17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus)
Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di
daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan
Baranang Siang Bogor Timur. Dari ketiga lokasi pengambilan sampel ikan
maskoki tersebut diketahui bahwa ikan maskoki dipelihara pada kondisi yang
tidak berbeda jauh (Tabel 2). Namun ikan maskoki di Bogor Tengah ditempatkan
di satu akuarium tanpa diberi tanaman hias, sedangkan ikan maskoki di Bogor
Timur dan Bogor Selatan ditempatkan pada satu akuarium bersama ikan hias jenis
lain.
Tabel 2 Kondisi pemeliharaan ikan maskoki
No
1.
2.
3.
4.
5.
Parameter
Tempat
pemeliharaan
Aerator
Hiasan aquarium
Asal air
Makanan
Bogor Tengah
Akuarium
Bogor Selatan
Akuarium
Bogor Timur
Akuarium
Ada
Tidak ada
Sumur
Pelet Ikan
Ada
Tanaman Hias
Sumur
Pelet Ikan
Ada
Tanaman Hias
Sumur
Pelet Ikan
Prevalensi Kecacingan Pada Ikan Maskoki
Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki di Bogor disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di
Bogor
No.
1.
2.
3.
Lokasi Pengambilan
Bogor Tengah
Bogor Selatan
Bogor Timur
Jumlah Ikan
yang diperiksa
10
10
10
Prevalensi cacing
di insang
(%)
100
100
100
Prevalensi
cacing di usus
(%)
0
0
0
Ikan maskoki di Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan
Baranang Siang Bogor Timur memiliki nilai prevalensi kecacingan sebesar 100%
di insang dan 0% di usus. Berdasarkan kategori yang dikembangkan oleh
Williams dan Williams (1996), tingkat prevalensi kecacingan pada insang ikan
maskoki tersebut masuk ke dalam kategori infeksi always (99-100%). Sedangkan
17
tingkat prevalensi kecacingan pada usus ikan maskoki masuk kedalam kategori
infeksi almost never (<0.01).
Tingkat prevalensi kecacingan yang tinggi di insang mungkin dikarenakan
insang ikan bersentuhan langsung dengan lingkungan luar (air), sehingga
kemungkinan cacing parasit insang yang ada di lingkungan dapat menempel pada
insang. Nilai prevalensi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor intrinsik
dan faktor eksterinsik. Faktor intrinsik berupa kekebalan individu, jenis kelamin,
dan ukuran tubuh ikan. Sementara itu, faktor eksterinsik berupa kualitas air,
kualitas sanitasi kolam, dan populasi ikan yang terlalu padat (Noble & Noble
1989).
Identifikasi Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius auratus)
Hasil dari identifikasi cacing Parasitik Pada Ikan Maskoki adalah insang
ikan maskoki dari Pasar Anyar Bogor Tengah terinfeksi oleh cacing parasitik dari
kelas Monogenea yaitu Dactylogyrus sp. (gambar 1A, 1B, 1C) dan cacing dari
subkelas Monophytochotylea (1D). Sedangkan insang ikan maskoki dari Batu
Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur terinfeksi oleh
Dacytylogyrus sp. (gambar 2A dan 2B untuk Batu Tulis Bogor Selatan, Gambar
3A dan 3B untuk Baranang Siang Bogor Timur).
Cacing cacing parasit (Cacing gambar 1A, 1B,1C, 2A, 3A, 3B)
teridentifikasi sebagai Dacytylogyrus sp. karena memiliki seperti kepala kelenjar,
2 pasang spot mata, garis haptor, 1-2 pasang kait utama dan beberapa pasang
jangkar (kait marginal) di bagian opishaptor seperti Dacytylogyrus sp. pada
umumnya. Cacing parasitik (Gambar 2B) awalnya sulit teridentifikasi dikarenakan
bagian anterior cacing tersebut terlipat. Namun, adanya dua pasang kait, dua
pasang spot mata, dan bagian anterior yang diperkirakan memiliki kepala kelenjar
menyebabkan cacing ini teridentifikasi sebagai Dactylogyrus sp.. Cacing-cacing
yang ditemukan memiliki bentuk anterior dan posterior yang mirip satu sama lain
yang membedakan adalah bentuk kait, ukuran panjang dan lebar tubuh. Hal
tersebut mungkin dikarenakan cacing-cacing yang ditemukan merupakan spesies
yang berbeda. Identifikasi cacing parasit belum dapat dilakukan hingga tingkat
spesies dikarenakan organ dalam preparat yang tidak begitu jelas.
