri
Konsentrasi hemoglobin
Curah jantung
Difusi dari kapiler ke mitokondria
Afinitas hemoglobin terhadap oksigen
Aliran darah lokal
METODE PEMBERIAN OKSIGEN
Kanula nasal
Kanula nasal terdiri dari dua lubang yang dimasukkan ke dalam nares anterior dengan selang
yang ringan. Laju suplai oksigen berkisar 1-4 L/menit, dengan konsentrasi oksigen 25-30%. Semakin
tinggi laju aliran inspirasi pasien, semakin rendah konsentrasi oksigen. Udara harus dilembabkan
sedekat mungkin dengan suhu tubuh untuk mencegah kerusakan mukosa nasal.
Keuntungan utama dari kanula nasal yaitu pasien tidak merasakan ketidaknyamanan dengan
masker, masih bisa berbicara dan makan. Kanula dapat digunakan untuk jangka panjang karena
pemberian oksigen biasanya secara terus-menerus, bukan intermiten. Kerugian dari kanula adalah
konsentrasi oksigen maksimum yang rendah dan konsentrasi oksigen yang tidak bisa diperkirakan,
terutama jika pasien juga bernapas melalui mulut.
Masker
Masker memiliki desain yang bermacam-macam. Masker sederhana yang muat untuk hidung
dan mulut dapat menghasilkan konsentrasi oksigen hingga 60% dengan laju suplai oksigen 6 L/menit.
Akan tetapi, karena dapat terjadi akumulasi karbondioksida dalam masker (hingga 2%), alat ini harus
digunakan dengan hati-hati, terutama pada pasien yang rentan terhadap retensi CO2.
Masker yang berguna untuk distribusi konsentrasi oksigen yang terkendali dengan prinsip
venturi. Ketika oksigen masuk melalui masker dengan jet sempit, oksigen masuk dengan laju yang
konstan. Dengan laju oksigen 4 L/menit, total aliran (oksigen dan air) dapat mencapai 40 L/menit.
Dengan aliran yang sebesar itu, akumulasi CO2 dapat dihindari. Masker yang dapat memberikan
konsentrasi oksigen 24, 28 dan 35 % juga tersedia, khususnya diberikan pada pasien yang rentan
terhadap terjadinya retensi CO2.
Oksigen Transtrakeal
Alat ini berupa kateter mikro yang dimasukkan melalui dinding trakea anterior dengan
ujungnya mencapai atas karina. Ini merupakan jalan yang efisien untuk memasukkan oksigen,
terutama pada pasien dengan terapi oksigen jangka panjang, walaupun perawatannya harus
diperhatikan untuk mencegah infeksi.
Tenda
Alat ini hanya digunakan pada anak-anak yang tidak bisa mentoleransi penggunaan masker.
Konsentrasi oksigen dapat mencapai 50%, namun dengan risiko kebakaran.
Ventilator
Ketika pasien dengan ventilasi mekanik melalui endotracheal tube atau tracheostomy tube,
kendali penuh terhadap gas yang diinspirasi dapat diberikan. Ada risiko bahaya terhadap toksisitas
oksigen jika konsentrasinya melebihi 50% selama lebih dari 2 hari. Secara umum, pemberian oksigen
harus diberikan dengan konsentrasi oksigen yang serendah-rendahnya untuk mencapai PO2 arteri yang
diharapkan. Hal ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan, namun pada pasien ARDS dengan
ventilasi mekanik konsentrasi oksigen yang tinggi, tekanan 60 mmHg dapat dicapai.
Oksigen Hiperbarik
Jika konsentrasi O2 100% diberikan pada tekanan 3 atm, oksigen yang terinspirasi bisa
mencapai 2000 mmHg. Pada keadaan ini, konsentrasi oksigen arteri dapat meningkat, yang
selanjutnya juga meningkatkan oksigen terlarut. Sebagai contoh, jika tekanan PO2 arteri 2000 mmHg,
maka oksigen terlarut sebesar 6 ml/100 ml darah. Secara teori, hal ini cukup untuk membuat
perbedaan arteri-vena sebesar 5 ml/100 ml, sehingga hemoglobin pada vena akan tersaturasi
sempurna.
