I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dari kesehatan tubuh secara menyeluruh dan tidak dapat dipisahkan dari kesehatan tubuh secara umum. Hal ini dikarenakan kesehatan gigi dan mulut dapat mempengaruhi kesehatan tubuh secara menyeluruh (Malik, 2008). Di Indonesia, tingkat kesehatan gigi dan mulut masih terbilang rendah. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 yang dilakukan Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit gigi dan mulut menjadi masalah yang paling dikeluhkan oleh masyarakat sebesar 60% (Kementerian Kesehatan RI, 2002). Karies merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut dengan prevalensi dan angka kesakitan tinggi di masyarakat (Agtini dkk., 2005). Prevalensi penyakit gigi dan mulut menurut SKRT 2001, pada golongan umur 5-14 tahun adalah 33% (33 per 100 penduduk), dan meningkat dengan bertambahnya umur, pada golongan umur 55 tahun ke atas prevalensi penyakit gigi dan mulut adalah 91% (Kementerian Kesehatan RI, 2002). Prevalensi karies gigi meningkat, berdasarkan SKRT tahun 2004 menyebutkan bahwa prevalensi karies gigi di Indonesia berkisar antara 85-99% (Sintawati, 2009 sit. Nurhidayat dkk., 2012). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi karies aktif di Indonesia mencapai 43,4%. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu dari 14 provinsi yang mempunyai prevalensi karies aktif diatas prevalensi 1 2 nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2007). Prevalensi indeks DMF-T di berdasarkan Riskesdas (2013) adalah 4,6 (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Karies merupakan penyakit infeksi bakteri pada rongga mulut yang ditandai hilangnya mineral dari permukaan gigi (Nishimura dkk., 2012). Ketika lapisan permukaan email gigi telah hilang, infeksi dapat berkembang ke dentin dan pulpa. Pulpa akan mengalami inflamasi, kemudian nekrosis (Samaranayake, 2002). Streptococcus mutans (S. mutans) merupakan koloni bakteri utama pada rongga mulut (Shemesh dkk., 2010). S. mutans memperlihatkan faktor virulensi yang tinggi sebagai etiologi primer karies gigi (Mai dkk., 2011). Faktor virulensi S. mutans antara lain mempunyai kemampuan melekat pada permukaan gigi dan membentuk biofilm (Zhu dkk., 2006). S. mutans memproduksi extracellular polymeric substance (EPS) yang disebut glukan. Glukan berfungsi untuk melekatkan bakteri ke acquired pellicle dan antar bakteri, sehingga terbentuk biofilm (Nishimura dkk., 2012; Krzysciak dkk., 2014). Biofilm memberikan tempat perlekatan yang baik untuk kolonisasi dan pertumbuhan berbagai macam spesies bakteri (Forssten dkk., 2010). Kolonisasi ini memberikan perlindungan pada bakteri dari faktor lingkungan seperti pertahanan host dan antimikroba (Chandki dkk, 2011). Kontrol biofilm pada rongga mulut dapat dilakukan dengan prosedur mekanik oral hygiene, namun prosedur tersebut tidak cukup. Biofilm subgingiva tidak dapat dijangkau hanya dengan sikat gigi dan dental floss, sehingga perlu penambahan agen antimikroba (Nield-Gehrig dan Willmann, 2008; Forssten dkk., 2010). Klorheksidin merupakan salah satu antimikroba yang efektif mengontrol 3 biofilm, namun menimbulkan diskolorisasi pada gigi, mukosa bibir, pipi, gingiva dan lidah (Gurgan dkk., 2006). Larutan garam (NaCl) telah digunakan sebagai antimikroba alami selama beberapa tahun. NaCl menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri (Moon dkk., 2009). Berdasarkan penelitian dari Salam (2012), konsentrasi hambat minimal larutan garam untuk menghambat pertumbuhan S. mutans adalah 10%. Penelitian dari Yarboa (2013) menunjukkan S. mutans sangat sensitif terhadap NaCl dengan konsentrasi lebih dari 4%. NaCl 5% dapat menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat (Chikthimmah dkk., 2001). Streptococcus merupakan salah satu bakteri asam laktat (Wood dan Holzapfel, 1995). Larutan garam (NaCl) yang memiliki tekanan osmotik yang lebih besar dari cairan yang ada dalam sel bakteri akan memecahkan membran sel bakteri. Perbedaan tekanan akan menyebabkan cairan dari sel bakteri tertarik ke luar sel sehingga sitoplasma bakteri menyusut dan mati (Pramono dkk., 2007; Salam, 2012). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu: Apakah konsentrasi larutan garam NaCl berpengaruh terhadap pembentukan biofilm S. mutans? C. Keaslian Penelitian Efektifitas larutan air garam terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans pernah diteliti oleh Salam (2012). Larutan garam (NaCl) 10% terbukti efektif sebagai antibakteri pada S. mutans. Damayanti (2014) pernah meneliti tentang pengaruh 4 rebusan daun sirih merah (Piper crocatum) dengan garam (NaCl) 10% terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans. Dari penelitian tersebut, diperoleh hasil jumlah koloni yang lebih rendah pada kelompok perlakuan NaCl 10% dibandingkan dengan kelompok perlakuan rebusan daun sirih merah (Piper crocatum) dan campuran rebusan daun sirih merah (Piper crocatum) dengan garam (NaCl) 10%. Pengaruh konsentrasi larutan garam (NaCl) terhadap pembentukan biofilm S. mutans belum diteliti. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan garam (NaCl) terhadap pembentukan biofilm S. mutans. E. Manfaat Penelitian a. Menambah ilmu pengetahuan mengenai pengaruh konsentrasi larutan garam (NaCl) terhadap pembentukan S. mutans. b. Sebagai pertimbangan masyarakat dalam menggunakan larutan garam (NaCl) sebagai antimikroba yang dapat mencegah terjadinya karies.