BAB II Landasan Teori Tentang Waris Beda Agama Menurut Hukum Islam A. Pengertian Kewarisan Kewarisan dalam syariat Islam disebut waris merupakan salah satu hukum yang mengatur keberalihan harta dari sang ayah kepada para ahli warisnya. Dalam pengertiannya sendiri waris dibedakan menjadi dua sub pengertian. Baik itu secara etimologi maupun terminologi. 1. Menurut Etimologi Kata waris berasal dari bahasa Arab. Bentuk kata kerjanya adalah waras\a-yaris\u dan kata masdarnya mi> ra> s\, wirs\an, wiras\atan, dan irs\an. Dalam literatur Arab akan ditemukan kata ma> wa> ris\, bentuk jamak dari kata mi> ra> s.\ Namun banyak kitab fikih yang menggunakan kata fara> ’id yang merupakan sinonim dari kata mawa> ri> s\. Sedangkan dalam hadisnya, Rasulullah SAW menggunakan kata fara> ’id. 18 Sayyid Sa> biq dalam kitabnya fiqh as-sunnah menggunakan istilah fara> ’id}. Dalam kitab fiqh as-Sunnah dijelaskan bahwa fara> ’id} merupakan jamak dari kata fari> d}ah yang berasal dari fard}yang secara bahasa bermakna bagian. Sedangkan kata fard}secara syara‘ adalah bagian yang telah ditentukan 18 Ahmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1969), 1. 20 21 yang diperuntukkan kepada ahli waris, dan ilmu yang membahas mengenai hal ra> s| atau ‘ilmu fara> ’id}. ini dinamakan dengan ‘ilmu al-mi> Ungkapan yang dipergunakan oleh Alquran untuk menunjukkan adanya kewarisan adalah al-irs|, al-fara> ’id}, at-tirkah. a) Al -Irs| Makna dasar dari kata tersebut adalah perpindahan harta milik, atau perpindahan pusaka. 19 Dari makna dasar ini, maka al-irs| berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau perpindahan dari suatu kaum kepada kaum lainnya, baik berupa harta, ilmu, atau kemuliaan. 20 b) Al-Fara > ’id} Al-Fara> ’id}dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata farad}a. Dalam berbagai konteks kata-kata tersebut mengandung beberapa makna r (ketentuan), al-qat}‘u (ketetapan yang pasti), at-tabyi> n yaitu, at-taqdi> (penjelasan), dan al-hila> l (penghalalan). Sedangkan secara istilah maknanya adalah peralihan harta pewaris kepada ahli warisnya yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam Alquran dan hadis. 21 19 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-A‘la> m, (Beirut: Da> r al-Masyraq, 1994), 895. 20 Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 24. 22 c) At-Tirkah Secara bahasa at-tirkah diartikan sebagai harta peninggalan yang dipersiapkan oleh pewaris kepada ahli warisnya. Secara istilah tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta maupun hak. Tirkah dapat dibagikan kepada ahli waris setelah dikurangi biaya penguburan, pelunasan hutang, dan wasiat pewaris. 22 2. Menurut Terminologi Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan pengalihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. 23 Menurut Hilman Hadikusuma, hukum waris Islam adalah aturan-aturan yang mengatur tentang adanya hak bagi para ahli waris pria dan wanita atas pembagian harta peninggalan pewaris yang wafat berdasarkan ketetapan Allah SWT. 24 Sedangkan Hasbi ash-Shiddieqy mendefinisikan waris sebagai “ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapat warisan dan siapa yang tidak 21 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, 39. 22 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al- Ma’arif, 1975), 31. 23 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 141. 24 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991), 9. 