18
1C
1B
Kait Utama
2B
2A
3A
3B
Gambar 7 Cacing-cacing parasitik yang berada di insang ikan maskoki 1A)
Dactylogyrus sp.; 1B) Dactylogyrus sp.; 1C) Dactylogyrus sp.; 1D)
Monopisthocotylea; 2A) Dactylogyrus sp.; 2B) Dactylogyrus sp.;
3A) Dactylogyrus sp.; 3B) Dactylogyrus sp..
19
Cacing pada gambar 1D memiliki haptor serta kait pada bagian ujung
posterior tubuh seperti pada cacing-cacing pada kelas monogenea. Cacing tersebut
juga memiliki satu pasang kait dan 2 pasang spot mata seperti cacing dari genus
Dactylogyrus namun karena bentuk mulut penghisap yang berbeda menyebabkan
cacing ini tidak dapat digolongkan ke dalam genus Dactylogyrus. Walaupun
begitu, cacing parasitik ini (Gambar 1D) masih masuk ke dalam subkelas
Monopisthocotylea karena memiliki posisi mulut di ventral.
Infeksi yang berat dari Monogenea
baik itu Dactylogyrus sp. maupun
cacing dari subkelas Monophytochotylea dapat menyebabkan hiperplasia epitel,
hancurnya epitel insang dan hipersekresi lendir yang menyebabkan terganggunya
pertukaran oksigen sehingga menyebabkan terjadinya kematian karena sesak
nafas. Selain itu, keberadaan parasit Monogenea juga dapat meyebabkan
terjadinya lesi sekunder oleh jamur, bakteri, dan mikroorganisme lain. Infestasi
yang berat biasanya disebabkan oleh sanitasi yang buruk, kualitas air yang buruk,
atau aliran air yang tidak memadai. Walaupun demikian, cacing parasit
Monogenea trematoda tidak bersifat zoonosis (Kent dan Fournie 2007).
Dactylogyrus sp. merupakan cacing parasit yang melekat pada insang ikan
air tawar. Cacing parasit tersebut dapat menyerang insang dari ikan maskoki, ikan
mas, Fundulus grandis, dan spesies lainnya. Ikan yang terinfeksi dalam jumlah
besar dapat menunjukkan tanda-tanda klinis berupa gerakan pernapasan yang
cepat, menjadi lesu, berenang di dekat permukaan, dan menolak makanan. Infeksi
oleh Dactylogyrus sp. dengan jumlah cacing parasit yang tinggi akan
mempengaruhi kesehatan ikan dan dapat menyebabkan kematian (Kent dan
Fournie 2007). Keadaan tersebut menyebabkan gangguan contohnya kerugian
pada budidaya ikan.
Jumlah Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius auratus)
Jumlah cacing parasitik pada ikan maskoki dari Pasar Anyar Bogor tengah,
Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur dapat diamati pada
Tabel 4.
20
Tabel 4 Jumlah cacing pada ikan di Bogor
No
Lokasi
1. Bogor Tengah
2. Bogor Selatan
3. Bogor Timur
Berat Badan
ikan (gr)
20.28±4.57
9.32±1.56
9.16±1.34
Panjang tubuh
ikan (cm)
7.81±0.43
7.53±0.50
6.9±0.51
Ʃ Cacing di
insang (ekor)
34.75±16.55
23.10±17.33
10.10±05.70
Ʃ Cacing
di usus (ekor)
0
0
0
Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan maskoki yang berasal dari Bogor Tengah
memiliki ukuran tubuh yang paling besar dan memiliki rata-rata jumlah cacing
paling banyak jika dibandingkan dengan ikan sampel dari Bogor Selatan dan
Bogor Timur. Menurut Ozer dan Ozturk (2005), ikan berukuran besar memiliki
jumlah parasit yang lebih banyak. Ukuran tubuh yang besar akan memberikan
area permukaan insang yang lebih luas untuk parasit, peningkatan aliran air yang
lebih tinggi dan ketersediaan makanan yang lebih banyak.
