BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sebagai salah satu

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah sebagai salah satu sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar
sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian, bahkan tanah dan manusia tidak
dapat dipisahkan semenjak manusia lahir hingga manusia meninggal dunia. Manusia
hidup dan berkembang biak sera melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap
manusia berhubungan dengan tanah.
Tanah dan manusia merupakan dua hal yang saling terkait erat dalam suatu
perjalanan kehidupan manusia sebagai individu, makhluk sosial maupun dalam suatu
kehidupan sebagai Bangsa. Hubungan antara tanah dengan bangsa dan pada
gilirannya antara manusia secara individu maupun kelompok dengan tanah,
merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius. 1
Pentingnya tanah bagi manusia, menyebabkan tanah mempunyai nilai,
terutama bagi mereka yang menjadikan tanah sebagai mata pencaharian melalui
usaha pertanian dan perkebunan. Begitu pentingnya tanah dalam hubungannya
dengan kehidupan manusia maka dijelaskan bahwa tanah merupakan tempat tinggal,
tanah memberikan kehidupan dan penghidupan, tanah dimana manusia dimakamkan
dan hubungannya bersifat magis-religius.
1
Risnarto, Dampak Sertifikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah Skala Kecil,
Makalah. Juni 2007, hal 3.
Universitas Sumatera Utara
2
Pengertian tanah terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang
merupakan dasar dari peraturan pertanahan di Indonesia sampai saat ini. Dalam Pasal
1 ayat (4) UUPA disebutkan tanh itu adalah permukaan bumi. Dan bumi ini terdiri
dari 3 komponen yaitu permukaan bumi, tubuh bumi,dan yang ada di bawah air.
Pasal 1 ayat (4) UUPA :
“dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula di bawahnya serta
yang berada di bawah air”.
Begitu pentingnya hubungan antara manusia dengan tanah sehingga
diperlukan adanya suatu kekuatan hukum di dalamnya, yang mana dalam hal ini oleh
Pasal 19 UUPA dengan tegas mengamanatkan kepada pemerintah agar di seluruh
wilayah Indonesia dilaksanakan pendaftaran tanah dengan tujuan untuk mencapai
kepastian hukum. Dengan terdaftarnya hak-hak atas tanah atau diberikannya hak-hak
atas tanah kepada subjek hak juga diberikan wewenang untuk memanfaatkan tanah
tersebut sesuai dengan peruntukkannya. Dengan demikian akan terciptalah jaminan
kepastian hukum bagi subjek hak tersebut. Artinya subjek hak dijamin oleh hukum
menggunakan hak kepelikan tanah tersebut untuk apa saja asal penggunaan hak
tersebut sesuai peruntukkannya menurut ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena
itu, apabila semua bidang tanah telah terdaftar dan dimanfaatkan oleh pemegang
haknya, idealnya secara yuridis teknis telah ada jaminan kepastian hukum terhadap
semua bidang tanah yang telah terdaftar dan dampak positifnya adalah dapat
mencegah terjadinya permasalahan pertanahan khususnya yang menyangkut
Universitas Sumatera Utara
3
penggunaan dan pemanfaatan serta mempertahankan hak termasuk hak kebendaan
yang melekat padanya.
BPHTB yang mulai diberlakukan sejak tahun 1998. BPHTB sebenarnya
merupakan jenis pajak lama yang pernah dipungut pada masa pemerintahan penjajah
tetapi dihapus seiring dengan berlakunya UUPA, dan diterapkan kembali karena
dianggap sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia dewasa ini.
BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
bangunan. Dalam memori penjelasan UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB
disebutkan bahwa tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa serta memiliki fungsi social, di samping memenuhi kebutuhan dasar
untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat
menguntungkan. Di samping itu bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi
pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada
Negara melalui pembayaran pajak, dalam hal ini Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB).
Apabila dikaitkan dengan salah satu fungsi pajak sebagai alat memasukkan
penerimaan
bagi
Negara
(fungsi
budgeter
pajak)
pemberlakuan
BPHTB
dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan penerimaan Negara, terutama
penerimaan daerah, yang penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini mendasari pemikiran bahwa subjek
pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan mendapat keuntungan
ekonomis dari pemilikan suatu tanah dan bangunan sehingga dianggap wajar apabila
Universitas Sumatera Utara
4
diwajibkan diwajibkan
untuk menyerahkan
sebagian nilai ekonomi
yang
diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran BPHTB. Dengan memperhatikan
fungsi tanah yang demikian penting bagi penyelenggaraan kehidupan masyarakat
ataupun bagi pembangunan, penggalian sumber penerimaan tersebut tentunya akan
berarti sekali terutama sebagai sumber pembiayaan penyelenggaran pemerintahan
dan pembangunan daerah.
