BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Landasan Teori dan Konsep 2.1.1. Teori Stewardship Teori stewardship menggambarkan hubungan antara pemilik (principal) dan manajer (steward). Teori stewardship adalah teori yang dicetuskan oleh Donaldson dan Davis, teori ini menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi, sehingga teori ini mempunyai dasar psikologi dan sosiologi yang telah dirancang dimana para eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan prinsipal, selain itu perilaku steward tidak akan meninggalkan organisasinya sebab steward berusaha mencapai sasaran organisasinya, (Riyadi dan Agung, 2014). Teori ini mengasumsikan bahwa kepentingan pribadi manajer dan pemilik dapat disatukan dengan cara mencapai tujuan organisasi. Teori stewardship dalam penelitian ini dipertimbangkan dapat menjelaskan bahwa pengurus LPD (steward) dalam mengelola LPD akan mengesampingkan kepentingan pribadi mereka dan memaksimalkan kinerjanya untuk mencapai tujuan LPD. Begitupula sebaliknya, dalam hal pemberian kredit, nasabah (masyarakat desa) selaku steward yang telah diberikan kepercayaan oleh pengurus LPD (principal) untuk mengelola sebagian dana LPD akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikan dana yang diberikan. 2.1.2. Lembaga Perkreditan Desa Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan salah satu lembaga keuangan yang terdapat di Desa Pakraman. Melalui surat keputusan Gubernur Provinsi Bali No.3 Tahun 2007 menyebutkan bahwa LPD merupakan salah satu unsur kelembagaan keuangan Desa Pakraman yang berfungsi untuk mengelola potensi keuangan Desa Pakraman tersebut. Dalam menjalankan usahanya LPD dibimbing oleh LPLPDK (Lembaga Pemberdayaan Lembaga Perkreditan Desa Kabupaten/Kota) yang merupakan lembaga yang berfungsi untuk memberikan pendampingan teknis terkait dengan pemberdayaan LPD dan dikelola oleh pengurus yang bertanggung jawab kepada masyarakat desa. Pengurus LPD setidaknya terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara yang dapat dilengkapi dengan sejumlah kepala bidang dan karyawan sesuai dengan kebutuhan LPD tersebut. LPD adalah lembaga keuangan dengan dua karakteristik yang unik yaitu sebagai lembaga yang dimiliki dan diatur oleh desa adat yang sepenuhnya terintergrasi ke dalam budaya Bali dan tidak seperti lembaga keuangan lain yang meliputi hampir semua desa adat di Bali dan luas mayoritas penduduknya, (Kusumayanti, 2014). Lembaga Perkreditan Desa (LPD) memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal yang efektif, memberantas sistem ijon, gadai gelap dan lain-lain yang bisa disamakan dengan itu di daerah pedesaan, dapat menciptakan pemerataan dan kesempatan kerja bagi warga pedesaan, serta menciptakan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di desa (Surata, 2011). Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2007, bidang usaha yang dijalankan LPD meliputi : 1) Menerima simpanan uang dari warga masyarakat desa dalam bentuk tabungan dan simpanan berjangka. 2) Memberikan pinjaman untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif pada sektor pertanian, industri/kerajinan kecil, perdagangan dan usaha-usaha lain yang dipandang perlu. 3) Usaha-usaha lain yang bersifat pengerahan dana desa. 4) Penyertaan modal pada unsur-unsur lain. 5) Menerima pinjaman-pinjaman dari lembaga keuangan. 2.1.3. Laporan Keuangan Laporan keuangan merupakan laporan yang memuat tentang informasi keuangan suatu organisasi. Perusahaan menerbitkan laporan keuangan dengan maksud memberikan informasi keuangannya kepada pihak internal dan eksternal perusahaan. Laporan keuangan bank merupakan laporan yang menggambarkan keadaan keuangan bank secara menyeluruh. Melalui laporan keuangan bank, dapat diketahui kondisi keuangan bank yang sesungguhnya, termasuk juga kelemahan dan kelebihan bank tersebut. Laporan yang disajikan suatu perusahaan, yang dalam hal ini lembaga perbankan pada periode tertentu bertujuan (Faud dan Rustan, 2005:13), sebagai berikut : 1) Memberikan informasi tentang posisi keuangan bank menyangkut harta bank, kewajiban bank. 2) Modal bank pada periode tertentu. 