Keberadaan cacing parasit di ikan juga bergantung pada tingkat stres dan
imunitas dari tiap individu ikan. Timbulnya stres akan mempengaruhi kemampuan
ikan untuk secara efektif melindungi diri terhadap infeksi parasit. Imunitas ikan
yang rendah akan menyebabkan ikan dapat terinfeksi parasit dalam jumlah
banyak. Selain stres dan imunitas, faktor intrinsik seperti umur ikan juga akan
mempengaruhi kecacingan. Menurut Noble dan Noble (1989), semakin tua inang
akan semakin resisten. Inang yang lebih tua dapat mengandung jumlah parasit
yang lebih besar. Ikan muda memiliki respon antibodi yang lebih lambat karena
imunitas bawaan pada hewan muda belum cukup untuk menghadapi ektoparasit
yang ada di lingkungan karena belum cukup berkembang (Abdulghani et al 2009).
Menurut Reed et al. (2009) salah satu pencegahan yang efektif untuk
menghilangkan parasit patogen pada ekspor dan impor ikan hidup adalah dengan
dilakukannya karantina. Saat karantina, perlu dilakukan biopsi pada ikan hidup
tersebut untuk mengidentifikasi cacing parasit. Untuk mengurangi atau
meminimalkan jumlah cacing parasitik monogenea pada ikan air tawar, ikan dapat
dimasukkan ke dalam air garam selama 30 menit. Perlakuan tersebut akan
menyebabkan pengurangan jumlah parasit bahkan kematian parasit karena
ketidakmampuan parasit dalam mentoleransi salinitas. Dengan adanya adaptasi
lingkungan maka inang menjadi saling toleran terhadap parasitnya.
21
Sel Leukosit Ikan Maskoki (Carassius auratus)
Leukosit pada ikan maskoki terdiri dari sel limfosit, sel neutrofil, sel
eosinofil, sel monosit, dan sel basofil. Pengamatan terhadap diferensial sel
leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi dari leukosit.
Tabel 5 Diferensial Leukosit ikan maskoki
No Diferensial
leukosit
(%)
1. Limfosit
2. Neutrofil
3. Eosinofil
4. Monosit
5. Basofil
Bogor
Tengah
Bogor
Selatan
Bogor
Timur
Leukosit Normal Ikan Maskoki
Watson
(1963)
31.7±8.1
49.5±13.3
34.9±8.5
92
(21.5-52)
(22.5-67.5) (21.5-48.5)
32.5±10.5
23.1±6.8
36.5±8.1
5
( 21.5-56.5) (10.5-40.5 (18.5-46.5)
24.9±9.4
20.2±8.5
23.6±8.9
2
(9.5-42)
(10.5-42.5) (16.5-39.5)
10.9±3.1
4.4±2.1
5±5.2
(10.5-4.5)
(1.5-10)
(0.5-18)
0
0
0
0.2
Loewenthal Lewbart
(1930)
(2006)
73
70
10.5
29
8
8.6
1
0.5
Menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf
1993),
persentase leukosit normal ikan maskoki berupa 10.5% neutrofil, 0.5% basofil,
73% Limfosit, 8.6% monosit dan 8% eosinofil. Menurut Watson (Watson 1930,
diacu dalam Stoskopf 1993), ikan maskoki memiliki kisaran leukosit normal
berupa 5% neutrofil, 0.2% basofil, 92% limfosit dan 2% eosinofil. Sedangkan
menurut Lewbart (2006) ikan maskoki memiliki 29% neutrofil, nilai limfosit
sebesar 70% dan nilai monosit sebesar 1%.
