TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Gloxinia Gloxinia (Siningia speciosa) merupakan tanaman yang berasal dari Brazil, termasuk dalam famili Gesneriaceae bersama dengan Saintpaulia ionantha (African violet). Tanaman Siningia speciosa pertama kali bernama Gloxinia speciosa, yang diberikan oleh Conrad L~ddigesseorang petani bunga berkebangsaan Inggris, dan sampai sekarang nama gloxinia lebih dikenal dari nama bofaninya (Syafni, 2006). Tanaman ini merupakan tanaman herba yang memiliki daun dan bunga yang indah, helai daunnya lebar, berwama hijau tua dan berbulu. Gloxinia ~empunyaisatu atau lebih batang daun yang berpasangan clan berbatang pendek dengan beberapa jenis ada yang mencapai tinggi 30 cm. Daunnya oval, agak persegi, tepi daun bergerigi dengan tangkai daun pendek. Panjang daun untuk jenis-jenis budidaya mencapai ukuran 12.5 - 35 cm dengan warna perak atau hijau gelap dan lebar daunnya 7.5 - 15 cm (Larouse, 1995). Untuk jenis-jenis liar panjang daun dapat mencapai 8 inci dan lebamya 6 inci. Kedua sisi permukaan daun berbulu halus dengan permukaan daun atas berwarna hijau dan urat dam berwarna agak putih. Gloxinia ada yang tumbuh tegak dan ada yang mendatar, memiliki umbi dengan akar muncul disekelilingnya. Bunga gloxinia tumbuh di tengah lingkaran daun, berbentuk lonceng, berbulu halus dengan diameter 7.5 - 15 cm dan bermahkota tunggal (Crockett, 1974). Bunganya berwarna ungu, putih, rose, merah, kekuningan dengan motif polos atau berbintik (Larouse, 1995). Menurut McHoy (1995) ada beberapa bunga yang berwarna kontras clan sangat menarik. Gloxinia dapat tumbuh di berbagai tempat dengan ketinggian 250 - 1500 m di atas permukaan laut. Air merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk pertumbuhan gloxinia. Ketersediaan air ini sangat membantu kelangsungan pertumbuhan tanaman gloxinia. Air yang berlebihan menyebabkan akar dan umbi membusuk dan kemudian mati, sedangkan kurangnya air dapat menyebabkan tanaman menjadi layu. Gloxinia memerlukan air secukupnya sampai akhir pembungaan dan perlahan-lahan mengalami pengguguran sampai berhenti. Untuk pertumbuhan tanaman yang baik dipertukan unsur hara yang seimbang. Pemupukan dapat dilakukan setiap 2-3 kalilminggu sampai tanaman berbunga (Larouse, 1995). Menurut McHoy (1995) bahwa ketika pembungaan telah sempuma, pemupukan dapat dihentikan. Cahaya juga mempakan salah satu faktor iklim yang sangat mempengaruhi pertumbuhan suatu tanaman. Gloxinia memerlukan cahaya selarna pertumbuhan dan perkembangmnya. Intensitas cahaya dapat mempengaruhi ukuran daun tanaman gloxinia. Dam akan memucat jika cahaya tidak mencukupi (De Vertuil, 1984). Selain cahaya yang tidak mencukupi, suhu air yang rendah dapat menimbulkan tintik pada daun dan menghambat pembentukan tunas baru. Gloxinia dapat tumbuh dengan suhu minimum ~O'Cdan 16' - 3 0 ' ~pada musim kemarau, dan memerlukan kelembaban tinggi (Bonar, 1992). Wood (1982) melaporkan bahwa kelembaban yang kurang, terutama pada musim kemarau, dapat menyebabkan kuncup bunga gloxinia dan african violet tidak membuka dan perlahan-lahan gugur. Seperti tanaman berumbi lainnya, gloxinia mengalami masa pertumbuhan dan dormansi. Pertumbuhan dari umbi akan memerlukan satu periode dengan dormansi penuh. Apabila bunga telah mulai layu satu per satu, akan diikuti dengan matinya daun sampai hanya tersisa umbi (Crockett, 1974). Masa dormansi berlangsung antara 2-4 bulan. Perbanyakan gloxinia dapat dilakukan dengan biji, umbi ataupun dam. Perbanyakan dengan biji