BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber daya tambang dan mineral yang tinggi. Salah satu komoditas utama di sektor tambang dan mineral tersebut adalah emas yang merupakan logam mulia. Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) yang dikelola oleh masyarakat atau kelompok masyarakat memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Mining, Minerals, and Sustainable Development Project of the International Instiute for Enviroment and Development menunjukkan bahwa terdapat 713 lokasi pertambangan skala kecil dan ilegal yang umumnya didominasi oleh pertambangan emas menyebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi pada tahun 2001 (Aspinall, 2001). Data terbaru menunjukkan bahwa titik rawan lokasi PESK di Indonesia mengalami peningkatan yang drastis dari tahun 2005-2010. Tercatat terdapat sekitar 900 titik rawan PESK dengan sekitar 250.000 petambang yang terlibat di dalamnya (Ismawati, 2010). Merkuri dalam bentuk amalgam umumnya digunakan pada aktivitas pertambangan emas skala kecil pada tahap pemurnian. Limbah merkuri yang bercampur lumpur dan air sisa aktivitas pertambangan emas ini ditemukan mencemari tanah dan sumber air di sekitar pertambangan. Walaupun pertambangan emas mengunakan merkuri dalam bentuk amalgam (merkuri inorganik), keracunan merkuri organik pada masyarakat sekitar pertambangan sering kali terjadi. Hal ini diakibatkan oleh fenomena metilasi oleh 1 2 mikroorganisme di alam yang mengubah merkuri inorganik yang terakumulasi di alam menjadi merkuri organik (Hines et al., 2012). Merkuri organik diketahui memiliki efek toksik lebih tinggi dibandingkan merkuri inorganik (Hoffman et al., 2007) dan keracunan merkuri organik seperti metilmerkuri telah menjadi salah satu permasalahan masyarakat utama di wilayah dengan aktivitas PESK yang tinggi. Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu titik rawan lokasi PESK yang mulai berkembang pada tahun 2007. Pada tahun 2010 dilaporkan telah terdapat sekitar 20 titik PESK di Kecamatan Sekotong dengan sekitar 5000 orang petambang yang terlibat di dalamnya (Ismawati et al., 2013). Walaupun merupakan lokasi titik rawan PESK yang relatif baru, berbagai penelitian menunjukkan adanya dampak pencemaran merkuri baik pada lingkungan maupun pada kesehatan manusia (Ismawati et al., 2013; Krisnayanti et al., 2012; Sinaga et al.,2015). Tingginya paparan merkuri pada manusia juga berdampak pada populasi mikroflora di dalam tubuh. Pike et al. (2002), Skurnik et al. (2010) dan Wireman et al. (1997) melaporkan adanya bakteri resisten merkuri pada populasi mikroflora oral dan gastrointestinal. Resistensi terhadap senyawa merkuri dan turunannya diketahui berkaitan erat dengan resistensi terhadap berbagai golongan antibiotik (Brooks et al., 2007). Gen yang mengkode sifat resisten terhadap merkuri dan senyawa logam berat lainnya pada umumnya terletak pada plasmid yang sama sehingga suatu bakteri dapat menunjukkan sifat resisten terhadap logam berat dan antibiotik secara bersama-sama. 3 Tetrasiklin merupakan salah satu golongan antibiotik yang paling umum digunakan baik pada manusia atau hewan ternak. Antibiotik ini merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang efektif terhadap bakteri gram positif maupun negatif (Brooks et al., 2007). Resistensi terhadap tetrasiklin diketahui mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sifat resistensi terhadap tetrasiklin pada bakteri dapat terjadi melalui beberapa mekanisme seperti pompa efluks, proteksi ribosom dari aktivitas tetrasiklin, dan modifikasi antibiotik yang dikode oleh berbagai jenis gen (Black, 2008). Gen yang berkontribusi pada resistensi tetrasiklin sangat bervariasi dan dapat berbeda-beda pada tiap golongan bakteri. Lebih dari 38 jenis gen resistensi tetrasiklin telah diketahui hinga saat ini. Sebanyak 60% dari total gen resistensi tersebut mengkode protein pompa efluks seperti tet(L) dan tet(K). Selain pompa efluks, protein proteksi ribosomal merupakan mekanisme