BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Merek Menurut UU Merek No. 15 Tahun 2001 pasal 1 ayat 1, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Defenisi ini memiliki kesamaan dengan defenisi versi American Marketing Association yang menekankan peranan merek sebagai identifier dan differentiator. Kedua defenisi ini menjelaskan secara teknis apabila seorang pemasar membuat nama, logo atau symbol baru untuk sebuah produk baru, maka ia telah menciptakan sebuah merek. (Tjiptono, 2005:2). A. Tujuan Merek Tjiptono dan Diana (2000:39) menyatakan bahwa penggunaan merek memiliki berbagai macam tujuan, yaitu: 1. Sebagai identitas perusahaan yang membedakannya dengan produk pesaing, sehingga pelanggan mudah mengenali dan melakukan pembelian ulang. 2. Sebagai alat promosi yang menonjolkan daya tarik produk (misalnya dengan bentuk desain dan warna-warni yang menarik). 3. Untuk membina citra, yaitu dengan memberikan keyakinan, jaminan kualitas, serta citra prestise tertentu kepada konsumen. 4. Untuk mengendalikan dan mendominasi pasar. Artinya, dengan membangun merek yang terkenal, bercitra baik, dan dilindungi hak eksklusif berdasarkan hak cipta / paten, maka perusahaan dapat meraih dan mempertahankan loyalitas konsumen. B. Makna Merek Tjiptono dan Diana (2000:40) menjelaskan dalam suatu merek terkandung 6 (enam) macam makna, yaitu: 1. Atribut Merek menyampaikan atribut-atribut tertentu, misalnya Mercedes mengisyaratkan tahan lama (awet), mahal, desain berkualitas, nilai jual kembali yang tinggi, cepat dan sebagainya. 2. Manfaat Merek bukanlah sekedar sekumpulan atribut, sebab yang dibeli oleh konsumen adalah manfaat, bukannya atribut. 3. Nilai – nilai Merek juga menyatakan nilai – nilai yang dianut produsennya. Contohnya Mercedes mencerminkan kinerja tinggi, keamanan dan prestise. 4. Budaya Dalam merek juga terkandung pula budaya tertentu. 5. Kepribadian Merek bisa juga memproyeksikan kepribadian tertentu. Apabila suatu merek divisualisasikan dengan orang, binatang, atau suatu proyek, yang akan terbayangkan. 6. Pemakai Merek juga mengisyaratkan tipe konsumen yang membeli atau menggunakan produknya. C Tipe Merek Whitwell, dalam Tjiptono (2005:22) menerangkan bahwa pemahaman mengenai peran merek tidak bisa dipisahkan dari tipe-tipe utama merek, karena masing – masing tipe memiliki citra merek yang berbeda. Ketiga tipe tersebut meliputi: 1. Attribute Brands Yakni merek-merek yang memiliki citra yang mampu mengkomunikasikan keyakinan / kepercayaan terhadap atribut fungsional produk. Kerap kali sangat sukar bagi konsumen untuk menilai kualitas dan fitur secara objektif atas begitu banyak tipe produk, sehingga mereka cenderung memiliki merek – merek yang dipersepsikan sesuai dengan kualitasnya. 2. Aspirational Brands Yaitu merek – merek yang menyampaikan citra tentang tipe orang yang membeli merek yang bersangkutan. Citra tersebut tidak banyak mengandung produknya, tetapi justru lebih banyak berkaitan dengan gaya hidup yang didambakan. Keyakian yang dipegang konsumen adalah bahwa dengan memiliki merek semacam ini, akan tercipta asosiasi yang kuat antara dirinya dengan kelompok aspirasi tertentu. Dalam hal ini, status, pengakuan sosial, dan identitas jauh lebih penting daripada sekedar nilai fungsional produk. 3. Experience Brands Mencerminkan merek – merek yang menyampaikan citra asosiasi dan emosi bersama (shared associations and emotionals). Tipe ini memiliki citra melebihi sekedar aspirasi dan lebih berkenaan dengan kesamaan filosofi antara merek dan konsumen individual. Kesuksesan sebuah experience brands ditentukan oleh kemampuan merek bersangkutan dalam mengekspresikan individualitas dan pertumbuhan personal. 2.1.2. Brand Characteristic Lau dan Lee (1999) menyatakan bahwa karakteristik merek terdiri atas tiga elemen yaitu: reputasi merek (brand reputation), kecakapan memprediksi merek (brand predictability), dan kompetensi merek (brand competence). 