Bab VI Interpretasi Tomogram Bawah Permukaan Kompleks Gunung Guntur VI.1 Hasil Studi Tomografi di Daerah Tektonik dan Vulkanik Beberapa keberhasilan studi tomografi baik di daerah tektonik maupun daerah vulkanik baik menggunakan tomografi waktu tunda dan tomografi atenuasi ditampilkan sebagai bahan perbandingan. Hasil studi seismik di bawah kaldera-kaldera muda di Amerika Serikat seperti Kaldera Vallles di New Mexico menunjukkan anomali negatif kecepatan gelombang seismik (P dan S) disebabkan oleh keberadaan sisa-sisa dapur magma (Steck et al., 1998). Daerah sesar aktif dengan tingkat kegempaan yang tinggi banyak dijumpai daerah kecepatan rendah (Aki et al., 1976 dan Thurber, 1983). Anomali negatif kecepatan seismik di dalam kerak bumi sering dihubungkan dengan keberadaan pelelehan parsial seperti intrusi magma (Ryall et al., 1968). Studi terakhir tomografi di Kaldera Toba menggunakan gelombang P dan S dari gempa tektonik lokal menunjukkan adanya daerah anomali negatif kecepatan dan diperkirakan berkaitan dengan keberadaan daerah lemah berupa graben Semangko atau sesar besar Sumatera, keberadaan sisa-sisa dapur magma Gunung Toba purba, dan pelelehan parsial (Wandono, 2007). Studi tomografi di Gunung Nevado del Ruiz (Columbia) menggunakan gelombang P dan S menunjukkan adanya daerah Vp dan Vp/Vs yang rendah di sekitar kawah yang aktif pada kedalaman 0–2 km dari puncak yang berasosiasi dengan sistem geothermal yang didominasi oleh uap. Daerah Vp dan Vp/Vs yang tinggi di bawah kawah aktif pada kedalaman 5 km yang berasosiasi dengan intrusi magma. Sedangkan daerah kecepatan rendah untuk Vp dan Vs pada kedalaman 5–10 km di bawah kawah dianggap sebagai sumber panas dari kegiatan vulkanik gunungapi tersebut (Londono, 2002). Studi pendahuluan tomografi seismik di Kompleks Gunung Guntur menggunakan gelombang P (data gempa 1994-2001) dengan pendekatan linier menunjukkan anomali negatif kecepatan terdapat pada kedalaman 3–8 km di bawah puncak (Suantika, 2002). Studi lanjutan tomografi Gunung Guntur menggunakan gelombang P dan S (data gempa 2002-2004) dengan pendekatan non-linier menunjukkan ada anomali negatif kecepatan 154 terdapat pada kedalaman 6–8 km tetapi lokasinya bergeser dari studi terdahulu sejauh 3 km ke timur di bawah Puncak Masigit (Nugraha, 2005). Hal ini dapat disebabkan oleh pemakaian jumlah stasiun, jumlah sinar seismik, dan parameterisasi blok yang berbeda. Studi tomografi regional lainnya di daerah Kanto, Jepang menunjukkan harga Poisson’s ratio yang tinggi dijumpai di bawah deretan gunungapi pada kedalaman 40−90 km, hal ini diperkirakan daerah upwelling plume. Poisson’s ratio dikenal sangat sensitif terhadap mode rasio mineral di dalam batuan, khususnya derajat serpentinasi (serpentin bersifat plastis), derajat serpentinasi tinggi membuat harga Poisson’s ratio tinggi atau material bersifat sangat plastis dan harga Poisson’s ratio rendah berarti material kurang plastis atau kurang bersifat fluida (Omori et al., 2002). Shear wave velocity dan bulk sound velocity di bawah benua India, Australia, dan Asia bagian utara keduanya menunjukkan adanya anomali positif yang berkaitan dengan kerak benua yang lebih dingin dibandingkan selubung bumi. Daerah yang merupakan sumber panas umumnya mempunyai anomali negatif baik shear wave velocity maupun bulk sound velocity. Sedangkan di bawah punggungan tengah Samudera Pasifik menunjukkan hal yang berbeda yaitu dijumpai adanya anomali negatif shear wave velocity dan