memang sulit dilakukan karena gloxinia sulit menghasilkan biji. Selain itu, biji yang dihasilkan mempunyai kualitas yang menurun dari generasi ke generasi berikutnya sehingga bibit yang dikembangkan selalu tergantung dari biji impor yang kualitasnya terjarnin (Rahmi, 2007). Induksi Pembungaan Secara In Viiro Kultur jaringan atau teknik in viho adalah budidaya suatu jaringan tanaman menjadi lebih kecil yang memiliki sifat seperti induknya. Menumt Gunawan (1992) Mtur jaringan m e ~ p a k a nsuatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman, seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan atau organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembaii. Pembungaan merupakan peristiwa terjadinya pembahan pola pertumb.uhan dan perkembangan dari proses vegetatif menjadi generatif, yang dipengaruhi dan dikendalikan oleh interaksi genetik dengan lingkungan. Proses pembungaan mengandung sejumlah tahap penting yaitu : (1) induksi bunga, inisiasi bunga, (2) diferensiasi, (3) pendewasaan bagian-bagian bunga, serta (4) antesis (Lang, 1952). Pada tahap induksi akan terjadi pembahan respon biokimia pada pelapisan struktur apeks, yang menjadi sinyal pertama perubahan dari fase vegetatif menjadi generatif dan dapat dideteksi secara kimiawi dari peningkatan sintesis asam nukleat dan protein, yang dibutuhkan dalam pembelahan dan diferensiasi sel. Inisiasi bunga merupakan tahap yang sangat penting pada pembungaan tanaman dimana pada tahap ini terjadi perubahan morfologis menjadi bentuk kuncup generatif mulai dapat terdeteksi secara makroskopis untuk pertama kalinya dan transisi dari tunas vegetatif menjadi kuncup generatif ini dapat dideteksi dari perubahan bentuk maupun ukuran kuncup, serta proses-proses selanjutnya yang mulai membentuk organ-organ generatif. Perubahan tunas apikal dan aksilar menjadi tunas bunga merupakan h a i l dari aktivitas hormonal pada tanaman yang diinduksi oleh kondisi lingkungan tertentu seperti pembahan panjang hari (lama penyinaran) dan suhu. Pada tahap diferensiasi, struktur primordia bunga terlihat jelas dan terdiri dari sepal, petal, stamen, pistil maupun karpelnya. Selama tahap pendewasaan akan terjadi proses megasporogenesis dan mikrosporogenesis untuk penyempumaan dan pematangan organ-organ reproduksi jantan dan betina. Antesis merupakan tahap akhir ketika terjadi pemekaran bunga. Pada tahap ini, bagian-bagian bunga mencapai ukuran maksimum dan serbuk sari berkembang sempurna (Ryugo, 1990). Biasanya antesis terjadi bersamaan dengan masaknya organ reproduksi jantan dan betina, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Induksi pernbungaan rnempakan produksi senyawa penginduksi pernbungaan (suatu pembahan kimia pada ujung pucuk) sebagai respons terhadap temperatur dingin dan hari pendek (Gardner et al, 1991). Pembahan ini rnempengaruhi kehidupan tanaman, seperti aktivitas respirasi meningkat, asimilasi meningkat dan dengan dernikian kecepatan pengangkutan air, makanan dan hara ke arah bunga juga meningkat. Pengaruh induksi pembungaan tidak terjadi langsung pada satu waktu tetapi pada selang waktu tertentu, tergantung jenis tanamannya. Pembungaan dapat terjadi setelah melewati petiode malam kritis yang ditentukan oleh panjang pendeknya periode gelap. Ada beberapa pendapat yang mendasari pembungaan pada tanaman bahwa pembungaan dikontrol oleh keseimbangan karbohidrat dan nitrogen atau nisbah CM. Jika C/N rasio tinggi maka tanaman dapat menginduksi bunga dan bila CM rasio rendah tanaman dipacu ke