BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Narkoba 2.1.1 Pengertian Narkoba Narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya), disebut juga NAPZA (narkotika, psikotropika, zat adiktif lain) adalah obat, bahan,atau zat bukan makanan yang jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikan, berpengaruh pada kerja otak (susunan saraf pusat) dan sering kali menimbulkan ketergantungan (Martono & Joewana, 2008). Napza adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya. Napza berupa zat yang bila masuk kedalam tubuh dan akan mempengaruhi tubuh, terutama susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan gangguan pada fisik, psikis dan fungsi sosial (Sumiati DKK, 2009). 2.1.2 Jenis-Jenis Narkoba Menurut Rozak & Sayuti (2006), ada beberapa jenis-jenis nakoba yaitu: 1. Narkotika Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika disebut bahwa istilah narkotika diartikan dengan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana 8 Universitas Sumatera Utara 9 terlampir dalam undang-undang ini (UU No. 22/1997 Tentang Narkotika) atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 disebutkan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini (BNN, 2014). Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 6 disebutkan bahwa narkotika dibagi menjadi tiga golongan yaitu a) Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. b) Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. c) Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. 2. Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan Universitas Sumatera Utara 10 saraf pusat dan menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Ada 4 golongan psikotropika yang dibagi menurut potensinya menyebabkan ketergantungan, yaitu sebagai berikut a. Golongan I sangat tinggi menimbulkan ketergantungan dan selain untuk ilmu pengetahuan dinyatakan sebagai barang terlarang, sehingga dilarang keras digunakan atau diedarkan di luar ketentuan hukum. Contoh ekstasi (MDMA) dan (LSD) yang banyak disalahgunakan. b. Golongan II berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan dengan cara selektif dan digunakkan pada pengobatan. Contoh amfetamin dan metamefatamin (shabu) yang banyak disalahgunakan. c. Golongan III dan IV berpotensi sedang dan ringan menimbulkan ketergantungan, dan dapat digunakan pada pengobatan, tetapi harus dengan resep dokter. Contoh bermacam-macam obat penenang (sadativa) dan obat tidur (hipnotika), yang sering disalahgunakan berupa Mogadon (MG), Rohypnol (Rohyp), pil KB/Koplo, lexotan (lexo). 3. Zat Psikoaktif Lain Zat Adiktif adalah zat yang dapat menimbulkan adiksi (addiction) yaitu ketagihan sampai pada dependensi (dependency) yaitu ketergantungan, misalnya zat atau bahan yang tergolong amphetamine, sedativa/hipnotika, termasuk tembakau atau rokok (Hawari, 2006). zat psikoaktif lain adalah zat atau bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh terhadap kerja otak, yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 11 a. Alkohol pada minuman keras, terdiri dari golongan A dengan kadar etanol 1-5%, contoh bir golongan B dengan kadar etanol 5-20%, contoh sebagai jenis minuman anggur golongan C dengan kadar etanol 20-45%, contoh Whiskey, Vodka, TKW, Mansion House, Johny Walker, dan Kamput. b. Inhalasi atau Solven, yaitu gas atau zat pelarut yang mudah menguap berupa senyawa organik yang sering digunakan untuk berbagai keperluan industri, kantor, bengkel, toko, dan rumah tangga, seperti lem, thiner, aceton, aerosol, bensin. Zat ini disalahgunakan dengan cara dihirup, terutama pada anak usia 9-14 tahun. c. Nikotin terdapat pada tembakau. Rokok mengandung 4.000 zat. Yang paling berbahaya adalah nikotin merupakan bahan penyebab ketergantungan. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menggolongkan obat, bahan, dan zat psikoaktif, berdasarkan pengaruh terhadap tubuh manusia yaitu, Opioda (opium, morfin, heroin, dan petidin); Ganja; Kokain dan daun koka; Alkohol; Amfetamin (amfetamin, ekstasi, shabu); Halusinogen (LSD); Sedativa dan hipnotika (obat penenang dan obat tidur); PCP (fensiklidin); Inhalansia dan solven; Nikotin dan Kafein ( Martono & Joewana, 2008). 2.1.3 Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Menurut Makoro (2003) dalam Fitri (2014) bahaya dan akibat dari penyalahgunaan narkoba dapat bersifat bahaya pribadi bagi pemakainya dan dapat Universitas Sumatera Utara 12 pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingkungan. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada keadaan fisik, psikis maupun keadaan sosial seseorang, adapun bahaya tersebut yaitu: 1. Secara fisik: a. Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi. b. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah. c. Gangguan pada kulit (dermatologi) seperti : penanahan (abses), alergi. d. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru. e. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur. f. Akan berakibat fatal apabila terjadi over dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. over dosis dapat menyebabkan kematian. g. Dampak kesehatan reproduksi pada remaja laki-laki dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kadar hormon testosteron, penurunan dorongan seks, disfungsi ereksi, hambatan ejakulasi, pengecilan ukuran penis dan gangguan sperma. h. Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan terjadi penurunan dorongan seks, gangguan pada hormon estrogen dan progesteron, kegagalan orgasme, hambatan menstruasi, pengecilan payudara, gangguan Universitas Sumatera Utara 13 sel telur, serta pada wanita hamil dapat menyebabkan kekurangan gizi sehingga bayi yang dilahirkan juga dapat kekurangan gizi, berat badan bayi rendah, bayi cacat serta dapat menyebabkan bayi keguguran. i. Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, resikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya. 2. Secara Psikis: a. Lamban saat kerja, ceroboh pada saat kerja, sering gelisah. b. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga terhadap orang lain. c. Emosional, dapat melakukan hal–hal negatif diluar dugaan. d. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan. e. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri. 3. Secara Sosial: a. Gangguan mental (sakit jiwa), anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan. b. Merepotkan dan menjadi beban keluarga. c. Pendidikan terganggu masa depan suram. 2.1.4 Efek Samping Penyalahgunaan Narkoba Menurut Jenis Efek samping penggunaan narkoba adalah gejala yang timbul akibat pemakaian narkoba dengan dosis yang tidak pasti/tidak sesuai, yang dapat menimbulkan berbagai macam gejala dan jenis narkoba yang di pakai. Efek samping dari jenis narkoba Menurut Lydia Dan Satya, 2008 adalah : Universitas Sumatera Utara 14 1. opioda (morfin, heroin, putaw,dan lain-lain) opioda alami berasal dari getah opium poppy (opiat), seperti morfin, opium, dan kodein. Cara pemakaiannya: disuntikkan kedalam pembuluh darah atau dihisap melalui hidung setelah di bakar. a. Pengaruh jangka pendek: hilangnya rasa nyeri, ketegangan berkurang, munculnya rasa nyaman (eforik) diikuti perasaan seperti miimpi dan rasa mengantuk, dan pemakaian dapat meninggal karena overdosis. b. Pengaruh jangka panjang: ketergantungan (gejala putus zat, toleransi). Dapat timbul komplikasi, seperti sembelit, gangguan menstruasi, dan impotensi. Karena pemakaian jarum suntik tidak steril dapat menimbulkan abses, hepatitis B/C yang merusak hati, dan penyakit HIV AIDS yang merusak system kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi dan akhirnya menyebabkan kematian. 