bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang
Candi Borobudur adalah candi Budha terbesar di Indonesia dan merupakan
salah satu peninggalan sejarah yang ditetapkan sebagai World Heritage Site atau
warisan dunia oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
(UNESCO). Sebagai salah satu warisan dunia, Candi Borobudur memiliki kawasan
yang terbagi dalam beberapa zona, diantaranya terdiri dari zona 1 dan zona 2.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1992 Tentang
Pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur Dan Taman Wisata Candi Prambanan
Serta Pengendalian Lingkungan Kawasannya BAB II Pasal 4 ayat 2, zona 1
merupakan lingkungan kepurbakalaan yang diperuntukkan bagi perlindungan dan
pemeliharaan kelestarian lingkungan fisik candi yang meliputi kawasan Candi
Borobudur dikelola oleh Dinas Kepurbakalaan Candi Borobudur, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan pasal 5 ayat 1, zona 2 merupakan kawasan
di sekeliling zona 1 masing-masing candi dan diperuntukkan bagi pembangunan
taman wisata sebagai tempat kegiatan kepariwisataan, penelitian, kebudayaan, dan
pelestarian lingkungan candi dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur,
Prambanan dan Ratu Boko. Kegiatan aplikatif ini dilaksanakan pada zona 2 Candi
Borobudur yaitu kawasan taman wisata Candi Borobudur.
Sebagai kawasan wisata, taman wisata Candi Borobudur memerlukan sistem
distribusi air bersih yang efesien untuk menjangkau semua fasilitas yang
memerlukan kebutuhan air bersih. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih di kawasan
taman
wisata
Candi
Borobudur
maka
tidak
akan
terlepas
dari
proses
penyediaan/produksi air bersih, transmisi air bersih, distribusi air bersih dan
penyimpanan air yang semuanya dihubungkan oleh jalur pipa air. Menurut staf
pengelola taman wisata Candi Borobudur, jalur pipa air menggunakan pipa ukuran 6
inci berjenis pipa baja dan ditanam di bawah tanah. Jalur pipa air tersebut menjadi
fokus pada kegiatan aplikatif ini.
1
2
Seiring berjalannya pembangunan dan peremajaan pada kawasan taman wisata
Candi Borobudur maka diperlukan informasi spasial yang akurat berupa peta jalur
pipa air bawah tanah zona 2 Candi Borobudur untuk menginvetarisasi lokasi dan
kedalaman dari jalur pipa air yang berguna untuk peremajaan jaringan pipa yang
telah rusak sehingga kebutuhan distribusi air untuk kebutuhan para wisatawatan
teruatama pada saat libur hari raya dan tahun baru dapat tercukupi. Untuk
memudahkan dalam menemukan dan memetakan pipa air yang berada di bawah
tanah maka perlu dilakukan pengukuran Ground Penetrating Radar (GPR) yang
memerlukan desain jalur pengukuran GPR
Desain jalur pengukuran GPR yang dimaksud adalah desain jalur yang
digunakan untuk menemukan pipa di bawah tanah . Desain jalur tersebut dibuat
harus memenuhi kriteria lokasi dengan memperhatikan keefektifitasan jalur yang
dibuat. Dari desain jalur ini nantinya akan ditentukan koordinat pipa sehingga pipa
bawah tanah yang terdeteksi melalui proses interpretasi akan di interpolasi posisi
spasialnya. Dari proses tersebut nantinya akan diimplementasikan melalui kegiatan
survei GPR pada lokasi pekerjaan. Hasil dari proses implementasi tersebut berupa
peta jalur pipa air bawah zona 2 Candi Borobudur yang menunjukkan lokasi
penyebaran jalur pipa air bawah tanah.
Atas uraian di atas, pengerjaan kegiatan aplikatif ini melibatkan pekerjaan
rekayasa yang meliputi geodesi dan geofisika terapan. Dalam hal ini disiplin ilmu
geodesi menentukan informasi spasial posisi pipa air bawah tanah yang ada di area
pekerjaan tersebut dan disiplin ilmu geofisika dengan melakukan pengukuran GPR
dan menginterpretasi hasil pengukuran GPR tersebut untuk mendeteksi pipa air.
I.2. Lingkup kegiatan
Pada kegiatan aplikatif ini akan membatasi permasalahan yang ada dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut:
Detail kegiatan adalah sebagai berikut:
1.
Lokasi kegiatan pada zona 2 Candi Borobudur yang terletak pada Desa
Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa
Tengah. Lokasi kegiatan pada Gambar I.1
3
Gambar I.1. Kawasan taman wisata Candi Borobudur
(Sumber : Bing Aerial)
2. Pengukuran GPR menggunakan GPR MALA Shielded Antennas dan
menggunakan perangkat lunak MALA Software Package (Ramac Ground
Vision 2).
3. Pelaksanaan pengukuran GPR untuk mengimplementasikan desain jalur
GPR meliputi penenetuan koordinat awal dan akhir jalur GPR dengan GPS
Geodetik dan pengukuran jalur dengan GPR
4. Pembuatan Peta Jalur Pipa Air dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak ArcGIS10.2.
I.3. Tujuan
Tujuan kegiatan ini meliputi:
1. Membuat desain jalur pengukuran GPR untuk pemetaan pipa air bawah
tanah di zona 2 Candi Borobudur.
2. Melaksanakan survei GPR berdasarkan desain jalur pengukuran.
3. Menentukan poisis dan kedalaman posisi pipa air bawah tanah
4. Membuat peta jalur pipa air bawah tanah dan profil kedalamannya
I.4. Manfaat
Manfaat kegiatan ini adalah guna mendukung kelancaran pengembangan
utilitas bawah tanah di zona 2 Candi Borobudur.
