menyatakan bahwa famili Palmae atau Aracaceae genus Elaeis ini

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kelapa Sawit
Dalam Latiff (2000) menyatakan bahwa famili Palmae atau Aracaceae
genus Elaeis ini dikelompokkan, diperkirakan berusia sama tuanya dengan famili
atau tanaman berbunga yang fosilnya ditemukan pada batuan Cretaceous yang
berusia kurang lebih 120 juta tahun. Banyak taksonomis tanaman yang
mempercayai bahwa monokotiledon yang pertama telah bercabang keluar dari
cadangan dikotiledon primitif yang merupakan nenek moyang dari semua
monokotiledon. Garis perkembangan keturunan dari genus Elaeis dapat
diGambarkan dalam bagian skematik seperti Gambar berikut:
Primitive Dicots
(extinct)
Ancestral Complex of Monocots
(extinct)
Superorder Arecidae
Other superorder complexes
Order Arecales
Other order complexes
Family Arecaceae
Other family complexes
Sub Family Cocoideae
Other subfamily complexes
Genus Elais
Other genera complexes
Species
E. guineensis Jacq (West Africa)
E. oleifera (H.B.K.) Cortes (Central and South Africa)
Gambar 1. Skema Perkembangan Genus Elaeis
5
Universitas Sumatera Utara
Genus Elaeis yang termasuk ke dalam sub famili Cocoidae, yang termasuk juga
kelapa sayur, yang dipercaya berasal baik dari Afrika atau Amerika dan
merupakan satu dari 240 genera famili Arecaceae yang tidak bisa terlihat pada
isolasi dari genera yang lain disebabkan oleh tingginya tingkat homogenitas
diantara kromosom dari tanaman palma. Spesies pertama dari genus E. guineensis
dinyatakan oleh Jacquin tahun 1763. Spesies kedua merupakan E. oleifera
(H.B.K) Cortes, kelapa sawit Amerika Selatan biasanya disebutkan sebagai
E.melanococca dan digunakan oleh Gaertner pada tahun 1897 (basionymnya mula
– mula disebutkan sebagai Alfonsia oleifera), oleh H.B.K. di tahun 1816). Spesies
ini dibedakan dari E. guineensis oleh batangnya pertama – tama tegak, segera
selanjutnya menjadi terbaring, dan pertumbuhannya lambat. Daunnya berlekatan
pada satu bidang dan tidak ada pembengkakan didasarnya, duri pada batang
pelepah pendek dan tajam; seludang bunga betina keras, tandan buah mengerucut,
dengan mesokarp yang tipis, sewaktu matang berwarna kuning pucat sampai
oranye cerah. Selanjutnya ia dikelompokkan pada genus yang lain dan dirujuk
sebagai Corozo oleifera oleh (H.B.K.) Bailey.
Sumber Daya Genetik, Morfologi, dan Fisiologi Tanaman Kelapa Sawit
Dalam Rajanaidu, et al (2000) bahwa famili Palmae (monocotyledon)
dikelompokkan ke dalam enam sub famili. Sub famili Arecordeae dikelompokkan
lebih jauh lagi menjadi suku dan sub suku. Genus Elaeis dan Barcella jatuh ke
dalam suku Cocoeae dan sub suku Elaeidinae. Genus Elaeis terdiri atas dua
spesies, yaitu E. guineenis dan E. Oleifera (2n = 32). Dilaporkan juga bahwa
panjang kromosom kelapa sawit berkisar 1.00 m – 3.89 m. Jumlah DNA dalam
nukleus diploid dari E. guineenis diperkirakan sekitar 2 picogram yang diperoleh
6
Universitas Sumatera Utara
dengan perhitungan satu genom berukuran sekitar 1.8 x 109 pasangan basa. Tidak
ada perbedaan dalam penjang kromosom antara E. guineenis dan E. Oleifera.
Tanaman kelapa sawit dipercaya berasal dari Afrika Barat meski demikian patut
diperhitungkan Amerika Selatan sebagai awalnya. E. oleifera merupakan endemik
untuk Amerika Tengah dan Selatan dan telah berhibiridisasi dengan E. guineensis.