resistensi terhadap tetrasiklin yang juga paling umum dijumpai yang dimediasi oleh gen-gen seperti tet(M), tet(O), tet(W), dan tet(S) (Roberts et al., 2005). Gen-gen resistensi tetrasiklin ini dapat dikode pada materi genetik mobil seperti plasmid, transposom, dan cassetee, atau terdapat pada DNA kromosomal. Walaupun demikian, keberadaan gen-gen terkait resistensi tetrasiklin tersebut pada kromosom ataupun plasmid tidak selamanya berkorelasi dengan sifat fenotipik resistensi tetrasiklin. Golongan Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan salah satu golongan mikroorganisme yang secara alamiah dapat dijumpai pada tubuh manusia sebagai mikroflora. Saluran gastrointestinal, kulit, oral, jaringan mukosa, air 4 susu, feses, dan urine merupakan beberapa habitat BAL di dalam tubuh. Beberapa jenis BAL diketahui sebagai probiotik yang telah lama diketahui memiliki efek positif bagi kesehatan inangnya. Kejadian resistensi antibiotik pada BAL dapat terjadi akibat paparan antibiotik, transfer materi genetik, atau paparan senyawa lain salah satunya merkuri yang dapat menginduksi terjadinya ko-resistensi (Pike et al., 2002; Skrunik et al., 2010; Wireman et al., 1997). Dalam hubungannya dengan resistensi terhadap logam berat seperti metilmerkuri, kajian mengenai resistensi antibiotik pada populasi bakteri resisten metilmerkuri yang bersumber dari tubuh manusia belum banyak dilakukan di Indonesia. Lebih lanjut informasi genotipik yang berkaitan dengan resistensi tetrasiklin yaitu keberadaan gen tet(O) dan tet(L) pada isolat BAL yang diisolasi dari Indonesia juga masih minim. Analisis keberadaan gen-gen resistensi tersebut khususnya pada plasmid ini dapat memberikan suatu gambaran secara detail mekanisme resistensi tetrasiklin yang terjadi. Resistensi BAL terhadap antibiotik dapat menjadi suatu hal yang menguntungkan sekaligus merugikan karena dapat menjadi sumber penyebaran resistensi antibiotik (Patel et al., 2012). Isolat yang menunjukkan sifat resistensi terhadap metilmerkuri dengan atau tanpa resistensi antibiotik yang menyertai dapat digunakan sebagai kandidat probiotik yang baik untuk detoksifikasi keracunan merkuri pada manusia. Potensi BAL sebagai agen detoksifikasi logam berat memang merupakan suatu kajian yang menarik. BAL yang berpotensi sebagai agen detoksifikasi arsenik dan kromium 5 melalui mekanisme biosorpsi telah dilaporkan sebelumnya (Bhakta et al.,2010). Akan tetapi isolat BAL dengan kemampuan detoksifikasi merkuri khusunya metil merkuri hingga kini belum diketahui dengan jelas. I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, permasalahan yang muncul sebagai dasar penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pola resistensi isolat BAL yang resisten metilmerkuri yang diisolasi dari masyarakat Desa Sekotong Barat terhadap tetrasiklin? 2. Bagaimana distribusi gen tet(O) dan tet(L) plasmid pada isolat BAL resisten metilmerkuri yang diisolasi dari masyarakat Desa Sekotong Barat? 3. Bagaimana hubungan tingkat resistensi tetrasiklin terhadap keberadaan gen tet(O) dan tet(L)) plasmid pada isolat BAL resisten metilmerkuri yang diisolasi dari masyarakat Desa Sekotong Barat? I.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola resistensi isolat BAL yang resisten metilmerkuri yang diisolasi dari masyarakat Desa Sekotong Barat terhadap tetrasiklin. 2. Mengetahui distribusi gen tet(O) dan tet(L) plasmid pada isolat BAL resisten metilmerkuri yang diisolasi dari masyarakat Desa Sekotong Barat. 6 3. Mengetahui hubungan antara tingkat resistensi isolat BAL resisten metilmerkuri yang diisolasi dari masyarakat Desa Sekotong Barat terhadap keberadaan gen tet(O) dan tet(L) pada plasmid. I.4. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian yang telah dilakukan terkait dengan resistensi senyawa merkuri dan antibiotik pada mikroflora normal antara lain: 1. Studi retrospektif yang dilakukan oleh Skurnik et al. (2010) yang berjudul “Is exposure to mercury a driving force for the carriage of antibiotic resistance genes?”