4
I.5. Landasan teori
I.5.1. Pemetaan situasi
Pemetaan situasi adalah suatu metode untuk menentukan posisi tanda-tanda
(features) buatan manusia maupun alami diatas permukaan tanah. Dalam pemetaan
situasi, penyajian features meliputi semua detil planimetrik yang ada di permukaan
bumi beserta garis kontur yang merepresentasikan keadaan topografi pada daerah
pemetan tersebut. Pemetaan situasi dapat dilakukan dengan beberapa metode , antara
lain secara terestris, ekstraterestris menggunakan alat GPS, penginderaan jauh
maupun fotogrametri (Basuki, 2006).
Representasi kenampakan topografi dari segi vertikalnya direpresentasikan
menggunakan garis kontur pada peta. Garis kontur adalah garis khayal di lapangan
yang menghubungkan titik dengan ketinggian yang sama, garis kontur dapat
diartikan juga sebagai garis kontinyu diatas peta yang memperlihatkan titik-titik
dengan ketinggian yang sama (Basuki, 2006). Fungsi lain dari garis kontur adalah
untuk memberikan informasi slope (kemiringan tanah), irisan profil memanjang atau
melintang permukaan tanah, dan perhitungan galian serta timbunan. Interval kontur
adalah selisih tinggi atau jarak vertikal antara dua buah garis kontur yang berurutan.
Besarnya interval kontur secara umum dinyatakan dengan rumus 1/2000 x angka
penyebut skala (dalam meter).
Garis kontur mempunyai beberapa sifat antara lain (Basuki, 2006) :
1. Tidak berpotongan.
2. Tidak bercabang.
3. Tidak bersilangan.
4. Semakin jarang menunjukkan daerah yang semakin datar.
5. Semakin rapat menunjukkan daerah yang semakin curam.
6. Tidak berhenti di dalam peta.
5
I.5.1.1. Kerangka dasar pemetaan. Pengukuran awal dari pekerjaan pemetaan
situasi adalah pengadaan titik-titik kerangka dasar pemetaan (TKDP) yang cukup
merata di daerah yang akan dipetakan. TKDP ini akan dijadikan ikatan dari detildetil yang merupakan objek dari unsur-unsur yang ada di permukaan bumi yang akan
digambarkan dalam peta. Apabila kerangka peta ini baik, dalam arti bentuk,
distribusi dan ketelitiannya sesuai dengan yang diharapkan, maka bisa diharapkan
bahwa peta yang akan dihasilkan juga baik. Namun sebaliknya, apabila kerangka
dasar pemetaannya tidak baik, peta yang dihasilkan juga diragukan kualitasnya
(Basuki, 2006).
Kerangka dasar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kerangka horizontal
dan kerangka vertikal. Kerangka dasar pemetaan horizontal bermacam-macam,
pemilihan dan pemakaiannya ditentukan oleh banyak faktor, antara lain luas daerah
yang dipetakan, ketersediaan peralatan, dan kemudahan perhitungan. Kerangka peta
yang monumentasinya di lapangan berupa Bench Mark (BM) diperoleh dari beberapa
metode pengukuran, salah satunya dengan teknologi GNSS.
Metode penentuan kerangka dasar pemetaan dengan teknologi GNSS
merupakan penentuan posisi titik-titik kontrol pemetaan dengan prinsip resection
(pemotongan ke belakang), dimana receiver GPS didirikan pada titik-titik yang akan
dicari koordinatnya dengan cara pengikatan terhadap titik referensi yang sudah
terdefinisi sistem koordinatnya (Abidin, 1994). Dalam hal ini, titik referensi tersebut
adalah satelit-satelit GPS dan GLONASS yang posisinya di orbit dapat diketahui
melalui data broadcast ephemeris maupun precise ephemeris. Berdasarkan data
ephemeris tersebut, dapat diketahui posisi satelit dari sinyal yang dipancarkan oleh
satelit GNSS, sehingga posisi pengamat atau receiver GPS dapat ditentukan.
Metode pengukuran kerangka dasar pemetaan horizontal dengan survei GPS
ada beberapa macam yaitu (BSN, 2002) :
1. Metode statik adalah metode survei GPS dengan waktu pengamatan yang
relatif lama (beberapa jam) di setiap titiknya. Titik-titik yang diukur
posisinya diam (tidak bergerak).
2. Metode stop and go adalah proses pengamatan GPS dengan melakukan
inisialisasi di titik awal untuk penentuan ambiguitas fase, receiver GPS
bergerak dari titik ke titik lainnya dan melakukan pengamatan dalam waktu
6
yang relatif singkat (sekitar 1 menit) pada setiap titiknya. Metode
penentuan posisi ini kadang disebut juga sebagai metode semi-kinematik
3. Metode
pseudo-kinematik
adalah
metode
survei
GPS
yang
pengamatannya di dilakukan dua kali secara singkat (5 s.d 10 menit) pada
satu titik dengan selang waktu yang relatif cukup lama (1 s.d 2 jam) antara
keduanya.
Sedangkan untuk penentuan posisi di bumi dengan GPS dibagi menjadi dua
(Sunantyo, 2000) yaitu:
1. Metode absolut dikenal juga sebagai point positioning, menentukan posisi
hanya berdasarkan pada 1 pesawat penerima (receiver) saja. Ketelitian
posisi dalam beberapa meter (tidak berketelitian tinggi) dan hanya
diperuntukkan untuk keperluan navigasi.
2. Metode relatif atau sering disebut differential positioning, menetukan posisi
dengan menggunakan lebih dari satu receiver. Metode ini menghasilkan
posisi berketelitian tinggi umumnya kurang dari 1 meter dan diaplikasikan
untuk keperluan survei geodesi atau pemetaan yang memerlukan ketelitian
tinggi, seperti metode kinematik differential, sistem DGPS dan RTK.
