RINGKASAN BUKU PULMONARY PATOPHYSIOLOGY J.B WEST Dr. Ahmad Arfan Dr. Aulia Pranandrari Dr. Dian Prastiti Utami Dr. Ririen Razika Rhamdani Dr. Rizky Andriani Dr. Syarifuddin PPDS STASE FAAL MARET – APRIL 2013 DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT PERSAHABATAN JAKARTA BAB SATU VENTILASI Tes fungsi paru yang paling sederhana adalah ekspirasi paksa. Tes ekspirasi paksa ini juga merupakan salah satu tes yang paling informatif dan memerlukan peralatan minimal dan perhitungan sederhana. Kebanyakan pasien penyakit paru memiliki volume ekspirasi paksa yang abnormal, dan , terkadang, informasi yang didapat dari tes ini berguna dalam penanganan kasusnya. Meskipun begitu, uji ini tidak dilakukan sesering yang seharusnya. Contohnya, uji ini penting dalam mendeteksi penyakit jalan napas dini, suatu kondisi yang penting dan ekstrim. Bab ini juga membahas uji sederhana mengenai ventilasi yang tidak setara. UJI KAPASITAS VENTILASI Volume Ekspirasi Paksa Volume Ekspirasi Paksa adalah volume gas yang dikeluarkan dalam 1 detik dengan cara ekspirasi yang dipaksakan, setelah sebelumnya inspirasi penuh. Kapasitas vital adalah volume gas total yang dapat dikeluarkan setelah sebelumnya inspirasi penuh. Cara sederhana dalam melakukan pengukuran ini ditunjukkan pada gambar 1-1. Pasien duduk nyaman di depan spirometer dengan resistensi yang rendah. Dia menarik napas maksimal, dan mengeluarkan napas secepat dan sekuat yang pasien bisa. Saat bel spirometer naik ke atas, pena kymograph bergerak turun, jadi mengindikasikan volume yang terekspirasi. Gambar 1-1 Pengukuran VEP1 dan KVP Gambar 1-2 Pola Ekspirasi normal, obstruksi, dan restriksi Gambar 1-2A menunjukkan pencatatan normal. Volume yang diekspirasi dalam 1 detik adalah 4 liter dan volume total yang dikeluarkan adalah 5 liter. Kedua volume ini disebut sebagai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1) dan kapasitas vital. Kapasitas vital diukur dari ekspirasi paksa dapat kurang daripada yang diukur dengan ekshalasi lambat, jadi istilah kapasitas vital paksa (KVP) umumnya digunakan. Perhatikan bahwa rasio normal VEP1 terhadap KVP sekitar 80%, tapi menurun sesuai usia (lihat Appendix A untuk nilai normalnya). VEP dapat diukur pada kelompok waktu yang lain, seperti detik ke 2 atau ke 3, tapi nilai pada detik pertama adalah yang paling informatif. Ketika angka kecil di bawah tulisan VEP dihilangkan, berarti maksudnya adalah 1 detik. Gambar 1-2B menunjukkan tipe pencatatan yang didapat dari seorang pasien PPOK. Perhatikan bahwa laju saat udara dihembuskan, lebih pelan,jadi hanya 1.3 liter udara yang dikeluarkan saat detik pertama. Sebagai tambahan, volume total yang dikeluarkan hanya 3.1 liter. VEP1/KVP berkurang sebesar 42%. Gambar ini khas untuk penyakit obstruksi. Berlawanan dengan pola pada gambar 1-2C, yang menunjukkan tipe pencatatan pada pasien fibrosis paru. Di gambar ini, kapasitas vital berkurang menjadi 3.1 liter, tapi persentase besar (90%) dikeluarkan pada detik pertama. Gambar ini khas untuk penyakit restriktif. Spirometer sederhana yang terisi air, ditunjukkan pada gambar 1-1, sekarang jarang digunakan dan sudah digantikan dengan spirometer elektronik, yang sering menghasilkan grafik yang akan disimpan pada arsip pasien. Pasien harus melonggarkan pakaiannya, bila memakai pakaian ketat. Mouthpiece harus pada posisi nyaman. Salah satu prosedur yang diterima adalah melakukan dua tiupan latihan, dan merekam tiga kali pengujian napas. VEP1 dan KVP tertinggi dari ketiga pernapasan ini dicatat. Volume-volume ini harus diubah sesuai dengan suhu badan dan tekanan (lihat Appendix A). Uji ini bermakna dalam menilai efektivitas obat bronkodilator. Bila dicurigai obstruksi jalan napas yang reversibel, uji ini harus dilakukan sebelum dan sesudah pemberian obat (contohnya 0.5 % albuterol dengan nebulizer selama 3 menit). Baik VEP1 dan KVP biasanya meningkat pada pasien dengan bronkospasme. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------VEP1 dan KVP Volume ekspirasi detik pertama, bersama dengan kapasitas vital paksa adalah : - Tes yang sederhana Informatif Abnormal pada pasien penyakit paru Penting untuk menilai perkembangan penyakit --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Arus Ekspirasi Paksa Index ini dihitung dari ekspirasi paksa, seperti pada gambar 1-3. Paruh tengah (volume) ekspirasi total ditandai dan durasinya diukur. FEF25-75% adalah volume dalam liter dibagi dengan waktu dalam detik. Rentang antara FEF25-75% dan VEP1 biasanya dekat, pada pasien penyakit paru obstruktif. Perubahan FEF25-75% lebih menyolok, tapi rentang nilai normalnya menjadi lebih luas. Gambar 1-3. Penghitungan FEF25-75% pada ekspirasi paksa Interpretasi uji ekspirasi paksa Paru dan toraks dapat dinilai sebagai suatu pompa air sederhana (gambar 1-4). Keluaran dari pompa seperti ini bergantung pada stroke volume, tahanan jalan napas, dan gaya yang bekerja pada piston. Faktor terakhir relatif kurang penting adalah ekspirasi paksa, seperti yang akan kita lihat nanti. Kapasitas vital (atau kapasitas vital paksa) adalah pengukuran stroke volume, dan pengurangan stroke volume dalam jumlah apapun mempengaruhi kapasitas ventilasinya. Penyebab penurunan volume stroke meliputi penyakit rangka dada, seperti kifoskoliosis, ankylosing spondylitis, dan penyakit2 akut; penyakit-penyakit mengenai saraf otot pernapasan atau ke otot, seperti poliomyelitis dan distrofi muskuler; abnormalitas rongga pleura, seperti pneumothorax dan penebalan pleural; penyakit paru seperti fibrosis, yang mengurangi pengembangannya; space-occupying lesion, seperti kista, atau peningkatan volume darah di paru, seperti pada gagal jantung kanan. Sebagai tambahan, ada penyakit yang dapat menyebabkan jalan napas menutup lebih dini saat ekspirasi, jadi membatasi volume udara yang diekspirasi. Hal ini terjadi pada asma dan bronkitis. Volume ekspirasi paksa (dan indeks terkait seperti FEF25-75%) dipengaruhi tahanan jalan napas selama ekspirasi paksa. Peningkatan tahanan akan mengurangi kapasitas ventilasi. Penyebabnya meliputi bronkokonstriksi, seperti pada asma atau sesudah inhalasi iritan seperti asap rokok; perubahan struktural jalan napas, seperti pada bronkitis kronik; obstruksi di dalam jalan napas, seperti pada inhalasi benda asing atau sekret bronkus yang berlebih; dan proses destruktif parenkim paru, yang melibatkan traksi radial yang biasanya menjaga jaolan napas tetap terbuka. Model sederhana gambar 1-4 menjelaskan faktor yang membatasi kapasitas ventilasi paru yang terganggu, tapi kita perlu mencari model yang dapat menjelaskan lebih baik. Contohnya, jalan napas sebenarya di dalam, bukan di luar pompa, seperti yang tergambar di gambar 1-4. Informasi tambahan yang lebih baik didapat dari kurva flow-volume. Gambar 1-4. Model sederhana, faktor-faktor yang dapat mengurangi kapasitas ventilasi. Volume sekuncup dapat berkurang karena penyakit dinding dada, parenkim paru, otot pernapasan, dan pleura.Tahanan jalan napas meningkat pada asma dan bronkitis Gambar 1-5. Kurva arus-volume ekspirasi. A. Normal B. Pola obstruktif dan restriktif Kurva Arus-Volume Ekspirasi Bila kita merekam laju arus dan voume selama ekspirasi paksa maksimal, kita mendapatkan suatu pola seperti pada gambar 1-5A. Ciri kurva arus-volume yang ganjil adalah hampir tidak mungkin untuk mendapatkan hasil diluar kurva tersebut. Conthnya, bila kita mulai menghembuskan napas pelan-pelan, lalu menyembur, laju arus meningkat hingga tepi kurva, tapi tidak melewatinya. Jelaslah, sesuatu yang sangat kuat membatasi laju arus maksimum hanya pada volume tertentu. Faktor ini adalah kompresi jalan napas yang dinamik. Gambar 1-5 B menunjukkan pola tipikal yang ada pada penyakit paru obstruktif dan restriktif. Pada penyakit obstruktif, seperti bronkitis kronik dan emfisema, ekspirasi maksimal biasanya bermula dan berakhir pada volume paru yang besar dan abnormal, dan laju Arus lebih lambat daripada normal. Sebagai tambahan, kurvanya dapat menunjukkan gambaran berlekuk ke luar seperti sendok. Hal yang sebalknya, pasien penyakit restriktif, seperti fibrosis interstitial, bekerja pada volume paru yang rendah. Bagian terluar kurva Arusnya menjadi lebih rata, dibandingkan dengan kurva normalnya, tapi jika laju Arusnya dikaitkan dengan volume paru, Arusnya menjadi lebih cepat daripada normal (Gambar 1-5B). Perhatikan bahwa gambar itu menunjukkan volume volume paru absolut, meski hal ini tidak bisa didapat dari ekspirasi paksa. Untuk volume residu, perlu pengukuran tambahan. Untuk mengenali pola-pola ini, pertimbangkan tekanan-tekanan didalam dan diluar jalan napas (gambar 1-6) (lihat Respiratory Physiology: The Essentials, 9th ed., p. 121). Sebelum inspirasi (A), tekanan di dalam mulut, jalan napas, dan alveoli sama dengan atmosfer karena tidak ada Arus. Tekanan intrapleura, katakanlah, 5 cmH2O dibawah tekanan atmosfer, dan kita berasumsi bahwa tekanan yang sama terjadi diluar jalan napas (meski pada kenyataannya tidak mungkin). Jadi, perbedaan tekanan yang mengembangkan jalan napas adalah 5 cmH2O. Pada awal inspirasi (B), semua tekanan ini berkurang, dan perbedaan tekanan yang menjaga jalan napas tetap terbuka adalah sebesar 6 cmH2O. Pada akhir inspirasi (C), tekanan ini sebesar 8 cmH2O. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Kompresi Jalan Napas yang Dinamik Membatasi arus napas selama ekspirasi paksa Menyebabkan arus tidak tergantung dari upaya Dapat membatasi arus napas selama ekspirasi normal pada beberapa pasien PPOK Adalah faktor utama yang membatasi aktivitas pada PPOK --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Gambar 1-6. Diagram menjelaskan kompresi jalan napas dinamik selama ekspirasi paksa Pada awal ekspirasi paksa (D), tekanan intrapleura dan alveolus meningkat pesat. Tekanan pada beberapa titik di jalan napas, meningkat juga, tapi tidak sebanyak pada tekanan alveolus karena penurunan tekanan akibat Arusnya. Pada beberapa keadaan ini, terdapat perbedaan tekanan sebesar 11 cmH2O, yang cenderung menutup jalan napas. Terjadi kompresi jalan napas, dan Arusnya ditentukan oleh perbedaan antara tekanan alveolus dan tekanan diluar jalan napas pada titik penutupan (efek pelawan dari Starling). Perbedaan tekanan ini (8 cmH2O pada gambar D), adalah tekanan recoil statik paru, dan bergantung hanya pada volume dan compliance paru. Tekanan recoil statik paru ini tidak dipengaruhi oleh usaha ekspirasi. Bagaimana kemudian kita dapat menjelaskan pola abnormal pada gambar 1-5B? Pada pasien bronkitis kronik dan emfisema, Arus napas yang rendah, terkait dengan volume paru, disebabkan oleh beberapa faktor. Mungkin terdapat penebalan dinding jalan napas, dan sekret berlebihan di lumen karena bronkitis; keduanya meningkatkan tahanan Arus. Jumlah jalan napas kecil dapat berkurang karena hancurnya jaringan paru. Juga, pasien mungkin mengalami penuruann tekanan recoil statik (meskipun volume paru meningkat sangat pesat) karena terurainya dinding alveolus yang elastis. Akhirnya, topangan yang normal pada jalan napas karena traksi parenkim sekitarnya mungkin terganggu karena hilangnya dinding alveolus, dan jalan napas akhirnya kolaps lebih mudah daripada yang seharusnya. Faktor-faktor ini dipertimbangkan lebih detail pada bab 4. Pada pasien fibrosis interstitial, Arusnya normal (atau tinggi) dibandingkan volume parunya, karena tekanan recoil statik paru tinggi, dan kaliver jalan napas dapat normal (atau bahkan meningkat) pada volume paru tertentu. Meskipun begitu, karena compliance paru yang sangat berkurang, volumenya sangat kecil, dan laju Arus absolut menjadi berkurang. Perubahan-perubahan ini didiskusikan lebih lanjut pada bab 5. Analisis ini menunjukkan, gambar 1-4 adalah sebuah penyederhanaan, dan volume ekspirasi paksa, yang awalnya lurus, dipengaruhi oleh jalan napas dan parenkim paru. Jadi, istilah obstrukstif dan restriktif, mengandung makna patofisiologi. Pemisahan Tahanan Arus dari Kurva Arus-Volume Ketika jalan napas menguncup selama ekspirasi paksa, Arus ditentukan oleh tahanan jalan napas sampai pada titik kuncupnya (gambar 1-7). Diluar titik ini, tahanan jalan napas bersifat immaterial (tidak bisa diukur). Penguncupan terjadi pada (atau dekat) suatu titik dimana tekanan dalam jalan napas sama dengan tekanan intrapleura (equal pressure point/titik tekanan seimbang). Gambar 1-7. Kompresi jalan napas dinamik. Ketika ini terjadi selama ekspirasi paksa, hanya tahanan jalan napas distal dari titik kolaps (segmen hulu) menentukan laju arusnya. Pada tahap akhir uji kapasitas vital paksa, hanya jalan napas perifer yang distal dari titik kolaps, menentukan arusnya. Penguncupan ini dipercaya terjadi di sekitar bronkus lobaris awal ekspirasi paksa. Meskipun begitu, seiring berkurangnya volume paru dan penyempitan jalan napas, tahanan jalan napas meningkat. Sehingga, tekanan menjadi turun dengan sangat cepat dan titik penguncupan berpindah ke jalan napas yang lebih distal. Jadi, di akhir ekspirasi paksa, Arus napas lebih ditentukan oleh sifat jalan napas kecil di perifer. Jalan napas perifer ini (katakanlah, diameternya kurang dari 2 mm) normalnya menyumbangkan 20% dari tahanan jalan napas total. Sehingga, perubahan pada jalan napas perifer ini susah dideteksi dan disebut sebagai zone senyap / silent zone. Tetapi, mungkin saja beberapa perubahan awal pada PPOK terjadi pada jalan napas kecil ini, sehingga Arus maksimum pada akhir ekspirasi paksa menggambarkan tahanan jalan napas. Arus Maksimum dari Kurva Arus-Volume Arus maksimum (Vmax) sering diukur setelah 50% (Vmax50%) atau 75% (Vmax75%) kapasitas vital telah dihembuskan. Gambar 1-8 menunjukkan pola Arus abnormal yang lazim terlihat pada pengujian pasien PPOK. Makin jauh posisi pengukuran Arus pada ekspirasi, makin mencerminkan tahanan jalan napas. Beberapa penelitian menunjukkan abnormalitas Vmax75% ketika index ekspirasi paksa lainnya, seperti VEP1 atau FEF25-75% menunjukkan hasil normal. Arus Puncak Ekspirasi Arus puncak ekspirasi adalah Arus maksimum selama ekspirasi paksa, dimulai dari kapasitas paru total. Arus puncak ini dapat dengan mudah diperkirakan dengan peak flow meter, yang murah dan portabel. Pengukurannya tidak akurat, dan bergantung dari usaha pasien. Meski begitu, peak flow meter adalah perangkat penting pada berbagai penyakit, khususnya asma, dan pasien dapat dengan mudah membuat pengukuran berulang di rumah atau di tempat kerja dan dapat menyimpan catatan untuk ditunjukkan ke dokter. Kurva Arus-Volume Inspirasi Kurva arus-volume sering diukur selama inspirasi. Kurva ini tidak dipengaruhi kompresi jalan napas dinamik, karena tekanan selama inspirasi selalu mengembangkan bronkus (gambar 1-6). Tetapi, kurva ini berguna untuk mendeteksi obstruksi jalan napas atas, yang akan memipihkan kurvanya karena arus maksimum yang dibatasi (gambar 1-9). Penyebabnya meliputi stenosis trakea dan glotis, dan penyempitan trakea akibat penekanan tumor. Kurva arus-volume ekspirasi juga memipih oleh obstruksi jalan napas atas yang terfiksasi (nonvariabel). Pengujian Ventilasi yang Tidak Merata Single Breath Nitrogen Test Pengujian yang dijelaskan hingga baris ini, mengukur kapasitas ventilasi. Uji nitrogen napastunggal mengukur ketidakmerataan ventilasi. Topik ini agak berbeda, tapi lebih baik dijelaskan di sini. Gambar 1-9. Kurva arus-volume inspirasi dan ekspirasi. Pada subyek normal dan pasien PPOK, laju arus inspirasi normal (atau hampir). Pada obstruksi jalan napas atas yang terfiksasi, arus ekspirasi dan inspirasi berkurang Gambar 1-10. Single-Breath Nitrogen Test untuk ventilasi yang tidak merata. Perhatikan 4 fase pencatatan ekspirasi. TLC = kapasitas paru total. CV = volume penutupan. RV = volume residu Misalkan pasien mengambil kapasitas vital inspirasi oksigen, yaitu, total kapasitas paru-paru, dan kemudian hembuskan perlahan sejauh yang ia bisa, yaitu untuk volume residu. Bila kita mengukur konsentrasi nitrogen di mouthpiece dengan penganalisa nitrogen cepat, kita merekam suatu pola seperti yang ditunjuk pada gambar 1-10. Terdapat 4 fase. Fase pertama, yang berlangsung sangat singkat, oksigen murni dihembuskan dari jalan napas atas, dan konsentrasi nitrogen adalah nol. Pada fase kedua, konsentrasi nitrogen meningkat cepat karena ruang rugi anatomik dibilas oleh gas alveolus. Fase ini juga berlangsung singkat. Fase ketiga mengandung gas alveolus, dan pada pencatatannya hampir rata dengan sedikit kemiringan kecil yang mengarah ke atas, pada pasien normal. Bagian ini sering dikenal sebagai plateu alveolus. Pada pasien yang ventilasinya tidak sama, fase ketiga lebih curam, dan kemiringannya adalah pengukuran ketidakmerataan ventilasi. Hal ini dinilai sebagai peningkatan persentasi konsentrasi nitrogen per liter volume udara yang diekspirasi. Dalam melakukan tes ini, arus ekspirasi harus tidak lebih dari 0.5 L/detik agar mengurangi variabilitas hasil. Alasan kenapa terjadi peningkatan konsentrasi nitrogen pada fase 4 adalah beberapa area di paru mengalami ventilasi yang buruk, dan menerima sedikit oksigen. Area-area ini memiliki konsentrasi nitrogen karena kurangnya oksigen untuk mengencerkan gas nitrogen ini. Juga karena area yang berventilasi buruk ini cenderung paling akhir untuk mengalami pengosongan. Gambar 1-11. Tiga mekanisme ventilasi yang tidak merata. Pada ketidakseimbangan paralel (A) berkurangnya arus ke area yang konstan lama. Pada ketidakseimbangan serial (B), dilatasi jalan napas kecil mengakibatkan difusi inkomplit sepanjang unit paru terminal. Ventilasi kolateral (C) juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan serial Gambar 1-11 menunjukkan tiga mekanisme yang mungkin menjelaskan ventilasi yang tidak merata. Pada A, area ini kurang terventilasi karena ada obstruksi jalan napas parsial, dan karena tahanan jalan napas ini, area ini terakhir dikosongkan. Bahkan, kecepatan pengosongan area ini ditentukan oleh konstanta waktunya, yang merupakan produk dari tahanan jalan napas (R) dan compliance (C). Semakin besar konstanta waktunya (RC), semakin lama pengosongan alveolusnya. Mekanisme ini dikenal sebagai ketidakmerataan ventilasi yang paralel. Gambar 1-11B menunjukkan mekanisme yang dikenal sebagai ketidakmerataan serial/berlanjut. Ada dilasi jalan napas perifer, yang menyebabkan perbedaan ventilasi sepanjang jalan napas suatu unit paru. Pada konteks ini, kita harus ingat bahwa gas yang terinspirasi mencapai bronkiolus terminalis melalui arus konvektif, seperti air yang mengalir melalui suatu selang, tapi pergerakan berikutnya ke alveolus lebih disebabkan difusi sepanjang jalan napas. Normalnya, jaraknya begitu pendek sehingga cepat tercapai penyeimbangan konsentrasi gas yang hampir sempurna. Tetapi, bila jalan napas-jalan napas kecil ini membesar, seperti pada emfisema sentriasinar (lihat gambar 4-4), konsentrasi gas yang terinspirasi pada jalan napas yang paling distal tetaplah rendah. Lagi-lagi, area yang ventilasinya jelek seperti ini, mengalami pengosongan paling akhir. Gambar 1-11C menunjukkan bentuk ketidakmerataan serial lainnya, yang terjadi bila beberapa unit paru menerima gas terinspirasi dari unit tetangganya, daripada jalan napas yang besar. Hal ini dikenal sebagai ventilasi kolateral dan tampaknya merupakan proses yang penting pada PPOK dan asma. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Ventilasi Tidak Merata Terjadi pada pasien penyakit paru Merupakan faktor penting yang berperan pada gangguan pertukaran gas Lebih mudah diukur dengan single-breath nitrogen test --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Masih ada ketidakpastian mengenai pentingnya ketidakmerataan paralel dan serial. Mungkin karena keduanya terjadi pada taraf kecil, pada pasien dengan ventilasi normal, dan pada taraf besar pada pasien penyakit paru obstruktif. Apapun mekanisme yang berlangsung, single-breath nitrogen test adalah cara yang sederhana, cepat, dan dapat dipercaya untuk mengukur derajat ventilasi paru yang tidak merata. Ventilasi yang tidak merata ini meningkat pada banyak penyakit paru restriktif dan obstruktif. Volume Penutup Menjelang akhir ekspirasi kapasitas vital, seperti pada gambar 1-10, konsentrasi nitrogen meningkat cepat, menandakan awal penutupan jalan napas, atau fase 4. Volume paru saat fase 4 ini bermula disebut sebagai volume penutup, dan volume penutup ditambah volume residu disebut sebagai kapasitas penutup. Pada kenyataannya, awal fase 4 diketahui dengan menggambar garis lurus melalui plateu alveolus (fase 3) dan melihat titik terakhir garis pencatatan nitrogen pada garis ini. Sayangnya, jeda antara fase 3 dan 4 jarang yang sejelas gambar 1-10, dan terdapat variasi volume2 tersebut, ketika uji dilakukan berulang oleh pasiennya. Uji ini sangat berguna pada keadan terdapat penyakit dalam jumlah kecil, karena penyakit parah mengganggu pencatatannya sedemikian rupa sehingga volume penutupnya tidak bisa diidentifikasi. Mekanisme mulainya fase 4 masih tidak jelas, tapi dipercaya karena penutupan jalan napas kecil pada bagian terbawah paru. Pada volume residu tepat sebelum hirupan oksigen napas tunggal (single breath), konsentrasi nitrogen pada hakekatnya sama sepanjang paru, tapi di alveoli basal, konsentrasinya lebih kecil daripada alveoli apex pada pasien yang duduk/berdiri karena distorsi paru akibat beratnya. Tentu saja, bagian terbawah paru begitu terkompresinya sehingga jalan napas kecil di area bronkiolus respiratori menjadi tertutup. Meski begitu, di akhir kapasitas inspirasi vital, seluruh alveoli berukuran kurang lebih sama. Jadi nitrogen di basal terdilusi lebih besar daripada yang trejadi di apex, karena hirupan oksigen. Selama ekspirasi yang mengikutinya, zona atas dan bawah mengosongkan isinya secara bersamaan dan konsentrasi nitrogen terekspiasi hampir konstan (gambar 1-10). Segera sesudah jalan napas yang berhubungan mulai menutup, konsentrasi nitrogen yang tinggi di zona atas paru lebih mempengaruhi konsentrasi yang diekspirasikan, menghasilkan lonjakan. Terlebih lagi, ketika penutupan jalan napas merambat ke paru, nitrogen yang diekspirasikan, meningkat secara progresif. Beberapa penelitian menunjukkan pada beberapa pasien, volume penutupannya sama seperti pada keadaan tidak ada berat, seperti pada gravitasi normal. Temuan ini mengesankan bahwa kompresi paru yang dependen tidak selalu menjadi mekanismenya. Volume saat jalan napas menutup, terkait dengan usia, dapat serendah 10 % kapasitas vital pada orang normal berusia muda, tapi meningkat hingga 40 % (contohnya pada kapasitas residu fungsional) pada usia 65 tahun. Ada beberapa bukt bawa tes ini sensitif untuk beberapa penyakit. Contohnya, perokok yang tampaknya terlihat sehat, mengalami peningkatan volume penutupan ketika kapasitas ventilasinya normal. Uji Ketidakmerataan Ventilasi Lainnya Ketidakmerataan ventilasi juga dapat diukur dengan multibreath nitrogen washout selama bernapas dengan oksigen. Ketidakmerataan ventilasi secara topografik dapat ditentukan menggunakan zat radioaktif xenon. Bab ini terbatas membahas single-breath test; pengukuran lainnya dapat dilihat pada bab 3. Uji Penyakit Jalan Napas Dini Terdapat peningkatan minat untuk menggunakan beberapa uji untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit jalan napas dini, yang dijelaskan pada bab ini. Saat seorang pasien menunjukkan gejala khas PPOK, hasil pengobatan biasanya mengecewakan. Harapannya adalah dengan mengenali penyakit ini lebih dini, progresinya dapat dihambat, contohnya, dengan menyuruh pasien tidak merokok lagi. Diantara tes yang sudah diuji pada konteks ini adalah VEP1, FEF25-75%, Vmax50% dan Vmax75%, dan volume penutupan. Penilaian uji-uji ini susah, karena tergantung penelitan prospektif dan grup kontrol yang besar. Sekarang sudah jelas bahwa uji VEP1 tetap menjadi uji yang paling dipercaya dan berguna. Sementara banyak uji lain yang canggih masih harus diteliti, pengukuran VEP1 dan KVP tetap wajib dilakukan. Konsep penting 1. Volume ekspirasi paksa detik pertama dan kapasitas vital paksa adalah uji penting yang mudah dilakukan, memerlukan peralatan yang sedikit, dan sering informatif. 