BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Narkoba 2.1.1 Pengertian Narkoba

advertisement
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Narkoba
2.1.1 Pengertian Narkoba
Narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya), disebut juga NAPZA
(narkotika, psikotropika, zat adiktif lain) adalah obat, bahan,atau zat bukan
makanan yang jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikan, berpengaruh
pada
kerja otak (susunan
saraf pusat)
dan sering kali menimbulkan
ketergantungan (Martono & Joewana, 2008).
Napza adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, Dan Zat
Adiktif Lainnya. Napza berupa zat yang bila masuk kedalam tubuh dan akan
mempengaruhi tubuh, terutama susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan
gangguan pada fisik, psikis dan fungsi sosial (Sumiati DKK, 2009).
2.1.2 Jenis-Jenis Narkoba
Menurut Rozak & Sayuti (2006), ada beberapa jenis-jenis nakoba yaitu:
1. Narkotika
Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika disebut
bahwa istilah narkotika diartikan dengan zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan
penurunan
atau
perubahan
kesadaran,
hilangnya
rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana
8 Universitas Sumatera Utara
9
terlampir dalam undang-undang ini (UU No. 22/1997 Tentang Narkotika) atau
yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan. Dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 disebutkan narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini (BNN, 2014).
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 6 disebutkan bahwa
narkotika dibagi menjadi tiga golongan yaitu
a) Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b) Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
c) Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan
dalam
terapi
dan/atau
untuk
tujuan
pengembangan
ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
Universitas Sumatera Utara
10
saraf pusat dan menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan
perilaku. Ada 4 golongan psikotropika yang dibagi menurut potensinya
menyebabkan ketergantungan, yaitu sebagai berikut
a. Golongan I sangat tinggi menimbulkan ketergantungan dan selain untuk
ilmu pengetahuan dinyatakan sebagai barang terlarang, sehingga dilarang
keras digunakan atau diedarkan di luar ketentuan hukum. Contoh ekstasi
(MDMA) dan (LSD) yang banyak disalahgunakan.
b. Golongan II berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan dengan cara
selektif dan digunakkan pada pengobatan. Contoh amfetamin dan
metamefatamin (shabu) yang banyak disalahgunakan.
c. Golongan III dan IV berpotensi sedang dan ringan menimbulkan
ketergantungan, dan dapat digunakan pada pengobatan, tetapi harus dengan
resep dokter. Contoh bermacam-macam obat penenang (sadativa) dan obat
tidur (hipnotika), yang sering disalahgunakan berupa Mogadon (MG),
Rohypnol (Rohyp), pil KB/Koplo, lexotan (lexo).
3. Zat Psikoaktif Lain
Zat Adiktif adalah zat yang dapat menimbulkan adiksi (addiction) yaitu
ketagihan sampai pada dependensi (dependency) yaitu ketergantungan,
misalnya zat atau bahan yang tergolong amphetamine, sedativa/hipnotika,
termasuk tembakau atau rokok (Hawari, 2006). zat psikoaktif lain adalah zat
atau bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh terhadap
kerja otak, yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
11
a. Alkohol pada minuman keras, terdiri dari golongan A dengan kadar etanol
1-5%, contoh bir golongan B dengan kadar etanol 5-20%, contoh sebagai
jenis minuman anggur golongan C dengan kadar etanol 20-45%, contoh
Whiskey, Vodka, TKW, Mansion House, Johny Walker, dan Kamput.
b. Inhalasi atau Solven, yaitu gas atau zat pelarut yang mudah menguap berupa
senyawa organik yang sering digunakan untuk berbagai keperluan industri,
kantor, bengkel, toko, dan rumah tangga, seperti lem, thiner, aceton,
aerosol, bensin. Zat ini disalahgunakan dengan cara dihirup, terutama pada
anak usia 9-14 tahun.
c. Nikotin terdapat pada tembakau. Rokok mengandung 4.000 zat. Yang
paling
berbahaya
adalah
nikotin
merupakan
bahan
penyebab
ketergantungan.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menggolongkan obat, bahan, dan zat
psikoaktif, berdasarkan pengaruh terhadap tubuh manusia yaitu, Opioda (opium,
morfin, heroin, dan petidin); Ganja; Kokain dan daun koka; Alkohol; Amfetamin
(amfetamin, ekstasi, shabu); Halusinogen (LSD); Sedativa dan hipnotika (obat
penenang dan obat tidur); PCP (fensiklidin); Inhalansia dan solven; Nikotin dan
Kafein ( Martono & Joewana, 2008).
2.1.3 Bahaya Penyalahgunaan Narkoba
Menurut Makoro (2003) dalam Fitri (2014) bahaya dan akibat dari
penyalahgunaan narkoba dapat bersifat bahaya pribadi bagi pemakainya dan dapat
Universitas Sumatera Utara
12
pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingkungan. Secara umum,
dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada keadaan fisik, psikis maupun
keadaan sosial seseorang, adapun bahaya tersebut yaitu:
1. Secara fisik:
a. Gangguan
pada
system
syaraf
(neurologis)
seperti: kejang-kejang,
halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi.
b. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti:
infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah.
c. Gangguan pada kulit (dermatologi) seperti : penanahan (abses), alergi.
d. Gangguan
pada
paru-paru
(pulmoner)
seperti:
penekanan
fungsi
pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru.
e. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh meningkat,
pengecilan hati dan sulit tidur.
f. Akan berakibat fatal apabila terjadi over dosis yaitu konsumsi narkoba
melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. over dosis dapat
menyebabkan kematian.
g. Dampak kesehatan reproduksi pada remaja laki-laki dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kadar hormon testosteron, penurunan dorongan seks,
disfungsi ereksi, hambatan ejakulasi, pengecilan ukuran penis dan gangguan
sperma.
h. Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan terjadi
penurunan dorongan seks, gangguan pada hormon estrogen dan progesteron,
kegagalan orgasme, hambatan menstruasi, pengecilan payudara, gangguan
Universitas Sumatera Utara
13
sel telur, serta pada wanita hamil dapat menyebabkan kekurangan gizi
sehingga bayi yang dilahirkan juga dapat kekurangan gizi, berat badan bayi
rendah, bayi cacat serta dapat menyebabkan bayi keguguran.
i. Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum
suntik secara bergantian, resikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis
B, C dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya.
2. Secara Psikis:
a. Lamban saat kerja, ceroboh pada saat kerja, sering gelisah.
b. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga terhadap orang
lain.
c. Emosional, dapat melakukan hal–hal negatif diluar dugaan.
d. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan.
e. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri.
3. Secara Sosial:
a. Gangguan mental (sakit jiwa), anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh
lingkungan.
b. Merepotkan dan menjadi beban keluarga.
c. Pendidikan terganggu masa depan suram.
2.1.4 Efek Samping Penyalahgunaan Narkoba Menurut Jenis
Efek samping penggunaan narkoba adalah gejala yang timbul akibat
pemakaian narkoba dengan dosis yang tidak pasti/tidak sesuai, yang dapat
menimbulkan berbagai macam gejala dan jenis narkoba yang di pakai. Efek
samping dari jenis narkoba Menurut Lydia Dan Satya, 2008 adalah :
Universitas Sumatera Utara
14
1. opioda (morfin, heroin, putaw,dan lain-lain)
opioda alami berasal dari getah opium poppy (opiat), seperti morfin, opium,
dan kodein.
Cara pemakaiannya: disuntikkan kedalam pembuluh darah atau dihisap melalui
hidung setelah di bakar.
a. Pengaruh jangka pendek: hilangnya rasa nyeri, ketegangan berkurang,
munculnya rasa nyaman (eforik) diikuti perasaan seperti miimpi dan rasa
mengantuk, dan pemakaian dapat meninggal karena overdosis.
b. Pengaruh jangka panjang: ketergantungan (gejala putus zat, toleransi).
Dapat timbul komplikasi, seperti sembelit, gangguan menstruasi, dan
impotensi. Karena pemakaian jarum suntik tidak steril dapat menimbulkan
abses, hepatitis B/C yang merusak hati, dan penyakit HIV AIDS yang
merusak system kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi dan
akhirnya menyebabkan kematian.