Pemilihan metode GNSS untuk pengukuran kerangka dasar pemetaan
dikarenakan ketelitian koordinat yang dihasilkan dari metode tersebut memiliki
spesifikasi yang tinggi yaitu mencapai fraksi milimeter.
I.5.1.2. Pengukuran detil. Detil adalah segala objek yang ada di lapangan, baik
yang bersifat alamiah seperti sungai, lembah, bukit, alur, dan rawa, maupun hasil
buatan manusia seperti jalan, jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dan
batas-batas pemilikan tanah yang akan dijadikan isi dari peta yang akan dibuat
(Basuki, 2006).
Pemilihan detil, distribusi dan teknik pengukurannya dalam pemetaan sangat
tergantung dari skala dan tujuan peta itu dibuat. Misal untuk peta kadaster atau
pendaftaran hak atas tanah, yang diperlukan adalah unsur batas-batas pemilikan
tanah, sedang beda tinggi atau topografinya tidak diperlukan. Sedang untuk peta
teknik, yang diperlukan adalah unsur-unsur topografi, detil alamiah serta hasil
budaya manusia yang konkrit ada di lapangan.
7
Penentuan posisi dari titik-titik detil, diikatkan pada titik-titik kerangka
pemetaan yang terdekat yang telah diukur sebelumnya atau mungkin juga ditentukan
dari garis ukur yang merupakan sisi-sisi dari kerangka peta ataupun garis yang dibuat
khusus untuk itu. Salah satu metode yang digunakan untuk pengukuran detil adalah
metode polar atau ekstrapolasi koordinat kutub. Metode ini mengukur posisi tiga
dimensi (X, Y, Z) dari setiap detil. Posisi detil ditentukan berdasarkan data jarak
horisontal dan jarak miring, jarak vertikal, serta sudut horisontal dan sudut vertikal
(Kavanagh, 1997) dari titik ikat atau BM ke titik detil. Banyaknya detil yang dikur
mengharuskan pengukuran dilakukan dengan metode takhimetri. Pada metode
takhimetri jarak titik detil diukur secara optis, azimut diukur dengan alat teodolit dan
beda tingginya ditentukan secara trigonometris. Dengan menggunakan alat Total
Station (TS) yang merupakan gabungan antara teodolit dan Electronic Distance
Meter (EDM), penentuan jarak secara optis, pengukuran sudut horizontal untuk
azimut serta pengukuran sudut vertikal untuk penentuan beda tinggi dapat dilakukan
secara bersamaan. Dalam pengukuran detil secara ekstrapolasi koordinat kutub pada
metode takhimetri, komponen yang dikur meliputi :
1. Azimut/sudut antara titik BM dan titik detil
2. Jarak antara titik BM dan titik detil
3. Beda tinggi antara titik BM dan titik detil
Dalam penentuan posisi secara ekstrapolasi koordinat kutub pada metode
takhimetri, penentuan koordinat horizontal (X, Y) ditentukan dengan mengukur jarak
optis dan azimut antara titik BM dengan titik detil. Penentuan beda tinggi dari setiap
detil dilakukan secara trigonometris, dimana pengukuran beda tinggi dengan cara
trigonometris adalah suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan
dengan cara mengukur sudut miring atau vertikalnya dengan jarak yang diketahui,
baik jarak dalam bidang datar maupun jarak geodetik untuk menentukan nilai
koordinat Z dari titik detil tersebut.
8
I.5.1.3. Penggambaran peta secara digital. Tahapan penggambaran peta situasi
dilakukan setelah semua detil yang terletak pada area pemetaan selesai diukur.
Setelah tahapan pengukuran dilakukan, dilanjutkan dengan proses download data,
baik data ukuran menggunakan TS maupun data ukuran yang diperoleh dari
pengukuran menggunakan metode RTK radio GNSS. Untuk mengetahui bentuk
fitur-fitur yang sudah diukur secara grafis, langkah selanjutnya adalah proses
penggambaran peta secara digital. Disebut penggambaran secara digital dikarenakan
data yang menjadi data masukan berupa data softcopy hasil download dari perangkat
pengukuran elektronik seperti TS maupun GPS dan kemudian diolah serta digambar
menggunakan perangkat lunak
Penggambaran peta secara digital dilakukan dengan mengolah data hasil
download pengukuran, kemudian diolah dengan perangkat lunak Microsoft Excel
untuk data yang diperoleh melalui pengukuran menggunakan TS. Untuk data hasil
pengukuran GPS, khususnya data dengan format rinex hasil pengukuran GPS metode
RTK Radio, proses download data langsung dilakukan dari perangkat GPS tanpa
harus diolah menggunakan Microsoft Excel seperti data ukuran dengan TS Setelah
proses download data, dapat dilakukan plotting titik-titik hasil pengukuran dengan
menggunakan software CAD seperti AutoCAD Land Desktop.
Penggambaran peta situasi secara digital menggunakan software CAD
mencakup tahapan plotting, editing dan finishing dari data ukuran yang meliputi :
1. Penggambaran detil planimetrik.
Detil planimetrik yang digambar berupa detil-detil yang telah diukur dan
telah diklompokkan menurut layer nya. Fitur-fitur tersebut digambarkan
agar peta situasi yang dihasilkan merepresentasikan kondisi sebenarnya dari
daerah yang dipetakan. Proses penggambaran detil planimetrik dilakukan
dengan cara mendigitasi titik-titik detil sesuai layer masing-masing
menggunakan tools dari software CAD yaitu garis 3D polyline, kemudian
dilanjutkan dengan mengatur properties layer seperti ketebalan garis,
warna, dan jenis hatch.