2. Kompresi jalan napas dinamik, sering ditemukan pada PPOK dan penyebab utama disabilitas 3. Jalan napas kecil (diameter kurang dari 2 mm) sering menjadi tempat mula penyakit jalan napas, tapi perubahannya sulit terdeteksi 4. Ventilasi yang tidak merata, sering terjadi pada penyakit jalan napas, dan bisa diukur dengan single- breath N2 test. 5. Volume penutupan sering meningkat pada penyakit jalan napas yang ringan, dan volume ini meningkat seiring usia. BAB 2 UJI FUNGSI PARU DAN MAKNANYA PO2 Arteri Pengukuran Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien sakit akut sering kali penting untuk diketahui. Dengan lektrode gas darah pengukuran PO2 aretri relative mudah. Darah arteri biasanya diambil dengan mmenusuk arteri radialis atau dari kateter arteri radialis yang sudah terpasang PO2 diukur dengan hukum polarografik yaitu aurs yng mengalir ketika voltase kecil diberi pada elektrode. Nilai Normal Nilai normal PO2 pada roang dewasa muda adalah sekitar 95 mmHg, dengan kisaran 85-100 mmHg. Nilai normal akan terus menurun seiring dengan usia dan rata-rata sekitar 85mmHg pada usia 60 tahun. Penyebab penurunan PO2 seiring usia mungkin karena peningkatan ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Gambar 2.1 menggambarkan tentang dua titik jangkar pada kurva normal. Satu adalah darah arteri (PO2 100, saturasi O2 97%) dan yang lain darah vena campuran (PO2 40, saturasi O2 75%). Kita harus mengingat bahwa diatas 60mmHg, kurva menjadi cukup mendatar dan sianosis mungkin tidak dapat terdeteksi. Kurva bergeser ke kanan oleh peningkatan suhu, PCO2 dan konsentrasi H+ (hal ini terjadi pda otot yang sedang bekerja ketika pelepasan O2 yang bertambah dapat menguntungkan). Kurva juga bergeser ke kanan oleh peningkatan 2,3-difosfogliserat (DPG) di dalam sel darah merah. 2,3 DPG menurun dalam darah yang disimpan, tapi meningkat pada hipoksia yang lama. PO2 alv SaO2 PCO2 alv Nilai Normal Ventilasi alveolar (l/m) Gambar 2.1 Pertukaran gas selama hipoventilasi Penyebab Hipoksemia Ada empat penyebab utama penurunan PO2 dalam darah arteri: 1. Hipoventilasi 2. Gangguan difusi 3. Pirau 4. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi Penyebab kelima, penurunan PO2 inspirasi seperti saat berada di daerah tinggi atau menghirup udara campuran dengan konsentrasi oksigen rendah, hanya tampak pada keadaan khusus. Hipoventilasi Volume udara bersih yang masuk ke dalam alveoli per satuan waktu (ventilasi alveolar) menurun. Jika konsumsi oksigen saat istirahat idak ikut menurun, pasti terjadi hipoksemia. Hipoventilasi sering disebabkan oleh penyakit paru. Bahkan sering kali paru dalam kondisi normal. Perlu ditekankan dua gambaran fisiologis utama pada hipoventilasi. Pertama, gambaran ini selalu menunjukkan peningkatan PCO2 dan ini merupakan gambaran diagnostic yang bernilai. Perbandingan antara PCO2 arteri dan tingkat ventilasi alveolar pada paru normal sangat sederhana: PCO2 = VCO2 x K VA VCO2: curah CO2 VA : ventilasi alveolar K: konstanta Hal ini berarti bila ventilasi alveolar menjadi setengah, PCO2 menjadi dua kali lipat. Jika pasien tidak mengalami peningkatan PCO2 arteri< artinya ia tidak mengalami hipoventilasi. Kedua, hipoksemia dapat dengan mudah dihilangkan dengan meningkatkan PO2 inspirasi melalui pemberian oksigen via sungkup muka. Hal ini dapat dilihat dari persamaan gas alveolar: PAO2 = PIO2 – PACO2 + F F : faktor koreksi kecil R Dengan menganggap nilai PCO2 alveolar dan arteri adalah sama. Persamaan ini menyatakan bahwa jika PCO2 arteri (PACO2)dan rasio pertukaran respiratorik tetap konstan, setiap mmHg peningkatan PO2 insprasi (PIO2) menghasilkan peningkatan yang sebandingpada PO2 alveolar. Karena PO2 inspirasi mudah ditingkatan sampai beberapa ratus mmHg, hipoksemia akibat hipoventiasi murni dapat mudah dihilangkan. Kemampuan PO2 untuk turun ke kadar yang sangat rendah akibat hipoventilasi murni. Perlu diperhatikan sekali lagi berdasarkan persamaan 2.2 kita dapat meliha bahwa jika R=1, Po2 alveolar turun 1 mmHg untuk setiap peningkatan PCO2 sebesar 1 mmHg. Ini berarti bahwa hipoventilasi berat mampu menggandakan PCO2 dari 40 mmHg ke 80mmHg hanya dengan menurunkan PO2 alveolar dari 100 ke 60mmHg. Jika R=0,8 penurunannya sedikit lebih besar, sekitar 50 mmHg. Selain itu PO2 arteri biasanya lebih renda beberapa mmHg di bawha nilai alveolar. Walaupu demikian, saturasi Oo2 akan mendekati 80% dan sianosis mungkain terdeteksi. Namun retensi CO2 derajat beratlah yang dapat menyebabkan asidosis respiartorik berat, dengan pH sekitar 7,2 dan pasien yang sangat sakit. Oleh karena itu hipoksemia bukanlah gambaran utama hipoventilasi. Penyebab hipoventilasi ditunjukkan dalam gambar 2.3 dan table 2.1. selain itu, hipoventilasi terlihat pada beberapa pasien yang sangat obesitas yang juga mengalami somnolen,polisitemia dan nafsu makan berlebihan. Ini dinamakan sebagai “sindrom pickwick” diambil dari anak gemuk, Joe, dalam karya Charles Dickens “Pickwick Papers”. Apnea tidur dapat dibagi menjadi Pusat, yaitu tanpa upaya pernafasan dan obstruktif, yaitu tanpa aliran udara meskipun terdapat aktivitas otot pernafasan. Apnea tidur pusat sering terjadi pada psien dengan hipoventilasi karena gerkan nafas terdepresi saat tidur. Selama idur REM, pernafasan sering tidak teratur dan tidak responsif terhadap rangsangan kimia dan vagal, kevuali pada hipoksemia yang biasanya tetap menghasilkan rangsangan kuat untuk bernafas. Apnea tidur obstruktif pertama kali dilaporakna pada pasien obesitas, tetapi kini diketahui bahwa keadaan ini tidak hanya terbatas pada obesitas saja. Obstruksi jalan dapat disebabkan oeh gerakan lidah ke belakang, kolaps dinding faring, tonsil atau adenoid yang sangat membesar dan penyempitan faring karena penyebab anatomic lain. Sering terjadi dengkuran keras dan pasien dapat bangun secara mendadak seteah sebuah episode apnea. Terkadang terjadi gangguan tidur kronis dan pasien dapat mengalami kantuk pada siang hari, gangguan fungsi kognitiif, kelelahan kronis dan gangguan kepribadian seperti paranoid, sikap bermusuhan dan depresi agitasi. Pengobatan dengan tekanan jalan nafas positf kontinu (CPAP) menggunakan masker wajah selama tidur sering kali efektif. Gambar 2. Regio anatomi penyebab hipoventilasi Gangguan Difusi Ini berarti tidak terjadi keseimbangan antara PO2 dalam darah kapiler paru dan gas alveolar. Gambar 2.4 menjelaskan kita mengenai waktu perjalanan PO2 sepanjang kapiler paru. Di bawah keadaan istirahat normal PO2 darah kapiler hampir mencapai kadar PO2 gas alveolar sekitar 1/3 waktu kontak total dari ¾ detik yang tersediadi dalam kapiler. Oleh karena itu terdapat banyak waktu cadangan. Bahkan ketika waktu kontak mungkin berkurang sampai ¼ detik saat latihan berat, keseimbangan hampir selalu terjadi. Namun, pada beberapa penyakit, sawar darah gas meneba dan difusi menjadi sedemikian lambat sehingga keseimbangan mungkin tidak sempurna. Gambar 2.5 menunjukkan bagian histologik paru pasien dengan fibrosis interstitial. Pada paru demikian kita memperkkirakan waktu perjalannan lebih lambat. Setiap hipoksemia yang terjadi saat istirahat akan memberat saat olahraga karena penurunan waktu kontak antara darah dan gas. Penyakit dengan hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh gangguan difusi, ketika berolahraga, meliputi asbestosis, sarkoidosis, fibrosis interstitial difus, termasuk fibrosis paru idiopatik, dan pneumonia interstitial, penyakit jaringan ikat yang mengenai paru termasuk scleroderma, paru rheumatoid, lupus eritematosus, granulomatosis Wagener, sindrom Goodpasture, dan karsinome sel alveolar. Pada semua keadaan tersebut jalur difusi dari gas alveolar ke sel darah merah mungkin meningkat, paling tidak di beberapa daerah paru dan perjalanan waktu oksigenasi dapat terpengaruhi. Dalam keadaan normal unit alveolar kapiler membutuhkan waktu 0.25 detik dari 0.75 detik waktu yang tersedia di kapiler untuk terjadi difusi. Pada gangguan difusi (gambar 3) terjadi perlambatan waktu lebih dari 0.75 detik untuk tercapainya keseimbangan tersebut. Pada saat latihan fisis oksigen diperlukan lebih banyak untuk metabolisme, curah jantung meningkat dan waktu pertukaran gas menurun menjadi ¼ total waktu yang dibutuhkan. Hipoksemia karena gangguan difusi juga dapat disebabkan oleh emboli paru yang luas sehingga waktu untuk oksigenasi di kapiler berkurang menjadi 1/10 dari normal. Hipoksemia yang disebabkan oleh gangguan difusi dapat dikoreksi dengan pemberian oksigen 100% tanpa peningkatan PCO2. Nilai PCO2 sedikit dibawah normal karena ventilasi di stimulasi sangat baik oleh hipoksemia atau reseptor intra pulmoner. PO2 alv Waktu kontak Penebalan sawar darah alveoli PO2 vena Latihan fisis Gambar 3. Perjalanan waktu oksigen dalam kapiler pulmoner pada saat difusi normal dan abnormal. Pirau Tekanan parsial oksigen di arteri seharusnya sama dengan tekanan oksigen di alveoli. Pada kondisi normal perbedaan PaO2 antara alveoli dengan end-capillary yang merupakan hasil dari difusi yang tidak lengkap sulit diukur. Pirau disini berarti darah yang memasuki sistem arteri tanpa melewati area ventilasi di paru. Pada pasien dengan penyakit jantung dapat terjadi tambahan darah vena ke darah arteri melewati defek antara jantung bagian kiri dan kanan. Total jumlah O2 yang meninggalkan sistem adalah aliran darah total dikalikan dengan konsentrasi O2 darah arteri. Hasil tersebut sama dengan jumlah O2 pada pirau darah dan end capillary blood. Gambaran yang penting dari pirau adalah hipoksemia yang terjadi tidak dapat dihilangkan dengan pemberian O2 100% karena darah yang terpirau tidak pernah melewati alveoli yang mempunyai PO2 tinggi. Pirau berarti darah mencapai sistem arteri pulmonalis tanpa melewati regio ventilasi. Pirau didalam paru dapat disebabkan oleh fistula arteri vena tetapi ini jarang ditemukan. Sebagai contoh daerah yang memiliki perfusi tetapi tidak terjadi ventilasi sama sekali yaitu pneumonia lobaris. Pirau yang besar mungkin terjadi pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Pemberian O2 murni tidak akan menaikkan PaO2. Ketidaksesuaian Ventilasi Perfusi Ventilasi adalah proses masuknya O2 dari udara luar ke alveoli dan keluarnya CO2 dari alveoli ke udara luar. Perfusi adalah distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk dialirkan ke seluruh tubuh. Pada ventilasi tidak semua udara sampai ke alveoli karena sebagian mengisi saluran nafas yang ikut dalam pertukaran udara. Daerah yang diisi udara ini disebut ruang rugi (zona konduksi). Volume udara yang memasuki alveoli pada setiap pernafasan sama dengan volume tidal dikurangi dengan ruang rugi. Ventilasi alveolar adalah udara yang memasuki alveoli di kali dengan frekuensi pernafasan tiap menit. Jumlah udara ventilasi alveolar ini merupakan salah satu faktor yang menentukan konsentrasi O2 dan CO2 dalam alveoli. Pada orang normal dikatakan ventilasi dan perfusi hampir seimbang, kecuali pada puncak paru. Dengan menggunakan Xenon terbukti bahwa ventilasi terbesar pada dasar paru dan bertambah kecil menuju puncak paru. Hal ini disebabkan karena gaya gravitasi bumi. Ketidaksesuaian ventilasi perfusi adalah suatu keadaan terjadinya ketidaksesuaian antara ventilasi dan aliran darah di paru sehingga pertukaran gas menjadi tidak efisien. Tekanan oksigen (PO2) dan PCO2 di alveoli ditentukan oleh hubungan antara ventilasi dan perfusi (rasio V/Q) yang berperan penting dalam pertukaran gas. Pada keadaan normal ventilasi alveolar 4-6 liter/menit, aliran darah pulmoner setara dengan jumlah curah jantung berkisar 5 liter sehingga rasio ventilasi perfusi sekitar 0.8-1.2. Gangguan proses ventilasi ataupun perfusi akan mengubah nilai ini dan artinya akan mengubah PO2 dan PCO2. Ketidaksesuaian ventilasi perfusi dapat terjadi akibat gangguan ventilasi perfusi atau keduanya. Keadaan rasio V/Q yang rendah disebabkan oleh penurunan ventilasi akibat dari struktur yang tidak normal atau gangguan fungsi sistem pernafasan seperti pada penyakit paru obstruktif atau restriktif serta dapat pula disebabkan oleh perfusi yang berlebihan dari ventilasi yang normal, seperti pada emboli paru. Rasio V/Q yang tinggi akibat dari ventilasi yang berlebihan atau perfusi yang rendah dapat dijumpai pada emfisema. Pertambahan usia juga menyebabkan peningkatan ketidaksesuaian V/Q. Ketidaksesuaian V/Q paling sering menyebabkan hipoksemia terutama pada pasien perawatan intensif. Perfusi saja yang menurun atau tidak terdapatnya ventilasi menunjukkan hipoksemia. Ventilasi tanpa perfusi tidak menunjukkan hipoksemia. Pada keadaan yang lebih berat ventilasi tanpa perfusi dapat menyebabkan retensi CO2. Penyebab Campuran Hipoksemia Ini sering terjadi karena kemungkinan terdapat pirau besar melewati paru pasien. Tidak berventilasi,selain mengalami ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang berat,pasien dengan penyakit paru interstitial mungkin memiliki sedikit gangguan difusi, tetapi ini pasti disertai ketidak seimbangan ventilasi perfusi dan mungkin juga pirau. Penghantaran Oksigen Ke Jaringan Walaupun PO2 darah arteri sangat penting, faktor lain juga berperan dalam dalam penghantaran oksigen ke jaringan.Penghantaran oksigen ke jaringan tergantung kapasitas oksigen darah, curah jantung,dan distribusi aliran darah ke perifer. PCO2 ARTERI Pengukuran - Elektrode PCO2 pada dasarkan merupakan elektrode pH kaca yang dikelilingi oleh dapar bikarbonat. CO2 mengubah pH dapar, dan ini diukur oleh elektrode, yang membaca PCO2 secara langsung. Nilai normal - PCO2 arteri normal adalah 37-43 mmHg dan hampir tidak dipengaruhi oleh usia. Penyebab peningkatan PCO2 arteri - Hipoventilasi - Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi pH ARTERI Pengukuran Pengukuran pH arteri biasanya diukur denga sebuah elektroda kaca bersamaan PO2 dan PCO2 arteri melalui persamaan Handerson-Hasselbach : pH = pK + log (HCO3)/ 0.03 PCO2 Dengan pK= 6.1 dan HCO3- adalah konsentrasi bicarbonat plasma dalam milimol per liter. Asidosis - asidosis berarti penurunan pH arteri. Asidosis dapat disebabkan karena kelainan respiratorik dan metabolik atau keduanya. 1. asidosis respiratorik 2. asidosis metabolik Alkalosis - alkalosis berarti peningkatan pH arteri. Alkalosis dapat disebabkan karena kelainan respiratorik dan metabolik atau keduanya. KAPASITAS DIFUSI Pengukuran Kapasitas Difusi - metode paling popular untuk mengukur kapasitas difusi (DLCO) adalah metode napas tunggal. Penyebab penurunan kapasitas difusi - Ambilan CO ditentukan oleh sifat difusi sawar darah ga dan kecepatan kombinasi CO dengan darah - Sifat difusi membran alveolar bergantung pada ketebalan dan daearahnya. Kapasitas difusi berkurang pada penyakit yang ketebalan membrannya bertambah, meliputi: (fibrosis interstisial difus, sarkoidosis); berkurangnya daerah permukaan sawar darah, misalnya pada pneumonektomi. - Kecepatan kombinasi CO dengan darah berkurang jika jumlah sel darah merah dalam kapiler berkurang. Hal ini terjadi pada anemia dan juga penyakit yang mengurangi volume darah kapiler. Interpretasi Kapasitas Difusi - Pada banyak pasien dengan kapasitas difusi terukur rendah, interpretasinya tidak pasti. Alasannya adalah ketidaksamaan ventilasi, aliran darah, dan sifat difusi disepanjang paru yang sakit. - Kapasitas difusi kadang kala dinyatakan sebagai faktor transfer untuk menekankan bahwa hal ini lebih merupakan pengukuran kemapuan keseluruhan paru untuk memindahkan gas ke dalam darah, bukannya uji spesifik untuk sifat difusi. BAB 3 UJI LAIN VOLUME PARU STATIK Pengukuran Volume residu, kapasitas residu fungsional, dan kapasitas paru total memerlukan pengukuran tambahan. Kapasitas residu fungsional (KRF) dapat diukur dengan body pletysmograph. Alat ini merupakan sebuah kotak kedap udara besar yang dapat diduduki oleh pasien. Mouthpiece ditutup, dan pasien diminta untuk melakukan inspirasi cepat. Ketika pasien menambah volume gas dalam paru, udara dalam pletismograf dikompresi dan tekanannya meningkat. Dengan mengikuti hukum Boyle, kita dapat mendapatkan volume paru. Cara lainnya dengan menggunakan teknik dilusi helium, yaitu menghubungkan spirometer yang diketahui volume dan konsentrasi heliumnya dengan pasien dalam sirkuit tertutup. Dari derajat dilusi helium, volume paru yang tidak diketahui dapat dihitung. Volume residu dapat diketahui dari KRF dengan mengurangi volume sisa ekspirasi. Interpretasi KRF dan RV biasanya meningkat pada penyakit dengan peningkatan resistensi jalan napas, misalnya, emfisema, bronkitis kronis, dan asma. RV meningkat pada keadaan tersebut karena penutupan jalan napas terjadi pada volume paru yang abnormal tinggi. Penurunan KRF dan RV sering terlihat pada pasien dengan penurunan regangan paru, contohnya pada fibrosis interstisial difus. Pada keadaan tersebut, paru menjadi kaku dan cenderung rekoil menjadi volume istirahat yang lebih kecil. Elastisitas Paru Kurva tekanan volume paru membutuhkan pengetahuan mengenai tekanan, baik dalam jalan napas maupun disekitar paru. Perkiraan yang baik untuk tekanan di sekitar didapat dari tekanan esofageal. Sebuah balon kecil diujung kateter dimasukkan melewati hidung atau mulut, lalu perbedaan antara tekanan mulut dan esofagus direkam ketika pasien melakukan ekshalasi secara bertahap 1 liter dari kapasitas paru total (TLC) sampai RV. Interpretasi Rekoil elastik berkurang pada pasien dengan emfisema. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa kurva tekanan volume berpindah ke kiri dan memiliki lereng yang lebih curam pada keadaan ini akibat kerusakan dinding alveolar dan mengakibatkan kekacauan jaringan elastik. Perubahan regangan tidak reversibel. Kurva tekanan volume juga secara khas bergeser ke kiri pada pasien asma selama serangan, tetapi perubahan tersebut reversibel pada beberapa pasien. Gambar 3.1 Kurva tekanan volume paru. Perhatikan bahwa kurva emfisema dan asma (sewaktu bronkospasme) bergeser ke atas dan ke kiri, sementara kurva penyakit katup reumatik dan fibrosis interstisial mendatar. (dari Bates DV, Macklem PT, Christie RV, Respiratory Function in disease, 2nd ed. Philadelpia ; WB Saunders, 1971) RESISTENSI JALAN NAPAS Pengukuran Resistensi jalan napas didefinisikan sebagai perbedaan tekanan antara alveoli dan mulut dibagi dengan kecepatan aliran. Tekanan alveolar hanya dapat diukur secara tidak langsung; satu cara untuk melakukan ini adalah dengan body pletysmograph. Pasien duduk didalam sebuah kotak kedap udara bernafas pendek melalui flowmeter. Tekanan alveolar dapat diambil dari perubahan tekanan dalam pletismograf karena ketika gas alveolar dikompresi, volume gas pletismograf agak meningkat, menyebabkan penurunan tekanan. Metode ini memiliki keuntungan yang dapat mengukur volume paru secara mudah dan hampir bersamaan. Interpretasi Resistensi jalan napas berbanding terbalik dengan volume paru karena pembesaran parenkim menyebabkan traksi dinding jalan napas. Jadi, setiap pengukuran resistensi jalan napas pasti berhubungan dengan volume paru. Resistensi jalan napas bertambah pada bronkitis kronik dan emfisema. Pada bronkitis kronik, lumen jalan napas berisi sekresi berlebihan dan dindingnya menebal karena hiperplasia kelenjar mukosa dan edema. Resistensi jalan napas juga meningkat pada pasien dengan asma bronkialis. Hal ini disebabkan oleh kontraksi otot polos bronkial yang menghasilkan bronkokonstriksi sumbatan mukus yang menyumbat pada jalan napas dan edema dinding jalan napas. Resistensi tinggi selama serangan terutama berhubungan dengan volume paru yang sering kali sangat meningkat. Resistensi dapat dikurangi dengan obat bronkodilator. PENGENDALIAN VENTILASI Pengukuran Respon ventilasi terhadap karbondioksida dapat diteliti dengan tehnik rebreathing. Sebuah kantong kecil diisi dengan campuran 6-7% CO2 dalam oksigen, dan pasien bernapas darinya selama beberapa menit. PCO2 dalam kantong meningkat pada kecepatan 4-6 mm Hg/mnt sehingga perubahan ventilasi per mm Hg peningkatan PCO2 dapat ditentukan dengan mudah. Respon ventilasi terhadap hipoksia dapat diukur dengan cara yang sama. Interpretasi Respon ventilasi terhadap CO2 ditekan oleh tidur, obat narkotik dan faktor genetik, ras dan kepribadian. Respons tersebut dapat berkurang pada orang yang mengalami hipoksemia sejak lahir, seperti mereka yang lahir di dataran tinggi atau dengan penyakit jantung kongenital sianotik. Respons ventilasi hipoksik cenderung dipertahankan selama tidur. Akan tetapi, beberapa pasien dapat mengalami sindrom apnea tidur. UJI LATIHAN Pengukuran Paru normal memiliki fungsi cadangan yang sangat besar saat istirahat. Contohnya, ambilan O2 dan keluaran CO2 dapat meningkat 10 kali lipat ketika normal berolahraga, dan peningkatan tersebut terjadi tanpa penurunan PO2 arteri atau peningkatan PCO2. Oleh karena itu, berguna mengungkapkan disfungsi minor, pembebanan latihan sering berguna. Uji latihan yang kurang formal (disebut uji latihan lapangan) juga informatif. Salah satunya adalah uji jalan 6 menit (6 minute walk test), dengan menyuruh pasien berjalan sejauh mungkin sepanjang koridor atau lantai lainnya selama 6 menit. Hasilnya dinyatakan dalam meter yang dilalui. Uji ini memiliki keuntungan karena menyerupai keadaan nyata. Hasilnya sering membaik dengan berlatih. Uji yang lain, yaitu uji jalan kumparan (shuttle walk test), yaitu pasien berjalan mengitari dua kerucut yang ditempatkan 10 meter berjauhan. Kecepatan berjalan diatur oleh kaset audio yang berbunyi ”bip” dan kecepatan berjalan dinaikkan bertahap. Intrepretasi Pada kebanyakan kasus, interpretasi uji latihan mirip dengan saat istirahat, kecuali bahwa latihan memperbesar nilai abnormalitasnya. Contohnya, pasien dengan penyakit paru interstisial yang memiliki penurunan kapasitas difusi terbatas saat istirahat mungkin tidak menampakkan peningkatan selama latihan (hasil yang abnormal), dengan PO2, arteri yang sangat turun, peningkatan curah jantung yang relatif kecil, dan mungkin dispnea yang jelas. Beberapa peneliti memberikan perhatian khusus pada rasio pertukaran napas (R) ketika tingkat latihan ditingkatkan. Dispnea Bagian ini adalah tempat yang baik untuk secara singkat membahas salah satu gejala penyakit paru yang paling penting. Dispnea merujuk kepada perasaan sulit