3) Memberikan informasi menyangkut laba rugi suatu bank pada periode tertentu. 4) Memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan yang disajikan suatu bank. 5) Memberikan informasi tentang performance suatu bank. Laporan keuangan ini dapat diterima oleh pihak-pihak tertentu, jika memenuhi syarat-syarat di bawah ini (Faud dan Rustan, 2005:18) : 1) Relevan Laporan keuangan yang disajikan harus sesuai dengan data yang ada kaitannya dengan transaksi yang dilakukan. 2) Jelas dan dapat dimengerti Laporan keuangan yang disajikan harus jelas dan dapat dimengerti oleh pemakai laporan keuangan 3) Dapat diuji kebenarannya Laporan keuangan yang disajikan datanya dapat diuji kebenarannya dan dapat dipertanggungjawabkan. 4) Netral Laporan yang disajikan harus dipergunakan oleh semua pihak. bersifat netral artinya dapat 5) Tepat waktu Laporan yang disajikan harus memiliki waktu pelaporan atau periode pelaporan yang jelas. 6) Dapat diperbandingkan Laporan keuangan yang disajikan dapat diperbandingkan dengan laporan-laporan sebelumnya, sebagai landasan untuk mengikuti perkembangan dari hasil yang dicapai. Untuk lebih memahami informasi yang terkandung dalam laporan keuangan maka perlu dilakukan analisis laporan keuangan. Analisis laporan keuangan berarti menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungan yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara satu dengan yang lain, baik antara data kuantitatif maupun data non-kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat (Harahap, 2010:190). Menurut Harahap, (2010:190), kegiatan analisis laporan keuangan berfungsi mengkonversikan data yang berasal dari laporan sebagai bahan mentahnya menjadi informasi yang lebih berguna, mendalam, tajam, dengan teknik tertentu. Pada dasarnya, analisis laporan keuangan dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko, tingkat profitabilitas, dan tingkat kesehatan suatu perusahaan. Tujuan dari analisis laporan keuangan juga tergantung dari kebutuhan analis, misalnya seorang kreditur menganalisi laporan keuangan sebuah perusahaan untuk membuat keputusan mengenai pemberian kredit kepada perusahaan tersebut. 2.1.4. Profitabilitas Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam suatu periode tertentu atau profitabilitas suatu perusahaan, dapat diketahui profitabilitasnya dengan membandingkan antara laba yang diperoleh selama periode tertentu dengan jumlah aktiva atau modal perusahaan tersebut yang dinyatakan dalam persentase (Sartono,2010:122). Penampilan manajerial dari setiap perusahaan akan dapat dikatakan baik apabila tingkat profitabilitas perusahaan yang dikelolanya tinggi atau maksimal, dimana profitabilitas umumnya diukur dengan membandingkan laba yang diperoleh perusahaan dengan sejumlah perkiraan yang menjadi tolak ukur keberhasilan perusahaan seperti modal perusahaan maupun penjualan dari investasi, sehingga dapat diketahui efektivitas pengelolaan keuangan dan aktiva oleh perusahaan, (Saputra dan Fahmi, 2009). Profitabilitas bank tidak hanya dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan keputusan manajemen tetapi juga dipengaruhi oleh perubahan lingkungan ekonomi makro (Staikouras dan Geoffrey, 2011). Adapun tujuan profitabilitas (Kasmir,2009:197), adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan dalam suatu periode tertentu 2) Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang. 3) Untuk menilai laba dari waktu ke waktu. 4) Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. 5) Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri. 6) Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal sendiri. Selain tujuan di atas, profitabilitas juga mempunyai manfaat yaitu sebagai berikut: 1) Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode. 2) Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang. 3) Mengetahui laba dari waktu ke waktu. 4) Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. 5) Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri. Ukuran profitabilitas yang biasa digunakan adalah Return on Equity (ROE) dan Return on Asset (ROA). Return on Asset (ROA) memfokuskan kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dalam operasi perusahaan, sedangkan Return on Equity (ROE) hanya mengukur return yang diperoleh dari investasi pemilik perusahaan dalam bisnis tersebut (Siamat, 2002). Return On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Semakin tinggi ROA suatu bank, maka semakin besar keuntungan yang diperoleh bank tersebut, yang artinya bank mampu memanfaatkan aktiva yang dimiliki dengan baik. Dalam penentuan tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia lebih mementingkan penilaian besarnya Return on Asset (ROA) dan tidak memasukkan unsur Return on Equity (ROE), karena Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengn aset yang dananya sebagian besar berasal dari dan simpanan masyarakat, (Dendawijaya, 2009:121). Maka dari itu pada penelitian ini ukuran profitabilitas yang digunakan adalah ROA. 2.1.5. Kredit Kredit dalam bahasa Latin disebut “credere” yang berarti percaya. Maksudnya kreditur percaya kepada debitur bahwa kredit yang disalurkan pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi debitur berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya (Kasmir, 2012: 86). Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Menurut Kasmir (2012:105) adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut : 1) Kepercayaan Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bagi si pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (baik berupa uang, barang atau jasa) benar-benar diterima kembali di masa yang akan datang sesuai jangka waktu kredit. 2) Kesepakatan Kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masingmasing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing. Kesepakatan ini dituangkan dalam akad kredit dan ditandatangani kedua belah pihak sebelum kredit dikucurkan. 3) Jangka Waktu Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek (di bawah 1 tahun), jangka menengah (1 sampai 3 tahun) atau jangka panjang (diatas 3 tahun). Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. 4) Resiko Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu resiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar resikonya demikian pula sebaliknya. Resiko ini menjadi tanggungan bank, baik resiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun oleh resiko yang tidak disengaja. 5) Balas Jasa Bagi bank balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank. 2.1.6. Kualitas Kredit Jumlah kredit yang disalurkan dalam suatu periode memengaruhi perkembangan LPD. Artinya, semakin banyak kredit yang disalurkan, laba yang diperoleh LPD pun semakin besar. Dalam pelaksanaanya, banyaknya jumlah kredit yang disalurkan juga harus memperhatikan kualitas kredit tersebut. Kualitas kredit merupakan tingkatan mengenai baik atau buruknya kredit yang disalurkan. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2013, kualitas pinjaman yang diberikan LPD diklasifikasikan dalam 4 (empat) kategori yaitu : 1) Lancar Kualitas pinjaman yang diberikan dikategorikan lancar, apabila: (1) Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga; atau (2) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) kali angsuran dan pinjaman yang diberikan belum jatuh tempo. 2) Kurang Lancar Kualitas pinjaman yang diberikan dikategorikan kurang lancar, apabila : (1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 3 (tiga) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 6 (enam) kali angsuran; dan (2) Pinjaman yang diberikan belum jatuh tempo. 