HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur. Dari ketiga lokasi pengambilan sampel ikan maskoki tersebut diketahui bahwa ikan maskoki dipelihara pada kondisi yang tidak berbeda jauh (Tabel 2). Namun ikan maskoki di Bogor Tengah ditempatkan di satu akuarium tanpa diberi tanaman hias, sedangkan ikan maskoki di Bogor Timur dan Bogor Selatan ditempatkan pada satu akuarium bersama ikan hias jenis lain. Tabel 2 Kondisi pemeliharaan ikan maskoki No 1. 2. 3. 4. 5. Parameter Tempat pemeliharaan Aerator Hiasan aquarium Asal air Makanan Bogor Tengah Akuarium Bogor Selatan Akuarium Bogor Timur Akuarium Ada Tidak ada Sumur Pelet Ikan Ada Tanaman Hias Sumur Pelet Ikan Ada Tanaman Hias Sumur Pelet Ikan Prevalensi Kecacingan Pada Ikan Maskoki Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki di Bogor disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor No. 1. 2. 3. Lokasi Pengambilan Bogor Tengah Bogor Selatan Bogor Timur Jumlah Ikan yang diperiksa 10 10 10 Prevalensi cacing di insang (%) 100 100 100 Prevalensi cacing di usus (%) 0 0 0 Ikan maskoki di Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur memiliki nilai prevalensi kecacingan sebesar 100% di insang dan 0% di usus. Berdasarkan kategori yang dikembangkan oleh Williams dan Williams (1996), tingkat prevalensi kecacingan pada insang ikan maskoki tersebut masuk ke dalam kategori infeksi always (99-100%). Sedangkan 17 tingkat prevalensi kecacingan pada usus ikan maskoki masuk kedalam kategori infeksi almost never (<0.01). Tingkat prevalensi kecacingan yang tinggi di insang mungkin dikarenakan insang ikan bersentuhan langsung dengan lingkungan luar (air), sehingga kemungkinan cacing parasit insang yang ada di lingkungan dapat menempel pada insang. Nilai prevalensi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor eksterinsik. Faktor intrinsik berupa kekebalan individu, jenis kelamin, dan ukuran tubuh ikan. Sementara itu, faktor eksterinsik berupa kualitas air, kualitas sanitasi kolam, dan populasi ikan yang terlalu padat (Noble & Noble 1989). Identifikasi Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius auratus) Hasil dari identifikasi cacing Parasitik Pada Ikan Maskoki adalah insang ikan maskoki dari Pasar Anyar Bogor Tengah terinfeksi oleh cacing parasitik dari kelas Monogenea yaitu Dactylogyrus sp. (gambar 1A, 1B, 1C) dan cacing dari subkelas Monophytochotylea (1D). Sedangkan insang ikan maskoki dari Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur terinfeksi oleh Dacytylogyrus sp. (gambar 2A dan 2B untuk Batu Tulis Bogor Selatan, Gambar 3A dan 3B untuk Baranang Siang Bogor Timur). Cacing cacing parasit (Cacing gambar 1A, 1B,1C, 2A, 3A, 3B) teridentifikasi sebagai Dacytylogyrus sp. karena memiliki seperti kepala kelenjar, 2 pasang spot mata, garis haptor, 1-2 pasang kait utama dan beberapa pasang jangkar (kait marginal) di bagian opishaptor seperti Dacytylogyrus sp. pada umumnya. Cacing parasitik (Gambar 2B) awalnya sulit teridentifikasi dikarenakan bagian anterior cacing tersebut terlipat. Namun, adanya dua pasang kait, dua pasang spot mata, dan bagian anterior yang diperkirakan memiliki kepala kelenjar menyebabkan cacing ini teridentifikasi sebagai Dactylogyrus sp.. Cacing-cacing yang ditemukan memiliki bentuk anterior dan posterior yang mirip satu sama lain yang membedakan adalah bentuk kait, ukuran panjang dan lebar tubuh. Hal tersebut mungkin dikarenakan cacing-cacing yang ditemukan merupakan spesies yang berbeda. Identifikasi cacing parasit belum dapat dilakukan hingga tingkat spesies dikarenakan organ dalam preparat yang tidak begitu jelas. 18 1C 1B Kait Utama 2B 2A 3A 3B Gambar 7 Cacing-cacing parasitik yang berada di insang ikan maskoki 1A) Dactylogyrus sp.; 1B) Dactylogyrus sp.; 1C) Dactylogyrus sp.; 1D) Monopisthocotylea; 2A) Dactylogyrus sp.; 2B) Dactylogyrus sp.; 3A) Dactylogyrus sp.; 3B) Dactylogyrus sp.. 19 Cacing pada gambar 1D memiliki haptor serta kait pada bagian ujung posterior tubuh seperti pada cacing-cacing pada kelas monogenea. Cacing tersebut juga memiliki satu pasang kait dan 2 pasang spot mata seperti cacing dari genus Dactylogyrus namun karena bentuk mulut penghisap yang berbeda menyebabkan cacing ini tidak dapat digolongkan ke dalam genus Dactylogyrus. Walaupun begitu, cacing parasitik ini (Gambar 1D) masih masuk ke dalam subkelas Monopisthocotylea karena memiliki posisi mulut di ventral. Infeksi yang