Jumlah sel limfosit sampel ikan maskoki dari Bogor Tengah sebesar 31.7%,
49.5% untuk sampel ikan dari Bogor Selatan, dan 34.9% untuk sampel ikan dari
Bogor Timur. Persentase tersebut dinilai jauh lebih rendah dari persetase sel
limfosit ikan maskoki normal baik menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu
dalam Stoskopf 1993) yaitu 73%, Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf
1993) yaitu 92%, dan menurut Lewbart (2006) yaitu 70%. Ikan maskoki dari
Bogor Tengah memiliki jumlah sel eosinofil sebesar 24.9%, ikan dari Bogor
Selatan memiliki jumlah sel eosinofil 20.2%, dan ikan dari Bogor Timur memiliki
jumlah sel eosinofil sebesar 23.6%. Jumlah sel eosinofil tersebut lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jumlah sel eosinofil normal.
22
Jumlah sel neutrofil ikan maskoki dari Bogor Tengah sebesar 32.5%, 23.1%
untuk ikan dari Bogor Selatan, dan 36.5% untuk ikan dari Bogor Timur.
Persentase tersebut dinilai lebih tinggi dari persetase sel neutrofil ikan maskoki
normal menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993)
yaitu 10.5% dan menurut Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993)
yaitu 5%.
Ikan maskoki dari Bogor Tengah memiliki 10% sel monosit, ikan dari
Bogor Selatan memiliki jumlah sel monosit 4.4%, dan ikan dari Bogor Timur
memiliki jumlah sel monosit sebesar 5%. Dari hasil penelitian didapatkan 0%
untuk semua sel basofil baik dari ikan maskoki Bogor Tegah, Bogor Selatan
maupun Bogor Timur. Menurut Hrubec dan Smith (2010). Kehadiran sel basofil
jarang dilaporkan. Hal ini dikarenakan jumlah sel basofil yang rendah atau
dikarenakan morfologi sel basofil yang tidak terawetkan dengan baik pada
preparat yang difiksasi dengan alkohol. Identifikasi sel basofil paling baik dengan
menggunakan acid toluidine blue stain.
Jika dibandingkan antara hasil penelitian dengan diferensial sel leukosit
normal menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) serta
Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) dan Lewbart (2006)
ditemukan bahwa diferensial sel leukosit sampel ikan mengalami peningkatan sel
eosinofil dan peningkatan sel neutrofil. Hal tersebut dapat dikarenakan ikan
maskoki terinfestasi cacing parasit (Tabel 3).
Kecacingan dapat memberikan pengaruh pada leukosit berupa peningkatan
persentase sel eosinofil. Kecacingan juga dapat menyebabkan stres yang akan
meningkatkan persentase sel neutrofil serta akan menurunkan persentase sel
limfosit dari kisaran normal. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan
oleh Martins et al. (2004) bahwa infestasi cacing parasitik dapat menyebabkan
terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang terinfeksi.
Kehadiran cacing parasit dapat menyebabkan kerusakan pada lamela insang
dan menimbulkan stres. Menurut Menurut Hrubec dan Smith (2010), stres dan
inflamasi dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel neutrofil. Hal ini mungkin
didukung oleh fungsi sel neutrofil sebagai pertahanan pertama tubuh terhadap
banyak infeksi (Brooker 2005). Fagosit akan menyerang cacing dan melepaskan
23
bahan mikrobisidal untuk membunuh parasit yang terlalu besar untuk dimakan.
Banyak juga cacing yang memiliki lapisan permukaan yang tebal sehinga resisten
terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag (Baratawidjaja 2006). Hal
tersebut diantisipasi tubuh dengan memunculkan sel eosinofil sebagai pertahanan
tubuh spesifik terhadap kecacingan.
Cacing dapat merangsang produksi antibodi nonspesifik. Selanjutnya
eosinofil diaktifkan dan mensekresikan granul enzim yang menghancurkan
parasit. sel Eosinofil lebih efektif dibandingkan leukosit lain karena sel eosinofil
memiliki granul yang lebih toksik jika dibandingkan dengan enzim proteoilitik
dan ROI (Reactive Oxygen Intermediates) yang diproduksi neutrofil dan makrofag
(Baratawidjaja 2006).
24
Download