Menurut Latiff (2000) pelepah kelapa sawit terdiri dari helaian daun, yang
memiliki lamina dan tulang daun, rakis dimana helaian daunnya melekat, pangkal
daun dan seludang pelepah. Hanya sisa dari seludang pelepah yang tampak secara
kasat mata; pada pelepah yang sedang berkembang seludang berbentuk tabung,
menyelubungi sepenuhnya, namun sejalan dengan berkembangnya pembungkusan
oleh seludang akan terhenti, seludang yang berserat akan memisah dan pecah,
meninggalkan bentuk sebarisan duri dikedua pinggiran pelepah yang merupakan
awal dari seludang berserat tersebut. Helaian daun panjang, berkisar dari 55 cm
sampai dengan 65 cm dan sering juga berukuran 100 cm dan sempit dengan lebar
berkisar 2.5 cm sampai dengan 4.0 cm dan tulang daun di laminanya. Kutikulanya
tebal, dan memiliki ketahanan yang tinggi terhadap difusi uap air. Stomata hanya
terletak di bawah permukaan daun. Helaian daun tersusun bergantian dalam dua
bidang. Duri pendek sering dijumpai pada dasar pelepah dan juga pada spikelet
bunga. Mahkota terdiri dari 40 – 50 pelepah yang terbuka dan dalam kerucut pusat
yang lebih lanjut terdapat 40 – 50 dalam berbagai tingkat perkembangan. Dua
selubung rudimenter, terkadang tiga dihasilkan oleh bibit sebelum pelepah
pertama keluar dari mahkota, dan satu pelepah dihasilkan per bulan sampai bibit
berusia enam bulan; saat beberapa pelepah sempurna dan berbentuk runcing,
selanjutnya helaian daun terbawah tulang daunnnya akan berbelah pada kurang
7
Universitas Sumatera Utara
lebih setengah panjangnya; berikutnya pelepah akan berpecah ditulang daun,
membentuk anak daun yang masih bergabung pada ujung daun; selanjutnya
pelepeah memiliki anak daun yang seluruhnya bebas. Jumlah pelepah yang
dihasilkan setahun meningkat sebesar 30 – 40 pada umur 3 – 4 tahun dan akhirnya
akan menurun menjadi 18 – 25 daun.
Berdasarkan hasil penelitiannya Maizura et al (2006) menemukan bahwa
hasil analisa keragaman dari plasma nutfah lainnya yang berasal dari Nigeria,
Congo DR, Tanzania, Angola, Senegal, Sierra Leone dan Guinea menunjukkan
bahwa populasi liar ini memiliki alel asing yang tidak dimiliki oleh populasi Deli
Dura. Ada lima alel yang hilang dalam populasi ini dan diasumsikan bahwa hal
ini terjadi akibat pengurangan oleh seleksi (selection drift) dalam proses
pemuliaan. Hal ini merupakan penjelasan yang masuk akal untuk fenomena yang
terjadi dalam kelapa sawit. Seleksi yang intensif telah dilakukan dalam populasi
kelapa sawit selama bertahun – tahun. Bahan tanaman ini hanya membawa
sekumpulan alel saja yang hadir di generasi tetuanya. Beberapa alel hilang
disebabkan oleh proses seleksi dalam proses program pemuliaan tanaman kelapa
sawit. Secara umum untuk semua peubah keragaman genetik yang dihitung,
koleksi sumber daya genetik yang diamati menunjukkan tingkat polimorfik yang
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi Deli Dura. Berdasarkan hasil
penelitian ini, polimorfisme kelapa sawit dari Nigeria memiliki nilai tertinggi
67.2%, diikuti dengan Kamerun 65.5%, Kongo DR 62.1%, Tanzania 62.1%,
Angola 56.9%, dan Madagaskar 46.6%. Pola yang sama juga muncul pada negara
– negara yang berlokasi di bagian barat dari daerah penyebaran kelapa sawit.
Kecuali untuk Ghana, tingkat polimorfisme tertinggi diamati pada populasi dari
8
Universitas Sumatera Utara
Sierra Leone, diikuti oleh Guinea dan Senegal (masing – masing 51.7 dan 55.2%)
dan yang terakhir Gambia.
Otitoju dan Onwurah (2010) menyebutkan bahwa produktivitas tanaman
merupakan suatu proses yang unik yang sangat tergantung pada jumlah klorofil
yang ada di dalam kloroplas. Klorofil merupakan pigmen yang memberikannya
karakter warna hijau, yang memainkan peranan yang unik dalam fisiologis,
produktivitas, dan ekonomi dari tanaman hijau termasuk
Elaeis guineensis.
Adapun jumlah klorofil dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan
nutrisi dan cekaman lingkungan seperti kekeringan, salinitas, polusi, minyak dan
lain sebagainya.
Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Breure (2003) bahwa
magnesium merupakan komponen penting dari klorofil, sehingga kekurangannya
dapat menyebabkan pengurangan fotosintesis. Kekurangan Mg biasa ditemukan
pada tanaman kelapa sawit dan pemberian pemupukan biasanya efektif. Akhir –
akhir ini ditemukan bahwa hasil analisa regresi berganda indukan dura dan
pisifera bertanggung jawab terhadap 80% keragaman produksi dari turunan
Teneranya pada lingkungan dengan jenis tanah vulkanik muda. Dengan demikian
seleksi untuk kadar Mg cenderung merupakan pendekatan yang memungkinkan
pada lingkungan yang sulit untuk menaikkan kadar Mg daun melalui pemberian
pemupukan mineral.