bernapas, dan harus dibedakan dari takipnea (bernapas cepat) sederhana atau hiperpnea (peningkatan ventilasi). Dispnea adalah satu fenomena yang subjektif sehingga sulit diukur, dan faktor penyebabnya tidak dipahami betul. Secara garis besar, dispnea terjadi ketika kebutuhan ventilasi melebihi proporsi kemampuan berespons sang pasien terhadap kebutuhan tersebut. Akibatnya, bernapas menjadi sulit, tidak nyaman, atau berat. Peningkatan kebutuhan ventilasi sering disebabkan oleh perubahan gas darah dan pH. Ventilasi tinggi saat latihan sering terlihat pada pasien dengan pertukaran gas paru yang tidak efisien, terutama yang memilki ruang mati fisiologis yang besar, yang cenderung mengalami retensi CO 2 dan asidosis, kecuali jika memperoleh ventilasi tinggi. Penurunan kemampuan untuk berespons terhadap kebutuhan ventilasi umumnya disebabkan oleh mekanisme abnormal paru atau dinding dada. Peningkatan resistensi jalan napas sering menjadi masalahnya, seperti pada asma. Penyebab lain dapat meliputi dinding dada yang kaku, seperti pada kifoskoliosis. PERBEDAAN TOPOGRAFIK FUNGSI PARU Pengukuran Distribusi regional aliran darah dan ventilasi dalam paru dapat diukur dengan bahan radioaktif. Sebuah metode umum untuk mendeteksi daerah yang tidak punya aliran darah adalah dengan menyuntikkan agregat albumin berlabel radioaktif teknetium. Kemudian dibuat pencitraan radioaktifitas dengan kamera gamma, akan tampak daerah “dingin” yang tidak berisi aktifitas. Penerapan utama metode ini dalam praktik adalah untuk diagnosis emboli paru. Distribusi aliran darah juga dapat diketahui dari penyuntikan intravena radioaktif xenon atau gas radioaktif lain yang diencerkan dalam salin. Ketika gas mencapai kapiler baru, gas tersebut berkembang dalam gas alveolar, dan radiasinya dapat dideteksi oleh kamera gamma. Kelebihan metode ini adalah menunjukkan aliran darah per unit volume paru. Distribusi ventilasi dapat diukur dengan cara serupa, kecuali bahwa gas diinhalasi ke dalam alveoli dari spirometer. Baik inspirasi tunggal maupun napas serial dapat direkam. Interpretasi Distribusi aliran darah pada paru ketika tegak tidak sama, jauh lebih banyak di basal daripada di apeks. Perbedaan tersebut disebabkan oleh gravitasi dan dapat dijelaskan melalui hubungan antara tekanan arteri, vena dan alveolar paru. Latihan menghasilkan distribusi yang lebih merata karena peningkatan tekanan arteri paru, dan hasil yang sama ditemukan pada keadaan penyakit, seperti hipertensi pulmonal dan pirai jantung kiri ke kanan. Penyakit paru terlokalisasi, contohnya kista, atau daerah fibrosis, sering menurunkan aliran darah regional. Perbedaan struktur dan fungsi daerah lain juga terjadi. Distorsi pada paru tegak yang disebabkan oleh gravitasi menyebabkan alveoli di apeks lebih besar daripada di basal. Alveoli yang lebih besar ini juga berkaitan dengan stres mekanik lebih besar yang mungkin berperan dalam perkembangan beberapa penyakit, seperti emfisema sentraasinar dan pneumotoraks spontan. BAB IV PENYAKIT OBSTRUKTIF OBSTRUKSI JALAN NAPAS Peningkatan resistensi aliran udara disebabkan oleh kelainan di dalam lumen, di dalam dinding saluran napas, dan dalam daerah peribronkial. Peningkatan tersebut dapat disebabkan: 1. Lumen dapat tersumbat sebagian oleh sekresi yang banyak seperti pada bronkitis kronik. Obstruksi parsial dapat terjadi akut pada edema paru atau aspirasi benda asing atau sekret postoperasi. Benda asing yang terhirup dapat menyebabkan obstruksi parsial atau lengkap. 2. Penyebab obstruksi pada dinding saluran napas yaitu kontraksi otot polos bronkus, seperti pada asma, hipertrofi kelenjar mukus seperti pada bronkitis kronik dan peradangan serta edema dinding, seperti pada bronkitis dan asma. 3. Penyebab sumbatan dari saluran napas termasuk kerusakan parenkim dapat mengakibatkan kehilangan tarikan radial dan penyempitan saluran napas seperti pada emfisema. Bronkus juga dapat terkompresi lokal yang disebabkan oleh pembesaran kelenjar getah bening atau neoplasma. Penyempitan juga dapat disebabkan oleh edema peribronkial. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah terminologi yang sering diberikan pada pasien dengan emfisema, bronkitis kronik atau gabungan keduanya. Pasien yang mengeluhkan napas terasa pendek selama bertahun-tahun ternyata mengalami batuk kronik, toleransi olahraga yang buruk, tanda obstruksi saluran napas, paru hiperinflasi dan gangguan pertukaran gas. Emfisema Emfisema adalah definisi anatomi, berupa pembesaran rongga udara distal dari bronkiolus terminal, dengan kerusakan pada dindingnya. Patologi Gambaran histologi yang khas dapat terlihat pada gambar 4-2B. Paru emfisema kehilangan dinding alveolus dengan kerusakan pada capillary bed. Parenkim yang mengandung pembuluh darah dapat terlihat sepanjang rongga udara yang terdilatasi. Saluran napas kecil (lebar < 2 mm) menyempit dan berkurang jumlahnya. Dinding saluran napas juga menjadi atrofi dan menipis serta terjadi lehilangan pada saluran napas yang lebih besar. Gambar 4-1. Mekanisme Obstruksi Saluran Napas. A. Lumen tertutup sebagian, misalnya karena sekret berlebih. B. Penebalan dinding saluran napas, misalnya karena edema atau hipertrofi otot polos. C. Abnormalitas di luar saluran napas, pada gambar ini tampak parenkim paru rusak sebagian dan saluran napas menyempit karena kehilangan tarikan radial. Gambar 4-2. Gambaran Mikroskopik Paru Emfisema. A. Paru normal. B. Kerusakan dinding alveolus dan pembesaran rongga udara Gambar 4-3. Gambaran Potongan Paru Normal dan Emfisema. A. Normal. B. Emfisema panasinar Tipe Pada emfisema sentriasinar, kerusakan terbatas pada bagian tegah lobules dan duktus perifier serta alveolus dapat tidak mengalami gangguan (Gambar 4-4) Gambar 4-4. Emfisema Sentriasinar dan Panasinar. Pada emfisema sentriasinar, kerusakan terbatas pada bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius (TB dan RB). Pada emfisema panasinar, alveolus perifer (A) juga mengalami gangguan Emfisema panasinar menampakkan peregangan dan kerusakan seluruh lobules. Kadang-kadang kerusakan paling terlihat pada paru di bagian yang dekat dengan septum interlobular (emfisema paraseptal). Dapat juga terbentuk area kisik besar atau bullae (emfisema bullosa). Emfisema sentriasinar umumnya terdapat pada apeks lobus atas namun menyebar ke area yang lebih bawah sejalan dengan perjalanan penyakitnya (Gambar 4-5A). Predileksi pada apeks menunjukkan beban mekanis yang lebih besar, yang merupakan predisposisi kegagalan struktural dinding alveolus. Emfisema panasinar tidak memiliki preferensi lokasi namun lebih sering terjadi pada lobus bawah. Pada emfisema berat, sulit untuk membedakan keduanya, bahkan dapat terjadi keduanya dalam satu paru. Bentuk sentriasinar lebih sering terjadi dan bentuk ringan umumnya tidak menyebabkan gangguan. Salah satu bentuk emfisema lain berhubungan dengan defisiensi α1-antitripsin, yaitu emfisema panasinar berat pada pasien homozigot gen Z. Bentuk ini umumnya dimulai di lobus bawah, onset pada usian 40 tahun dan sering tanpa didahului riwayat batuk atau merokok. Bentuk lain emfisema yaitu emfisema unilateral (sindrom MacLeod’s atau Swyer-James) yang dapat menyebabkan gambaran foto toraks hiperlusen unilateral. Patogenesis Hipotesis patogenesis emfisema yaitu hipersekresi enzim elastase lisosomal yang dilepaskan oleh neutrofil paru. Jumlah enzim yang banyak menyebabkan kerusakan elastin, suatu protein struktural yang penting pada paru. Elastase neutrofil juga memecah kolagen tipe IV yang penting untuk mempertahankan kekuatan sisi tipis kapiler paru dan integritas dinding alveolus. Faktor penyebab yang terpenting adalah merokok, yang dapat merangsang makrofag untuk melepaskan zat penarik neutrofil seperti C5a atau dengan menurunkan aktivitas inhibitor elastase. Merokok juga akan mengaktifkan leukosit-leukosit yang berada di dalam paru. Pada defisiensi α1-antitripsin, terjadi kekurangan antiprotease yang harusnya menginhibisi elastase. Polusi udara, faktor genetik juga berperan. Gambar 4-5. Distribusi Topografik Emfisema. A. Gambaran zona atas pada emfisema sentriasinar. B. Gambaran zona bawah pada emfisema yang disebabkan oleh defisiensi α1-antitripsin. Bronkitis Kronik Penyakit ini ditandai dengan produksi mukus yang berlebihan pada cabang bronkial yang cukup banyak sampai dapat diekspektorasikan. Bronkitis kronik adalah suatu definisi klinis. Kriteria ekspektorasi berat yang dipakai adalah batuk berdahak terus menerus pada 3 bulan pertahun sedikitnya terjadi dalam 2 tahun. Patologi Patologi bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa pada bronkus (Gambar 4-6) dan perubahan inflamasi kronik pada saluran napas kecil. Pembesaran kelenjar mukosa dinilai dengan “Indeks Reid” yaitu rasio kelenjar-dinding. Rasio ini dapat melebihi 0,7 (normal < 0,4) pada bronkitis kronik berat. Selain itu dapat ditemukan juga mukus dalam jumlah banyak dan sumbatan mukus. Saluran napas menyempit dan menampakkan perubahan peradangan, termasuk infiltrasi dan edema dinding saluran napas. Terdapat juga jaringan granulasi, fibrosis peribronkial, dan peningkatan otot polos bronkus. Gambar 4-6. Perubahan Histologik pada Bronkitis Kronik. A. Dinding bronkus normal. B. Dinding bronkus pasien dengan bronkitis kronik. Gambar 4-7. Struktur dinding bronkus normal. Pada bronkitis kronik ketebalan kelenjar mukosa meningkat dan dapat dinilai dengan Indeks Reid dengan (b-c)/(a-d). Patogenesis Pajanan rokok menyebabkan inflamasi kronik. Faktor penting lainnya adalah polusi udara. Gambaran Klinis Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pada PPOK, terdapat dua gambaran klinis, yaitu tipe A dan tipe B. Tipe A Tipe ini umumnya ditemukan pada pasien berusia pertengahan 50 tahun dengan sesak napas yang semakin memberat sejak 3-4 tahun terakhir. Dapat ditemukan juga batuk dengan dahak putih. Dari pemeriksaan fisis pasien tampak astenikus dengan tanda penurunan berat badan. Sianosis tidak ada. Paru sangat mengembang dengan suara napas melemah tanpa bunyi napas tambahan. Foto toraks menampakkan hiperinflasi dengan difragma mendatar, mediastinum sempit dan peningkatan translusensi retrosternal. Dapat ditemukan pula penyempitan pembuluh darah paru perifer. Pada CTscan dapat dtemukan lubang-lubang yang tersebar di seluruh paru. Pasien ini dikelompokkan sebagai “pink puffers.” Gambar 4-8. Gambaran radiologi pada paru normal dan pada emfisema. A. Normal. B. Pola hiperinflasi dengan diafragma rendah, mediastinum sempit, dan peningkatan translusensi yang umum ditemukan pada emfisema. Emfisema tampak jelas pada regio bawah pada paru. Tipe B Gambaran klinis yang umum pada tipe ini yaitu laki-laki usia 50 tahun dengan riwayat batuk berdahak kronik selama bertahun-tahun dan pengeluaran dahak yang semakin parah. Sering terjadi eksaserbasi akut dengan sputum purulen. Sesak napas terasa memberat dengan perburukan toleransi olahraga. Pasien juga mempunyai riwayat merokok selama bertahun-tahun. Lama merokok dapat dinilai dengan mengalikan jumlah rokok perhari dengan tahun merokok. Pada pemeriksaan, pasien tampak gemuk dengan sianosis. Dari pemeriksaan auskultasi dapat terdengar rales dan ronki. Dapat ditemukan pula tanda retensi cairan dengan peningkatan tekanan vena jugularis dan edema tungkai. Foto toraks dapat memperlihatkan pembesaran jantung, kongesti lapangan paru dan peningkatan corakan akibat infeksi lama. Dapat terlihat pula garis paralel (tram lines) yang disebabkan oleh penebalan dinding bronkus yang mengalami inflamasi. Pada autopsi perubahan inflamasi kronik pada bronkus merupakan tanda pasien mengalami bronkitis berat, namun dapat juga mengalami emfisema berat. Pasien ini sering dinamakan “blue bloaters”. Gambar 4-9. A. Gambaran paru normal dengan menggunakan teknik digital. B. Potongan aksial paru pada pasien emfisema. Lubang-lubang dapat terlihat menyebar di seluruh paru. Tabel 1. Gambaran tipe A dan tipe B pada PPOK Tipe A – ‘Pink Puffer’ Tipe B – ‘Blue Bloaters’ Sesak napas bertahun-tahun yang semakin sesak bertamah dalam beberapa tahun memberat Sedikit atau tanpa batuk Batuk berdahak dan sering Ekspansi dada berlebihan yang jelas terlihat Penambahan volume dada yang sedang atau tidak bertambah Tidak ada sianosis Seringkali ada sianosis Suara napas bersih Mungkin ada rales, ronki Tekanan vena jugularis normal Mungkin ada peningkatan tekanan vena jugularis Tidak ada edema perifer PO2 arteri hanya berkurang sedikit PCO2 arteri normal Mungkin ada edema perifer PCO2 biasanya sangat rendah PCO2 seringkali meningkat Hipoksemia yang lebih berat dan dampak insiden kor pulmonale yang lebih tinggi pada pasien tipe B disebabkan oleh dorongan ventilasi yang berkurang, terutama saat tidur. Fungsi Paru Kapasitas dan Mekanisme Ventilasi Pada PPOK, Volume Ekspirasi Paksa 1 detik pertama (VEP1), Kapasitas Vital Paksa (KVP), VEP sebagai persentase KVP (VEP/KVP%), aliran ekspirasi paksa (APE25-75) dan aliranekspirasi maksimum pada 50% dan 75% kapasitas vital ekshalasi (Vmax50% dan Vmax75%) semuanya menurun. Semua pengukuran ini menunjukkan obstruksi saluran napas, baik karena mukus berlebihan maupun penebalan dinding karena inflamasi atau hilangnya traksi radial. KVP berkurang karena saluran napas terlalu cepat menutup pada volume paru yang abnormal tinggi sehingga terjadi peningkatan volume residu (VR). Pemeriksaan spirometri menunjukkan kecepatan aliran pada ekspirasi paksa sangat menurun dan waktu ekspirasi sangat meningkat. Kadang, manuver terhenti karena sesak napas saat pasien masih ekspirasi. VEP1 menurun hingga kurang dari 0,8 liter pada penyakit berat. Pada beberapa pasien, persentase VEP1, KVP dan VEP/KVP dapat meningkat secara signifikan setelah pemberikan bronkodilator aerosol. Kapasitas paru total (KPT), kapasitas residu fungsional (KRF) dan volume residu (VR) semua meningkat pada emfisema. Volume paru statik ini juga sering abnormal pada bronkitis kronik. Rekoil elastik paru menurun pada emfisema. Tekanan transpulmonal pada KPTrendah. Pada bronkitis kronik tanpa komplikasi dan tanpa emfisema, kurva tekanan-volumenya mungkin nornalkarena parenkim hanya sedikit terkena. Resistensi saluran napas meningkat pada PPOK, yang disebabkan oleh penyempitan intrinsik atau debris dalam lumen atau hilangnya rekoil elastik dan traksi radial. Gambar 4-10 menunjukkan penurunan kapasitas ventilasi hampir seluruhnya berasal dari efek tekanan rekoil elastik yang lebih kecil dalam paru sehingga terjadi penurunkan tekanan pendorong efektif selama ekspirasi paksa dan saluran napas lebih mudah kolaps karena hilangnya traksi radial. Pergeseran kecil garis emfisema kena anan mencerminkan distorsi saluran napas. Garis pada asma menunjukkan bahwa konduktans saluran napas sangat menurun pada tekanan rekoil tertentu. Resistensi yang lebih tinggi pada pasien ini disebabkan penyempitan intrinsik saluran napas oleh kontraksi otot polos dan perubahan inflamasi saluran napas. Gambar 4-10. Hubungan konduktansi dan tekanan rekoil elakstik pada pasien PPOK. Pertukaran Gas Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi pada PPOK menyebabkan hipoksemia dengan atau tanpa retensi CO2. Pasien tipe B lebih sering mengalami hipoksemia berat. Gambar 4-11. Distribusi rasio ventilasi perfusi pada pasien PPOK tipe A Gambar 4-11 menunjukkan distribusi rasio ventilasi perfusi pada pasien PPOK. Distribusi menunjukkan sejumlah besar ventilasi masuk ke unit-unit paru dengan rasio ventilasi-perfusi (VA/Q) yang tinggi. Derajat hipoksema relatif ringan dan pirau fisiologis hanya sedikit meningkat. Gambar 4-12. Distribusi rasio ventilasi-perfusi pada pasien PPOK tipe B. Berbeda dengan gambar 4-12, gambar ini menunjukkan sejumlah besar aliran darah ke unit dengan VA/Q rendah (pirau fisiologis) yang menyebabkan hipoksemia erat. Tidak ada aliran darah ke alveolus tanpa ventilasi (pirau murni). Pasien dengan retensi CO2 sering menunjukkan nilai PCO2 yang lebih tinggi saat latihan karena keterbatasan respons ventilasinya. Faktor lain yang menurunkan besarnya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi adalah vasokonstriksi hipoksik. PCO2 arteri sering normal pada pasien dengan PPOK ringan sampai sedang walaupun ada ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Setiap peningkatan PCO2 arteri akan merangsang kemoreseptor sehingga meingkatkan ventilasi ke alveolus. Pada keadaan peningkatan PCO2, pH cenderung turun dan terjadi asidosis respiratorik. Sirkulasi Pulmonal Tekanan arteri pulmonal seringkali meningkat pada penderita PPOK seiring memburuknya penyakit. Pada emfisemia terjadi kerusakan anyaman kapiler sehingga resistensi vaskular akan meningkat. Vasokonstriksi hipoksik juga meningkatkan tekanan arteri pulmonal. Asidosis dapat memperberat vasokonstriksi hipoksik. Retensi cairan dengan edema dependen dan pembengkakan vena leher dapat terjadi, terutama pada tipe B. Dapat terjadi pula kor pulmonale. Pengendalian Ventilasi Ventilasi ke dalam alveolus sering tidak meningkat, hal ini disebabkan peningkatan kerja napas akibat resistensi saluran napas yang tinggi sehingga kebutuhkan oksigen pernapasan mungkin saat besar. Pasien dengan konsumsi oksigen yang sangat terbatas mungkin ingin melepaskan PCO2 arteri untuk mendapatkan pengurangan kerja pernapasan dan penurunan kebutuhan oksigen. Peningkatan respons ventilasi terhadap CO2 yang diinhalasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara orang normal yang disebabkan oleh faktor genetik. Gambar 4-13. Ambilan oksigen selama hiperventilasi voluntar pada pasien PPOK. Perubahan pada Awal Penyakit Deteksi dini dapat bermanfaat untuk mengenali pasien dan dinasehati untuk berhenti merokok. Perubahan pada PPOK paling awal dapat terjadi pada saluran napas kecil. Uji napas yang sedang dikaji yaitu VEP1, APE25-75%, Vmax50% dan Vmax75% dan volume penutup. Penatalaksanaan Penderita PPOK Penatalaksanaan utama meliputi penghentian merokok, penghindaran terhadap polusi kerja dan atmosfer. Bronkitis kronik diterapi dengan antibiotik dan bronkodilator jika ada unsur reversibel. Operasi Reduksi Volume Paru Pembedahan untuk mengurangi volume paru yang mengembang berlebihan dapat berguna pada kasus tertentu. Pengurangan volume dapat mningkatkan traksi radial pada saluran napas dan membantu membatasi kompresi dinamik. Kriteria operasi umumnya VEP1 kurang dari seperti yang diharapkan, heterogenitas emfisema, VR, KRF dan KPT. ASMA Asma ditandai dengan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai stimulus dan ditandai dengan peradangan dan penyempitan saluran napas luas yang berubah beratnya, baik secara spontan maupun akibat pengobatan. Patologi Saat serangan asma, terjadi kontraksi otot polos yang hipertrofi sehingga menyebabkan bronkokonstriksi. Terjadi pula hipertrofi kelenjar mukus, edema dinding bronkus dan infiltrasi berlebihan dari eosinofil dan limfosit. Jumlah mukus bertambah secara abnormal, menjadi kental, kenyal dan bergerak lambat. Banyak saluran napas yang dapat tersumbat oleh mukus dan sebagian dapat dibatukkan dalam sputum. Sputum pada asma khas yaitu putih dan sedikit. Terjadi proses remodeling dengan fibrosis subepitel. Gambar 4-14. Dinding bronkial pada asma. Tampak otot polos hipertrofi yang berkontraksi, edema, hipertrofi kelenjar mukosa dan sekresi dalam lumen. Patogenesis Dua gambaran lazim pada semua penderita asma adalah hiperesponsitas saluran napas dan inflamasi saluran napas. Terjadi pula edema saluran napas, hipersekresi mukus dan infiltrasi sel inflamasi. Asma dimulai sejak masa kanak-kanak pada sebagian besar kasus dan diastesis alergi berperan penting. Faktor lingkungan pun tampaknya penting dan bertanggung jawab pada peningkatan prevalensi dan keparahan asma pada tahun-tahun terakhir. Salah satu hipotesis yang sedang berkembang adalah ‘hipotesis higiene’ yang menyatakan bahwa anak pada stadium kritis perkembangan respons imun mungkin sering mengalami diatesis alergi dan asma. Pada beberapa kasus pemicu dapat dikenal baik seperti antigen pada penderita asma alergika. Namun pada asma yang diinduksi latihan atau asma setelah infeksi viral saluran napas, pemicu tidak dikenal. Polusi atmosferik terutama partikel submikronik dalam asap knalpot mungkin berperan. Eosinofil, sel mast, neutrofil, makrofag dan basofil semua berperan pada asma. Terdapat bukti bahwa sel noninflamasi termasuk sel epitel saluran napas dan sel neural dari saraf peptidergik berperan pada inflamasi asma. Limfosit terutama sel T ikut terlibat, karena sel T berespons terhadap antigen spesifik dan sebagai modulator sel inflamasi. Gambar 4-15. Perubahan patogenik pada asma alergi Sitokin pun diduga berperan pada asma, khususnya Th-2, pengaktifan sel T helper. Sitokin ini meliputi IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13. Sitokin berperan membantu inflamasi dan fungsi sel imun serta menyokong respons inflamasi saluran napas.Metabolit asam arakidonat seperti leukotrien dan prostaglandin, faktor pengatif-trombosit (PAF), neuropeptida, jenis oksigen reaktif, kinin, histamin dan adenosin pun berperan, terutama pada bronkokonstriksi akut. Genetik juga berperan pada asma. Asma adalah gangguan genetik kompleks dengan komponen lingkungan dan genetik. Komponen genetik tersebut berupa gen poligenik dan terdapat hubungan asma dengan berbagai lokus kromosom melalui analisis linkage. Gambaran Klinis Asma dapat terjadi pada usia berapapun namun lebih umum dimulai pada masa kanak-kanak. Terdapat riwayat atopi termasuk rinitis alergi, eksema, atau urtikaria dan terdapat allergen spesifik seperti rumput-rumputan atau kucing. Pasien seperti demikian (asma alergika) mengalami peningkatan IgE serum total, peningkatan IgE spesifik dan eosinfilia darah tepi. Jika tidak ada riwayat alergi atau alergen eksternal, dinamakan asma nonalergika. Hipereaktivitas dapat diuji dengan memajankan pasien dengan inhalasi metakolin atau histamin yang semakin ditambah konsentrasinya dan mengukur FEV1 (atau resistensi saluran napas). Konsentrasi yang menghasilan penurunkan FEV1 sebesar 20% dikenal sebagai PC20 (konsentrasi provokatif 20). Serangan dapat terjadi setelah olahraga, hawa dingin, konsumsi aspirin dan faktor psikologis. Selama serangan pasien dapat mengalami sesak napas, ortopnea dan ansietas berat. Terjadi aktivasi otot bantu napas. Paru mengalami hiperinflasi, dan dapat terdengar ronki nyaring di semua lapang paru. Nadi menjadi cepat dan dapat ditemukan pulsus paradoksikus. Sputum sedikit dan kental. Foto toraks tampak hiperinflasi, namun lain-lain normal. Status asmatikus menunjukkan serangan yang terus-menerus selama berjam-jam atau berhari-hari tanpa remisi walaupun dengan bronkodilator. Sering tampak tanda kelelahan, dehidrasi, takikardia. Suara napas dapat tidak terdengar dan napa membahayakan. Obat Bronkoaktif Obat yang dapat menghilangkan atau mencegah bronkokonstriksi berperan penting dalam tata laksana asma. Obat ini juga bermanfaat pada penderita bronkitis kronik dengan obstruksi saluran napas yang reversibel. Agonis β-Adrenergik Reseptor β-Adrenergik terbagi menjadi dua tipe. Tipe yang berperan pada asma adalah β2. Stimulasi pada reseptor β2 merelaksasi otot polos bronkus, pembuluh