berat dari Monogenea baik itu Dactylogyrus sp. maupun cacing dari subkelas Monophytochotylea dapat menyebabkan hiperplasia epitel, hancurnya epitel insang dan hipersekresi lendir yang menyebabkan terganggunya pertukaran oksigen sehingga menyebabkan terjadinya kematian karena sesak nafas. Selain itu, keberadaan parasit Monogenea juga dapat meyebabkan terjadinya lesi sekunder oleh jamur, bakteri, dan mikroorganisme lain. Infestasi yang berat biasanya disebabkan oleh sanitasi yang buruk, kualitas air yang buruk, atau aliran air yang tidak memadai. Walaupun demikian, cacing parasit Monogenea trematoda tidak bersifat zoonosis (Kent dan Fournie 2007). Dactylogyrus sp. merupakan cacing parasit yang melekat pada insang ikan air tawar. Cacing parasit tersebut dapat menyerang insang dari ikan maskoki, ikan mas, Fundulus grandis, dan spesies lainnya. Ikan yang terinfeksi dalam jumlah besar dapat menunjukkan tanda-tanda klinis berupa gerakan pernapasan yang cepat, menjadi lesu, berenang di dekat permukaan, dan menolak makanan. Infeksi oleh Dactylogyrus sp. dengan jumlah cacing parasit yang tinggi akan mempengaruhi kesehatan ikan dan dapat menyebabkan kematian (Kent dan Fournie 2007). Keadaan tersebut menyebabkan gangguan contohnya kerugian pada budidaya ikan. Jumlah Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius auratus) Jumlah cacing parasitik pada ikan maskoki dari Pasar Anyar Bogor tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur dapat diamati pada Tabel 4. 20 Tabel 4 Jumlah cacing pada ikan di Bogor No Lokasi 1. Bogor Tengah 2. Bogor Selatan 3. Bogor Timur Berat Badan ikan (gr) 20.28±4.57 9.32±1.56 9.16±1.34 Panjang tubuh ikan (cm) 7.81±0.43 7.53±0.50 6.9±0.51 Ʃ Cacing di insang (ekor) 34.75±16.55 23.10±17.33 10.10±05.70 Ʃ Cacing di usus (ekor) 0 0 0 Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan maskoki yang berasal dari Bogor Tengah memiliki ukuran tubuh yang paling besar dan memiliki rata-rata jumlah cacing paling banyak jika dibandingkan dengan ikan sampel dari Bogor Selatan dan Bogor Timur. Menurut Ozer dan Ozturk (2005), ikan berukuran besar memiliki jumlah parasit yang lebih banyak. Ukuran tubuh yang besar akan memberikan area permukaan insang yang lebih luas untuk parasit, peningkatan aliran air yang lebih tinggi dan ketersediaan makanan yang lebih banyak. Keberadaan cacing parasit di ikan juga bergantung pada tingkat stres dan imunitas dari tiap individu ikan. Timbulnya stres akan mempengaruhi kemampuan ikan untuk secara efektif melindungi diri terhadap infeksi parasit. Imunitas ikan yang rendah akan menyebabkan ikan dapat terinfeksi parasit dalam jumlah banyak. Selain stres dan imunitas, faktor intrinsik seperti umur ikan juga akan mempengaruhi kecacingan. Menurut Noble dan Noble (1989), semakin tua inang akan semakin resisten. Inang yang lebih tua dapat mengandung jumlah parasit yang lebih besar. Ikan muda memiliki respon antibodi yang lebih lambat karena imunitas bawaan pada hewan muda belum cukup untuk menghadapi ektoparasit yang ada di lingkungan karena belum cukup berkembang (Abdulghani et al 2009). Menurut Reed et al. (2009) salah satu pencegahan yang efektif untuk menghilangkan parasit patogen pada ekspor dan impor ikan hidup adalah dengan dilakukannya karantina. Saat karantina, perlu dilakukan biopsi pada ikan hidup tersebut untuk mengidentifikasi cacing parasit. Untuk mengurangi atau meminimalkan jumlah cacing parasitik monogenea pada ikan air tawar, ikan dapat dimasukkan ke dalam air garam selama 30 menit. Perlakuan tersebut akan menyebabkan pengurangan jumlah parasit bahkan kematian parasit karena ketidakmampuan parasit dalam mentoleransi salinitas. Dengan adanya adaptasi lingkungan maka inang menjadi saling toleran terhadap parasitnya. 