2. Penyajian peta.
Proses editing yang dilakukan meliputi digitasi detil planimetrik dan
pembuatan garis kontur. Setelah proses ini selesai, kemudian dilanjutkan
9
dengan proses pembuatan peta situasi dengan menggunakan perangkat
lunak ArcGIS agar kaidah-kaidah kartografi dalam penyajian suatu peta
situasi dapat dipenuhi. Agar peta situasi yang disajikan memenuhi kaidah
kartografi, suatu peta harus memiliki komponen peta yang meliputi isi
peta, judul peta, skala peta dan simbol arah, legenda, indeks peta, grid,
nomor peta, sumber peta dan jenis proyeksi peta yang digunakan
(Saraswati, 1979).
I.5.2. Peta tematik
Peta tematik yaitu peta yang menyajikan tema tertentu dan untuk keperluan
tertentu (penduduk, transportasi, dan lain sebagainya) yang mempergunakan peta
rupabumi yang telah disederhanakan sebagai dasar untuk meletakkan informasi
tematiknya. Peta tematik bisa juga diartikan sebagai suatu peta yang menperlihatkan
informasi kualitatif dan atau kuantitatif pada unsur tertentu. Unsur unsur tersebut ada
hubungannya dengan detil topografi yang penting. Pada peta tematik, keterangan
disajikan dengan gambar memakai pernyataan dan simbol – simbol yang mempunyai
tema tertentu atau kumpulan dari tema – tema yang ada hubungannya antara satu
dengan lainnya (Prihandito, 1989)
Peta tematik dapat membantu secara umum perencanaan suatu daerah,
administrasi, manajemen, perusahaan – perusahaan swasta, pendidikan, perencanaan
militer dan lain – lain. Untuk penggambaran data peta tematik, peta dasar yang sering
dipakai adalah peta topografi. Data topografi yang diambil biasanya hanya satu atau
dua unsur saja, misalnya batas Negara, batas daerah/propinsi, jalan, sungai dan lain –
lain. Pemilihan unsur- unsur topografi yang akan diambil tergantung dari skala,
maksud atau tujuan peta tematik itu sendiri. Data dari peta topografi hanya
digunakan untuk latar belakang penempatan dan orientasi secara geografis. Data
yang dimuat dalam peta tematik dapat diperoleh dari hasil survei lapangan secara
langsung maupun tidak langsung, misalnya data statistik (Santoso,2007).
Variabel tampak memiliki peran kunci dalam pembuatan simbol pada peta.
Sebuah simbol geometris sederhana dapat mendefinisikan suatu variabel tampak
dalam proses menyampaikan informasi spasial (Halik, 2012). Seperti yang
ditunjukkan pada Gambar I.2.
10
Gambar I.2. Hubungan antara variabel tampak pada simbol dua dimensi dan tiga
dimensi (Riyadi dkk., 2012).
Di dalam ilmu kartografi, variabel tampak digunakan untuk merancang simbolsimbol dengan menggunakan variasi dari variabel tersebut. Variabel tampak berperan
dalam pembuatan desain kartografi pada peta. Gambar 1.2 menunjukkan hubungan
antara tujuh jenis variabel tampak yang sama pada pembuatan simbol dua dimensi
dan simbol tiga dimensi, yaitu:
1. Ukuran (size). Variabel tampak dari bayangan pada retina mata digunakan
untuk membedakan simbol berdasarkan ukuran atau besaran objek.
2. Bayangan (shading). Bayangan digunakan untuk menunjukkan besar
derajat keabuan berdasarkan kemampuan objek untuk memantulkan sinar.
3. Tekstur (texture). Tekstur dapat diartikan sebagai variasi kerapatan
elemen gambar dibawah nilai konstan. Tekstur sebagai variabel tampak
digunakan untuk memahami bermacam-macam ukuran dari suatu harga
yang tetap.
4. Warna (color). Warna merupakan variabel tampak yang peling kuat dan
sering digunakan dalam desain simbol.
5. Garis perspektif (line perspective). Garis perspektif digunakan untuk
membedakan simbol berbentuk perspektif berdasarkan orientasi garis
perspektifnya.
11
6. Perspektif (perspective). Gambaran dari suatu unsur atau objek yang
dipetakan dapat dinyatakan dalam berbagai perspektif. Apabila bentuk
perspektif dari simbol berbeda maka akan lebih mudah dalam
membedakan simbol tersebut.
7. Pertampalan atau penghalang (overlap/obstruction). Hal ini berkaitan
dengan posisi (x, y, z) masing-masing objek dari sudut pandang yang
diambil pada model tiga dimensi memungkinkan terdapat objek yang
hilang atau tidak tampak karena terhalang objek lain.
I.5.3. Survei GPS
Sistem Pemosisi Global adalah sistem untuk menentukan posisi di permukan
bumi dengan bantuan penyelarasan sinyaal satelit. Sistem ini menggunkan 24 satelit
yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke bumi. Sinyal ini diterima oleh alat
penerima di permukaan bumi, dalam menentukan posisi dengan GPS ada beberapa
metode diantaranya ialah RTK (Real Time Kinematic) GPS.
RTK merupakan sistem penentuan posisi dengan menggunakan prosedur
differensial yang menggunakan data fase dengan ketelitian mencapai centimeter.
Stasiun referensi mengirim data fase dan pseudorange kepada pengguna secara
langsung menggunakan sistem komunikasi tertentu (Abidin, 2000).Pada penentuan
16 posisi secara RTK, base station merupakan receiver GNSS yang berada pada
lokasi tertentu dan berguna sebagai titik referensi untuk menetukan posisi dari titiktitik yang diamat oleh receiver GNSS yang lain (rover/pengguna). Dalam metode
RTK ini, base station berfungsi untuk memancarkan sinyal koreksi, sedangkan rover
station adalah receiver GNSS yang menerima koreksi RTCM dari stasiun referensi
base station, yang bergerak dari lokasi satu ke lokasi lain selama pelaksanaan survei
RTK (Atunggal, 2010). Ada 3 komponen penting dalam pengamatan menggunakan
metode RTK yaitu stasiun referensi (reference station), sistem komunikasi data (data
link) dan stasiun pengguna (rover) (Abidin, 2000):
1. Stasiun referensi (reference station), stasiun referensi berfungsi mengolah
data diferensial dan menghitung koreksi carrier phase dengan cara
membandingkan koordinat stasiun yang telah diketahui sebelumnya denga
koordinat hasil pengamatan carrier phase. Komponen di stasiun referensi
terdiri atas receiver dan antenna.
