BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1. Landasan Teori dan Konsep
2.1.1. Teori Stewardship
Teori stewardship menggambarkan hubungan antara pemilik (principal)
dan manajer (steward). Teori stewardship adalah teori yang dicetuskan oleh
Donaldson dan Davis, teori ini menggambarkan situasi dimana para manajer
tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada
sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi, sehingga teori ini
mempunyai dasar psikologi dan sosiologi yang telah dirancang dimana para
eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan
prinsipal, selain itu perilaku steward tidak akan meninggalkan organisasinya
sebab steward berusaha mencapai sasaran organisasinya, (Riyadi dan Agung,
2014). Teori ini mengasumsikan bahwa kepentingan pribadi manajer dan
pemilik dapat disatukan dengan cara mencapai tujuan organisasi.
Teori stewardship dalam penelitian ini dipertimbangkan dapat
menjelaskan bahwa pengurus LPD (steward) dalam mengelola LPD akan
mengesampingkan kepentingan pribadi mereka dan memaksimalkan kinerjanya
untuk mencapai tujuan LPD. Begitupula sebaliknya, dalam hal pemberian
kredit, nasabah (masyarakat desa) selaku steward yang telah diberikan
kepercayaan oleh pengurus LPD (principal) untuk mengelola sebagian dana
LPD akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikan dana yang
diberikan.
2.1.2. Lembaga Perkreditan Desa
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan salah satu lembaga
keuangan yang terdapat di Desa Pakraman. Melalui surat keputusan Gubernur
Provinsi Bali No.3 Tahun 2007 menyebutkan bahwa LPD merupakan salah
satu unsur kelembagaan keuangan Desa Pakraman yang berfungsi untuk
mengelola potensi keuangan Desa Pakraman tersebut. Dalam menjalankan
usahanya LPD dibimbing oleh LPLPDK (Lembaga Pemberdayaan Lembaga
Perkreditan Desa Kabupaten/Kota) yang merupakan lembaga yang berfungsi
untuk memberikan pendampingan teknis terkait dengan pemberdayaan LPD
dan dikelola oleh pengurus yang bertanggung jawab kepada masyarakat desa.
Pengurus LPD setidaknya terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara yang
dapat dilengkapi dengan sejumlah kepala bidang dan karyawan sesuai dengan
kebutuhan LPD tersebut.
LPD adalah lembaga keuangan dengan dua karakteristik yang unik
yaitu sebagai lembaga yang dimiliki dan diatur oleh desa adat yang sepenuhnya
terintergrasi ke dalam budaya Bali dan tidak seperti lembaga keuangan lain
yang meliputi hampir semua desa adat di Bali dan luas mayoritas
penduduknya, (Kusumayanti, 2014). Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk mendorong pembangunan ekonomi
masyarakat desa melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal yang
efektif, memberantas sistem ijon, gadai gelap dan lain-lain yang bisa
disamakan dengan itu di daerah pedesaan, dapat menciptakan pemerataan dan
kesempatan kerja bagi warga pedesaan, serta menciptakan daya beli dan
melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di desa (Surata, 2011).
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2007, bidang usaha
yang dijalankan LPD meliputi :
1) Menerima simpanan uang dari warga masyarakat desa dalam bentuk
tabungan dan simpanan berjangka.
2) Memberikan
pinjaman
untuk
kegiatan-kegiatan
yang
bersifat
produktif pada sektor pertanian, industri/kerajinan kecil, perdagangan
dan usaha-usaha lain yang dipandang perlu.
3) Usaha-usaha lain yang bersifat pengerahan dana desa.
4) Penyertaan modal pada unsur-unsur lain.
5) Menerima pinjaman-pinjaman dari lembaga keuangan.
2.1.3. Laporan Keuangan
Laporan keuangan merupakan laporan yang memuat tentang informasi
keuangan suatu organisasi. Perusahaan menerbitkan laporan keuangan dengan
maksud memberikan informasi keuangannya kepada pihak internal dan
eksternal perusahaan. Laporan keuangan bank merupakan laporan yang
menggambarkan keadaan keuangan bank secara menyeluruh. Melalui laporan
keuangan bank, dapat diketahui kondisi keuangan bank yang sesungguhnya,
termasuk juga kelemahan dan kelebihan bank tersebut.