2. Ganja
Cara pemakaiannya: yang di pakai berupa tanaman kering yang dirajang,
dilinting, dan disulut seperti rokok.
a. Efek Setelah Pemakaian: muncul cemas, rasa gembira, bayak bicara, tertawa
cekikian, halusinasi, dan berubahnya perasaan waktu, (lama dikira sebentar)
dan ruang (jauh dikira dekat), peningkatan denyut jantung, mata merah,
mulut dan tenggorokan kering, dan selera makan meningkat.
b. Pengaruh jangka panjang: daya pikir berkurang, motivasi belajar turun,
perhatian ke sekitarnya berkurang, daya tahan tubuh terhadapinfeksi
Universitas Sumatera Utara
15
menurun, mengurangi kesuburan, peradangan jalan napas, aliran darah
berkurang kejantung dan terjadi perubahan pada sel-sel otak.
3. Kokain (kokai, crack, daun koka, pasta koka)
Cara pemakaiannya: dengan cara disedot melalui hidung, dirokok, atau
disuntikan.
a. Efek Setelah Pemakaian: rasa percaya diri meningkat, bayak bicara, rasa
lelah hilang, kebutuhan tidur berkurang, minat seksual meningkat,
halusinasi visual dan taktil (seperti ada serangan rayap), waham
curiga/curiga (paranoid)
b. Pengaruh jangka panjang: kurang gizi, anemia, sekat hidung rusak,
danterjadi gangguan jiwa (psikotik)
4. Alkohol
Cara pemakaiannya: diminum
a. Efek Setelah Pemakaian: meyebabkan mabuk, jalan sempoyongan, bicara
cadel, kekerasan/perbuatan merusak, ketidak mampuan belajar dan
mengingat, dan kecelakaan karena mengendarai dalam keadaan mabuk
b. Pemakaian jangka panjang: menyebabkan kerusakan pada hati, lambung,
saraf tepi, otak, gangguan jantung, meningkatnya resiko kanker, dan bayi
lahir cacat dari ibu pecandu alkohol
5. Golongan Amfetamin (Amfetamin, Ekstasi, Sabu)
Cara pemakaiannya: diminum (ekstasi), dihisap melalui hidung (sabu), atau
disuntikan dan dihisap memakai sedotan
Universitas Sumatera Utara
16
a. Pengaruh jangka pendek: tidak tidur (terjaga), rasa riang, perasaan
melambung (fly), rasa yaman, dan meningkatkan keakraban. Akan tetapi,
setelah itu, muncul rasa tidak enak, murung, nafsu makan hilang,
berkeringat, rahang kaku da bergerak-gerak, dan badan gemetar, dapat
terjadi gangguan jiwa
b. Pemakaian jangka panjang: kurang gizi, anemia, penyakit jantung, dan
gangguan jiwa psikotik
6. Golongan Halusinogen: Lysergic Acid (LSD)
Cara pemakaiannya: meletakanya pada lidah
Pengaruh LSD tidak dapat di duga. Sensasi dan perasaan berubah secara
dramatis, degan mengalami flash back atau bad rips (halusinasi/penglihatan
semu) berulang tanpa peringatan sebelumnya. Pupil melebar, tidak bisa tidur,
selera makan hilang, suhu tubuh meningkat, denyut nadi dan tekanan darah
naik, tremor, dapat merusak sel otak
7. Sedative dan hipnotika (obat penenang, obat tidur)
Cara pemakaiannya: diminum
a. Efek setelah pemakaian: muncul perasaan tenang dan otot-otot mengendur.
Pada dosis lebih besar gangguan bicara (pelo), persepsi terganggu, dan jalan
sempoyongan, dosis lebih tinggi: tertekannya pernapasan, koma, dan
kematian
Universitas Sumatera Utara
17
b. Pemakaian jangka panjang: kerusakan otak, paru-paru, ginjal, sumsum
tulang, dan jantung
8. Solven & Inhalansia
Cara pemakaiannya: dihirup/hisap
a. Efek jangka pendek: seperti pengaruh pemakain alkohol, dapat berakibat
mati mendadak karena kekurangan oksigen, atau karena ilusi, halusinasi,
dan persepsi salah
b. Pengaruh jangka panjang: kerusakan otak, paru-paru, ginjal, sumsum tulang,
dan jantung (Lydia & Satya, 2008).
2.1.5 Mekanisme Terjadinya Penyalahgunaan dan Ketergantungan
Naza (Narkotika, Alkohol, dan Zat adiktif)
Mekanisme terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan naza dapat
diterangkan
dengan
3
pendekatan,
yaitu
pendekatan
organobiologik,
psikodinamik, dan psikososial. Ketiga pendekatan tersebut tidak berdiri sendiri
melainkan saling berikatan satu sama lainnya.
1. Organobiologik
Dari sudut pandang organobiologik (susunan saraf pusat/otak) mekanisme
terjadinya adiksi (ketagihan) hingga dependensi (ketergantungan) naza dikenal
2 istilah, yaitu gangguan mental organik akibat naza atau sindrom otak organik
akibat naza yaitu kegaduh gelisahan dan kekacauan dalam fungsi kognitif
(alam pikiran),efektif (alam perasaan/emosi) dan psikomotor (prilaku), yang
disebabkan oleh efek langsung naza terhadap susunan saraf pusat (otak). Istilah
Universitas Sumatera Utara
18
lain adalah ganguan penggunaan naza termasuk didalamnya pengertian
penyalahgunaan naza atau ketergantungan naza, yang lebih banyak menyoroti
berbagai kelainan perilaku (behavior disorder) yang berkaitan dengan
penggunaan naza yang mempengaruhi susunan saraf pusat (otak).
Oleh karena itu di dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) kedua
pengertian tersebut diatas sering kali digabungkan menjadi satu kesatuan
diagnosis yang disebut dengan ganguan mental dan perilaku akibat naza.
Beberapa teori mengemukakan tetang proses terjadinya adiksi (ketagihan) dan
dependensi ( ketergantungan) pada penyalahgunaan naza, antara lain sebagai
berikut :
Wikler (1973) mengemukakan conditioning theory. Menurut teori ini
seseorang akan menjadi ketergantungan terhadap naza
apabila ia terus
menerus diberi naza tersebut. Hal ini sesuai dengan teori adaptasi selular
(neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan
sel-sel saraf bekerja keras. Jika naza dihentikan, sel yang masih bekerja keras
tadi mengalami kehausan, yang diluar nampak sebagai gejala putus naza.
Gejala putus naza ini memaksa seseorang untuk mengulangi pemakaian naza
tersebut, demikian seterusnya. Apabila naza dikonsumsi dengan cara ditelan,
diminum,dihisap, dihirup, dihidu dan melalui suntikan maka naza melalui
peredaran darah sampai susuunan saraf pusat (otak) yang mengganggu sistem
neuro-tansmitter sel-sel saraf otak. Akibat gangguan pada neuro-tansmitter itu
terjadilah gangguan mental dan perilaku akibat naza. Telah diketahui bahwa
mekasisme kerja naza pada susunan saraf pusat (otak) terletak pada reseptor
Universitas Sumatera Utara
19
melalui neuro-transmitter tadi, yaitu alat tubuh pada syaraf otak yang
menangkap naza tersebut agar naza itu mempunyai efek.
Joewana (1998) menyatakan bahwa kebanyakan naza berinteraksi
dengan cara yang khas pada tempat sasaran dalam suatu sistem biologik di
otak. Tempat itu dalam farmakologik disebut reseptor. Interaksi naza dan
reseptor biasanya bukan merupakan ikatan kovalen kimiawi, melainkan suatu
interaksi yang lebih lemah. Karena bentuk yang khusus dan muatan yang
spesifik, naza dapat terikat secara reversible (yang dapat balik kembali) pada
zat kimia spesifik pada reseptor. Dengan demikian, terjadi perubahan aktifitas
fisiologik reseptor tersebut. Reseptor dapat pula berupa enzim, yang dapat
diubah aktifitasnya oleh naza.