12
2. Sistem hubungan data (data link), sistem ini berfungsi untuk mengirimkan
koreksi carrier phase dari base station ke rover untuk pengolahan data
secara real time. Sistem radio ini berupa radio modem UHF (ultra high
frequency)/VHF (very high frequency)/HF (high frequency), modem
telepon, GSM, satelit, dan internet.
3. Stasiun pengguna (rover), stasiun ini berfungsi intuk mengidentifikasi
satelit.
Pengukuran pada metode RTK memiliki 3 jenis solusi pengukuran
(Diggelen,1997), yaitu:
1. Fixed
Sudah terhubung dengan base station, memiliki ketelitian posisi 1
sampai dengan 5 cm, ambiguitas fase sudah terkoreksi, jumlah satelit
yang ditangkap lebih dari 4, bias multipath terkoreksi dan LQ ( Link
Quality) 100%.
2. Float
Sudah terhubung dengan base station, memiliki ketelitian posisi lebih
dari 5 cm, ambiguitas fase belum terkoreksi, jumlah satelit yang
ditangkap kurang dari 4 (too few satellite), bias multipath belum
terkoreksi.
3. Standalone
Tidak terhubung dengan base station, memiliki ketelitian posisi lebih
dari 1 m, ambiguitas fase belum terkoreksi secara deferensial, jumlah
satelit yang ditangkap kurang dari 4 (too few satellite), bias multipath
belum terkoreksi.
Ilustrasi penentuan posisi dengan menggunakan metode RTK dapat dilihat
pada Gambar I.3.
13
Keterangan gambar :
O
= pusat sistem koordinat,
N
= jari-jari kelengkungan vertikal utama titik pengamatan,
φ, λ , h
= koordinat geodetik titik pengamatan,
Xp, Yp, Zp
= koordinat kartesian 3D titik P,
Xq, Yq, Zq
= koordinat kartesian 3D titik Q,
Xi, Yi, Zi
= koordinat kartesian 3D satelit ke i,
R
= jarak dari receiver ke satelit.
Gambar I.3. Penentuan posisi RTK
(Sumber : Hersanto, 2010)
Sistem RTK
berkembang setelah diperkenalkannya suatu teknik untuk
memecahkan ambiguitas fase disaat receiver dalam keadaan bergerak yang
dikenal dengan metode penentuan ambiguitas fase secara On The Fly ( OTF ).
Dengan adanya radio modem sehingga proses pengiriman data atau koreksi
fase dapat dilakukan secara seketika, membuat informasi posisi yang dihasilkan oleh
sistem ini dapat diperoleh secara seketika (Rahmadi, 1997). Koordinat yang diberikan
oleh GPS adalah koordinat titik di atas permukaan ellipsoid, yaitu ellipsoid WGS (World
Geodetic System) 1984 sehingga tinggi yang digunakan adalah tinggi geometrik
(Abidin, 2001). Tinggi geometrik adalah jarak garis lurus yang diambil sepanjang
bidang ellipsoid normal dari permukaan geometris yang diambil dari referensi
ellipsoid ke titik tertentu (W.E. Featherstone, 2006). Tinggi geomterik tersebut tidak
14
sama dengan tinggi orthometrik yang umum digunakan untuk keperluan praktis
sehari-hari yang biasanya diperoleh dari pengukuran sipat datar (levelling). Tinggi
orthometrik pada suatu titik adalah tinggi titik tersebut di atas geoid diukur sepanjang
garis gaya berat yang melalui titik tersebut, sedangkan tinggi ellipsoid pada suatu
titik adalah tinggi titik tersebut di atas ellipsoid dihitung sepanjang garis normal
ellipsoid yang melalui titik tersebut. Perbedaan tinggi disajikan pada Gambar 1.4.
H
h
Gambar 1.4. Perbedaan tinggi geometrik dan orthometrik
(Sumber : http://kartoweb.itc.nl)
Ketelitian tipikal posisi yang diberikan oleh sistem RTK adalah sekitar 1 sampai
dengan 5 cm, dengan asumsi bahwa ambiguitas fase dapat ditentukan secara benar
(Abidin, 2000).
I.5.4. Survei GPR
Seperti pada sistem radar pada umumnya, sistem Ground Penetrating Radar
(GPR) terdiri dari antena transmiter sebagai pembangkit sinyal radio, antena receiver
sebagai pendeteksi gelombang radio yang direfleksikan, fasilitas perekam data, dan
media tampilan grafik. Mulai dari masukan pada antena transmisi dan berakhir
dengan keluaran dari antena penerima merupakan suatu sistem linier. Jaluraritas ini
akan menjelaskan beberapa fenomena dan peristiwa elektromagnetik yang terjadi
antara dua antena (misalnya penjalaran gelombang sepanjang antena pemancar,
radiasi, atenuasi, transmisi, dan refleksi dari suatu target.
15
Sistem radar ini mengakibatkan antena transmiter menghasilkan gelombang
periodik dari gelombang elektromagnet yang menyebar pada sudut yang sangat lebar.
Pulsa tersebut kemudian akan merambat ke bawah permukaan sebagai muka
gelombang (wave front) dan sebagian akan dipantulkan kembali karena ada
perubahan kontras kerapatan/ rapat massa dan kontras permitivitas listrik di bawah
permukaan tanah. Gelombang elektromagnetik menjalar pada cepat rambat tinggi ( di
udara mencapai 3 x 108 m/s atau 0,3 m/ns).