2. Ganja Cara pemakaiannya: yang di pakai berupa tanaman kering yang dirajang, dilinting, dan disulut seperti rokok. a. Efek Setelah Pemakaian: muncul cemas, rasa gembira, bayak bicara, tertawa cekikian, halusinasi, dan berubahnya perasaan waktu, (lama dikira sebentar) dan ruang (jauh dikira dekat), peningkatan denyut jantung, mata merah, mulut dan tenggorokan kering, dan selera makan meningkat. b. Pengaruh jangka panjang: daya pikir berkurang, motivasi belajar turun, perhatian ke sekitarnya berkurang, daya tahan tubuh terhadapinfeksi Universitas Sumatera Utara 15 menurun, mengurangi kesuburan, peradangan jalan napas, aliran darah berkurang kejantung dan terjadi perubahan pada sel-sel otak. 3. Kokain (kokai, crack, daun koka, pasta koka) Cara pemakaiannya: dengan cara disedot melalui hidung, dirokok, atau disuntikan. a. Efek Setelah Pemakaian: rasa percaya diri meningkat, bayak bicara, rasa lelah hilang, kebutuhan tidur berkurang, minat seksual meningkat, halusinasi visual dan taktil (seperti ada serangan rayap), waham curiga/curiga (paranoid) b. Pengaruh jangka panjang: kurang gizi, anemia, sekat hidung rusak, danterjadi gangguan jiwa (psikotik) 4. Alkohol Cara pemakaiannya: diminum a. Efek Setelah Pemakaian: meyebabkan mabuk, jalan sempoyongan, bicara cadel, kekerasan/perbuatan merusak, ketidak mampuan belajar dan mengingat, dan kecelakaan karena mengendarai dalam keadaan mabuk b. Pemakaian jangka panjang: menyebabkan kerusakan pada hati, lambung, saraf tepi, otak, gangguan jantung, meningkatnya resiko kanker, dan bayi lahir cacat dari ibu pecandu alkohol 5. Golongan Amfetamin (Amfetamin, Ekstasi, Sabu) Cara pemakaiannya: diminum (ekstasi), dihisap melalui hidung (sabu), atau disuntikan dan dihisap memakai sedotan Universitas Sumatera Utara 16 a. Pengaruh jangka pendek: tidak tidur (terjaga), rasa riang, perasaan melambung (fly), rasa yaman, dan meningkatkan keakraban. Akan tetapi, setelah itu, muncul rasa tidak enak, murung, nafsu makan hilang, berkeringat, rahang kaku da bergerak-gerak, dan badan gemetar, dapat terjadi gangguan jiwa b. Pemakaian jangka panjang: kurang gizi, anemia, penyakit jantung, dan gangguan jiwa psikotik 6. Golongan Halusinogen: Lysergic Acid (LSD) Cara pemakaiannya: meletakanya pada lidah Pengaruh LSD tidak dapat di duga. Sensasi dan perasaan berubah secara dramatis, degan mengalami flash back atau bad rips (halusinasi/penglihatan semu) berulang tanpa peringatan sebelumnya. Pupil melebar, tidak bisa tidur, selera makan hilang, suhu tubuh meningkat, denyut nadi dan tekanan darah naik, tremor, dapat merusak sel otak 7. Sedative dan hipnotika (obat penenang, obat tidur) Cara pemakaiannya: diminum a. Efek setelah pemakaian: muncul perasaan tenang dan otot-otot mengendur. Pada dosis lebih besar gangguan bicara (pelo), persepsi terganggu, dan jalan sempoyongan, dosis lebih tinggi: tertekannya pernapasan, koma, dan kematian Universitas Sumatera Utara 17 b. Pemakaian jangka panjang: kerusakan otak, paru-paru, ginjal, sumsum tulang, dan jantung 8. Solven & Inhalansia Cara pemakaiannya: dihirup/hisap a. Efek jangka pendek: seperti pengaruh pemakain alkohol, dapat berakibat mati mendadak karena kekurangan oksigen, atau karena ilusi, halusinasi, dan persepsi salah b. Pengaruh jangka panjang: kerusakan otak, paru-paru, ginjal, sumsum tulang, dan jantung (Lydia & Satya, 2008). 2.1.5 Mekanisme Terjadinya Penyalahgunaan dan Ketergantungan Naza (Narkotika, Alkohol, dan Zat adiktif) Mekanisme terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan naza dapat diterangkan dengan 3 pendekatan, yaitu pendekatan organobiologik, psikodinamik, dan psikososial. Ketiga pendekatan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan saling berikatan satu sama lainnya. 1. Organobiologik Dari sudut pandang organobiologik (susunan saraf pusat/otak) mekanisme terjadinya adiksi (ketagihan) hingga dependensi (ketergantungan) naza dikenal 2 istilah, yaitu gangguan mental organik akibat naza atau sindrom otak organik akibat naza yaitu kegaduh gelisahan dan kekacauan dalam fungsi kognitif (alam pikiran),efektif (alam perasaan/emosi) dan psikomotor (prilaku), yang disebabkan oleh efek langsung naza terhadap susunan saraf pusat (otak). Istilah Universitas Sumatera Utara 18 lain adalah ganguan penggunaan naza termasuk didalamnya pengertian penyalahgunaan naza atau ketergantungan naza, yang lebih banyak menyoroti berbagai kelainan perilaku (behavior disorder) yang berkaitan dengan penggunaan naza yang mempengaruhi susunan saraf pusat (otak). Oleh karena itu di dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) kedua pengertian tersebut diatas sering kali digabungkan menjadi satu kesatuan diagnosis yang disebut dengan ganguan mental dan perilaku akibat naza. Beberapa teori mengemukakan tetang proses terjadinya adiksi (ketagihan) dan dependensi ( ketergantungan) pada penyalahgunaan naza, antara lain sebagai berikut : Wikler (1973) mengemukakan conditioning theory. Menurut teori ini seseorang akan menjadi ketergantungan terhadap naza apabila ia terus menerus diberi naza tersebut. Hal ini sesuai dengan teori adaptasi selular (neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf bekerja keras. Jika naza dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami kehausan, yang diluar nampak sebagai gejala putus naza. Gejala putus naza ini memaksa seseorang untuk mengulangi pemakaian naza tersebut, demikian seterusnya. Apabila naza dikonsumsi dengan cara ditelan, diminum,dihisap, dihirup, dihidu dan melalui suntikan maka naza melalui peredaran darah sampai susuunan saraf pusat (otak) yang mengganggu sistem neuro-tansmitter sel-sel saraf otak. Akibat gangguan pada neuro-tansmitter itu terjadilah gangguan mental dan perilaku akibat naza. Telah diketahui bahwa mekasisme kerja naza pada susunan saraf pusat (otak) terletak pada reseptor Universitas Sumatera Utara 19 melalui neuro-transmitter tadi, yaitu alat tubuh pada syaraf otak yang menangkap naza tersebut agar naza itu mempunyai efek. Joewana (1998) menyatakan bahwa kebanyakan naza berinteraksi dengan cara yang khas pada tempat sasaran dalam suatu sistem biologik di otak. Tempat itu dalam farmakologik disebut reseptor. Interaksi naza dan reseptor biasanya bukan merupakan ikatan kovalen kimiawi, melainkan suatu interaksi yang lebih lemah. Karena bentuk yang khusus dan muatan yang spesifik, naza dapat terikat secara reversible (yang dapat balik kembali) pada zat kimia spesifik pada reseptor. Dengan demikian, terjadi perubahan aktifitas fisiologik reseptor tersebut. Reseptor dapat pula berupa enzim, yang dapat diubah aktifitasnya oleh naza. Reseptor dapat pula berupa membran sel sehingga dapat menghambat atau memacu sel tersebut. Ada juga yang tidak bekerja melalui reseptor, misalnya beberapa macam anestetika yang mengubah muatan listrik saraf dengan melarutkan diri dalam lipo-protein membran sel. Hal tersebut akan mengubah sifat psiko-kimia membran sel sehingga terjadi