Reseptor dapat pula berupa membran sel sehingga dapat menghambat
atau memacu sel tersebut. Ada juga yang tidak bekerja melalui reseptor,
misalnya beberapa macam anestetika yang mengubah muatan listrik saraf
dengan melarutkan diri dalam lipo-protein membran sel. Hal tersebut akan
mengubah sifat psiko-kimia membran sel sehingga terjadi hambatan bila ada
eksitasi. Sebagai contoh misalnya opiat (morphine atau heroin). Reseptor opiat
terdapat pada hipotalamus dan sistem limbik otak bagian dalam, yaitu bagian
otak yang berkaitan dengan fungsi kognitif (alam fikir), efektif (alam
perasaan/emosi) dan perilaku. Sekurang-kurangnya ada 4 jenis reseptor opiat:
Universitas Sumatera Utara
20
a. Mu-reseptor, terutama mengikat morphine/heroin dan diduga ada kaitannya
dengan fungsi analgetik (penawar nyeri)
b. Gamma-reseptor,
yang
mengikat
enkafalin
dan
berperan
dalam
hubungannya dengan perilaku
c. Kappa-reseptor, secara spesifik mengikat ketosiklasosin dan dinorfin serta
ada hubungannya dengan efek sedasi dan ataxia
d. Delta-reseptor, mempunyai afinitas pada siklasosin, dan opiat yang mirip
siklasosin serta berhubungan dengan efek psikotomi-metik senyawa ini.
Peran faktor genetik dalam penyalahgunaan naza dikemukakan oleh Banks
dan Walter (1983), Kaplan dan Sadock (1989) yang menyatakan bahwa gen
berperan pada ketergantungan alkohol, tetapi untuk jenis zat-zat lainnya faktor
gen sebagai etiologi masih lemah.
Menurut, Edwards (1982) menyatakan bahwa secara umum contoh orang
tua (parental example) lebih penting dari pada gen (sifat turunan) orang tua
(parental genes). Dari studi kepustakaan dapat disimpulkan bahwa faktor
orgonobiologik mempunyai peran pada penyalahgunaan/ketergantungan naza.
Interaksi antara naza dengan reseptor di susunan saraf pusat (otak), perubahanperubahan neuro-psikologik pada sistem neuro-tansmitter pada reseptor yang
bersangkutan mengakibatkan terjadinya adiksi (ketagihan) sampai dengan
depedensi (ketergantungan) naza. peran faktor genetika pada ketergantungan naza
belum bisa dibuktikan kecuali artinya, bila orang tua seorang alkoholik maka anak
yang dilahirkan sudah membawa sifat untuk menjadi seorang alkoholik
dikemudian hari (Hawari, 2006).
Universitas Sumatera Utara
21
2. Psikodinamik
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990) menyatakan bahwa
seseorang akan
terlibat
penyalahgunaan
naza
dan
dapat
sampai
pada
ketergantungan naza, apabila pada orang itu sudah ada faktor predisposisi, yaitu
faktor yang membuat seseorang cendrung menyalahgunakan naza. Adanya faktor
predisposisi ini saja belum cukup sehingga diperlukan faktor lain yang berperan
serta pada penyalahgunaan/ketergantungan naza, yaitu faktor kontribusi. Bila
faktor predisposisi dan kontribusi ini sudah ada, diperlukan satu faktor lagi yang
mendorong terjadinya penyalahgunaan atau ketergantungan naza tadi, yaitu faktor
pencetus. Dalam penelitian tersebut yang termasuk dalam faktor predisposisi
adalah ganguan kejiwaan yaitu gangguan kepribadian (antisosial), kecemasan dan
depresi.
Sedangkan yang termasuk faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang
terdiri dari tiga komponen yaitu keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, dan
hubungan interpersonal antar keluarga. Dan termasuk faktor pencetus adalah
pengaruh teman kelompok sebaya dan nazanya itu sendiri.
3. Psikososial
Penyalahgunaan/ketergantungan naza adalah salah satu bentuk perilaku
menyimpang. Dari sudut pandang psikososial perilaku menyimpang ini akibat
negatif dari interaksi 3 kutup sosial yang tidak kondusif (tidak mendukung ke arah
positif) yaitu kutup keluarga, kutup sekolah/kampus, dan kutup masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
22
Secara
sistematis
terjadi
perilaku
menyimpang
yang
berakibat
pada
penyalahgunaan dan ketergantungan naza(Hawari, 2006).
2.1.6 Cara Kerja Narkoba
Narkoba yang ditelan masuk ke dalam lambung, kemudian masuk
kepembuluh darah. Jika dihisap atau dihirup, zat diserap masuk ke dalam
pembuluh darah melalui saluran hidung dan paru-paru. Jika zat disuntikkan, zat
itu ke otak. Semua jenis narkoba dapat mengubah perasaan
dan cara berfikir
seseorang, tergantung pada jenisnya, narkoba menyebabkan perubahan pada
suasana hati (menenangkan, rileks, gembira, rasa bebas), perubahan pada pikiran
(stress
hilang,
meningkatnya
khayal),
perubahan
prilaku
(meningkatkan
keakraban, menghambat nilai, lepas kendali) itulah narkoba disebut zat psikoaktif.
perasa nikmat, enak, dan nyaman yang dihasilkan oleh narkoba itulah yang
awalnya di cari oleh pemakai.
Bagian otak yang menghasilkan perasaan tersebut adalah system limbus.
Hipotalamus, adalah
pusat kenikmatan pada otak bagian dari system limbus.
Narkoba menghasilkan perasaan “high” dengan mengubah susunan biokimiawi
molekul sel otak pada system limbus, yang disebut neuro-transmitter. Yang
terjadi pada adiksi adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada hipotalamus
(pusat kenikmatan) jika kita mengkonsumsi narkoba, otak membaca tanggapan
kita.
Jika
mmerasa
nikmat,
otak
mengeluarkan
neurotransmitter
yang
menyampaikan pesan: “Zat ini berguna bagi mekanisme pertahanan tubuh jadi
ulangi pemakaian.
Jika memakai narkoba lagi, kita kembali merasa nikmat,
seolah-olah kebutuhan kita terpuaskan.
Universitas Sumatera Utara
23
Otak akan merekamnya sebagai suatu yang harus di cari sebagi prioritas.
Akibatny,
otak
membuat
“program
salah”,
seolah-olah
kita
memang
memerlukanya sebagai mekanisme pertahanan diri. Terjadilah kecanduan dan
ketergantungan (Matono & Joewana, 2008). Jika terjadi ketagihan dan
ketergantungan, Apabila yang bersangkutan menghentikannya, maka ia dapat
jatuh dalam keadaan kecemasan dan atau depresi (Hawari, 2013).
2.2 Ansietas (cemas)
2.2.1 Pengertian
Ansietas atau kecemasan adalah respons emosi tanpa obyek yang spesifik
sehingga klien merasakan suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk
akan terjadi dan biasanya disertai gejala-gejala otonomik yang berlangsung
beberapa hari, bulan bahkan tahun (Sumiati DKK, 2009). Cemas merupakan suatu
reaksi emosional yang timbul oleh penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik
yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa terancam (Stuart,
2007).
Universitas Sumatera Utara
24
Cemas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh
situasi. Kecemasan merupakan sekolompok kondisi yang memberi gambaran
penting tentang kecemasan yang berlebihan yang disertai respon perilaku,
emosional dan fisiologis individu (Videbeck, 2011). Kecemasan adalah
kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan
tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang
spesifik. Ansietas adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak
dapat dibenarkan yang disertai gejala fisiologis, sedangkan pada gangguan
ansietas terkandung unsur penderitaan yang bermakna dan gangguan fungsi yang
disebabkan oleh kecemasan tersebut (Stuart, 2007 dalam Herman 2011).
Kecemasan adalah gangguan dalam alam perasaan yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian utuh, prilaku dapat
terganggu tetapi dalam batas-batas normal. Orang yang mengalami kecemasan
mempunyai resiko relatif (estimated relative risk) 13,8 terlibat penyalah gunaan
NAZA di bandingkan dengan orang tanpa kecemasan (Hawari, 2006).