23 mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya.” 25 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf (a), disebutkan bahwa “ Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan (at-tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”. 26 Jadi, berdasarkan pengertian di atas tidak ada perbedaan hukum kewarisan di dalam Islam dengan hukum kewarisan yang diatur di dalam KHI. Warisan dalam konteks yang lebih umum berarti perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan adalah “soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.” 27 B. Dasar Hukum Kewarisan Islam Dasar sumber hukum dalam agama Islam adalah Alquran, hadis, dan ijtihad.28 Begitu juga dalam hal waris, dasar hukumnya dapat kita lihat di dalam ketiga sumber hukum tersebut. 25 Teungku Muhammad Hasbi, ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), 6. 26 Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Salam Media, 2003), 56. 27 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, ( Bandung: Sumur Bandung, 1983), 13. 24 1. Alquran Allah SWT menjelaskan permasalahan waris secara rinci di dalam Alquran, yaitu terdapat dalam surat an-Nisa> ’ (4) ayat 7, 8, 11, 12, 33, dan 176 dan surat al-Anfa> l (8) ayat 72 dan 75, serta surat al-Ahza> b (33) ayat 6. a) QS. al-Nisa> ’ ayat 7: Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. 29 b) QS. al-Nisa> ’ ayat 8 : Artinya : Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka 30 perkataan yang baik. 29 Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemah,79. 30 Ibid., 79. 25 c) QS. al-Nisa> ’ ayat 11 : Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibubapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 31 F 31 Ibid., 79. 26 d) QS. al-Nisa> ’ ayat 12: Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu 27 dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha Penyantun. e) QS. al-Nisa> ’ ayat 33 : Artinya f) : Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. 32 QS. al-Nisa> ’ ayat 176 : Artinya 32 Ibid., 83. : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia 28 tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 33 2. Al- H{adi> s| Selain ayat-ayat Alquran di atas, terdapat pula penjelasan mengenai h{adi> s| nabi yang mengatur tentang berjalannya hukum kewarisan. Di antaranya adalah : 1) H{adi> s| nabi dari Ibnu ‘Abba> s RA yang berbunyi: ِ ِْ أ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رض اﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﱯ ﺻﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﺾ ﺑِﺄ َْﻫﻠِﻬﺎ َ َﳊ ُﻘ ْﻮا اﻟْ َﻔَﺮاﺋ (ﻓَﻤﺎ ﺑَِﻘ َﻰ ﻓَـ ُﻬ َﻮ ِﻷ َْوَﱃ َر ُﺟ ٍﻞ ذَ َﻛ ٍﺮ)رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ Artinya : “Berikanlah faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”(H.R.Muslim). 34 2) H}adi> s| Nabi dari Ja> bir bin ‘Abdillah yang berbunyi: 33 Ibid., 106. 34 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 13. 29 ِ ِ ﻋﻦ ﺟﺎﺑِ ِﺮﺑ ِﻦ ﻋﺒ ِﺪ ِ ِ َاﷲ ﻫﺎﺗ ِ ْ ﺖ اﳌﺮاَةُ ﺑِﺎِﺑْـﻨَﺘَـ ﺎن اِﺑْـﻨَﺘَﺎ َﺳ ْﻌ ِﺪ َ َاﷲ ﻗ ْ َﲔ َﳍَﺎ ﻓَـ َﻘﺎﻟ َ ﺖ ﻳَﺎ َر ُﺳ ْﻮ َل َْ ْ َ ْ َ َْ َﺎل َﺟﺎﺋ ِ ﺑ ِﻦ اﻟﱠﺮﺑِﻴ ِﻊ ﻗَـﺘَﻞ ﻳـﻮم اُﺣ ٍﺪ َﺷ ِﻬﻴ ًﺪا و اَ ﱠن ﻋ ﱠﻤﻬﻤﺎ اَﺧ َﺬ ﻣﺎ َﳍﻤﺎ ﻓَـﻠَﻢ ﻳ ْﺪع َﳍﻤﺎ ﻣﺎﻻً وﻻَ ﺗَـْﻨ ِﻜﺤ ﺎن َ ُ َ َْ َ ْ ْ َ َ َُ ُ َ ْ َُ َ َ َ ُ َ َ ْ ِ ِ ﻀﻲ اﷲ ِﰱ ذَﻟِﻚ ﻓَـﻨَـﺰﻟَﺖ اَﻳﺔٌ اﳌﻴـﺮ ِ ِ ﺎل ﻳـ ْﻘ ٌ اِﻻﱠ َوَﳍَُﻤﺎ َﻣ َ اث ﻓَـﺒَـ َﻌ َ ﺚ َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲ ُﺻﻠﱠﻰ اﷲ ُ َ َ َﺎل ﻗ َْ َ ْ َ َ ِﻋﻠَﻴ ِﻪ و ﺳﻠﱠﻢ ا ِ ْ ﺎل اُ ْﻋ ِﻂ اِﺑْـﻨَ َﱴ اﻟﺜـﱡﻠُﺜَـ ﲔ َو اُ ْﻋ ِﻂ اُﱠﻣ ُﻬ َﻤﺎ اﻟﺜ ُﱡﻤ ُﻦ َوَﻣﺎ ﺑَِﻘ َﻰ ﻓَـ ُﻬ َﻮ ﻘ ـ ﻓ ﺎ ﻬ ﻤ ﻋ ﱃ َ َ ﱢ َ َ َ َ َ َ َ َْ ْ (ﻚ)رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ َ َﻟ Artinya : “Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata: janda Sa’ad datang kepada Rasul Allah SAW bersama dua anak perempuannya. Lalu ia berkata: “Ya Rasul Allah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yang telah gugur secara syahid bersamamu di perang Uhud. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta”. Nabi berakta: allah akan menetapkan hukum atas kejadian ini. Kemudian turun ayat-ayat tentang kewarisan. Nabi memanggil si paman dan berkata: berikan dua pertiga untuk dua anak Sa’ad, seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya ambil untukmu”(H.R.Ibnu Majah).35 C. Rukun dan Syarat-syarat Kewarisan Dalam proses peralihan harta dari orang yang telah mati kepada yang masih hidup dalam hukum kewarisan Islam mengenal tiga unsur, yaitu pewaris, harta warisan, dan ahli waris. 36 a) Muwa> ris\ (pewaris), yaitu orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya. 37 Dalam KHI pasal 171 35 Ibnu Ma> jah,al-H}afiz}Abi>‘Abdillah Muhammad Ibnu Yazi> d al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Ma> jah, juz II, (Beirut: Da> r al-Kutub ‘Ilmiyah, 275 H), 908. 36 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 105. 30 huruf (b), “yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”. Dalam hal ini terdapat sedikit perbedaan, dalam hal agama. Menurut KHI, seorang pewaris tersebut haruslah beragama Islam. b) Mauru> s\, dinamakan juga dengan tirkah dan mi> ra> s\ ialah harta milik orang yang meninggal dunia (pewaris) setelah diambil sebagian harta tersebut untuk biaya-biaya perawatan jika ia menderita sakit sebelum meninggalnya sebelum meninggalnya, pemakaman jenasah, penunaian harta wasiat jika ia berwasiat dan melunasi segala utang-utangnya jika ia berutang kepada orang lain dengan sejumlah harta tersebut. 38Sedangkan dalam KHI Pasal 177 huruf (e) menyebutkan “harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untukkeperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. c) Wa> ris\, (ahli waris) adalah orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal baik karena hubungan keluarga, 37 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta; Gema Insani Press, 1995), 39. 38 A. Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, ( Jakarta; Raja Grafindo Persada, Cet.1, 1997), 33. 31 pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (Wala> ’). 39 Ahli waris yang dimaksud dalam pengertian di atas adalah ahli waris yang masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Hidupnya ahli waris dibagi menjadi dua, yaitu pertama, hidup secara de facto adalah kehidupan seseorang yang dapat dilihat, dirasakan, dan dia hidup di tengah-tengah kita dan bisa berinteraksi. Kedua hidup secara de jure yang artinya kehidupan janin yang berada dalam kandungan ibunya. 40 Sedangkan syarat-syarat kewarisan sendiri terdiri dari tiga macam : 41 1) Meninggalnya orang yang mewariskan. 2) Ahli waris betul-betul masih hidup, ketika orang yang mewariskan meninggal dunia. 3) Tidak ada penghalang dalam mempusakai. D. Asas-asas dalam Kewarisan Pembagian waris tidak mungkin terlepas dari asas-asas kewarisan, yang sumbernya digali dari sunnah nabi Muhammad SAW. Asas-asas yang dimaksud dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 42 39 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung; Pustaka Setia, Cet.1, 1999), 45. 40 Muhammad Thah}a Abul Ela Khalifah, Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam, (Solo, Tiga Serangkai, 2007), 18. 