Chapter II

advertisement
BAB II
KAJIAN KRIMINOLOGI DAN HUKUM PIDANA
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
NARKOBA SUNTIK (IDU’s)
A. Pandangan Kriminologi.
Masalah penyalahgunaan Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA)
atau istilah yang
NARKOBA (Narkoba
populer
dan Bahan/
dikenal
masyarakat
sebagai
Obat berbahanya) merupakan masalah
yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan
secara
komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor,
dan
peran
serta
masyarakat
secara
aktif yang d ilaksanakan
secara
berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Secara kriminologis, penggunaan
Narkoba adalah kejahatan yang pelaku sekaligus menjadi korban. Sehingga
dalam batas-batas tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang tidak
terlalu serius. Berbeda halnya dengan pengguna sekaligus pelaku pengedar yang
tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun masyarakat secara umum. Selain
itu, terkait pula dengan karakteristik dari kejahatan ini yang memiliki dampak
jangka panjang, khususnya ketergantungan dan toksifikatif, diperlukan suatu
model penghukuman yang jauh berbeda dari model yang diterapkan kepada
narapidana umumnya. 26
Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkoba,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat
26
bagi
http://kriminologi1.wordpress.com/page/4/
Universitas Sumatera Utara
pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi
medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal,
akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas
khususnya generasi muda. Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya
dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah
Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah
sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan
NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun. 27 Tampaknya generasi
muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh karena itu
kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman
kelangsungan pembinaan generasi muda. Sektor kesehatan memegang peranan
penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.
1) Faktor-faktor yang mendorong kejahatan.
Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada definisi
baku
yang
di
dalamnya
mencakup
semua
aspek
kejahatan
secara
komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dilihat dari aspek
yuridis, sosiologis maupun kriminologis. Munculnya
mengartikan
kejahatan
perbedaan
dalam
dikarenakan perspektif orang dalam memandang
kejahatan sangat beragam, di samping tentunya
perumusan
kejahatan akan
sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan dirumuskan. Apabila hendak
menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang tepat, maka cara pandang
kita sebaiknya tidak hanya terfokus pada berbagai hal berkaitan
27
dengan
http://makalahpsikologi.blogspot.com/2010/01/penyalahgunaan-Narkoba-psikotropika.html
Universitas Sumatera Utara
penyebab timbulnya kejahatan atau metode apa yang efektif dipergunakan
dalam penanggulangan kejahatan. 28
Secara etimologi
kejahatan
adalah
bentuk
tingkah
laku
yang bertentangan dengan moral kemanusiaan. Kejahatan merupakan suatu
perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat dan paling
tidak disukai oleh rakyat. 29 Kejahatan, dilihat dari sudut pandang pendekatan
legal diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau
Undang-undang yang berlaku di masyarakat. adalah suatu perbuatan yang sangat
merugikan masyarakat yang bersangkutan. Mengapa demikian? Latar belakang
terjadinya penyimpangan sosial :
30
a. Proses sosialisasi yang tidak sempurna atau tidak berhasil karena
seseorang mengalami kesulitan dalam hal komunikasi ketika
bersosialisasi. Artinya individu tersebut tidak mampu mendalami
norma- norma masyarakat yang berlaku.
b. Penyimpangan juga dapat terjadi apabila seseorang sejak masih
kecil mengamati bahkan meniru perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh orang-orang dewasa.
c. Terbentuknya perilaku
menyimpang
juga merupakan
hasil
sosialisasi nilai sub kebudayaan menyimpang yang di pengaruhi
oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi dan faktor agama.
28
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/2%20URGENSI%20PERLINDUNGAN%20KORBAN%20KEJAHATAN.PDF
29
Abdul Wahid, et,al, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM, dan Hukum,
R efika Aditama, 2004, hlm. 52
30
sumber: http://bata-blog.blogspot.com/2009/02/penyimpangan-sosial.html
Universitas Sumatera Utara
Contoh karena kekurangan biaya seorang pelajar mencuri dan
seseorang yang tidak memiliki dasar agama hidupnya tanpa arah
dan tujuan.
d. Pertentangan antar agen sosialisasi.Pesan-pesan yang disampaikan
antara agen sosialisasi yang satu dengan agen sosialisasi yang lain
kadang bertentangan, misalnya : orang tua mengajarkan merokok
itu tidak baik, sementara iklan rokok begitu menarik, dan anak
memiliki kelompok teman sebaya yang pada umumnya merokok,
sehingga jika ia mengikuti pesan orang tuanya ia akan
menyimpang dari norma kelompoknya, lama-lama anak tersebut
akan menjadi perokok
e. Pertentangan antara norma kelompok dengan norma masyarakat
Kelompok masyarakat tertentu memiliki norma yang bertentangan
dengan norma masyarakat pada umumnya.
Kita harus sadari bahwa eksistensi suatu hukum di dalam masyarakat merupakan
pengejawantahan dari tuntutan masyarakat agar jalannya kehidupan bersama
menjadi baik dan tertib. Dengan dilanggarnya fondasi ketertiban masyarakat
tersebut maka tentunya perbuatan tersebut adalah jahat.