Kecemasan yang terjadi merupakan respon terhadap sesuatu atau hal yang
telah terjadi di waktu lampau ataupun yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Semakin besar ancaman yang dirasakan, maka kecemasan yang terjadi pun
semakin
besar.
Orang-orang
yang
membutuhkan
kontrol,
kemungkinan
mengalami kecemasan lebih besar. Respon terhadap kecemasan bervariasi pada
setiap individu. Respon bisa berupa adaptive yang mana kecemasan bisa menjadi
Universitas Sumatera Utara
25
motivasi kuat yang menjadi pemicu problem solving yang produktif dan
berprestasi. Respon terhadap kecemasan bisa juga berupa maladaptive yang mana
kecemasan tidak membantu menyelesaikan permasalahan yang ada, malah
memperburuk keadaan dan membuat seseorang terpuruk. Dari penjabaran diatas
dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan perasaan gelisah atau ketakutan
akan sesuatu yang merupakan respon dari ancaman yang mengganggu nilai,
kenyamanan dan keamanan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar yang
dapat mempengaruhi keadaan fisik maupun psikologis seseorang, dimana respon
terhadap kecemasan ini bisa berupa adaptive ataupun maladaptive tergantung dari
latar belakang dan respon seseorang menghadapi ancaman.
2.2.2 Tingkat kecemasan
Tingkatan ansietas menurut Stuart (2007), dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Ansieta ringan; berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari,
ansietas pada tingkat ini menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
b. Ansietas sedang; memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami tidak
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih banyak jika
diberi arahan.
c. Ansietas berat; sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Individu
cenderung untuk berfokus pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak
dapat berpikir tentang yang lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
Universitas Sumatera Utara
26
ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
berfokus pada suatu area lain.
d. Tingkat panik; dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan
teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik
tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik
melibatkan disorganisasi kepribadian dan terjadi peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional.
Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung
terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan bahkan kematian.
2.2.3 Rentang Respon Ansietas/Cemas
Menurut Stuart (2007), rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi
antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah
antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang
mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah panik dimana
individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi
sehingga mengalami gangguan fisik, perilaku maupun kognitif.
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Universitas Sumatera Utara
27
Antisipasi
Ringan
Sedang
Berat
Panik
Gambar : Rentang Respon Kecemasan
Orang sering mengatakan stres ketika mereka merasa cemas, banyak juga
yang mengalami sters ketika mengalami pertukaran antara kejadian atau situasi
yang menyebabkan ketidaknyaman tersebut, baik dari perasaan yang dihasilkan,
pikiran, dan tingkah laku yang timbul. Secara ilmiah stressor dan reaksinya adalah
respon yang berbeda. Perbedaan ini penting karena stressor tidak dapat disamakan
dengan gangguan kecemasan (Fortinash& Worret, 2003). Semua respon terhadap
kecemasan dipertimbangkan sebagai respon adaptif dalam interpretasi yang luas
karena semua respon tersebut menimbulkan tekanan dan ketidaknyamanan yang
menyebabkan kecemasan, respon tersebut dianggap tidak berbahaya dan dapat
diterima (Fortinash& Worret, 2003).
Menurut Fortinash& Worret (2003), kecemasan menimbulkan dua respon,
yaitu respon adaptif dan maladaptif.
a. Respon Adaptif
Jika kecemasan timbul dan individu mampu meregulasi dan mengatur
kecemasan, hal yang positif mungkin akan timbul.
Tidak semua kecemasan merugikan namun, hal itu bisa menjadi
tantangan, kekuatan, faktor motivasi, untuk memecahkan sebuah masalah,
Universitas Sumatera Utara
28
resolusi konflik dan pencapaian fungsi level yang lebih tinggih. Contohnya
seseorang dengan pekerjaan yang buruk dan pengalaman cemas yang tidak bisa
dihindari akan membuat individu tersebut kembali mempelajari sesuatu yang
baru. Seorang pelajar yang gagal dari ujian karena kurang belajar akan
mengalami ancaman terhadap hilangnya harga diri sebagai pelajar, dukungan
dan hal tersebut menyebabkan kecemasan. Seorang motivator dapat membantu
pelajar tersebut untuk mendapatkan bimbingan dan konsentrasi yang lebih
untuk melewati ujian.
Strategi adaptif lainnya yang digunakan orang-orang untuk mengatasi
kecemasan
adalah
memanggil
teman
atau
terapis,
berolah
raga,
memperaktekkan teknik relaksasi, membaca novel, beristirahat atau menangis
sebagai pelampiasaannya. Banyak lagi metode koping yang lainnya digunakan
untuk melepaskan ketegangan dan mengurangi kecemasan.
b. Respon maladaptif
Kebiasaan sehari-hari dapat melindungi orang dari kecemasan, bertahan dari
ancaman dan memberi kenyamanan bisa mengarah pada pola respon
maladaptif, yang dapat menunjukkan gejala fisik dan psikologis baik dalam
lingkungan individu, sosial dan gangguan pekerjaan. Contohnya mekanisme
ego
untuk
denial
(menolak),
represion
(mengabaikan),
projection
(menyalahkan orang lain) dan rationalization (memberikan penjelasan)
mencari kebenaran akan melindungi seseorang dari kecemasan tetapi juga
mencegah penilaian yang sebenarnya dari diri sendiri, orang lain, situasi atau
kejadian.
Universitas Sumatera Utara
29
Ketika kecemasan tidak dapat diatur, individu mungkin akan dikatan
mengalami gangguan atau ketidaknormalan dari orang lain. Pola koping
maladaptif dari kecemasan termasuk didalamnya adalah tingkah agresif, isolasi
(menerik diri), makan dan minum secara berlebih. Respon-respon dari
gangguan kecemasan tersebut dikatakan sebagai gangguan kecemasan.
2.2.4 Penyebab Ansietas
Menjelaskan tentang ansietas, pertama faktor predisposisi terdiri dari
pandangan psikoanalitik yaitu ansietas adalah konflik emosi yang terjadi antara
dua elemen kepribadian Id dan Super Ego. Id mewakili dorongan insting dan
implus primitif, sedang super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan
dikendalikan oleh norma budaya seseorang. Ego atau aku berfungsi menengahi
tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah
mengingatkan ego bahwa ada bahaya yang perlu di atasi.
Pandangan Interpersonal yaitu ansietas timbul dari perasaan takut dari
tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas berhubungan
dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang
menimbulkan kelemahan fisik. Orang yang mengalami harga diri rendah biasanya
sangat mudah mengalami perkembangan ansietas (Stuart & Sundeen, 2007).
Pandangan Perilaku yaitu ansietas merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu
yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Para ahli perilaku menganggap ansietas sebagai dorongan belajar berdasarkan
keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Individu yang sejak kecil
terbiasa dalam kehidupannya dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan akan
Universitas Sumatera Utara
30
menunjukkan kemungkinan ansietas berat pada kehidupan masa dewasanya.
Kajian Keluarga yaitu ansietas merupakan hal yang bisa ditemui dalam keluarga.
Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas
dengan depresi (Stuart & Sundeen, 2007).
Kajian
Biologis
yaitu
otak
mengandung
reseptor
khusus
untuk
benzodiazepine. Reseptor ini membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA
(Gamma Amino Butyfic Acid) juga berperan utama dalam mekanisme biologis
berhubungan dengan ansietas. Kajian biologis yaitu menunjukkan bahwa otak
mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin
membantu
mengatur
ansietas.
Penghambat
asam
amino
buturat-
gamaneuroregulator (GABA) juga mempunyai peran penting dalam mekanisme
biologis berhubungan dengan ansietas, sebagaimana halnya umum seseorang
mempunyai akibat nyata sebgai predisposisi terhadap ansietas.
Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik selanjutnya menurunkan
kapasitas seseorang untuk mengatasi stresor (Stuart & Sundeen, 2007). Kedua
faktor presipitasi, faktor presipitasi dibedakan menjadi ancaman terhadap
integritas; seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau
menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Ancaman
terhadap sistem diri; seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan
fungsi sosial yang terintegrasi seseorang (Herman, 2011).