41 Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama, 2002), 4. 42 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, Cet. 1, 1995), 35. 32 a) Asas Ijba> ri> Secara etimologis ijba> ri> mengandung arti paksaan atau compulsory, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hukum waris berarti terjadi peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya. 43 Dalam literatur lain disebutkan, bahwa, yang dimaksud dengan ijba> ri>adalah berpindahnya harta warisan dari pewaris kepada ahli waris secara otomatis yang bagiannya sesuai dengan yang telah ditetapkan Allah SWT. 44 Tidak ada yang dapat mengganggu atau menentang bagian yang telah ditetapkan kepada ahli waris tersebut. Asas ijba> ri>dapat dilihat dari beberapa segi yaitu yang pertama dari segi pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia, dan yang kedua dapat dilihat dari segi jumlah harta yang telah ditentukan bagi masing-masing ahli waris. Dan unsur ijba> ri>lain yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam adalah penerima harta peninggalan sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris. 45 43 Ibid., 37. 44 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 17-18. 45 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 143. 33 Asas ijba> ri>ini terdapat dalam pasal 187 Kompilasi Hukum Islam ayat (2) yang berbunyi “Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta waris yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak”. Kata harus yang terdapat dalam pasal ini menunjukkan kepada ri> . Mengenai siapa saja yang berhak menjadi ahli waris terdapat asas ijba> dalam pasal 174 ayat (1) dan (2), serta bagian masing-masing ahli waris dinyatakan dalam pasal 176 sampai dengan pasal 182. b) Bilateral Menurut asas ini, kedua belah pihak dari kerabat keturunan lakilaki, maupun kerabat keturunan perempuan berhak untuk mendapatkan harta warisan. 46 Tidak satu pihak saja yang mendapatkan hak, seperti pada masyarakat matrilineal serta patrilineal di Indonesia. Asas bilateral, disebutkan pula di dalam pasal 174 ayat (1) mengenai kelompokkelompok ahli waris. c) Individual Individual dalam asas ini adalah bahwa harta yang diterima oleh ahli waris dapat dia miliki secara individu sesuai dengan bagiannya masing-masing. 47 Jadi, sistem kewarisan kolektif tidak dikenal di dalam 46 Ibid., 19-20. 47 Ibid., 21-23. 34 Islam, karena seorang ahli waris mempunyai hak penuh terhadap harta warisannya. Asas individual ini tercermin dalam pasal 176 sampai pasal 182 mengenai besarnya bagian ahli waris dan pasal 184 mengenai wali bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya. d) Keadilan berimbang Harus adanya keseimbangan antara hak dengan kewajiban dalam penerimaan harta warisan. 48 Di dalam Alquran disebutkan nilainya yaitu 2:1 antara lelaki dengan perempuan. Umur bukanlah menjadi faktor yang membedakan ahli waris. Dalam hubungannya dengan materi, keadilan itu bermakna keseimbangan antara kewajiban dan hak. Hak atau bagian yang diterima ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab atau kewajiban masing-masing terhadap keluarga. 49 Dilihat dari segi kebutuhan sesaat terlihat bahwa kesamaan jumlah penerimaan anak kecil dengan orang dewasa tidaklah adil, peninjauan kebutuhan bukan hanya bersifat sementara tetapi juga dalam waktu yang lama. 50 Asas keadilan berimbang, terdapat di dalam pasal yang membahas tentang besarnya bagian yang diperoleh, yaitu pasal 176 sampai pasal 180. 