anomali positif bulk sound velocity. Di daerah ini dikenal sebagai daerah lemah karena merupakan daerah pemekaran lantai samudera dan magma dari selubung bumi bagian atas langsung naik ke permukaan. Ketidakkonsistenan ini menunjukkan ada faktor lain yang menyebabkan anomali bulk sound velocity jadi positif yaitu adanya keberagaman komposisi kimia di daerah ini. Dan di daerah ini juga merupakan daerah Q rendah sehingga shear wave velocity lebih sensitif tereduksi dibandingkan dengan bulk sound velocity (Kennett et al., 1998) Dari studi atenuasi regional di Kalifornia bagian selatan (Amerika Serikat) menunjukkan bahwa Qp dan Qs rendah (sekitar 100) di lapisan permukaan (kedalaman 0– 5 km) mayoritas berkaitan dengan lapisan sedimen. Agak ke bawahnya lagi harga Qp dan Qs lebih tinggi, Qp antara 500–900 dan Qs antara 600–1000. Di jajaran pegunungan yang memiliki batuan dengan kecepatan seismik tinggi harga Qp dan Qs juga tinggi. Di daerah sesar aktif yang berumur Kwarter yang merupakan daerah hancuran harga Qp dan Qs 155 bervariasi, yaitu ada beberapa bagian tinggi dan bagian lainnya rendah. Adanya faktor reflektivitas di pertengahan kerak bumi juga menunjukkan harga Qp dan Qs bervariasi. Harga Qs/Qp>1 menunjukkan medium sebagian jenuh fluida, dan harga harga Qs/Qp<1 menunjukkan bahwa adanya reduksi energi lebih besar pada modulus geser (shear) daripada modulus volume (bulk), ini berarti medium hampir seluruhnya jenuh fluida (Hauksson et al., 2006). Hasil studi tomografi atenuasi seismik gelombang P di Kaldera Aso (Jepang) menunjukkan ada material di bawah kaldera yang menyebabkan gelombang gempa yang lewat mengalami atenuasi dan harga Qp=100. Kaldera ini masih aktif dan sering meletus, adanya kegiatan vulkanik ini mencerminkan adanya sumber panas atau dapur magma di bawah kaldera (Sudo, 1991). Sangat mungkin penyebab atenuasi ini adalah keberadaan dapur magma. Dari studi tomografi regional di Kepulauan Jepang menggunakan Q-factor menunjukkan bahwa Q rendah terdapat di sepanjang busur vulkanik (daerah panas). Tomografi Q teresolusi sangat baik menggunakan gelombang P pada kedalaman 65 km dan menggunakan gelombang S pada kedalaman 10 km (Sekine, 2003). Studi struktur atenuasi di daerah vulkanik yang diturunkan melalui tomografi seismik telah dilakukan di Gunung Kirishima, Jepang yang menunjukkan bahwa konstanta atenuasi sangat kuat bergantung pada frekuensi gempa yang disebabkan oleh sill-like magma setebal 80 m (Yamamoto dan Ida, 1997). Hasil studi atenuasi di Gunung Nevado del Ruiz kemudian dekembangkan untuk menghitung Q-factor melalui coda wave (bagian akhir rekaman gempa). Perubahan temporal Q-Coda dapat digunakan sebagai alat untuk memonitor aktivitas Gunung Nevado del Ruiz karena perubahan harga Q merefleksikan perubahan di dalam medium (Londono, 2002). Studi atenuasi gelombang seismik di Kaldera Toba di Sumatera Utara menunjukkan adanya daerah Q rendah atau atenuasi tinggi. Penyebab anomali diperkirakan adanya struktur panas di bawah kaldera (Fauzi, 1999). 