Terapi oksigen hiperbarik memiliki keterbatasan penggunaan dan jarang diindikasikan pada
gagal napas. Akan tetapi, terapi ini dapat digunakan pada penanganan keracunan karbon monoksida
yang berat. Pada keadaan ini, hemoglobin untuk mengangkut oksigen tidak tersedia dan oleh karena
itu kadar oksigen yag terlarut sangat diperlukan. Sebagai tambahan, PO2 yang tinggi mengakselerasi
disosiasi karbon monoksida terhadap hemoglobin. Krisis anemia berat terkadang ditangani dengan
cara yang sama. Terapi oksigen hiperbarik juga digunakan dalam manajemn infeksi gangren dan
sebagai adjuvan pada radioterapi. Pada radioterapi, PO2 jaringan yang tinggi dapat meningkatkan
radiosensitivitas tumor yang avaskular. Terapi hiperbarik juga digunakan pada penyakit dekompresi.
Oksigen Domisiler dan Portabel
Beberapa pasien dengan penyakit paru kronik hanya bisa bernapas dengan bantuan
suplementasi oksigen. Pasien ini akan lebih nyaman dengan tersedianya suplai oksigen di rumah.
Bentuknya dapat bervariasi.
BAHAYA TERAPI OKSIGEN
Retensi Karbondioksida
Faktor yang mempengaruhi kendali ventilasi pada pasien dengan kerja pernapasan yang berat
adalah stimulasi hipoksik kemoreseptor perifer. Jika keadaan hipoksemia segera diperbaiki, laju
ventilasi akan berkurang dan retensi CO2 akan terjadi.
Terapi oksigen intermiten dapat berbahaya. Penjelasan mengenai hal ini adalah jika
pemberian oksigen dapat menyebabkan retensi CO2, lalu kondisi ini segera dihentikan, maka
hipoksemia yang terjadi bisa lebih berat dibandingkan sebelum pemberian oksigen.
PAO2 = PIO2 – PACO2 + F
R
Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan PCO2 alveolar akan mengurangi PO2 alveolar
dan kemudian berdampak pada PO2 arteri. Selain itu, PCO2 tinggi cenderung tetap selama beberapa
menit karena cadangan gas ini dalam tubuh begitu besar sehingga kelebihannya adalah
mengeluarkannya secara bertahap. Dengan demikian, hipoksemia yang terjadi mungkin lebih hebat
dan berkepanjangan.
Pasien harus diberikan oksigen terus menerus pada konsentrasi rendah, dan gas darah harus
dipantau. Awalnya, konsentrasi oksigen dari 24% sering diberikan dengan cara dari masker venturi,
dan PO2 arteri dan PCO2 diukur setelah 15 sampai 20 menit. Jika PCO2 tidak naik dan pasien tetap
waspada, konsentrasi oksigen dapat meningkat menjadi 28%. Ini umumnya cukup untuk meredakan
hipoksemia berat,meskipun konsentrasi setinggi 35% kadang-kadang digunakan. Bentuk oksigen
disosiasi kurva (lihat Gambar 2-1) harus tetap kita ingat bahwa peningkatan PO2 dari 30 sampai 50
mm Hg (pada pH normal) mewakili lebih dari 25% peningkatan saturasi hemoglobin!
Toksisitas Oksigen
Konsentrasi tinggi oksigen dalam waktu lama merusak paru-paru. Studi pada monyet yang
mendapatkan oksigen 100% selama 2 hari menunjukkan bahwa beberapa perubahan awal berada di
kapiler sel endotel, yang menjadi bengkak. Perubahan terjadi pada antar sel endotel persimpangan,
dan ada permeabilitas kapiler meningkat yang mengarah ke interstisial dan alveolar edema. Selain itu,
epitel alveolar dapat menjadi gundul dan digantikan oleh tipe 2 sel epitel bertingkat. Kemudian,
terjadi fibrosis interstisial.