darah dan uterus. Obat ini termasuk metaproterenol, albuterol terbutalin dan pirbuterol dengan masa kerja sedang. Agen kerja lama seperti formoterol dan salmeterol juga tersedia Semua obat ini berikatan dengan reseptor β2 pada paru dan langsung merelaksasi otot polos saluran napas dengan meningkatkan aktivitas adenil siklase sehingga meningkatkan cAMP intraselular. Obat ini juga berperan dalam edema saluran napas dan inflamasi saluran napas. Efek anti inlflamasi dengan inhibisi langsung fungsi sel inflamasi. Obat ini diberikan secara aerosol, dengan inhaler dosis terukur atau nebulizer. Kortikosteroid Kortikosteroid bekerja dengan menghambat respons inflamasi dan menambah ekspresi atau fungsi reseptor β.. Pasien dengan gejala minimal tidak memerlukan kortikosteroid. Kortikosteroid inhalasi (ICS) dapat menghasilkan absorsi sistemik yang minimal tanpa efek samping serius. Antileukotrien Obat oral ini memberikan perbaikan jangka panjang yang cukup baik pada spirometri, responsivitas saluran napas, dan kualitas hidup.Namun hanya 50% yang memberi respons yang menguntungkan. Obat ini efektif pada asma yang sensitive terhadap aspirin dengan leukotrien. Metylxanthine Mekanisme obat ini belum diketahui pasti. Obat ini memiliki sifat anti inflamasi sedang dan merupakan bronkodilator. Aminofilin kadang diberikan secara intravena pada serangan asmaberat walaupun kegunaannya masih dipertanyakan. Antikolinergik Terdapat bukti keterlibatan peran sistem saraf parasimpatis dalam asma. Antikolinergik hanya memilliki efek bronkodilator sedang dan hanya pada sebagian besar penderita asma. Ipratropium bromide adalah satu-satunya obat yang tersedia dan harus diberikan secara aerosol. Cromolin dan Nedocromil Obat ini diperkirakan bekerja dengan menyekat inflamasi saluran napas. Terapi Baru Antibodi terhadap IgE sedang dikembangkan dan tampaknya cukup menguntungkan. Antagonis sitokin, antibodi sitokin, inhibitor 4 fosfodiesterasi dan inhibitor fosfolipase juga sedang dikembangkan. Fungsi Paru Kapasitas dan Mekanisme Ventilasi Selama serangan asma, semua nilai kecepatan aliran ekspirasi menurun secara signifikan, termasuk VEP1, VEP/KVP%, APE25-75, Vmax50%, dan Vmax75%. KVP juga umumnya menurun karena saluran napas menutup lebih cepat dibanding saat akhir ekspirasi penuh. Respons nilai ini terhadap obat bronkodilator sangat penting pada asma. Respons ini dapat diuji dengan pemberikan albuterol 0,5% secara aerosol selama 2 menit. Semua nilai akan meningkat ketika bronkodilator diberikan pada pasien selama serangan dan dapat digunkaan untuk menilai responsivitas saluran napas. Besar peningkatan bervariasi sesuai keparahan penyakit. Pada satus asmatikus, mungkin hanya terlihat sedikit perubahan karena bronkus telah menjadi tidak reaktif. Gambar 4-16. Gambaran ekspirasi paksa sebelum dan setelah terapi bronkodilator pada pasien dengan asma bronkial. Pada grafik ini terlihat peningkatan kecepatan aliran dan kapasitas vital. Selama serangan asma, VEP1 dan KVP cenderung meningkat oleh fraksi yang sama, presentasi VEP/KVP tetap rendah dan hampir konstan. Namun ketika tonus otot saluran napas mendekati normal, VEP1 berespons lebih daripada KVP dan presentase VEP/KVP mendekati nilai normal sebesar kira-kira 75%. Kurva aliran-volume pada asma akan menunjukkan pola obstruktif yang khas. Setelah terapi bronkodilator, aliran lebih tinggi pada seluruh volume paru dan seluruh kurva dapat bergeser ketika TLC dan RV berkurang. Pada serangan asma dapat terjadi peningkatan nilai FRC dan TLC. Peningkatan VR disebabkan oleh penutupan saluran napas prematur selama ekspirasi penuh akibat peningkatan tonus otot polos, edema dan inflamasi dinding saluran naas serta sekresi yang abnormal. Terdapat pula kehilangan rekoil elastik dan kurva tekanan-volume bergeser ke atas dan ke kiri. Hal ini cenderung normal setelah pemberian bronkodilator. Peningkatan veolume paru akan menurunkan resistensi saluran napas dengan meningkatkan traksi radial. Resistensi saluran napas yang terukur dari pletismograf tubuh meningkat dan menurun setelah pemberian bronkodilator. Pertukaran Gas Hipoksemia arterial sering terjadi pada asma dan disebabkan oleh ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q). Ruang mati fisiologis dan pirau fisiologis juga umumnya abnormal tinggi. Pada gambar 4-17 berikut menunjukkan distribusi bimodal dengan aliran darah total yang cukup besar (sekitar 25%) masuk ke unit dengan VA/Q rendah (sekitar 0,1). Hal ini menyebabkan hipoksemia ringan, PO 2 arteri 81 mmHg. Gambar 4-17. Distribusi rasio ventilasi-perfusi pada pasien dengan asma. Ketika diberikan bronkodilator isoproterenol aerosol terjadi peningkatan VEP25-75% dari 3,4 menjadi 4,2 liter/detik dan ada perbaikan pada bronkospasmenya. Perubahan tersebut tampak pada gambar 4-18. Gambar 4-18. Pasien yang sama setelah pemberian bronkodilator. Dapat terlihat peningkatan aliran darah ke unit dengan rasio ventilasi-perfusi rendah dengan penurunan PO2 arteri. Banyak bronkodilator termasuk isoproterenol, aminophylline dan terbutalin menurunkan PO2 arteri pada penderita asma. Hipoksemia terjadi karena berkurangnya vasokonstriksi pada daerah berventilasi buruk dan disebabkan oleh pelepasan mediator. Penurunan PO2 diikuti peningkatan pirau dan ruang mati fisiologis. PCO2 arteri pada penderita asma umumnya normal atau rendah. PCO2 dihambat peningkatannya dengan meningkatkan ventilasi ke alveolus pada ketidakseimbangan vetilasi-perfusi. Pada status asmatikus, PO2 arteri mungkin mulai meningkat dan pH mulai turun dan merupakan perkembangan membahayakan yang menunjukkan ancaman gagal napas dan memerlukan terapi cepat dan intensif. Kematian akibat asma meningkat pada tahun-tahun terakhir yang disebabkan oleh gagal napas. Penyebab lain mungkin penggunakan obat adrenergik β melalui inhaler yang berlebihan. Kapasitas difusi karbon monoksida khasnya normal atau tinggi pada asma tanpa komplikasi. OBSTRUKSI JALAN NAPAS LOKAL Obstruksi lokal jarang dan umumnya lebih sedikit menyebabkan gangguan fungsional. Obstruksi dapat terjadi di dalam lumen saluran napas, di dalam dinding atau akibat kompresi dari luar dinding. Obstruksi Trakea Obstruksi trakea dapat disebabkan oleh inhalasi benda asing, stensis setelah penggunaan selang trakeostomi jangka panjang atau kompresi massa seperti pembesaran tiroid. Pada obstruksi trakea dapat terjadi stridor inspirasi dan ekspirasi kurva aliran-volume inspirasi dan ekspirasi yang abnormal. Hipoventilasi mungkin dapat terjadi pada hiperkapnia dan hipoksemia Obstruksi Bronkial Obstruksi bronkial sering disebabkan oleh benda asing, contohnya kacang yang terhirup. Paru kanan lebih sering terkena daripada paru kiri karena bronkus utama kiri memiliki sudut dengan trakea yang lebih tajam daripada bronkus utama kanan. Penyebab lain yang sering adalah tumor bronkial, baik ganas atau jinak, dan kompresi bronkus oleh kelenjar getah bening yang membesar (khususnya mengenai bronkus lobus tengah kanan karena hubungan anatominya). Jika terjadi obstruksi total, terjadi ateletaksis absorbsi karena jumlah tekanan parsial dalam darah vena campuran lebih sedikit daripada di dalam gas alveolar. Lobus yang kolaps sering terlihat pada radiograf, dan kompensas indlasi berlebih pada paru di dekatnya sesrta pergeseran fisura jua dapat terlihat. Perfusi pada paru yang tidak berventilasi akan berkurang karena vasokonstriksi hipoksi dan juga peningkatan resistensi vaskular yang disebabkan oleh efek mekanik penurunan volume pada pembuluh darah ekstra-alveolar dan kapiler.Namun, aliran darah residu berperan dalam hipoksemia. Uji yang paling sensitif adalah perbedaan PO2 alveolar-arterial, dengan pernapasan oksigen 100%. Obstruksi lokal dapat pula menyebabkan infeksi dan abses paru. Jika obstruksi terjadi pada bronkus segmental atau yang lebih kecil, ateletaksis mungkin tidak terjadi karena ada ventilasi kolateral. BAB 5 PENYAKIT-PENYAKIT RESTRIKTIF Penyakit restriksi adalah gangguan pengembangan paru yang disebabkan karena retriksi perubahan dalam jaringan paru atau karena penyakit pleura, dinding thorak atau neuromuskuler. Penyakit restriksi ditandai dengan penurunan kapasitas vital dan volume paru sisa yang kecil, tetapi tekanan jalan nafas (berhubungan dengan volume paru) tidak meningkat. Penyakit restriksi ini sangat berbeda dari penyakit obstruksi. Walaupun demikian, gabungan penyakit restriksi dan obstruksi dapat terjadi bersamaan. I. PENYAKIT PADA PARENKIM PARU Penyakit pada parenkim paru ini berhubungan dengan jaringan alveolar. Struktur dinding alveoli Udara alveoli membawa hemoglobin dari sel darah merah dengan Oksigen melewati struktur yang bervariasi yaitu lapisan surfaktan paru, epitel alveoli, interstisial, endotel kapiler, plasma dan eritrosit. Tipe sel Sel yang berbeda memiliki fungsi dan respon yang berbeda terhadap luka. 1. Sel epitel tipe 1 Merupakan struktur sel utama dari dinding alveoli. Protoplasmanya panjang merata hampir diseluruh permukaan alveoli (gambar 5.1). Fungsi utama sel ini adalah dukungan mekanik. Tipe sel ini jarang membelah dan tidak aktif secara metabolik. Bila sel tipe I ini terluka, maka akan digantikan oleh sel tipe 2 yang kemudian berubah menjadi sel tipe 1. 2. Sel epitel tipe 2 Merupakan sel globular, yang mendukung struktur dinding alveoli dan sangat aktif secara metabolik. Gambaran mikro elektron menunjukkan lamellated bodies yang terdiri dari fosfolipid yang dibentuk dalam retikulum endoplasma, melalui aparatus golgi yang menembus ke dalam ruang alveoli untuk membentuk surfaktan. Jika terjadi luka pada dinding alveoli, dengan cepat sel ini akan membentuk barisan pada permukaan sel dan kemudian berubah menjadi bentuk sel tipe 1. 3. Sel epitel tipe 3 Tipe sel ini jarang ada dan fungsinya belum diketahui. 4. Makrofag alveoli Sel pemakan sisa-sisa zat (scavenger cell) ini beredar di dinding alveoli dan memakan benda asing dan bakteri. Sel ini terdiri dari lisozim yang memakan dan mencerna benda asing. 5. Fibroblast Sel ini mensintesis kolagen dan elastin, yang merupakan komponen dari interstisial dinding alveol. Kerusakan dari komponen ini akan menyebabkan penyakit fibrosis interstisial. Gambar 5.1 Gambaran Mikrograf Elektron dari sebagian dinding alveolus. A, ruang alveolus ; EP , nukleus dan sitoplasma sel epitel alveolus tipe I ; C, lumen kapiler ; EN, nukleus sel endotel ; FB, fibroblas ; F, serat kolagen ; 1, area tipis sawar darah – udara ; 2, area tebal sawar darah – udara Interstisial Merupakan rongga antara epitel alveoli dan endotel kapiler. Bentuknya sangat tipis di satu sisi kapiler yang terdiri dari membran dasar yang berfungsi menyatukan epitel dan endotel membran basal. Pada sisi lain dari kapiler, interstisial biasanya lebih luas dan meliputi fibril kolagen tipe I. Bagian sisi tebal terutama merupakan tempat pertukaran utama cairan melewati endotel, dan bagian sisi tipis berperan lebih banyak untuk pertukaran gas. Jaringan interstisial dijumpai di bagian lain paru, khususnya di rongga perivaskuler dan peribronkial yang dikelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang lebih besar dan jalan nafas, serta di septa interlobuler. Interstisial pada dinding alveol berlanjut ke rongga perivaskuler, yang merupakan saluran cairan dari kapiler ke limfatik. FIBROSIS PULMONER INTERSTISIAL DIFUS Sinonim dengan fibrotik paru idiopatik, pneumonia interstitial, dan alvolitik fibrosis kriptogenik. Beberapa dokter menyimpan istilah fibrosis untuk stadium lanjut dari penyakit ini. Patologi Prinsipnya menggambarkan penebalan interstitial pada dinding alveoli. Awalnya terdapat infiltrat dengan limfosit dan sel plasma. Kemudian fibrosis akan timbul dengan ikatan kolagen yang tebal. Penebalan ini mungkin menyebar secara irreguler di dalam paru. Pada beberapa pasien dengan stadium awal penyakit, di dalam alveoli dapat dilihat sel eksudat yang terdiri dari mikrofag dan sel-sel mononuklear, gambaran ini dinamakan deskuamasi. Pada akhirnya, susunan alveoli dihancurkan dan jaringan parut membentuk ruang kistik multiple berisi udara yang respiratorius dan terminalis yang berdilatasi, disebut honeycomb lung. dibentuk oleh bronkiolus Patogenesis Patogenesis belum diketahui dengan jelas, meskipun dalam beberapa kasus disebabkan oleh reaksi imunologi. Gejala Klinis Penyakit ini jarang dijumpai dan cenderung pada orang dewasa dengan usia lanjut. Pasien sering mengeluh sesak napas atau dispneu dengan pernafasan cepat dan dangkal. Sesak nafasnya secara khas akan bertambah berat dengan latihan, dan sering bersamaan dengan batuk tidak produktif. Pada pemeriksaan, sianosis ringan dapat dilihat saat istirahat pada kasus berat, dan secara khas kan bertambah berat dengan latihan. Krepitasi jelas terdengar keras terutama biasanya pada akhir inspirasi. Clubbing finger biasanya juga ditemukan . Foto toraks menunjukkan pola retikuler atau retikulonoduler terutama pada daerah basal. Bayangan tidak sempurna (patchy) di dekat diafragma kemungkinan disebabkan oleh kolaps daerah basal. Gambaran honeycombs sering terlihat pada stadium lanjut dari penyakit ini, disebabkan oleh kista udara multipel dikelilingi oleh penebalan jaringan. Cor pulmonale atau pneumonia meupakan komplikasi dan dapat berkembang menjadi kegagalan respirasi terminal. Menurut Hamman dan Rich penyakit ini sering berkembang tanpa gambaran klinis yang jelas, meskipun bentuk akut dapat terjadi. Fungsi Paru Spirometri secara khas menggambarkan pola restriksi. Penurunan nilai KVP (FVC) terjadi, namun udara diekspirasi cepat meskipun nilai VEP1 (FEV1) rendah, dan nilai KVP/VEP1 (FEV1/FVC%) dapat melebihi nilai normal. Gambaran spirogram ekspirasi paksa hampir berbentuk bujur sangkar yang berbeda kontras dengan gambaran obstruksi. FEF 25-75% adalah normal atau tinggi. Kurva aliran volume tidak menunjukkan bentuk scooped out pada penyakit obstruksi dan nilai aliran sering lebih tinggi dari normal bila dihubungkan dengan volume absolut paru. Kurva “ down slope” pada penyakit restriktif terletak diatas kurva normal. Semua volume paru mengalami penurunan termasuk TLF, FRC, dan RV namun proporsinya lebih atau kurang dipertahankan. Jaringan fibrosis mengurangi pengembangan / distensi paru. Sebagai akibatnya, volume paru bernilai kecil dan tekanan yang sangat besar diperlukan untuk mengembangkan paru. Gambar 5.5 Gambaran jalan napas pada emfisema dan fibrosis interstisial. Pada emfisema, jalan napas cenderung kolas karena hilangnya traksi radial. Sebaliknya, pada fibrosis terjadi traksi radial yang berlebihan yang mengakibatkan jalan napas besar dibandingkan dengan volume paru. Jadi, karakteristik fungsi paru pada penyakit fibrosis interstisial difus adalah: Sesak napas dengan pernapasan cepat dan dangkal Penurunan semua volume paru Rasio KVP/VEP1 (FEV1/FVC%) normal atau meningkat Resistensi jalan napas normal atau rendah bila dihubungkan dengan volume paru Lung compliance berkurang Tekanan intrapleural yang sangat negatif pada TLC Hipoksemia arteri terutama akibat ketidaksamaan VA/Q Gangguan difusi kemungkinan berperan pada hipoksemia selama latihan PCO2 arteri normal / rendah Kapasitas difusi Karbon Monoksida berkurang Resistensi vaskuler paru meningkat PENYAKIT RESTRIKSI PARENKIM LAINNYA 1. Sarkoidosis Karakteristik penyakit ini adalah ditemukannya jaringan granulomatosa secara histologi dan sering terjadi pada beberapa organ. Patologi Karateristik lesinya adalah jaringan granuloma epiteloid non kaseosa yang terdiri dari sel histiosit besar dengan giant cell dan limfosit. Lesi ini dapat terjadi pada kelenjar limfe nodul, paru, kulit, mata, hati , limpa, dan lainnya. Pada penyakit paru stadium lanjut, perubahan fibrosis di dinding alveoli dapat dilihat. Patogenesis Patogenesisnya tidak diketahui, meskipun dasarnya kemungkinan berhubungan dengan sistem imunitas. Salah satu kemungkinannya adalah suatu antigen yang dikenali oleh makrofag alveolar yang akhirnya akan mengaktifkan limfosit T dan memproduksi interleukin 2. Makrofag yang teraktivasi juga melepaskan berbagai produk yang memicu fibroblast, sehingga menjelaskan deposisi jaringan fibrosis di interstitium. Gambaran klinis Terdiri empat stage sarkoidosis: Stage 0 : Gambaran CT Scans memperlihatkan pembesaran kelenjar limfe mediastinum (limfadenopati). Namun tidak terlihat secara jelas gangguan intratorakal. Stage 1 : Terdapat adenopati bilateral di hilus, sering dengan adenopati paratrakeal kanan. Sering disertai dengan eritemanodosum pada kedua kaki. Dapat juga terjadi arthritis, uveitis, dan pembesaran kelenjar parotis. Tidak terdapat gangguan fungsi paru. Stage 2 : Gambaran radiologi memperlihatkan bayangan bercak-bercak (mottled shadows) yang luas, sering di bagian tengah dan atas paru. Gejalanya sesak dan batuk kering yang tidak produktif. Stage 3 : Infiltrat paru tanpa adenopati. Fibrosis lebih banyak pada lobus atas dan mungkin terdapat kaviti dan bula. Fungsi Paru Tidak ada gangguan fungsi paru pada stage 0 dan 1. Pada stage 2 dan 3, perubahan tipikal restriktif dapat dilihat, walaupun gambaran radiografi kadang memberikan kesan gangguan fungsi paru. Pada akhirnya, fibrosis paru yang signifikan akan timbul dengan pola fungsi paru restriktif berat. Semua volume paru bernilai kecil, namun rasio KVP/VEP1 (FEV1/FVC%) dipertahankan. 2. Pneumonia Hipersensitivitas Dikenal juga sebagai alveolitis alergik ekstrinsik, merupakan reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi parenkim paru, sebagai respon terhadap inhalasi debu organik. Contohnya pada paru petani. Penyakit ini merupakan contoh hipersensitivitas tipe 3 (atau kombinasi hipersensitivitas tipe 3 dan 4), dan presipitat dapat dilihat di serum. Patologi Dinding alveolar menebal dan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, dan terkadang oleh eosinofil dengan kumpulan histiosit yang pada beberapa area akan membentuk granuloma kecil. Bronkiolus kecil umumnya terpengaruh dan mungkin terdapat eksudat di lumen. Perubahan fibrotik terjadi pada kasus lanjut. Gejala Klinis Penyakit ini dapat terjadi pada keadaan akut ataupun kronik. Pada keadaan akut, gejala terdiri dari sesak, demam, menggigil, dan batuk muncul 4-6 jam setelah terpajan dan berlanjut selama 24-48 jam. Pasien juga dapat mengeluh sesak saat istirahat, dengan krepitasi jelas terdengar pada kedua paru. Penyakit juga dapat terjadi pada kondisi kronik tanpa periode akut sebelumnya, dengan gejala sesak progresif, umumnya dalam periode bertahun-tahun. Pada bentuk akut, gambaran foto toraks dapat normal, tapi sering terlihat sebagai infiltrat nodul milier. Pada bentuk kronik, umumnya fibrosis terjadi pada lobus atas. Fungsi Paru Pada kasus lanjut, pola restriktif umum terlihat, termasuk penurunan volume paru, compliance rendah, hipoksemia yang memberat saat latihan, PCO2 arteri normal atau rendah, dan penurunan kapasitas difusi. Pada stage awal penyakit, berbagai variasi obstruksi jalan napas dapat terjadi. 3. Penyakit Interstisial Karena Obat, Racun, Dan Radiasi Berbagai jenis obat seperti busulfan (digunakan pada terapi leukemia mieloid kronik), antibiotik nitrofurantoin, agen antiaritmia amiodarone, dan obat sitotoksik bleomisin dapat menyebabkan reaksi paru akut dan menjadi fibrosis interstisial. Oksigen konsentrasi tinggi dapat menyebabkan perubahan toksik akut dengan fibrosis interstisial lanjut. Konsumsi racun pembunuh serangga berakibat pada fibrosis interstisial mematikan yang berkembang cepat. Radiasi terapeutik menyebabkan pneumonitis akut yang dikuti oleh fibrosis paru (jika melibatkan paru). 4. Penyakit Kolagen Fibrosis interstisial dengan pola restriktif dapat terjadi pada pasien sklerosis sistemik (skleroderma generalisata). Sering terjadi sesak napas berat dan berbeda dengan perubahan gambaran radiologi atau fungsi paru. Penyakit jaringan ikat lain yang dapat menyebabkan fibrosis adalah SLE dan rheumatoid arthritis. 5. Limfangitis Karsinomatosa Berhubungan dengan penyebaran jaringan karsinoma melalui limfatik paru dan dapat memicu komplikasi terutama pada abdomen atau payudara. Sesak napas menonjol dan dapat dilihat pola fungsi paru restriktif. II. PENYAKIT-PENYAKIT PLEURA Pneumotoraks Udara dapat masuk ke rongga pleura dari paru atau dinding dada akibat perlukaan pada daerah tersebut. Tekanan normal rongga intrapleura adalah dibawah tekanan atmosfir karena tekanan recoil elastik paru dan dinding dada. Saat udara masuk rongga pleura, paru akan kolaps dan tulang iga akan menyempit. Perubahan ini dapat dilihat pada foto toraks, yang memperlihatkan kolaps sebagaian atau total paru, ekspansi berlebih dari tulang iga dan penurunan diafragma pada sisi yang terganggu, dan terkadang terdapat pemindahan mediastinum menjauhi pneumotoraks. Pneumotoraks spontan Pneumotoraks spontan ini paling umum terjadi dan disebabkan oleh ruptur dari bula berukuran kecil di permukaan paru dekat apeks. Khas terjadi pada laki-laki muda tinggi dan mungkin terkait dengan tingginya tekanan mekanis yang terjadi pada zona atas paru atas. Gejalanya ditandai dengan nyeri mendadak pada salah satu sisi dan diikuti dengan sesak. Pada auskultasi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan diagnosis ditegakan melalui foto toraks. Pneumotoraks secara bertahap dapat terabsorbsi karena jumlah tekanan parsial pembuluh darah vena lebih rendah dari tekanan atmosfir. Serangan yang berulang membutuhkan tindakan operasi untuk memicu perlengketan antara dua permukaan pleura. PNEUMOTORAKS SPONTAN Sering terjadi pada usia muda sekitar 20 an Disertai sesak dan nyeri Dapat terabsorbsi bertahap oleh darah Serangan berulang mungkin memerlukan tindakan bedah Tension pneumothoraks adalah suatu kegawatdaruratan medis Tension pneumotoraks Pada sebagian kecil kasus pneumotoraks spontan, kominikasi antara paru dan rongga pleura berfungsi seperti mengecek katup. Sebagai akibatnya, udara yang masuk selama inspirasi tidak dapat dikeluarkan selama ekspirasi. Sehingga terjadi pneumotoraks luas yang tekanannya melebihi tekanan atmosfir dan mengganggu venous return pada toraks. Kegawatdaruratan medis diketahui melalui peningkatan respiratory distress, takikardi, dan tanda pergeseran dari medistinum seperti deviasi trakea dan perpindahan denyut apeks. Diagnostik selalu dengan foto toraks. Penatalaksanaan terdiri dari mengurangi tekanan dengan pemasangan selang di dinding dada. Selang tersebut terhubung dengan underwater seal, sehingga udara dibiarkan keluar dari paru tapi tidak dapat masuk kembali. Pneumotoraks akibat komplikasi penyakit paru Kejadiannya bervariasi, termasuk ruptur akibat bula pada PPOK atau kista pada penyakit fibrotik lanjut. Kadang terjadi selama pemakaian ventilasi mekanik dengan tekanan saluran nafas yang tinggi. Fungsi Paru Pneumotoraks menurunkan VEP1 dan KVP. Sebagai latihan, tes fungsi paru jarang membantu dalam mengobati pasien ini karena gambaran radiologi sangat membantu. EFUSI PLEURA Keadaan ini menggambarkan terdapatnya cairan (dibandingkan udara) dalam rongga pleura. Ini bukanlah suatu penyakit dalam arti sebenarnya, tapi seringkali dikaitkan dengan penyakit yang serius dan penanganannya harus selalu tepat. Pasien sering mengeluh sesak jika efusinya luas, dan kemungkinan ada nyeri pleuritik dari penyakit dasarnya. Gejala pada dada seringkali memberikan informasi termasuk diantaranya penurunan pergerakan dada pada sisi yang sakit, hilangnya suara nafas, dan pada perkusi didapatkan bunyi redup. Foto toraks digunakan sebagai diagnosis. Efusi pleura terbagi menjadi transudat dan eksudat berdasarkan pada kadar protein yang tinggi atau rendah. Sebagai tambahan, konsentrasi LDH (laktat dehidrogenosa) cenderung lebih tinggi pada transudat. Eksudat secara signifikan terjadi pada kondisi keganasan dan infeksi, sedangkan transudat merupakan komplikasi gagal jantung berat atau suatu keadaan dengan edema lainnya. Seringkali diperlukan tindakan aspirasi dari efusi, tetapi penanganannya harus berdasarkan dari penyebab dasarnya. Variasi dari efusi pleura meliputi empiema (pyothorax), hemotoraks dan cylothorax , berdasarkan ditemukannya pus, darah dan cairan limfe, di rongga pleura. PENEBALAN PLEURA Efusi pleura yang berlangsung lama menimbulkan pleura fibrotik yang kaku dan terkontraksi yang membagi paru dan menghambat pengembangan paru, menyebabkan gangguan fungsi tipe restriktif (terutama pada gangguan paru bilateral). Operasi stripping mungkin diperlukan . III. PENYAKIT–PENYAKIT PADA DINDING DADA SKOLIOSIS Deformitas tulang dada dapat menyebabkan restriksi. Skoliosis berdasarkan lekukan tulang ke lateral dan kifosis lekukan ke belakang. Skoliosis berhubungan dengan penonjolan tulang iga ke arah belakang, memberikan gambaran tambahan kifosis. Keluhan utama pasien adalah sesak pada aktivitas berat, bernafas dalam dan dangkal. Tes fungsi paru menunjukan penurunan seluruh volume paru. Resistensi jalan nafas hampir normal jika dikaitkan dengan volume paru. Akan tetapi terjadi punurunan kualitas ventilasi, sebagian karena terjadi penutupan saluran nafas tergantung pada regio tertentu. Sebagian dari paru terkompresi dan sering atelektasis pada beberapa tempat. Hipoksemia terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi–perfusi. Pada penyakit yang lanjut, terlihat penurunan respon ventilasi terhadap CO2 yang menggambarkan peningkatan usaha pernapasan karena deformitas dinding dada . ANKYLOSING SPONDYLITIS Etiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara pasti. Terdapat penurunan FVC dan TLC, namun persentase FEV / FVC dan resistensi jalan nafas normal. Terjadi kegagalan mekanisme compliance paru, dan sering terjadi keadaan henti ventilasi, kemungkinan menjadi penyebab tambahan dari penurunan volume paru. Gagal nafas tidak terjadi pada kondisi ini. GANGGUAN NEUROMUSKULAR Beberapa penyakit yang menyebabkan gangguan dari otot-otot pernafasan atau gangguan dari suplai pembuluh darah adalah poliomielitis, Guillane–Barre’s syndrome, amyotrophic lateral sclerosis, myastenia gravis dan distrofi otot. Semua penyakit tersebut menimbulkan sesak nafas dan gagal nafas. Terjadi penurunan FVC, TLC, kapasitas inspirasi, dan FEV 1 yang disebabkan karena ketidak mampuan pasien untuk menarik nafas dalam. Perlu diperhatikan bahwa otot pernafasan yang utama adalah diafragma, pada pasien dengan penyakit yang progresif sering tidak mengeluh sesak sampai terjadi keterlibatan otot diafragma. Progresivitas dari penyakit ini dapat di pantau berdasarkan pengukuran FVC dan analisa gas darah. Ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada kondisi ini. KESIMPULAN 1. Diffuse Interstitial Pulmonary Fibrosis adalah salah satu contoh penyakit restriksi paru yang ditandai dengan sesak nafas, penurunan toleransi excercise, paru menjadi kecil dan penurunan compliance paru . 2. Dinding alveoli terlihat infiltrasi dari kolagen dan destruksi kapiler . 3. Resistensi jalan nafas tidak meningkat; pada Ekspirasi paksa dapat menghasilkan aliran udara yang abnormal karena terjadi peningkatan traksi radial jalan nafas. 4. Difusi dan perpindahan oksigen melewati sawar gas-darah tergantung pada penebalan dan menimbulkan hipoksemia terutama saat aktfitas. Akan tetapi tidak adekuatnya ventilasi– perfusi adalah faktor utama yamng menyebabkan gangguan pertukaran gas. 5. Penyakit restriksi lainnya disebabkan oleh penyakit pada pleura atau dinding dada, atau gangguan neuromuskular. BAB 6 PENYAKIT VASKULER EDEMA PARU Edema paru adalah akumulasi abnormal cairan di ruang ekstravaskular dan jaringan paru (komplikasi penyakit jantung dan paru yang mengancam nyawa). PATOFISIOLOGI Cairan keluar dari kapiler ke ruang interstisial dinding alveolar dan berjalan ke interstisium perivaskular dan peribronkial, sebagian cairan dibawa dalam imfatik atau melewati jaringan interstisial longgar, limfatik memompa limfe secara aktif menuju nodus bronkial dan hilar. Aliran cairan yang bocor dari kapiler dibatasi oleh : 1. Penurunan tekanan osmotik koloid cairan interstisial ketika protein diencerkan akibat filtrasi air yang lebih cepat dibandingkan protein (tidak terjadi saat permeabilitas kapiler sangat meningkat) 2. Peningkatan tekanan hidrostatik di dalam ruang interstisial yang mengurangi total tekanan filtrasi. Dua tahapan yang terjadi pada edema paru : 1. Edema interstisial, ditandai dengan pembesaran jaringan interstisial perivaskular dan peribronkial (cuffing). Terjadi pelebaran limfatik dan penurunan aliran limfe, terjadi pelebaran interstisium dinding alveolar. Fungsi paru dapat sedikit terganggu, keadaan ini suit dikenali, mungkin didapatkan perubahan radiologis. 2. Edema alveolar, cairan mengisi alveoli satu per satu sehingga menciut ukurannya akibat gaya tegangan permukaan. Ventilasi dicegah, hingga alveoli tetap ada di perfusi, terjadi pirai darah dan hipoksemia. Cairan edema dapat masuk saluran napas kecil dan besar, bila dibatukkan tampak sputum merah muda dan berbusa banyak (ada sel darah merah). Adanya protein dan sel darah merah dalam cairan alveolar akibat rusaknya epitel alveolar dan permeabilitas yang meningkat. PATOGENESIS 1. Edema interstisial : a. Peningkatan aliran limfe dari paru b. Cuffing perivaskular dan peribronkial c. Garis septal pada foto toraks d. Sedikit efek pada fungsi paru 2. Edema alveolar : a. Seringkali dispnea berat dan ortopnea b. Pasien mungkin batuk cairan merah muda berbusa c. Opafikasi yang jelas pada radiograf d. Seringkali hipoksemia berat Penyebab edema paru : Mekanisme Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler Peningkatan permeabilitas kapiler Kejadian Pemicu Infark miokard, stenois mitral, beban berlebih cairan, penyakit venooklusif pulmonal Racun yang terinhalasi atau bersirkulasi, sepsis, Pengurangan drainase limfe Penurunan tekanan interstisial Penurunan tekanan osmotik koloid Etiologi yag belum pasti keracunan oksigen, radiasi, ARDS Peningkatan tekanan vena sentral, limfangitis karsinomatosa Pengeluaran efusi pleura, pneumotoraks yang cepat, hiperinflasi Hipoalbuminemia transfusi berlebihan Dataran tinggi, neurogenik, inflasi berlebihan, heroin GAMBARAN KLINIS Gejala : dispnea, napas cepat dan dangkal, dispnea saat berolah raga, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal. Batuk kering dan sering pada stadium awal, batuk dengan sputum merah muda berbusa pada edema fulminan. Sianosis dapat terjadi. Pada auskultasi : krepitasi halus saat inspirasi di basal paru pada awal edema, ronkhi nyaring pada kasus berat, suara jantung abnormal dan murmur pada edema kardiogenik. Foto toraks dapat menunjukkan jantung yang membesar dan pembuluh paru yang jelas, terdapat garis septal pada edema interstisial, bayangan bercak menyebar dari daerah hilus seperti sayap kelelawar atau kupu-kupu pada edema yang lebih berat (akibat cuffing perivaskular dan peribronkial di sekitar pembuluh darah besar daerah hilar). FUNGSI PARU Uji fungsi paru jarang dilakukan kaena pasien merasa sangat sakit dan hasilnya tidak diperlukan dalam terapi. Mekanik Edema paru mengurangi distensibilitas paru dan menggeser kurva tekanan volume ke bawah dan ke kanan, akibat dibanjirinya alveoli yang menyebabkan penurunan volume unit paru yang terkena akibat gaya tegangan permukaan dan mengurangi andil dalam kurva. Edema interstisial mempengaruhi sifat elastis paru sehingga memperkaku paru. Resistensi jalan napas meningkat akibat adanya cairan edema pada jalan napas besar. Resistensi jalan napas kecil meningkat pada edea interstisial akibat cuff peribronkial. Pertukaran Gas Terjadi penurunan kapasitas difusi akibat penebalan sawar darah gas. Cuff edema interstisial pada jalan napas kecil menyebabkan ventiasi intermiten pada daerah paru yag dependen yang menyebabkan hipoksemia. Edema alveolar menyebabkan hipoksemia akibat aliran darah mengalir ke unit yang tidak berventilasi. PCO2 alveolar sering normal atau rendah karena peningkatan ventiasi ke alveoli non edematosa akibat hipoksemia arterial dan stimulasi reseptor paru. Pada edema paru fulminan terjadi retensi karbondioksida dn asidosis respiratorik. Pengendalian Ventilasi Pasien bernapas cepat dan dangkal akibat stimulasi reseptor J di dinding alveolar dan aferen vagal lain. Napas cepat mengurangi kerja elastik pernapasan yang abnormal tinggi. Hipokemia arterial merupakan stimulus tambahan pada pernapasan. Sirkulasi Paru Terjadi peningkatan resistensi vaskular paru dan vasokonstriksi hipoksik pada daerah berventilasi buruk. Cuff perivaskular meningkatkan resistensi pembuluh darah ekstra alveolar. Kolaps parsial alveoli yang edema dan edema dinding alveolar menekan atau menggeser kapiler. EMBOLI PARU PATOGENESIS Emboli paru berasal dari terlepasnya bagian trombus vena profunda ekstremitas bawah, sisi kanan jantung dan daerah pelvis. Emboli non trombotik (lemak, udara dan cairan amnion) relatif jarang terjadi. Faktor yang berperan dalam terbentuknya trombus vena : 1. Stasis darah disebabkan oleh imobilisasi setelah fraktur atau operasi, tekanan lokal atau obstruksi vena, gagal jantung kongestif, syok hipovolemia, dehidrasi, varises, hipertrofi atrium kanan yang mengalami fibrilasi. 2. Perubahan sistem koagulasi darah, meningkat pada keadaan polisitemia vera dan penyakit sel sabit (viskositas darah meningkat sehingga menyebabkan aliran yang lambat di samping pembuluh darah), penyakit keganasan, kehamilan, trauma baru, dan pemakaian kontrasepsi oral. 3. Kelainan dinding pembuluh darah disebabkan oleh trauma lokal atau inflamasi. GAMBARAN KLINIS Gambaran klinis tergantung ukuran embolus dan kondisi kardiopulmonal pasien sebelumnya. 1. Emboli berukuran sedang : nyeri pleuritik disertai dispnea, demam ringan, batuk produktif dangan blood-streaked sputum, takikardia, gesekan friksi pleura pada auskultasi, efusi pleura minimal. Foto toraks biasanya normal (infark: bayangan perifer berbentuk baji). Pada scan radioaktif menunjukkan daerah dengan penurunan perfusi. 2. Emboli masif : kolpas hemodinamik dengan syok, pucat, nyeri dada tengah, hipotensi dengan nadi yang cepat dan lemah serta pembesaran vena leher, 30% terbukti fatal. 3. Emboli kecil : sering tidak dikenali, emboli ulangan dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. FUNGSI PARU Sirkulasi Paru Jika emboli besar dan tekanan arteri pulmonal sangat meningkat, terjadi gagal ventrikel kanan (tekanan akhir diastolik meningkat, aritmia, inkompeten katp trikuspid), dapat terjadi edema paru. Dalam beberapa hari, embolus berkurang, peningkatan tekanan arteri pulmonal secara bertahap menghilang. Hal ini terjadi karena fibrinolisis dan pengaturan bekuan darah menjadi parut fibrosa kecil yang menempel pada dinding pembuluh darah. Mekanik Emboli menyebabkan gangguan perfusi paru, penurunan aliran udara ke paru, penurunan ventilasi sia-sia dan ruang mati fisiologis. Sifat elastik daerah tersebut dapat berubah, terjadi bercak edema hemoragik, dan atelektasis pada paru yang terkena beberapa jam setelah kejadian. Hal ini disebabkan hilangnya surfaktan paru. Pertukaran Gas Hipoksemia sedang tanpa retensi karbondioksida akibat gangguan difusi di daerah dengan aliran tinggi yang menyebabkan kurangnya waktu transit. Pengukuran dengan teknik eliminasi gas inert multipel menunjukkan ketidakseimbangan ventiasi perfusi. Terjadi pirau fisiologis dan ruang mati yang bertambah akibat adanya aliran darah yang melewati daerah atelektasis hemoragik. HIPERTENSI PULMONAL Tekanan arteri pulmonal noral sekitar 15 mmHg, bila meningkat disebut hipertensi pulmonal. Mekanisme utama : 1. Peningkatan tekanan atrium kiri (pada stenosis mitral atau gagal ventrikel kiri), disebut hipertensi pulmonal pasif. Peningkatan tekanan atrium kiri yang terus-menerus menyebabkan perubahan struktur dinding arteri pulmonal kecil (hipertrofi tunika media dan tunika intima), secara klinis menyebabkan dispnea, hemoptisis dan edema paru. 2. Peningkatan aliran darah pulmonal (pada penyakit jantung kongenital : defek septal ventrikel/atrium atau duktus arteriosus paten). Aliran tinggi yang terus-menerus menyebabkan perubahan struktural arteri kecil sehingga tekanan arteri pulmonal dapat mencapai tingkat sistemik, terjadi suatu pirau kanan ke kiri dan hipoksemia arteri. 3. Peningkatan resistensi vaskular pulmonal (penyebab tersering), ada tiga kategori : a. Vasokonstriktif karena hipoksia alveolar pada dataran tinggi (merupakan suatu komponen dalam hipertensi pada bronkitis kronik dan emfisema). Serotonin menyebabkan vasokonstriksi sepintas. Katekolamin merupakan faktor pada edema paru neurogenik. b. Obstruktif (seperti pada tromboembolisme). Pembuluh darah tersumbat oleh lemak, udara, cairan amnion, atau sel kanker yang bersirkulasi. Pada skistosomiasis, parasit yag tersangkut di arteri kecil dapat menyebabkan reaksi yang jelas. c. Obliteratif (seperti pada emfisema) dengan bantalan kapiler yang rusak sebagian, dapat terjadi poliartritis nodosa atau penyakit vena oklusif pulmonal (bila vena kecil terlibat). HIPERTENSI PULMONAR PRIMER Penyebabnya dapat berupa komponen genetik, emboli kecil berulang yang tidak diketahui. Penderita terbanyak wanta usia 20-40 tahun. Pemeriksaan histologik paru menunjukkan peningkatan otot poos di dalam arteri pulmonal kecil. Gejala utama dispnea saat berolahraga, sinkop dapat terjadi. Pada EKG dan foto toraks didapatkan tanda hipertrofi ventrikel kanan, uji ventilasi biasanya normal. Bila penyebabnya adalah tromboembolisme berulang, pembedahan dapat bermanfaat. COR PULMONALE Adalah penyakit jantung kanan akibat penyakit primer pada paru. Faktor penyebab : obliterasi anyaman kapiler oleh kerusakan dinding alveolar atau fibrosis interstisial, obstruksi oleh tromboemboli, vasokontriksi hipoksik, hipertrofi otot polos dinding arteri kecil dan peningkata viskositas darah karena polisitemia. Gambaran EKG menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan. MALFORMASI ARTERIOVENOSUS PULMONAL Ini ditandai dengan hubungan abnormal antara arteri dan vena pulmonal. Pasien memiliki riwayat keluarga dengan telangiektasia. Separuh pasien memiliki telangiektasis pada kulit atau membran mukosa. Lesi kecil tidak menyebabkan gangguan fungsional dan ditemukan pada foto toraks rutin. Tandanya PO2 arterial turun jauh, kadang ada bruit di atas fistula dengan auskultasi, dan jari tabuh. BAB 7 PENYAKIT INFEKSI, LINGKUNGAN DAN NEOPLASTIK PENYAKIT KARENA PARTIKEL TERHIRUP Banyak penyakit akibat industri dan penyakit akibat kerja disebabkan karena debu terhirup. Polutan atmosfir merupakan faktor penting sebagai etiologi beberapa penyakit seperti bronkitis kronik, emfisema, asma dan karsinoma bronkial. Jadi mari kita lihat lingkungan tempat kita hidup. POLUTAN ATMOSFER Karbon monoksida Di Amerika Serikat, karbon monoksida merupakan polutan yang molekulnya paling berat (Gambar 7-1, kiri). Karbon monoksida dihasilkan oleh pembakaran karbon dalam bahan bakar, yang tidak sempurna, terutama pada mesin mobil (gambar 7-1, kanan). Bahaya utama karbon monoksida adalah kecenderungannya mengikat hemoglobin, karena karbon monoksida mempunyai afinitas 200 kali lebih besar daripada oksigen. Karbon monoksida juga dapat meningkatkan afinitas oksigen terhadap sisa hemoglobin sehingga oksigen tidak cepat dilepaskan ke jaringan. Seorang komuter yang berada di jalan tol dalam kota yang padat, mempunyai 5-10% hemoglobinn yang terikat karbon monoksida terutama jika ia perokok. Hal ini dapat mengakibatkan cacat mental. Emisi karbon monoksida dan polutan lain hasil pembakaran mesin mobil dapat dikurangi dengan pemasangan pengubah katalitik (catalytic converter) yang memroses gas buangan. Nitrogen oksida Nitrogen oksida dihasilkan jika bahan bakar fosil seperti batubara atau bensin terbakar pada suhu tinggi di pembangkit listrik atau mesin mobil. Gas ini menyebabkan inflamasi pada mata dan saluran pernapasan atas selama kondisi berasap. Pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan trakeitis akut, bronkitis akut dan edema pulmoner. Asap yang pekat dan kekuningan adalah karena ada N2O ini. Sulfur oksida Gas beracun yang korosif ini, diproduksi jika bahan bakar yang mengandung sulfur terbakar terutama pada pusat pembangkit energi. Gas ini menyebabkan inflamasi membran mukus mata, saluran pernapasan atas dan mukosa bronkus. Jika terpapar dalam jangka waktu pendek dengan konsentrasi tinggi dapat menyebabkan edema paru. Jika terpapar dalam jangka waktu panjang dengan konsentrasi rendah menyebabkan bronkitis kronik pada hewan percobaan. Cara terbaik untuk mengurangi emisi sulfur oksida yaitu menggunakan bahan bakar rendah sulfur, tetapi harganya mahal. Gambar 7-1. Polutan Udara (berdasarkan berat) di Amerka Serikat. Sumber terbanyak dari transportasi khususnya mobil. Pembangkit listrik menyumbang 28% Hidrokarbon Hidrokarbon seperti karbon monoksida juga merupakan hasil buangan bahan bakar. Pada konsentrasi normal di atmosfir, zat ini tidak toksik. Zat ini dapat berbahaya karena membentuk zat oksidan fotokimiawi dibawah pengaruh cahaya matahari (dijelaskan nanti). Bahan Partikulat Jenis bahan partikulat adalah partikel yang ukurannya bervariasi, seperti asap sampai jelaga. Sumber utamanya adalah pembangkit listrik dan pabrik. Gas emisi ini dapat dikurangi dengan proses buangan arus udara dengan penyaringan atau penyikatan meskipun biayanya mahal. Oksidan Fotokimiawi Contoh oksidan fotokimiawi adalah ozon dan substansi lain seperti peroxyacyl nitrat, aldehyd dan acrolein. Bahan ini bukan material emisi utama tapi diproduksi akibat efek matahari pada hidrokarbon dan nitrogen oksida. Bahan ini dapat menyebabkan inflamasi mata, traktus pernapasan, kerusakan tumbuhan dan bau menyengat. Dalam konsentrasi tinggi ozone menyebabkan edema pulmoner. Oksidan ini menyebabkan kabut yang tebal. Konsentrasi polutan atmosfir dapat sangat meningkat pada perubahan suhu. Hal ini membuat keluar normal permukaan udara hangat dengan kandungan polutannya ke atas atmosfer. Efek buruk perubahan suhu lebih terasa di daerah rendah yang dikelilingi perbukitan. Asap rokok Bahan ini sangat penting di lapangan karena terhirup oleh perokok dengan konsentrasi lebih besar daripada polutan di atmosfer. Terdapat sekitar 4% karbon monoksida yang cukup untuk meningkatkan kadar karboksihemoglobin dalam darah perokok sampai 10%. Persentase ini cukup menyebabkan kegagalan beraktivitas dan mental. Asapnya juga mengandung alkaloid nikotin, yang dapat menstimulasi sistem saraf otonom, menyebabkan hipertensi, takikardi dan berkeringat. Hidrokarbon aromatik dan tar dapat menyebabkan karsinoma bronkus pada perokok. Laki-laki yang merokok 35 batang per hari memiliki risiko 40 kali lipat terkena kanker daripada bukan perokok. Peningkatan risiko bronkitis kronik, emfisema dan penyakit jantung koroner dapat juga terjadi. Sebatang rokok menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas pada banyak perokok dan bukan perokok (lihat gambar 3-2). Deposit Aerosol di Paru Istilah aerosol berarti kumpulan partikel yang berada di udara dalam waktu tertentu. Banyak polutan ada dalam bentuk ini dan pola depositnya di paru tergantung ukuran. Ada tiga mekanisme deposit yaitu impaksi, sedimentasi, dan difusi. Impaksi Impaksi yaitu kecenderungan sejumlah partikel berukuran besar untuk menabrak sudut-sudut pada saluran pernapasan. Hasilnya banyak partikel terjebak di permukaan mukosa hidung, faring dan juga bifurkasio jalan napas besar. Sekali partikel menempel pada permukaan basah, akan terperangkap dan tidak dapat dilepaskan lagi. Hidung sangat efisien memindahkan partikel dengan menggunakan mekanisme ini. Hampir semua partikel diameter lebih dari 20 um dan sekitar 95% partikel ukuran 5 um tersaring di hidung selama bernapas. Gambar 7-3 menunjukkan kebanyakan partikel diameter lebih dari 3 µm terkumpul di nasofaring selama napas lewat hidung Sedimentasi Sedimentasi merupakan pengendapan partikel secara bertahap karena bobotnya. Hal ini terutama penting pada partikel ukuran sedang (1-5 um) karena partikel besar dipindahkan oleh impaksi dan partikel kecil terlalu lambat mengendapnya. Deposisi secara sedimentasi terjadi secara luas di jalan napas kecil seperti bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratori.Alasan utamanya adalah karena dimensi jalan napas tersebut berukuran kecil sehingga jarak partikel agar jatuh, menjadi pendek. Partikel, tidak seperti gas, tak dapat berdifusi dari bronkiolus respiratori ke dalam alveoli karena laju difusinya kecil, hingga dapat diabaikan. Gambar 7-4 menunjukkan akumulasi debu sekitar bronkiolu terminalis dan respiratorius pada seorang petambang batu bara dengan pneumokoniosis dini. Meskipun retensi debu tergantung dari deposit dan pembersihannya, dan kemungkinan debu seperti ini diangkut dari alveoli perifer, tampilannya adalah pengingat grafis mengenai kerentanan di area paru ini. Perubahan awal pada bronkitis kronik dan emfisema sekunder dari deposisi polutan atmosfir di dalam jalan napas kecil (termasuk partikel asap rokok). Difusi Difusi adalah pergerakan partikel yang acak karena bombardir terus menerus oleh molekul gas. (gambar 7-2C). Hal ini terjadi secara signifikan hanya pada partikel terkecil (dengan diameter < 0,1 um. Deposisi dengan difusi utamanya mengambil tempat di jalan napas kecil dan alveoli, yang jarak ke dindingnya terpendek. Deposisi oleh mekanisme ini juga terjadi di jalan napas besar. Banyak partikel terhirup tidak didepositkan semuanya tapi diekspirasikan saat pernapasan berikutnya. Kenyataannya hanya 30% partikel 0,5 um yang tertinggal di paru selama napas biasa normal. Partikel-partikel seperti ini sangat kecil untuk mengalami impaksi atau sedimentasi. Terlalu besar untuk berdifusi secara signifikan. Sebagai hasilnya partikel tidak bergerak dari bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratorius ke alveoli secara difusi, yang merupakan cara pergerakan gas yang normal pada daerah ini. Partikel kecil dapat bertambah besar selama pernapasan karena agregasi atau absorbsi air. Pola ventilasi mempengaruhi jumlah deposisi aerosol. Pernapasan yang dalam dan pelan dapat meningkatkan penetrasi ke dalam paru sehingga meningkatkan deposit sejumlah debu akibat proses sedimentasi dan difusi. Latihan dapat meningkatkan kecepatan arus udara meningkatkan deposisi karena impaksi. Secara umum, deposisi debu sebanding dengan ventilasi selama latihan, hal ini yang menjadi faktor penting selama bekerja berhadapan dengan batubara. Pembersihan Deposit Partikel Paru mempunyai kemampuan untuk memindahkan partikel yang terdeposit didalamnya. Dua perbedaan mekanisme bersihan yaitu sistem mukosilier dan makrofag alveolar. Sistem Mukosilier Mukus diproduksi oleh 2 sumber yaitu : 1. Kelenjar seromukus bronkus di dalam dinding bronkus bagian dalam. Kedua tipe sel yang memroduksi mukus dan produksi serous ada disana dan duktus mengalirkan mukus ke permukaan jalan napas. 