156 Penelitian tomografi atenuasi seismik (Q-1) dari data dalam interval waktu berbeda menggunakan metoda spectral ratio di kompleks Gunung Guntur telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan atenuasi tinggi berkaitan dengan daerah lemah di bawah Gunung Guntur (Adiwiarta, 2007, Tambunan, 2007, Puspasari, 2008, Widiyantoro et al., 2007 dan Suantika et al., 2008). Studi tomografi atenuasi seismik menggunakan metoda spectral fitting menunjukkan hasil yang hampir sama (Sedayo, 2008 dan Suantika et al., 2008). VI.2 Tomografi Kompleks Guntur VI.2.1 Model Tomografi Deviasi Kecepatan Tomogram berdasarkan metoda waktu tunda terdiri dari model tomografi deviasi kecepatan gelombang P dan S. Berdasarkan kedua model ini diturunkan model lainnya yaitu model tomografi Vp/Vs ratio (Gambar 6.1), Poison’s ratio (Gambar 6.2), bulk sound velocity (Gambar 6.3), dan shear wave velocity (Gambar 6.4). Masing-masing model ditampilkan dalam irisan horizontal pada kedalaman 6 km dari elevasi referensi, irisan vertikal barat timur melalui Kamojang dan Guntur, irisan vertikal selatan utara melalui Guntur Gandapura, dan tampilan 3–D model plume. Hampir semua model ini menunjukkan posisi anomali negatif pada tempat yang sama, yaitu anomali lebih dalam dijumpai di bawah Kaldera Kamojang dan anomali dangkal di bawah Kaldera Gandapura dan Gunung Guntur. Anomali negatif hampir selalu dikelilingi oleh hiposenter gempa. Model tomografi gelombang P dan S sama-sama menunjukkan deviasi negatif terhadap model kecepatan, deviasi negatif maksimum mencapai –5%. Deviasi negatif atau anomali negatif kecepatan menurut studi terdahulu sangat berkaitan dengan sumber panas di bawah permukaan (Steck et al., 1998) atau keberadaan daerah lemah (sesar atau struktur bawah permukaan hasil kegiatan tektonik) (Aki et al., 1976 dan Thurber, 1983). Di sini terlihat bahwa model tomografi gelombang P lebih jelas atau lebih teresolusi bila dibandingkan dengan anomali negatif model tomografi gelombang S. Ini berarti anomali gelombang P lebih negatif daripada anomali gelombang S. Kecepatan gelombang P dipengaruhi oleh komponen bulk modulus dan shear modulus dan kecepatan gelombang 157 S hanya dipengaruhi oleh komponen shear modulus. Jadi anomali gelombang P lebih negatif daripada anomali gelombang S dapat diartikan bahwa komponen bulk modulus lebih terpengaruh daripada komponen shear modulus. Dalam model tomografi Vp/Vs ratio terlihat juga anomali negatif sangat jelas dan terletak pada pada posisi yang sama dengan model gelombang P dan S, harga Vp/Vs ratio terendah di daerah anomali Kompleks Guntur adalah Vp/Vs=1,80. Berdasarkan hasil studi di Gunung Nevado del Ruiz (Columbia) harga Vp dan Vp/Vs yang rendah di bawah kawah yang aktif berasosiasi dengan sistem geothermal yang didominasi oleh uap (Londono, 2002). Begitu pula dengan model tomografi Poisson’s ratio menunjukkan anomali negatif terletak pada posisi yang hampir sama dengan ketiga model di atas, harga Poisson’s ratio terendah di daerah anomali Kompleks Guntur adalah σ=0,27. Keberadaan anomali negatif Poisson’s ratio berarti komponen strain arah longitudinal lebih terpengaruh daripada komponen strain arah transversal atau material kurang bersifat fluida dan plastis (Omori et al., 2002). Harga Poisson’s ratio maksimum adalah 0,50 dimiliki oleh fuida. Karakter material anomali Kompleks Guntur dapat juga dilihat dari model tomografi bulk sound velocity dan shear wave velocity. Kedua model menunjukkan adanya anomali negatif pada posisi yang hampir sama. Keberadaan sumber panas di bawah permukaan Kompleks Guntur mungkin menjadi penyebab anomali negatif kedua model. Walaupun sama-sama menunjukkan anomali negatif tetapi model bulk sound velocity lebih jelas atau lebih negatif daripada model shear wave velocity. Kondisi yang sama dijumpai pada model deviasi gelombang P dan S. Bulk sound velocity hanya dipengaruhi oleh bulk modulus dan shear wave velocity hanya dipengaruhi oleh shear modulus, ini berarti kecepatan rendah lebih berpengaruh pada bulk modulus daripada shear modulus atau material kurang bersifat fluida dan komposisi batuan lebih beragam. 