hambatan bila ada eksitasi. Sebagai contoh misalnya opiat (morphine atau heroin). Reseptor opiat terdapat pada hipotalamus dan sistem limbik otak bagian dalam, yaitu bagian otak yang berkaitan dengan fungsi kognitif (alam fikir), efektif (alam perasaan/emosi) dan perilaku. Sekurang-kurangnya ada 4 jenis reseptor opiat: Universitas Sumatera Utara 20 a. Mu-reseptor, terutama mengikat morphine/heroin dan diduga ada kaitannya dengan fungsi analgetik (penawar nyeri) b. Gamma-reseptor, yang mengikat enkafalin dan berperan dalam hubungannya dengan perilaku c. Kappa-reseptor, secara spesifik mengikat ketosiklasosin dan dinorfin serta ada hubungannya dengan efek sedasi dan ataxia d. Delta-reseptor, mempunyai afinitas pada siklasosin, dan opiat yang mirip siklasosin serta berhubungan dengan efek psikotomi-metik senyawa ini. Peran faktor genetik dalam penyalahgunaan naza dikemukakan oleh Banks dan Walter (1983), Kaplan dan Sadock (1989) yang menyatakan bahwa gen berperan pada ketergantungan alkohol, tetapi untuk jenis zat-zat lainnya faktor gen sebagai etiologi masih lemah. Menurut, Edwards (1982) menyatakan bahwa secara umum contoh orang tua (parental example) lebih penting dari pada gen (sifat turunan) orang tua (parental genes). Dari studi kepustakaan dapat disimpulkan bahwa faktor orgonobiologik mempunyai peran pada penyalahgunaan/ketergantungan naza. Interaksi antara naza dengan reseptor di susunan saraf pusat (otak), perubahanperubahan neuro-psikologik pada sistem neuro-tansmitter pada reseptor yang bersangkutan mengakibatkan terjadinya adiksi (ketagihan) sampai dengan depedensi (ketergantungan) naza. peran faktor genetika pada ketergantungan naza belum bisa dibuktikan kecuali artinya, bila orang tua seorang alkoholik maka anak yang dilahirkan sudah membawa sifat untuk menjadi seorang alkoholik dikemudian hari (Hawari, 2006). Universitas Sumatera Utara 21 2. Psikodinamik Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990) menyatakan bahwa seseorang akan terlibat penyalahgunaan naza dan dapat sampai pada ketergantungan naza, apabila pada orang itu sudah ada faktor predisposisi, yaitu faktor yang membuat seseorang cendrung menyalahgunakan naza. Adanya faktor predisposisi ini saja belum cukup sehingga diperlukan faktor lain yang berperan serta pada penyalahgunaan/ketergantungan naza, yaitu faktor kontribusi. Bila faktor predisposisi dan kontribusi ini sudah ada, diperlukan satu faktor lagi yang mendorong terjadinya penyalahgunaan atau ketergantungan naza tadi, yaitu faktor pencetus. Dalam penelitian tersebut yang termasuk dalam faktor predisposisi adalah ganguan kejiwaan yaitu gangguan kepribadian (antisosial), kecemasan dan depresi. Sedangkan yang termasuk faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang terdiri dari tiga komponen yaitu keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, dan hubungan interpersonal antar keluarga. Dan termasuk faktor pencetus adalah pengaruh teman kelompok sebaya dan nazanya itu sendiri. 3. Psikososial Penyalahgunaan/ketergantungan naza adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang. Dari sudut pandang psikososial perilaku menyimpang ini akibat negatif dari interaksi 3 kutup sosial yang tidak kondusif (tidak mendukung ke arah positif) yaitu kutup keluarga, kutup sekolah/kampus, dan kutup masyarakat. Universitas Sumatera Utara 22 Secara sistematis terjadi perilaku menyimpang yang berakibat pada penyalahgunaan dan ketergantungan naza(Hawari, 2006). 2.1.6 Cara Kerja Narkoba Narkoba yang ditelan masuk ke dalam lambung, kemudian masuk kepembuluh darah. Jika dihisap atau dihirup, zat diserap masuk ke dalam pembuluh darah melalui saluran hidung dan paru-paru. Jika zat disuntikkan, zat itu ke otak. Semua jenis narkoba dapat mengubah perasaan dan cara berfikir seseorang, tergantung pada jenisnya, narkoba menyebabkan perubahan pada suasana hati (menenangkan, rileks, gembira, rasa bebas), perubahan pada pikiran (stress hilang, meningkatnya khayal), perubahan prilaku (meningkatkan keakraban, menghambat nilai, lepas kendali) itulah narkoba disebut zat psikoaktif. perasa nikmat, enak, dan nyaman yang dihasilkan oleh narkoba itulah yang awalnya di cari oleh pemakai. Bagian otak yang menghasilkan perasaan tersebut adalah system limbus. Hipotalamus, adalah pusat kenikmatan pada otak bagian dari system limbus. Narkoba menghasilkan perasaan “high” dengan mengubah susunan biokimiawi molekul sel otak pada system limbus, yang disebut neuro-transmitter. Yang terjadi pada adiksi adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada hipotalamus (pusat kenikmatan) jika kita mengkonsumsi narkoba, otak membaca tanggapan kita. Jika mmerasa nikmat, otak mengeluarkan neurotransmitter yang menyampaikan pesan: “Zat ini berguna bagi mekanisme pertahanan tubuh jadi ulangi pemakaian. Jika memakai narkoba lagi, kita kembali merasa nikmat, seolah-olah kebutuhan kita terpuaskan. Universitas Sumatera Utara 23 Otak akan merekamnya sebagai suatu yang harus di cari sebagi prioritas. Akibatny, otak membuat “program salah”, seolah-olah kita memang memerlukanya sebagai mekanisme pertahanan diri. Terjadilah kecanduan dan ketergantungan (Matono & Joewana, 2008). Jika terjadi ketagihan dan ketergantungan, Apabila yang bersangkutan menghentikannya, maka ia dapat jatuh dalam keadaan kecemasan dan atau depresi (Hawari, 2013). 2.2 Ansietas (cemas) 2.2.1 Pengertian Ansietas atau kecemasan adalah respons emosi tanpa obyek yang spesifik sehingga klien merasakan suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk akan terjadi dan biasanya disertai gejala-gejala otonomik yang berlangsung beberapa hari, bulan bahkan tahun (Sumiati DKK, 2009). Cemas merupakan suatu reaksi emosional yang timbul oleh penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa terancam (Stuart, 2007). Universitas Sumatera Utara 24 Cemas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Kecemasan merupakan sekolompok kondisi yang memberi gambaran penting tentang kecemasan yang berlebihan yang disertai respon perilaku, emosional dan fisiologis individu (Videbeck, 2011). Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Ansietas adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang disertai gejala fisiologis, sedangkan pada gangguan ansietas terkandung unsur penderitaan yang bermakna dan gangguan fungsi yang disebabkan oleh kecemasan tersebut (Stuart, 2007 dalam Herman 2011). Kecemasan adalah gangguan dalam alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian utuh, prilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal. Orang yang mengalami kecemasan mempunyai resiko relatif (estimated relative risk) 13,8 terlibat penyalah gunaan NAZA di bandingkan dengan orang tanpa kecemasan (Hawari, 2006). Kecemasan yang terjadi merupakan respon terhadap sesuatu atau hal yang telah terjadi di waktu lampau ataupun yang akan terjadi di masa yang akan datang. Semakin besar ancaman yang dirasakan, maka kecemasan yang terjadi pun semakin besar. Orang-orang yang membutuhkan kontrol, kemungkinan mengalami kecemasan lebih besar. Respon terhadap kecemasan bervariasi pada setiap individu. Respon bisa berupa adaptive yang mana kecemasan bisa menjadi Universitas Sumatera Utara 25 motivasi kuat yang menjadi pemicu problem solving yang produktif dan berprestasi. Respon terhadap kecemasan bisa juga berupa maladaptive yang mana kecemasan tidak membantu menyelesaikan permasalahan yang ada, malah memperburuk keadaan dan membuat seseorang terpuruk. Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan perasaan gelisah atau ketakutan akan sesuatu yang merupakan respon dari ancaman yang mengganggu nilai, kenyamanan dan keamanan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar yang dapat mempengaruhi keadaan fisik maupun psikologis seseorang, dimana respon terhadap kecemasan ini bisa berupa adaptive ataupun maladaptive tergantung dari latar belakang dan respon seseorang menghadapi ancaman. 2.2.2 Tingkat kecemasan Tingkatan ansietas menurut Stuart (2007), dibagi menjadi 4 yaitu: a. Ansieta ringan; berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, ansietas pada tingkat ini menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. b. Ansietas sedang; memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih banyak jika diberi arahan. c. Ansietas berat; sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Individu cenderung untuk berfokus pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang yang lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi Universitas Sumatera Utara 26 ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat berfokus pada suatu area lain. d. Tingkat panik; dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian dan terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan bahkan kematian. 2.2.3 Rentang Respon Ansietas/Cemas Menurut Stuart (2007), rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami gangguan fisik, perilaku maupun kognitif. Respon Adaptif Respon Maladaptif Universitas Sumatera Utara 27 Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik Gambar : Rentang Respon Kecemasan Orang sering mengatakan stres ketika mereka merasa cemas, banyak juga yang mengalami sters ketika mengalami pertukaran antara kejadian atau situasi yang menyebabkan ketidaknyaman tersebut, baik dari perasaan yang dihasilkan, pikiran, dan tingkah laku yang timbul. Secara ilmiah stressor dan reaksinya adalah respon yang berbeda. Perbedaan ini penting karena stressor tidak dapat disamakan dengan gangguan kecemasan (Fortinash& Worret, 2003). Semua respon terhadap kecemasan dipertimbangkan sebagai respon adaptif dalam interpretasi yang luas karena semua respon tersebut menimbulkan tekanan dan ketidaknyamanan yang menyebabkan kecemasan, respon tersebut dianggap tidak berbahaya dan dapat diterima (Fortinash& Worret, 2003). Menurut Fortinash& Worret (2003), kecemasan menimbulkan dua respon, yaitu respon adaptif dan maladaptif. a. Respon Adaptif Jika kecemasan timbul dan individu mampu meregulasi dan mengatur kecemasan, hal yang positif mungkin akan timbul. Tidak semua kecemasan merugikan namun, hal itu bisa menjadi tantangan, kekuatan, faktor motivasi, untuk memecahkan sebuah masalah, Universitas Sumatera Utara 28 resolusi konflik dan pencapaian fungsi level yang lebih tinggih. Contohnya seseorang dengan pekerjaan yang buruk dan pengalaman cemas yang tidak bisa dihindari akan membuat individu tersebut kembali mempelajari sesuatu yang baru. Seorang pelajar yang gagal dari ujian karena kurang belajar akan mengalami ancaman terhadap hilangnya harga diri sebagai pelajar, dukungan dan hal tersebut menyebabkan kecemasan. Seorang motivator dapat membantu pelajar tersebut untuk mendapatkan bimbingan dan konsentrasi yang lebih untuk melewati ujian. Strategi adaptif lainnya yang digunakan orang-orang untuk mengatasi kecemasan adalah memanggil teman atau terapis, berolah raga, memperaktekkan teknik relaksasi, membaca novel, beristirahat atau menangis sebagai pelampiasaannya. Banyak lagi metode koping yang lainnya digunakan untuk melepaskan ketegangan dan mengurangi kecemasan. b. Respon maladaptif Kebiasaan sehari-hari dapat melindungi orang dari kecemasan, bertahan dari ancaman dan memberi kenyamanan bisa mengarah pada pola respon maladaptif, yang dapat menunjukkan gejala fisik dan psikologis baik dalam lingkungan individu, sosial dan gangguan pekerjaan. Contohnya mekanisme ego untuk denial (menolak), represion (mengabaikan), projection (menyalahkan orang lain) dan rationalization (memberikan penjelasan) mencari kebenaran akan melindungi seseorang dari kecemasan tetapi juga mencegah penilaian yang sebenarnya dari diri sendiri, orang lain, situasi atau kejadian. Universitas Sumatera Utara 29 Ketika kecemasan tidak dapat diatur, individu mungkin akan dikatan mengalami gangguan atau ketidaknormalan dari orang lain. Pola koping maladaptif dari kecemasan termasuk didalamnya adalah tingkah agresif, isolasi (menerik diri), makan dan minum secara berlebih. Respon-respon dari gangguan kecemasan tersebut dikatakan sebagai gangguan kecemasan. 2.2.4 Penyebab Ansietas Menjelaskan tentang ansietas, pertama faktor predisposisi terdiri dari pandangan psikoanalitik yaitu ansietas adalah konflik emosi yang terjadi antara dua elemen kepribadian Id dan Super Ego. Id mewakili dorongan insting dan implus primitif, sedang super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma budaya seseorang. Ego atau aku berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya yang perlu di atasi. Pandangan Interpersonal yaitu ansietas timbul dari perasaan takut dari tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan fisik. Orang yang mengalami harga diri rendah biasanya sangat mudah mengalami perkembangan ansietas (Stuart & Sundeen, 2007). Pandangan Perilaku yaitu ansietas merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Para ahli perilaku menganggap ansietas sebagai dorongan belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Individu yang sejak kecil terbiasa dalam kehidupannya dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan akan Universitas Sumatera Utara 30 menunjukkan kemungkinan ansietas berat pada kehidupan masa dewasanya. Kajian Keluarga yaitu ansietas merupakan hal yang bisa ditemui dalam keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi (Stuart & Sundeen, 2007). Kajian Biologis yaitu otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine. Reseptor ini membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA (Gamma Amino Butyfic Acid) juga berperan utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas. Kajian biologis yaitu menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas. Penghambat asam amino buturat- gamaneuroregulator (GABA) juga mempunyai peran penting dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas, sebagaimana halnya umum seseorang mempunyai akibat nyata sebgai predisposisi terhadap ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stresor (Stuart & Sundeen, 2007). Kedua faktor presipitasi, faktor presipitasi dibedakan menjadi ancaman terhadap integritas; seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Ancaman terhadap sistem diri; seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang (Herman, 2011). Mekanisme terjadinya cemas yaitu psikoneuro imunologi atau psikoneuro endokrinologi. Stresor psikologis yang menyebabkan cemas adalah perkawinan, orangtua, antar pribadi, pekerjaan, lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan, Universitas Sumatera Utara 31 penyakit fisik, faktor keluarga, dan