Transmiter membangkitkan pulsa gelombang elektromagnet pada frekuensi
tertentu sesuai dengan karakteristik antena (berorde MHz). Antena receiver diset
untuk melakukan scan secara normal 32-315 scan per detik atau bergantung pada
sistem yang digunakan, setiap hasil scan akan ditampilkan pada layar monitor/ grafik
rekaman. Sinyal-sinyal yang diterima receiver selama antena digeserkan diatas tanah
ditampilkan sebagai fungsi two-way traveltime (berorde ns), yaitu waktu yang
dibutuhkan gelombang elektromagnetik menjalar dari transmiter-target-receiver,
kemudian diperkuat, didigitasi dan disimpan dalam suatu perekam digital magnet
untuk siap diolah dan ditampilkan. Tampilan ini disebut sebagi radargram.
Kemampuan penetrasi GPR bergantung pada frekuensi sinyal sumber, efisiensi
radiasi antena dan sifat dielektrik material. Sinyal radar dengan frekuensi yang tinggi
akan menghasilkan resolusi yang tinggi, tetapi kedalaman penetrasinya lebih terbatas
(Annan dan Davis, 1989). Gambar I.5 mengilustrasikan skema pengukuran GPR.
Gambar I.5. Skema GPR
(Sumber : Daniel, 2004)
16
Ground Penetrating Radar atau GPR beroperasi sama seperti sistem radar
konvensional pada umumnya, dalam artian bahwa ia mengirim pulsa energi antara 10
sampai 1000 MHz ke dalam tanah dari suatu antenna dan memantulkannya dalam
waktu yang sangat singkat, yang kemudian diproses untuk melihat target. Namun
demikian, GPR dikarekterisasi oleh tiga prinsip mendasar yang membedakannya dari
sistem radar konvensional.
Pertama, bandwidth operasi dari GPR diletakan pada frekuensi rendah untuk
mendapatkan kedalaman penetrasi yang memadai ke dalam tanah. Kenyataannya,
kedalaman penetrasi dari sinyal yang dipancarkan, pada umumnya sangat terbatas
sesuai dengan panjang gelombangnya. Di sisi lain, radar harus mampu menyediakan
resolusi down-range yang memadai, untuk itu bandwidth operasi diperlukan
bandwidth operasi puluhan sampai ratusan megahertz. Bandwidth operasi ini sesuai
dengan frekuensi tengah
radar, yang menyebabkan bandwidth relatif (rasio
bandwidth terhadapfrekuensi tengah) mendekati satu atau terkadang lebih besar. Ini
berarti GPR bersifat ultra wideband dan berbeda dengan sistem radar konvensional,
yang beroperasi pada band frekuensi yang lebih tinggi. Kompromi antara kedalaman
penetrasi dan resolusi harus selalu dilakukan,penetrasi yang lebih dalam dapat
dicapai dengan menggunakan frekuensi yang lebih rendah namun dengan resolusi
down-range yang lebih rendah pula.
Kedua, tidak seperti sistem radar konvensional GPR beroperasi di dekat
permukaan
tanah.
Ini
berakibat
kekasaran
dari
permukaan
tanah
dan
ketidakhomogenan tanah dapat meningkatkan clutter. Dalam banyak kasus pengguna
GPR dengan
terpaksa harus melakukan image prosesing tingkat lanjut untuk
membedakan target dari clutter.
Ketiga, kebanyakan GPR merupakan sistem radar jarak dekat (short-range).
Padakondisi ini target biasanya terletak di daerah medan dekat atau medan menengah
sehingga karakteristik medan dekat antenna menjadi sangat penting. Ini sangat
berbedadengan radar konvensional, yang beroperasipada medan jauh (Oktafiani dkk.,
2010).
Penentuan posisi titik pengukuran GPR ditentukan dengan menggunakan GPS.
Pengukuran menggunakan GPS digunakan untuk menentukan koordinat titik awal
pengukuran GPR dan koordinat titik akhir pengukuran GPR. Selain koordinat titik
17
awal GPR dan titik akhir GPR diukur juga jarak tempuh alat GPR dari titik awal ke
titik akhir sehingga posisi pipa dapat ditentukan dari fungsi jarak. Gambar I.6
menunjukan penentuan posisi pipa pada jalur 1 pengukuran GPR.
L1B
∆dAB
∆dAp
L1A
Keterangan :
: Jalur pipa
: Jalur 1 pengukuran GPR
XA, YA
: Koordinat planimetrik titik awal pengukuran GPR
XB, YB
: Koordinat planimetrik titik akhir pengukuran GPR
XP, YP
: Koordinat planimetrik titik pipa bawah tanah
∆dAB
: Jarak tempuh dari titik awal ke titik akhir pengukuran
∆dAP
: Jarak tempuh dari titik awal ke titik indikasi pipa
Gambar I.6. Ilustrasi penentuan posisi pipa pada jalur 1
Berdasarkan Gambar I.6. Posisi pipa (XP, YP) dapat ditentukan menggunakan
interpolasi linier dari fungsi jarak. Interpolasi linier ini menggunakan data
pengukuran ∆dAB dari alat GPR sedangkan ∆dAP hasil interpretasi pipa pada data
pengukuran GPR. Persamaan interpolasi liniear
posisi pipa disajikan pada
persamaan 1.1 dan 1.2.
XP = XA +
YP = YA +
∆dAP
∆dAB
∆dAP
∆dAB
∙ (XB − XA ) ………………………………………….. (1.1)
∙ (YB − YA ) …………………………………………...(1.2)
18
Selanjutnya untuk posisi tinggi (Z) pipa dihitung menggunakan nilai
kedalaman hasil pengukuran GPR dengan permukaan tanah. Sebelumnya perlu dicari
nilai Z pipa pada permukaan tanah dengan menggunakan GPS tipe geodetik. Setelah
nilai Z pada permukaan tanah sudah didapatkan maka nilai Z pipa bawah tanah dapat
dihitung menggunakan persamaan 1.3.