158 Gambar 6.1. Model tomografi waktu tunda gelombang P irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui Guntur-Gandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 159 Gambar 6.2. Model tomografi waktu tunda gelombang S irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui Guntur-Gandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 160 Gambar 6.3. Model tomografi Vp/Vs irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui GunturGandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Pada irisan vertikal harga minimum disertai isoline yang konsentris dengan beda kontur 0,005. Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 161 Gambar 6.4. Model tomografi Poisson’s ratio irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui Guntur-Gandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Pada irisan vertikal harga minimum disertai isoline yang konsentris dengan beda kontur 0,002. Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 162 Gambar 6.5. Model tomografi bulk sound velocity irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui Guntur-Gandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Pada irisan vertikal harga minimum disertai isoline yang konsentris dengan beda kontur 0,05 km/det. Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 163 Gambar 6.6. Model tomografi shear wave velocity irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui Guntur-Gandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Pada irisan vertikal harga minimum disertai isoline yang konsentris dengan beda kontur 0,05 km/det. Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 164 VI.2.2 Model Tomografi Atenuasi Citra tomogram berdasarkan model tomografi atenuasi spectral fitting dan atenuasi spectral ratio baik untuk gelombang P dan S masing-masing dapat dilihat dalam Gambar 6.7, Gambar 6.8, Gambar 6.9, dan Gambar 6.10. Tomogram juga ditampilkan dalam irisan horisontal di kedalamam 6 km di bawah elevasi referensi (4 km di bawah puncak), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang dan Guntur, irisan selatan utara melalui Guntur dan Gandapura, dan gambaran 3−D model plume anomali. Pada umumnya keempat model di atas menunjukkan posisi anomali negatif pada tempat yang sama, yaitu anomali lebih dalam dijumpai di bawah Kaldera Kamojang dan anomali dangkal di bawah Kaldera Gandapura dan Gunung Guntur. Posisi anomali model tomografi atenuasi juga bersesuaian dengan posisi anomali model tomografi kecepatan. Anomali negatif hampir selalu dikelilingi oleh hiposenter gempa. Model tomografi atenuasi spectral fitting menunjukkan secara lebih jelas anomali negatif di bawah Kamojang, Gandapura, dan Guntur bila dibandingkan dengan anomali model tomografi atenuasi spectral ratio tidak dapat memperlihatkan secara jelas anomali negatif di bawah Kamojang. Tetapi anomali negatif spectral ratio mempelihatkan secara jelas daerah lemah pada kelurusan Guntur dan Gandapura. Begitu pula bila dibandingkan antara atenuasi gelombang P dan S baik pada model spectral fitting dan spectral ratio maka gelombang P lebih teratenuasi daripada gelombang S atau Qp lebih kecil daripada Qs. Hasil regresi linier antara Qs dan Qp di Kompleks Guntur juga menunjukkan Qs>Qp, Qp=84,5214 dan Qs=147,5667. Masukan data dalam perhitungan model tomografi atenuasi terdiri dari waktu tempuh terbobot dan harga mutlak kecepatan yang diperoleh dari model tomografi gelombang P dan S. Dari hasil di atas model tomografi kecepatan gelombang P lebih negatif daripada gelombang S sehingga model atenuasi gelombang P juga menjadi lebih negatif daripada model atenuasi gelombang S. Harga Qs/Qp>1 di Kompleks Guntur menunjukkan medium kurang jenuh fluida. 