1. Reputasi Merek (Brand Reputation) Reputasi merek merupakan persepsi konsumen tentang pengetahuan mereka tentang merek dan tanggapan atau pendapat individu lain terhadap merek. Reputasi suatu merek dapat dikembangkan melalui periklanan dan pulic relation tapi juga kemungkinan dipengaruhi oleh kualitas produk atau kinerja merek. Pada konsumen yang low involvement, pengaruh iklan, pendapat orang lain tentang suatu merek cepat diterima oleh seseorang. Konsep tersebut sesuai dengan teori passive learning yang dikemukakan oleh Krugman’s dikutip oleh Assael (1998) menyatakan bahwa pada kondisi low involvement pengaruh iklan dan pendapat orang lain sangat kuat mempengaruhi diri seseorang karena adanya proses pembelajaran yang pasif. Pada kondisi high involvement, kecenderungan seseorang untuk menerima pendapat orang lain, dan pengaruh iklan tidak berdampak pada seseorang. Konsep ini sesuai dengan teori social judment yang dikemukakan oleh Sherif’s dalam Assael (1998) yang menyatakan bahwa semakin high involvement seseorang maka rentang penerimaan akan semakin rendah terhadap opini atau pendapat orang lain. Hal ini disebabkan karena konsumen tersebut sudah mempunyai kepercayaan yang diperoleh melalui pencarian informasi dalam proses active learning. 2. Kecakapan Memprediksi Merek (Brand Predictability) Kecakapan memprediksi merek (Brand Predictability) merupakan peresepsi konsumen terhadap konsistensi merek dengan mengamati dan mengantisipasi dengan kuat kinerja suatu merek setiap kali menggunakan merek dan hubungannya dengan harapan konsumen pada merek tersebut (Lau dan Lee,1999). Memprediksi suatu merek mengacu pada level konsistensi dari kualitas produk. Kecakapan memprediksi merek dihasilkan dari interaksi pembelian ulang yang dilakukan oleh konsumen, dimana suatu kelompok memberikan janji dan mengantarkannya kepada yang lain dan adanya prilaku saling mengenal antara kelompok yang berinteraksi (Doney dan Cannon, 1997). Kelly dan Stahelski (1970) menyatakan bahwa kecakapan memprediksi meningkatkan kepercayaan bahkan ketika kelompok lain melakukan pelanggaran juga bisa diprediksi. Kecakapan memprediksi merek akan meningkatkan kepercayan diri konsumen karena konsumen mengetahui bahwa tidak ada yang tidak diharapkan akan terjadi pada merek yang digunakan karena kecakapan memprediksi akan membangun harapan positif konsumen (Kasperson dalam Lau dan Lee, 1999). Pada produk yang bersifat high involvement seperti produk elektronik dan otomotif, proses pencarian informasi dan pemilihan merek memerlukan keterlibatan yang tinggi dari konsumen. Proses tersebut dilakukan karena besarnya resiko kegagalan produk dimasa yang akan datang (Sambandan dan Lord, 1995). Argumentasi ini sejalan dengan Assael (1998) yang menyatakan bahwa untuk produk high involvement konsumen lebih detail dalam proses evaluasi suatu merek. Sedangkan untuk produk yang low involvement, keterlibatan konsumen terbatas hanya pada beberapa atribut kunci suatu produk yang dijadikan referensi pembelian. Berdasarkan hal itu menunjukkan bahwa involvement memegang peran penting bagi konsumen dalam upaya menimbulkan kepercayaan konsumen terhadap merek. 3. Kompetensi Merek (Brand Competence) Kompetensi Merek (Brand Competence) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh suatu merek untuk memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi oleh konsumen (Lau dan Lee, 1999). Skin dan Roth (1993) seperti yang dikutip oleh Lau dan Lee (1999) menyatakan bahwa kemampuan suatu merek merupakan elemen penting yang mempengaruhi konsumen dalam mempercayai suatu merek. Konsumen bisa mengetahui kemampuan merek melalui dua cara yaitu penggunaan langsung merek tersebut dan word-of-mouth communication. 2.1.3. Brand Loyalty Oliver dalam Tjiptono (2005:387) mengemukakan bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara konsisten di masa mendatang, sehingga menimbulkan pembelian merek yang sama secara berulang meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran berpotensi menyebabkan perilaku beralih merek. Menurut Assael (1992:28), istilah loyalitas adalah lebih mengimplementasikan sebuah komitmen daripada sekedar pembelian berulang Fakta menunjukkan bahwa dengan sikap dan perilaku akan menghasilkan sesuatu gambaran loyalitas merek yang diterima. Namun demikian terdapat beberapa karakteristik umum yang bias diidentifikasikan apakah seseorang konsumen mendekati loyal atau tidak. Selanjutnya dikemukakan empat hal yang menunjukkan kecendrungan konsumen loyal yaitu sebagai berikut: 1. Konsumen yang loyal terhadap merek cenderung percaya diri terhadap pilihannya. 