. Penelitian oleh Skurnik et al. (2010) ini mengkaji parameter yang sama dengan parameter yang akan dikaji pada penelitian ini yaitu resistensi bakteri terhadap antibiotik akibat paparan merkuri pada dua populasi manusia dewasa dengan tingkat paparan merkuri yang berbeda. Akan tetapi pada penelitian oleh Skurnik et al. (2010), analisis hanya dilakukan terbatas pada bakteri Escherichia coli feses. Penelitian tersebut menemukan frekuensi E.coli resisten terhadap merkuri dan antibiotik lebih tinggi pada populasi yang tinggal di lingkungan dengan pencemaran merkuri tinggi. 2. Penelitian case-control yang dilakukan oleh Pike et al. (2002) yang berjudul “Prevalence and antibiotic resistance profile of mercuryresistant oral”. Penelitian oleh Pike et al. (2002) tersebut mengkaji parameter yang sama dengan parameter yang akan dikaji pada penelitian ini yaitu resistensi antibiotik pada bakteri resisten merkuri. Akan tetapi 7 pada penelitian oleh Pike et al. (2002), analisis difokuskan pada bakteri oral pada subjek anak-anak dengan dan tanpa amalgam filling pada giginya. Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan resistensi antibiotik dan merkuri yang signifikan pada kedua kelompok tersebut. 3. Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Wireman et al. (1997) yang berjudul “Association of mercury resistance with antibiotic resistance in gram-negative fecal bacteria of primates”. Penelitian oleh Wireman et al. (1997) ini menganalisis hubungan antara resistensi merkuri dan antibiotik pada bakteri fecal gram negatif yang juga akan dianalisis pada penelitian ini. Penelitian oleh Wireman et al. (1997) dilakukan pada subjek hewan primata dengan dan tanpa amalgam filling pada giginya bukan pada manusia seperti yang akan dilakukan pada penelitian ini. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa lokus mer pada isolat bakteri resisten merkuri yang diisolasi dari kelompok dengan amalgam fillings berkaitan dengan resistensi antibiotik multipel. 4. Penelitian case-control yang dilakukan oleh Osterblad et al. (1995) yang berjudul “Antimicrobial and mercury resistance in aerobic gram-negative bacilli in fecal flora among persons with and without dental amalgam fillings”. Penelitian oleh Osterblad et al. (1995) dan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan pada fokus kajian yaitu hubungan paparan merkuri dengan resistensi antibiotik bakteri feses pada subjek manusia dewasa. Akan tetapi analisis pada penelitian oleh Osterblad et al. (1995) dilakukan hanya pada bakteri golongan Bacillus aerobik gram negatif. 8 Penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada kadar merkuri feses kelompok dengan amalgam fillings akan tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan pada frekuensi resistensi antibiotik dan merkuri. Penelitian-penelitian tersebut secara umum menganalisis resistensi terhadap merkuri inorganik dalam bentuk merkuri klorida dan antibiotik pada mikroflora gastrointestinal umum seperti E.coli dan mikroflora oral. Pada penelitian ini dilakukan analisis resistensi tetrasiklin terhadap merkuri organik dalam bentuk metilmerkuri klorida pada mikroflora gastrointestinal khususnya golongan BAL yang berpotensi dikembangkan sebagai kandidat probiotik. I.5. Manfaat Penelitian a. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini merupakan penelitian dengan bidang kajian yang baru dan merupakan penelitian pendahuluan dalam upaya menjadikan probiotik sebagai agen detoksifikasi metilmerkuri yang diharapkan dapat membuka kesempatan untuk penelitian lebih lanjut. b. Bagi Pemerintah Daerah Kecamatan Sekotong Sebagai sumber informasi bagi pemerintah dalam menunjang perumusan kebijakan-kebijikan terutama yang berkaitan dengan dampak pencemaran merkuri terhadap kesehatan masyarakat. 9 c. Bagi masyarakat Memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai dampak akumulasi merkuri terhadap kesehatan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menangani pencemaran merkuri.