165 Gambar 6.7. Model tomografi atenuasi spectral fitting gelombang P. irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui Guntur-Gandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 166 Gambar 6.8. Model tomografi atenuasi spectral fitting gelombang S. irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui Guntur-Gandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 167 Gambar 6.9 Model tomografi atenuasi spectral ratio gelombang P. irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui Guntur-Gandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 168 Gambar 6.10. Model tomografi atenuasi spectral ratio gelombang S. irisan horizontal pada kedalaman 4 km dari puncak (kiri atas), irisan vertikal selatan utara melalui Guntur-Gandapura (kanan atas), irisan vertikal barat timur melalui Kamojang-Guntur (kiri bawah), dan anomali model plume 3−D (kanan bawah). Warna merah adalah anomali negatif dan bulatan ungu adalah pusat gempa vulkanik. 169 VI.2.3 Hubungan Anomali dengan Strukur Geologi serta Kegempaan di Kompleks Guntur Kawasan Kamojang adalah kawasan geothermal yang memiliki kegempaan cukup tinggi dan dilewati sesar dalam arah timur laut barat daya, gempa-gempa di sini secara dominan mempunyai solusi sesar geser. Begitu pula kawasan Kaldera Gandapura juga memiliki kegempaan cukup tinggi yang dilewati sesar dalam arah timur laut barat daya, gempa-gempa di sini secara dominan mempunyai solusi sesar normal. Guntur adalah produk termuda di Kompleks Guntur memiliki tingkat kegempaannya paling tinggi. Guntur dan Gandapura dilewati juga oleh sesar dalam arah barat laut tenggara dan secara dominan solusi mekanisme sumber gempa adalah normal (Suantika et al., 1997 dan Sadikin, 2008). Pada tahun 1997 dan 1999 Kawasan Gandapura pernah menghasilkan gempa terasa dan intesitas gempa di Pos Pengamatan Gunungapi Guntur tercatat III skala MMI. Gempa-gempa ini mempunyai magnituda antara 2,7−2,9 SR (Skala Richter) (Iguchi et al., 1998 dan Sadikin, 2008). Sesar-sesar di atas sangat aktif atau tidak stabil mudah tergangggu bila terjadi perubahan medan tekanan tektonik atau perubahan sistem vulkanik bawah permukaan. Umumnya gempa di bawah Kamojang lebih dalam dan lebih besar magnitudanya daripada gempa di bawah Guntur dan Gandapura. Anomali dari semua model tomografi di atas terdistribusi di sepanjang sesar Kompleks Guntur. Ada keterbatasan pada metoda tomografi ini, yaitu tidak mampu memperlihatkan anomali berupa pipa kepundan atau kantong magma berdiameter kurang 2 km oleh karena elemen parameter terkecil adalah 2x2x2 km3, tetapi anomali yang dijumpai di bawah permukaan Kompleks Guntur memang ada. Anomali ini sangat berkaitan dengan daerah lemah atau daerah hancuran akibat kegiatan vulkanik dan tektonik di masa lalu atau mungkin juga merupakan sisa material panas di kantong magma dangkal. Berdasarkan data geologi dapat dilihat bahwa sejarah pembentukan Gunung Guntur dimulai dari pembentukan Kaldera Kamojang yang merupakan produk tertua, kemudian diikuti oleh pembentukan Kaldera Gandapura, dan kemudian