Laporan yang disajikan suatu perusahaan, yang dalam hal ini lembaga
perbankan pada periode tertentu bertujuan (Faud dan Rustan, 2005:13), sebagai
berikut :
1) Memberikan informasi tentang posisi keuangan bank menyangkut
harta bank, kewajiban bank.
2) Modal bank pada periode tertentu.
3) Memberikan informasi menyangkut laba rugi suatu bank pada periode
tertentu.
4) Memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan
laporan keuangan yang disajikan suatu bank.
5) Memberikan informasi tentang performance suatu bank.
Laporan keuangan ini dapat diterima oleh pihak-pihak tertentu, jika
memenuhi syarat-syarat di bawah ini (Faud dan Rustan, 2005:18) :
1) Relevan
Laporan keuangan yang disajikan harus sesuai dengan data yang ada
kaitannya dengan transaksi yang dilakukan.
2) Jelas dan dapat dimengerti
Laporan keuangan yang disajikan harus jelas dan dapat dimengerti
oleh pemakai laporan keuangan
3) Dapat diuji kebenarannya
Laporan keuangan yang disajikan datanya dapat diuji kebenarannya
dan dapat dipertanggungjawabkan.
4) Netral
Laporan
yang
disajikan
harus
dipergunakan oleh semua pihak.
bersifat
netral
artinya
dapat
5) Tepat waktu
Laporan yang disajikan harus memiliki waktu pelaporan atau periode
pelaporan yang jelas.
6) Dapat diperbandingkan
Laporan keuangan yang disajikan dapat diperbandingkan dengan
laporan-laporan sebelumnya, sebagai landasan untuk mengikuti
perkembangan dari hasil yang dicapai.
Untuk lebih memahami informasi yang terkandung dalam laporan
keuangan maka perlu dilakukan analisis laporan keuangan. Analisis laporan
keuangan berarti menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit
informasi yang lebih kecil dan melihat hubungan yang bersifat signifikan atau
yang mempunyai makna antara satu dengan yang lain, baik antara data
kuantitatif maupun data non-kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui
kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan
keputusan yang tepat (Harahap, 2010:190). Menurut Harahap, (2010:190),
kegiatan analisis laporan keuangan berfungsi mengkonversikan data yang
berasal dari laporan sebagai bahan mentahnya menjadi informasi yang lebih
berguna, mendalam, tajam, dengan teknik tertentu. Pada dasarnya, analisis
laporan keuangan dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko, tingkat
profitabilitas, dan tingkat kesehatan suatu perusahaan. Tujuan dari analisis
laporan keuangan juga tergantung dari kebutuhan analis, misalnya seorang
kreditur menganalisi laporan keuangan sebuah perusahaan untuk membuat
keputusan mengenai pemberian kredit kepada perusahaan tersebut.
2.1.4. Profitabilitas
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
laba dalam suatu periode tertentu atau profitabilitas suatu perusahaan, dapat
diketahui profitabilitasnya dengan membandingkan antara laba yang diperoleh
selama periode tertentu dengan jumlah aktiva atau modal perusahaan tersebut
yang dinyatakan dalam persentase (Sartono,2010:122). Penampilan manajerial
dari setiap perusahaan akan dapat dikatakan baik apabila tingkat profitabilitas
perusahaan yang dikelolanya tinggi atau maksimal, dimana profitabilitas
umumnya diukur dengan membandingkan laba yang diperoleh perusahaan
dengan sejumlah perkiraan yang menjadi tolak ukur keberhasilan perusahaan
seperti modal perusahaan maupun penjualan dari investasi, sehingga dapat
diketahui efektivitas pengelolaan keuangan dan aktiva oleh perusahaan,
(Saputra dan Fahmi, 2009). Profitabilitas bank tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor yang berhubungan dengan keputusan manajemen tetapi juga dipengaruhi
oleh perubahan lingkungan ekonomi makro (Staikouras dan Geoffrey, 2011).
Adapun tujuan profitabilitas (Kasmir,2009:197), adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan
dalam suatu periode tertentu
2) Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun
sekarang.
3) Untuk menilai laba dari waktu ke waktu.
4) Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal
sendiri.
5) Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang
digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri.
6) Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang
digunakan baik modal sendiri.
Selain tujuan di atas, profitabilitas juga mempunyai manfaat yaitu
sebagai berikut:
1) Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam
satu periode.
2) Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun
sekarang.
3) Mengetahui laba dari waktu ke waktu.
4) Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal
sendiri.
5) Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang
digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri.
Ukuran profitabilitas yang biasa digunakan adalah Return on Equity
(ROE) dan Return on Asset (ROA). Return on Asset (ROA) memfokuskan
kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dalam operasi perusahaan,
sedangkan Return on Equity (ROE) hanya mengukur return yang diperoleh
dari investasi pemilik perusahaan dalam bisnis tersebut (Siamat, 2002). Return
On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan didalam
menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya.
Semakin tinggi ROA suatu bank, maka semakin besar keuntungan yang
diperoleh bank tersebut, yang artinya bank mampu memanfaatkan aktiva yang
dimiliki dengan baik.
Dalam penentuan tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia lebih
mementingkan penilaian besarnya Return on Asset (ROA) dan tidak
memasukkan unsur Return on Equity (ROE), karena Bank Indonesia sebagai
pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas
suatu bank yang diukur dengn aset yang dananya sebagian besar berasal dari
dan simpanan masyarakat, (Dendawijaya, 2009:121). Maka dari itu pada
penelitian ini ukuran profitabilitas yang digunakan adalah ROA.
2.1.5. Kredit
Kredit dalam bahasa Latin disebut “credere” yang berarti percaya.
Maksudnya kreditur percaya kepada debitur bahwa kredit yang disalurkan pasti
akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi debitur berarti menerima
kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali
pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya (Kasmir, 2012: 86). Menurut
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
Menurut Kasmir (2012:105) adapun unsur-unsur yang terkandung
dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut :
1) Kepercayaan
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bagi si pemberi kredit
bahwa kredit yang diberikan (baik berupa uang, barang atau jasa)
benar-benar diterima kembali di masa yang akan datang sesuai jangka
waktu kredit.
2) Kesepakatan
Kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit.
Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masingmasing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
Kesepakatan ini dituangkan dalam akad kredit dan ditandatangani
kedua belah pihak sebelum kredit dikucurkan.
3) Jangka Waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka
waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati.
Jangka waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek (di bawah 1
tahun), jangka menengah (1 sampai 3 tahun) atau jangka panjang
(diatas 3 tahun). Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian
angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk
kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai
kebutuhan.
4) Resiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu
resiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang
suatu kredit semakin besar resikonya demikian pula sebaliknya.
Resiko ini menjadi tanggungan bank, baik resiko yang disengaja oleh
nasabah yang lalai, maupun oleh resiko yang tidak disengaja.
5) Balas Jasa
Bagi bank balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan atas
pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengan nama
bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit
ini merupakan keuntungan bank.
2.1.6. Kualitas Kredit
Jumlah kredit yang disalurkan dalam suatu periode memengaruhi
perkembangan LPD. Artinya, semakin banyak kredit yang disalurkan, laba
yang diperoleh LPD pun semakin besar. Dalam pelaksanaanya, banyaknya
jumlah kredit yang disalurkan juga harus memperhatikan kualitas kredit
tersebut. Kualitas kredit merupakan tingkatan mengenai baik atau buruknya
kredit yang disalurkan. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun
2013, kualitas pinjaman yang diberikan LPD diklasifikasikan dalam 4 (empat)
kategori yaitu :
1) Lancar
Kualitas pinjaman yang diberikan dikategorikan lancar, apabila:
(1) Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga; atau
(2) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tetapi tidak
lebih dari 3 (tiga) kali angsuran dan pinjaman yang diberikan
belum jatuh tempo.
2) Kurang Lancar
Kualitas pinjaman yang diberikan dikategorikan kurang lancar,
apabila :
(1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 3
(tiga) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 6 (enam) kali
angsuran; dan
(2) Pinjaman yang diberikan belum jatuh tempo.
3) Diragukan
Kualitas pinjaman yang diberikan dikategorikan diragukan, apabila:
(1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 6
(enam) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 12 (dua belas) kali
angsuran dan atau;
(2) Pinjaman yang diberikan telah jatuh tempo tetapi tidak lebih dari
3 (tiga) bulan.
4) Macet
Kualitas pinjaman yang diberikan dikategorikan macet, apabila:
(1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga lebih dari
12 (dua belas) kali angsuran dan/atau;
(2) Pinjaman yang diberikan telah jatuh tempo lebih dari 3 (tiga)
bulan.