Pernyataan bahwa tidak akan ada kejahatan apabila tidak ada hukum
(undang-undang) pidana dan bahwa kita akan dapat menghilangkan seluruh
kejahatan hanya dengan menghapuskan semua hukum (undang-undang) pidana
adalah logomachy. Memang benar bahwa andaikata undang-undang terhadap
pencurian ditarik kembali, maka mencuri itu tidak akan merupakan kejahatan,
Universitas Sumatera Utara
meskipun ia bersifat menyerang atau merugikan dan masyarakat umum akan
memberikan reaksi terhadapnya. Sebutan kepada perilaku itu mungkin akan
berubah tetapi perilaku dan perlawanan masyarakat terhadap perilaku tersebut
hakikatnya akan tetap sama, sebab “kepentingan-kepentingan masyarakat” yang
rusak oleh perilaku itu hakikatnya akan tetap tidak berubah. Dalam konteks ini,
konsep kejahatan lebih menekankan arti segi sosialnya daripada arti yuridis
tentang definisi kejahatan.
Van Bemmelen merumuskan Kejahatan adalah tiap kelakuan yang
tidak bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak
ketidak tenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu
berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu
dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan
karena
kelakuan
tersebut.
Jikalau dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, maka
perumusan kejahatan menurut Kitab
Undang-undag Hukum Pidana adalah semua bentuk-bentuk perbuatan yang
memenuhi
Pidana.
perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
31
Efek negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan
Narkoba secara
berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya, dapat
menimbulkan berbagai dampak negatif pada penggunanya, baik secara fisik
maupun psikis. Bahkan tidak jarang, penggunaan Narkoba dapat memicu
terjadinya berbagai tindak pidana. Karena itu, untuk mencegah semakin
31
http://etd.eprints.ums.ac.id/4173/1/C100040011.pdf
Universitas Sumatera Utara
meluasnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan Narkoba,
maka pengawasan tidak hanya terbatas pada peredaran Narkoba tetapi juga
pada mereka yang menjadi korban, misalnya seseorang yang menderita
ketergantungan Narkoba (pecandu).
2) Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana akibat pengaruh
Narkoba Suntik.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang
dilakukan oleh pengguna Narkoba suntik, diantaranya adalah faktor kebutuhan
akan Narkoba suntik, faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor ekonomi. Dari
ke-empat faktor tersebut, bisa keempatnya sekaligus menjadi faktor penyebab atau
hanya salah satunya saja.
a. Pertama, faktor Kebutuhan akan Narkoba.
Faktor ini merupakan faktor utama para pengguna Narkoba
suntik melakukan kejahatan (tindak pidana). Terutama pada mereka
yang sedang mengalami ketagihan obat (putaw). Berbagai macam cara
akan mereka lakukan untuk memperoleh uang/barang yang dapat
dipergunakan sebagai alat tukar dengan Narkoba (putaw).
b.Kedua, faktor keluarga.
Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti
ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk pengguna
Narkoba suntik kearah yang lebih negatif, karena keluarga memiliki
pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan perilaku, pergaulan
dan kepatuhan norma. Faktor ketidakharmonisan keluarga yang
memicu pengguna Narkoba mudah melanggar norma sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis mungkin hal
yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat.
c. Ketiga, faktor lingkungan.
Setelah keluarga, tempat orang bersosialisasi adalah
lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak
mau, lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah
keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bergaul juga
mempengaruhi kecenderungan kenakalan yang mengarah pada
perbuatan melanggar hukum. Tidak semua orang dengan keluarga
tidak harmonis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran
hukum, karena ada juga kasus dimana pengguna Narkoba suntik
sebagai pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini
dikarenakan begitu kuatnya faktor lingkungan bergaulnya yang
negatif. Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang” sepertinya perlu
mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat,
baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
d.Keempat, faktor ekonomi.
Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang
sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak
perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari
kejahatan). Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan
Universitas Sumatera Utara
ingin menambah uang jajan sering menjadi alasan ketika seseorang
melakukan pelanggaran hukum.
32
Keempat faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu pengguna Narkoba suntik
melakukan pelanggaran hukum. Perlu perhatian yang serius oleh seluruh
perangkat pemerintah,masyarakat dan lingkungan.. Terakhir, sosial kontrol dari
tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta peran pemerintah dan swasta untuk
memberikan perhatian serius pada korban Narkoba,khususnya pengguna Narkoba
suntik.
” James W. Van Der Zanden; Penyimpangan perilaku merupakan perilaku
yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar
batas toleransi.
Robert M. Z. Lawang; Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang
menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan
usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki
perilaku menyimpang.” 33
Lemert (1951); Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk: 34
1). Penyimpangan Primer (Primary Deviation)
Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat
diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau
sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir
oleh masyarakat.
2). Penyimpangan Sekunder (secondary deviation)
32
http://community.gunadarma.ac.id/user/agung_ramadhani/blogs
http://uhangdusun.blogspot.com/2009/06/perilaku-penyimpangan-sosial_22.html
34
http://missevi.wordpress.com/2009/03/19/pengertian-penyimpangan-sosial/
33
Universitas Sumatera Utara
Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang
secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi
oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan
pengulangan dari penyimpangan sebelumnya.