9
Universitas Sumatera Utara
Analisis Keragaman Fenotifik Kelapa Sawit
Dalam Purwantoro et al (2005) kekerabatan secara fenotipe merupakan
kekerabatan yang didasarkan pada analisis sejumlah penampilan fenotipe dari
suatu organisme. Hubungan kekerabatan antara dua individu atau populasi dapat
diukur berdasarkan kesamaan sejumlah karakter dengan asumsi bahwa karakterkarakter berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan susunan genetik. Gen
merupakan potongan DNA yang hasil aktivitasnya (ekspresinya) dapat diamati
melalui perubahan karakter morfologi yang dapat diakibatkan oleh pengaruh
lingkungan. Hubungan kekerabatan tersebut dapat dipelajari dengan menggunakan
penanda sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik pada tanaman kelapa
sawit karakter dari pelepah kelapa sawit seperti pengukuran karakter daun
(panjang pelepah, jumlah pelepah, tebal dan lain – lain), nisbah kelamin dan
lainnya.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Purba et al, 2000 bahwa
induk dalam populasi Deli terkelompok secara erat, yang mencerminkan dasar
genetik yang sempit. Keragaman fenotifik antar induk dalam populasi ini mungkin
disebabkan oleh tingginya heterozigositas dari empat tetuanya. Adanya kemiripan
antara Kamerun dan populasi Deli cukup mengejutkan, disebabkan Populasi Deli
dipercaya berasal dari bagian lain Afrika. Bahan tanaman “Kamerun”
diintroduksi ke Indonesia oleh perusahaan perkebunan Jerman pada tahun tiga
puluhan. Diduga bahan tanaman itu berasal dari Kamerun disebabkan negara ini
dijajah oleh Jerman pada waktu tersebut.
Bakoume (2011) menyebutkan bahwa bervariasinya keragaman alel
berdasarkan nilai absolut dari nilai Ae (jumlah alel efektif) dalam daerah
10
Universitas Sumatera Utara
penyebaran populasi kelapa sawit Afrika kemungkinan besar disebabkan oleh
pergeseran genetic (genetic shift), seleksi alam dan campur tangan manusia yang
beragam dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Pengaruh jangka panjang dari
pergeseran genetik adalah mengurangi keragaman dalam suatu populasi; hal ini
menyebabkan hilangnya suatu alel dari populasi tersebut. Bertahannya tipe buah
kelapa sawit tertentu dalam hutan alaminya ditentukan oleh seleksi alam.
Kebanyakan bunga betina dari pisifera secara nyata akan mengalami busuk secara
dini sementara beberapa buah masak yang dihasilkan membusuk sebelum benih
berkembang menjadi bibit. Hal ini merupakan seleksi yang tetap terhadap gen –
gen pisifera. Merupakan suatu keistimewaan tersendiri pada seleksi alam bahwa
kebanyakan populasi liar hutan kelapa sawit didominasi oleh jenis Dura. Hal ini
diasumsikan terjadi karena cangkang yang tebal dari buah Dura memberikan
perlindungan yang lebih baik terhadap gangguan binatang maupun manusia, dan
kekeringan. Proporsi jenis Tenera biasanya beragam secara luas dan diasumsikan
sebagai suatu ukuran jumlah seleksi yang telah berlangsung pada daerah tersebut
baik yang disengaja maupun tidak disengaja oleh manusia. Praktek ini mampu
merubah frekuensi dari ekspresi berbagai tipe buah yang mempengaruhi
kelangsungan dari gen – gen tertentu. Sehingga beberapa gen yang
menguntungkan maupun tidak menguntungkan bisa saja tereliminasi dari populasi
tertentu. Pola distribusi secara geografis juga merefleksikan pengaruh dari seleksi
manusia dalam lingkungan khusus sama halnya dengan perkembangan suatu jenis
tanaman pada lokasi yang berbeda. Nilai rerata dan jumlah alel per lokus efektif
yang nyata rendah pada bahan genetik Deli (masing – masing 76% dan 79% untuk
nilai rerata A dan Ae pada penelitian ini) sejalan dengan sempitnya keragaman
11
Universitas Sumatera Utara
dasar alelik dari populasi ini yang diturunkan hanya dari empat tanaman kelapa
sawit yang diintroduksi pada tahun 1848 di Bogor, Indonesia. Rendahnya nilai ini
juga menggambarkan seleksi yang berlangsung bertahun – tahun yang mengarah
pada tersingkirnya alel – alel tertentu.