48 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, 37. 49 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 146. 50 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 27. 35 e) Kewarisan Semata karena Kematian Tanpa adanya peristiwa kematian, tidaklah berlaku hukum waris. Tidak ada yang disebut pewaris, harta warisan, maupun ahli waris. Dalam hukum kewarisan di Indonesia, terdapat tiga sistem yang berlaku yaitu kewarisan individual, kolektif, serta mayorat. Individual bercirikan adanya pembagian harta kepada orang-orang yang berhak baik dalam sistem pembagian pada masyarakat patrilineal ataupun masyarakat bilateral. 51 Asas ada yang meninggal dunia, terdapat dalam pasal 171 pada bab ketentuan umum. Dilihat dari asas-asas yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam di atas, jelaslah bahwa terdapat persamaan di antara asas-asas tersebut dengan asas-asas yang terdapat di dalam Alquran dan hadis. Dalam sistem kewarisan kolektif, harta warisan dimanfaatkan secara produktif terutama bagi mereka yang membutuhkan. Biasanya harta yang diwariskan berbentuk harta pusaka. 52Apabila hukum waris Islam akan diterapkan dalam sistem kewarisan ini, maka di antara ahli 51 52 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, 78. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 7. 36 waris bisa terjadi perdamaian. Sedangkan dalam sistem kewarisan mayorat, anak tertualah yang menguasai seluruh harta warisan. 53 E. Sebab-sebab Mendapatkan Harta Waris Ketika terdapat salah seorang dari keluarga kita meinggal. Tentunya tidak semua orang dari sanak saudara kita secara otomatis mendapatkan harta kewarisan. Berhak atau tidaknya seseorang menerima harta kewarisan tergantung siapa dia dan sebagai apa dia. Untuk itu menjadi penting dalam konteks ini pembahasan mengenai siapa saja yang mendapatkan harta waris menurut hukum Islam itu sendiri. Sejatinya dalam Islam, terdapat tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris, di antaranya adalah : a) Perkawinan (an-Nika> h}) Adanya hubungan pernikahan yang sah atau tidak fa< sid, sekalipun belum melakukan hubungan intim, maka seseorang itu berhak untuk mendapatkan harta warisan dari pasangannya dari bagian yang telah dipastikan, bukan berupa ‘as}abah. 54 Muhammad Ali Ash-shabuni mengatakan bahwa pernikahan yang dimaksud untuk dapat mewarisi harta dari masing-masing pihak adalah pernikahan yang dilakukan secara legal antara laki-laki dan perempuan, 53 Ibid., 7-8. 54 Wahbah Z> uhaiyliy, Fiqh Imam Syafi’i>(terj), (Jakarta: Halmahera, 2010), 80. 37 sekalipun belum terjadi hubungan intim antar keduanya. Dan pernikahan yang rusak tidak dapat menjadi sebab untuk mendapatkan waris. 55 Persyaratan bagi sebab-sebab bisa saling mewarisi dari akibat perkawinan adalah apabila ikatan perkawinan antara suami istri masih utuh atau dianggap utuh. Perkawinan dapat dikatakan utuh apabila di antara keduanya tidak dalam keadaan talak ba’in maupun raj’iy. Sedangkan perkawinan dianggap utuh jika perkawinan tersebut dalam keadaan talak raj’iy tetapi masih dalam masa ‘iddah. 56 b) Kerabat Hakiki (an-Nasb) Hubungan darah merupakan salah satu sebab dalam mendapatkan kewarisan. Yang dalam bahasa keseharian sering disebut sebagai kekerabatan. Kekerabatan yaitu hubungan nasabiyah antara pewaris dengan ahli waris. Kekerabatan merupakan sebab yang paling kuat dalam hal waris mewarisi. Kekerabatan ini terdiri atas al-furu> ’ (keturunan ke bawah), al-us}u> l (keturunan ke atas), dan al-hawasyi (keturunan menyamping). 