trauma. Akan tetapi tidak semua orang yang mengalami stressor psikososial akan mengalami gangguan cemas hal ini tergantung pada struktur perkembangan kepribadian diri seseorang (Hawari, 2013). Menurut Sumiati DKK ( 2009), Ansietas dapat disebabkan karena adanya perasaan takut tidak diterima dalam satu lingkungan tertentu, pengalaman traumatis, seperti trauma akan perpisahan, kehilangan atau bencana, adanya rasa frustasi akibat kegagalan dalam mencapai tujuan, ancaman terhadap integrtas diri, meliputi ketidak mampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar, dan adanya ancaman terhadap konsep diri. 2.2.5 Faktor yang mempengaruhi kecemasan Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan (Stuart & Laraia, 2007). a. Usia dan tingkat perkembangan Semakin tua usia seseorang atau semakin tinggi tingkat perkembangan seseorang maka semakin banyak pengalaman hidup yang dimilikinya. Pengalaman hidup yang banyak itu dapat mengurangi kecemasan. b. Jeni kelamin Kecemasan dapat dipengaruhi oleh asam lemak bebas dalam tubuh. Pria mempunyai asam lemak bebas lebih banyak dibandingkan wanita sehingga pria beresiko mengalami kecemasan yang lebih tinggi dari pada wanita. c. Pendidikan Universitas Sumatera Utara 32 Seorang yang berpendidikan tinggi akan menggunakan koping lebih baik sehingga memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Dengan adanya beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi ini bisa menjadikan mahasiswa semakin baik dalam kegiatan belajar, jadi dengan demikian beasiswa tersebut bisa menjadi sistem pendukung bagi mahasiswa untuk lebih baik dalam belajar, sehingga mahasiswa akan berpikir positif. d. Sistem Pendukung Sistem pendukung merupakan suatu kesatuan antara individu, keluarga, lingkungan dan masyarakat sekitar yang memberikan pengaruh individu melakukan sesuatu. Sistem pendukung tersebut akan mempengaruhi mekanisme koping individu sehingga mampu memberi gambaran kecemasan yang berbeda. 2.2.6 Tanda Dan Gejala A. Tanda dan gejala ansietas menurut tingkatnya 1. Ansietas ringan Respon fisiologis: sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, gangguan ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar; respons kognitif: lapang persepsi meluas, mampu menerima rangsang yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif; respon prilaku dan emosi: tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadangkadang meninggi. 2. Ansietas sedang Universitas Sumatera Utara 33 Respon fisiologis: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah meninggkat, mulut kering, anorexia, diare/konstipasi; respons kognitif: lapang persepsi menyempit, tidak mampu menerima rangsa dari luar, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya; respon prilaku dan emosi: gerakan tersentak/meremas tangan, bicara bayak dan cepat, insomnia, perasaan tidak aman, gelisah. 3. Ansietas berat Respon fisiologis: nafas pendek, nadi dan tekanan darah meninggkat, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, ketegangan; respons kognitif: lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah; respon prilaku dan emosi: Perasaan adanya ancaman meningkat, verbalisasi meningkat, bloking. 4. Panik Respon fisiologis: nafas pendek, nadi dan tekanan darah meninggkat, aktivitas matorik meningkat, ketegangan; respons kognitif: lapang persepsi sangat sempit, kehilangan pemikiran yang rasional, tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan; respon prilaku dan emosi: perasaan adanya ancaman meningkat, menurunya berhubungan dengan orang lain, tidak dapat mengendalikan diri (Sumiati DKK, 2009). A. Secara klinis, gejala kecemasan dibagi dalam beberapa kelompok yaitu: 1. Gangguan cemas (anxiety disorder) Keluhan-keluhan yang sering kali dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain; Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung; merasa tegang, tidak tenang, Universitas Sumatera Utara 34 gelisah, mudah terkejut; takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang; gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan; gangguan konsentrasi dan daya ingat; serta adanya keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebardebar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya (Hawari, 2013). 2. Gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder) Secara klinis selain gejala cemas yang biasa, disertai dengan kecemasan yang menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung selama 1 bulan) dengan manifestasi 3 dari 4 kategori berikut ini: Ketegangan motorik/alat gerak seperti gemetar, tegang, nyeri otot, letih, tidak dapat santai, kelopak mata bergetar, kening berkerut, muka tegang, gelisah, tidak dapat diam dan mudah kaget; hiperaktivitas saraf autonom (simpatis/parasimpatis) seperti berkeringat berlebihan, jantung berdebar debar, rasa dingin, telapak tangan/ kaki basah, mulut kering, mudah pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual, sering buang air seni, diare, rasa tidak enak di ulu hati, muka merah atau pucat dan denyut nadi dan nafas yang cepat waktu istirahat; rasa khawatir berlebihan tentang hal-hal yang akan datang (apprehensive expectation) seperti cemas, berpikir berulang, membanyangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain; kewaspadaan berlebihan seperti mengganti lingkungan secara berlebihan sehingga mengakibatkan Universitas Sumatera Utara 35 perhatian mudah teralih, sukar konsentrasi, sukar tidur, merasa nyeri, mudah tersinggung dan tidak sabar (Hawari, 2013). 3. Gangguan Panik Gejala-gejala yang muncul seperti sesak nafas, jantung berdebar-debar, nyeri atau rasa tak enak di dada, rasa tercecik atau sesak, pusing, vertigo (penglihatan berputar-putar), perasaan melayang, perasaan seakan-akan diri atau lingkungan tidak realistik, kesemutan, rasa aliran panas atau dingin, berkeringat banyak, rasa akan pingsan, menggigil atau gemetar dan merasa takut mati, takut menjadi gila atau khawatir akan melakukan suatu tindakan secara tidak terkendali selama berlangsungnya serangan panik (Hawari, 2013). 4. Gangguan Phobik Gangguan phobik adalah salah satu bentuk kecemasan yang didominasi oleh gangguan alam pikir. Phobia adalah ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek, aktivitas atau situasi tertentu, yang menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk menghidarinya. Rasa ketakutan itu disadari oleh orang yang bersangkutan sebagai suatu ketakutan yang berlebihan dan tidak masuk akal, namun ia tidak mampu mengatasinya (Hawari, 2013). 5. Gangguan obsesif-kompulsif Universitas Sumatera Utara 36 Obsesi adalah suatu bentuk kecemasan yang di dominasi oleh pikiran yang terpaku dan mulai berulang kali muncul. Sedangkan kompulsi adalah perubahan yang dilakukan berulang-ulang sebagai konsekuensi dari pikiran yang bercorak obsesif tadi. Contoh sederhana yaitu: 1. Orang yang mencuci tangannya berkali-kali (repeatedhand wishing). 2. Orang yang mencuci pintu berulang kali dalam bahasa awam gangguan ini sering kali di sebut sebagai penyakit was-was (Hawari, 2013). 