Dampak terhadap individu dapat menimbulkan gangguan terhadap
kesehatan fisik (keracunan, gejala putus obat/sakauw, kerusakan otak, jantung,
paru-paru, hati, ginjal, organ reproduksi sampai kematian yang sia-sia,
menimbulkan gangguan psikis (gelisah, cemas, takut, curiga dan waspada
berlebihan, paranoid, depresi, euphoria, agresif dan gangguan daya ingat,
menimbulkan gangguan bersosialisasi dan tidak punya semangat belajar/bekerja,
menimbulkan gangguan ketenangan dan ketentraman dalam keluarga dan
masyarakat dan penggunaan Narkoba dengan jarum suntik dapat menimbulkan
resiko tertular HIV/AIDS, Hepatitis B, C maupun penyakit infeksi lainnya. 35
Dampak terhadap orang tua dan keluarga dapat menghancurkan ekonomi
orang tua/keluarga dan menimbulkan beban psikologis/sosial yang sangat berat
bagi orang tua dan keluarga. Dampak terhadap masyarakat dan bangsa dapat
menurunkan kualitas SDM, menambah beban biaya negara dalam rangka untuk
membiayai program penanggulangan bahaya Narkoba dan menimbulkan
gangguan terhadap ketertiban maupun keamanan masyarakat dan bangsa. Dalam
kebijakan kriminal (criminal policy), upaya penanggulangan dan pencegahan
kejahatan perlu digunakan pendekatan integral, yaitu perpaduan antara sarana
penal dan non penal. Sarana penal adalah hukum pidana melalui kebijakan hukum
35
http://noesathea.wordpress.com/2009/11/03/perangi-Narkoba-dari-sekarang/
Universitas Sumatera Utara
pidana. Sementara non penal adalah sarana non hukum pidana, yang dapat berupa
kebijakan ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan, teknologi, dan lain-lain.
Upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan Narkoba ini memerlukan
pendekatan integral dikarenakan hukum pidana tidak akan mampu menjadi satusatunya sarana dalam upaya penanggulangan kejahatan Narkoba yang begitu
komplek dan terjadi dimasyarakat. Berbagai upaya preventif dengan pendekatan
agama, pendidikan, sosial budaya dan ekonomi perlu untuk dimaksimalkan
dibandingkan pendekatan hukum, karena lebih bersifat represif
3)
Beberapa tindak pidana akibat pengaruh Narkoba Suntik.
Akibat pengaruh dari penggunaan Narkoba suntik, seringkali pengguna
yang sedang membutuhkan uang untuk membeli Narkoba melakukan tindak
pidana, antara lain:
a). Pencurian (Pasal 362 KUHP)
Pengertian Pencurian menurut hukum beserta unsurunsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KHUP yaitu: "Barang siapa
mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
denda paling banyak sembilan ratus rupiah".
b). Pencurian dengan pemberatan.(Pasal 363 KUHP)
1. Diancam dengan Pidana paling lama tujuh tahun:
a.
Pencurian Ternak;
Universitas Sumatera Utara
b. Pencurian pada waktu terjadi kebakaran, letusan, banjir,
gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal
karam, kapal tedampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,
pemberontakan atau bahay perang;
c. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau di
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan
oleh orang yang ada di situ tanpa diketahui atau tanpa
dikehendaki oleh yang berhak;
d. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
e. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan
kejahatan, atau untuk dapat mengambil barang yang hendak
dicuri itu, dilakukan dengan merusak, memotong atau
memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah
palsu atau pakaian jabatan palsu.
2. Bila pencurian tersebut dalam nomor (c) disertai dengan salah
satu hal dalam nomor (d) dan (e), maka perbuatan itu diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
c). Pencurian dengan Kekerasan (pasal 365)
1. Diancam dengan pidana paling lama sembilan tahun pencurian
yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu, atau bila
Universitas Sumatera Utara
tertangkap tangan, untuk memungkinkan diri sendiri atau peserta
lainnya untuk melarikan diri, atau untuk tetap menguasai barang
yang dicuri.
2. Diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun:
a). Bila perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam
sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau
trem yang sedang berjalan;
b). Bila perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih
dengan bersekutu;
c). Bila yang bersalah masuk ke tempat melakukan
kejahatan dengan merusak atau memanjat, atau
dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu;
d). Bila perbuatan mengakibatkan luka berat.
3. Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun.
4. Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau
pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama duapuluh
tahun, bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat atau kematian
dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1'
dan 3'.
Universitas Sumatera Utara
d). Penggelapan (pasal 372 KUHP)
Pasal 372 KUHP merumuskan sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,
diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
e). Penipuan (pasal 378 KUHP)
Pasal 378 KUHP merumuskan sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama
palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan
rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun."
B. Pengaturan Hukum yang
Pidana Narkoba Suntik.
berkaitan
dengan pelaku Tindak
Sebelum membahas mengenai pengaturan hukum yang berkaitan dengan
pelaku tindak pidana Narkoba suntik, berikut ini akan diberikan penjelasan
singkat mengenai pembedaan hukum pidana. Dalam hukum pidana dikenal
Universitas Sumatera Utara
pembedaan antara hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti
subjektif.
1. Hukum Pidana Dalam Arti Objektif (Ius Ponale).
Yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan atau keharusan
dimana terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana.
a. Hukum Pidana Materiil, mengenai:
• Peraturan yang diancam pidana;
• Siapa yang dapat dipidana;
• Pidana apa yang dijatuhkan.
b. Hukum Pidana Formil, mengenai sejumlah peraturan yang mengandung
cara-cara negara menggunakan haknya untuk melaksanakan pemidanaan.
2. Hukum Pidana Dalam arti Subjektif (Ius Poenendi)
•
Sejumlah peraturan mengenai hak untuk memidana seseorang yang
melakukan yang dilanggar;
•
Hak untuk mengancam (dalam Undang-undang);
•
Hak untuk menjatuhkan pidana;
•
Hak untuk melaksanakan pidana 36.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum pidana dalam
arti objektif berisi tentang perbuatan yang dilarang, yang terhadap perbuatanperbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidananya kepada setiap orang yang
melakukannya. Sedangkan hukum pidana dalam arti subjektif berarti suatu hak
atau kewenangan negara untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada
36
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, hlm.4
Universitas Sumatera Utara
orang yang terbukti telah melanggar hukum pidana. Hak dan kewenangan negara
tersebut merupakan kekuasaan negara
yang besar, sehingga perlu dicari dan
diterangkan dasar-dasarnya.
Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan hukum pidana
dalam arti subjektif. Karena teori-teori ini menerangkan mengenai dasar-dasar
dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana. Kira-kira setelah
abad 19, muncul teori-teori pembaharuan mengenai tujuan pemidanaan. Teoriteori tersebut yakni teori pembalasan, teori tujuan, dan teori gabungan.
Jan
Remmelink mengatakan selain adanya ketiga teori tersebut, ia juga menyebutkan
mengenai teori perjanjian 37. Menurutnya, teori hukum kodrat dan perjanjian
dipandang sebagai satu-satunya yang benar. Secara kodrati adalah wajar
seseorang yang melakukan kejahatan akan menerima kembali balasan yang
setimpal, terhadap ketentuan kodrati demikian individu dianggap menundukkan
diri.
Namun sebelum munculnya teori-teori tersebut, sebelumnya ada dua
aliran utama, yakni aliran retributivisme dan aliran utilitarisme.
38
1. Aliran Retributivisme
Aliran ini membenarkan hukum dengan dasar si terhukum memang
layak dihukum atas kesalahan yang sudah terbukti, yang secara sadar
dilakukan. Aliran ini mempunyai kelemahan, berupa tidak dapat
meyakini secara sosial bahwa setiap hukuman akan membawa
konsekuensi positif pada masyarakat.
37
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan
Padananya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.598
38
http://dadanghatma.blogspot.com/
Universitas Sumatera Utara
2. Aliran Utilitarisme
Aliran ini membenarkan hukuman dengan dasar prinsip kemanfaatan,
yaitu bahwa hukuman akan mempunyai dampak positif pada
masyarakat. Kelemahan teori ini yaitu tidak dapat mengakui bahwa
penjatuhan hukuman semata-mata oleh karena kesalahanya dan bahwa
hukuman itu merupakan kesebandingan retribusi.
Konflik antara kedua teori tersebut tidak teratasi. Para filsuf hukum
percaya harus ada jalan tengah yaitu berupa penggabungan antara keduanya.
H.L.A. Hart berupaya mencari jalan tengah dari kedua kutub tersebut, dengan
mengajukan tiga pertanyaan pokok berupa: 39
1) Apakah
dasar
pembenaran
praktek
hukuman,
dan
bagaimana
distribusinya?
2) Siapa yang harus dihukum?
3) Berapa berat hukuman yang harus dijatuhkan?
Dalam pertanyaan ketiganya, Hart terkesan tidak jelas. Sehingga menimbulkan
berbagai penafsiran tentang apakah jumlah hukuman harus diukur berdasarkan
kerugian yang ditimbulkan, atau berdasarkan efek-efek sosial yang ditimbulkan
menurut
perbandingan antara perlindungan yang harus diberikan kepada
masyarakat dengan kerugian yang ditimbulkan dan besarnya kesalahan. Hingga
kemudian muncul tiga teori pembaharuan mengenai pemidanaan, yakni berupa:
39
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/ags_19/lkOpin001.html
Universitas Sumatera Utara
1. Teori Pembalasan (Absolut)
Teori yang muncul pada akhir abad 18 ini menghendaki agar setiap
perbuatan melawan hukum itu harus dibalas.
Tujuan pidana sebagai
pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang dengan
jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatannya.
Pada masyarakat Jawa ada semboyan “hutang pati nyaur pati”, yang
maksudnya orang yang membunuh harus juga dibunuh. Dalam Kitab Suci AlQur’an Surah An Nisaa ayat 93, menyatakan “Dan barang siapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” 40. Dari kutipan
tersebut menunjukkan bahwa di dalamnya terkandung makna pembalasan
yang setimpal di dalam suatu pidana.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
a). Ditujukan kepada pelakunya (sudut subyektif dari pembalasan);
b). Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di
kalangan
2.
masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).
Teori Tujuan (Relatif)
Berdasarkan pendirian dan azas bahwa tertib hukum perlu diperhatikan,
akibatnya tujuan pidana adalah untuk prevensi terjadinya kejahatan. Pidana
40
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta, Eresco, 1981, hlm.20
Universitas Sumatera Utara
adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat, dan
untuk menegakkan tata tertib diperlukan pidana. 41
Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tersebut, maka pidana itu
mempunyai tiga macam sifat, yaitu:
a. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);
b. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);
c. Bersifat membinasakan (onechadelijk maken).
Teori ini dibedakan dua, yaitu
1). Pencegahan umum (Preventie General)
Bersifat murni, semua teori pemidanaan harus ditujukan untuk
menakut- nakuti semua orang supaya tidak melakukan kejahatan, dengan
jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. Teori ini banyak dianut
oleh negara-negara di Eropa Barat sebelum Revolusi Perancis (17891794). Namun kemudian teori ini banyak ditentang , diantaranya oleh
Beccaria (1738-1794) dan Von Feuerbach (1775-1833).
Beccaria menginginkan agar pidana mati dan pidana penyiksaan
yang dilakukan secara kejam, dihapuskan dan diganti dengan pidana
yang memperhatikan perikemanusiaan. Penjatuhan pidana yang berupa
penderitaan itu jangan sampai melebihi penderitaan yang diakibatkan
oleh perbuatan pelaku yang dipidana tersebut.