arah perturnbuhan vegetatif. Menurut Ryugo (1990), proses pembungaan pada tanaman tertentu diatur oleh zat pendorong pembungaan (florigen) yang diproduksi oleh daun dan ditranslokasikan ke kuncup untuk rnemproduksi organ generatif. Pada prinsipnya terdapat tiga proses dalam induksi pembungaan, yaitu adanya produksi hormon pembungaan yang diinduksi oleh kondisi lingkungan, tersedianya kandungan nutrisi yang cukup untuk rnendukung perubahan dalam apeks dan perubahan respon biokirnia pada apeks yang memicu dihasilkannya unsur-unsur tertentu untuk menginduksi pembungaan (Ryugo, 1990). Pembungaan tanaman dapat dipacu oleh berbagai kondisi, seperti hari panjang, vemalisasi, hari pendek pada suhu tinggi ataupun pemberian hormon turnbuh. Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, induksi pembungaan dapat tejadi pada tanarnan seperti Roses sp, Cymbidium niveo-marginatum Mak, Olive dan Petunia sp. Pembungaan secara in vitro merupakan suatu metode rnenginduksi keluarnya organ dalam kondisi terkendali secara aseptik. Tujuan pembungaan secara in vitro adalah untuk menginduksi bunga diluar musim, memproduksi benih yang bebas patogen terutama virus, menginduksi bunga pada tanaman yang sulit berbunga baik karena genetik atau lingkungan yang kurang mendukung, melakukan in vitro fertilisasi yang sulit dilakukan secara in viiro dan mencegah aborsi buah, mempersingkat waktu dalam proses pemuliaan, melakukan pelestarian plasma nutfah dan untuk tujuan estetika sebagai tanaman hias dalam botol. Menurut Wang er a1 (2002) bahwa ada tiga alasan utama untuk mempelajari pembungaan secara in vitro yaitu menyediakan suatu sistem model untuk mempelajari inisiasi bunga dan pengembangannya; melaksanakan microbrecding yang bermanfaat terutaina bagi tanaman yang membutuhkan waktu yang lama un:uk pertumbuhan vegetatifnya serta sebagai miniatur pembungaan secara in vitro yang berpotensi komersial baik sebagai tanaman hias. Keberhasilan pembungaan secara in vitro bergantung pada beberapa faktor dan salah satunya adalah eksplan (Taylor et al, 2007). Eksplan m e ~ p a k a npotongan jaringan atau organ yang diisolasi dari tanaman untuk inisiasi suatu kultur. Untuk menentukan eksplan yang tepat maka perlu memperhatikan pemilihan bagian tanaman sebagai sumber eksplan, umur eksplan clan perlakuan eksplan sebelum diilturkan (Gunawan, 1992). Komposisi media yang digunakan terdiri dari nutrisi, karbohidrat, zat pengatur tumbuh dan pH (Taylor et al, 2007). Komposisi media di dalam induksi pembungaan secara in vitro berbeda untuk setiap tanaman. Perbedaan tersebut terletak pada konsentrasi bahan-bahan kimia penyusunnya. Media yang sering digunakan untuk banyak jenis tanaman adalah media Murashige dan Skoog 1962 yang komposisi medianya mengandung unsur hara esensial yang lengkap dibandingkan komposisi media lainnya. Zat pengatur tumbuh dan hara mempakan unsur-unsur dalam komposisi media tanam yang mempengmhi induksi pembungaan suatu tanaman. Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi tanaman, aktif dalam konsentrasi rendah yang merangsang, menghambat atau merubah pertumbuhan serta perkembangan tanaman secara kuantitatif maupun kualitatif (Wattimena, 1988). Penggunaan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh tertentu dapat mengatur arah pertumbuhan suatu tanaman Warney, 1982). Menurut Weaver (1972) zat pengatur tumbuh sangat penting untuk menginduksi pembungaan, karena penggunaannya dapat mengatur pembungaan sesuai dengan waktu yang diinginkan. Zat pengatur