2.2.7 Skala Kecemasan Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A) Menurut Hawari (2013), kecemasan dapat diukur dengan alat ukur kecemasan yang disebut HRS-A (Hamilton Rating Scale For Anxiety HASR ). Skala merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya simtom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HRS-A terdapat 14 simptom yang Nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi lima tingkatan skor antara 0 sampai dengan 4. Skala HASR pertama kali digunakan pada tahun 1959 yang diperkenalkan oleh Max Hamilton. Skala Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A) dalam penilaian kecemasan terdiri dari 14 item, meliputi: 1. Perasaan cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung. Universitas Sumatera Utara 37 2. Merasa tegang, gelisah, gemetar, lesu, mudah menangis, mudah terganggu dan lesu. 3. Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang besar. 4. Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk. 5. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit konsentrasi. 6. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hoby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari. 7. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot. 8. Gejala sensorik: perasan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta merasa lemah. 9. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan detak jantung hilang sekejap. 10. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek. 11. Gejala Gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di perut. 12. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing, aminorea, ereksi lemah atau impotensi. Universitas Sumatera Utara 38 13. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala. 14. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat. 2.2.8 Cara Penilaian Kategori Dan Skor Dengan Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A) (Hawari, 2013) A. Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori: 0 = Tidak ada gejala sama sekali 1 = Ringan / Satu dari gejala yang ada 2 = Sedang / separuh dari gejala yang ada 3 = Berat / lebih dari ½ gejala yang ada 4 = Berat sekali / semua gejala ada B. Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan hasil: a. Skor < 14 : Tidak ada kecemasan. b. Skor 14 – 20 : Kecemasan ringan. c. Skor 21 – 27 : Kecemasan sedang. d. Skor 28 – 41 : Kecemasan berat. e. Skor 42 – 56 : Kecemasan berat sekali. Universitas Sumatera Utara 39 Hawari (2013), mengatakan bahwa seseorang akan menderita gangguan cemas manakala yang bersangkutan tidak mampu mengatasi stresor yang dihadapinya. Adapun tipe keperibadian pencemas antara lain: Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang; memandang masa depan dengan rasa was-was (khawatir); kurang percaya diri, gugup apabila tampil di depan umum (demam panggung); sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain; tidak suka mengalah, suka “ngotot”, gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah; sering Kali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir berlebihan terhadap penyakit; mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah yang kecil (dramatisasi); dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu; bila mengemukakan sesuatu atau bertanya sering kali diulangulang; kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris. 2.3 Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan nonmedis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. (Dalley, 2001). Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini. Universitas Sumatera Utara 40 Rehabilitasi narkoba adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkoba (Soeparman, 2000). Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu : 1. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. 2. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Pusat atau Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi persyaratan antara lain : a. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi, kamar mandi/WC yang higienis, makanan dan minuman yang bergizi dan halal, ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi individual maupun kelompok, ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga, ruang ketrampilan dan lain sebagainya; Tenaga yang profesional (psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja sosial, perawat, agamawan dan tenaga ahli lainnya/instruktur). Tenaga profesional ini untuk menjalankan program Kurikulum/program yang rehabilitasi terkait; yang Manajemen memadai yang sesuai baik; dengan kebutuhan; Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran ataupun kekerasan; Keamanan (security) yang ketat agar Universitas Sumatera Utara 41 tidak memungkinkan peredaran NAZA di dalam pusat rehabilitasi (termasuk rokok dan minuman keras) (Hawari, 2009). Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.04 Tahun 2010 tentang Penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, untuk menjatuhkanlamanya proses rehabilitasi, sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah sebagai berikut : a. Program Detoksifikasi dan Stabilisasi : lamanya 1 (satu) bulan b. Program Primer : lamanya 6 (enam) bulan c. Program Re‐Entry : lamanya 6 (enam) bulan 2.3.1 METODE TERAPI KOMUNITAS (THERAPEUTIC COMMUNITY) 2.3.1.1 Pengertian Terapi Komunitas Terapi Komunitas adalah grup atau sekelompok orang yang memiliki prinsip interpersonal yang cukup tinggi, sehingga mampu mendorong orang lain untuk belajar berinteraksi di suatu komunitas. Terapi komunitas terdiri dari staf yang pernah mengalami rasa sakit dan memiliki perilaku yang timbul akibat ketergantungan narkoba, namun telah mampu dan mengetahui cara mengatasinya (Leon, 200:27) serta telah melalui pendidikan dan pelatihan khusus yang memenuhi syarat dan konselor. Universitas Sumatera Utara 42 Tenaga professional hanya sebagai konsultan saja. Di lingkungan khusus ini pasien dilatih ketrampilan mengelola waktu dan perilaku secara efektif serta kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengonsumsi narkoba. Dalam komunitas ini semua aktif dalam proses terapi (Depkes, 2000). Konsep Therapeutic Community yaitu menolong diri sendiri, dapat dilakukan dengan adanya keyakinan bahwa: 1. Setiap orang bisa berubah 2. Kelompok bisa mendukung untuk berubah 3. Setiap individu harus bertanggung jawab 4. Program terstruktur dapat menyediakan lingkungan aman dan kondusif bagi perubahan 5. Adanya partisipasi aktif (Winanti, 2008). 2.3.1.2 Program Terapi Komunitas Pelaksanaan program disusun untuk membuat residen terlibat secara penuh dalam setiap kegiatan, sesuai dengan job function nya masingmasing. Kedudukan petugas hanya sebagai pengawas, program. Kategori struktur program utama dari yang mengawasi Therapeutic Community, terdiri dari 4 (empat): a. Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku) Universitas Sumatera Utara 43 Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma kehidupan masyarakat. b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi) Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian diri secara emosional dan psikologis. c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian) Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan, nilai-nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tugas-tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum terselesaikan d. Vocational and survival (Keterampilan kerja dan keterampilan bersosial serta bertahan hidup) Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari maupun masalah dalam kehidupannya (Winarti, 2008). Fase penanganan progam Therapeutic Community (TC) menurut Perfas (2003) terdiri atas 5 tahap, yaitu : 1. Entry / Orientation Phase Perkiraan waktu 2 sampai 4 minggu Tahap awal berupa orientasi terhadap aturan, norma, ritual dan tugas di TC. Pengenalan terhadap komunitas dan staf pegawai. Kegiatan yang Universitas Sumatera Utara 44 dilakukan berupa pekerjaan sederhana dan mudah sehingga tidak perlu mengambil keputusan penting, tetapi perlu pengawasan tingkat tinggi. 