3) Diragukan Kualitas pinjaman yang diberikan dikategorikan diragukan, apabila: (1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 6 (enam) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 12 (dua belas) kali angsuran dan atau; (2) Pinjaman yang diberikan telah jatuh tempo tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) bulan. 4) Macet Kualitas pinjaman yang diberikan dikategorikan macet, apabila: (1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga lebih dari 12 (dua belas) kali angsuran dan/atau; (2) Pinjaman yang diberikan telah jatuh tempo lebih dari 3 (tiga) bulan. Kualitas kredit suatu bank dapat digambarkan dari kemampuan bank untuk memperoleh kembali seluruh kredit yang diberikan kepada debitur sampai lunas. Kualitas kredit yang buruk mengindikasikan bank mengalami kredit bermasalah atau Non Performing Loan. Apabila suatu bank mempunyai Non Performing Loan (NPL) yang tinggi, maka akan memperbesar biaya, baik biaya pencadangan aktiva produktif maupun biaya lainnya, dengan kata lain semakin tinggi Non Performing Loan (NPL) suatu bank, maka hal tersebut akan mengganggu kinerja bank tersebut, (Ponco, 2008). Oleh karena itu, sebagian besar kredit bermasalah dalam sisten perbankan umumnya menghasilkan kegagalan bank (Messai dan Fathi, 2013). Kredit bermasalah bisa meningkat karena kurangnya manajemen risiko, sehingga mengancam profitabilitas bank (Haneef et al, 2012). Menurut Peraturan Bank Indonesia No.13/3/PBI/2011 tentang penerapan status dan tidak lanjutan pengawasan bank, bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila Non Performing Loan secara neto lebih dari 5 persen dari total kredit atau total pembiayaan. Berdasarkan Ketentuan Bank Indonesia, kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga, antara lain: 1) Kredit Kurang Lancar Kredit kurang lancar terjadi apabila debitur tidak dapat membayar angsuran pinjaman pokok atau bunga 91 sampai 180 hari. 2) Kredit Diragukan Kredit diragukan terjadi dalam hal debitur tidak dapat membayar angsuran pinjaman pokok atau pembayaran bunga antara 180 hari sampai 270 hari. 3) Kredit Macet Kredit macet terjadi apabila debitur tidak mampu membayar beturutturut setelah 270 hari. Menurut Ismail (2010:218), faktor-faktor penyebab kredit bermasalah dapat berasal dari intern bank dan ekstern bank. Faktor penyebab kredit bermasalah yang berasal dari intern bank, antara lain : 1) Analisis yang dilakukan oleh pejabat bank kurang tepat, sehingga tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam kurun waktu selama jangka waktu kredit. 2) Adanya kolusi antara pejabat bank yang menangani kredit dengan nasabah, sehingga bank memutuskan kredit yang tidak seharusnya diberikan. 3) Keterbatasan pengetahuan pejabat bank terhadap jenis usaha debitur, sehingga tidak dapat melakukan analisis kredit dengan tepat dan akurat. 4) Campur tangan terlalu besar dari pihak terkait, misalnya komisaris sehingga petugas tidak independen dalam memutuskan kredit. 5) Kelemahan dalam melakukan pembinaan dalam menitoring kredit. Faktor penyebab kredit bermasalah yang berasal dari ekstern bank, antara lain: 1) Debitur dengan sengaja tidak melakukan pembayaran angsuran kepada bank, karena nasabah tidak memiliki kemauan dalam memenuhi kewajibannya. 2) Debitur melakukan ekspansi terlalu besar, sehingga dana yang dibutuhkan terlalu besar. Hal ini akan memiliki dampak terhadap keuangan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan modal kerja. 3) Penyelewengan yang dilakukan nasabah dengan menggunakan dana kredit tersebut tidak sesuai dengan tujuan pengguna. 