57 Memerdekakan Budak (Wala> ’) c) 55 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, 39. 56 Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, 65. 57 Ibid., 116. 38 Secara etimologi wala> ’ berarti persahabatan, nikmat kemerdekaan, atau pertolongan untuk memperkuat kekerabatan. 58 Sedangkan secara terminologi wala> ’ adalah kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh syara’ antara orang yang memerdekakan budak dengan budaknya disebabkan adanya pembebasan budak. 59 F. Penghalang Kewarisan Pada dasarnya mereka yang terhalangkewarisannya merupakan para ahli waris yang berubah statusnya karena tindakan sesuatu ataupun karena keberadaannya dalam posisi tertentu sehingga berakibat pada jatuhnya hak mereka untuk mewarisi. 60 a) Budak Seorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiiki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik itu sebagai budak qinnun ataupun mudabbar. Dasar yang dijadikan perbudakan menjadi penghalang dalam kewarisan adalah firman Allah SWT dalam surat an-Nahl ayat 75: ... ب اﻟﻠﱠﻪُ َﻣﺜَﻼ َﻋْﺒ ًﺪا ﳑَْﻠُﻮًﻛﺎ ﻻ ﻳـَ ْﻘ ِﺪ ُر َﻋﻠَﻰ َﺷ ْﻲ ٍء َ َ ﺿَﺮ 58 Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, 68. 59 Suparman Usman, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 29. 60 A. Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, 29. 39 Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun...” 61 Dari ayat di atas seorang budak tidak dapat mendapatkan hak waris atau mewariskan hartanya kepada ahli warisnya adalah karena: 1) Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik, jika ia mendapat harta waris dari kerabat-kerabatnya maka harta tersebut secara otomatis jatuh kepada tuannya. 2) Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah terputus. 62 Perbudakan sebagai penghalang waris memang banyak disebutkan dalam kitab-kitab fikih, akan tetapi menurut Dr. Muh}ammad Yu> suf Mu> sa seharusnya perbudakan tidak dicantumkan dalam hal-hal yang menjadi penghalang waris karena pada saat ini perbudakan sudah tidak ada lagi dantidak perlu lagi untuk dibahas. 63 b) Pembunuhan Orang yang membunuh pewaris tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW : 164. 61 Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemah, 276. 62 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, 84. 63 Muh}ammad Yu> suf Mu> sa, at-Tirkah wa al-Mi> ra> s| fi al-Isla> m, (Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1967), 40 ٦٤ (ث )رواﻩ اﻟﺘﺮﻣﺬي َ ََﻋ ْﻦ أَﺑِﻰ ُﻫ َﺮﻳْـ َﺮَة َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗ ُ اﻟْ َﻘﺎﺗِ ُﻞ ﻻَ ﻳَ ِﺮ:" ﺎل Artinya : Abu< hurairah menyampaikan sabda Rasulullah SAW bahwa pembunuh tidak mewaris dari pewaris yang dibunuh (H.R. al Tirmiz}|i) Ada perbedaan di kalangan ulama mengenai penentuan jenis pembunuhan. Mazhab Hanafi menentukan bahwa jenis pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semnua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan saja yang bisa masuk dalam kategori menggugurkan hak waris. Golongan Hambali menilai, pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya untuk diqis}ha< s}h. Dan menurut pendapat mazhab Syafi’i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap akan menjadi penggugur dari hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman. 65 c) Berbeda Agama Seorang muslim tidak dapat mewarisi maupun diwarisi oleh orang nonmuslim, apapun agamanya. Adapun yang menjadi dasar atas 64 Abu Isa, Muhammad Bin Isa Bin Saurah At Tirmiz}I, Juz IV (Beirut: Da> r al-Kutub al‘Ilmiyah, tt ), 370. 