Kualitas kredit suatu bank dapat digambarkan dari kemampuan bank
untuk memperoleh kembali seluruh kredit yang diberikan kepada debitur
sampai lunas. Kualitas kredit yang buruk mengindikasikan bank mengalami
kredit bermasalah atau Non Performing Loan. Apabila suatu bank mempunyai
Non Performing Loan (NPL) yang tinggi, maka akan memperbesar biaya, baik
biaya pencadangan aktiva produktif maupun biaya lainnya, dengan kata lain
semakin tinggi Non Performing Loan (NPL) suatu bank, maka hal tersebut
akan mengganggu kinerja bank tersebut, (Ponco, 2008). Oleh karena itu,
sebagian besar kredit bermasalah dalam sisten perbankan umumnya
menghasilkan kegagalan bank (Messai dan Fathi, 2013). Kredit bermasalah
bisa meningkat karena kurangnya manajemen risiko, sehingga mengancam
profitabilitas bank (Haneef et al, 2012).
Menurut
Peraturan
Bank
Indonesia
No.13/3/PBI/2011
tentang
penerapan status dan tidak lanjutan pengawasan bank, bank dinilai memiliki
potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila Non
Performing Loan secara neto lebih dari 5 persen dari total kredit atau total
pembiayaan. Berdasarkan Ketentuan Bank Indonesia, kredit bermasalah
digolongkan menjadi tiga, antara lain:
1) Kredit Kurang Lancar
Kredit kurang lancar terjadi apabila debitur tidak dapat membayar
angsuran pinjaman pokok atau bunga 91 sampai 180 hari.
2) Kredit Diragukan
Kredit diragukan terjadi dalam hal debitur tidak dapat membayar
angsuran pinjaman pokok atau pembayaran bunga antara 180 hari
sampai 270 hari.
3) Kredit Macet
Kredit macet terjadi apabila debitur tidak mampu membayar beturutturut setelah 270 hari.
Menurut Ismail (2010:218), faktor-faktor penyebab kredit bermasalah
dapat berasal dari intern bank dan ekstern bank. Faktor penyebab kredit
bermasalah yang berasal dari intern bank, antara lain :
1) Analisis yang dilakukan oleh pejabat bank kurang tepat, sehingga
tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam kurun waktu
selama jangka waktu kredit.
2) Adanya kolusi antara pejabat bank yang menangani kredit dengan
nasabah, sehingga bank memutuskan kredit yang tidak seharusnya
diberikan.
3) Keterbatasan pengetahuan pejabat bank terhadap jenis usaha debitur,
sehingga tidak dapat melakukan analisis kredit dengan tepat dan
akurat.
4) Campur tangan terlalu besar dari pihak terkait, misalnya komisaris
sehingga petugas tidak independen dalam memutuskan kredit.
5) Kelemahan dalam melakukan pembinaan dalam menitoring kredit.
Faktor penyebab kredit bermasalah yang berasal dari ekstern bank,
antara lain:
1) Debitur dengan sengaja tidak melakukan pembayaran angsuran kepada
bank, karena nasabah tidak memiliki kemauan dalam memenuhi
kewajibannya.
2) Debitur melakukan ekspansi terlalu besar, sehingga dana yang
dibutuhkan terlalu besar. Hal ini akan memiliki dampak terhadap
keuangan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan modal kerja.
3) Penyelewengan yang dilakukan nasabah dengan menggunakan dana
kredit tersebut tidak sesuai dengan tujuan pengguna.
4) Adanya
unsur
ketidaksengajaan,
misalnya
bencana
alam,
ketidakstabilan perekonomian negara sehingga inflasi tinggi.
Selain faktor-faktor tersebut, Makri et al (2014) menyatakan bahwa
faktor
makroekonomi
seperti,
utang
public,
pengangguran,
tingkat
pertumbuhan tahunan produk domestik bruto memiliki pengaruh pada kredit
bermasalah. Inflasi, nilai tukar dan suku bunga juga faktor yang mempengaruhi
kredit bermasalah pada sektor perbankan (Ranjan dan Sarat, 2003; Farhan,
2012). Dendawijaya (2009:86) menyatakan bahwa implikasi bagi pihak bank
sebagai akibat dari timbulnya kredit bermasalah dapat berupa:
1) Hilangnya kesempatan memperoleh pendapatan dari kredit yang
diberikan sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk
bagi rentabilitas bank
2) Rasio kualitas aktiva produktif atau yang lebih dikenal dengan BDR
(Bad Debt Ratio) menjadi semakin besar yang menggambarkan
terjadinya situasi yang memburuk.