Mekanisme terjadinya cemas yaitu psikoneuro imunologi atau psikoneuro
endokrinologi. Stresor psikologis yang menyebabkan cemas adalah perkawinan,
orangtua, antar pribadi, pekerjaan, lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan,
Universitas Sumatera Utara
31
penyakit fisik, faktor keluarga, dan trauma. Akan tetapi tidak semua orang yang
mengalami stressor psikososial akan mengalami gangguan cemas hal ini
tergantung pada struktur perkembangan kepribadian diri seseorang (Hawari,
2013).
Menurut Sumiati DKK ( 2009), Ansietas dapat disebabkan karena adanya
perasaan takut tidak diterima dalam satu lingkungan tertentu, pengalaman
traumatis, seperti trauma akan perpisahan, kehilangan atau bencana, adanya rasa
frustasi akibat kegagalan dalam mencapai tujuan, ancaman terhadap integrtas diri,
meliputi ketidak mampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar,
dan adanya ancaman terhadap konsep diri.
2.2.5 Faktor yang mempengaruhi kecemasan
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan (Stuart &
Laraia, 2007).
a. Usia dan tingkat perkembangan
Semakin tua usia seseorang atau semakin tinggi tingkat perkembangan
seseorang maka semakin banyak pengalaman hidup yang dimilikinya.
Pengalaman hidup yang banyak itu dapat mengurangi kecemasan.
b. Jeni kelamin
Kecemasan dapat dipengaruhi oleh asam lemak bebas dalam tubuh. Pria
mempunyai asam lemak bebas lebih banyak dibandingkan wanita sehingga pria
beresiko mengalami kecemasan yang lebih tinggi dari pada wanita.
c. Pendidikan
Universitas Sumatera Utara
32
Seorang yang berpendidikan tinggi akan menggunakan koping lebih baik
sehingga memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan
yang berpendidikan rendah. Dengan adanya beasiswa bagi mahasiswa yang
berprestasi ini bisa menjadikan mahasiswa semakin baik dalam kegiatan
belajar, jadi dengan demikian beasiswa tersebut bisa menjadi sistem
pendukung bagi mahasiswa untuk lebih baik dalam belajar, sehingga
mahasiswa akan berpikir positif.
d. Sistem Pendukung
Sistem pendukung merupakan suatu kesatuan antara individu, keluarga,
lingkungan dan masyarakat sekitar yang memberikan pengaruh individu
melakukan
sesuatu.
Sistem
pendukung
tersebut
akan
mempengaruhi
mekanisme koping individu sehingga mampu memberi gambaran kecemasan
yang berbeda.
2.2.6 Tanda Dan Gejala
A. Tanda dan gejala ansietas menurut tingkatnya
1.
Ansietas ringan
Respon fisiologis: sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat,
gangguan ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar; respons
kognitif: lapang persepsi meluas, mampu menerima rangsang yang kompleks,
konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif; respon prilaku
dan emosi: tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadangkadang meninggi.
2. Ansietas sedang
Universitas Sumatera Utara
33
Respon fisiologis: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah meninggkat,
mulut kering, anorexia, diare/konstipasi; respons kognitif: lapang persepsi
menyempit, tidak mampu menerima rangsa dari luar, berfokus pada apa yang
menjadi perhatiannya; respon prilaku dan emosi: gerakan tersentak/meremas
tangan, bicara bayak dan cepat, insomnia, perasaan tidak aman, gelisah.
3. Ansietas berat
Respon fisiologis: nafas pendek, nadi dan tekanan darah meninggkat,
berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, ketegangan; respons kognitif:
lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah; respon
prilaku dan emosi: Perasaan adanya ancaman meningkat, verbalisasi
meningkat, bloking.
4. Panik
Respon fisiologis: nafas pendek, nadi dan tekanan darah meninggkat, aktivitas
matorik meningkat, ketegangan; respons kognitif: lapang persepsi sangat
sempit, kehilangan pemikiran yang rasional, tidak dapat melakukan apa-apa
walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan; respon prilaku dan emosi:
perasaan adanya ancaman meningkat, menurunya berhubungan dengan orang
lain, tidak dapat mengendalikan diri (Sumiati DKK, 2009).
A. Secara klinis, gejala kecemasan dibagi dalam beberapa kelompok yaitu:
1. Gangguan cemas (anxiety disorder)
Keluhan-keluhan yang sering kali dikemukakan oleh orang yang mengalami
gangguan kecemasan antara lain; Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan
pikirannya sendiri, mudah tersinggung; merasa tegang, tidak tenang,
Universitas Sumatera Utara
34
gelisah, mudah terkejut; takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak
orang; gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan; gangguan
konsentrasi dan daya ingat; serta adanya keluhan-keluhan somatik, misalnya
rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebardebar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit
kepala dan lain sebagainya (Hawari, 2013).
2. Gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder)
Secara klinis selain gejala cemas yang biasa, disertai dengan kecemasan
yang menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung selama 1 bulan)
dengan manifestasi 3 dari 4 kategori berikut ini: Ketegangan motorik/alat
gerak seperti gemetar, tegang, nyeri otot, letih, tidak dapat santai, kelopak
mata bergetar, kening berkerut, muka tegang, gelisah, tidak dapat diam dan
mudah kaget;
hiperaktivitas saraf autonom (simpatis/parasimpatis) seperti berkeringat
berlebihan, jantung berdebar debar, rasa dingin, telapak tangan/ kaki basah,
mulut kering, mudah pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual,
sering buang air seni, diare, rasa tidak enak di ulu hati, muka merah atau
pucat dan denyut nadi dan nafas yang cepat waktu istirahat; rasa khawatir
berlebihan tentang hal-hal yang akan datang (apprehensive expectation)
seperti cemas, berpikir berulang, membanyangkan akan datangnya
kemalangan terhadap dirinya atau orang lain; kewaspadaan berlebihan
seperti mengganti lingkungan secara berlebihan sehingga mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
35
perhatian mudah teralih, sukar konsentrasi, sukar tidur, merasa nyeri, mudah
tersinggung dan tidak sabar (Hawari, 2013).
3. Gangguan Panik
Gejala-gejala yang muncul seperti sesak nafas, jantung berdebar-debar,
nyeri atau rasa tak enak di dada, rasa tercecik atau sesak, pusing, vertigo
(penglihatan berputar-putar), perasaan melayang, perasaan seakan-akan diri
atau lingkungan tidak realistik, kesemutan, rasa aliran panas atau dingin,
berkeringat banyak, rasa akan pingsan, menggigil atau gemetar dan merasa
takut mati, takut menjadi gila atau khawatir akan melakukan suatu tindakan
secara tidak terkendali selama berlangsungnya serangan panik (Hawari,
2013).
4. Gangguan Phobik
Gangguan phobik adalah salah satu bentuk kecemasan yang didominasi oleh
gangguan alam pikir. Phobia adalah ketakutan yang menetap dan tidak
rasional terhadap suatu obyek, aktivitas atau situasi tertentu, yang
menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk menghidarinya. Rasa
ketakutan itu disadari oleh orang yang bersangkutan sebagai suatu ketakutan
yang berlebihan dan tidak masuk akal, namun ia tidak mampu mengatasinya
(Hawari, 2013).
5. Gangguan obsesif-kompulsif
Universitas Sumatera Utara
36
Obsesi adalah suatu bentuk kecemasan yang di dominasi oleh pikiran yang
terpaku dan mulai berulang kali muncul. Sedangkan kompulsi adalah
perubahan yang dilakukan berulang-ulang sebagai konsekuensi dari pikiran
yang bercorak obsesif tadi.
Contoh sederhana yaitu:
1. Orang yang mencuci tangannya berkali-kali (repeatedhand wishing).
2. Orang yang mencuci pintu berulang kali dalam bahasa awam gangguan
ini sering kali di sebut sebagai penyakit was-was (Hawari, 2013).