= Ztp – D Pipa ………………………………………………… (1.3)
ZP
Keterangan :
ZP
: Tinggi
pipa (m)
Ztp
: Tinggi
permukaan di atas pipa
D pipa
: Kedalaman pipa dengan permukaan tanah
Perhitungan posisi pipa dilakukan dengan cara yang sama pada setiap jalur.
I.5.5. Persamaan Maxwell
Untuk memahami pemanfaatan geombang elektromagnetik dalam
apikasinya terhadap struktur bumi serta menentukan sifat listrik dan magnetik,
biasanya diawali dengan persamaan Maxwell,
Persamaan Maxwell terdiri atas empat persamaan medan, masing –masing
dapat dipandang sebagai hubungan antara medan dengan distribusi sumber (muatan
atau arus) yang bersangkutan.
Untuk menyederhanakan masalah, sifat fisik medium diasumsikan tidak
bervariasi terhadap waktu dan posisi (homogen isotropis). Maka persamaan Maxwell
dapat ditulis sebagai berikut :
1.
Persamaan Maxwell I, persamaan yang menyatakan bahwa medan listrik
dihasilkan dari perubahan medan induksi magnet seperti pada persamaan
1.4.
∇ 𝑋𝐸 = −
2.
∂𝐵
................................................................................. (1.4)
∂t
Persamaan Maxwell II, persamaan yang menyatakan bahwa medan
magnet dihasilkan dari aliran arus seperti yang ditunjukkan pada
persamaan 1.5.
∇ 𝑋𝐻 = 𝐽 +
3.
∂𝐷
∂t
………………………........................................ (1.5)
Persamaan Maxwell III, persamaan yang menyatakan berlakunya sifat
loop tertutup perpindahan listrik pada suatu rapat muatan listrik seperti
19
yang ditunjukkan pada persamaan 1.6.
∇• 𝐷 = 𝑞
4.
………….…….............................................................(1.6)
Persamaan Maxwell IV, persamaan yang menyatakan berlakunya sifat
loop tertutup untuk flux magnet jika tidak terdapat arus magnet bebas
seperti yang ditunjukkan pada persamaan 1.7.
∇• 𝐵 = 0
….………....…........................................................... (I.7)
Dimana:
𝐸=
kuat medan listrik (Volt/meter)
𝐷=
perpindahan listrik (Coulomb / meter2 )
𝐻=
kuat medan magnet (Ampere / meter)
q=
rapat muatan listrik (Coulomb / meter3 )
𝐽=
rapat arus ( Ampere / meter2 ).
I.5.6. Persamaan material
I.5.6.1. Permitivitas listrik. Permitivitas listrik relatif berkaitan dengan
kemampuan untuk mempolarisasikan dan mengontrol kecepatan gelombang
elektromagnetik dalam medium tersebut.
Persamaan yang menunjukkan hubungan intensitas medan listrik dan
pergeseran seperti yang ditunjukkan pada persamaan 1.8.
𝐷 =ε𝐸
…………………………………………………………………...(1.8)
dengan ε permitivitas listrik.
Permitivitas listrik relatif berkaitan dengan kemampuan dari medium untuk
mempolarisasi medan listrik dan menentukan keceptan gelombang elektromagnetik
yang berjalan pada suatu medium.
Untuk medium yang berbeda, harga permitivitas relatif (εr) akan menentukan
harga kecepatan di media.
20
I.5.6.2. Konduktivitas listrik. Persamaan Maxwell dapat menunjukkan
karakteristik dan sifat elektromagnetik, walaupun kenyataannya persamaan tersebut
tidak memiliki hubungan yang jelas antara sifat medan elektromagnetik dengan
struktur atau sifat bawah permukaan bumi.
Hubungan yang penting yang menunjukkan kaitan tersebut adalah hukum
Ohm, yang menghubungkan rapat arus dengan intensitas medan listrik ditunjukkan
oleh persamaan 1.9 sebagai berikut.
J =σ E ……….…………....…………..………………………………..…..(1.9)
dengan σadalah konduktifitas listrik medium.
Konduktifitas suatu mineral tidak harus konstan, bergantung pada waktu,
temperatur, tekanan dan faktor lingkungan.
I.5.6.3. Permeabilitas listrik. Persamaan yang sangat berperan dalam aplikasi
persamaan Maxwel terhadap bumi, yang menghubungkan kuat medan magnetik dan
induksi magnetik ditunjukkan pada persamaan 1.10.
𝐵 = 𝜇𝐻 ………………………………………………………………………… (1.10)
dimana μ adalah permeabilitas magnetik medium. Berbeda dengan sifat
permitivitas
dan
konduktifitas
listrik,
dalam
eksplorasi
geofisika
harga
permeabilitas biasanya tidak bergantung dari kuat medan listrik, tetapi pada medan
magnetik.
Dimana:
ε
= ε0 xεr = permitivitas listrik medium (Farad / meter)
ε0
= permitivitas listrik dalam ruang vakum =8.85 x 10-12 (Farad / meter)
εr
= permitivitas relatif (konstanta dielektrik relatif) medium
μ0μr
= permeabilitas magnetik medium (Henry / meter)
μ0
= permeabilitas magnet dalam ruang vakum =4πx 10−7 (Henry / meter)
μr
= permebilitas magnet relatif medium
σ
= konduktivitas listrik (Siemens / meter).
21
I.5.7. Sifat dialektrik material bumi
Sifat dielektrik material bumi dapat dijelaskan dengan permitivitas listrik (ε)
dan konduktifitas listrik (σ) yang saling berhubungan (Reynold, 1997).