65 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, 43. 41 terhalangnya seorang nonmuslim mewarisi seorang muslim adalah sabda Rasulullah SAW yang melarang kewarisan beda agama : ِ ﺣ َﺪﺛـَﻨَﺎ اَﺑﻮ ﻋ ِ ْ ﱭ ِﺷ َﻬﺎب َﻋ ْﻦ َﻋﻠِﻰ ﺑْ ِﻦ ُﺣﺴ ِ ْ َﺎﺻﻢ َﻋﻨ ﲔ َﻋ ْﻦ ُﻋ َﻤ ِﺮ ﺑْ ِﻦ ﻋُﺜْ َﻤﺎن َﻋ ْﻦ اُ َﺳ َﺎﻣ ِﺔ ﺑ ِﻦ َ ُ َ َ ِ ِ ٍ ِ ِ اﳌﺴﻠ ُﻢ اﻟ َﻜﺎﻓَﺮ َو َﻻ َ َﺻﻠَﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ ُ َﻻ ﻳَِﺮ:ﺎل َ َزﻳﺪ َرﺿ َﻲ اﷲُ َﻋْﻨـ ُﻬ َﻤﺎ أَ ﱠن اﻟﻨِﱠﱮ ْ ث ٦٦ ِ ِ .اﳌﺴﻠ َﻢ ُ ﻳَِﺮ ْ ث اﻟ َﻜﺎﻓ ُﺮ Artinya : “orang Islam tidak mendapat warisan dari orang kafir, dan orang kafir tidak mendapat warisan dari harta orang Islam.” Imam Asy-Syafi’I juga mengomentari hadist riwayat Usamah bin Zaid dengan pertanyaan : “lebih dekat manakah orang yang telah murtad kepada kekufuran atau kepada Islam, yang jelas menurutnya bahwa orang murtad itu telah kufur sehingga Ia masuk dalam kategori hadist di atas dan sama status hukumnya.67 Jumhur Ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda pendapat dengan sebagian ulama yang mengaku bersandar pada Mu’adz bin Jabbal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada 66 Ima> m al-Bukha> ry, Sah}i> h}al-Bukha> ry, Juz IV, (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), 325. 67 Asy-S> yafi’I, Al-Umm,( Mesir; Al-Azhar, Cet IV, 1993) , 115-117. < 42 orang kafir. Alasan mereka adalah Islam ya’lu<wa la<yu’la<‘alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya). 68 Pendapat di atas senada dengan apa yang dianut oleh kalangan kelompok S}yiah Ima> miyah, mereka berpendapat bahwa bila terdapat dalam satu keluarga, sang ayah kafir dan sang anak adalah seorang muslim. Ia akan tetap berhak mewarisi orang tuanya yang kafir (tanpa berhak untuk diwarisi oleh orang kafir). 69 Rabiah Ibnu Abdul Aziz dan Ibnu Abi al-lail mengatakan bahwa “jika seseorang muslim telah murtad maka hartanya tidak bisa diwariskan oleh ahli warisnya orang muslim, oleh karena itu hartanya menjadi hak umat Islam yang ditempatkan di baitul maal. Bahkan al-Zarqani mengatakan bahwa hadist Usamah bin Zaid telah menjadi kesepakatan ulama terdahulu dan diikuti oleh ulama-ulama yang datang kemudian. Tidak ada perselisihan di antara mereka. Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa orang murtad dengan orang kafir sama, hal itu berdampak juga pada persamaan pewarisan keduanya. Semua harta yang telah diperoleh setelah murtad otomatis menjadi hak umat Islam dan diserahkan kepada baitul mal baik Ia meninggal dalam keadaan murtad, 68 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, 43. 69 A. Sukarnis Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, 29. 43 dibunuh atau bergabung di negara musuh. Kecuali orang itu bertaubat dan kembali masuk Islam maka hartanya kembali menjadi haknya dan menjadi hak ahli warisnya yang muslim. Sedangkan Al-Qurtubi dan Al-Kiya Al-Harrasi berpendapat tidak berbeda dengan pendapat umumnya para ulama di atas, menurutnya status orang murtad dengan orang kafir dalam masalah kewarisan yaitu bahwa mereka terhalang untuk saling mewarisi dengan ahli warisnya yang muslim. Mereka melandaskan pendapatnya pada hadist Usamah Ibn Zaid Ibnu Kahab yang menerangkan tentang cakupan hadistnya bersifat orang kafir secara umum, baik karena kafir karena sebab murtad dan ataupun bukan karena murtad. 70 70 Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah : Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan Hubungan Internasional dalam Islam (Jogjakarta; LkiS, 1990), 337.