Pada manusia, efek konsentrasi oksigen yang tinggi pada paru jarang didokumentasikan, tapi
orang normal melaporkan ketidaknyamanan substernal setelah menghirup oksigen 100% untuk 24
jam. Pasien yang telah ventilasi mekanik dengan oksigen 100% selama 36 jam telah menunjukkan
penurunan progresif dalam PO2 arteri dibandingkan dengan kelompok kontrol yang berventilasi
dengan udara. Sikap yang wajar adalah dengan mengasumsikan bahwa konsentrasi oksigen dari 50%
ataulebih tinggi selama lebih dari 2 hari dapat menghasilkan perubahan yang berbahaya.
Dalam prakteknya, tingkat tinggi tersebut selama periode yang begitu panjang dapat dicapai
hanya pada pasien yangyang diintubasi dan ventilasi mekanik. Hal ini penting untuk menghindari
keracunan oksigen karena satu-satunya cara untuk meringankan hipoksemia dihasilkan adalah dengan
meningkatkan oksigen inspirasi, sehingga menciptakan lingkaran setan.
ATELEKTASIS
Oklusi Jalan Napas
Jika seorang pasien menghirup udara dengan saluran napas yang tersumbat hebat, misalnya,
dengan sekresi berlebih, penyerapan atelektasis paru-paru dapat terjadi. Alasannya adalah bahwa
jumlah dari tekanan parsial dalam darah vena jauh lebih kecil dari atmosfer tekanan, dengan hasil
bahwa gas yang terperangkap secara bertahap diserap. Namun, proses ini relatif lambat,
membutuhkan waktu berjam-jam atau bahkan hari. Namun, jika pasien bernapas konsentrasi tinggi
oksigen, tingkat penyerapan atelektasis sangat dipercepat. Hal ini karena konsentrasi nitrogen dalam
darah dalam jumlah sedikit yang memperlambat proses penyerapan karena kelarutannya rendah.
Instabilitas Rasio Ventilasi-Perfusi
Telah ditunjukkan bahwa unit paru-paru dengan rasio ventilasi-perfusi rendah dapat menjadi
tidak stabil dan kolaps ketika campuran oksigen yang tinggi yang dihirup. Sebuah contoh diberikan
dalam Gambar 9-4, yang menunjukkan distribusi ventilasi-perfusi rasio pada pasien selama udara
pernapasan dan setelah 30 menit oksigen 100%. Pasien ini memiliki pernapasan kegagalan setelah
kecelakaan mobil (lihat Gambar 8-3). Perhatikan bahwa saat bernafas udara ada adalah jumlah yang
cukup banyak aliran darah ke unit paru-paru dengan rendah ventilasi-perfusi rasio di samping sebuah
shunt 8%. Setelah pemberian oksigen, aliran darah rendah ventilasi-perfusi unit rasio itu tidak jelas,
tetapi shunt telah meningkat menjadi hampir16%. Penjelasan yang paling mungkin dari perubahan ini
adalah ventilasi daerah yang buruk menjadi tidak berventilasi.
BAB X
VENTILASI MEKANIS
INTUBASI DAN TRAKEOSTOMI
Keputusan untuk mengintubasi atau memventilasi pasien tidak boleh terlalu mudah
diputuskan karena tindakan ini memerlukan banyak tenaga dan alat penting serta mempunyai
ancaman bahaya yang potensial. Namun jika memang terdapat indikasi, pasien tidak boleh terlambat
diintubasi. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu sifat proses penyakit yang mendasari, kecepatan
perkembangan hipoksemia dan hiperkapnia, usia serta keadaan umum pasien.
Sebagian besar ventilator membutuhkan terminal untuk menghubungkannya dengan jalan
napas paru. Sambungan dibuat melalui selang endotrakeal atau trakeostomi. Selain sebagai
penyambung untuk ventilator, selang ini dapat membantu mempermudah pengeluaran sekresi melalui
kateter penghisap. Selang juga dapat mencegah aspirasi darah atau vomitus dari faring ke dalam paru.