3) Bank harusnya memperbesar penyelisihan cadangan untuk cadangan
aktiva produktif yang diklasifisikan berdasarkan ketentuan yang ada.
Hal ini pada akhrirnya akan mengurangi besarnya modal bank dan akan
berpengaruh pada CAR.
4) Menurunnya tingkat kesehatan bank
2.1.7. Tingkat Penyaluran Kredit
Penyaluran kredit merupakan aktivitas pokok bank, karena dengan
menyalurkan kredit kepada debitur, bank memperoleh bunga yang merupakan
sumber utama pendapatan bank, (Wantera, 2014). Penyaluran kredit atau
pengalokasian dana adalah kegiatan yang dilakukan LPD dengan menyalurkan
kembali dana yang dihimpun dari masyarakat (tabungan dan deposito) kepada
masyarakat yang memerlukan dana. Total kredit yang disalurkan pada suatu
periode akan memengaruhi perkembangan LPD. Artinya, semakin banyak
kredit yang diberikan laba yang diperoleh LPD juga akan meningkat. Namun,
saat pinjaman melebihi deposito yang dimilki, bank akan menghadapi
kesenjangan pendanaan sehingga bank harus mengakses pasar keuangan (End,
2013). Tingkat penyaluran kredit diukur dengan menggunakan Loan to Depoit
Ratio (LDR). LDR adalah rasio antara seluruh kredit yang diberikan bank
terhadap dana yang diterima bank, (Sianturi, 2012).
Bank Indonesia menetapkan standard untuk rasio Loan to Deposit Ratio
(LDR) sebesar 80% hingga 110%. Jika angka rasio Loan to Deposit Ratio
(LDR) suatu bank berada pada angka di bawah 80% (misalkan 70%), maka
dapat disimpulkan bahwa bank tersebut hanya dapat menyalurkan sebesar 70%
dari seluruh dana yang berhasil dihimpun. Jika rasio Loan to Deposit Ratio
(LDR) bank mencapai lebih dari 110%, berarti total kredit yang diberikan bank
tersebut melebihi dana yang dihimpun. Semakin tinggi Loan to Deposit Ratio
(LDR) menunjukkan semakin riskan kondisi likuiditas bank, sebaliknya
semakin rendah Loan to Deposit Ratio (LDR) menunjukkan kurangnya
efektifitas bank dalam menyalurkan kredit sehingga hilangnya kesempatan
bank untuk memperoleh laba, (Sianturi,2012).
2.1.8. Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)
BOPO adalah rasio perbandingan antara Biaya Operasional dengan
Pendapatan Operasional. Biaya operasional merupakan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk membiayai kegiatan operasional seperti biaya bunga dan
biaya tenaga kerja. Sedangkan, pendapatan operasional adalah pendapatan
yang diperoleh bank selama melakukan kegiatan operasional seperti,
pendapatan bunga yang diperoleh dari penyaluran kredit. Menurut Wang et al
(2012) manajemen yang sangat buruk dapat berakibat fatal bagi sektor
perbankan dan berefek buruk pada efisiensi bank. Selain itu, pengawasab biaya
operasional yang lemah akan mengakibatkan tingginya kerugian modal
(Haneef et al, 2012). Artinya apabila manajemen mampu meminimukan rasio
BOPO berarti semakin baik kinerja manajemen bank tersebut, karena lebih
efisien dalam menggunakan sumber daya yang dimilikinya.
Berdasarkan Surat Edaran BI No. 3/30 DPNP tanggal 14 Desember 2001
menyatakan besarnya rasio BOPO yang dapat ditolerir oleh Bank Indonesia
adalah sebesar 90%, apabila lebih dari 90% bank dikatakan tidak efisien. Jika
angka rasio menunjukkan angka diatas 90% dan mendekati 100% ini berarti
kinerja bank tersebut menunjukkan tingkat efiensi yang sangat rendah. Tetapi
jika rasio ini rendah, misalnya mendekati 75% ini berarti kinerja bank yang
bersangkutan menunjukkan tingkat efisiensi yang tinggi (Riyadi, 2004:141).