Sedangkan Von Feuerbach dengan teorinya “psychologische
zwang”, menyatakan sifat menakut-nakuti dari pidana itu, bukan pada
41
http://eprints.undip.ac.id/15905/1/Sugeng_Tiyarto.pdf
Universitas Sumatera Utara
penjatuhan pidananya tetapi pada aturan ancaman pidananya yag
diketahui oleh khalayak umum. Ancaman pidana dapat menimbulkan
tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap orang untuk menjadi takut
melakukan kejahatan. Teori ini muncul kembali pada azas legalitas,
karena Von yang mengeluarkan ungkapan “nullum delictum, nulla
poena sine praevia lege poenali”. Namun teori ini mempunyai beberapa
kelemahan, yaitu:42
•
Terhadap pelaku yang pernah atau beberapa kali melakukan
kejahatan dan dipidana serta menjalaninya, maka perasaan takut
terhadap ancaman pidana tersebut menjadi sedikit atau bahkan
hilang;
•
Ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu bisa saja tidak
sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Karena begitu sulit untuk
terlebih dahulu menentukan batas-batas beratnya pidana yang
diancamkan, agar sesuai dengan perbuatan yang diancam pidana
tersebut;
•
Terhadap orang-orang atau penjahat yang picik (bodoh) atau yang
tidak mengetahiu perihal ancaman pidana itu, maka sifat menakutnakutinya menjadi lemah atau tidak ada sama sekali.
2. Pencegahan khusus (Preventie Special)
Bertujuan mencegah niat buruk pelaku (dader) melakukan
pengulangan perbuatannya atau mencegah pelanggar melaksanakan
42
http://budi399.wordpress.com/2010/06/12/pidana-dan-pemidanaan/
Universitas Sumatera Utara
perbuatan jahat yang direncanakannya. Tujuan ini dapat dicapai dengan
jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu:
•
Menakut-nakutinya;
•
Memperbaikinya, dan
•
Membuatnya menjadi tidak berdaya.
Pendukung
teori
ini
adalah
Van
Hamel
(1842-1917),
yang
berpandangan bahwa pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh
dijadikan tujuan dan alasan dari penjatuhan pidana, tetapi pembalasan itu
akan timbul dengan sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan
sebab dari adanya pidana. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang
pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus, yaitu:
•
Pidana adalah melulu untuk pencegahan khusus, yakni untuk
menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan
cara menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia
tidak melakukan niat jahatnya;
•
Apabila tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan penjatuhan
pidana, maka penjatuhan pidana harus dapat memperbaiki
dirinya (reclasering);
•
Apabila tidak dapat lagi diperbaiki, maka penjatuhan pidana
harus bersifat membinasakan atau membuatnya tidak berdaya;
•
Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata
tertib hukum di dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
3. Teori Gabungan
Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan,
melahirkan teori ketiga yang mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana
hendaknya
didasarkan
atas
tujuan
unsure-unsur
pembalasan
dan
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat, yang diterapkan secara
kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa
menghilangkan unsur lainnya, maupun pada semua unsur yang ada 43.
Vos menerangkan bahwa di dalam teori gabungan terdapat tiga aliran,
yaitu,
teori
yang
menitikberatkan
pada
pembalasan,
teori
yang
menitikberatkan pada tata tertib hukum, dan teori yang menganggap sama
antara keduanya.
1). Teori yang menitikberatkan pada pembalasan
Pendukung teori ini adalah Pompe, yang berpandangan bahwa
pidana adalah pembalasan pada pelaku, juga untuk mempertahankan
tata tertib hukum, supaya kepentingan umum dapat diselamatkan
dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu
dapat dibenarkan apabila bermanfaat
bagi pertahanan tata tertib
(hukum) dalam masyarakat.
2). Teori yang menitikberatkan pada tata tertib hukum
Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar
pidana itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka
harus ada kesalahan pada pelaku, dan kesalahan (schuld) itu hanya
43
Bambang Waluyo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, hlm.30
Universitas Sumatera Utara
terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela.
Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi
bukan tujuan pidana, sebab tujuan pidana adalah pertahanan dan
perlindungan tata tertib masyarakat.
3). Teori gabungan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dan
perlindungan kepentingan masyarakat
Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan,
karena pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat
maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu
hukum pidana yang adil, dengan ide pembalasannya yang tidak
mungkin diabaikan baik secara negatif maupun secara positif.
Sedangkan Simons, mempergunakan jalan pikiran bahwa secara
prevensi umum terletak pada ancaman pidananya, dan secara
prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki
dan membinasakan serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus
disesuaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat. 44
Di Indonesia, tujuan pemidanaan tidak pernah diatur secara eksplisit
dalam Undang-undang hukum pidana, namun dalam Rancangan
KUHP dapat dijumpai, yaitu:
•
Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
44
http://avivdkuntoro.blogspot.com/2010/02/orientasi.html
Universitas Sumatera Utara
•
Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu
untuk hidup bermasyarakat;
•
Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat;
•
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Selain adanya teori-teori mengenai pembenaran hukum pidana tersebut,
terdapat juga pandanga-pandangan negatif yang menganggap hukum pidana
itu sebagai ketidak adilan. Yakni keberatan dari sisi religius, keberatan
biologis, dan keberatan sosial.
1). Keberatan Religius
Beranggapan bahwa pengenaan pidana (pengenaan derita dengan
sengaja oleh pihak penguasa) tidak dapat dibenarkan. Leo Tolsoi,
berpendapat bahwa kita tidak mungkin menghukum dengan nurani yang
bersih. Mereka yakin bahwa orang-orang jahat janga dilawan atau
ditolak, orang seperti itu harus dikasihi.