2. Core Treatment Phase Perkiraan waktu antara 3 - 6 bulan Belajar untuk mengidentifikasi isu-isu klinis atau pengobatan misalnya psikologis, sosial atau keluarga, kesehatan, pendidikan, pelatihan, dll. Pengelolaan emosi dan belajar ekspresi perasaan yang tepat dalam kelompok dan bentuk lain dari konseling. Selain dan mengungkapkan itu praktek dalam mengartikulasikan masalah kritis kehidupan atau masalah pribadi yang belum terselesaikan dalam sesi kelompok atau sesi pribadi (2003:100). 3. Pre-Reentry Phase Perkiraan waktu antara 2-3 bulan Pada tahap ini fokus terhadap pengejaran karier, pendidikan dan kegiatan produktif lainnya yang meningkatkan kemandirian, resosialisasi secara bertahap untuk persiapan sebagai wujud kegiatan di luar TC. Proses Internalisasi yang baru untuk memperoleh norma, nilai-nilai pribadi dan gaya hidup bebas narkoba. Keberhasilan dari proses ini perlu melibatkan peran manajerial dan pengawasan. 4. Reentry Phase Perkiraan waktu antara 2-6 bulan Dalam usaha pengembalian diri ke masyarakat di luar kehidupan komunitas, maka perlu belajar untuk menangani isu-isi jika terjadi kekambuhan dan menemukan gaya hidup yang stabil. Oleh karena itu perlu dukungan dari Universitas Sumatera Utara 45 keluarga, teman, komunitas, dll. Melatih kemampuan dengan gaya hidup baru seperti mengelola uang, manajemen waktu, manajemen stress, kesehatan dan praktek seks yang aman. 5. Aftercare Phase Perkiraan waktu antara 6-12 bulan Melakukan kunjungan ke komunitas TC untuk berhubungan kembali dengan komunitas atau memberi waktu pribadi sebagai pembicara atau fasilitator dari kelompok-kelompok khusus dalam upaya mempertahankan gaya hidup bebas dari narkoba 2.3.1.3 Kegiatan Terapi Komunitas Menurut Leon, prinsip terapi yang dilakukan dengan metode Terapi Komunitas dilaksanakan (Therapeutic secara rutin Community) dan teratur. berupa kegiatan–kegiatan Adapun kegiatan yang yang rutin dilakukan,yaitu: 1. Perbaikan Perilaku Sehari-hari (Behavior Management) Setiap hari, residen diharuskan beraktivitas mengikuti jadwal yang telah ditentukan, kecuali ada kendala seperti residen dalam keadaan sakit. Setiap kegiatan sudah dijadwal secara padat dan teratur. Tujuannya agar pasien diberi kesibukan sehingga tidak memiliki waktu untuk berdiam diri dan berkhayal. Semua aktivitas dilakukan secara bersama – sama, antara para kedisiplinan dan rasa kebersamaan dalam suatu komunitas. 2. Pertemuan Pada terapi komunitas pertemuan berdasarkan tujuannya, dibedakan Universitas Sumatera Utara 46 menjadi 4 (empat) macam, yaitu : a. Morning Meeting Kegiatan yang bersifat formal dilakukan pada pagi hari, sesudah makan, selama 30-45 menit. Kegiatan ini diikuti oleh staf dan residen dengan mengenakan pakaian formal dan bersepatu, kemudian mengucapkan moto hidup dari terapi komunitas agar memberi semangat dan bebas dari ketergantungan narkoba. Tujuan kegiatan ini yaitu mempengaruhi aspek psikologi, dengan mengawali hari dengan baik, keakraban dan persaudaraan meningkatkan rasa dalam komunitas dan yang terutama adalah memotivasi agar aktivitas sepanjang hari dapat berlangsung dengan baik (Leon, 2000). b. Seminar Pertemuan formal yang dilakukan setiap sore selama 60-90 menit. Kegiatan seminar dilakukan untuk mengasah kemampuan mendengarkan, berbicara dan memperhatikan. Pada kegiatan ini pasien diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat secara bebas sehingga merangsang kemampuan berkomunikasi. Tujuan seminar adalah sebagai stimulasi intelektual, yaitu merangsang kreatifitas untuk memberi ide dan tanggapan terhadap hal-hal yang baru, dan membentuk pola berpikir yang benar dan sarana berinteraksi sosial serta merupakan pastisipasi aktif dalam kegiatan berkomunikasi. Penataan ruang biasanya disusun seperti susunan ruang kelas agar terkesan formal (Leon, 2000). c. House Meeting Universitas Sumatera Utara 47 Pertemuan informal yang dilakukan setiap malam hari, setelah makan malam. Sifat pertemuan lebih akrab. Lama pertemuan sekitar 45-60 menit. Situasi pada saat pertemuan adalah pasien dalam keadaan santai, duduk tenang, pasif atau cenderung mendengarkan. Tujuan house meeting adalah mengevaluasi semua kegiatan yang telah dilakukan sepanjang hari, baik yang positif maupun yang negatif (Leon, 2000 : 256). d. General Meeting Pertemuan ini bersifat santai namun kekeluargaan. Lama pertemuan tidak ditentukan. Tujuanya merayakan hal-hal yang membaanggakan atas residen sehingga memotivasi dan prestasi meningkatkan kesadaran untuk berperilaku positif.. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri merupakan bagian yang sangat berarti bagi proses kesembuhan ( Leon, 2000). 3. Permainan Berbagai permainan yang dapat meningkatkan kemampuan bekerja sama dalam kelompok, mengasah kreativitas dan intelektual, mengembangkan kemampuan untuk mengungapkan pendapat dan lain-lain. 4. Ibadah Perbaikan mental spiritual sangat dibutuhkan oleh pasien. Memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan dapat membantu pasien dalam mengendalikan perilaku dan pola berpikir. Beribadah secara rutin akan dapat membantu proses penyembuhan. Kegiatan beribadah dilakukan bersama-sama. Universitas Sumatera Utara 48 5. Ketrampilan untuk bertahan mandiri lepas dari ketergantungan dengan narkoba (Vocational/Survival Skill) Pelatihan yang diberikan untuk mampu bertahan mandiri lepas dari ketergantungan narkoba dengan pemberian tugas secara bertahap mulai dari yang mudah hingga kompleks dan menuntut tanggung jawab dari setiap individu. Pelatihan kepemimpinan dan penerapannya di lingkungan komunitas, meliputi evaluasi dan pengambilan keputusan yang telah dibuat dalam komunitas. .3.2. STANDAR PELAYANAN REHABILITASI NARKOBA Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Buku Standar Pelayan dan Rehabilitasi Sosial. Kegiatan korban pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna narkoba dilaksanakan dengan tahap yang baku / standar, meliputi: Minimal Terapi Medik Ketergantungan Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Aditif Lainnya, terbitan tahun 2003 perlu adanya standar pelayanan minimal diperlukan sebagai panduan bagi pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban narkoba secara lebih profesional. Aspek-aspek yang harus distandarisasi adalah : 1. Legalitas Institusi Pengelola. Institusi pengelola pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba wajib mempunyai legalitas. Sebuah panti pelayanan dan rehabilitasi sosial korban narkoba tercatat di instansi sosial terkait (Dinas Sosial setempat, Universitas Sumatera Utara 49 Departemen Sosial R.I), mempunyai struktur organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) dan akte notaris. 