Trakeostomi juga dapat memintas obstruksi saluran napas atas, misalnya karena edema alergika atau
tumor laring.
Beberapa komplikasi dihubungkan dengan pemakaian selang endotrakeal dan trakeostomi,
seperti ulserasi laring atau trakea. Komplikasi ini terjadi jika manset yang dikembangkan melebihi
tekanan mukosa. Jaringan parut yang terjadi dapat menyebabkan stenosis trakea. Jika ujung distal
selang tidak sengaja masuk ke bronkus utama kanan, dapat terjadi atelektasis paru kiri.
TIPE VENTILATOR
Ventilator Volume-Konstan
Ventilator ini menggunakan piston pengatur bermotor untuk mengatur gas yang diberikan
dalam volume yang diatur sebelumnya. Curah dan frekuensi pompa dapat disesuaikan untuk memberi
ventilasi yang dibutuhkan. Rasio inspirasi terhadap waktu ekspirasi dikendalikan oleh kenop khusus.
Oksigen dapat ditambahkan jika dibutuhkan dan pelembab juga termasuk dalam sirkuit.
Gambar 10-1. Gambaran skematik ventilator volume-konstan
Ventilator volume-konstan cocok untuk ventilasi jangka-panjang dan sering digunakan dalam
anastesi. Alat ini dapat mengetahui volume yang diberikan ke pasien walaupun terjadi perubahan sifat
elastik paru atau dinding dada atau peningkatan resistensi saluran napas. Ventilasi ekspirasi dapat
dihitung dengan spirometer.
Ventilator Tekanan-Konstan
Ventilator ini memberi gas pada tekanan yang diatur sebelumnya. Ventilator ini tidak
membutuhkan tenaga listrik karena bekerja dengan menggunakan sumber gas terkompresi bertekanan
paling tidak tidak 50 pon/inci persegi. Kekurangan ventilator ini, jika digunakan sebagai metode
ventilasi tunggal, volume gas yang diberikan dipengaruhi perubahan komplians paru atau dinding
dada. Peningkatan resistensi jalan napas juga mengurangi ventilasi sehingga volume ekspirasi harus
dipantau. Kekurangan lain, konsentrasi oksigen inspirasi bervariasi sesuai kecepatan aliran inspirasi.
Ventilator jenis ini terutama digunakan untuk ‘ventilasi bantuan tekanan’, yaitu membantu pasien
yang diintubasi untuk meningkatkan kerja napas untuk melawan tekanan selang endotrakeal yang
relatif sempit. Pemakaian ini juga berguna untuk melepaskan pasien dari ventilator.
Ventilator Tangki
Respirator tangki memberikan tekanan negatif (lebih rendah dari tekanan atmosfer) ke luar
dada dan bagian tubuh lain kecuali kepala. Ventilator ini berbentuk kotak kaku dan dihubungkan
dengan pompa bervolume besar, bertekanan rendah yang mengendalikan siklus pernapasan.
Ventilator ini sudah tidak digunakan dalam penanganan pasien gagal napas karena membatasi akses
ke pasien, besar dan tidak nyaman. Alat ini digunakan untuk pasien dengan poliomyelitis bulbar dan
neuromuskular kronik yang membutuhkan ventilasi berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Patient-Cycled Ventilators
Pada ventilator ini, fase inspirasi dapat dipicu oleh pasien saat pasien melakukan upaya
ventilasi. Ventilator ini berguna pada pasien yang sembuh dari gagal napas dan sedang dilepas dari
ventilasi terkendali.
POLA VENTILASI
Ventilasi Tekanan Positif Intermiten (IPPV)
IPPV merupakan pola umum ventilasi, berupa pengembangan paru oleh penerapan tekanan
positf ke saluran napas dan dapat mengempis secara pasif ada FRC. Variabel utama yang
dikendalikan meliputi volume tidal, frekuensi napas, durasi inspirasi versus ekspirasi, kecepatan aliran
inspirasi dan konsentrasi oksigen inspirasi dan konsentrasi oksigen inspirasi.