21 Sel Leukosit Ikan Maskoki (Carassius auratus) Leukosit pada ikan maskoki terdiri dari sel limfosit, sel neutrofil, sel eosinofil, sel monosit, dan sel basofil. Pengamatan terhadap diferensial sel leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi dari leukosit. Tabel 5 Diferensial Leukosit ikan maskoki No Diferensial leukosit (%) 1. Limfosit 2. Neutrofil 3. Eosinofil 4. Monosit 5. Basofil Bogor Tengah Bogor Selatan Bogor Timur Leukosit Normal Ikan Maskoki Watson (1963) 31.7±8.1 49.5±13.3 34.9±8.5 92 (21.5-52) (22.5-67.5) (21.5-48.5) 32.5±10.5 23.1±6.8 36.5±8.1 5 ( 21.5-56.5) (10.5-40.5 (18.5-46.5) 24.9±9.4 20.2±8.5 23.6±8.9 2 (9.5-42) (10.5-42.5) (16.5-39.5) 10.9±3.1 4.4±2.1 5±5.2 (10.5-4.5) (1.5-10) (0.5-18) 0 0 0 0.2 Loewenthal Lewbart (1930) (2006) 73 70 10.5 29 8 8.6 1 0.5 Menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993), persentase leukosit normal ikan maskoki berupa 10.5% neutrofil, 0.5% basofil, 73% Limfosit, 8.6% monosit dan 8% eosinofil. Menurut Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993), ikan maskoki memiliki kisaran leukosit normal berupa 5% neutrofil, 0.2% basofil, 92% limfosit dan 2% eosinofil. Sedangkan menurut Lewbart (2006) ikan maskoki memiliki 29% neutrofil, nilai limfosit sebesar 70% dan nilai monosit sebesar 1%. Jumlah sel limfosit sampel ikan maskoki dari Bogor Tengah sebesar 31.7%, 49.5% untuk sampel ikan dari Bogor Selatan, dan 34.9% untuk sampel ikan dari Bogor Timur. Persentase tersebut dinilai jauh lebih rendah dari persetase sel limfosit ikan maskoki normal baik menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) yaitu 73%, Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) yaitu 92%, dan menurut Lewbart (2006) yaitu 70%. Ikan maskoki dari Bogor Tengah memiliki jumlah sel eosinofil sebesar 24.9%, ikan dari Bogor Selatan memiliki jumlah sel eosinofil 20.2%, dan ikan dari Bogor Timur memiliki jumlah sel eosinofil sebesar 23.6%. Jumlah sel eosinofil tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah sel eosinofil normal. 22 Jumlah sel neutrofil ikan maskoki dari Bogor Tengah sebesar 32.5%, 23.1% untuk ikan dari Bogor Selatan, dan 36.5% untuk ikan dari Bogor Timur. Persentase tersebut dinilai lebih tinggi dari persetase sel neutrofil ikan maskoki normal menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) yaitu 10.5% dan menurut Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) yaitu 5%. Ikan maskoki dari Bogor Tengah memiliki 10% sel monosit, ikan dari Bogor Selatan memiliki jumlah sel monosit 4.4%, dan ikan dari Bogor Timur memiliki jumlah sel monosit sebesar 5%. Dari hasil penelitian didapatkan 0% untuk semua sel basofil baik dari ikan maskoki Bogor Tegah, Bogor Selatan maupun Bogor Timur. Menurut Hrubec dan Smith (2010). Kehadiran sel basofil jarang dilaporkan. Hal ini dikarenakan jumlah sel basofil yang rendah atau dikarenakan morfologi sel basofil yang tidak terawetkan dengan baik pada preparat yang difiksasi dengan alkohol. Identifikasi sel basofil paling baik dengan menggunakan acid toluidine blue stain. Jika dibandingkan antara hasil penelitian dengan diferensial sel leukosit normal menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) serta Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) dan Lewbart (2006) ditemukan bahwa diferensial sel leukosit sampel ikan mengalami peningkatan sel eosinofil dan peningkatan sel neutrofil. Hal tersebut dapat dikarenakan ikan maskoki terinfestasi cacing parasit (Tabel 3). Kecacingan dapat memberikan pengaruh pada leukosit berupa peningkatan persentase sel eosinofil. Kecacingan juga dapat menyebabkan stres yang akan meningkatkan persentase sel neutrofil serta akan menurunkan persentase sel limfosit dari kisaran normal. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Martins et al. (2004) bahwa infestasi cacing parasitik dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang terinfeksi. Kehadiran cacing parasit dapat menyebabkan kerusakan pada lamela insang dan menimbulkan stres. Menurut Menurut Hrubec dan Smith (2010), stres dan inflamasi dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel neutrofil. Hal ini mungkin didukung oleh fungsi sel neutrofil sebagai pertahanan pertama tubuh terhadap banyak infeksi (Brooker 2005). Fagosit akan menyerang cacing dan melepaskan 23 bahan mikrobisidal untuk membunuh parasit yang terlalu besar untuk dimakan. Banyak juga cacing yang memiliki lapisan permukaan yang tebal sehinga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag (Baratawidjaja 2006). Hal tersebut diantisipasi tubuh dengan memunculkan sel eosinofil sebagai pertahanan tubuh spesifik terhadap kecacingan. Cacing dapat merangsang produksi antibodi nonspesifik. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresikan granul enzim yang menghancurkan parasit. sel Eosinofil lebih efektif dibandingkan leukosit lain karena sel eosinofil memiliki granul yang lebih toksik jika dibandingkan dengan enzim proteoilitik dan ROI (Reactive Oxygen Intermediates) yang diproduksi neutrofil dan makrofag (Baratawidjaja 2006). 24