4) Adanya unsur ketidaksengajaan, misalnya bencana alam, ketidakstabilan perekonomian negara sehingga inflasi tinggi. Selain faktor-faktor tersebut, Makri et al (2014) menyatakan bahwa faktor makroekonomi seperti, utang public, pengangguran, tingkat pertumbuhan tahunan produk domestik bruto memiliki pengaruh pada kredit bermasalah. Inflasi, nilai tukar dan suku bunga juga faktor yang mempengaruhi kredit bermasalah pada sektor perbankan (Ranjan dan Sarat, 2003; Farhan, 2012). Dendawijaya (2009:86) menyatakan bahwa implikasi bagi pihak bank sebagai akibat dari timbulnya kredit bermasalah dapat berupa: 1) Hilangnya kesempatan memperoleh pendapatan dari kredit yang diberikan sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi rentabilitas bank 2) Rasio kualitas aktiva produktif atau yang lebih dikenal dengan BDR (Bad Debt Ratio) menjadi semakin besar yang menggambarkan terjadinya situasi yang memburuk. 3) Bank harusnya memperbesar penyelisihan cadangan untuk cadangan aktiva produktif yang diklasifisikan berdasarkan ketentuan yang ada. Hal ini pada akhrirnya akan mengurangi besarnya modal bank dan akan berpengaruh pada CAR. 4) Menurunnya tingkat kesehatan bank 2.1.7. Tingkat Penyaluran Kredit Penyaluran kredit merupakan aktivitas pokok bank, karena dengan menyalurkan kredit kepada debitur, bank memperoleh bunga yang merupakan sumber utama pendapatan bank, (Wantera, 2014). Penyaluran kredit atau pengalokasian dana adalah kegiatan yang dilakukan LPD dengan menyalurkan kembali dana yang dihimpun dari masyarakat (tabungan dan deposito) kepada masyarakat yang memerlukan dana. Total kredit yang disalurkan pada suatu periode akan memengaruhi perkembangan LPD. Artinya, semakin banyak kredit yang diberikan laba yang diperoleh LPD juga akan meningkat. Namun, saat pinjaman melebihi deposito yang dimilki, bank akan menghadapi kesenjangan pendanaan sehingga bank harus mengakses pasar keuangan (End, 2013). Tingkat penyaluran kredit diukur dengan menggunakan Loan to Depoit Ratio (LDR). LDR adalah rasio antara seluruh kredit yang diberikan bank terhadap dana yang diterima bank, (Sianturi, 2012). Bank Indonesia menetapkan standard untuk rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 80% hingga 110%. Jika angka rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) suatu bank berada pada angka di bawah 80% (misalkan 70%), maka dapat disimpulkan bahwa bank tersebut hanya dapat menyalurkan sebesar 70% dari seluruh dana yang berhasil dihimpun. Jika rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) bank mencapai lebih dari 110%, berarti total kredit yang diberikan bank tersebut melebihi dana yang dihimpun. Semakin tinggi Loan to Deposit Ratio (LDR) menunjukkan semakin riskan kondisi likuiditas bank, sebaliknya semakin rendah Loan to Deposit Ratio (LDR) menunjukkan kurangnya efektifitas bank dalam menyalurkan kredit sehingga hilangnya kesempatan bank untuk memperoleh laba, (Sianturi,2012). 2.1.8. Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) BOPO adalah rasio perbandingan antara Biaya Operasional dengan Pendapatan Operasional. Biaya operasional merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan operasional seperti biaya bunga dan biaya tenaga kerja. Sedangkan, pendapatan operasional adalah pendapatan yang diperoleh bank selama melakukan kegiatan operasional seperti, pendapatan bunga yang diperoleh dari penyaluran kredit. Menurut Wang et al (2012) manajemen yang sangat buruk dapat berakibat fatal bagi sektor perbankan dan berefek buruk pada efisiensi bank. Selain itu, pengawasab biaya operasional yang lemah akan mengakibatkan tingginya kerugian modal (Haneef et al, 2012). Artinya apabila manajemen mampu meminimukan rasio BOPO berarti semakin baik kinerja manajemen bank tersebut, karena lebih efisien dalam menggunakan sumber daya yang dimilikinya. Berdasarkan Surat Edaran BI No. 3/30 DPNP tanggal 14 Desember 2001 menyatakan besarnya rasio BOPO yang dapat ditolerir oleh Bank Indonesia adalah sebesar 90%, apabila lebih dari 90% bank dikatakan tidak efisien. Jika angka rasio menunjukkan angka diatas 90% dan mendekati 100% ini berarti kinerja bank tersebut menunjukkan tingkat efiensi yang sangat rendah. Tetapi jika rasio ini rendah, misalnya mendekati 75% ini berarti kinerja bank yang bersangkutan menunjukkan tingkat efisiensi yang tinggi (Riyadi, 2004:141). 