Pasien dengan obstruksi saluran napas akan mendapat keuntungan jika waktu ekspirasi
diperpanjang, karena paru dengan konstan waktu yang lama akan memiliki waktu untuk
mengosongkan udara. Hal ini dilakukan dengan mengurangi frekuensi napas dan meningkatkan waktu
ekspirasi versus inspirasi.
Tekanan saluran napas positif dalam waktu lama dapat mengganggu aliran balik vena ke toraks.
Umumnya dipilih frekuensi yang rendah dan waktu ekspirasi yang lebih besar dari inspirasi.
Tekanan Akhir-Ekspirasi Positif (Positive End Expiratory Pressure, PPEP)
Perbaikan PO2 arterial yang besar pada pasien ARDS dapat dicapai dengan mempertahankan
tekanan saluran napas positif yang kecil pada akhir ekspirasi. Keuntungan PEEP adalah
memungkinkan konsentrasi oksigen inspirasi diturunkan sehingga mengurangi risiko toksisitas
oksigen. Nilai yang lazim dipakai adalah 5-20 cm H2O.
Tekanan positif akan meningkatkan FRC, yang umumnya kecil pada pasien ARDS karena
peningkatan rekoil elastik paru. Volume paru yang kecil menyebabkan penutupan saluran napas dan
ventilasi intermiten di beberapa daerah terutama daerah dependen dan terjadi absorbsi ateletaksis.
Pada pasien edema saluran napas, cairan dapat bergeser ke dalam saluran napas perifer kecil atau
alveoli, memungkinkan beberapa daerah paru diventilasi ulang.
Gambar 10-2. Penurunan pirau dan peningkatan ruang mati yang disebabkan peningkatan jumlah
PEEP pada pasien dengan sindrom gawat nafas dewasa (ARDS).
Dari gambar 10.2 terlihat peningkatan PEEP dapat menurunkan pirau dan meningkatkan
ruang mati. Hal ini disebabkan kompresi kapiler akibat peningkatan tekanan alveolar dan peningkatan
volume paru diikuti peningkatan traksi radial saluran napas, yang meningkatkan volumenya.
Penambahan PEEP yang terlalu besar tidak meningkatkan namun menurunkan PO2 arteri,
oleh karena: 1) curah jatuh sangat menurun sehingga PO2 dalam darah vena campuran dan PO2 arteri
juga turun; 2) penurunan ventilasi daerah berperfusi baik (karena peningkaan ruang mati dan ventilasi
ke daerah berperfusi buruk); 3) pengalihan aliran darah dari daerah berventilasi ke tidak berventilasi
oleh peningkatan tekanan saluran napas. Bahaya PEEP tingkat tinggi lain adalah kerusakan kapiler
paru akibat regangan tinggi pada dinding alveolar.
Tekanan Jalan Napas Positif Kontinu (Continuous Positive Airway Pressure, CPAP)
CPAP dapat memberikan tekanan positif kecil secara kontinu ke saluran napas melalui sistem
katup pada ventilator.Indikasinya untuk pasien dalam penyapihan dari ventilator. Perbaikan
oksigenasi menggunakan mekanisme yang sama dengan PEEP. CPAP juga berguna pada pasien
obstruksi saluran napas dengan memberikan tekanan positif melalu masker yang dipakai malam hari.
Ventilasi Mandatorik Intermiten (Intermittent Mandatory Ventilation, IMV)
IMV merupakan modifikasi IPPV yaitu pemberian volume tidal besar pada interval yang
relatif jarang pada pasien diintubasi yang bernapas spontan. IMV sering dikombinasi dengan PEEP
atau CPAP dan berguna untuk menyapih pasien dari ventilator, mencegah oklusi saluran napas pada
Obstructive Sleep Apnea (OSA) dengan menggunakan CPAP nasal malam hari.