2). Keberatan Biologis
Pandangan yang dikemukakan oleh Max Schlapp dalam bukunya
The New Criminology, bahwa gagasan pertanggungjawaban harus
ditolak dan pidana dianggap sebagai suatu campur tangan yang buruk.
Menurutnya, semua perbuatan asosial bersumberkan dari kerja tidak
Universitas Sumatera Utara
sempurna kelenjar-kelenjar endokrin, dan sebab itu memandang hukum
pidana sebagai a system on ignorance.
3). Keberatan Sosial
Keberatan
ini
mempertanyakan
kewenangan
negara
untuk
menghukum, karena negara sendiri yang secara langsung maupun tidak
menetapkan syarat-syarat atau batasan kriminalitas. Lacassagne, salah
satu pendukung aliran sosiologis Perancis menyatakan: tout le monde est
coupable du crime, excepte le criminel (tiap orang sanggup melakukan
delik atau dinyatakan bersalah, terkecuali si penjahat).
1). Sebelum berlakunya UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkoba.
Pada
awalnya, Narkoba
digunakan
untuk
kepentingan
umat
manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun,
dengan semakin
berkembangnya
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
peruntukan Narkoba mengalami perluasan hingga kepada hal-hal yang negatif.
Didunia kedokteran, Narkoba banyak digunakan khususnya dalam proses
pembiusan sebelum pasien dioperasi, mengingat di dalam Narkoba terkandung
zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran serta kesadaran pasien. Oleh
karena
itu,
agar
penggunaan
Narkoba dapat
memberikan manfaat bagi
kehidupan umat manusia, maka peredarannya harus diawasi secara ketat,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang No.22 Tahun 1997
tentang Narkoba, yang menyebutkan: Pengaturan Narkoba bertujuan untuk: 45
1). Menjamin
45
ketersediaan
Narkoba
untuk
kepentingan
http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/1997/22-97.pdf
Universitas Sumatera Utara
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu penegtahuan;
2). Mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkoba;
3). Memberantas peredaran gelap Narkoba.
Pentingnya peredaran Narkoba diawasi secara ketat dikarenakan saat
ni pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu, melalui
p erkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran Narkoba
sudah menjangkau hampir ke semua wilayah di Indonesia hingga ke pelosokpelosok. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran
Narkoba lambat laun berubah menjadi sentra peredaran Narkoba. Begitu
pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah
berubah
menjadi
sosok
pecandu
yang
sukar
untuk
dilepaskan
penyalahgunaan
Narkoba
mudah untuk
ditemukan
ketergantungannya.
Harus diakui bersama,
merupakan salah satu persoalan
masalah
yang tidak
solusinya. Kondisi ini tidak hanya ditemukan dinegara berkembang seperti
Indonesia. tetapi juga di negara-negara maju seperti, Amerika Serikat,
Australia dan negara-negara di benua Eropa. Peredaran Narkoba secara illegal
harus
segera
ditanggulangi mengingat efek negatif yang akan ditimbulkan
tidak saja pada penggunanya tetapi juga bagi keluarga, komunitas hingga bangsa
dan negara.
Sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkoba, ,
Narkoba diatur
dalam
Narkoba (Lembaran
Undang-undang
No. 9 Tahun
1966
tentang
Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36,
Universitas Sumatera Utara
Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3086), namun undang undang ini tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya
karena
adanya
perkembangan kualitas kejahatan Narkoba yang sudah menjadi ancaman serius
bagi kehidupan umat manusia. Pengguna Narkoba sangat beragam dan
menjangkau semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang
dewasa, orang awam hingga artis bahkan hingga pejabat publik.
Penanganan penyalahgunaan Narkoba dan obat-obatan terlarang bagi
daerah sekitarnya maupun nasional. Pemberian perlindungan kepada korban
Narkoba, tentu tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah, peran
serta masyarakat pun diharapkan ada salah satunya diterimanya kembali
mantan para pengguna dalam
lingkungannya
tanpa
melakukan
tindakan-
tindakan yang sifatnya diskriminatif bahkan dengan memposisikan mereka
sebagai warga kelas dua yang harus dijauhi.
2). Setelah berlakunya UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkoba.
UU Narkoba yang disahkan pada 14 September 2009 (Undang-undang
No. 35 tahun 2009) merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang Narkoba.
Pemerintah menilai UU No. 22/1997 tidak dapat mencegah tindak pidana Narkoba
yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk
kejahatannya yang terorganisir. Adapun strategi implementasi UU No.35 tahun
2009 tentang Narkoba antara lain: 46
46
http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=PressRelease&op=detail_press_release
&id=68&mn=2&smn=e
Universitas Sumatera Utara
1. Bersama instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat, bangsa
,dan
Negara
melaksanakan
pencegahan,
pemberdayaan
masyarakat,pemberantasan,rehabilitasi,hukum dan kerjasama dibidang
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkoba,psikotropika,precursor dan bahan asiktif lainnya.
2. Peningkatan daya tangkal (Imunitas) masyarakat terhadap bahaya
penyalahgunaan Narkoba.
3. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba.
4. Peningkatan angka pemulihan penyalahguna dan/atau pecandu Narkoba
dan pengurangan angka relapse.
5. Peningkatan pemberantasan sindikat
jaringan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkoba.
6. Peningkatan Kualitas produk hukum dan kerjasama dibidang pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba.
7. Peningkatan akuntabilitas kinerja dan keuangan Badan Narkoba Nasional
(BNN).