2.2. Hipotesis Penelitian 2.2.1. Pengaruh Tingkat Penyaluran Kredit pada Profitabilitas Besarnya penyaluran kredit diperlihatkan melalui perputaran kredit yang dilakukan LPD, yang juga menunjukkan seberapa cepat penagihan kredit. Semakin cepat penagihan kredit maka jumlah kredit yang disalurkan semakin tinggi, hal tersebut akan sejalan dengan tingkat pertumbuhan profitabilitas LPD. Meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan maka akan meningkatkan jumlah pendapatan bunga yang diterima, hal tersebut dapat meningkatkan profitabilitas LPD. Penelitian yang dilakuan Sutika (2013) mengungkapkan bahwa tingkat penyaluran kredit berpengaruh positif dan signifikan pada profitabilitas. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Miadalyni (2013) yang menyatakan Loan to Deposit Ratio berpengaruh positif dan sigifikan terhadap profitabilitas. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H1 : Tingkat penyaluran kredit berpengaruh positif pada profitabilitas 2.2.2. Pengaruh BOPO pada Profitabilitas Meningkatnya rasio BOPO mencerminkan kurangnya kemampuan bank dalam menekan biaya operasionalnya, hal tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena bank kurang efisien dalam mengelola usahanya. Artinya, semakin berkurang dana yang dapat digunakan untuk memperoleh keuntungan sehingga profitabilitas menurun. Penelitian yang dilakuakan oleh Ponco (2008) menunjukkan bahwa BOPO berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return on Asset (ROA). Hal tersebut didukung oleh penelitian Hasan (2014) yang menyatakan BOPO berpengaruh negatif signifikan terhadap profitabilitas. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H2 : BOPO berpengaruh negatif pada profitabilitas 2.2.3. Pengaruh Kualitas Kredit dalam Memoderasi Pengaruh Tingkat Penyaluran Kredit pada Profitabilitas Kualitas kredit yang buruk, dalam hal ini kredit bermasalah menyebabkan menurunnya pendapatan. Bank akan enggan untuk meningkatkan penyalurkan kredit ketika nilai kredit bermasalah atau Non Performing Loan tinggi, karena bank harus membentuk cadangan penghapusan yang besar. Artinya pendapatan bunga yang seharusnya diterima menjadi berkurang, karena sedikitnya dana yang dapat digunakan untuk penyaluran kredit menyebabkan profitabilitas menurun. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2013) yang menunjukkan bahwa Non Performing Loan berpengaruh negatif signifikan terhadap penyaluran kredit. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nandadipa (2010) yang menyatakan bahwa NPL berpengaruh negatif signifikan terhadap LDR. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 : Kualitas kredit memperlemah pengaruh tingkat penyaluran kredit pada profitabilitas 2.2.4. Pengaruh Kualitas Kredit dalam Memoderasi Pengaruh BOPO pada Profitabilitas Selain menentukan besar kecilnya pendapatan yang diperoleh, kualitas kredit juga menentukan besar kecilnya biaya yang dikeluarkan LPD. Kualitas kredit yang buruk mengindikasikan adanya kredit bermasalah atau Non Performing Loan. Apabila suatu bank mempunyai Non Performing Loan (NPL) yang tinggi, maka akan memperbesar biaya, baik biaya pencadangan aktiva produktif maupun biaya lainnya, dengan kata lain semakin tinggi Non Performing Loan (NPL) suatu bank, maka hal tersebut akan mengganggu kinerja bank tersebut, (Ponco, 2008). Artinya, peningkatan kredit bermasalah dapat meningkatkan biaya yang dikeluarkan, sehingga dana yang awalnya dapat digunakan oleh LPD untuk memperoleh keuntungan berkurang, yang berdampak pada penurunan profitabilitas LPD. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Setyawati dan Suartana (2014) menyatakan bahwa tingkat kredit bermasalah berpengaruh positif terhadap rasio BOPO. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H4 : Kualitas kredit memperkuat pengaruh BOPO pada profitabilitas