Ventilasi Frekuensi Tinggi
Gas darah dapat dipertahankan normal dengan ventilasi tekanan positif berfrekuensi sangat
tinggi (kira-kira 20 siklus/detik) dengan volume sekuncup yang rendah (50-100 ml). Paru digetarkan
dan transport gas terjadi secara kombinasi difusi dan konveksi. Indikasinya pada pasien dengan
kebocoran gas dari paru karena fistula bronkopleura.
EFEK FISIOLOGIK PADA VENTILASI MEKANIK
Penurunan PCO2 Arteri
Pada pasien obstruksi saluran napas dengan kebutuhan pernapasan tinggi, ventilasi mekanis
berguna untuk mengurangi ambilan oksigen dan keluaran CO2 sehingga menghasilkan penurunan
PCO2 arterial. Hubungan antara PCO2 arterial dan ventilasi alveolar paru normal dinyatakan dengan
persamaan:
Dengan K sebagai konstanta. Pada paru berpenyakit, penyebut VA kurang dari ventilasi yang
masuk ke alveoli karena terdapat ruang mati alveolar (alveolar tidak berperfusi). Ventilasi mekanis
sering meningkatkan ruang mati alveolar dan anatomik sehingga ventilasi alveolar efektif tidak
meningkat sebanyak ventilasi total. Ventilasi mekanis meningkatkan ruang mati dengan
meningkatkan volume paru, kemudian traksi radial yang dihasilkan akan meningkatkan ruang mati
anatomik. Tekanan yang meningkat tersebut akan mengalihkan aliran darah sehingga rasio ventilasiperfusi tinggi atau bahkan darah tidak berperfusi. Jika tekanan dalam kapiler turun, kapiler dapat
kolaps dan paru akan tidak berperfusi. Kolaps didukung oleh dua faktor: 1) tekanan saluran napas
yang abnormal tinggi dan 2) penurunan aliran balik vena diikuti hipoperfusi paru. Bahaya lain pada
ventilasi berlebihan pada pasien dengan retensi CO2 adalah kalium serum yang rendah yang akan
mencetuskan irama jantung abnormal.
Peningkatan PO2 Arteri
Konsentrasi oksigen inspirasi idealnya harus cukup untuk meningkatkan PO2 arteri paling
tidak menjadi 60 mmHg tapi konsentrasi inspirasi yang terlalu tinggi harus dihindari karena bahaya
toksisitas oksigen dan ateletaksis. Pada beberapa pasien dengan ARDS berat, hipoksemia dapat
dikurangi dengan menambahkan PEEP 5-20 cmH2O. Peningkatan volume paru yang dihasilkan akan
membuka daerah atelektaktik dan mengurangi penutupan saluran napas intermiten. Selain itu cairan
edema lebih banyak yang digerakkan ke perifer sehingga dapat membantu ventilasi daerah yang
tadinya terobstruksi.
Efek pada Aliran Balik Vena
Ventilasi mekanis cenderung mengganggu aliran darah kembali ke toraks dan mengurangi
curah jantung. Pada pasien yang berbaring, kembalinya darah ke toraks bergantung pada rata-rata
perbedaan tekanan vena perifer dan tekanan intratoraks. Jika tekanan saluran napas ditingkatkan oleh
ventilator, tekanan intratoraks rata-rata meingkat dan menghambat aliran balik vena. Jika tekanan
saluran napas tetap sesuai atmosfer, aliran balik vena cenderung turun karena tekanan vena perifer
dikurangi oleh tekanan negatif.
Jika volume darah yang bersirkulasi berkurang seperti pada perdarahan atau syok, ventilasi
tekanan positif sering menyebabkan penurunan curah jantung dan dapat mengakibatkan hipotensi
sistemik. Faktor lain yang sering menyebabkan curah jantung turun selama ventilasi mekanis adalah
hipokapnia karena ventilasi yang berlebihan.
Bahaya Lain
Termasuk bahaya lain adalah mati listrik, terputusnya hubungan, melekuknya selang. Dapat
terjadi pula pneumotoraks, emfisema interstisial, infeksi paru, aritmia jantung atau perdarahan
gastrointestinal.
Download