Walaupun demikian pengenaan BPHTB haruslah tetap memperhatikan aspek
keadilan bagi masyarakat terutama golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang
berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur perolehan hak atas
tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak. Untuk itu pemerintah menetapkan
suatu besaran tertentu nilai perolehan objek pajak yang tidak dikenakan pajak, di
mana apabila perolehan hak yang terjadi dengan nilai perolehan di bawah besaran
tersebut maka perolehan hak tersebut tidak terutang pajak. Di sisi lain apabila nilai
perolehan yang terjadi di atas besaran tertentu tersebut maka pajak terutang dihitung
dari selisih antara nilai perolehan dengan besaran tertentu tersebut. Dengan demikian
terpenuhi keadilan dalam pengenaan pajak dengan tetap memperhatikan masyarakat
kecil.
BPHTB merupakan jenis pajak yang dihidupkan kembali dalam hal nama balik
nama atas pemilikan tanah dan bangunan. BPHTB merupakan pengganti nama Bea
Balik Nama atas harta tetap berupa haka atas tanah yang pernah ada pada masa
penjajahan Belanda dan tidak dipungut lagi sejak diundangkannya UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan melihat kondisi
masyarakat dan perekonomian nasional maka pemerintah bersama memandang perlu
Universitas Sumatera Utara
5
diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan dengan nama
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Tarif yang ditetapkan
menurut Undang-Undang BPHTB adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek
Pajak Kena Pajak. Dengan demikian semua pungutan atas perolehan hak atas tanah
dan bangunan di luar ketentuan Undang-Undang BPHTB tidak diperkenankan.
B. Permasalahan
Kesenjangan antara apa yang seharusnya dan apa yang ada dalam kenyataan,
antara apa yang diperlukan atau apa yang tersedia, serta antara harapan dan
kenyataan, maka penulis mengangkat beberapa permaslahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan?
2. Bagaimanakah peran Pejabat-pejabat Negara dalam peralihan Hak atas Tanah dan
atau Bangunan yang mengakibatkan timbulnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan serta kendala-kendala yang paling sering dijumpai dalam pelaksanaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tersebut?
3. Peralihan-peralihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan yang bagaimanakah yang
menimbulkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Universitas Sumatera Utara
6
Dalam penulisan skripsi ini, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk
memperoleh gambaran secara konkrit atas permasalahan yang telah diungkapkan
dalam perumusan masalah tersebut di atas, yaitu :
a. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengenai Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
b. Untuk mengetahui sejauh mana peran Pejabat-pejabat Negara dalam
peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan yang mengakibatkan timbulnya Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta kendala-kendala yang paling
sering dijumpai dalam pelaksanaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan tersebut.
c. Untuk mengetahui dengan jelas peralihan-peralihan hak atas tanah dan atau
bangunan yang bagaimanakah yang menimbulkan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
2. Manfaat
a. Manfaat teoritis
Untuk mengetahui khasanah ilmu hukum, khususnya hukum agraria di
Indonesia. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat memberikan kajian
baru dalam bidang hukum agraria di Indonesia, sehingga ilmu hukum
agraria semakin berkembang di masa yang akan dating.
b. Manfaat praktis
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
7
1.
Hasil penulisan ini dapat bermanfaat terhadap pemegang hak atas suatu
tanah.
2.
Hasil penulisan ini dapat bermanfaat terhadap para pemegang hak atas
tanah yang ingin mengalihkan hak nya tersebut, dan bagi seseorang atau
badan hukum yang akan menerima hak itu.
3.
Hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi praktisi hukum, mahasiswa
ilmu hukum serta masyarakat luas di Indonesia sebagai suatu
pertimbangan dalam menambah pengetahuan di bidang hukum agraria di
Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di perpustakaan program
studi ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa
penelitian yang berjudul TINJAUAN YURIDIS TENTANG BEA PEROLEHAN
HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN YANG MENGACU KEPADA
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH
DAN RETRIBUSI DAERAH belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan
perumusan masalah yang sama. Jadi, penelitian ini adalah “asli”, karena sesuai
dengan asas-asas keilmuan, yakni : jujur, rasional, objektif, dan terbuka/transparan,
sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah
dan tebuka atas masukan dan kritikan, serta saran-saran yang sifatnya membangun.
E. Tinjauan Kepustakaan
Universitas Sumatera Utara
8
Dimulai adanya ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 No. 291 yang
berisikan bahwa pemungutan biaya balik nama yang diakibatkan atas pemindahan
hak termasuk hibah wasiat dan harta tetap. Objek pajaknya adalah merupakan
barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tannah yang pemindahan haknya
dilakukan dengan akta. Ordonansi tersebut tidak diberlakukan untuk Hak Agraris
Eigendom menurut Pasal 51 ayat Indische Staatsregeling yaitu objek-objek yang
terbatas pada titel hukum barat. Sementara itu, UU No. 5 tahun 1960 yaitu UUPA
tidak mengenal hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Ordonansi 1924/291 tersebut.