2.2.7 Skala Kecemasan Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A)
Menurut Hawari (2013), kecemasan dapat diukur dengan alat ukur
kecemasan yang disebut HRS-A (Hamilton Rating Scale For Anxiety
HASR
). Skala
merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya
simtom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HRS-A
terdapat 14 simptom yang Nampak pada individu yang mengalami kecemasan.
Setiap item yang diobservasi diberi lima tingkatan skor antara 0 sampai dengan 4.
Skala HASR pertama kali digunakan pada tahun 1959 yang diperkenalkan oleh
Max Hamilton.
Skala Hamilton Rating Scale For Anxiety
(HRS-A) dalam penilaian
kecemasan terdiri dari 14 item, meliputi:
1. Perasaan cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.
Universitas Sumatera Utara
37
2. Merasa tegang, gelisah, gemetar, lesu, mudah menangis, mudah terganggu dan
lesu.
3. Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan
takut pada binatang besar.
4. Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak
pulas dan mimpi buruk.
5. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit
konsentrasi.
6. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hoby,
sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
7. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak
stabil dan kedutan otot.
8. Gejala sensorik: perasan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan
pucat serta merasa lemah.
9. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan
detak jantung hilang sekejap.
10. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik
napas panjang dan merasa napas pendek.
11. Gejala Gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual
dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di
perut.
12. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing, aminorea,
ereksi lemah atau impotensi.
Universitas Sumatera Utara
38
13. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma
berdiri, pusing atau sakit kepala.
14. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi
atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat.
2.2.8 Cara Penilaian Kategori Dan Skor Dengan Hamilton Rating Scale For
Anxiety (HRS-A) (Hawari, 2013)
A. Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan
kategori:
0 = Tidak ada gejala sama sekali
1 = Ringan / Satu dari gejala yang ada
2 = Sedang / separuh dari gejala yang ada
3 = Berat / lebih dari ½ gejala yang ada
4 = Berat sekali / semua gejala ada
B. Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan
item 1-14 dengan hasil:
a. Skor < 14
: Tidak ada kecemasan.
b. Skor 14 – 20 : Kecemasan ringan.
c. Skor 21 – 27 : Kecemasan sedang.
d. Skor 28 – 41 : Kecemasan berat.
e. Skor 42 – 56 : Kecemasan berat sekali.
Universitas Sumatera Utara
39
Hawari (2013), mengatakan bahwa seseorang akan menderita gangguan
cemas manakala yang bersangkutan tidak mampu mengatasi stresor yang
dihadapinya. Adapun tipe keperibadian pencemas antara lain: Cemas, khawatir,
tidak tenang, ragu dan bimbang; memandang masa depan dengan rasa was-was
(khawatir); kurang percaya diri, gugup apabila tampil di depan umum (demam
panggung); sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain; tidak suka
mengalah, suka “ngotot”, gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk,
gelisah; sering Kali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir
berlebihan terhadap penyakit; mudah tersinggung, suka membesar-besarkan
masalah yang kecil (dramatisasi); dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa
bimbang dan ragu; bila mengemukakan sesuatu atau bertanya sering kali diulangulang; kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris.
2.3 Rehabilitasi.
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan nonmedis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna
NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan
fungsional seoptimal mungkin. (Dalley, 2001).
Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya
orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini.
Universitas Sumatera Utara
40
Rehabilitasi narkoba adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan
dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkoba (Soeparman, 2000).
Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu :
1. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
2. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu,
baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat
kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pusat atau Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi persyaratan
antara lain :
a. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi, kamar
mandi/WC yang higienis, makanan dan minuman yang bergizi dan halal,
ruang kelas,
ruang rekreasi, ruang konsultasi
individual
maupun
kelompok, ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga,
ruang ketrampilan dan lain sebagainya; Tenaga
yang
profesional
(psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja sosial, perawat, agamawan
dan tenaga ahli lainnya/instruktur). Tenaga profesional ini untuk
menjalankan
program
Kurikulum/program
yang
rehabilitasi
terkait;
yang
Manajemen
memadai
yang
sesuai
baik;
dengan
kebutuhan; Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi
pelanggaran ataupun kekerasan; Keamanan (security) yang ketat agar
Universitas Sumatera Utara
41
tidak memungkinkan peredaran NAZA di
dalam
pusat
rehabilitasi
(termasuk rokok dan minuman keras) (Hawari, 2009).
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.04 Tahun 2010 tentang
Penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika ke
dalam
lembaga
rehabilitasi
medis
dan
rehabilitasi
sosial,
untuk
menjatuhkanlamanya proses rehabilitasi, sehingga wajib diperlukan adanya
keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah
sebagai berikut :
a. Program Detoksifikasi dan Stabilisasi
: lamanya 1 (satu) bulan
b. Program Primer
: lamanya 6 (enam) bulan
c. Program Re‐Entry : lamanya 6 (enam) bulan
2.3.1 METODE TERAPI KOMUNITAS (THERAPEUTIC COMMUNITY)
2.3.1.1 Pengertian Terapi Komunitas
Terapi Komunitas adalah grup atau sekelompok orang yang memiliki
prinsip interpersonal yang cukup tinggi, sehingga mampu mendorong orang lain
untuk belajar berinteraksi di suatu komunitas. Terapi komunitas terdiri dari staf
yang pernah mengalami rasa sakit dan memiliki perilaku yang timbul akibat
ketergantungan narkoba, namun telah mampu dan mengetahui cara mengatasinya
(Leon, 200:27) serta telah melalui pendidikan dan pelatihan khusus yang
memenuhi syarat dan konselor.
Universitas Sumatera Utara
42
Tenaga professional hanya sebagai konsultan saja. Di lingkungan khusus
ini pasien dilatih ketrampilan mengelola waktu dan perilaku secara efektif serta
kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengonsumsi
narkoba. Dalam komunitas ini semua aktif dalam proses terapi (Depkes,
2000).
Konsep Therapeutic Community yaitu menolong diri sendiri, dapat
dilakukan dengan adanya keyakinan bahwa:
1. Setiap orang bisa berubah
2. Kelompok bisa mendukung untuk berubah
3. Setiap individu harus bertanggung jawab
4. Program terstruktur dapat menyediakan lingkungan aman dan kondusif bagi
perubahan
5. Adanya partisipasi aktif (Winanti, 2008).
2.3.1.2 Program Terapi Komunitas
Pelaksanaan program disusun untuk membuat
residen
terlibat
secara penuh dalam setiap kegiatan, sesuai dengan job function nya masingmasing. Kedudukan
petugas
hanya
sebagai
pengawas,
program. Kategori struktur program utama dari
yang mengawasi
Therapeutic Community,
terdiri dari 4 (empat):
a. Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku)
Universitas Sumatera Utara
43
Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola
kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai,
norma-norma kehidupan masyarakat.
b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi) Perubahan
perilaku
yang
diarahkan
pada
peningkatan
kemampuan penyesuaian
diri secara emosional dan psikologis.
c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan,
nilai-nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan
mengatasi tugas-tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum
terselesaikan
d. Vocational and survival (Keterampilan kerja dan keterampilan bersosial
serta bertahan hidup)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan
keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas
sehari-hari maupun masalah dalam kehidupannya (Winarti, 2008).
Fase penanganan progam Therapeutic Community (TC) menurut
Perfas (2003) terdiri atas 5 tahap, yaitu :
1. Entry / Orientation Phase
Perkiraan waktu 2 sampai 4 minggu
Tahap awal berupa orientasi terhadap aturan, norma, ritual dan tugas di
TC. Pengenalan terhadap komunitas dan staf pegawai. Kegiatan yang
Universitas Sumatera Utara
44
dilakukan berupa pekerjaan sederhana dan mudah sehingga tidak perlu
mengambil keputusan penting, tetapi perlu pengawasan tingkat tinggi.
2. Core Treatment Phase
Perkiraan waktu antara 3 - 6 bulan
Belajar untuk mengidentifikasi isu-isu klinis atau pengobatan misalnya
psikologis, sosial atau keluarga, kesehatan, pendidikan, pelatihan, dll.