2. Konsumen yang loyal lebih memungkinkan merasakan resiko yang lebih tinggi dalam pembeliannya. 3. Konsumen yang loyal terhadap merek juga memungkinkan loyal terhadap tempat produksi barang atau jasa. 4. Kelompok yang minoritas cenderung untuk loyal terhadap merek. A. Tingkat Brand Loyalty Menurut Durianto (2001:28) tingkat loyalitas merek mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut: 1. Switcher (berpindah-pindah) Pembeli yang berada pada tingkatan loyalitas switcher ini dikatakan sebagai pembeli yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pembeli untuk memudahkan pembeliannya dari suatu merek kemerekmerek lain mengidentifikasikan pembeli tersebut sebagi pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apapun pembeli anggap memadai serat memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling nampak dari jenis pembeli ini adalah pembeli tersebut membeli suatu produk karena harganya yang murah. 2. Habitual Buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan) Pembeli yang berada pada tingkatan habitual buyer ini dapat dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya atau setidaknya pembeli tidak mengalami ketidak puasan dalam mengkonsumsi produk merek tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli produk alin atau berpindah merek terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya maupun berbagi pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasan membeli selama ini. 3. Satisfied Buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan) Pada tingkat satisfied buyer ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas jika pembeli mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja pembeli memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan pembeli beralih merek. Untuk dapat menarik minat pembeli yang masuk dalam tingkatan loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya. 4. Liking the Brand (menyukai merek) Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas liking the brand ini merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan liking the brand dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun yang dialami kerabatnya atau disebabkan oleh perceived quality yang tinggi. Meskipun demikian seringkali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan kedalam sesuatu yang spesifik. 5. Commited Buyer (pembeli yang berkomitmen) Pada tahapan ini pembeli merupakan pembeli setia. Pembeli memiliki sesuatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi pembeli tersebut, dipandang dari segi fungsinya maupun ekspresi mengenai siapa sebenarnya pembeli tersebut. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain. 2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan brand characteristic dan brand company dilakukan oleh Togi (2010) dengan judul “Pengaruh Brand Characteristic dan Company Characteristic Terhadap Brand Loyalty Pada Konsumen handphone nokia di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara”. Kesimpulan yang diperoleh adalah variabel brand characteristic dan company characteristic secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel brand loyalty dalam memilih handphone Nokia di Fakultas Ekonomi Muhamadiyah Sumatera Utara. Variabel yang paling dominan adalah company characteristic. Hillia (2007) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Pembentuk Kepercayaan Merek (Trust in a brand) terhadap Loyalitas Konsumen (Consumer Loyalty): studi pada berbagai merek handphone”. Dimana Tujuan dari penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui pengaruh brand characteristics, company characteristics, dan consumer-brand characteristics terhadap pembentukan trust in brand. Serta pengaruh trust in brand terhadap brand loyalty. Temuan analisis