tumbuh ini tidak bekerja sendiri dalam mempengamhi setiap proses pembungaan. Pembungaan dapat dihasilkan dari interaksi zat pengatur tumbuh seperti sitokinin, auksin, giberelin, etilen, a s m absisat atau zat-zat lain Wew dan Yong, 1996). Giberelin dan Sukrosa Giberelin merupakan zat pengatur tumbuh endogen, terdapat pada berbagai organ dan jaringan tumbuhan seperti akar, tunas, mata tunas, daun, bunga, bintil akar, buah dan jaringan halus (Wahyurini, 2002). Giberelin berperan dalam menginduksi pertumbuhan tanaman dengan cara merangsang pembesaran sel, dormansi dan perkecambahan biji, mendorong terjadinya pembungaan, pembentukan buah partenokarpi dan mengganti pengaruh suhu dingin pada tanaman (Wattimena, 1988). Giberelin dapat memacu pertumbuhan dan pembesaran sel karena hormon ini meningkatkan hidrolisis pati, fruktan dan fruktosa menjadi glukosa dan fruktosa (Davies, 1995). Pembesaran sel yang disebabkan oleh GA3 (gibberellic acid) dapat mencapai 15 kali lebih tinggi dari sel yang tidak diberi GA3. Giberelin dapat menggantikan kondisi lingkw~ganyang spesifik guna mengendaliian pembentukan bunga. Induksi pembungaan yang disebabkan oleh GA merupakan pengganti peran hari panjang dan menginduksi pembungaan pada tanaman hari pendek. Chaari-Rkhis et a1 (2006) melaporkan bahwa giberelin merupakan fitohormon yang terlibat di dalam proses fisiologi termasuk induksi pembungaan dan pertumbuhan tunas. Menurut Brooking dan Cohen (2002); Zhang dan Leung (2002) bahwa giberelin mempunyai peran di dalam proses pembungaan. Menurut ChaariRkhis et al. (2006) pemberian GA 10 mgll dapat menginduksi pembungaan tanaman zaitun (Olive). Ben-Nissan ef a1 (2004) membuktikan bahwa ekspresi GIPl (suatu protein yang dipengaruhi oleh GA3) dapat merangsang pembungaan Petunia hybryda bersamaan dengan pemanjangan sel. Pertumbuhan dan pembungaan Philodendron dapat meningkat dengan pemberian konsentrasi GA3 dari 125 mgll hingga 1.000 mgll (Chen et al, 2003). Yursak (2003) dalam penelitiannya menyatakan ha1 yang sama bahwa pemberian GA3 selain meningkatkan pertumbuhan tinggi dan jumlah ruas batang juga merangsang pembungaan tanaman lily. Selain itu, Wuryaningsih dan Sutater (1993) melaporkan bahwa pemberian tiga kali 23 mgll GA3 pada tanaman krisan meningkatkan tinggi tanaman sampai dengan minggu ke-12 dan produksi bunga dengan panjang tangkai lebih 60 cm serta kesegaran bunga 5 hari. Dalam menginduksi pembungaan suatu tanaman pemberian giberelin dapat dilakukan bersamaan dengan unsur lain. Karbohidrat merupakan salah satu unsur yang berperan penting dalam keberhasilan kultur jaringan suatu tanaman. Karbohidrat dibutuhkan dalam sel hidup sebagai sumber energi dan kerangka karbon untuk proses biosintesis. Dalam kultur jaringan tanaman, penyediaan karbohidrat dari media sangat diperlukan karena aktivitas fotosintesis dalam jaringan in viiro berlangsung sangat rendah akibat rendahnya intensitas cahaya, pertukaran gas terbatas dan kelembaban relatif rendah. Guia merupakan sumber karbohidrat utama dalam kultur jaringan. Menurut Gunawan (1992), gula putih yang digunakan untuk keperluan sehari-hari cukup memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan Mtur. Keberadaan gula berfungsi sebagai sumber energi pengganti karbon yang biasa didapat tanaman dari atmosfer melalui fotosintesis (George dan Shenington, 1984). Beberapa penelitian tentang induksi pembungaan secara in viiro pada tanaman-tanaman seperti Kalanchoe blossfeldiana pickens dan Van Staden, 1988), Lolizm temulentum (McDaniel et al, 1991), Pisum sativum (Franklin et al, 2000) dan Torenia fournieri (Tanimoto dan Harada, 1981) melaporkan bahwa karbohidrat sangat esensial dan respon dosis tergantung gula. Secara umum pembungaan akan berkurang pada konsentrasi gula yang rendah dan pada konsentrasi gula yang tinggi akan menghalangi pembentukan kuncup bunga (Taylor et al, 2007). Pada studi fisiologi Sinapsis alba menunjukkan bahwa konsentrasi gula pada apeks meningkat dengan cepat dan nyata selama induksi pembungaan, bahkan setelah induksi pembungaan konsentrasi gula tetap meningkat (Bernier et al, 1993). Hal ini membuktikan bahwa secara genetik pembungaan dikontrol oleh gula (Levy dan Dean, 1998). Jenis gula yang ditambahkan pada medium juga berpengamh pada pembungaan suatu tanaman. Umumnya jenis gula yang digunakan dalam medium in vitro adalah sukrosa (Taylor et al, 2007). Gamborg dan Shyluk (1981) juga menyatakan bahwa sumber karbon standar adalah sukrosa atau glukosa. Sukrosa juga merupakan salah satu produk akhir dari proses fotosintesis dan mempakan bentuk utama dari gula yang ditranslokasikan pada kebanyakan tanaman. Konsentrasi sukrosa yang diberikan pada tanaman sangat dipengaruhi oleh tipe dan umur eksplan. Konsentrasi sukrosa yang sering digunakan berkisar antara 1-5 % (Pierik, 1987). Tanimoto d m Harada (1981) melaporkan bahwa sukrosa dan glukosa mempengaruhi bunga di dalam induksi pembungaan Torenia fournieri sedangkan fruktosa dapat mencegah pembungaan pada konsentrasi-konsentrasi rendah dan hanya sedikit bunga yang terbentuk. Respon pembungaan akan meningkat dengan meningkatkannya konsentmi-konsentrasi sukrosa dan glukosa sampai dengan 50 g/l. Menurut Tiburcio et al (1988) bahwa sukrosa lebih baik dari pada glukosa di dalam m e m p e n g d pembungaan Nicotiana tabacum kultur-kultur TCL. Franklin et a1 (2000) melaporkan bahwa frekuensi dan efisiensi pembungaan secara in viiro pada tanaman Pisum sativum lebih tinggi dengan penambahan sukrosa 30 g/l pada media dibandingkan dengan sukrosa 15 g/l dan 50 g/l. Sukrosa dapat digunakan bersamaan dengan giberelin dalam menginduksi bunga. Pada Arabidopsis, GA dapat memacu pembungaan. Menurut Levy dan Dean (1998), perlakuan GA saja tidak memberikan pengaruh, perlakuan sukrosa saja menghasilkan s e d i t peningkatan, sedangkan jika keduanya diberikan secara bersamaan dapat memberikan p e n g d yang sinergis. Meilan (1997) juga melaporkan bahwa karbohidrat endogen berperan dalam mengontrol induksi pembungaan pada pohon buah-buahan. Dewir et a1 (2007) melaporkan bahwa GA3 10 mg/l dan sukrosa 3 atau 6% dapat menginduksi 83-85% bunga Spathiphyllurn. Nitrogen dan Fosfor Nitrogen merupakan unsur penting yang sangat berperan dalam mempengaruhi kecepatan pertumbuhan suatu tanaman (Wattimena et al, 1992). Nitrogen juga dapat membentuk protein, lemak dan berbagai persenyawaan organik yang lain (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Protein banyak terdapat pada sel-sel yang masih hidup yaitu pada bagian yang sedang aktif tumbuh sehingga nitrogen dapat dipergunakan terutama untuk pertumbuhan vegetatif tanaman. Selain itu, nitrogen juga berperan dalam pembentukan Morofil yang berguna di dalam proses fotosintesis dan menghasilkan karbohidrat. Secara in vitro nitragen diberikan dalam bentuk N&N03 dan KNO3 (Wattimena et al, 1992). Dickens dan Staden (1988) melaporkan bahwa nitrogen yang terdapat didalam N&N03 dan KN03 dapat merangsang pembungaan secara in vibo pada Kalachoe. NH4N03 berperan positif dalam mempengaruhi