2. Pemenuhan Kebutuhan Klien/Residen Kebutuhan pokok klien/residen dipenuhi oleh pengelola panti pelaksana pelayanan dan rehabilitasi sosila, dengan mempertimbangkan kelayakan dan proporsionalitas. Kebutuhan yang harus dipenuhi adalah: Makan 3 kali sehari ditambah dengan makanan tambahan (bubur kacanghijau, dan sebagainya, dengan mempertimbangkan kecukupan gizi dengan menu gizi seimbang; Pelayanan kesehatan, untuk pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan dengan kerjasama Puskesmas, dokter praktek, dan rumah sakit setempat yang menguasai masalah penyalahgunaan narkoba; Pelayanan rekreasional, dalam bentuk penyediaan pesawat televisi, alat musik sederhana,di tempat terbuka, dan lain. 1) Pendekatan Awal Pendekatan awal adalah kegiatan yang mengawali keseluruhan proses pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan dengan penyampaian informasi program kepada masyarakat, instansi terkait, dan organisasi sosial (lain) guna memperoleh dukungan dan data awal calon klien / residen dengan persyaratan yang telah ditentukan. 2) Penerimaan Pada tahap ini dilakukan kegiatan administrasi untuk menentukan apakah diterima atau tidak dengan mempertimbangkan hal–hal sebagai berikut: Pengurusan administrasi surat menyurat yang diperlukan untuk Universitas Sumatera Utara 50 persyaratan masuk panti (seperti surat keterangan medical check up, test urine negatif, dan sebagainya); Pengisian formulir dan wawancara dan penentuan persyaratan menjadi klien/residen; encatatan klien/residen dalam buku registrasi. 3) Asesme Asesmen merupakan kegiatan penelaahan dan pengungkapan masalahuntuk mengetahui seluruh permasalahan klien/residen, menetapkan rencana dan pelaksanaan intervensi. Kegiatan asesmen meliputi : Menelusuri belakang dan mengungkapkan latar dan keadaan klien/residen; Melaksanakan diagnosa permasalahan; Menentukan langkah-langkah rehabilitasi; menentukan dukungan latihan ang diperlukan; menempatkan klien/residen dalam proses rehabilitasi. 4) Bimbingan Fisik Kegiatan ini ditujukan untuk memulihkan kondisi fisik klien/residen, meliputi pelayanan kesehatan, peningkatan gizi, baris berbaris dan olah raga. 5) Bimbingan Mental dan Sosial Bimbingan mental dan sosial meliputi bidang keagamaan/spritual, budi pekerti individual dan social/ kelompok dan motivasi klien/residen (psikologis). 6) Bimbingan orang tua dan keluarga Universitas Sumatera Utara 51 Bimbingan bagi orang tua/keluarga dimaksudkan agar orang tua/keluarga dapat menerima keadaan klien/residen memberi support, dan menerima klien/residen kembali di rumah pada saat rehabilitasi telah selesai. 7) Bimbingan Keterampilan Bimbingan keterampilan berupa pelatihan vokalisasi dan keterampilan usaha (survival skill), sesuai dengan kebutuhan klien / residen. 8) Resosialisasi / Reintegrasi Kegiatan ini merupakan komponen pelayanan dan rehabiltasi yang diarahkan untuk menyiapkan kondisi klien/ residen yang akan kembali kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini meliputi: Pendekatan kepada klien/residen untuk kesiapan kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat tempat tinggalnya; Menghubungi dan memotivasi keluarga klien/residen serta lingkungan masyarakat untuk menerima kembali klien/residen; Menghubungi lembaga pendidikan bagi klien yang akan melanjutkan sekolah. 9) Penyaluran dan Bimbingan Lanjut (Aftercare) Dalam penyaluran dilakukan pemulangan klien/residen kepada orang tua/wali, disalurkan ke sekolah maupun instansi/perusahaan dalam rangka penempatan kerja. Bimbingan lanjut dilakukan secara berkala dalam rangka pencegahan kambuh/relapse bagi klien dengan kegiatan konseling, kelompok dan sebagainya. 10) Terminasi Universitas Sumatera Utara 52 Kegiatan ini berupa pengakhiran/pemutusan program pelayanan dan rehabilitasi bagi klien/residen yang telah mencapai target program (clean and sober). 3. Sumber Daya Manusia Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkoba adalah kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para profesional. Dalam rangka mencapai target yang baik, maka diperlukan sumber dayamanusia yang mempunyai kualifikasi tertentu. Dalam bidang administrasi kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba membutuhkan tenaga pimpinan/kepala/direktur, petugas tata usaha, keuangan, pesuruh/office boy, petugas keamanan/security. Dalam bidang teknis diperlukan tenaga pekerja sosial, bekerja sama dengan psikologi, psikiater/dokter, paramedik/perawat, guru/instruktur, konselor, dan pembimbing keagamaan. 4. Sarana Prasarana (Fasilitas) Sesuai dengan fungsi panti, maka sarana dan prasarana dapat dikelompokkan menjadi: Sarana bangunan gedung, misalnya: kantor, asrama, ruang kelas, ruang konseling, ruang keterampilan, aula, dapur, dan sebagainya; Prasarana, misalnya: jalan, listrik, air minum, pagar, saluran air, peralatan kantor, pelayanan, dan sebagainya. Untuk terlaksananya tugas dan fungsi panti secara efektif dan effisien, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, baik Universitas Sumatera Utara 53 jumlah maupun jenisnya termasuk letak dan lokasi panti, yang disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk pembangunan panti pelayanan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba sebaiknya dicari dan ditetapkan lokasi luas tanah dan persyaratan sesuai kebutuhan, sehingga dapat menunjang pelayanan, dengan memperhatikan hal–hal sebagai berikut: Pada daerah yang tenang, aman dan nyaman; Kondisi lingkungan yang sehat; Tersedianya sarana air bersih; Tersedianya jaringan listrik; Tersedianya jaringan komunikasi telepon; Luas tanah proporsional dengan jumlah klien / residen yang ada. Sebelum menetapkan lokasi panti sebaiknya dilakukan studi kelayakan tentang: Statusnya, agar hak pemakaian jelas dan sesuai dengan peruntukan lahan, sehingga tidak terjadi hal-hal yang kurang menguntungkan; Mendapatkan dukungan dari masyarakat terhadap keberadaan panti, sehingga proses resosialisasi dan reintegra si dalam masyarakat dapat dilaksanakan. 5. Aksesibilitas Di dalam masyarakat, panti pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba tidaklah berdiri sendiri. Panti ini terkait seluruh aspek penanggulangan dengan penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu panti ini harus membuka diri dan menciptakan kerja sama dengan pihak terkait lain, seperti dalam pelaksanaan sistem referal/rujukan. Bentuk aksesibilitas semacam itu harus pula bersifat baku/standar. 6. Laboratorium Universitas Sumatera Utara 54 Pengadaan laboratorium digunakan untuk pemeriksaan uji kadar narkotika dalam tubuh pasien. Dalam pelaksanaanya perlu adanya perizinan, yang meliputi: Pro Yustisia,mUntuk keperluan tindak pidana NAPZA/Narkotika diperlukan suatu laboratorium yang mempunyai sarana dan prasarana lengkap sesuai standar yang berlaku untuk pemeriksaan konfirmasi. Dan memiliki izin khusus dari pihak yang berwenang; Klinis (Terapi dan Rehabilitasi), Untuk keperluan klinis (terapi dan rehabilitasi) dan Skrining Penyalahgunaan Napza/Narkotika dengan sarana dan prasarana sesuai standar yang ditentukan. Laboratorium pemeriksa NAPZA/Narkoba dapat dikelola oleh pemerintah yang meliputi Balai Laboratorium Kesehatan, Rumah Sakit Propinsi dan Rumah Sakit Kabupaten/Kota dan Laboratorium Instansi lain. Bagi Laboratorium kesehatan swasta, maupun Rumah Sakit swasta yang melakukan pemeriksaan NAPZA/Narkoba harus mempunyai izin yang masih berlaku. Universitas Sumatera Utara