Namun secara substansial, UU Narkoba yang baru tidak mengalami perubahan
yang signifikan dibandingkan dengan UU terdahulu, kecuali penekanan pada
ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan
kewenangan BNN yang sangat besar.
47
a. Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkoba.
47
http://bareskrim29.blogspot.com/2010/04/undang-undang-Narkoba-terbaru-no-35.html
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan Narkoba untuk jenis
dan
golongan
apapun.
Pihak
yang
diperbolehkan
melakukan
penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar
farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan. Hal ini sangat
menyulitkan pengguna Narkoba yang sedang melakukan pemulihan,
dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu.
Pembatasan
ini
memungkinkan para pengguna Narkoba untuk
mendapatkan narktotika secara ilegal.
b. Pengobatan dan Rehabiltasi.
Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkoba
yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan
dilengkapi dengan bukti yang sah . Melalui UU No. 35/2009, para
pecandu dan korban penyalahgunaan Narkoba tidak lagi diberikan
kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis
dan rehabilitasi social menjadi kewajiban bagi para pecandu. 48
UU No. 35/2009 juga mewajibkan pecandu Narkoba untuk
melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah
sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan
keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh
48
http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177
Universitas Sumatera Utara
instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam
peraturan menteri. Pertanyaannya, apakah lembaga-lembaga yang
memberikan pendampingan terhadap pecandu dapat dikategorikan
sebagai tempat pihak yang melakukan rehabiltasi medis dan sosial?
c. Kewenangan BNN dan Penyelidikan.
UU No. 35/2009 memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu
kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan
dan peredaran nakotika dan prusukor Narkoba. Selain itu BNN dapat
mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan
meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap
penyalahgunaan Narkoba
dengan
cara
memberdayakan
anggota
masyarakat. Dalam hal melakukan pemberantasan Narkoba, BNN diberi
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
penyalahgunaan, peredaran Narkoba, dan prekusor Narkoba beserta
dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti
penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam
ditambah penyadapan.
Pemberiaan kewenagan yang besar terhadap BNN, khususnya
menjadikan BNN sebagai penyidik menimbulkan pertanyaan, apakah
karena pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa melakukan pengusutan
terhadap tindak pidana Narkoba dengan baik, kemudian kewenangan
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada BNN?
Universitas Sumatera Utara
Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan
penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan
menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan
hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian. 49
d. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkoba.
Walaupun prinsip dalam UU No. 35/2009 adalah melakukan
rehabilitasi bagi para pecandu Narkoba, tetapi dalam UU ini masih
menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna Narkoba
baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga
diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan
tidak pidana Narkoba untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan
rehabiltasi. Ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan:

Apakah penggunaan kata “dapat” menjadi suatu acuan mutlak
agar hakim untuk memutus atau menetapkan pecandu Narkoba
menjalani proses rehabilitasi?

Apakah penerapan penjalanan pengobatan dan rehabiltasi juga
diterapkan di tingkatan penyidikan dan penuntutan?
e. Peran Serta Masyarakat.
49
http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177
Universitas Sumatera Utara
Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak
hukum, khususnya BNN, UU No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat
untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
Narkoba. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan
dalam hal-hal tersebut. Dalam UU ini masyarakat tidak diberikan hak
untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap
pecandu Narkoba.
Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah
oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena masyarakat
mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan
Narkoba tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang.
f. Ketentuan Pidana
UU No. 35/2009 memiliki kencederuangan mengkriminalisasi
orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan
mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang
diatur dalam UU tersebut. UU No. 35/2009 menggunakan pendekatan
pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap
penyalahgunaan Narkoba. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai
suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan
Narkoba. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan
yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang
Universitas Sumatera Utara
berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan
penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana
Narkoba.
Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam UU
No. 35/2009 sebagai berikut:
1). Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana
Narkoba .
Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan
hukum” dalam beberapa pasal UU No. 35/2009 dengan tidak
memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang
memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak
pidana Narkoba, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun
ketidaktahuaan.
2). Penggunaan sistem pidana minimal.
Penggunaan sistem pidana minimal dalam UU No. 35/2009
memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk
memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan Narkoba.
Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam
menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat
menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut
diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Universitas Sumatera Utara
3). Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat
UU No. 35/2009 memberikan ancaman hukuman pidana (6
bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan
anaknya
yang
menggunakan
Narkoba
untuk
mendapatkan
rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut
harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan
orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi
anaknya adalah Narkoba.
UU No. 35/2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan
tindak pidana Narkoba. UU ini memberikan ancaman pidana
maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak
pidana Narkoba. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan
karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap
ketika berkumpul dengan para pengguna Narkoba. Orang tersebut
juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan
suatu tindak pidana Narkoba. Pasal ini juga mengancam para pihak
yang mendampingi komunitas pecandu Narkoba. Pada ketentuaan
peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak
diwajibkan
untuk
melaporkan
jika
mengetahui
adanya
penyalahgunaan Narkoba atau peredaran gelap Narkoba. Ketentuan
ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik
materiil.
Universitas Sumatera Utara
4). Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana.
UU No. 35/2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku
tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak
Pidana Narkoba adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut
memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu
tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut
tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak
pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.
Dasar hukum dan penempatan bagi pengguna Narkoba:
A. Tanpa putusan pidana penjara.
Pusat rehabilitasi medis / sosial , dasar hukum : PASAL 54, 55,
56, 57, 58, 103, UU No. 35 Tahun 2009,yaitu :
1). Terhadap pecandu yang tidak terbukti bersalah, Hakim
dapat menetapkan pecando untuk menjalani proses
pengobatan
dan
perawatan
dipanti
rehabilitasi
medis/sosial.