Gunung Guntur sekarang merupakan produk termuda di Kompleks Guntur (Bronto et al. 1992, Matahelemual, 1989, Purbawinata, 1990, dan Surmayadi et al., 1998). Migrasi kegiatan 170 vulkanik ini dari yang tertua sampai muda menyisakan daerah lemah berupa kantongkantong magma, dari kantong yang paling dalam di bawah produk tertua sampai kantong magma terdangkal di bawah produk termuda. Hal ini sangat sesuai dengan posisi anomali negatif dari tomogram terletak di bawah pusat-pusat letusan di masa lalu. Sampai sekarang di kedua tempat ini (Kamojang dan Guntur) masih dijumpai ada aktivitas solfatara dan fumarola sehingga keberadaan anomali di bawah Kamojang dan Guntur cukup masuk akal. Anomali negatif dari model tomografi secara keseluruhan memperlihatkan lokasi anomali yang hampir konsisten. Walaupun pada beberapa model ada bagian resolusi tomogram kurang baik akan tetapi model lainnya dapat melengkapi. Secara umum gambaran anomali 3−D dari model plume yang diturunkan dari semua model menunjukkan bahwa anomali lebih dalam terdapat di bawah Kaldera Kamojang kemudian anomali seolah-olah mengalir menuju ke tempat yang lebih dangkal di bawah Gunung Guntur dan Kaldera Gandapura. Distribusi anomali ini juga mencerminkan sistem kantong magma di Kompleks Guntur. Pusat letusan di masa mendatang dapat diperkirakan tidak akan jauh dari kelurusan barat laut tenggara melalui Gunung Guntur dan Kaldera Gandapura. VI.3 Anomali Total dalam 3−D Dimensi anomali negatif secara keseluruhan di bawah Kompleks Guntur dapat dilihat melalui tampilan 3−D model plume atau isosurface. Anomali negatif total ini dibuat dengan cara menormalisasi harga isosurface yang mewakili anomali negatif masing-masing model tomografi sama dengan satu. Kemudian menginterseksikan harga normalisasi masing-masing ke dalam koordinat ruang yang sama. Gambaran model plume dibuat dengan anggapan bahwa setiap model dapat saling melengkapi kekurangan model yang lain. Dalam Gambar 6.11 terlihat bahwa anomali paling dalam dimulai dari bawah Kaldera Kamojang kemudian mengalir ke tempat yang lebih dangkal di bawah Kaldera Gandapura dan Gunung Guntur. 171 Gambar 6.11. Dimensi anomali negatif total di bawah Kompleks Guntur dalam tampilan 3−D model plume atau isosurface dilihat dari beberapa sudut yang berbeda. VI.4 Aplikasi Hasil Studi Tomografi Guntur Hasil studi tomografi Kompleks Guntur dapat digunakan untuk mengamati kegiatan vulkanik gunungapi-gunungapi lainnya dengan masa istirahat cukup panjang seperti Salak, Gede, Tangkubanparahu, Galunggung, Ciremai, Selamet, Sundoro, Sumbing, Agung, Rinjani, Tambora dan lain lainnya. 172 Ada dua cara menggunakan hasil penelitian ini berkaitan dengan pemantauan kegiatan gunungapi, yaitu: 1. Melakukan pemantauan harga atenuasi atau harga Q-actor dari setiap gempa vulkanik yang terekam menggunakan metoda best fitting kemudian diplot terhadap waktu. 2. Cara kedua melakukan tomografi 4−D untuk gelombang P menggunakan model deviasi kecepatan, atenuasi atau Q-actor, dan model geotermal atau gradien suhu bumi yang sensitif terhadap deviasi kecepatan dan deviasi Qfactor. Teknik tomografi 4−D adalah melakukan inversi data dari dua interval waktu yang berbeda. Gelombang P dipilih karena data waktu tiba Gelombang P relatif lebih lebih jelas daripada gelombang S. Cara pertama relatif lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan cara kedua. Cara kedua memerlukan distribusi sumber gempa, distribusi stasiun, dan kepadatan sinar gelombang