2.2. Hipotesis Penelitian
2.2.1. Pengaruh Tingkat Penyaluran Kredit pada Profitabilitas
Besarnya penyaluran kredit diperlihatkan melalui perputaran kredit
yang dilakukan LPD, yang juga menunjukkan seberapa cepat penagihan kredit.
Semakin cepat penagihan kredit maka jumlah kredit yang disalurkan semakin
tinggi, hal tersebut akan sejalan dengan tingkat pertumbuhan profitabilitas
LPD. Meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan maka akan meningkatkan
jumlah pendapatan bunga yang diterima, hal tersebut dapat meningkatkan
profitabilitas LPD.
Penelitian yang dilakuan Sutika (2013) mengungkapkan bahwa tingkat
penyaluran kredit berpengaruh positif dan signifikan pada profitabilitas.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Miadalyni (2013) yang menyatakan
Loan to Deposit Ratio berpengaruh positif dan sigifikan terhadap profitabilitas.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Tingkat penyaluran kredit berpengaruh positif pada profitabilitas
2.2.2. Pengaruh BOPO pada Profitabilitas
Meningkatnya rasio BOPO mencerminkan kurangnya kemampuan bank
dalam menekan biaya operasionalnya, hal tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena bank kurang efisien dalam mengelola usahanya. Artinya,
semakin berkurang dana yang dapat digunakan untuk memperoleh keuntungan
sehingga profitabilitas menurun. Penelitian yang dilakuakan oleh Ponco (2008)
menunjukkan bahwa BOPO berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
Return on Asset (ROA). Hal tersebut didukung oleh penelitian Hasan (2014)
yang menyatakan BOPO berpengaruh negatif signifikan terhadap profitabilitas.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H2 : BOPO berpengaruh negatif pada profitabilitas
2.2.3. Pengaruh Kualitas Kredit dalam Memoderasi Pengaruh Tingkat
Penyaluran Kredit pada Profitabilitas
Kualitas kredit yang buruk, dalam hal ini kredit bermasalah
menyebabkan
menurunnya
pendapatan.
Bank
akan
enggan
untuk
meningkatkan penyalurkan kredit ketika nilai kredit bermasalah atau Non
Performing Loan tinggi, karena bank harus membentuk cadangan penghapusan
yang besar. Artinya pendapatan bunga yang seharusnya diterima menjadi
berkurang, karena sedikitnya dana yang dapat digunakan untuk penyaluran
kredit menyebabkan profitabilitas menurun.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astuti
(2013) yang menunjukkan bahwa Non Performing Loan berpengaruh negatif
signifikan terhadap penyaluran kredit. Penelitian tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nandadipa (2010) yang menyatakan bahwa
NPL berpengaruh negatif signifikan terhadap LDR. Berdasarkan uraian
tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Kualitas kredit memperlemah pengaruh tingkat penyaluran kredit pada
profitabilitas
2.2.4. Pengaruh Kualitas Kredit dalam Memoderasi Pengaruh BOPO
pada Profitabilitas
Selain menentukan besar kecilnya pendapatan yang diperoleh, kualitas
kredit juga menentukan besar kecilnya biaya yang dikeluarkan LPD. Kualitas
kredit yang buruk mengindikasikan adanya kredit bermasalah atau Non
Performing Loan. Apabila suatu bank mempunyai Non Performing Loan
(NPL) yang tinggi, maka akan memperbesar biaya, baik biaya pencadangan
aktiva produktif maupun biaya lainnya, dengan kata lain semakin tinggi Non
Performing Loan (NPL) suatu bank, maka hal tersebut akan mengganggu
kinerja bank tersebut, (Ponco, 2008). Artinya, peningkatan kredit bermasalah
dapat meningkatkan biaya yang dikeluarkan, sehingga dana yang awalnya
dapat digunakan oleh LPD untuk memperoleh keuntungan berkurang, yang
berdampak pada penurunan profitabilitas LPD.
Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Setyawati dan Suartana (2014) menyatakan bahwa tingkat kredit bermasalah
berpengaruh positif terhadap rasio BOPO. Berdasarkan uraian tersebut dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H4 : Kualitas kredit memperkuat pengaruh BOPO pada profitabilitas
Download