Pengelolaan emosi dan belajar ekspresi perasaan yang tepat dalam kelompok
dan bentuk lain dari konseling. Selain
dan mengungkapkan
itu praktek dalam mengartikulasikan
masalah kritis kehidupan atau masalah pribadi yang
belum terselesaikan dalam sesi kelompok atau sesi pribadi (2003:100).
3. Pre-Reentry Phase
Perkiraan waktu antara 2-3 bulan
Pada tahap ini fokus terhadap pengejaran karier, pendidikan dan kegiatan
produktif lainnya yang meningkatkan kemandirian,
resosialisasi secara bertahap untuk persiapan
sebagai
wujud
kegiatan di luar TC. Proses
Internalisasi yang baru untuk memperoleh norma, nilai-nilai pribadi dan gaya
hidup bebas narkoba. Keberhasilan dari proses ini perlu melibatkan peran
manajerial dan pengawasan.
4. Reentry Phase
Perkiraan waktu antara 2-6 bulan
Dalam usaha pengembalian diri ke masyarakat di luar kehidupan komunitas,
maka perlu belajar untuk menangani isu-isi jika terjadi kekambuhan
dan
menemukan gaya hidup yang stabil. Oleh karena itu perlu dukungan dari
Universitas Sumatera Utara
45
keluarga, teman, komunitas, dll. Melatih kemampuan dengan gaya hidup baru
seperti mengelola uang, manajemen waktu, manajemen stress, kesehatan dan
praktek seks yang aman.
5. Aftercare Phase
Perkiraan waktu antara 6-12 bulan
Melakukan kunjungan ke komunitas TC untuk berhubungan kembali dengan
komunitas atau memberi waktu pribadi sebagai pembicara atau fasilitator dari
kelompok-kelompok khusus dalam upaya mempertahankan gaya hidup bebas
dari narkoba
2.3.1.3 Kegiatan Terapi Komunitas
Menurut Leon, prinsip terapi yang dilakukan dengan metode Terapi
Komunitas
dilaksanakan
(Therapeutic
secara
rutin
Community)
dan
teratur.
berupa
kegiatan–kegiatan
Adapun
kegiatan
yang
yang
rutin
dilakukan,yaitu:
1. Perbaikan Perilaku Sehari-hari (Behavior Management)
Setiap hari, residen diharuskan beraktivitas mengikuti jadwal yang telah
ditentukan, kecuali ada kendala seperti residen dalam keadaan sakit. Setiap
kegiatan sudah dijadwal secara padat dan teratur. Tujuannya agar pasien diberi
kesibukan sehingga tidak memiliki waktu untuk berdiam diri dan berkhayal.
Semua aktivitas dilakukan secara bersama – sama, antara para kedisiplinan dan
rasa kebersamaan dalam suatu komunitas.
2. Pertemuan
Pada terapi komunitas pertemuan berdasarkan tujuannya, dibedakan
Universitas Sumatera Utara
46
menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
a. Morning Meeting
Kegiatan yang bersifat formal dilakukan pada pagi hari, sesudah makan,
selama
30-45 menit. Kegiatan ini diikuti oleh staf dan residen dengan
mengenakan pakaian formal dan bersepatu, kemudian mengucapkan moto
hidup dari terapi komunitas agar memberi semangat dan bebas dari
ketergantungan narkoba. Tujuan kegiatan ini yaitu mempengaruhi aspek
psikologi, dengan mengawali hari dengan baik,
keakraban
dan
persaudaraan
meningkatkan
rasa
dalam komunitas dan yang terutama adalah
memotivasi agar aktivitas sepanjang hari dapat berlangsung dengan baik
(Leon, 2000).
b. Seminar
Pertemuan formal
yang dilakukan setiap sore selama 60-90 menit.
Kegiatan seminar dilakukan untuk mengasah kemampuan mendengarkan,
berbicara dan memperhatikan. Pada kegiatan ini pasien diberi kesempatan
untuk
mengungkapkan
pendapat
secara bebas sehingga merangsang
kemampuan berkomunikasi. Tujuan seminar adalah sebagai stimulasi
intelektual, yaitu merangsang kreatifitas untuk memberi ide dan tanggapan
terhadap hal-hal yang baru, dan membentuk pola berpikir yang benar dan
sarana berinteraksi sosial serta merupakan pastisipasi aktif dalam kegiatan
berkomunikasi. Penataan ruang biasanya disusun seperti susunan ruang
kelas agar terkesan formal (Leon, 2000).
c. House Meeting
Universitas Sumatera Utara
47
Pertemuan informal yang dilakukan setiap malam hari, setelah makan malam.
Sifat pertemuan lebih akrab. Lama pertemuan sekitar 45-60 menit.
Situasi
pada saat pertemuan adalah pasien dalam keadaan santai, duduk tenang,
pasif
atau
cenderung
mendengarkan.
Tujuan house meeting adalah
mengevaluasi semua kegiatan yang telah dilakukan
sepanjang hari, baik
yang positif maupun yang negatif (Leon, 2000 : 256).
d. General Meeting
Pertemuan
ini bersifat santai namun kekeluargaan. Lama pertemuan tidak
ditentukan. Tujuanya merayakan hal-hal yang membaanggakan atas
residen
sehingga
memotivasi
dan
prestasi
meningkatkan kesadaran untuk
berperilaku positif.. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri merupakan
bagian yang sangat berarti bagi proses kesembuhan ( Leon, 2000).
3. Permainan
Berbagai permainan yang dapat meningkatkan kemampuan bekerja sama
dalam kelompok, mengasah kreativitas dan intelektual, mengembangkan
kemampuan untuk mengungapkan pendapat dan lain-lain.
4. Ibadah
Perbaikan mental spiritual sangat dibutuhkan oleh pasien. Memiliki hubungan
yang dekat dengan Tuhan dapat membantu pasien dalam mengendalikan
perilaku dan pola berpikir. Beribadah secara rutin akan dapat membantu proses
penyembuhan. Kegiatan beribadah dilakukan bersama-sama.
Universitas Sumatera Utara
48
5. Ketrampilan untuk bertahan mandiri lepas dari ketergantungan dengan
narkoba (Vocational/Survival Skill)
Pelatihan yang diberikan untuk mampu bertahan mandiri lepas dari
ketergantungan narkoba dengan pemberian tugas secara bertahap mulai
dari yang mudah hingga kompleks dan menuntut tanggung jawab dari
setiap individu. Pelatihan kepemimpinan dan penerapannya di lingkungan
komunitas, meliputi evaluasi dan pengambilan keputusan yang telah dibuat
dalam komunitas.
.3.2. STANDAR PELAYANAN REHABILITASI NARKOBA
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Buku Standar Pelayan
dan Rehabilitasi Sosial. Kegiatan
korban
pelayanan
dan
rehabilitasi
sosial
bagi
penyalahguna narkoba dilaksanakan dengan tahap yang baku / standar,
meliputi:
Minimal Terapi Medik Ketergantungan Narkotika, Psikotropika, dan Bahan
Aditif Lainnya, terbitan tahun 2003 perlu adanya standar pelayanan minimal
diperlukan
sebagai
panduan
bagi
pemerintah
dan
masyarakat
dalam
penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban narkoba secara lebih profesional.
Aspek-aspek yang harus distandarisasi adalah :
1. Legalitas Institusi Pengelola.
Institusi pengelola pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan
narkoba wajib mempunyai legalitas. Sebuah panti pelayanan dan rehabilitasi
sosial korban narkoba tercatat di instansi sosial terkait (Dinas Sosial setempat,
Universitas Sumatera Utara
49
Departemen Sosial R.I), mempunyai struktur organisasi, anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga (AD/ART) dan akte notaris.
2. Pemenuhan Kebutuhan Klien/Residen
Kebutuhan pokok klien/residen dipenuhi oleh pengelola panti pelaksana
pelayanan dan rehabilitasi sosila, dengan mempertimbangkan kelayakan dan
proporsionalitas. Kebutuhan yang harus dipenuhi adalah: Makan 3 kali sehari
ditambah dengan makanan tambahan (bubur kacanghijau, dan sebagainya,
dengan mempertimbangkan kecukupan gizi dengan menu gizi seimbang;
Pelayanan kesehatan, untuk pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan dengan
kerjasama Puskesmas, dokter praktek, dan rumah sakit setempat yang
menguasai masalah penyalahgunaan narkoba; Pelayanan rekreasional, dalam
bentuk penyediaan pesawat
televisi, alat musik sederhana,di tempat terbuka,
dan lain.