2). Terhadap pecandu yang terbukrti bersalah, Hakim dapat
memutuskan
pengobatan
pecandu
dan
untuk
perawatan
menjalani
dipanti
proses
rehabilitasi
medis/sosial.
Universitas Sumatera Utara
Penempatan pecandu sebagai korban penyalahgunaan
Narkoba pada pusat rehabilitasi medis/sosial baik melalui
penetapan
hakim
maupun
keputusan
hakim
akan
menjauhkan yang bersangkutan dari kriminalisasi dan lebih
mengedepankan upaya penyembuhan. Sedangkan tanggung
jawab
pelaksanaan
rehabilitasi
berada
pada
pusat
rehabilitasi yang ditunjuk pada putusan Hakim. Dan selama
proses rehabilitasi berlangsung, jika terjadi kegagalan tidak
berimplikasi pada masalah hukum (misalnya terjadi
pelarian selama proses rehab).
B. Dengan putusan pidana penjara.
Bagi penyalahguna seperti pada pasal 127 ayat (1) UU Nomor
35 tahun 2009 selain dijatuhi pidana penjara, juga wajib untuk
menjalankan proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Untuk menentukan lamanya proses rehabilitasi, hakim juga
harus berpedoman pada SEMA nomor 4 tahun 2010 yang
menetapkan lamanya proses rehabilitasi sebagai berikut :
1). Program detoksifikasi dan stabilisasi selama 1 (satu) bulan.
2). Program primer selama 6 (enam) bulan.
3). Program re-entry selama 6 (enam) bulan.
Meskipun menjalani pidana penjara, dalam pelaksanaan
penanganan korban napza tetap mengedepankan prinsip yang
Universitas Sumatera Utara
humanis. Dengan alasan bahwa (1) Korban Napza yang
notabene
mereka
adalah
anak
bangsa
dengan
usia
produktif,sudah menjadi kewajiban negara untuk melakukan
upaya pemulihan kecanduannya. (2) Korban Napza yang
tertangkap karena masalah penyalahgunaan Napza,apabila
memang terbukti bahwa individu tersebut adalah murni
pemakai
sebaiknya
untuk
segera
dikirim
ke
fasilitas
rehabilitasi.
3). Dalam SEMA No.4 Tahun 2010
Kewajiban rehabilitasi bagi para pecandu Narkoba dipertegas kembali
oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 4 Tahun 2010. Dalam SEMA tersebut dijelaskan bahwa seorang pecandu
Narkoba yang tertangkap tangan oleh penyidik Polri atau penyidik BNN dan tidak
terbukti terlibat dalam peredaran gelap Narkoba, maka hakim dapat menjatuhkan
hukuman pidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial pada tempat
rehabilitasi yang telah ditentukan.
Kewajiban
menjalani rehabilitasi
bagi
penyalahguna
Narkoba
dimaksudkan untuk mengurangi jumlah konsumen atau pangsa pasar Narkoba di
Indonesia, sehingga nantinya diharapkan terjadi keseimbangan antara faktor
supply dan demand. Kebijakan dan strategi yang dilakukan BNN untuk
mengurangi permintaan Narkoba adalah dengan melakukan rehabilitasi kepada
seluruh pecandu, meningkatkan imunitas masyarakat, serta meningkatkan upaya
pemberdayaan terhadap masyarakat. Adapun strategi untuk mengurangi jumlah
Universitas Sumatera Utara
ketersediaan Narkoba dilakukan melalui upaya pemberantasan atau penegakan
hukum terhadap jaringan sindikat Narkoba.
Selain itu ketentuan ini dikeluarkan karena umumnya pengambilan
kebijakan di Indonesia saat ini masih menganut sistem public security dan belum
pada tahap public health. Artinya, upaya yang dilakukan di Indonesia saat ini
masih dominan terhadap bidang pemberantasan penyalahgunaan Narkoba, atau
belum memfokuskan pada upaya merehabilitasi pecandu dari aspek medis dan
sosialSEMA no 4/2010 adalah rujukan untuk membedakan terdakwa sebagai
penyalahguna/pecandu atau sebagai pengedar/bandar dengan standar minimal
barang bukti yang didapatkan. BB hanyalah salah satu alat bukti, sedangkan
pembuktian minimal ada 2 alat bukti, bila di dalam proses peradilan terbukti
adanya tindak peredaran yang dilakukan terdakwa meski BB Narkobanya di
bawah minimal tentu saja sah bila Hakim menjatuhkan vonis sebagai
pengedar/bandar. Peluang banding adalah hak setiap terdakwa untuk memperoleh
rasa keadilan (relatif).
Dalam kasus Narkoba semua hakim sudah pasti memperhatikan SE
tersebut karena bagian dari dasar menjatuhkan vonis, permasalahannya adalah
pada proses peradilan tidak semata hanya melihat dari sisi barang bukti
Narkobanya, melainkan hal-hal lain yang terkait. Advokasi juga bukan hanya
sekedar copy paste UU atau SE melainkan kemampuan advokatnya untuk retorika
meyakinkan pihak hakim bahwa si terdakwa adalah pecandu, disertai bukti-bukti
yang menguatkan, misal keterangan/rekomendasi dan jaminan dari pihak resmi
yang menyatakan bahwa terdakwa adalah benar pecandu bukan pengedar.
Universitas Sumatera Utara
Download