σ(ω)=σ'(ω) −jσ"(ω)….......……………………………………………..…….. (1.11)
ε(ω)=ε'(ω)+jε"(ω) ………………………………………………………….. (1.12)
Konduktivitas dan permitivitas dielektrik dinyatakan dalam persamaan
kompleks 1.11 dan 1.12 (Fuller dan Ward op. cit. Schön, 1996):
Batuan umumnya memiliki konduktivitas seperti halnya polarisasi. Untuk
medan istrik harmonik, konduktivitas efektif σ*didefinisikan oleh persamaan1.13
𝜎 ∗= 𝜎 ∗ ′ + 𝑗𝜎 ∗ " 𝜎 + 𝑗𝜔 ………...……………………………………..….(1.13)
Sedangkan permitivitas efektif ε∗didefinisikan pada persamaan 1.14.
ε*= ε*’j+jε*" =ε+j σ/ω …….……………..…………………………………… (1.14)
dari persamaan 1.8 dan 1.9 didapat persamaan 1.15.
𝜀 ∗ (𝜔) = 𝜀 ′ (𝜔) +
𝜎∗ (𝜔)
𝜔
+𝑗[
𝜎∗ (𝜔)
(𝜔)
+ 𝜀 " (𝜔)] ..………………………………….(1.15)
dengan melihat persamaan 1.8 dan 1.9 diatas jika frekuensi mendekati nol maka σ*
= nilai real konduktivitas, sedangkan jika frekuensi mendekati tak hingga maka ε*=
nilai real permitivitas.
I.5.8. Kecepatan gelombang radar
Kecepatan gelombang elektromagnet pada medium tergantung pada
frekuensi, konduktivitas listrik, konstanta dielektrik dan permeabilitas magnet, yang
secara matematis diturunkan pada persamaan 1.16 sebagai berikut:
𝑉𝑚 =
𝜔
𝛽
=
𝑐
𝜀 𝜇
√ 𝑟2 𝑟 √1+tan2 𝐷 +1
(meter/nanosekon)..…………………………..(1.16)
dimana c adalah kecepatan cahaya di udara, εradalah konstanta dielektrik relatif dan
22
μr adalah permeabilitas magnetik relatif. Tan2 D merupakan loss factor dengan Tan2
𝜎
D = 𝜀𝜔̅ Sebagian besar medium bawah permukaan kurang bersifat magnet (μr=1)
dan merupakan material dengan kondukivitas yang kecil (σ ≈0), maka kecepatan
gelombang dapat dituliskan seperti dibawah ini (Reynolds, 1997):
𝑉𝑚 =
𝑐
√ 𝜀𝑟
=
0,3
√ 𝜀𝑟
(meter/nanosekon) ………………………………………….. (1.17)
dimana εr adalah konstanta dielektrik relatif. Nilai dari konstanta diaelektrik da
kecepatan gelombang pada berbagai medium disajikan pada Tabel I.1
Tabel I.1 Konstanta dielektrik (K), Kecepatan (v) dalam berbagai medium untuk
frekuensi tengah 100MHz (Annan, 1997).
Material
air
water (fresh)
water (sea)
Polar snow
Polar ice
Temperature ice
Pure Ice
Freshwater lake ice
Sea ice
Permafrost
Coastal sand (dry)
Sand (dry)
Sand (wet)
Silt (wet)
Clay (wet)
Clay soil (dry)
Marsh
Agricultural land
Pastical land
Average Soil
Granite
Limestone
Dolomite
Dielectric
1
81
81
1,4 - 3
3 – 3,15
3,2
3,2
4
2,5 - 8
1-8
10
3-6
25 - 30
10
8 - 15
3
12
15
13
16
5-8
7-9
6,8 - 8
Velocity (mm/ns)
300
33
33
194 - 252
168
167
167
150
78 - 157
106 - 300
95
120 - 170
55 - 60
95
86 - 110
173
86
77
83
75
106 - 120
100 - 113
106 - 115
23
Lanjutan Tabel I.1
Material
Basalt (wet)
Shale (wet)
Sandstone (wet)
Coal
Quartz
Concrete
Asphalt
metal pipe
I.5.9.
Dielectric
8
7
6
4-5
4.3
6-8
3-5
3
Velocity (mm/ns)
106
113
112
134 - 150
145
55 - 112
134 - 173
173
Noise
Noise konsekuensi interaksi antara antena dengan tanah. Kondisi yang
bersifat basah pada sistem GPR lebih sering disebabkan oleh faktor kelistrikan
seperti kehadiran pembangkit listrik, pemancar FM dan komponen elektronika
lainnya disekitar area sistem dimana dapat memberikan interferensi sinyal.
Dalam prakteknya yang sering muncul adalah fenomena frekuensi rendah
(komponen DC) yang berinterferensi secara periodik, hal ini diakibatkan oleh
saturasi antara komponen instrumen penerima (receiver) dengan amplitudo tinggi
gelombang udara dan gelombang langsung sebagai menyebabkan hal ini terjadi,
dimana sinyal tidak merambat melainkan terdifusi kedalam tanah.
Selain itu noise yang cukup kuat dan mengganggu adalah surface scattering
(Sun dan Young, 1995). Noise ini dapat berupa refleksi maupun difraksi yang cukup
kuat yang diakibatkan oleh scatering oleh objek permukaan diatas tanah atau lintasan
survey. Kondisi permukaan tanah tertentu yang mengatenuasi lebih banyak sinyal
mengakibatkan sinyal banyak merambat dipermukaan dan fenomena ini terjadi.
Noise yang juga cukup mengganggu adalah ring-down, dimana noise ini
diakibatkan oleh ketidakcocokan impedansi antara antena (transmiter dan receiver)
dengan ground (Radzevicius, dkk, 2000). Noise ini biasanya berupa garis lurus, dan
kadang bisa salah diinterpretasikan sebagai reflektor lapisan atau multiple.
Download