Menurut Rajanaidu et al (2000) diketahui secara umum bahwa sempitnya
cadangan gen merupakan tantangan utama untuk kemajuan seleksi pada tanaman
kelapa sawit. Keadaan ini memberikan dorongan untuk mencari bahan genetik
kelapa sawit dari lingkungan alaminya. Setelah perang dunia kedua bahan genetik
kelapa sawit di Kongo diambil dari beberapa lokasi. Antara 1961 – 1965, pemulia
dari NIFOR (Nigerian Institute for Oil Palm Research) mengumpulkan koleksi
bahan genetik kelapa sawit dari pasar lokal dan melalui kepala desa. Bahan
tanaman ini kemudian berada di NIFOR. Tujuh puluh dua turunan persilangan
terbuka diamati dan tanaman yang terunggul diintroduksi ke dalam program
pemuliaan. Blaak (1967) mengambil bahan tanaman di Dataran Tinggi Bamenda
di Kamerun dan beberapa diantaranya ditanam di Lobe, Kamerun dan sebagian
lainnya disebarkan ke berbagai tempat. Di Pantai Gading, pekerja kelapa sawit
Perancis secara sistematis mengamati kelapa sawit liar dan tanaman terpilih
dilakukan pengujian keturunan untuk nilai pemuliaannya. Yang paling akhir
Institute de Reseherches pour les Huiles et Oleagineux (IRHO) memilih 38
tanaman di Pobe dan Dahomey dan empat pohon di Bingerville Pantai Gading.
Dan ini membentuk persediaan dasar genetik mereka. Program sumber genetik
meliputi lima langkah utama, adalah masing – masing:
12
Universitas Sumatera Utara
Koleksi Plasma Nutfah
Karakterisasi
Evaluasi
Pemanfaatan
Konservasi
Menurut Soedomo (2006) salah satu cara untuk memperluas keragaman
genetik adalah dengan melakukan introduksi tanaman. Namun tidak semua
sumber genetik hasil introduksi dapat berkembang dengan baik di Indonesia,
sehingga diperlukan adanya persilangan – persilangan dengan jenis lokal. Potensi
genetik dari varietas – varietas ini belum teridentifikasi, oleh sebab itu sebelum
kita menggunakan sumber genetik tersebut sebagai tertua persilangan perlu
dievaluasi terlebih dahulu.
Maizura (2006) menyatakan bahwa di Malaysia sumber daya genetik
kelapa sawit tetap dipertahankan diluar lingkungan aslinya pada kebun koleksi
telah dikarakterisasi dengan dengan menggunakan beberapa tipe penanda. Usaha
pertama yang dilakukan dipusatkan pada sifat – sifat morfologis. Beberapa
tanaman dari plasma nutfah ini menunjukkan produksi yang lebih tinggi,
pertumbuhan tinggi yang lambat, nilai bilangan iodine yang tinggi, kandungan
kernel yang tinggi dan vitamin E yang tinggi.
Karakterisasi dan kuantitifikasi dari keragaman genetik sejak dahulu
merupakan tujuan utama dalam program pemuliaan tanaman kelapa sawit.
Ketersedian informasi keragaman genetik diantara aksesi kelapa sawit penting
untuk penggunaan yang masuk akal dari sumber genetik. Lebih dalam lagi,
analisis keragaman genetik baik dalam maupun diantara bahan tanaman elit
merupakan ketertarikan mendasar bagi para pemulia sebab hal ini memberikan
13
Universitas Sumatera Utara
masukan bagi pengamatan plasma nutfah dan berguna untuk menduga potensi
kemajuan genetik (Zulhermana et al, 2010).
Peubah “asal-usul geografis” telah digunakan secara luas oleh pemulia
tanaman kelapa sawit, menjadi kriteria yang penting untuk seleksi populasi saat
pembedaan berdasarkan agro morfologi. Dalam skema Seleksi Berulang Timbal
Balik (SBB), pemisahan populasi berdasarkan asal geografisnya
mampu
mengeksploitasi sumber keragaman genetik yang lebih besar dari koleksi plasma
nutfah. Penggunaan “asal geografis” sebagai sumber keragaman genetik dari
bahan tanaman kelapa sawit sering digunakan sebagai salah satu cara terbaik
untuk menilai plasma nutfah kelapa sawit baru sebelum diintroduksikan ke dalam
skema SBB. Penanda molekuler merupakan alat terkini yang digunakan dalam
pembedaan populasi jika teknologi ini tersedia. Namun demikian, pada tahap awal
penerapan pembedaan berdasarkan “asal geografis” sebagai kriteria untuk
pemisahan populasi dapat digunakan sementara biaya untuk memperoleh dan
mengeksploitasi dan sering kali fasilitas untuk penanda molekuler belum ada
(Allou et al, 2009)
14
Universitas Sumatera Utara
Download