Hal ini disebabkan dalam UUPA dikenal dengan istilah unifikasi hukum. Oleh
karena itu diadakannya UU BPHTB diharapkan dapat menkompensasi penurunan
penerimaan daerah karena diberlakukaknnya Undang-Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU No. 34 Tahun 2000).
Selain itu, apabila melihat konsep tanah yaitu sebagai kebutuhan dasar untuk
papan, lahan usaha, juga alat investasi yang menguntungkan, maka sewajarnya bagi
yang memperoleh hak atas tanah mendapatkan keuntungan atas tanah tersebut. Oleh
karena itu, bagi seseorang atau badan hukum yang memperoleh hak atas tanah dapat
memberikan kontribusi kepada negara dengan membayar pajak perolehan hak atas
tanah (Bea PeBeaolehan Hak atas Tanah dan Bangunan / BPHTB).
Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) merupakan pajak yang
pertama diserahkan ke Pemkot/Pemkab. Mulai 1 Januari 2011, BPHTB menjadi
pajak daerah dan dikelola oleh Pemerintah Kota (pemkot) atau Pemerintah
Kabupatan (pemkab). Sebelumnya, BPHTB dikelola oleh pemerintah pusat dalam
hal ini DJP (Direktorat Jenderal Pajak).
Universitas Sumatera Utara
9
BPHTB "lahir" berdasarkan dengan Undang-undang No. 21 Tahun 1997 tentang
Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan, kita sebut saja UU BPHTB. Tahun
2000, UU BPHTB direvisi ke dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2000. Kedua
undang-undang ini memberikan kewenangan kepada DJP untuk memungut BPHTB
dari
rakyat
Indonesia.
Pada tahun 2009, telah diundangkan Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kita sebut saja UU PDRD. Berdasarkan UU
PDRD ini, sejak 1 Januari 2011, DJP mengalihkan pengelolaan BPHTB kepada
Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten.
Secara substansi, tidak ada perubahan aturan yang signifikan antara UU BPHTB
dengan UU PDRD 2.
F. Metode Penelitian
1. Sifat dan jenis penelitian
Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk
menganalisa tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam
perspektif Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria) dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bagian Ketujuh Belas tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan , maka penelitian inin bersifat
deskriptif analisis. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normative, karena
penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang
2
http://pajaktaxes.blogspot.com/p/bphtb.html
Universitas Sumatera Utara
10
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau
bahan hukum yang lain, mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
dalam tinjauan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2. Teknik pengumpulan data
Teknik pegumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah penelusuran
kepustakaan yang berupa literature dan dokumen-dokumen yang ada, yang
berkaitan dengan objek penelitian. Oleh karena itu, sumber data penelitian ini
adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sukender dan bahan hukum tertier.
a. Bahan hukum premier, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni :
1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945.
2) Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan objek
penelitian yaitu : Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan peraturan
pelaksana terkait lainnya.
b. Bahan hukum sukender, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan
hukum yang berkaitan dengan hukum agrarian di Indonesia dan tentang bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan.
c. Bahan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia
atau majalah atau surat kabar atau jurnal yang berkaitan dengan hukum
Universitas Sumatera Utara
11
agrarian di Indonesia, hukum tanah di Indonesia, dan bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Berikut uraian sistematika penulisan yang merupakan gambaran isi skripsi ini :
BAB I
:
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
BAB II
:
Bab ini akan membahas tentang dasar-dasar Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan, pengertian BPHTB, dasar
hukumnya, prinsip dan dasar pemikiran pemungutan BPHTB,
serta perkembangan BPHTB di Indonesia.
BAB III
:
Bab ini akan membahas tentang saat dan kapan BPHTB
menjadi pajak terutang, lalu tentang kewenangan dan
kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)/Notaris dan
Pejabat-Pejabat Negara di bidang pertanahan lainnya serta
Pejabat Lelang Negara dalam pengaruhnya terhadap BPHTB
dan akta peralihan hak atas tanah yang ada.
BAB IV
:
Bab ini akan dibahas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan lebih kepada subjek dan objek peralihan hak
atas tanah dan atau bangunan yang menimbulkan pajak
terutang berupa BPHTB serta bagaimana apabila adanya
Universitas Sumatera Utara
12
keberatan, banding, dan pembetulan dalam perhitungan pajak
terutang BPHTB.
BAB V
:
Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup
yang
berisi
kesimpulan
dan
saran-saran
mengenai
permasalahan yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara
Download