pembungaan secara in vitro pada konsentrasi rendah dan menghalangi pembungaan pada konsentrasi yang lebih tinggi (Franklin et al, 2000). Menurut Ignacimuthu et a1 (1997) bahwa pengurangan sebagian NH4N03 dari medium MS dapat menimbulkan jumlah bunga yang maksimum seperti pada tanaman Vigna mungo. Fosfor diberikan pada suatu tanaman terutama untuk pembentukan asam amino. Selain itu, fosfor dibutuhkan bagian organ aktif tanaman seperti akar c!an buah (Adam dan Early, 2004). Fosfor juga berperan dalam pembentukan gula atau karbohidrat di dalam tanaman yang sangat dibutuhkan untuk proses pembungaan. Pemberian fosfor pada media biasanya bekerjasama dengan ion kalium dan diduga juga dengan sukrosa dan ion femun. Fosfor yang diberikan pada media biasanya dalam bentuk (Wattimena et al, 1992). Selain giberelin dan sukrosa, nitrogen dan fosfor sebagai hara dalam media in vitro dapat digunakan untuk merangsang pembungaan. Pemberian nitrogen yang rendah clan fosfor yang tinggi diharapkan &pat mempengaruhi pertumbuhan tanaman khususnya untuk merangsang pembungaan. Penggunaan medium dengan nitrogen rendah saja tidak mampu untuk menginduksi bunga. Menurut Kostenyuk (1999) penggunaan nitrogen yang rendah (1120 konsentrasi nitrogen dari komposisi MS) dan fosfor yang tinggi (5x konsentrasi fosfor dari komposisi MS) dapat menginduksi pembungaan Cymbidium niveo-marginatum Mak sebanyak 97% setelah 3 bulan. Suhu dan Fotoperiodisitas Selain eksplan, pengaturan zat pengatur tumbuh dan hara dalam media maupun jenis dan konsentrasi karbohidrat, faktor lingkungan juga berperan penting dalam pertumbuhan dan pembungaan suatu tanaman. Proses pembungaan suatu tanaman secara in vitro dapat dikendalikan oleh suhu dan lama penyinaran atau fotoperiodisitas. Menurut Vaz et a1 (2004), faktor lingkungan, khususnya suhu dan fotoperiodisitas mempengaruhi inisiasi dan perkembangan bunga pada banyak jenis tanaman. Ratcliffe dan Riechmann (2002) melaporkan bahwa transisi pembungaan mempakan proses yang plastis, yang selain dipengaruhi oleh faktor endogen juga faktor lingkungan, seperti panjang hari, kualitas cahaya dan suhu. Pengaruh suhu terhadap pembungaan tanaman sudah banyak dipelajari. Secara umum suhu tinggi merangsang pertumbuhan vegetatif sedangkan suhu rendah pada malam hari mempengaruhi pembungaan. Suhu rendah bervariasi sesuai perbedaan ketinggian tempat atau adanya curah hujan yang menyebabkan pendinginan (Goh dan Arditti, 1982). Jenis anggrek seperti Cymbidium merupakan tanaman yang proses pembungaannya dipengaruhi oleh suhu, terutama suhu rendah. Untuk terjadiiya induksi, tanaman chicory harus ditumbuhkan dengan perlakuan suhu rendah (4°C selama 3 minggu) pada benih-benih yang berkecambah atau pada seluruh tanaman (Rappaport dan Wittwer 1956). Persyaratan untuk pencahayaan pada fotoperiodisitas tertentu dalam mempengamhi pembungaan dapat dimodifikasi dengan suhu dan sebaliknya pada suhu tertentu dapat dimodifikasi dengan fotoperiodisitas dalam mempengaruhi pembungaan. Efek fotoperodisitas dan suhu pada tanaman tropis masih sangat dibatasi secara ekstensif (Vaz et al, 2004). Pada daerah tropis, fotoperiodisitas dan suhu tidak beraturan sepanjang tahun, tetapi pada jenis tertentu cukup sensitif menvggapi pembahan faktor lingkungan tersebut untuk proses pembungaan (Goh dan Arditti, 1982; Hew dan Clifford, 1993). Menurut Gardner et a1 (1991), suhu dan fotoperiodisitas yang dominan memegang peranan penting dalam proses pembungaan, pembuahan dan produksi biji suatu tanaman.