2. Sel goblet yang merupakan bagian dari epitel bronkus. Tebal lapisan mukus normal 5-10 um dan mempunyai 2 lapisan. Lapisan jel yang superfisial secara relatif liat dan kental. Sehingga cukup efisien untuk menangkap partikel yang terdeposisi. Lapisan sol yang lebih dalam, kurang kental dan memungkinkan silia di dalamnya bergerak bebas. Mungkin saja retensi sekret yang abnormal, yang terjadi pada beberapa penyakit adalah akibat perubahan komposisi mukus, sehingga tidak bisa didorong keluar silia. Mukus mengandung imunoglobin IgA yang dihasilkan dari sel plasma dan jaringan limfoid. Faktor humoral ini adalah faktor pertahanan penting melawan protein asing, bakteri dan virus. Silia panjangnya 5-7 um, dan bergerak serentak dan harmonis antara 1000-1500 kali per menit. Saat menyentak ke depan, ujung silia berkontak dengan lapisan jel, dan mendorong fase lapisan jel. Tetapi selama fase rekoveri, silia membengkok sedemikian rupa sehingga bergerak seluruhnya dalam lapisan sol yang resistensinya kurang. Lapisan tebal mukus bergerak sekitar 1 mm/menit di jalan napas kecil tapi secepat 2 cm/menit dalam trakea dan terkadang partikel mencapai faring, dimana partikelnya akan tertelan. Bersihan komplit mukosa bronkus normal kurang 24 jam. Di lingkungan yang sangat berdebu, sekresi mukus dapat meningkat begitu banyak, dibantu oleh batuk dan ekspektorasi dalam pembersihannya. Kerja sistem mukosilier normal dipengaruhi oleh polusi atau penyakit. Silia dapat dilumpuhkan oleh inhalasi gas beracun seperti sulfur oksida, nitrogen dan asap rokok. Pada inflamasi akut saluran napas, epitel bronkial dapat menjadi gundul. Perubahan karakter mukus dapat terjadi saat infeksi, sehingga membuat silia lebih sulit untuk membersihkan jalan napas. Sumbatan mukus dalam bronkus terjadi pada asma tapi mekanismenya belum diketahui. Akhirnya infeksi kronik seperti bronkiektasis atau bronkitis kronik, volume sekresi dapat menjadi sangat banyak sehingga sistem transport silia kewalahan. Makrofag Alveolar Sistem mukosilier berhenti pada alveoli dan partikel terdeposit di sana dimakan oleh makrofag. Sel amuba menjelajah sekitar permukaan alveoli. Ketika memfagosit partikel asing, mereka bermigrasi ke jalan napas kecil atau meninggalkan paru melalui limfe atau pembuluh darah. Ketika debunya banyak atau toxik beberapa makrofag bermigrasi sepanjang dinding bronkiolus respiratori dan membuang debunya disana. Makrofag tidak hanya mentransport bakteri keluar dari paru tapi juga membunuhnya in situ oleh lisozim. Akibatnya alveoli secara cepat menjadi steril meskipun perlu waktu untuk membunuh mikroorganisme mati bersih dari paru. Mekanisme imunologi juga penting pada aksi antibakteri makrofag. Aktivitas makrofag normal dapat digagalkan oleh beberapa faktor seperti asap rokok,gas oksidan seperti ozon, hipoxia alveolus, radiasi, pemberian kortikosteroid dan alkohol yang tertelan. Makrofag yang menangkap partikel silika yang dapat dihancurkan oleh bahan toxik ini. Pneumokoniosis Pekerja Tambang Istilah pneumokoniasis merujuk pada penyakit parenkim paru disebabkan oleh inhalasi debu inorganik. Satu bentuk tampak pada pekerja tambang dan berhubungan langsung dengan sejumlah debu batubara dimana pekerja tambang terpajan. Patologi Bentuk awal dan akhir penyakit harus dapat dibedakan. Pada pneumokoniasis sederhana, agregasi partikel batu bara sekitar bronkiolus respiratorius dan terminal yang berdilatasi pada jalan napas kecil. Bentuk lanjut dikenal dengan nama fibrosis massif progresif, kondensasi masa jaringan fibrosa hitam infiltrasi dengan debu. Hanya fraksi kecil tambang yang terpajan dengan konsentrasi berat debu berkembang menjadi fibrosis masif progresif. Gejala Klinis Pneumokoniasis sederhana dapat juga membuat sedikit kecacatan meskipun normal pada radiografik. Sesak nafas dan batuk selalu ada pada penyakit yang berhubungan dengan riwayat merokok pekerja tambang dan kemungkinan penyebab utama bronkitis kronik dan emfisema. Sebaliknya fibrosis masif progresif menyebabkan peningkatan dispnu dan gagal nafas lanjut. Foto roentgen dada pneumokoniasis sederhana menunjukkan mikronodular dan berbagai stadium lanjut penyakit dilihat dari densitas bayangan. Fibrosis progresif masif berciri opasitas bentuk besar dengan densitas opasitas ireguler yang mengelilingi bayangan radiolusen abnormal. Fungsi Paru Pneumokoniasis sederhana dapat menyebabkan sedikit kegagalan fungsi paru. Terkadang terjadi sedikit pengurangan VEP1, peningkatan volume residual dan pengurangan PO2 arteri. Sulit untuk mengetahui apakah perubahan ini dikarenakan bronkitis kronik atau emfisema. Fibrosis progresif masif menyebabkan obstruksi campuran dengan retriksi. Gangguan jalan napas menghasilkan obstruksi ireversibel, dimana massa besar jaringan fibrosis mengurangi penggunaan volume paru. Peningkatan hipoksemia, cor pulmonale dan gagal napas lanjut dapat terjadi. Silikosis Pneumokoniasis yang disebabkan karena inhalasi silica/SiO2 selama penggalian dan pertambangan. Debu batu bara secara inert, partikel silika toksik dan mencetuskan reaksi fibrosis di paru. Nodul silicosis mempunyai komposisi serat densitas kolagen yang ditemukan sekitar bronkiolus respiratori, bagian dalam alveoli dan sepanjang limfatik. Silika partikel terlihat dalam nodul. Gejala Klinis Bentuk ringannya tidak memiliki gejala meskipun radiografis dada menunjukkan tanda nodular halus. Bentuk lanjut menghasilkan batuk dan dispnu yang berat terutama saat latihan. Radiografi jaringan fibrosis dan dapat berkembang menjadi fibrosa progresif massif. Progresifitas penyakit dapat berlanjut setelah terpajan berhenti. Dan mempunyai risiko untuk terkena tuberculosis lebih besar. Fungsi Paru Perubahannya hampir sama dengan pneumoconiasis pekerja tambang tapi lebih berat. Bentuk lanjut, fibrosis interstitial dapat terjadi dengan tipe defek restriktif, dispnu berat dan hipoxemia saat uji latih dan pengurangan kapasitas difusi. Asbestosis Asbestos adalah secara alamiah terdapat pada berbagai penggunaan industrial seperti insulasi panas, pipa tertinggal, bahan atap dan brake linings. Serat asbestos panjang dan tipis dan kemungkinan ciri aerodinamiknya memiliki kemampuan penetrasi ke paru. Jika berada dalam paru dapat terbungkus dalam bahan protein. Jika mereka dibatukkan dalam sputum dalam bentuk asbestos bodies. Tiga tanda bahaya yang harus dikenali : 1. Difus fibrosis interstitial/ asbestosis secara bertahap terjadi setelah pajanan berat. Dispnu yang progresif terutama saat latihan,kelemahan umum dan clubbing jari. Auskultasi ada krepitasi basal halus. Gambaran radiologi dada menunjukkan kesuraman atau bintik-bintik. Tes fungsi paru pada bentuk lanjut menampakkan pola restriksi yang khas dengan pengurangan kapasitas vital dan komplians paru. Pengurangan kapasitas difusi relatif terjadi pada awal-awal penyakit. 2. Karcinoma bronkial komplikasi yang umum terjadi. Kebiasaan merokok merupakan faktor perburukan. 3. Penyakit pleural terjadi setelah pajanan sepele seperti orang yang mencuci baju pekerja asbestos. Penebalan pleura dan plak sering terjadi dan cukup berbahaya. Mesotelioma maligna dapat berkembang setelah 40 tahun setelah pajanan ringan. Menyebabkan retriksi progresif pergerakan dada, nyeri dada berat dan cepat menurun. Pneumokoniasis lain Variasi debu lain menyebabkan pneumokoniasis. Termasuk besi dan oksidanya menyebabkan siderosis, striking dan penampakkan bintik-bintik. Pajanan berilium membuat lesi granulamatus baik tipe akut atau kronik. Fibrosis interstisial dicirikan dengan pole disfungsi restriktif. Penyakit ini sekarang tidak umum lagi saat ini dibandingkan dengan kejadian berilium di industri. Bisinosis Beberapa debu organik yang terhirup membuat reaksi jalan napas daripada reaksi alveolar. Contoh terbaik adalah bisinosis yang mengikuti pajanan debu kapas terutama di cardroom dimana diawali fiber mengawali proses. Patogenesis tidak begitu dimengerti, tetapi tampaknya inhalasi komponen aktif menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast di paru. Bronkokonstriksi menyebabkan dispnu dan wheezing. Ciri penyakit adalah makin memburuknya gejala saat masuk ke area pemintalan, setelah sebelumnya libur. Dikenal dengan istilah Monday fever. Gejalanya dispnu,perasaan tertekan didada, wheezing dan batuk iritasi. Pekerja yang sudah ada bronkitis kronis atau asma dapat rentan. Tes fungsi paru menujukkan obstriksi dengan pengurangan VEP1, VEP/KVP% 25-75 dan KVP. Tahanan jalan napas meningkat dan ketidakseimbangan ventilasi meningkat setelah pajanan. Meningkat makin memburuk seiring berjalannya hari dengan penyembuhan sebagian atau seluruhnya setiap malam atau akhir pekan. Tidak ada bukti parenkim paru terlibat dan foto dada normal. Bukti penelitian membuktikan pajanan harian lebih dari 20 tahun dapat menyebabkan kecacatan permanen fungsi paru COPD. Asma Okupasional Variasi okupasional melibatkan pajanan debu organik alergenik dan hipersensitivitas. termasuk pekerja pabrik tepung yang sensitif pada tepung sari, printer terpajan gum akasia dan pekerja atau bulu. Toluene diisocyanate/TDI dapat membuat sensitifitas yang tinggi bahan ini. NEOPLASMA Karsinoma Bronkus Insidens penyakit ini menyebabkan kematian 30% kematian pada laki-laki dan 25 % pada perempuan. Kebanyakan penyakit ini dapat dicegah. Faktor utama penyebab adalah merokok. Bukti epidemiologi menunjukkan individu yang merokok 20 batang perhari mempunyai 20 kali kematian dibandingkan dengan tidak perokok pada usia yang sama dan jenis kelamin. Risiko menurun dramastis jika individu berhenti merokok. Agen spesifik dalam rokok masih belum pasti tapi hampir semua bahan kardiogenik potensial ada termasuk aromati hidrokarbon, fenol dan radioisotop. Asap rokok berukuran submikron dan penetrasi jauh kedalam paru. Asal karsinoma bronkogenik dari bronkus besar yang terdeposit Bronkus besar yang terekspos konsentrasi tinggi asap tembakau bahan ditranspotasikan dari perifer oleh sistem mukosilier.Perokok pasif risiko meningkat. Penghuni urban lebih berisiko,polusi atmosfir memainkan peranan. Iritasi saluran napas kronik ditemukan pada udara kota. Paparan terhadap kromat, nikel, arsenik, asbestos dan gas radioaktif. Neoplasma terbagi karsinoma sel kecil dan bukan sel kecil: A. Karsinoma sel kecil Penampakan homogenitas. Hampir sepertiga kasus neoplasma adalah tipe ini. Tingkat malignansi tinggi dengan diseminasi cepat. Jarang berada di perifer dan tidak berkavitas. B. Karsinoma bukan sel kecil, ada 4 tipe : 1. Karsinoma skuamosa adalah yang paling banyak dan hampir separuh kasus. Secara mikroskopik, jembatan interseluler masih tampak,ada keratin dan pola sarang. Kadang ada kavitas. Respon awal adalah radiasi bukan kemoterapi. 2. Karsinoma Sel Besar tak berdiferensiasi. Mengandung sel yang hampir sama dengan skuamosa tapi karakteristik sarang tak tampak, cenderung di perifer. 3. Adenokarsinoma. Karsinoma ini menunjukkan diferensiasi glandular dan memproduksi mukus. Sering di perifer dan sering terjadi pada wanita. 4. Karsinoma bronkoalveolar. Jenis ini berasal dari tipe 2 alveolar dan jarang terjadi dan tidak ada hubungannya dengan merokok. Merupakan subset dari adenokarsinoma. Gejala Klinis Batuk tak produktif atau hemoptisis terjadi pada awal penyakit.Suara serak terkadang gejala pertama, disebabkan karena nervus laringeal reccurent kiri. Dispnu karena efusi pleura atau obstruksi bronkial. Nyeri dada karena mengenai pleura dan merupakan gejala terakhir.Pemeriksaan paru sering negatif meskipun tanda kolaps lobus atau konsolidasi sering terjadi. Foto rontgen penting dikerjakan tapi karsinoma sel kecil kadang tak tampak. Bronkoskopi dan sputum sitologi dilakukan diawal penyakit. Fungsi Paru Obyektivitas klinisi untuk mendiagnosis karsinoma bronkus sejak dini dapat menghindari pembedahan. Tes fungsi paru menunjukkan kelemahan tingkat sedang akhir. Efusi pleura yang besar menyebabkan retriksi dan bisa menyebabkan kolaps setelah obstruksi komplit bronkial. Obstruksi parsial bronkus besar dapat menyebabkan pola obstruksi. Obstruksi dapat disebabkan tumor dinding bronkus atau pembesaran kelenjar getah bening. Obstruksi cabang utama bronkus yang total memberikan gambar pola pseudorestriktif karena setengah paru tidak berventilasi. Obstuksi bronkus total atau sebagian, biasanya menyebabkan hipoksemia. Penyakit Infeksi Pneumonia Artinya inflamasi parenkim paru. Parenkim paru terisi eksudat. Patologi Alveoli dijejali dengan sel sel PMN. Penyembuhan dapat terjadi, dengan kembalinya jaringan ke morfologi normal. Mungkin terjadi supurasi dan nekrosis jaringan, menyebabkan abses paru. Bentuk khusus pneumonia meliputi pneumonia yang terjadi setelah aspirasi cairan lambung atau hewan atau minyak mineral (lipoid pneumonia). Psittacosis adalah satu bentuk yang ditularkan dari burung nuri yang terinfeksi dengan rickettsia. Gejala klinis Gejalanya antara lain malaise, demam dan batuk. Nyeri pleuritik juga sering dikeluhkan, dan makin memberat bila bernapas dalam. Pemeriksaan fisis ditemukan napas dangkal dan cepat, takikardia, dan memburuk bila bernapas dalam. Terdapat tanda konsolidasi, dan ronsen thorax menunjukkan opasifikasi, yang dapat mengenai suatu lobus (pneumonia lobar), tapi seringnya tersebar (bronkopneumonia). Pemeriksaan dan kultur sputum dapat menemukan organisme penyebabnya. Fungsi Paru Karena area paru yang pneumonia tidak terventilasi, dapat terjadi shunting dan hipoksemia. Keparahan kondisi ini tergantung pada aliran darah paru lokal, yang dapat berkurang banyak karena proses penyakitnya ataupun karena vasokonstriksi hipoksik. Meskipun begitu, pasien dengan pneumonia berat dapat mengalami sianosis. Retensi karbondioksia jarang terjadi. Pergerakan dada dapat terhambat karena nyeri pleura atau karena efusi pleura Tuberkulosis Bentuk TB paru bermacam-macam. Lesi awal tidak memengaruhi fungsi paru, tapi pada tahap akhir penyakit, dapat terjadi gangguan fungsional parah, berujung kepada kegagalan pernapasan. Penyakit TB lanjut lebih jarang ditemukan sekarang karena terapi dengan obat antituberkulosis. Infeksi awal berakhir dengan pembentukan kompleks primer dan pembesaran KGB hilus. Limfadenopati ini cepat menyembuh dan tidak terdeteksi. Infeksi pasca primer terjadi di apeks paru, karena rasio ventilasi perfusi yang besar di daerah itu, sehingga PO2 nya tinggi. Keadaan lingkungan ini bagus untuk pertumbuhan kuman TBC. Bila infeksinya menyembuh, sering tidak terjadi gangguan fungsional. Perluasan infeksi TB dapat menyebabkan pneumonia, infeksi miler, kavitas, atelektasis lobus, atau efusi pleura. Pada akhirnya, terjadi fibrosis parah, mengakibatkan gangguan restriksi. Infeksi Jamur Infeksi jamur tersering di AS adalah histoplasmosis. Pada orang dewasa, tidak menyebabkan gejala, tapi hanya kalsifikasi pada radiologis. Jamur candidiasis adalah penghuni normal pada rongga mulut dan traktus gastrointestinal, penyakitnya umum ditemukan, dan jinak. Penyakit paru pada AIDS Infeksi paru tersering pada pasien AIDS adalah yang terbanyak Pneumocystis carinii, diikuti Mycobacterium avium-intracellulare dan infeksi cytomegalovirus. Penyakit yang cukup sering ditemukan adalah TBC dan Legionella. Dapat juga terjadi sarkoma Kaposi. Bila kita menemukan penyakit paru seperti ini pada pasien risiko tinggi, kita harus mencurigai AIDS Penyakit Supuratif Bronkiektasis Ciri penyakit ini adalah dilatasi bronkus dan supurasi lokal Patologi Permukaan mukosa bronkus yang mengalami bronkiektasis menunjukkan hilangnya epitel bersilia, metaplasia skuamosa, dan infiltrasi dengan sel infamasi. Terdapat pus di lumen, selama eksaserbasi. Bisa juga ada hemoptysis dan halitosis. Sering terdengar krepitasi dan clubbing finger pada kasus parah. Gambaran foto toraks menunjukkan peningkatan corakan. Gejala klinis Penyakit ringan tidak menunjukkan fungsi. Pada kasus yang lebih lanjut, terdapat penurunan VEP dan KVP karena perubahan inflamasi kronik, seperti fibrosis. Pengukuran isotop radioaktif menunjukkan ventilasi dan aliran darah yang berkurang pada area yang terganggu. Dapat terjadi hipoksemia karena aliran darah yang melalui paru yang tidak berventilasi. Fibrosis Kistik Merupakan penyakit kelenjar eksokrin karena gangguan genetik yang melibatkan transport natrium dan klorida. Pada paru, bentuknya berupa bronkiektasis dan bronkiolitis Patologi Organ utama yang terganggu adalah pankreas, dimana terjadi atrofi dan duktusnya melebar menjadi kista yang berdilatasi. Pada paru, terdapat sekresi kelenjar mukosa hipertrofi, yang berlebihan. Aktivitas silia juga terganggu. Sumbatan mukus pada jalan napas kecil juga menyebabkan infeksi kronik. Malnutrisi karena gagal pankreas menyebabkan ketahanan yang rendah terhadap infeksi. Gejala Klinis Beberapa pasien meninggal karena ileus mekonium sesaat setelah lahir, dan beberapa tetap kecil dan malnutrisi. Gejala pernapasan meliputi batuk produktif, infeksi paru berulang, dan toleransi olahraga yang berkurang. Sering ditemukan finger clubbing. Pada auskultasi, terdapat ronki basah kasar dan ronki kering. Gambaran ronsen abnormal pada awal penyakit, dan menunjukkan area konsolidasi, fibrosis dan kistik. Pada anak-anak, diagnosis ditegakkan dengan didapatkannya konsentrasi natrium yang tinggi di keringat. Pikirkan penyakit fibrosis kistik bila seorang remaja atau dewasa muda mengalami bronkitis kronik. Fungsi paru Distribusi ventilasi yang abnormal, dan peningkatan AaDO2 merupakan temuan pada tahap awal penyakit. Beberapa peneliti melaporkan uji fungsi jalan napas kecil, seperti pengukuran arus pada volume paru rendah, dapat mendeteksi lesi minimal. Ada penurunan VEP1 dan FEF25-75% yang tidak berespon dengan bronkodilator. Volumer residu dan KRF meningkat dan mungkin terjadi hilangnya rekoil elastik. Toleransi olahraga menurun seiring berkembangnya penyakit. BAB 8 GAGAL NAFAS Gagal nafas terjadi ketika paru gagal mengoksigenasi darah arteri dengan adekuat dan atau gagal mencegah retensi CO2. Pertukaran Gas pada Gagal Nafas Pola Gas Darah Arterial Gambar 8.1 menunjukkan diagram O2-CO2 dengan garis untuk rasio pertukaran respirasi sebesar 0.8. Hipoventilasi murni yang mengarah ke gagal nafas menggeser PO2 dan PCO2 arterial kea rah yang ditunjukan oleh panah A. Pola ini terjadi pada gagal nafas yang disebabkan oleh penyakit neuromuscular, seperti poliomyelitis atau oleh over dosis obat narkotik. Ketidakseimbangan rasio ventilasi-perfusi yang berat dengan ventilasi alveolar yang tidak adekuat untuk mempertahankan PCO2 arteri, menyebabkan gerakan di sepanjang garis B. Hipoksemia yang berhubungan denngan hiperkapnia lebih berat dibandingkan pada hipoventilasi murni. Pola seperti itu sering terlihat pada gagal nafas penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Gambar 8-1. Pola PO2 dan PCO2 pada berbagai tipe gagal napas. Perhatikan bahwa PCO2 dapat tinggi, seperti hipoventilasi murni (garis A), atau rendah, seperti pada ARDS (garis D). Garis putus2 menunjukkan efek pernapasan oksigen. Penyakit interstitial berat kadang kala menyebabkan gerakan sepanjang garis C. Di sini terjadi hipoksemia berat yang memberat, tetapi tanpa retensi CO2 karena peningkatan ventilasi. Pola ini dapet terlihat pada penyakit paru interstitial difus atau sarkoidosis. Kadang terjadi peningkatan PCO2 arteri, tetapi biasanya kurang jelas dibandingkan pada penyakit obstruksi. Pada gagal nafas yang disebabkan oleh sindrom distress pernafasan dewasa (ARDS), PCO2 arteri mungkin rendah, seperti yang ditunjukkan garis D, tetapi hipoksemianya mungkin ekstrim. Pasien seperti ini biasanya diterapi dengan penambahan oksigen inspirasi, yang meningkatkan PO2 arteri, tetapi sering kali tidak mempengaruhi PCO2 (D ke E) walaupun pada beberapa kasus dapat meningkat. Terapi oksigen pada pasien yang gagal nafasnya disebabkan oleh PPOK memperbaiki PO2 arteri seringkali menyebabkan PCO2 yang meningkat karena depresi ventilasi (B ke F). Hipoksemia pada Gagal Nafas Penyebab Satu dari empat mekanisme hipoksemia yaitu hipoventilasi, gangguan difusi, pirau dan ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Mekanisme ini sangat berperan pada PO2 arteri yang rendah pada gagal nafas yang merupakan komplkasi penyakit obstruktif, penyakit restriktif dan ARDS. Deteksi Hipoksemia berat menyebabkan sianosis, tanda kardiovaskular seperti takhikardi dan efek system saraf pusat seperti kebingungan mental. Pembahasan mengenai deteksi hipoksemia dari tanda tersebut sering dilakukan sebab pengukuran PO2 dalam darah arteri penting untuk menentukan derajat hipoksemia pada pasien yang dicurigai mengalami gagal nafas. Hipoksia Jaringan Hipoksemia berbahaya karena menyebabkan hipoksia jaringan. Akan tetapi PO2 arteri hanya satu factor dalam pengiriman oksigen ke jaringan. Faktor lain meliputi kapasitas oksigen pada darah, afinitas oksigen pada hemoglobin, curah jantung dan distribusi aliran darah. Kerentanan jaringan terhadap hipoksia sangat bervariasi. Jaringan dengan resiko terbesar adalah system saraf pusat dan miokardium. Terhentinya aliran darah ke korteks serebral menyebabkan hilangnya fungsi dalam 4-6 detik, hilangnya kesadaran dalam 10-20 detik dan perubahan irreversible dalam 3-5 menit. Jika PO2 turun dibawah kadar kritis di dalam jaringan, oksidasi aerob terhenti dan glikolisis anaerob mengambil alih dengan pembentukan dan pelepasan asam laktat yang makin bertambah. PO2 saat hal ini terjadi tidak diketahui secara akurat dan mungkin bervariasi antar jaringan. Namun terdapat bukti bahwa PO2 intraseluler kritis adalah kelipatan 1 mmHG pada daerah mitokondria. Glikolisis anaerob merupakan metode yang relatif tidak efisien untuk mendapatkan energy dari glukosa. Walaupun demikian, ia memiliki peran penting untuk mempertahankan viabilitas jaringan pada gagal nafas. Asam laktat dalam jumlah banyak yang terbentuk akan dilepas ke dalam darah menyababkan asidosis metabolik. Jika oksigen jaringan setelahnya menjadi baik, asam laktat dapat diubah kembali menjadi glukosa atau digunakan langsung sebagai energy. Sebagian besar pengubahan ini terjadi di hepar. Efek Hipoksemia Berat Hipoksema ringan menghasilkan sedikit perubahan fisiologis. Perlu diingat bahwa saturasi oksigen arteri sekitar 90% ketika PO2 hanya 60mmHg pada pH normal. Satu-satunya kelianan adalah gangguan mental dan tajam penglihatan serta hiperventilasi ringan. Jika PO2 cepat turun dibawah 40-50mmHg, efej membhayakan terlihat di beberapa system organ. System saraf pusat biasnya rentab dan pasien sering mengalami sakit kepala , somnoen atau kesadaran yang berkabut. Hipoksemia akut yang dalam dapat menyababkan konvulsi, perdarahan retina dan kerusakan otak permanen. System kardiovaskular menunjukkan takhikardi dan hipertensi ringan, sebagian disebabkan oleh pelepasan katekolamin, pada hipoksemia berat mungkin terjadi bradikardi dan hipotensi. Tanda gagal jantung dapat terjadi jika disertai penyakit arteri koronaria. Fungsi ginjal terganggu, dapat terlihat retensi natrium dan proteinuria. Hipertensi pulmonal lazim terjadi karena disertai hipoksia alveolar. Hiperkapnia pada Gagal Nafas Penyebab Kedua mekanisme retensi CO2 hipoventiasi dan ketidakseimbangan ventilasi perfusi dapat menjadi factor yang penting dalam gagal nafas. Hipoventilasi adalah penyabab gagal nafas akibat penyakit neuromuscular, seperti sindrom Guillain Barre, overdosis obat barbiturat atau kelainan dinding dada seperti remuk dada. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi adalah penyebab PPOK berat dan penyakit interstitial jangka lama. Satu penyebab retensi CO2 pada gagal nafas yang penting adalah penggunaan terapi oksigen yang tidak tepat. Banyak pasien dengan PPOK secara bertahap mengalami hipoksemia berat adan sedikit demi sedikit retensi CO2 dalam waktu beberapa bulan. Biasanya keadaab seperti ini tidak dinyatakan sebagai gagal nafas karena pasien demikian dapat melanjutkan keadaan seperti ini dalam waktu yang lama. Akan tetapi, pasien tersebut biasanya memerlukan usaha yang ebih untuk bernafas dan banyak dorongan ventilasi berasal dari stimulasi hipoksik kemoreseptor perifer. pH arteri ternyata normal karena retensi bikarbonat di situ. Walaupun terjadi peningkatan PCO2 arteri, dorongan ventilasi utama berasal dari hipoksemia. Jika pasien mengalami infeksi pernafasan, penyulit prenafasan yang relative ringan dan diterapi dengan konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi, dapat terjadi keadaan yang berpotensi membahayakan dengan cepat. Dorongan ventilasi hipoksik mungkin menghilang saat kerja pernafasan meningkat karena ekret yang tertahan atau bronkospasme. Akibatnya ventilasi menjadi sangat terdepresi dan dapat terjadi kadar PCO2 yang tinggi. Selain itu, hipoksemia berat dapat terjadi jika oksigen dihentikan. Ini karena walaupu ventilasi kembali ke tingkat sebelumnya, pasien membutuhkan beberapa menit untuk melepaskan beban akumulai CO2 yang besar di dalam jaringannya sebab cadangan gas ini di dalam tubuh besar. Penyebab sekunder retensi CO2 pada pasien ini mungkin karena pelepasan vasokonstriksi hipoksik di daerah paru berventilasi buruk akibat peningkatan PO2 alveolar. Akibatnya adalah peningkatan aliran darah ke daerah Va/Q rendah dan perburukan ketidakseimbangan VA/Q yang memperberat retensi CO2. Faktor ini mungkin kurang penting bila dibandingkan depresi ventilasi, tetapi peningkatan PCO2 arteri yang cepat seperti yang terlihat ketika beberapa pasien ini diberi oksigen menunjukkan bahwa mekanisme ini memiliki peranan. Pasien demikian itu menimbulkan dilema terapeutik. Di satu sisi, pemberian oksigen cenderung menyebabkan retensi CO2 berat dan asidosis respiratorik. Di sisi lain, jelas penting untuk memberi sedikit oksigen guna mengurangi hipoksemia yang mengancam jiwa. Jawaban masalah ini adalah memberi konsentrasi yang relative rendah dan sering memantau gas darah arteri untuk menentukan apakah terjadi depresi ventilasi. Intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan. Penggunaan oksigen tambahan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya. Efek Peningkatan kadar PCO2 darah sangat meningkatkan aliran darah serebral meyebabkan sakit kepala, peningkatan CCS dan terkadang papiledema. Dalam kenyataan, efek serebral hiperkapnia mengalami tumpang tindih dengan efek hipoksemia. Kelainan yang dihasilkan meliputi gelisah, tremor, bicara melantur, asteriksis (flapping tremor) dan fluktuasi mood. Kadar PCO2 yang tinggi bias didapatkan pada pengguna narkotik dan menyebabkan kesadaran berkabut. Asidosis pada Gagal Nafas Retensi CO2 menyebabkan asidosis respiratorik yang mungkin berat, terutama setelah pemberian oksigen yang kurang tepat. Namun pasien yang mengalami gagal nafas secara bertahap mungkin menahan bikarbonat dalam jumlah yang banyak sehingga menjaga terjadinya penurunan pH. Asidosis metabolik sering kali turut menyertai asidosis respiratorik dan menambah kelainan asam basa. Ini disebabkan oleh pembebasan asam laktat dari jaringan hipoksik, ditambah factor ganda hipoksemia serta sirkulasi perifer yang tidak adekuat penambahannya. Pada pasien yang diberikan ventilasi secara mekanik, pningkatan intratoraks tersebut dapat mengganggu aliran balik vena dan curah jantung sehingga menurunkan aliran darah perifer. Peran Kelelahan Diafrgma Kelelahan diafragma dapat berperan dalam hipoventilasi pada gagal nafas. Diafragma terdiri dari otot rangka berstria yang dikendalikan oleh jaras saraf autonom dan volunteer melalui nervus frenikus. Walaupun diafragma sebagian besar terdiri dari serat oksidatif berkontraksi lambat dan serat glikolitik berkontraksi cepat, yng relative tahan terhadap kelelahan, kelelahan ini dapat terjadi jika pernafasan sangat meningkat dalam waktu yang lama. Kelelahan dapat didefinisikan sebagai hilangnya gaya kontraktil setelah kerja dan dapat diukur dari tekanan transdiafragmatik yan disebabkan oleh kontraksi maksimum atau secara tidak langsungdari waktu relaksasi otot atau elektromogram. Ada bukti bahwa beberapa pasien dengan PPOK secara terus menerus bernafas mendekati tingkat terjadinya kelelahan. Hal ini kemudian menyebabkan hipoventilasi, retensi CO2dan hpoksemia berat. Karena hiperkapnia mengganggu kontraktilitas diaframa dan hioksemia berat mempercepat onset kelelahan, terbentuklah siklus lingkaran setan. Bahaya kelelahan diafragma dapat dikurangi dengan mengurangi kerja pernafasan melalui penanganan bronkospasme dan pengendalian infeksi, dan dengan member oksigen secara benar untu mengurangi hipoksemia. Kekuatan kotraksi dapat diperbaiki melalui program pelatihan, misalnya bernafas melewati resistensi inspiratorik. Di samping itu, pemberian metilxantin memperbaiki kontraktilitas diafragma dan juga mengurangi bronkokonstriksi reversible. Namun, peran kelelahan diafragma pada gagal nafas belum dipahami sepenuhnya. TIPE GAGAL NAFAS Dari sudut pandang fisiologis penatalaksaannya, gagal nafas dapat dibedakan menjadi lima kelompok : 1. 2. 3. 4. 5. Penyakit paru akut yang berat Gangguan neuromuskuar Keadaan akut penyakit paru kronis Sindrom distres nafas dewasa (ARDS) Sindrom distres nafas bayi ( infant respiratory distress syndrome) Penyakit Paru Akut yang Berat Banyak penyakit akut, jika cukup berat dapat menyebabkan gagal nafas. Ini meliputi infeksi seperti pneumonia viral atau bacterial yang fulminan, penyakit vascular seperti emboli paru dan pajanan terhadap bahan toksik yang diinhalasi seperti gas klorin atau oksida nitrogen. Gagal nafas timbuk sebagai perkembangan penyakit yang primer dan hipoksemia berat dangan atau tanpa terjadinya hiperkapnia. Pemberian oksigen diperlukan untuk hipoksemia dan ventilasi mekanik mungkin penting untuk membawa pasien mengatasi stage terburuk. Beberapa pasien diterapi dengan oksigenator membrane ekstrakorporea yang banyak mengambil alih fungsi pertukaran gas paru. Terapi penyakit yang mendasari, misalnya antibiotic untuk pneumonia bakterial jelas penting. Gangguan Neuromuskular Gagal nafas mungkin terjadi ketika pusat pernafasan diteka oleh obat, seperti heroin dan barbiturate. Keadaan lain meliputu penyakit system saraf pusat dan neuromuscular seperti ensefalitis, poliomyelitis, sindrom Guillain Barre, miastenia gravis, keracunan antikolinesterase, sklerois amiotrofik lateral dan distrofi muscular progresif. Pada keadaan ini gambaran yang utama adalah hipoventilasi yang menyebabkan retensi CO2 dengan hipoksemia sedang. Asidosis respiratorik terjadi, tetapi besarnya penurunan pH tergantung pada kecepatan peningkatan PCO2 dan luasnya kompensasi renal. Ventilasi mekanik sering kali diperlukan pada keadaan ini dan kadang kala, seperti pada poliomyelitis bulbar, mungkin diperlukan selama beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Walaupu demikian, paru sebdiri biasanya normal dan jika demikian, tidak memerlukan oksigen tambahan untuk mengatasi hipoksemia. Selain itu jika terdapat penyakit yang mendasari selalu diperlukan terapi terhadap penyakit tersebut. Keadaan Akut pada Penyakit Paru Kronis Istilah ini merjuk kepada eksaserbasi akut penyakit mendasar yangn sudah lama pada pasien. Ini merupakan kelompok yang penting dan umum yang meliputi pasien dengan bronchitis kronis dan emfisema, asma dan fibrosis kistik. Banyak pasien dengan PPOK mengikuti perjalanan menurun yang bertahap dengan hipoksemia dan retensi CO2 yang bertambah berat dalam bulan atau tahun. Pasien demikian biasanya dapat melakukan aktvitias fisik yang terbatas walaupun PO2 dan PCO2 arteri mungkin sebesar 50mmHg. Akibatnya keadaan ini tidak dinyatak sebagai gagal nafas. Walaupun demikian jika pasien mengalami eksaserbasi infeksi dada yang ringan, keadaan tersebut sering memburuk dengan cepat, dengan hipoksemia, retensi CO2 dan asidosis respiratorik yang berat. Cadangan fungsi paru minimal dan setiap peningkatan kerja nafas atau pernurukan hubungan ventilasi perfusi akibar=t retensi secret atau bronkospasme mendorong pasien melewati batas terjadinya gagal nafas. Penatalaksanaan pasien demikian memerlukan penanganan yang hati-hati. Sudah seharusnya infeksi yang mendasar diterapi dengan antibiotic. Selain itu bronchodilator mungkin diindikasikan untuk bronkospasme dan diuretic serta digiltalis mungkin diperlukan jika terbukti ada gagal jantung. Suplemen oksigen diperlukan untuk mengurangi hipoksemia berat. Namun, pasien seperti ini sering kali mengalami kehilangan dorongan ventilasi dan mengalami retensi CO2 berat serta asidosis jika terlalu banyak diberikan oksigen. Untuk alasan ini, biasanya pemberian oksigen dimulai dari 24-28% dan pemantauan gas darah arteri sering dilakukan. Ventilasi mekanik mungkin diperlukan, tetapi kepurusan untuk menerapkannnya sulit. Pada suatu sisis, hampir tidak mungkin mencegah peningkatan PCO2 arteri tanpa ventilasi buatan. Di lain pihak pasien ini sering kali memiliki penyakit baru yang berat sehingga sekali mereka terpasang ventilator, mungkin akan sulit atau bahkan tidak mungkin melepasnya. Setiap kasus perlu dipertimbangkan kepentingannya. Sindrom Distres Nafas Dewasa Keadaan ini sering kali merujuk kepada gagal nafas akut. Ini merupakan hasil akhir dari berbagai serangan, termamsuk trauma pada paru atau bagian tubuh lain, aspirasi, sepsis dan syok oleh penyebab apapun. Terdapat bukti bahwa banyak organ lain yang juga terkena dan keadaan ini mungkin seharusnya dinyatakan sebagai gagal multi organ. Patologi Perubahan awal terdiri dari edema interstitial dan alveolar. Perdarahan, debris seluler dan cairan proteinaseus terdapat dalam alveoli, membrane hialin dapat terlihat dan terdapat atelektasis berbecak. Kemudian, hyperplasia dan organisasi terjadi. Epitel alveolar yang rusak akan dilapisi oleh alveolar tipe 2 dan terjadi infiltrasi seluler pada dinding alveolar. Pada akhirlnya dapat terjadi fibrosis interstitial walaupun terdapat kemungkinan terjadi penyembuhan yang komplet. Patogenesis Hal ini masih belum jelas dan banyak factor yang mungkin berperan,. Endotel kapiler dan sel epitel alveolar tipe 1 rusak saat awal, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan dibanjirinya alveoli dengan cairan proteinaseus. Neutrofil berakumulasi sebagian karena aktivasi komplemen atau kinin. Neutrofil yang teraktivasi melepaskanmediator antara lain bradikinin, histamine dan factor pengaktif trombosit. Selain itu radikal oksigen yang toksik dibentuk, bersamaan dengan produk siklooksigenase seperti prostaglandin dan tromboksan serta lipooksigenase seperti leukotrien. Trombosit yang diaktivasi oleh PAF melepaskan protease dan kalikrein. Gejala Klinis ARDS sering kali diakibatkan beberapa penyakit mendasar lain yang berat yang tidak berhubungan dengan paru dan onset gagal nafas sering kali tertunda. Anamnesis yang tipikal adalah pasien terpapar dengan trauma berat, misalnya kecelakaan kendaraan bermotor dengan fraktur multiple. Terjadi syok perdarahan dengan hipotensi yang diterapi dengan penggunaan Gambar 8-2. Perubahan histologis pada ARDS, dengan cara biopsi paru terbuka. Ada atelektasis, edema, membran hyalin, dan debris seluler yang tersebar di alveoli. cairan. Pasien tampak baik sampai mungkin 2 hari setelah trauma, kemudian terjadi sedikit peningkatan kecepatan pernafasan, PO2 dan PCO2 arteri menurun dan foto toraks tampak berkabut yang kemudian berkembang menjadi kepadatam opasitas yang tidak sama. Terjadi hipksemia berat. Fungsi Paru Paru menjadi sangat kaku dan terkadang diperlukan tekanan yang sangat tinggi untuk ventilasi secara mekanik. Beserta dengan komplikasi yang menurun ini terjadi penurunan FRC yang jelas. Penyebab peningkatan recoil diperkirakan adalah edema alveolar dan eksudat, yang meningkatkan gaya tegangan permukaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, alveoli yang mengalami edema berkurang volumenya. Edema interstitial mungkin juga berperan pada kekakuan paru yang abnormal itu. Seperti yang telah diperkirakan dari gambaran histologik paru, terjadi ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang jelas., dengan fraksi aliran darah total yang besar masuk ke dalam alveolitidak berventilasi. Fraksi ini dapat mencapai 50% atau lebih. Gambar 8.3 menunjukkan beberapa hasil yang didapat melalui metode gas inert multiple pada pasien 44 tahun yang mengalami gagal nafas setelah mengalami kecelakaan kendaraan bermotordan diventilasi secara mekanik. Perhatikan aliran darah menuju unit paru dengan rasio ventilasi perfusi yang abnormal rendah dan uga pirau 8%. Gambar ini juga menunjukkan ventilasi dalamjumlah besar ke unit dengan rasio ventilasi perfusi tinggi. Satu alasan untuk hal ini adalah tekanan jalan nafas abnormal tinggi yang dihasilkan oleh ventilator yang mengurangi airan darah pada beberapa alveoli. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dan pirau menyebabkan hipoksemia berat. Pasien ini biasanya harus diberi campuran yang diperkaya dengan oksigen karena pernafasan dengan udara, bahkan dengan ventilator, menyebabkan PO2 arteri rendah yang membahayakan . konsentrasi oksigen 40-100% kadang diperlukan selama ventilasi mekanik untuk mempertahankan PO2 arteri diatas 60mmHg. Walaupun demikian kemungkinan keracunan oksigen perlu diwaspadai. Penambahan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) sering menyebabkan perbaikan yang nyata pada oksigenasi pada pasien tersebut. Sebaliknya PCO2 arteri sering kali rendah, bahkan ketika terjadi hipoksemia berat, nilai sekitar 20mmHg dapat terjadi. Alasasn peningkatan ventilasi masih belum diketahuiwalaupun mungkin edema interstitial merangsang reseptor J intrapulmonal atau reseptor regangan. Factor lain yang mungkin adalah stimulasi kemoreseptor perifer oleh hipoksemia walaupun perbaikan hal ini biasanya tidak mempengaruhi tingkat ventilasi. Sindrom Distres Nafas Bayi Penyakit ini disebut juga sebagai penyakit membrane hialin neonates. Penyakit ini memilki gambaran yang sama dengan ARDS. Secara patologis paru menunjukkan edema perdarahan, atelektasis dan membrane hialin yang disebabkan oleh cairan proteinaseus dan debris selular dalam alveoli. Secara fisiologis tampak hipoksemia berat dengan ketidakseimbangan ventilasi pefusi serta aliran darah melewati paru tidak berventilasi. Selain itu pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale yang paten dapat memperberat hipoksemia. Ventilasi mekanik dengan campuran yang diperkaya oksigen sering kali perlu, dan penambhan PEEP atau tekanan jalan nafas positif kontinu juga sering bermanfaat. Penyebab utama keadaan ini adalah tidak terdapatnya surfaktan paru walaupun factor lain mungkin juga terlibat. Surfaktan normalnya dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2 dan kemampuan paru untuk mennsintesa bahan ini dalam jumlah yang menncukupi berkembang relative lambat pada kehidupan janin. Oleh sebab itu, bayi yang lahir memiliki resiko. Kemampuan bayi untuk mensekresi surfaktan dapat diperkirakan dengan mengukur rasio lesitin/sfingomielin dari cairan amnion dan kematangan system sintesis surfaktan dapat dipercepat dengan pemberian kortikosteroid. Terapi keadaan ini dengan memberikan surfaktan eksogen melalui trakea memberikan kebaikan. Penatalaksanaan Gagal Nafas Obstruksi Jalan Nafas Gagal nafas sering kali dicetuskan oleh peningkatan resistensi jalan nafas. Banyak pasien menderita PPOK selama bertahun-tahun dengan hipoksemia dan bahkan hiperkapnia ringan. Walaupun demikian mereka mampu mempertahankan beberapa aktivitas fisik. Namun jika mereka mengalami bronkospasme akibat pajanan terhadap kabur atau udara dingin atau jika mereka menderita “salesma berdahak” dengan peningkatan sekresi, mereka dapat mengalami gagal nafas dengan cepat. Kerja otot pernafasan tambahan menjadi pencetusnya, dan mereka menglami hipksemia berat, retensi CO2 dan asidosis respiratorik. Terapi harus diarahkan untuk mengurangi obstruksi jalan nafas. Sekresi yang tertahan paling baik dikeluarkan dengan batuk jika ini efektif. Mendorong untuk batuk dan bantuan dari ahli terapi pernafasan, perawat atau dokter sering kali membantu. Mengubah posisi pasien dari samping ke samping untuk membantu drainase sekresi mungkin bermanfaat. Hidrasi yang adekuat penting untuk mencegah secret menjadi terlalu kental. Memlembapkan semua gas yang diberikan melalui ventilator harus dilakukan untuk mencegah secret mengental dan mongering. Obat seperti kalium iodide melalui mulut atau acetylsistein melalui aerosol untuk mengencerkan secret sputum diragukan manfaatnya. Fisioterapi dada dapat membantu membersihkan sekresi jalan nafas. Walaupun demikian aspirasi secresi dengan bronkoskopi mungkin diperlukan. Kadang kala stimulant pernafasan diberikan pada pasien yang mengantuk, tetapi yang penting pemberian depresan nafas harus dihindari karena obat ini dapat mensupresi batuk. Sering obstruksi jalan nafas reversible harus diterapi dengan bronchodilator, seperti albuterol atau metapreterenol aerosol, aminofilin intravena atau mungkin juga kortikosteroid intravena. Obat seperti isoproterenol yang juga merangsang reseptor β adrenergic di jantung perlu dihindari. Infeksi Pernafasan Eksaserbasi bronchitis yang sudah ada pada pasien dengan PPOK atau infeksi pernafasan paru pada pasien dengan penyakit paru interstitial lanjut, sering mencetuskan gagal nafas. Paling tidak ada dua mekanisme fisiologik untuk ini. Pertama penambahan sekresi dan mungkin bronkospasme menigkatkan kerja pernafasan seperti yang dibahas sebelumnya. Kedua terjadi perburukan hubungan ventilasi perfusi sehingga meskipun ventilasi alveoli tidak berubah, terjadi peningkatan hipoksemia dan hiperkapnia. Terapi infeksi dengan antibiotic diindikasikan. Eksaserbasi bronchitis meskipun ringan pada pasien dengan PPOK dapat mencetuskan gagal nafas. Lebih lanjut, respons sistemik terhadap infeksi yang bias seperti pireksia dan leukosistosis, sering kali tidak ada. Insufisiensi Jantung Banyak pasien dengan gagal nafas insipient mengalami gangguan system kardiovaskular. Tekanan arteri pulmonal sering kali menigkat akiat beberapa factor, termasuk kerusakan anyaman kapiler paru oleh penyakit, vasokonstriksi hipoksik dan peningkatan viskositas darah yang disebabkan oleh polisitemia. Selain itu, miokardium mengalami hipoksia kronis. Retensi cairan sering terjadi akibat retensi ion bikarbonat dan natrium oleh ginjal yang hipoksik. Yang terkahir beberapa pasien memiliki penyakit arteri koroner sebelumnya. Pasien dengan PPOK sering mengalami edema perifer, hepatomegali, dan pembesaran vena leher. Pasien seperti ini dan lainnya juga mungkin menunjukkan tanda gagal jantung kiri, dengan ronkhi basal saat auskultasi dan pembesaran lapangan paru radiograf. Edema paru ringan nantinya mengganggu pertukaran gas paru dengan menyebabkan ventilasi yang tidak seimbang. Terapi diuretic dan digitalis diinndikasikan. Hipoksemia Hipoksemia dapat dikurangi tingkat tertentu dengan mengatasi obstruksi jalan nafas dan infeksi dada. Walaupun demikian, pemberian oksigen jangka panjang sering kali diperlukan dan ini merupakan topiK yang akan dibahas secara lebih rinci pada bab berikutnya. Hiperkapnia Hiperkapnia sering berespon terhadap tndakan umum yang ditujukan pada obstruksi jalan nafas dan infeksi. Walaupun demikian., ventilasi mekanik sering kali dibutuhkan. Hal ini akan dibahas terperinci pada bab selanjutnya. BAB 9 TERAPI OKSIGEN Pemberian oksigen berperan penting dalam manajemen hipoksemia, terutama pada keadaan gagal napas. Respon pasien terhadap pemberian oksigen dapat bervariasi, dan beberapa potensi berbahaya dapat terjadi pada pemberian oksigen tersebut. PERBAIKAN OKSIGENASI SETELAH PEMBERIAN OKSIGEN Kekuatan penambahan oksigen Inhalasi oksigen 100% dapat meningkatkan PO2 arteri. Pada pasien dengan overdosis narkotika, dapat terjadi hipoventilasi dengan tekanan PO2 arteri 50 mmHg dan PCO2 80 mmHg. Jika pasien ini diberikan ventilasi mekanik dengan oksigen 100%, tekanan PO2 arteri dapat meningkat hingga 600 mmHg, yaitu peningkatan hingga 10 kali lipat. Respon pada Variasi Hipoksemia Mekanisme hipoksemia berperan penting terhadap respon pemberian oksigen inhalasi. Mekanisme hipoksemia, yaitu hipoventilasi, kerusakan difusi, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, dan shunt. Hipoventilasi Peningkatan tekanan PO2 alveolar dapat diprediksi dengan persamaan gas alveolar, jika laju metabolik, laju ventilasi dan tekanan PCO2 alveolar dianggap tidak berubah. 𝑃𝐴𝑂2 = 𝑃𝐼𝑂2 − 𝑃𝐴𝐶𝑂2 + 𝐹 𝑅 dimana F merupakan faktor koreksi yang kecil Dengan asumsi tidak ada perubahan pada PCO2 alveolar dan rasio pertukaran respirasi, maka persamaan menunjukkan bahwa peningkatan PO2 alveolar sebanding dengan peningkatan nilai inspirasi. Peningkatan oksigen 30% dapat meningkatkan PO2 alveolar hingga 60 mmHg. Dalam praktik, tekanan PO2 arteri selalu lebih rendah dibandingkan nilainya di alveolar karena sejumlah percampuran yang kecil di vena. Dapat disimpulkan bahwa hipoksemia akibat hipoventilasi, yang jarang menjadi keadaan yang berat, dengan mudah dapat diperbaiki keadaannya dengan pemberian gas kaya oksigen. Kerusakan Difusi Keadaan hipoksemia akibat kerusakan difusi juga dapat diperbaiki dengan pemberian oksigen. Laju perpindahan oksigen melewati barier gas-darah sebanding dengan perbedaan PO2 antara alveolar dan kapiler. Perbedaan tekanannya sebesar 60 mmHg pada permulaan kapiler. Jika kita meningkatkan konsentrasi oksigen yg diinspirasikan sebesar 30%, maka dapat terjadi peningkatan PO2 alveolar menjadi 60 mmHg. Hal ini kemudian dapat memperbaiki oksigenasi hingga akhir dari kapiler tersebut. Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi Pemberian oksigen biasanya cukup efektif untuk memperbaiki PO2 arteri pada keadaan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Akan tetapi, peningkatan PO2 bergantung pada pola ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan konsentrasi oksigen inspirasi. Pemberian oksigen 100% dapat meningkatkan nilai PO2 arteri karena setiap unit paru-paru yang mengalami ventilasi akan mengeluarkan nitrogen. Ketika hal ini terjadi, nilai PO2 alveolar menjadi PO2 = PB – PH2O – PCO2. Oleh karena tekanan PCO2 normal sekitar 50 mmHg, maka persamaan ini akan memprediksi PO2 alveolar sekitar 600 mmHg, bahkan dengan rasio ventilasi-perfusi yang rendah. Namun, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, beberapa daerah paru-paru mungkin begitu ventilasinya buruk sehingga memerlukan waktu beberapa menit untuk mengeluarkan nitrogen. Selain itu, daerah ini dapat terus menerima nitrogen sambil mengeluarkan gas tersebut dari jaringan perifer. Sebagai konsekuensinya, PO2 arteri memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai nilai akhirnya, dan dalam prakteknya, hal ini tidak pernah tercapai. Kedua, pemberian oksigen dapat menyebabkan pengembangan daerah yang tidak mengalami ventilasi. Jika ini terjadi, kenaikan PO2 arteri dapat terhenti. Ketika konsentrasi oksigen dengan jumlah sedang diberikan, kenaikan PO2 arteri ditentukan oleh ketidakseimbangan pola ventilasi-perfusi, dan khususnya oleh unit yang memiliki rasio ventilasiperfusi rendah serta aliran darah cukup. Gambar 9-2 menunjukkan respon dari PO2 arteri di paru-paru dengan model distribusi rasio ventilasi-perfusi setelah inspirasi berbagai konsentrasi oksigen. Perhatikan bahwa pada konsentrasi terinspirasi dari 60%, maka tekanan PO2 arteri mengalami variasi kenaikan, dengan standar deviasi 2,0, yaitu dari 40 menjadi 90 mm Hg. Ini kenaikan moderat yang dapat dikaitkan dengan pengaruh unit paru-paru dengan ventilasi-perfusi rasio kurang dari 0,01. Sebagai contoh, sebuah alveolus dengan ventilasi-perfusi rasio 0,006 yang diberikan O2 inspirasi 60% memiliki PO2 akhir-kapiler hanya 60 mm Hg pada contoh yang ditunjukkan. Namun, perlu diketahui bahwa ketika konsentrasi oksigen terinspirasi meningkat menjadi 90%, maka PO2 arteri akan meningkat menjadi hampir 500 mm Hg. Gambar 9-2 mengasumsikan bahwa pola ventilasi-perfusi ketidaksetaraan tetap konstan walaupun oksigen inspirasi dinaikkan. Namun, bantuan dari hipoksia alveolar di berventilasi buruk daerah paru-paru dapat meningkatkan aliran darah di sana karena penghapusan hipoksia vasokonstriksi. Dalam hal ini, peningkatan PO2 arteri akan berkurang. Perlu diingatkan juga bahwa rasio ventilasi-perfusi yang kolaps ketika bernapas dengan oksigen dalam jumlah besar, tekanan PO2 hanya sedikit meningkat. Shunt Ini adalah satu-satunya mekanisme hipoksemia yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian oksigen 100%. Alasannya adalah bahwa darah yang melewati alveoli berventilasi (shunt) tidak "melihat" oksigen yang ditambahkan dan tetap dengan konsentrasi oksigen yang rendah, menekan PO2 arteri. Depresi ini ditandai dengan datarnya grafik disosiasi oksigen pada PO2 yang tinggi. Namun, harus ditekankan bahwa keuntungan berguna juga sering mengikuti pemberian O2 100% untuk pasien dengan shunts. Hal ini karena oksigen terlarut dapat meningkat. Misalnya, peningkatan PO2 alveolar 100 menjadi 600 mm Hg dapat meningkatkan oksigen terlarut dalam darah kapiler akhir dari 0,3 menjadi 1,8 ml O2/100 ml darah. Peningkatan 1,5 ml ini dapat dibandingkan dengan perbedaan konsentrasi normal arteri dan vena sekitar 5 ml/100 ml. Faktor Lainnya dalam Distribusi Oksigen Faktor lainnya yang mempengaruhi distribusi oksigen ke jaringan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. PO2 arteri Konsentrasi hemoglobin Curah jantung Difusi dari kapiler ke mitokondria Afinitas hemoglobin terhadap oksigen Aliran darah lokal METODE PEMBERIAN OKSIGEN Kanula nasal Kanula nasal terdiri dari dua lubang yang dimasukkan ke dalam nares anterior dengan selang yang ringan. Laju suplai oksigen berkisar 1-4 L/menit, dengan konsentrasi oksigen 25-30%. Semakin tinggi laju aliran inspirasi pasien, semakin rendah konsentrasi oksigen. Udara harus dilembabkan sedekat mungkin dengan suhu tubuh untuk mencegah kerusakan mukosa nasal. Keuntungan utama dari kanula nasal yaitu pasien tidak merasakan ketidaknyamanan dengan masker, masih bisa berbicara dan makan. Kanula dapat digunakan untuk jangka panjang karena pemberian oksigen biasanya secara terus-menerus, bukan intermiten. Kerugian dari kanula adalah konsentrasi oksigen maksimum yang rendah dan konsentrasi oksigen yang tidak bisa diperkirakan, terutama jika pasien juga bernapas melalui mulut. Masker Masker memiliki desain yang bermacam-macam. Masker sederhana yang muat untuk hidung dan mulut dapat menghasilkan konsentrasi oksigen hingga 60% dengan laju suplai oksigen 6 L/menit. Akan tetapi, karena dapat terjadi akumulasi karbondioksida dalam masker (hingga 2%), alat ini harus digunakan dengan hati-hati, terutama pada pasien yang rentan terhadap retensi CO2. Masker yang berguna untuk distribusi konsentrasi oksigen yang terkendali dengan prinsip venturi. Ketika oksigen masuk melalui masker dengan jet sempit, oksigen masuk dengan laju yang konstan. Dengan laju oksigen 4 L/menit, total aliran (oksigen dan air) dapat mencapai 40 L/menit. Dengan aliran yang sebesar itu, akumulasi CO2 dapat dihindari. Masker yang dapat memberikan konsentrasi oksigen 24, 28 dan 35 % juga tersedia, khususnya diberikan pada pasien yang rentan terhadap terjadinya retensi CO2. Oksigen Transtrakeal Alat ini berupa kateter mikro yang dimasukkan melalui dinding trakea anterior dengan ujungnya mencapai atas karina. Ini merupakan jalan yang efisien untuk memasukkan oksigen, terutama pada pasien dengan terapi oksigen jangka panjang, walaupun perawatannya harus diperhatikan untuk mencegah infeksi. Tenda Alat ini hanya digunakan pada anak-anak yang tidak bisa mentoleransi penggunaan masker. Konsentrasi oksigen dapat mencapai 50%, namun dengan risiko kebakaran. Ventilator Ketika pasien dengan ventilasi mekanik melalui endotracheal tube atau tracheostomy tube, kendali penuh terhadap gas yang diinspirasi dapat diberikan. Ada risiko bahaya terhadap toksisitas oksigen jika konsentrasinya melebihi 50% selama lebih dari 2 hari. Secara umum, pemberian oksigen harus diberikan dengan konsentrasi oksigen yang serendah-rendahnya untuk mencapai PO2 arteri yang diharapkan. Hal ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan, namun pada pasien ARDS dengan ventilasi mekanik konsentrasi oksigen yang tinggi, tekanan 60 mmHg dapat dicapai. Oksigen Hiperbarik Jika konsentrasi O2 100% diberikan pada tekanan 3 atm, oksigen yang terinspirasi bisa mencapai 2000 mmHg. Pada keadaan ini, konsentrasi oksigen arteri dapat meningkat, yang selanjutnya juga meningkatkan oksigen terlarut. Sebagai contoh, jika tekanan PO2 arteri 2000 mmHg, maka oksigen terlarut sebesar 6 ml/100 ml darah. Secara teori, hal ini cukup untuk membuat perbedaan arteri-vena sebesar 5 ml/100 ml, sehingga hemoglobin pada vena akan tersaturasi sempurna. Terapi oksigen hiperbarik memiliki keterbatasan penggunaan dan jarang diindikasikan pada gagal napas. Akan tetapi, terapi ini dapat digunakan pada penanganan keracunan karbon monoksida yang berat. Pada keadaan ini, hemoglobin untuk mengangkut oksigen tidak tersedia dan oleh karena itu kadar oksigen yag terlarut sangat diperlukan. Sebagai tambahan, PO2 yang tinggi mengakselerasi disosiasi karbon monoksida terhadap hemoglobin. Krisis anemia berat terkadang ditangani dengan cara yang sama. Terapi oksigen hiperbarik juga digunakan dalam manajemn infeksi gangren dan sebagai adjuvan pada radioterapi. Pada radioterapi, PO2 jaringan yang tinggi dapat meningkatkan radiosensitivitas tumor yang avaskular. Terapi hiperbarik juga digunakan pada penyakit dekompresi. Oksigen Domisiler dan Portabel Beberapa pasien dengan penyakit paru kronik hanya bisa bernapas dengan bantuan suplementasi oksigen. Pasien ini akan lebih nyaman dengan tersedianya suplai oksigen di rumah. Bentuknya dapat bervariasi. BAHAYA TERAPI OKSIGEN Retensi Karbondioksida Faktor yang mempengaruhi kendali ventilasi pada pasien dengan kerja pernapasan yang berat adalah stimulasi hipoksik kemoreseptor perifer. Jika keadaan hipoksemia segera diperbaiki, laju ventilasi akan berkurang dan retensi CO2 akan terjadi. Terapi oksigen intermiten dapat berbahaya. Penjelasan mengenai hal ini adalah jika pemberian oksigen dapat menyebabkan retensi CO2, lalu kondisi ini segera dihentikan, maka hipoksemia yang terjadi bisa lebih berat dibandingkan sebelum pemberian oksigen. PAO2 = PIO2 – PACO2 + F R Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan PCO2 alveolar akan mengurangi PO2 alveolar dan kemudian berdampak pada PO2 arteri. Selain itu, PCO2 tinggi cenderung tetap selama beberapa menit karena cadangan gas ini dalam tubuh begitu besar sehingga kelebihannya adalah mengeluarkannya secara bertahap. Dengan demikian, hipoksemia yang terjadi mungkin lebih hebat dan berkepanjangan. Pasien harus diberikan oksigen terus menerus pada konsentrasi rendah, dan gas darah harus dipantau. Awalnya, konsentrasi oksigen dari 24% sering diberikan dengan cara dari masker venturi, dan PO2 arteri dan PCO2 diukur setelah 15 sampai 20 menit. Jika PCO2 tidak naik dan pasien tetap waspada, konsentrasi oksigen dapat meningkat menjadi 28%. Ini umumnya cukup untuk meredakan hipoksemia berat,meskipun konsentrasi setinggi 35% kadang-kadang digunakan. Bentuk oksigen disosiasi kurva (lihat Gambar 2-1) harus tetap kita ingat bahwa peningkatan PO2 dari 30 sampai 50 mm Hg (pada pH normal) mewakili lebih dari 25% peningkatan saturasi hemoglobin! Toksisitas Oksigen Konsentrasi tinggi oksigen dalam waktu lama merusak paru-paru. Studi pada monyet yang mendapatkan oksigen 100% selama 2 hari menunjukkan bahwa beberapa perubahan awal berada di kapiler sel endotel, yang menjadi bengkak. Perubahan terjadi pada antar sel endotel persimpangan, dan ada permeabilitas kapiler meningkat yang mengarah ke interstisial dan alveolar edema. Selain itu, epitel alveolar dapat menjadi gundul dan digantikan oleh tipe 2 sel epitel bertingkat. Kemudian, terjadi fibrosis interstisial. Pada manusia, efek konsentrasi oksigen yang tinggi pada paru jarang didokumentasikan, tapi orang normal melaporkan ketidaknyamanan substernal setelah menghirup oksigen 100% untuk 24 jam. Pasien yang telah ventilasi mekanik dengan oksigen 100% selama 36 jam telah menunjukkan penurunan progresif dalam PO2 arteri dibandingkan dengan kelompok kontrol yang berventilasi dengan udara. Sikap yang wajar adalah dengan mengasumsikan bahwa konsentrasi oksigen dari 50% ataulebih tinggi selama lebih dari 2 hari dapat menghasilkan perubahan yang berbahaya. Dalam prakteknya, tingkat tinggi tersebut selama periode yang begitu panjang dapat dicapai hanya pada pasien yangyang diintubasi dan ventilasi mekanik. Hal ini penting untuk menghindari keracunan oksigen karena satu-satunya cara untuk meringankan hipoksemia dihasilkan adalah dengan meningkatkan oksigen inspirasi, sehingga menciptakan lingkaran setan. ATELEKTASIS Oklusi Jalan Napas Jika seorang pasien menghirup udara dengan saluran napas yang tersumbat hebat, misalnya, dengan sekresi berlebih, penyerapan atelektasis paru-paru dapat terjadi. Alasannya adalah bahwa jumlah dari tekanan parsial dalam darah vena jauh lebih kecil dari atmosfer tekanan, dengan hasil bahwa gas yang terperangkap secara bertahap diserap. Namun, proses ini relatif lambat, membutuhkan waktu berjam-jam atau bahkan hari. Namun, jika pasien bernapas konsentrasi tinggi oksigen, tingkat penyerapan atelektasis sangat dipercepat. Hal ini karena konsentrasi nitrogen dalam darah dalam jumlah sedikit yang memperlambat proses penyerapan karena kelarutannya rendah. Instabilitas Rasio Ventilasi-Perfusi Telah ditunjukkan bahwa unit paru-paru dengan rasio ventilasi-perfusi rendah dapat menjadi tidak stabil dan kolaps ketika campuran oksigen yang tinggi yang dihirup. Sebuah contoh diberikan dalam Gambar 9-4, yang menunjukkan distribusi ventilasi-perfusi rasio pada pasien selama udara pernapasan dan setelah 30 menit oksigen 100%. Pasien ini memiliki pernapasan kegagalan setelah kecelakaan mobil (lihat Gambar 8-3). Perhatikan bahwa saat bernafas udara ada adalah jumlah yang cukup banyak aliran darah ke unit paru-paru dengan rendah ventilasi-perfusi rasio di samping sebuah shunt 8%. Setelah pemberian oksigen, aliran darah rendah ventilasi-perfusi unit rasio itu tidak jelas, tetapi shunt telah meningkat menjadi hampir16%. Penjelasan yang paling mungkin dari perubahan ini adalah ventilasi daerah yang buruk menjadi tidak berventilasi. BAB X VENTILASI MEKANIS INTUBASI DAN TRAKEOSTOMI Keputusan untuk mengintubasi atau memventilasi pasien tidak boleh terlalu mudah diputuskan karena tindakan ini memerlukan banyak tenaga dan alat penting serta mempunyai ancaman bahaya yang potensial. Namun jika memang terdapat indikasi, pasien tidak boleh terlambat diintubasi. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu sifat proses penyakit yang mendasari, kecepatan perkembangan hipoksemia dan hiperkapnia, usia serta keadaan umum pasien. Sebagian besar ventilator membutuhkan terminal untuk menghubungkannya dengan jalan napas paru. Sambungan dibuat melalui selang endotrakeal atau trakeostomi. Selain sebagai penyambung untuk ventilator, selang ini dapat membantu mempermudah pengeluaran sekresi melalui kateter penghisap. Selang juga dapat mencegah aspirasi darah atau vomitus dari faring ke dalam paru. Trakeostomi juga dapat memintas obstruksi saluran napas atas, misalnya karena edema alergika atau tumor laring. Beberapa komplikasi dihubungkan dengan pemakaian selang endotrakeal dan trakeostomi, seperti ulserasi laring atau trakea. Komplikasi ini terjadi jika manset yang dikembangkan melebihi tekanan mukosa. Jaringan parut yang terjadi dapat menyebabkan stenosis trakea. Jika ujung distal selang tidak sengaja masuk ke bronkus utama kanan, dapat terjadi atelektasis paru kiri. TIPE VENTILATOR Ventilator Volume-Konstan Ventilator ini menggunakan piston pengatur bermotor untuk mengatur gas yang diberikan dalam volume yang diatur sebelumnya. Curah dan frekuensi pompa dapat disesuaikan untuk memberi ventilasi yang dibutuhkan. Rasio inspirasi terhadap waktu ekspirasi dikendalikan oleh kenop khusus. Oksigen dapat ditambahkan jika dibutuhkan dan pelembab juga termasuk dalam sirkuit. Gambar 10-1. Gambaran skematik ventilator volume-konstan Ventilator volume-konstan cocok untuk ventilasi jangka-panjang dan sering digunakan dalam anastesi. Alat ini dapat mengetahui volume yang diberikan ke pasien walaupun terjadi perubahan sifat elastik paru atau dinding dada atau peningkatan resistensi saluran napas. Ventilasi ekspirasi dapat dihitung dengan spirometer. Ventilator Tekanan-Konstan Ventilator ini memberi gas pada tekanan yang diatur sebelumnya. Ventilator ini tidak membutuhkan tenaga listrik karena bekerja dengan menggunakan sumber gas terkompresi bertekanan paling tidak tidak 50 pon/inci persegi. Kekurangan ventilator ini, jika digunakan sebagai metode ventilasi tunggal, volume gas yang diberikan dipengaruhi perubahan komplians paru atau dinding dada. Peningkatan resistensi jalan napas juga mengurangi ventilasi sehingga volume ekspirasi harus dipantau. Kekurangan lain, konsentrasi oksigen inspirasi bervariasi sesuai kecepatan aliran inspirasi. Ventilator jenis ini terutama digunakan untuk ‘ventilasi bantuan tekanan’, yaitu membantu pasien yang diintubasi untuk meningkatkan kerja napas untuk melawan tekanan selang endotrakeal yang relatif sempit. Pemakaian ini juga berguna untuk melepaskan pasien dari ventilator. Ventilator Tangki Respirator tangki memberikan tekanan negatif (lebih rendah dari tekanan atmosfer) ke luar dada dan bagian tubuh lain kecuali kepala. Ventilator ini berbentuk kotak kaku dan dihubungkan dengan pompa bervolume besar, bertekanan rendah yang mengendalikan siklus pernapasan. Ventilator ini sudah tidak digunakan dalam penanganan pasien gagal napas karena membatasi akses ke pasien, besar dan tidak nyaman. Alat ini digunakan untuk pasien dengan poliomyelitis bulbar dan neuromuskular kronik yang membutuhkan ventilasi berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Patient-Cycled Ventilators Pada ventilator ini, fase inspirasi dapat dipicu oleh pasien saat pasien melakukan upaya ventilasi. Ventilator ini berguna pada pasien yang sembuh dari gagal napas dan sedang dilepas dari ventilasi terkendali. POLA VENTILASI Ventilasi Tekanan Positif Intermiten (IPPV) IPPV merupakan pola umum ventilasi, berupa pengembangan paru oleh penerapan tekanan positf ke saluran napas dan dapat mengempis secara pasif ada FRC. Variabel utama yang dikendalikan meliputi volume tidal, frekuensi napas, durasi inspirasi versus ekspirasi, kecepatan aliran inspirasi dan konsentrasi oksigen inspirasi dan konsentrasi oksigen inspirasi. Pasien dengan obstruksi saluran napas akan mendapat keuntungan jika waktu ekspirasi diperpanjang, karena paru dengan konstan waktu yang lama akan memiliki waktu untuk mengosongkan udara. Hal ini dilakukan dengan mengurangi frekuensi napas dan meningkatkan waktu ekspirasi versus inspirasi. Tekanan saluran napas positif dalam waktu lama dapat mengganggu aliran balik vena ke toraks. Umumnya dipilih frekuensi yang rendah dan waktu ekspirasi yang lebih besar dari inspirasi. Tekanan Akhir-Ekspirasi Positif (Positive End Expiratory Pressure, PPEP) Perbaikan PO2 arterial yang besar pada pasien ARDS dapat dicapai dengan mempertahankan tekanan saluran napas positif yang kecil pada akhir ekspirasi. Keuntungan PEEP adalah memungkinkan konsentrasi oksigen inspirasi diturunkan sehingga mengurangi risiko toksisitas oksigen. Nilai yang lazim dipakai adalah 5-20 cm H2O. Tekanan positif akan meningkatkan FRC, yang umumnya kecil pada pasien ARDS karena peningkatan rekoil elastik paru. Volume paru yang kecil menyebabkan penutupan saluran napas dan ventilasi intermiten di beberapa daerah terutama daerah dependen dan terjadi absorbsi ateletaksis. Pada pasien edema saluran napas, cairan dapat bergeser ke dalam saluran napas perifer kecil atau alveoli, memungkinkan beberapa daerah paru diventilasi ulang. Gambar 10-2. Penurunan pirau dan peningkatan ruang mati yang disebabkan peningkatan jumlah PEEP pada pasien dengan sindrom gawat nafas dewasa (ARDS). Dari gambar 10.2 terlihat peningkatan PEEP dapat menurunkan pirau dan meningkatkan ruang mati. Hal ini disebabkan kompresi kapiler akibat peningkatan tekanan alveolar dan peningkatan volume paru diikuti peningkatan traksi radial saluran napas, yang meningkatkan volumenya. Penambahan PEEP yang terlalu besar tidak meningkatkan namun menurunkan PO2 arteri, oleh karena: 1) curah jatuh sangat menurun sehingga PO2 dalam darah vena campuran dan PO2 arteri juga turun; 2) penurunan ventilasi daerah berperfusi baik (karena peningkaan ruang mati dan ventilasi ke daerah berperfusi buruk); 3) pengalihan aliran darah dari daerah berventilasi ke tidak berventilasi oleh peningkatan tekanan saluran napas. Bahaya PEEP tingkat tinggi lain adalah kerusakan kapiler paru akibat regangan tinggi pada dinding alveolar. Tekanan Jalan Napas Positif Kontinu (Continuous Positive Airway Pressure, CPAP) CPAP dapat memberikan tekanan positif kecil secara kontinu ke saluran napas melalui sistem katup pada ventilator.Indikasinya untuk pasien dalam penyapihan dari ventilator. Perbaikan oksigenasi menggunakan mekanisme yang sama dengan PEEP. CPAP juga berguna pada pasien obstruksi saluran napas dengan memberikan tekanan positif melalu masker yang dipakai malam hari. Ventilasi Mandatorik Intermiten (Intermittent Mandatory Ventilation, IMV) IMV merupakan modifikasi IPPV yaitu pemberian volume tidal besar pada interval yang relatif jarang pada pasien diintubasi yang bernapas spontan. IMV sering dikombinasi dengan PEEP atau CPAP dan berguna untuk menyapih pasien dari ventilator, mencegah oklusi saluran napas pada Obstructive Sleep Apnea (OSA) dengan menggunakan CPAP nasal malam hari. Ventilasi Frekuensi Tinggi Gas darah dapat dipertahankan normal dengan ventilasi tekanan positif berfrekuensi sangat tinggi (kira-kira 20 siklus/detik) dengan volume sekuncup yang rendah (50-100 ml). Paru digetarkan dan transport gas terjadi secara kombinasi difusi dan konveksi. Indikasinya pada pasien dengan kebocoran gas dari paru karena fistula bronkopleura. EFEK FISIOLOGIK PADA VENTILASI MEKANIK Penurunan PCO2 Arteri Pada pasien obstruksi saluran napas dengan kebutuhan pernapasan tinggi, ventilasi mekanis berguna untuk mengurangi ambilan oksigen dan keluaran CO2 sehingga menghasilkan penurunan PCO2 arterial. Hubungan antara PCO2 arterial dan ventilasi alveolar paru normal dinyatakan dengan persamaan: Dengan K sebagai konstanta. Pada paru berpenyakit, penyebut VA kurang dari ventilasi yang masuk ke alveoli karena terdapat ruang mati alveolar (alveolar tidak berperfusi). Ventilasi mekanis sering meningkatkan ruang mati alveolar dan anatomik sehingga ventilasi alveolar efektif tidak meningkat sebanyak ventilasi total. Ventilasi mekanis meningkatkan ruang mati dengan meningkatkan volume paru, kemudian traksi radial yang dihasilkan akan meningkatkan ruang mati anatomik. Tekanan yang meningkat tersebut akan mengalihkan aliran darah sehingga rasio ventilasiperfusi tinggi atau bahkan darah tidak berperfusi. Jika tekanan dalam kapiler turun, kapiler dapat kolaps dan paru akan tidak berperfusi. Kolaps didukung oleh dua faktor: 1) tekanan saluran napas yang abnormal tinggi dan 2) penurunan aliran balik vena diikuti hipoperfusi paru. Bahaya lain pada ventilasi berlebihan pada pasien dengan retensi CO2 adalah kalium serum yang rendah yang akan mencetuskan irama jantung abnormal. Peningkatan PO2 Arteri Konsentrasi oksigen inspirasi idealnya harus cukup untuk meningkatkan PO2 arteri paling tidak menjadi 60 mmHg tapi konsentrasi inspirasi yang terlalu tinggi harus dihindari karena bahaya toksisitas oksigen dan ateletaksis. Pada beberapa pasien dengan ARDS berat, hipoksemia dapat dikurangi dengan menambahkan PEEP 5-20 cmH2O. Peningkatan volume paru yang dihasilkan akan membuka daerah atelektaktik dan mengurangi penutupan saluran napas intermiten. Selain itu cairan edema lebih banyak yang digerakkan ke perifer sehingga dapat membantu ventilasi daerah yang tadinya terobstruksi. Efek pada Aliran Balik Vena Ventilasi mekanis cenderung mengganggu aliran darah kembali ke toraks dan mengurangi curah jantung. Pada pasien yang berbaring, kembalinya darah ke toraks bergantung pada rata-rata perbedaan tekanan vena perifer dan tekanan intratoraks. Jika tekanan saluran napas ditingkatkan oleh ventilator, tekanan intratoraks rata-rata meingkat dan menghambat aliran balik vena. Jika tekanan saluran napas tetap sesuai atmosfer, aliran balik vena cenderung turun karena tekanan vena perifer dikurangi oleh tekanan negatif. Jika volume darah yang bersirkulasi berkurang seperti pada perdarahan atau syok, ventilasi tekanan positif sering menyebabkan penurunan curah jantung dan dapat mengakibatkan hipotensi sistemik. Faktor lain yang sering menyebabkan curah jantung turun selama ventilasi mekanis adalah hipokapnia karena ventilasi yang berlebihan. Bahaya Lain Termasuk bahaya lain adalah mati listrik, terputusnya hubungan, melekuknya selang. Dapat terjadi pula pneumotoraks, emfisema interstisial, infeksi paru, aritmia jantung atau perdarahan gastrointestinal.