1) Pendekatan Awal
Pendekatan awal adalah kegiatan
yang mengawali keseluruhan proses
pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan dengan penyampaian
informasi program kepada masyarakat, instansi terkait, dan organisasi sosial
(lain) guna memperoleh dukungan dan data awal calon klien / residen
dengan persyaratan yang telah ditentukan.
2) Penerimaan
Pada tahap ini dilakukan kegiatan administrasi untuk menentukan apakah
diterima atau tidak dengan mempertimbangkan hal–hal sebagai berikut:
Pengurusan
administrasi
surat
menyurat
yang
diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
50
persyaratan masuk panti (seperti surat keterangan medical check up, test
urine negatif, dan sebagainya); Pengisian formulir dan wawancara dan
penentuan persyaratan menjadi klien/residen; encatatan klien/residen dalam
buku registrasi.
3) Asesme
Asesmen
merupakan
kegiatan
penelaahan
dan
pengungkapan
masalahuntuk mengetahui seluruh permasalahan klien/residen, menetapkan
rencana dan pelaksanaan intervensi.
Kegiatan asesmen meliputi : Menelusuri
belakang
dan
mengungkapkan
latar
dan keadaan klien/residen; Melaksanakan diagnosa
permasalahan;
Menentukan langkah-langkah rehabilitasi; menentukan
dukungan latihan ang diperlukan; menempatkan klien/residen dalam proses
rehabilitasi.
4) Bimbingan Fisik
Kegiatan ini ditujukan untuk memulihkan kondisi fisik klien/residen,
meliputi pelayanan kesehatan, peningkatan gizi, baris berbaris dan olah
raga.
5) Bimbingan Mental dan Sosial
Bimbingan mental dan sosial meliputi bidang keagamaan/spritual, budi
pekerti
individual
dan
social/
kelompok
dan motivasi klien/residen
(psikologis).
6) Bimbingan orang tua dan keluarga
Universitas Sumatera Utara
51
Bimbingan bagi orang tua/keluarga dimaksudkan agar orang tua/keluarga
dapat menerima keadaan klien/residen memberi support, dan menerima
klien/residen kembali di rumah pada saat rehabilitasi telah selesai.
7) Bimbingan Keterampilan
Bimbingan keterampilan berupa pelatihan vokalisasi dan keterampilan
usaha (survival skill), sesuai dengan kebutuhan klien / residen.
8) Resosialisasi / Reintegrasi
Kegiatan ini merupakan komponen pelayanan dan rehabiltasi yang
diarahkan untuk menyiapkan kondisi klien/ residen yang akan kembali
kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini meliputi: Pendekatan kepada
klien/residen
untuk
kesiapan
kembali ke lingkungan keluarga dan
masyarakat tempat tinggalnya; Menghubungi dan memotivasi keluarga
klien/residen serta lingkungan masyarakat
untuk menerima
kembali
klien/residen; Menghubungi lembaga pendidikan bagi klien yang akan
melanjutkan sekolah.
9) Penyaluran dan Bimbingan Lanjut (Aftercare)
Dalam penyaluran dilakukan pemulangan klien/residen kepada orang
tua/wali, disalurkan ke sekolah maupun instansi/perusahaan dalam rangka
penempatan kerja. Bimbingan lanjut dilakukan secara berkala dalam rangka
pencegahan kambuh/relapse bagi klien dengan kegiatan konseling,
kelompok dan sebagainya.
10) Terminasi
Universitas Sumatera Utara
52
Kegiatan ini berupa pengakhiran/pemutusan program pelayanan dan
rehabilitasi bagi klien/residen yang telah mencapai target program (clean and
sober).
3. Sumber Daya Manusia
Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkoba adalah
kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para profesional. Dalam rangka
mencapai target yang baik, maka diperlukan sumber dayamanusia yang
mempunyai kualifikasi tertentu. Dalam bidang administrasi kegiatan pelayanan
dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba membutuhkan tenaga
pimpinan/kepala/direktur, petugas tata usaha, keuangan, pesuruh/office boy,
petugas keamanan/security. Dalam bidang teknis diperlukan tenaga pekerja
sosial, bekerja sama dengan psikologi, psikiater/dokter, paramedik/perawat,
guru/instruktur, konselor, dan pembimbing keagamaan.
4. Sarana Prasarana (Fasilitas)
Sesuai dengan fungsi panti, maka sarana dan prasarana dapat dikelompokkan
menjadi: Sarana bangunan gedung, misalnya: kantor, asrama, ruang kelas,
ruang konseling, ruang keterampilan, aula, dapur, dan sebagainya; Prasarana,
misalnya: jalan, listrik, air minum, pagar, saluran air, peralatan kantor,
pelayanan, dan sebagainya. Untuk terlaksananya tugas dan fungsi panti secara
efektif dan effisien, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, baik
Universitas Sumatera Utara
53
jumlah maupun jenisnya termasuk letak dan lokasi panti, yang disesuaikan
dengan kebutuhan. Untuk pembangunan panti pelayanan dan rehabilitasi
korban penyalahgunaan narkoba sebaiknya dicari dan ditetapkan lokasi luas
tanah dan persyaratan sesuai kebutuhan, sehingga dapat menunjang pelayanan,
dengan memperhatikan hal–hal sebagai berikut: Pada daerah yang tenang,
aman dan nyaman; Kondisi lingkungan yang sehat; Tersedianya sarana air
bersih; Tersedianya jaringan listrik; Tersedianya jaringan komunikasi telepon;
Luas tanah proporsional dengan jumlah klien / residen yang ada.
Sebelum
menetapkan
lokasi
panti
sebaiknya
dilakukan
studi
kelayakan tentang: Statusnya, agar hak pemakaian jelas dan sesuai dengan
peruntukan lahan, sehingga tidak terjadi hal-hal yang kurang menguntungkan;
Mendapatkan
dukungan
dari
masyarakat
terhadap
keberadaan panti,
sehingga proses resosialisasi dan reintegra si dalam masyarakat dapat
dilaksanakan.
5. Aksesibilitas
Di dalam masyarakat, panti pelayanan dan rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan narkoba tidaklah berdiri sendiri. Panti ini terkait
seluruh
aspek
penanggulangan
dengan
penyalahgunaan narkoba. Oleh karena
itu panti ini harus membuka diri dan menciptakan kerja sama dengan
pihak terkait lain, seperti dalam pelaksanaan sistem referal/rujukan. Bentuk
aksesibilitas semacam itu harus pula bersifat baku/standar.
6. Laboratorium
Universitas Sumatera Utara
54
Pengadaan
laboratorium
digunakan
untuk
pemeriksaan
uji
kadar
narkotika dalam tubuh pasien. Dalam pelaksanaanya perlu adanya perizinan,
yang
meliputi:
Pro
Yustisia,mUntuk
keperluan
tindak
pidana
NAPZA/Narkotika diperlukan suatu laboratorium yang mempunyai sarana dan
prasarana lengkap sesuai standar
yang
berlaku
untuk
pemeriksaan
konfirmasi. Dan memiliki izin khusus dari pihak yang berwenang; Klinis
(Terapi dan Rehabilitasi), Untuk keperluan klinis (terapi dan rehabilitasi) dan
Skrining Penyalahgunaan Napza/Narkotika dengan sarana dan prasarana
sesuai standar yang ditentukan.
Laboratorium
pemeriksa
NAPZA/Narkoba
dapat
dikelola
oleh
pemerintah yang meliputi Balai Laboratorium Kesehatan, Rumah Sakit
Propinsi dan Rumah Sakit Kabupaten/Kota dan Laboratorium Instansi lain.
Bagi Laboratorium kesehatan swasta, maupun Rumah Sakit swasta yang
melakukan pemeriksaan NAPZA/Narkoba harus mempunyai izin yang masih
berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Download