mengungkapkan bahwa Trust In Brand dipengaruhi oleh variabel brand characteristics, company characteristics, dan consumer-brand characteristics secara bersama-sama, terutama pada variabel consumer-brand characteristics yang paling kuat atau mendominasi dalam mempengaruhi trust in brand. Serta adanya pengaruh yang signifikan dari trust in brand terhadap brand loyalty 2.3 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual dan kerangka berpikir merupakan gambaran tentang hubungan antara variabel yang akan diteliti, yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan (Sugiyono, 2008:48). Di dalam penelitian ini ada 2 variabel yang dianggap paling mempengaruhi brand loyalty pada konsumen McDonald’s Setiabudi Medan. Brand Characteristic memainkan peranan yang penting dalam menentukan keputusan konsumen dalam mempercayai suatu merek. Pertimbangan konsumen dalam pemilihan suatu merek akan menentukan apakah konsumen akan membangun hubungan terhadap merek tersebut. Lau dan Lee (1999) menyatakan bahwa karakteristik merek terdiri atas tiga elemen yaitu: reputasi merek (brand reputation), kecakapan memprediksi merek (brand predictability), dan kompetensi merek (brand competence). Brand reputation mengacu pada pendapat orang lain tentang bagus tidaknya dan dapat dipercaya tidaknya suatu merek. Brand reputation dapat dikembangkan melalui iklan dan hubungan dengan masyarakat (public relation), tetapi kemungkinan juga dapat dipengaruhi oleh kualitas dan kinerja produk. Reputasi yang baik akan menguatkan kepercayaan konsumen. Jika merek tidak memiliki reputasi yang bagus, konsumen akan menjadi semakin sangsi. Jadi persepsi konsumen bahwa suatu merek memiliki reputasi yang bagus sangatlah berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Brand predictability berkaitan erat dengan kemampuan kelompok untuk meramalkan perilaku kelompok yang lain. Merek yang dapat diprediksi adalah merek yang memungkinkan konsumen untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dengan percaya diri yang beralasan. Prediktabilitas ini dapat terkait dengan tingkat kekonsistenan kualitas produk. Konsumen mungkin mengetahui Brand competence melalui penggunaan secara langsung atau komunikasi dari mulut ke mulut. Diyakini bahwa suatu merek mampu memecahkan permasalahannya, maka konsumen akan percaya terus pada merek tersebut. Dalam pasar industri, (Lau & Lee, 1999) mengungkapkan bahwa sales people industry yang konsumennya merasa puas dan merasakan kompetensi merek yang ditawarkannya, akan mendapat kepercayaan lebih. Loyalitas merek (brand loyalty) merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam strategi pemasaran. Aaker (1997:8) mendefenisikan brand loyalty sebagai “measure of the attachment that a customer has a brand”. Loyalitas merek menunjukkan adanya suatu ikatan antara pelanggan dengan merek tertentu dan ini sering kali ditandai dengan adanya pembelian ulang dari pelanggan. Dalam membangun dan mengembangkan kepercayaan terhadap suatu merek, perusahaan harus mampu memahami tiga karakteristik penting sebagai determinan kepercayaan pelanggan, yang pada akhirnya akan mengarah pada loyalitas pelanggan. Tiga karakteristik kunci bagi kesuksesan hubungan antara pelanggan dan perusahaan adalah brand reputation, brand predictability, dan brand competence. Berdasarkan teori-tori pendukung tersebut, maka model kerangka konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Brand Characteristic Terdiri dari: Brand Reputation(X1) Brand Predictability (X2) Brand Loyalty (Y) Brand Competence (X3) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Sumber :Aaker (1997:8) dan Lau dan Lee (1999) Diolah Penulis Gambar 1.1 menunjukan bahwa brand reputation, brand predictability, dan brand competence merupakan variabel yang dapat mempengaruhi brand loyalty pada konsumen. variabel yang dimiliki diharapkan mampu mempengaruhi dan menarik minat konsumen untuk menjadi loyal terhadap merek McDonald’s. 2.4 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah : Brand Characteristic berpengaruh terhadap Brand Loyalty Pada Konsumen McDonald’s Setiabudi Medan.