yang hampir sama pada semua periode waktu pengamatan. Dalam bab ini ditampilkan hanya cara pertama saja, sedangkan cara kedua tidak ditampilkan. Sebagai langkah awal hasil inversi tomografi 4−D ditampilkan dalam Lampiran B. Hasil tomografi 4-D ini masih terbuka sebagai bahan studi dan diskusi lebih lanjut. Harga Q-factor yang diamati dari beberapa stasiun seperti stasiun CTS dan PTR yang paling dekat dengan Gunung Guntur, stasiun ini merupakan stasiun paling bagus karena jauh dari bising (noise). Stasiun lainnya adalah stasiun LGP dan MIS merupakan stasiun yang letaknya cukup jauh dari Gunung Guntur (Gambar 6.12). Harga Q mengalami peningkatan atau atenuasi menurun setelah krisis kegempaan tahun 1997, 1999, dan tahun 2000. Tahun 1999 yang terjadi dua kali gempa terasa yang berpusat di bawah Kaldera Gandapura (Sadikin, 2008). Setelah tahun 2000 harga Q mulai menurun atau atenuasi meningkat secara bertahap, perubahan ini terlihat baik di stasiun PTR-CTS (Gambar 6.13) maupun di stasiun MIS-LGP (Gambar 6.14). 173 Gambar 6.12. Stasiun pantau Q-factor MIS dan LGP berada sebelah kiri Puncak Guntur, dan stasiun PTR dan CTS berada sebelah kanan Puncak Guntur. Gambar 6.13. Harga Qp (atas) dan Qs (bawah) dihitung dari stasiun PTR dan CTS. 174 Gambar 6.14. Harga Qp (atas) dan Qs (bawah) dihitung dari stasiun MIS dan LGP. Peningkatan kegiatan vulkanik akibat migrasi magma ke permukaan seharusnya menyebabkan penurunan Q-factor karena kandungan fluida di dalam medium meningkat. Oleh karena itu peningkatan Q-factor tahun 1997, 1999, dan tahun 2000 lebih mungkin berkaitan dengan peningkatan medan tekanan di bawah permukaan Kompleks Guntur akibat tekanan tektonik regional atau tekanan kantong magma yang lebih dalam (di bawah kedalaman 12 km dari elevasi referensi atau di bawah 10 km dari puncak) sehingga medium menjadi lebih padat. Yang perlu dicermati dalam pengamatan kegiatan vulkanik Gunung Guntur mengunakan cara pertama ini adalah penurunan harga Q-factor. Setelah tahun 2000 sampai tahun 2007 harga Q-factor cenderung mengalami penurunan tetapi sampai saat ini belum diikuti oleh kegiatan permukaan yang cukup berarti. 175 VI.5 Interpretasi Model Bawah Permukaan Kompleks Gunung Guntur Model bawah permukaan kompleks Gunung Guntur dapat diinterpretasikan berdasarkan anomali tomogram dan distribusi pusat gempa vulkanik. Anomali tomogram yang lebih dalam terletak di bawah Kamojang dan lebih dangkal di bawah Gandapura dan Guntur. Karakter fisis anomali adalah merupakan daerah lemah, heterogen, kurang kompak, panas, mengandung uap air tetapi tidak jenuh, dan kemungkinan di pusat anomali sebagian kecil ada yang bersifat partial melting. Pada kedua daerah ini baik di Kamojang maupun Guntur banyak dijumpai tembusan solfatara dan fumarola dengan temperatur maksimum 92oC. Sumber panas solfatara dan fumarola adalah daerah anomali itu sendiri yang menjalar ke permukaan secara konduksi. Sumber gempa vulkanik di bawah Kamojang cukup dalam sekitar 4−14 km di bawah elevasi referensi, di bawah kedalaman ini merupakan zona aseismik yang diinterpretasikan sebagai dapur magma yang lebih dalam. Dapur magma yang lebih dalam berasal dari partial melting litosfir hasil proses subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia di bawah Pulau Jawa (Gambar 6.15). 176 Gambar 6.15. Interpretasi model bawah permukaan kompleks Gunung Guntur berdasarkan anomali tomografi, sebaran pusat gempa vulkanik dalam di bawah Kamojang dan tektonika lempeng. 177